TRANSFORMASI GEN gusA DAN hptII KE DALAM KALUS EMBRIOGENIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN ELEKTROPORASI
CHRIS DARMAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transformasi Gen gusA dan hptII ke dalam Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Elektroporasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017 Chris Darmawan NIM A253130331
iii
RINGKASAN CHRIS DARMAWAN. Transformasi Gen gusA dan hptII ke dalam Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Elektroporasi. Dibimbing oleh NI MADE ARMINI WIENDI dan CONDRO UTOMO. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman penting yang merupakan salah satu komoditi perkebunan terbesar di Indonesia. Pengembangan tanaman kelapa sawit telah dilakukan melalui program pemuliaan dan bioteknologi hingga saat ini. Akan tetapi, siklus pemuliaan tanaman kelapa sawit yang panjang serta keterbatasan sifat-sifat unggul yang ada pada tanaman kelapa sawit menjadi hambatan yang perlu diatasi. Rekayasa genetika dapat digunakan untuk introduksi karakter-karakter baru ke varietas-varietas kelapa sawit yang sudah ada dan dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan potensi genetik kelapa sawit. Metode transformasi yang umum digunakan, seperti biolistic dan transformasi menggunakan bakteri Agrobacterium tumefaciens, masih memiliki efisiensi yang rendah untuk kelapa sawit. Pengujian terhadap teknik transformasi lain seperti elektroporasi perlu untuk dilakukan sebagai metode transformasi alternatif yang mungkin memiliki efisiensi lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan protokol elektroporasi yang optimal untuk memasukkan gen spesifik ke dalam kalus kelapa sawit. Sebelum proses elektroporasi, pengujian dosis letal antibiotik hygromycin dilakukan pada konsentrasi 5-35 ppm untuk mendapatkan konsentrasi yang tepat untuk seleksi. Clump kalus embriogenik kelapa sawit dengan ukuran 1-2 mm digunakan untuk elektroporasi. Kalus dimasukkan ke dalam buffer elektroporasi yang mengandung plasmid pCAMBIA 1303 lalu dielektroporasi dengan kekuatan medan listrik sebesar 250, 500, 750, 1,000, dan 1,250 V/cm. Kalus mulai diseleksi satu bulan setelah elektroporasi. Seleksi dilakukan secara bertahap dari konsentrasi hygromycin 15 hingga 25 ppm. Pengamatan dilakukan terhadap daya proliferasi dan persentase kalus hidup 4 bulan setelah perlakuan. Analisis molekuler dilakukan pada kalus-kalus yang dapat bertahan hidup. Konsentrasi letal antibiotik hygromycin (LD100) terhadap kalus embriogenik sesuai dengan analisis regresi adalah 36.8 ppm. Uji transien gen gusA tidak dapat digunakan pada kalus kelapa sawit karena terdapat ekspresi gen endogenus dengan aktivitas mirip gen gusA. Analisis dengan nested PCR dan sekuensing pada kalus secara komposit menunjukkan bahwa gen hptII dapat ditemukan pada seluruh kalus hasil perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode elektroporasi dapat digunakan untuk memasukkan gen spesifik ke dalam kalus embriogenik kelapa sawit dan kekuatan medan listrik paling optimal adalah 250 V/cm. Metode elektroporasi dengan menggunakan bakteri A. tumefaciens tidak berhasil dilakukan dikarenakan kalus mati setelah elektroporasi. Metode elektroporasi merupakan metode transformasi yang mudah dilakukan dan relatif lebih ekonomis serta dapat dikembangkan lebih lanjut lagi untuk mendapatkan protokol yang lebih baik Kata kunci: Elektroporasi, GUS, hygromycin phosphotransferase, kelapa sawit, nested PCR
iv
SUMMARY CHRIS DARMAWAN. Transformation of gusA and hptII Genes into Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Embryogenic Calli Using Electroporation. Supervised by NI MADE ARMINI WIENDI and CONDRO UTOMO. Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) is an important crop and one of the biggest agriculture commodities in Indonesia. Oil palm had been improved through breeding programs and biotechnology until now but lengthy breeding cycle and limited genetic resources became problems that need to be solved. Genetic engineering can be used to introduce novel traits to existing oil palm varieties and shorten the duration of oil palm genetic improvement. General transformation methods like biolistic and Agrobacterium-mediated transformation still generated low efficiency for oil palm. Assesment of alternative technique like electroporation may generate more efficient transformation method. The aim of this research was to get optimum electroporation protocol to deliver spesific gene into oil palm calli. Prior to electroporation, hygromycin concentration from 5-35 ppm were evaluated to determine antibiotic lethal dose for selection. 1-2 mm oil palm embryogenic calli clump were used in electroporation. Calli were submerged in electroporation buffer with pCAMBIA 1303 plasmid then electroporated with electric field strength of 250, 500, 750, 1,000, and 1,250 V/cm. Calli were selected with hygromycin one month after electroporation. Gradual selections were performed with hygromycin concentration from 15 ppm to 25 ppm. Proliferation and survival rates of electroporated calli were observed 4 months after treatments. Molecular analyses were performed toward survived calli. Hygromycin lethal dose (LD100) for oil palm calli using regression equation was 36.8 ppm. Transient gusA gene expression assay was not applicable due to expression of oil palm endogenus gene with activity like gusA gene expression. Electroporated calli were analyzed compositely by Nested PCR followed by sequencing and the results showed that hptII genes were found in all treated calli. The overall result indicated that electroporation method could be used to introduce specific gene into oil palm embriogenic calli and 250 V/cm was the optimum electric field. Electroporation methods combined with A. tumefaciens were not successful because treated calli were not survived after electroporation. Electroporation is simple and relatively economic transformation method. The method can be developed further to generate better protocol. Keywords: Electroporation, GUS, hygromycin phosphotransferase, nested PCR, oil palm
v
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
TRANSFORMASI GEN gusA DAN hptII KE DALAM KALUS EMBRIOGENIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN ELEKTROPORASI
CHRIS DARMAWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Bambang S Purwoko, M Sc
viii
Judul Tesis : Transformasi Gen gusA dan hptll ke dalam Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Eiaeis guineensis Jacq.) dengan Elektroporasi Nama : Chris Darmawan NIM : A253 130331
Disetuju i oleh Komisi Pembimbing
"
~l'fYl Dr lr Ni Made Armini Wiendi, M S Ketua
M Sc
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dr lr Yudiwanti1 Wahyu EK, M S
1/ Tanggal Uj ian: 24 Januari 2017
Tanggal Lulus:
14 MAR ?n17
ix
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan, berkat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul “Transformasi Gen gusA dan hptII ke dalam Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Elektroporasi”. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ibunda Wanda Wahyuni dan Ayahanda Soenyoto tercinta yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, kasih sayang, dan motivasi. 2. dr Corry Rosiana sebagai isteri yang selalu memberikan cinta, doa, dan dukungan yang tiada hentinya serta selalu sabar mendampingi penulis. 3. Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, M S selaku dosen pembimbing atas segala saran, kritik, arahan, kesabaran, nasehat, dan motivasi. 4. Dr Ir Condro Utomo, M Sc selaku supervisor dan pembimbing yang selalu memberikan dukungan, saran, solusi, dan nasehat. 5. Prof Dr Ir Bambang S Purwoko, M Sc dan Dr Dewi Sukma, S P, M Si selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tesis ini menjadi lebih baik. 6. Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, M S selaku ketua program studi PBT yang telah banyak memberikan saran dan koreksi dalam proses penyelesaian tesis ini 7. PT SMART Tbk yang telah memberikan fasilitas dan dana sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. 8. Bakrie Center Foundation yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk menerima beasiswa Bakrie Graduate Fellowship 2014. 9. Anggota Seksi Genetic Engineering: Andrea Subroto, Reno Tryono, Victor Aprilyanto, Hani Feorani, Ahmad Jaelani, dan Rezky Prasetya serta temanteman peneliti di PT SMART Tbk yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penelitian dan penulisan tesis ini. 10. Teman-teman seperjuangan di program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Angkatan 2013 atas persahabatan dan kekeluargaannya. Seperti peribahasa “Tak ada gading yang tak retak”, begitu juga karya manusia yang tidak sempurna, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pemuliaan dan bioteknologi tanaman. Bogor, Januari 2017 Chris Darmawan
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Hipotesis Penelitian 1.4 Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 4 4
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transformasi Gen dengan Metode Elektroporasi 2.2 Transformasi Gen pada Tanaman dengan Metode Elektroporasi 2.3 Enzim β-glucuronidase dan X-gluc 2.4 Green Fluorescent Protein 2.5 Hygromycin dan Hygromycin Phosphotransferase
6 6 7 7 9 10
3
BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu 3.2 Bahan Eksplan, Media, Buffer, Plasmid, dan Bakteri 3.3 Uji Dosis Letal Antibiotik 3.4 Optimasi Metode Elektroporasi 3.5 Uji Ekspresi Transien Gen GUS 3.6 Transformasi dengan Elektroporasi dan A. tumefaciens 3.7 Analisis Molekuler Terhadap Kalus Hasil Elektroporasi
11 11 11 11 12 13 14 15
4
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Dosis Letal Antibiotik pada Clump Kalus Kelapa Sawit 4.2 Uji Ekspresi Transien Gen gusA 4.3 Optimasi Metode Elektroporasi 4.4 Transformasi dengan Elektroporasi dan A. tumefaciens 4.5 Analisis Molekuler Terhadap Clump Kalus Hasil Elektroporasi 4.6 Protokol Elektroporasi Kalus Embriogenik Kelapa Sawit
17 17 18 21 25 26 29
5
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
31 31 31
DAFTAR PUSTAKA
32
RIWAYAT HIDUP
36
xi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Rangkuman penelitian transformasi gen pada tanaman dengan menggunakan metode elektroporasi Daftar primer-primer yang digunakan dalam analisis molekuler Persentase kalus embriogenik kelapa sawit yang mati pada percobaan uji dosis letal antibiotik hygromycin hingga 8 MSP Pengaruh kekuatan medan listrik terhadap pertumbuhan kalus embriogenik kelapa sawit setelah 4 bulan masa tanam
8 15 17 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Bagan alir penelitian transformasi gen gusA dan hptII dengan metode elektroporasi ke dalam kalus embriogenik kelapa sawit Proses masuknya DNA melalui pori-pori yang terbentuk setelah proses elektroporasi Skema proses transformasi gen dengan metode elektroporasi Peta lengkap dari plasmid pCAMBIA 1303 Skema sederhana metode elektroporasi kalus embriogenik kelapa sawit Proses uji transien gen gusA pada kalus embriogenik kelapa sawit hasil elektroporasi Analisis PCR genom kalus embriogenik kelapa sawit untuk gen MADS-box Skema analisis molekuler gen hptII pada kandidat kalus embriogenik kelapa sawit kandidat transforman dengan metode nested PCR Pengaruh dosis hygromycin terhadap kondisi kalus embriogenik kelapa sawit pada minggu ke-8 Hasil uji ekspresi transien gen gusA pada kalus embriogenik kelapa sawit Hasil pengamatan visual terhadap kalus embrogenik kelapa sawit yang sudah diberi perlakuan Hasil pengamatan visual terhadap kalus embriogenik kelapa sawit yang sudah diberi perlakuan elektroporasi + A. tumefaciens Hasil analisis molekuler terhadap kalus embriogenik kelapa sawit hasil elektroporasi Pensejajaran hasil sekuensing produk nested PCR dari kalus embriogenik kelapa sawit hasil elektroporasi terhadap sekuen gen hptII pada plasmid pCAMBIA 1303
5 6 7 12 13 14 16 16 18 20 22 25 27
28
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman yang penting dan merupakan komoditi perkebunan terbesar di Indonesia. Data dari Kementrian Pertanian menunjukkan bahwa luas area perkebunan kelapa sawit telah melampaui 9.5 juta hektar pada tahun 2012 dengan produksi sekitar 26 juta ton minyak (Kementan 2014) dan diperkirakan terus meningkat di tahun berikutnya. Pada tahun 2013, produksi minyak sawit dunia mencapai 55.8 juta ton dimana Indonesia memproduksi 28.4 juta ton (FAO 2014). Jumlah produksi minyak ini melebihi 50% dari total jumlah produksi minyak sawit dunia dan hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman monokotil diploid yang termasuk ke dalam keluarga Palmaceae dan genus Elaeis. Terdapat dua spesies penting dalam genus ini yaitu Elaeis guineensis dan Elaeis oleifera (Low et al. 2008). E. guineensis biasa disebut dengan African oil palm dan E. oleifera biasa disebut dengan American oil palm. E. guineensis merupakan spesies tanaman yang banyak dibudidayakan di daerah Asia, khususnya Indonesia dan Malaysia sebagai produsen terbesar dari komoditi tersebut. Varietas yang banyak dikembangkan adalah tenera yang merupakan persilangan antara varietas dura dan pisifera. Buah tenera memiliki cangkang biji yang tipis dengan daging buah/mesokarp yang tebal sehingga memiliki kandungan minyak yang lebih banyak. Tanaman kelapa sawit telah dikembangkan sejak pertama kali tanaman ini dibawa dari Afrika ke Asia. Tanaman ini telah dikembangkan melalui program pemuliaan tanaman dan bioteknologi hingga saat ini. Salah satu perkembangan besar dalam budidaya tanaman kelapa sawit adalah pergantian tanaman kelapa sawit varietas dura menjadi tenera (DxP) yang meningkatkan produksi minyak sebesar 30%. Saat ini, bibit tanaman kelapa sawit sudah mulai dikembangkan dengan menggunakan teknik kultur jaringan untuk menghasilkan bahan tanam klonal dari tanaman kelapa sawit unggul yang dapat menaikkan produksi tanaman secara signifikan (Kushairi et al. 2010). Plasma nutfah dengan karakter-karakter baru dari Afrika dan Amerika Selatan mulai diintegrasikan dalam program pemuliaan tanaman kelapa sawit di Asia (Murphy 2009). Sifat-sifat unggul baru dari plasma nutfah ini dapat membantu para pemulia tanaman dalam menciptakan tanaman kelapa sawit yang lebih baik. Walaupun program pemuliaan telah banyak dibantu oleh adanya informasi sekuen keseluruhan genom dan seleksi berdasarkan marka molekuler, pemuliaan konvensional masih dibatasi oleh ketersediaan sifat-sifat yang ada dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemuliaan tanaman tahunan seperti kelapa sawit. Salah satu contoh adalah penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan Ganoderma. Penyakit ini merupakan masalah serius pada perkebunan kelapa sawit dan dapat menyebabkan kerugiaan yang besar. Pada umumnya tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan secara komersial tidak memiliki sifat tahan terhadap penyakit tersebut. Jika sifat ketahanan tidak dapat ditemukan
2
secara alami pada spesies tanaman kelapa sawit, maka masalah ini akan sulit untuk diatasi dan terus menjadi hambatan di masa yang akan datang. Meskipun sifat ketahanan dapat ditemukan pada spesies kelapa sawit, dibutuhkan waktu yang panjang untuk mengintegrasikan sifat tersebut ke dalam varietas komersial. Rekayasa genetika dapat memberikan solusi alternatif terhadap masalah yang dihadapi dalam pemuliaan konvensional tanaman kelapa sawit. Rekayasa genetika dapat digunakan untuk memperluas keragaman genetik yang ada khususnya untuk karakter-karakter yang tidak tersedia secara alami pada tanaman kelapa sawit. Teknik ini juga dapat membantu dalam mempersingkat waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan tanaman kelapa sawit karena proses introduksi sifat dapat langsung dilakukan pada varietas komersial yang memiliki produksi tinggi. Rekayasa genetika telah terbukti sebagai salah satu teknik yang unggul dalam introduksi sifat-sifat baru pada tanaman. Tanaman transgenik dengan resistensi terhadap herbisida, resistensi terhadap hama dan penyakit, ketahanan terhadap kekeringan, dan kualitas produk lebih baik, telah banyak dikembangkan dan beberapa telah menjadi produk komersial yang dapat ditemui di pasar. Rekayasa genetika pada tanaman kelapa sawit belum banyak dikembangkan. Salah satu target penelitian ini adalah pengembangan kelapa sawit yang dapat menghasilkan minyak dengan kadar asam lemak oleat yang tinggi melalui modifikasi jalur biosintesis asam lemak pada bagian mesokarp buah sawit (Masani & Parveez 2008). Kualitas minyak yang lebih baik akan sangat berguna baik sebagai pangan maupun digunakan sebagai bahan bakar biodiesel. Penelitian lain yang dilakukan adalah produksi senyawa unik seperti polyhydroxybutyrate (PHB) dan polyhydroxybutyrate-co-valerate (PHBV) di jaringan daun kelapa sawit (Masani et al. 2009) yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bio-plastik. Akan tetapi, referensi penelitian yang terkait dengan teknik transformasi tanaman kelapa sawit masih sangat terbatas. Parveez dan Bahariah (2012) menggunakan metode biolistic untuk melakukan transformasi gen ke dalam kalus embriogenik kelapa sawit. Transformasi dengan bantuan bakteri Agrobacterium tumefaciens juga telah dilakukan dengan tingkat keberhasilan transformasi 0.7%. Persentase ini lebih rendah jika dibandingkan dengan metode biolistic dengan tingkat keberhasilan transformasi sebesar 1-1.5% (Izawati et al. 2012). Pada penelitian lain, embrio tanaman yang masih muda digunakan sebagai alternatif eksplan dalam proses transformasi tanaman kelapa sawit (Abdullah et al. 2005). Dengan tingkat keberhasilan transformasi yang masih rendah, dibutuhkan metode-metode transformasi yang lebih efisien, baik dari segi teknik maupun biaya. Penelitian-penelitian yang terkait dengan teknik transformasi kelapa sawit diharapkan dapat menghasilkan metode alternatif yang lebih baik. Pada penelitian ini, dilakukan transformasi kelapa sawit dengan menggunakan metode elektroporasi dengan bantuan alat elektroporator. Elektroporasi merupakan salah satu metode transformasi yang belum banyak digunakan pada sel tanaman. Mekanisme dari elektroporasi adalah membuat membran sel tanaman menjadi tidak stabil untuk sementara dengan menggunakan medan elektrik bertegangan tinggi dalam waktu singkat. Teknik ini memungkinkan introduksi DNA, RNA, protein, obat, dan pewarna ke dalam sel resipien melalui pori-pori yang terbentuk ketika sel diberi arus listrik (electropores) (Van Wert & Saunders 1992). D’Halluin et al. (1992) berhasil melakukan transformasi gen neomycin phosphotransferase (neo) ke dalam
3
jaringan tanaman jagung dengan menggunakan elektroporator. Sel tanaman berhasil diregenerasi menjadi tanaman dan gen neo dapat dideteksi pada keturunan dari tanaman transforman yang menandakan integrasi gen ke dalam genom tanaman. Efisiensi transformasi dari proses elektroporasi tersebut mencapai 6.25% untuk eksplan embrio muda dan 56.36% untuk eksplan kalus tipe I. Sorokin et al. (2000) berhasil mendapatkan tanaman gandum transgenik melalui proses elektroporasi embrio gandum dengan tingkat efisiensi transformasi yang lebih rendah yaitu sekitar 0.3%. Gen target dapat ditemukan pada keturunan dari tanaman transgenik (T1) dan analisis segregasi menunjukkan bahwa gen target terintegrasi di satu lokus. Pada penelitian lain, He et al. (2001) melakukan transformasi dengan metode elektroporasi pada eksplan bunga muda dan berhasil mendapatkan tanaman transgenik. Gen target berhasil dideteksi pada keturunan dari tanaman transgenik tersebut (T1 & T2). Penelitian – penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode elektroporasi dapat digunakan untuk melakukan transformasi DNA ke dalam sel tanaman untuk menghasilkan tanaman transgenik dengan transgen yang terintegrasi stabil dan diwariskan ke keturunannya. Tingkat keberhasilan elektroporasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti: sumber sel tanaman, diameter sel, ada tidaknya dinding sel, dan jumlah sel dalam larutan elektroporasi (Saunders et al. 1995). Kondisi elektroporasi seperti kekuatan medan listrik, durasi elektroporasi, jenis elektroporator yang digunakan, dan konduktivitas dari buffer elektroporasi memiliki peranan penting dalam keberhasilan elektroporasi. Wu dan Feng melaporkan bahwa proses plasmolisis sebelum elektroporasi dapat meningkatkan effisiensi transformasi plasmid ke dalam sel tanaman. Hal ini diduga karena plasmolisis menyebabkan plasmid berada pada daerah dekat plasmalema sel sehingga elektroporasi dapat secara effisien menghantarkan plasmid ke dalam sel. Pada penelitian yang lain, Hagio (2009) menemukan bahwa perlakuan vakum sebelum elektroporasi dapat secara signifikan meningkatkan jumlah DNA yang dapat masuk ke dalam sel tanaman. Hal ini dapat dilihat dari tingginya ekspresi transien gen gusA pada hasil elektroporasi dengan perlakuan vakum. Elektroporasi belum pernah digunakan sebelumnya untuk melakukan transformasi gen ke dalam sel tanaman kelapa sawit padahal teknik ini memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan teknik transformasi lainnya. Metode transformasi dengan elektroporasi memiliki prosedur yang lebih sederhana dan mudah dilakukan. Elektroporasi juga relatif lebih ekonomis jika dibandingkan dengan metode lain seperti biolistic. Dengan segala keunggulankeunggulan tersebut, elektroporasi berpotensi besar untuk dimanfaatkan dalam transformasi tanaman kelapa sawit. Pada penelitian ini, optimasi akan dilakukan terhadap salah satu kondisi elektroporasi yaitu kekuatan medan listrik yang berperan dalam penghantaran plasmid ke dalam sel kalus kelapa sawit. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan protokol elektroporasi yang optimal untuk mengintroduksi gen spesifik, yaitu gen gusA dan hptII, ke dalam kalus embriogenik kelapa sawit baik secara langsung atau dengan bakteri A. tumefaciens. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh kalus kelapa sawit kandidat transforman yang membawa gen gusA dan hptII.
4
1.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Dengan metode elektroporasi tanpa A. tumefaciens dapat dihasilkan sel transforman kelapa sawit yang membawa gen gusA dan hptII yang terintegrasi di dalam genomnya. 2. Dengan metode elektroporasi dengan A. tumefaciens yang membawa gen gusA dan hptII, dapat dihasilkan sel transforman kelapa sawit yang membawa gen target yang terintegrasi di dalam genomnya. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terdiri beberapa tahap yaitu uji dosis letal antibiotik, optimasi parameter elektroporasi, dan transformasi sel kalus kelapa sawit dengan kombinasi elektroporasi dengan bakteri A. tumefaciens. Uji dosis letal antibiotik hygromycin terhadap sel tanaman kelapa sawit bertujuan untuk mengetahui dosis antibiotik hygromycin yang paling baik untuk seleksi sel kalus kelapa sawit transforman. Dosis antibiotik yang paling tepat akan digunakan untuk menyeleksi sel setelah transformasi. Tahap selanjutnya adalah optimasi besarnya kekuatan medan listrik untuk transformasi sel kalus kelapa sawit. Tahap ini bertujuan mendapatkan kekuatan medan listrik yang paling baik untuk transformasi sel tanaman kelapa sawit. Uji ekspresi transien gen gusA sebagai gen pelapor dilakukan pada kalus-kalus hasil elektroporasi secara komposit untuk mengetahui keberhasilan transformasi. Proses transformasi sel kalus kelapa sawit dengan menggunakan kombinasi elektroporasi dan bakteri A. tumefaciens dilakukan secara pararel dengan optimasi parameter elektroporasi Tahap ini bertujuan untuk mengetahui apakah elektroporasi dapat membantu proses transformasi sel kalus kelapa sawit oleh bakteri A. tumefaciens. Tahap akhir penelitian adalah analisis molekuler pada sel kalus kandidat transforman. Isolasi DNA dilakukan terhadap kalus-kalus hasil elektroporasi yang dapat bertahan hidup setelah dilakukan seleksi menggunakan antibiotik hygromycin. Analisis nested PCR dengan primer spesifik terhadap gen hptII digunakan untuk mengetahui keberadaan gen target di dalam kalus kandidat transforman. Diagram alir penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.
5
Proliferasi Kalus Kelapa sawit Media EE (4 bulan, subkultur setiap 1 bulan)
Uji Dosis Letal Antibiotik
Optimasi Metode Elektroporasi
Konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35 ppm hygromycin (2 bulan)
Kekuatan medan listrik 250, 500, 750, 1,000, dan 1,250 V/cm
Elektroporasi dengan pCAMBIA 1303
Konsentrasi optimal untuk seleksi kalus (LD100)
Elektroporasi dengan A. tumefaciens pCAMBIA 1303
Uji ekspresi transien gen gusA buffer fosfat + X-gluc (3 hari setelah elektroporasi)
Pengkulturan untuk Pemulihan Sel Kalus Media EE + PPM (pCAMBIA 1303) / Media EE + PPM + cefotaxime (A. tumefaciens pCAMBIA 1303) (1 bulan)
Seleksi bertingkat sel kandidat transforman pada media dengan hygromycin Media EE + PPM + 15 ppm Hyg (1 bulan) Media EE + PPM + 20 ppm Hyg (1 bulan) Media EE + PPM + 25 ppm Hyg (1 bulan)
Analisis molekuler pada kalus yang bertahan hidup setelah seleksi dengan hygromycin (kandidat transforman)
Gambar 1 Bagan alir penelitian transformasi gen gusA dan hptII dengan metode elektroporasi ke dalam kalus embriogenik kelapa sawit
6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transformasi Gen dengan Metode Elektroporasi Elektroporasi adalah proses permeabilisasi membran sel dengan menggunakan medan listrik dan merupakan prosedur sederhana yang dapat digunakan untuk mengubah komposisi genetik dari suatu organisme. DNA, RNA, protein, senyawa obat, dan pewarna dapat dimasukkan ke dalam sel melalui electropores atau pori-pori yang terbentuk ketika membran sel diberi arus searah/DC (Van Wert & Saunders 1992). Proses masuknya DNA melalui poripori yang terbentuk setelah proses elektroporasi dapat dilihat pada Gambar 2. Penggunaan medan listrik yang melampaui kapasitansi dari membran sel akan memicu kerusakan sementara yang reversibel pada membran. Pada kondisi ini, berbagai macam molekul dapat dimasukkan ke dalam sel baik melalui difusi sederhana seperti pada molekul kecil maupun melalui proses elektroforesis menembus membran yang tidak stabil. Besarnya medan listrik yang digunakan dalam elektroporasi tergantung dari besarnya ukuran sel target. Semakin kecil ukuran suatu sel maka semakin besar medan listrik yang digunakan, begitu juga dengan sebaliknya (Gehl 2003). Skema sederhana dari proses elektroporasi pada sel target disajikan pada Gambar 3.
Gambar 2 Proses masuknya DNA melalui pori-pori yang terbentuk setelah proses elektroporasi (BES 2017)
Metode elektroporasi dapat diaplikasikan untuk introduksi plasmid atau DNA asing ke dalam sel hidup untuk transfeksi gen; fusi sel untuk mempersiapkan heterokarion, hibridoma, embrio hybrid, dan sebagainya; memasukkan protein ke dalam membran sel; meningkatkan proses memasukkan obat dan meningkatkan efektivitas dalam kemoterapi sel kanker; pembuatan model hewan dengan fusi sel manusia dengan jaringan hewan; dan alterasi ekspresi gen pada sel-sel hidup (Tsong 1991). Teknik elektroporasi dan elektrofusi telah berhasil dilakukan pada sel-sel tanaman, hewan, bakteri, dan cendawan. Pada tanaman, elektroporasi dan elektrofusi secara umum menggunakan protoplas karena adanya dinding sel yang dapat menghambat proses tersebut. Walaupun demikian, elektroporasi sel tanaman yang masih memiliki dinding sel telah berhasil dilakukan (Saunders & Bates 1992).
7
DNA Dinding Sel
Pori –pori terbentuk
Waktu
Gambar 3 Skema proses transformasi gen dengan metode elektroporasi. A: Sebelum aplikasi medan listrik, membran tidak permeabel. B: Ketika proses aplikasi medan listrik, berbagai molekul dapat masuk ke dalam sel dan molekul di dalam sel juga dapat keluar. C: Setelah aplikasi medan listrik, permebealitas membran dapat dipertahankan untuk molekul dengan ukuran kecil dari beberapa detik hingga beberapa menit. Setelah membran kembali menutup, molekul telah berhasil memasuki sel target (Rols 2006).
2.2 Transformasi Gen pada Tanaman dengan Metode Elektroporasi Metode elektroporasi untuk transformasi gen pada tanaman pada umumnya menggunakan protoplas sebagai eksplan karena protoplas tidak memiliki dinding sel sehingga proses elektroporasi lebih mudah dilakukan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa jaringan tanaman juga dapat digunakan sebagai eksplan dalam proses transformasi gen dengan menggunakan metode elektroporasi. Rangkuman dari metode-metode elektroporasi jaringan tanaman yang pernah dilaporkan disajikan pada Tabel 1. Berbagai macam jaringan tanaman seperti kalus, embrio, suspensi sel, daun, bunga, dan benih, pernah digunakan dalam penelitianpenelitian elektroporasi tanaman. D’Halluin et al. (1992), Sorokin et al. (2000), He et al. (2001), dan Hagio (2009) berhasil meregenerasi tanaman transgenik dari proses transformasi menggunakan elektroporasi dan gen target dapat dideteksi hingga keturunan dari tanaman-tanaman tersebut. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa DNA atau gen target dapat masuk dan terintegrasi ke dalam genom tanaman dengan menggunakan metode elektroporasi. 2.3 Enzim β-glucuronidase dan X-gluc Gen pelapor (reporter gene) banyak digunakan dalam penelitian-penelitian molekuler untuk mempelajari pola ekspresi dan fungsi dari sekuen regulator tertentu pada suatu organisme. Gen pelapor difusikan ke sekuen regulator lalu dimasukkan ke dalam genom sel target dan ekspresi gen tersebut pada sel dipelajari. Dengan menggunakan gen pelapor yang menyandikan aktivitas enzim yang tidak ditemukan pada organisme target, sensitivitas dari pengukuran
8
aktivitas gen chimeric hanya dipengaruhi oleh karakter enzim pelapor dan kualitas uji yang tersedia untuk enzim tersebut. Tabel 1 Rangkuman penelitian transformasi gen pada beberapa tanaman dengan menggunakan metode elektroporasi Tanaman
Jenis Eksplan
Kekuatan Medan Listrik (V/cm)
Hasil Penelitian
Sumber Referensi
375
Galur tanaman jagung transforman dan progeni yang membawa gen resisten kanamisin
D'Halluin et al. 1992
Embrio muda Jagung
Singkong
Kalus embriogenik tipe I Embrio somatik
250, 375, 500, 750, dan 1000
Lilium orier Kalus Bambusa beecheyana
700
Nicotiana benthamina
Suspensi sel
Gandum
Embrio muda
275 dan 750
Tritordeum
Bunga muda
550
Hipokotil
50, 100, 150, 200, 250, 300, dan 350
Stylosanthes guianensis
Kotiledon
Kopi
Kalus embriogenik Daun Embrio somatik
375, 625, dan 875
Gandum
Benih dewasa
50-100
Ekspresi gen gusA transien tertinggi pada 750 V/cm dan jaringan mati pada 1,000 V/cm Ekspresi gen gusA transien pada kalus L. orier dan B. beecheyana serta ekspresi Green Fluorescent Protein (GFP) pada suspensi sel N. benthamina. Plasmolysis merupakan langkah penting dalam elektroporasi. Proses elektroporasi dilakukan sebanyak dua kali. Ekspresi transien gen gusA tertinggi pada 750 V/cm. Gen target dapat ditemukan pada progeni dari tanaman transforman Tanaman Tritordeum transforman dengan ekspresi gen gusA. Gen target dapat dideteksi pada progeni dari tanaman transforman tersebut Ekspresi transien gusA tertinggi pada 100-250 V/cm. Perlakuan 350 V/cm menyebabkan kerusakan sel Ekspresi transien gen gusA tertinggi pada 375 dan 625 V/cm. Gen target dapat dideteksi pada embrio sekunder. Ekspresi transien gen gusA pada benih dewasa. Gen target dapat dideteksi pada progeni. 50 V/cm dengan 99 kali elektroporasi merupakan metode paling optimal. Proses vakum merupakan tahapan yang penting
Luong et al. 1995
Wu & Feng 1999
Sorokin et al. 2000
He et al. 2001
Quecini & Vieira 2001 Fernandez-Da Silva & MenendezYuffa 2003
Hagio 2009
9
Enzim β-glucuronidase (GUS, EC 3.2.1.31) adalah enzim yang berasal dari bakteri Escherichia coli yang disandikan oleh lokus uidA. Enzim ini merupakan hydrolase yang mengkatalisasi pemotongan berbagai macam β-glucuronides. Sebagian besar dari β-glucuronides ini merupakan substrat spektrofotometrik, fluorometrik, dan histokimia yang tersedia secara komersial (Jefferson et al. 1987). Sekuen utuh gen uidA E. coli yang menyandikan enzim β-glucuronidase (β-D-glucuronoside glucuronosohydrolase) telah diketahui. Daerah penyandi dari gen memiliki panjang 1,809 pasang basa dan hasil translasi diprediksikan memiliki berat molekul 68,200 dalton, tidak berbeda signifikan dengan berat molekul hasil eksperimen yang mencapai 73,000 dalton (Jefferson et al. 1986). Enzim ini sangat stabil dan tahan terhadap berbagai macam deterjen, kondisi ion yang bervariasi, dan kondisi penggunaan yang tidak sesuai. Enzim ini paling aktif dengan keberadaan agen pereduksi thiol seperti β-merkaptoetanol atau Dithiothreitol (DTT). Enzim GUS tidak memiliki kofaktor atau kondisi ion tertentu tetapi dapat dihambat oleh beberapa logam berat divalent seperti Cu2+ atau Zn2+. Aktivitas enzim dapat diuji pada berbagai pH dengan pH optimum di antara 5.2 dan 8.0. Aktivitas enzim sekitar 50% pada pH 4.3. Enzim GUS cukup tahan terhadap suhu tinggi dengan waktu paruh sekitar 2 jam pada suhu 55oC (Jefferson 1987). Gen penyandi enzim GUS yang digunakan dalam pCAMBIA 1303 adalah gen gusA N358Q mutan yang memiliki mutasi asparagine menjadi glutamin pada posisi asam amino 358 dari protein E. coli. Mutasi ini menghambat glikosilasi pada atom N. CAMBIA sebagai pengembang plasmid juga memodifikasi ujung N dari protein untuk menambahkan situs enzim restriksi pada ujung 5’ dari gen (CAMBIA 2014). Senyawa 5-bromo-4-chloro-3-indolyl glucuronide (X-gluc) adalah senyawa kimia dengan formula C14H13BrClNO7 yang digunakan sebagai substrat atau reagen untuk deteksi aktivatas enzim GUS. Substrat ini bekerja dengan sangat baik dan menghasilkan presipitat berwarna biru pada tempat enzim bekerja. Produk dari aktivitas glucuronidase pada X-gluc tidak berwarna. Produk turunan indoxyl harus mengalami proses dimerisasi oksidatif untuk membentuk senyawa indigo dengan warna yang jelas. Proses dimerisasi ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan katalis oksidasi seperti campuran K + ferricyanide/ferrocyanide (Jefferson 1987; Lojda 1970). 2.4 Green Fluorescent Protein Green fluorescent protein (GFP) yang berasal dari Aequorea victoria banyak dimanfaatkan sebagai marka atau penanda untuk ekspresi gen baik pada organisme prokariot maupun eukariot. Ekspresi heterologous gen GFP pada E. coli dan Caenorhabditis elegans menunjukkan bahwa sel prokariot dan eukariot dapat menghasilkan pendaran berwarna hijau yang kuat ketika diberi cahaya biru. GFP tidak menghambat pertumbuhan dan fungsi sel sehingga merupakan indikator yang baik untuk proses transformasi (Chalfie et al. 1994). Fluorosensi GFP secara in vivo terjadi ketika protein menerima energi baik dari kompleks luciferase-oxyluciferin tereksitasi atau fotoprotein yang diaktifkan Ca2+. Sekuen cDNA dari GFP menyandikan polipeptida dengan panjang 238 residu asam amino dengan massa molekul 26,888 (Prasher et al. 1992). Terdapat berbagai macam kelas GFP dengan panjang gelombang eksitasi dan emisi yang beragam. GFP tipe
10
liar memiliki panjang gelombang eksitasi sebesar 395-397 dan panjang gelombang emisi sebesar 504 (Tsien 1998). Sheen et al. (1995) melaporkan bahwa GFP dapat diekspresikan pada sel tanaman hidup baik monokotil ataupun dikotil. Deteksi GFP dapat dilakukan dengan cepat, sederhana, dan ekonomis serta tidak membutuhkan produk gen tambahan, substrat, atau ko-faktor. Gen pelapor ini dapat digunakan untuk mengamati ekspresi gen, transduksi sinyal, kotransfeksi, transformasi, pergerakan dan lokalisasi protein, interaksi antar protein, pemisahan dan purifikasi sel, dan garis keturunan sel pada tanaman tingkat tinggi. pCAMBIA1303 membawa gen mgfp5 yang difusikan dengan gen gusA N358Q. GFPA adalah mutan dari GFP yang memiliki pendaran yang terang pada suhu 37oC. Gen mgfp5 adalah hasil modifikasi gen penyandi GFPA dengan beberapa perubahan kodon untuk menghindari potensi pengenalan sekuen intron oleh tanaman (Siemering et al. 1996). 2.5 Hygromycin dan Hygromycin Phosphotransferase Antibiotik untuk seleksi tanaman transforman yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hygromycin B (HygB). HygB adalah antibiotik yang diproduksi oleh bakteri Streptomyces hygroscopicus yang dapat mematikan bakteri, cendawan, dan sel eukariot tingkat tinggi dengan menghambat proses sintesis protein. HygB termasuk dalam aminoglikosida dan merupakan antibiotik kedua yang dihasilkan oleh S. hygroscopicus selain hygromycin A. HygB sangat larut dalam air dan methanol tetapi tidak larut pada pelarut yang kurang polar dibandingkan kedua pelarut tersebut. Formula dari antibiotik ini adalah C16H28N2O9-10 (Mann & Bromer 1958). Brodersen et al. (2000) menemukan bahwa HygB memiliki situs penempelan tunggal pada subunit 30S ribosom yang terletak dekat dengan pusat decoding. HygB menghalangi pergerakan dari Helix44 (H44), bagian ribosom yang bertanggung jawab dalam translokasi ketika proses translasi. Hal ini menyebabkan penghambatan proses translasi protein sehingga pertumbuhan sel menjadi terganggu dan dapat menyebabkan kematian sel. Marka seleksi adalah gen yang dimasukkan ke dalam sel dan ketika terekspresi memungkinkan sel tersebut dapat diseleksi menggunakan substrat tertentu. Marka seleksi umumnya berupa gen resistensi terhadap antibiotik. Gen hph yang menyandikan hygromycin B phosphotransferase (HPH) termasuk ke dalam kelompok marka seleksi. Gritz dan Davies (1983) menguji ekspresi gen hph pada E. coli dan Saccharomyces cerevisiae. Enzim HPH bekerja secara spesifik dengan melakukan fosforilasi pada hygromycin sehingga antibiotik menjadi tidak aktif. Gen hph pada plasmid pCAMBIA 1303 memiliki nama gen hptII.
11
3
BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu
Seluruh kegiatan penelitian akan dilakukan di Laboratorium Bioteknologi, Divisi Plant Production and Biotechnology PT. SMART Tbk. kelurahab Cijayanti, kecamatan Babakan Madang, Bogor. Penelitian akan dilaksanakan dari bulan Desember 2014 hingga Juli 2016. 3.2 Bahan Eksplan, Media, Buffer, Plasmid, dan Bakteri Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalus embriogenik kelapa sawit Tenera dengan kode 398-20 subkultur ke-22 dan 23 yang diperoleh dari Laboratorium Penelitian Kultur Jaringan PT. SMART Tbk. Kalus embriogenik yang digunakan adalah kalus dengan diameter 1-2 mm yang dipisahkan dengan cara disaring. Media proliferasi kalus yang digunakan adalah media EE. Media tersebut merupakan modifikasi dari media dasar MS0 (Murashige & Skoog 1962). Komposisi dari media EE adalah 1,650 ppm NH4NO3, 440 ppm CaCl2·2H2O, 370 ppm MgSO4·7H2O, 170 ppm KH2PO4, 1,900 ppm KNO3, 6.2 ppm H3BO3, 0.025 ppm CoCl2·6H2O, 0.025 ppm CuSO4·5H2O, 27.8 ppm FeSO4·7H2O, 16.9 ppm MnSO4·4H2O, 0.83 ppm KI, 0.25 ppm Na2MoO4·2H2O, 8.6 ppm ZnSO4·7H2O, 37.3 ppm Na2EDTA·2H2O, 100 ppm Myo-inositol, 2 ppm Glycine, 0.5 ppm Pyridoxine·HCl, 0.1 ppm Thiamine·HCl, 100 ppm Casein, 9,000 ppm agar, 50,000 ppm gula, 3.5 ppm NAA. Media perbanyakan bakteri A. tumefaciens adalah media LB dengan komposisi 10 g/L tripton, 5 g/L yeast extract, dan 10 g/L NaCl. Proses elektroporasi membutuhkan buffer sebagai media penghantar listrik. Komposisi buffer elektroporasi (buffer EPM) yang digunakan adalah 80 mM KCl, 5 mM CaCl2, 10 mM HEPES, dan 0.425 M mannitol dengan pH 7.2 (D’Halluin et al. 1992). Buffer fosfat dengan komposisi 20 mM KH2PO4.H20 dan 20 mM K2HPO4 dengan pH 7.0. Plasmid yang akan digunakan adalah pCAMBIA1303 yang membawa gen fusi antara gusA dan mgfp5 sebagai gen pelapor serta gen hptII (resistensi hygromycin) sebagai gen seleksi antibiotik. Plasmid tersebut diperoleh dari lembaga penelitian CAMBIA di Australia. Peta lengkap dari plasmid pCAMBIA 1303 disajikan pada gambar 4. Bakteri yang akan digunakan adalah bakteri A. tumefaciens LBA4404 pCAMBIA 1303. Bakteri ini membawa plasmid yang sama untuk proses elektroporasi yaitu pCAMBIA 1303. 3.3 Uji Dosis Letal Antibiotik Pada tahap ini, dilakukan pengujian terhadap daya hambat antibiotik hygromycin terhadap kalus embriogenik kelapa sawit yang akan digunakan untuk proses transformasi dengan metode elektroporasi. Kalus dipindahkan ke media EE yang masing-masing diberi antibiotik hygromycin dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, dan 35 ppm. Setiap perlakuan menggunakan 10 eksplan dengan
12
tiga kali ulangan. Pengamatan pada uji dosis antibiotik dilakukan hingga minggu ke-8. Data pengamatan jumlah kalus mati pada minggu ke-8 digunakan untuk analisis regresi dengan tujuan mengetahui pola pengaruh hygromycin terhadap kalus kelapa sawit. Hasil yang didapat akan dijadikan referensi untuk dosis optimum hygromycin pada tahap seleksi kalus transforman.
Gambar 4 Peta lengkap dari plasmid pCAMBIA 1303 (SnapGene 2014). 3.4 Optimasi Metode Elektroporasi Skema metode elektroporasi pada kalus embriogenik kelapa sawit disajikan pada gambar 5. Eksplan sebanyak 20 kalus berbentuk clump dimasukkan ke masing-masing kuvet (jarak elektroda 0.4 cm) yang sudah berisi buffer EPM + 5 ug plasmid pCAMBIA 1303. Inkubasi kuvet dilakukan pada suhu ruang selama 1 jam diikuti dengan inkubasi dalam es selama 10 menit. Inkubasi dalam es bertujuan untuk memimalisir kerusakan sel kalus akibat peningkatan suhu ketika proses elektroporasi. Kuvet dimasukkan ke dalam elektroporator dan diberi perlakuan dengan kekuatan medan listrik sebesar 250, 500, 750, 1,000, dan 1,250 V/cm dengan besar resistor 50 Ω dan kapasitor 960 uF. Clump kalus kemudian diinkubasi kembali dalam es selama 10 menit. Kalus-kalus kemudian dikeluarkan dari kuvet dan ditanam pada media EE + 0.2% Plant Preservative mixture (PPM)
13
(v/v) (Plant Cell Technology) pada kondisi pengkulturan yang sama dengan proses perbanyakan kalus. Pemberian PPM bertujuan mencegah kontaminasi pada kultur. Setiap perlakuan menggunakan tiga ulangan dengan masing-masing 20 eksplan kalus embriogenik. Seleksi dilakukan satu bulan setelah proses elektroporasi. Eksplan dipindahkan pada media EE + 0.2% PPM + 15 ppm hygromycin dan inkubasi dilakukan selama satu bulan. Pada setiap sub-kultur, konsentrasi hygromycin dinaikkan sebesar 5 ppm hingga mencapai konsentrasi letal. Pengamatan pertumbuhan kalus dilakukan setiap bulan untuk mengetahui perkembangan kalus hasil elektroporasi.
Gambar 5 Skema metode elektroporasi kalus embriogenik kelapa sawit. Pada proses elektroporasi dengan bakteri A. tumefaciens, ditambahkan 500 uL kultur bakteri OD600 ≈ 1. 3.5 Uji Ekspresi Transien Gen gusA Pengujian ekspresi transien bertujuan untuk mempelajari apakah plasmid dapat masuk ke dalam sel kalus dengan menggunakan metode elektroporasi. Metode uji gen gusA yang digunakan berdasarkan protokol yang dikemukakan oleh Jefferson et al. (1987). Proses uji ekspresi transien gen gusA dapat dilihat pada Gambar 6. Dari setiap perlakuan elektroporasi, diambil sebanyak tiga kalus
14
untuk uji ekspresi transien gen gusA. Kalus dimasukkan ke dalam tabung yang berisi buffer fosfat + 50 ppm X-gluc (Fermentas). Kalus diinkubasi dalam keadaan gelap pada suhu 28±1oC selama 16 jam. Kalus kemudian dikeluarkan dari tabung dan dikeringkan. Pengamatan terhadap kalus dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo.
Gambar 6 Proses uji transien gen gusA pada kalus embriogenik kelapa sawit hasil elektroporasi. 3.6 Transformasi dengan Elektroporasi dan A. tumefaciens Bakteri A. tumefaciens yang membawa plasmid pCAMBIA 1303 ditumbuhkan pada media LB cair yang diberi 50 ppm kanamisin. Kultur bakteri ditumbuhkan dalam kondisi gelap pada suhu 28oC selama 16 jam. Kultur bakteri yang sudah tumbuh disentrifugasi kemudian dicuci dengan menggunakan buffer EPM. Kultur bakteri kemudian dilarutkan dalam buffer EPM + 20 ppm acetosyringone dan konsentrasi kultur disesuaikan hingga OD600 ≈ 1. Kultur bakteri ini kemudian dimasukkan dimasukkan ke kuvet dan siap digunakan untuk perlakuan. Metode elektroporasi dengan bakteri A. tumefaciens hampir sama dengan metode elektroporasi secara langsung (Gambar 3.2). Kalus dimasukkan ke dalam kuvet-kuvet yang sudah berisi kultur A. tumefaciens. Inkubasi kuvet dilakukan pada suhu ruang selama 1 jam diikuti dengan inkubasi dalam es selama 10 menit. Kuvet dimasukkan ke dalam elektroporator dan diberi perlakuan dengan kekuatan medan listrik sebesar 250, 500, 750, 1,000, dan 1,250 V/cm dengan besar resistor 50 Ω dan kapasitor 960 uF. Kalus tanpa perlakuan elektroporasi (0 volt) digunakan sebagai kontrol. Kalus kemudian diinkubasi kembali dalam es selama 10 menit. Kalus-kalus kemudian dikeluarkan dari kuvet dan ditanam pada media EE + 20 ppm acetosyringone. Inkubasi dilakukan selama tiga hari untuk proses ko-kultivasi. Setelah itu, kalus dibersihkan dari sisa-sisa bakteri dengan menggunakan air steril + 300 ppm cefotaxime + 0.2% PPM. Kalus kemudian ditanam pada media EE + 300 ppm cefotaxime + 0.2% PPM. Setiap perlakuan menggunakan tiga ulangan dengan masing-masing 20 eksplan kalus embriogenik. Seleksi dilakukan satu bulan setelah proses elektroporasi dengan A. tumefaciens. Eksplan dipindahkan pada media EE + 300 ppm cefotaxime + 0.2% PPM + 15 ppm hygromycin dan inkubasi dilakukan selama satu bulan. Pada setiap
15
sub-kultur, konsentrasi hygromycin dinaikkan sebesar 5 ppm hingga mencapai konsentrasi letal. Pengamatan pertumbuhan kalus dilakukan setiap bulan untuk mengetahui perkembangan kalus hasil elektroporasi. 3.7 Analisis Molekuler Terhadap Kalus Hasil Elektroporasi Kalus-kalus yang dapat bertahan hidup setelah diseleksi dengan hygromycin hingga konsentrasi 25 ppm (4 bulan setelah elektroporasi), dijadikan sampel untuk analisis molekuler. DNA genom tanaman kelapa sawit diisolasi dari clump kalus yang dikumpulkan secara komposit dan berasal dari 3 ulangan dari setiap perlakuan. Sampel kalus diberi perlakuan DNAse terlebih dahulu sebelum proses isolasi DNA dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa plasmid dari proses elektroporasi. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan GenElute™ Plant Genomic DNA Miniprep Kit (Sigma) sesuai petunjuk pabrik. Kuantitas dan kualitas DNA diukur menggunakan NanoDrop 2000 UV-Vis Spectrophotometer (Thermo) dan elektroforesis. PCR dilakukan dengan menggunakan primer OP, HPT, dan HPTnest. Informasi terkait primer-primer tersebut disajikan pada Tabel 2. Kondisi PCR yang digunakan adalah sebagai berikut: 95oC selama 5 menit; 35 siklus: 95oC selama 30 detik, 55oC selama 30 detik, 72oC selama 1 menit; dan 72oC selama 10 menit. Skema proses PCR untuk konfirmasi genom kelapa sawit disajikan pada Gambar 7 dan skema proses nested PCR terhadap gen hptII disajikan pada gambar 8. Separasi DNA hasil PCR dilakukan melalui elektroforesis dengan gel agarosa 1% yang dilanjutkan dengan pewarnaan menggunakan etidium bromida. Visualisasi gel elektroforesis menggunakan Gel Doc EZ System (Bio-Rad). Tabel 2 Daftar primer-primer yang digunakan dalam analisis molekuler Primer OP F
Sekuen
HPT F
CGA AAT GGA CTG CTG AAG ATA AAG CAA ATA AAT TGA AGA GGA GC CCT GAA CTC ACC GCG ACG
HPT R
AAG ACC AAT GCG GAG CAT ATA
HPTnest F
GAT GTT GGC GAC CTC GTA TT
HPTnest R
GTG CTT GAC ATT GGG GAG TT
OP R
Situs Target Gen MADS-box kelapa sawit
Gen hptII gene pada plasmid pCAMBIA 1303
Ukuran DNA Produk (bp) 550
804 468
Produk PCR dipurifikasi terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan proses sekuensing oleh pihak ketiga (1st BASE, Singapura). Hasil sekuensing kemudian dibersihkan dari sekuen-sekuen pengotor kemudian disejajarkan dengan sekuen gen HPT pada pCAMBIA 1303 menggunakan perangkat lunak Megalign (DNASTAR, Amerika Serikat).
16
Gambar 7 Analisis PCR genom kalus embriogenik kelapa sawit kelapa sawit untuk gen MADS-box.
Gambar 8 Skema analisis molekuler gen hptII pada kalus embriogenik kelapa sawit kandidat transforman dengan metode nested PCR.
17
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji Dosis Letal Antibiotik pada Clump Kalus Kelapa Sawit Hasil pengamatan percobaan uji dosis letal hygromycin disajikan pada Tabel 3. Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga minggu ke-8 setelah proses pemindahan ke media dengan hygromycin. Kalus yang tidak berkembang atau berubah warna menjadi hitam menunjukkan kondisi kalus yang mati. Setelah 8 minggu masa tanam, hampir tidak ada kalus yang mati pada konsentrasi hygromycin 5 dan 10 ppm. Persentase kalus mati semakin meningkat seiring peningkatan dosis antibiotik. 90% kalus mati ketika ditumbuhkan pada media dengan konsentrasi hygromycin sebesar 35 ppm. Tabel 3 Persentase kalus embriogenik kelapa sawit yang mati pada percobaan uji dosis letal antibiotik hygromycin hingga 8 MSP Konsentrasi Jumlah kalus mati pada minggu ke-(MSP) Hygromycin (ppm) 1 4 8 0 0% 0% 0% 5 0% 0% 0% 10 0% 3.33 ± 5.77% 3.33 ± 5.77% 15 0% 13.33 ± 5.77% 16.67 ± 5.77% 20 10 ± 17.32% 30 ± 26.46% 30 ± 26.46% 25 0% 36.67 ± 35.12% 56.67 ± 25.17% 30 10 ± 10% 36.67 ± 23.09% 63.33 ± 25.17% 35 6.67 ± 11.55% 63.33 ± 35.12% 90 ± 17.32% Ket: MSP = Minggu Setelah Perlakuan
Dari data pengamatan pada minggu ke-8, dilakukan analisis regresi untuk mengetahui pola pengaruh besarnya dosis hygromycin terhadap kondisi kalus kelapa sawit (Gambar 9). Hasil analisis cukup baik menggambarkan pengaruh peningkatan dosis hygromycin terhadap kalus kelapa sawit. Persamaan regresi untuk dosis letal hygromycin adalah y = -2.5 + 0.33 x + 0.07 x2 dengan R2 = 80.8%, dimana y adalah persentasi kalus mati dan x menunjukkan konsentrasi hygromycin. Jika dihitung dari persamaan tersebut, konsentrasi yang dapat membunuh 100% kalus adalah 36.8 ppm hygromycin. Pada penelitian transformasi kelapa sawit, hygromycin merupakan salah satu antibiotik yang paling baik digunakan untuk seleksi sel transforman kelapa sawit. Parveez et al. (1996) menguji kemampuan penghambatan kanamycin, geneticin G-418, neomycin, hygromycin, dan basta terhadap kalus embriogenik kelapa sawit. Hygromycin dan basta pada konsentrasi 40 mg/L secara optimal dapat digunakan untuk seleksi kalus embriogenik kelapa sawit transforman. Pada penelitian lain, hygromycin dan basta dapat secara efektif membunuh embrio muda kelapa sawit pada konsentrasi 20 mg/L dalam waktu 8 minggu (Parveez et al. 2007). Abdullah et al. (2005) melaporkan hasil yang sedikit berbeda dimana pada konsentrasi 20 mg/L, hygromycin dan basta baru dapat membunuh seluruh
18
embrio muda kelapa sawit setelah 14 minggu. Konsentrasi yang dapat membunuh embrio muda dalam 8 minggu adalah sebesar 50 mg/L.
100 S R-Sq R-Sq(adj)
15.5073 82.5% 80.8%
y = -2.5 + 0.33 x + 0.07 x2
Persentase Kalus Mati (% )
80
60
40
20
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Konsentrasi Hygromycin Higromisin (ppm) Konsentrasi (ppm)
Gambar 9 Pengaruh dosis hygromycin terhadap kondisi kalus embriogenik kelapa sawit pada minggu ke-8 Evaluasi terhadap dosis letal hygromycin perlu dilakukan sebelum proses transformasi dan seleksi karena dosis letal tersebut mungkin berbeda terhadap eksplan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Hasil perhitungan dosis letal hygromycin dari percobaan ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrasi hygromycin pada referensi sebelumnya sebesar 40 ppm (Parveez et al. 1996). Berdasarkan hasil regresi, hygromycin dengan konsentrasi 36.8 ppm akan digunakan dalam proses seleksi kalus kandidat transforman pada tahap selanjutnya. 4.2 Uji Ekspresi Transien Gen gusA Uji ekspresi transien gen pelapor yang mudah untuk dideteksi merupakan langkah awal untuk mengetahui keberhasilan suatu metode tranformasi. Gen gusA merupakan gen pelapor yang umum digunakan untuk uji ekspresi gen transien pada proses transformasi tanaman. Beberapa eksplan yang telah diberi perlakuan elektroporasi, dijadikan sampel dalam tahap ini. Hasil pengamatan uji gusA disajikan pada Gambar 10. Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan dugaan dimana pada kalus hasil elektroporasi tanpa plasmid, warna kalus berubah menjadi biru. Kalus tanpa perlakuan (kontrol) juga berwarna sedikit biru. Intensitas warna biru semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kekuatan medan listrik yang digunakan. Elektroporasi dengan plasmid juga menghasilkan
19
perubahan warna yang serupa. Tidak ditemukan perbedaan antara hasil elektroporasi tanpa plasmid dan elektroporasi dengan plasmid. Hal ini menyebabkan uji gusA tidak dapat dijadikan uji awal untuk deteksi keberadaan plasmid dalam sel kalus hasil elektroporasi. Pemanfaatan gen gusA yang berasal dari bakteri E. coli untuk analisa ekspresi gen pada tanaman dikemukakan pertama kali oleh Jefferson et al. (1987). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa banyak tanaman tingkat tinggi tidak menunjukkan aktivitas enzim β-glucuronidase. Setelah penelitian tersebut, gen gusA banyak dikembangkan dan dimanfaatkan untuk uji ekspresi gen pada berbagai macam tanaman. Pada tanaman kelapa sawit, gen gusA juga telah dimanfaatkan untuk uji ekspresi gen pada jaringan kalus embriogenik (Parveez et al. 1997), jaringan embrio muda (Abdullah et al. 2005), dan jaringan embrio somatik (Mariani et al. 2015). Parveez et al. (1997) melaporkan bahwa ekspresi gen gusA tidak dapat dideteksi pada jaringan kalus kelapa sawit yang diberi perlakuan biolistik tanpa DNA dan jaringan kalus tanpa perlakuan biolistik. Ekspresi gen gusA juga tidak dapat dideteksi pada embrio muda kelapa sawit kontrol (Abdullah et al. 2005). Warna biru hanya dapat terlihat pada embrio muda yang ditransformasi dengan menggunakan A. tumefaciens. Hasil uji GUS pada penelitian ini (Gambar 4.2) menunjukkan hal yang berbeda dari penelitian-penelitian transformasi tersebut dimana terdapat ekspresi gen gusA yang dapat dideteksi pada kalus kontrol. Ekspresi gen gusA endogenus pada jaringan kelapa sawit pernah dilaporkan pada penelitian Parveez et al. (1998). Namun, informasi terkait dengan penemuan tersebut tidak dijelaskan secara detil sehingga sulit melakukan perbandingan dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini. Pada penelitian tersebut juga dilaporkan bahwa penambahan 20% methanol pada buffer pewarna uji GUS dapat mencegah ekspresi gen gusA endogenus tersebut. Ekspresi gen gusA endogenus juga telah dilaporkan pada tanaman-tanaman lain. Alwen et al. (1992) melaporkan ekspresi gen gusA endogenus pada tanaman tembakau, kentang, dan gandum. Penelitian tersebut menemukan bahwa gen endogenus tanaman memiliki aktivitas lebih tinggi pada pH 5.0 dan menurun pada pH 7.0. Ekspresi gen gusA endogenus seharusnya tidak mengganggu uji ekspresi gen gusA target jika dilakukan pada pH yang sesuai. Hasil yang serupa juga diperoleh pada tanaman sugarbeet (Wozniak & Owens 1994) dimana aktivitas enzim glucuronidase yang signifikan ditemukan pada jaringan tanaman kontrol. Aktivitas gen endogenus ini sangat dipengaruhi pH dimana aktivitas tertinggi ditemukan pada pH 4.0. Ekspresi dan regulasi gen endogenus gusA juga diamati pada berbagai jaringan tanaman model seperti Arabidopsis thaliana, padi, tembakau, dan jagung (Sudan et al. 2006).
20
A
B.2
B.1
1 mm
1 mm B.3
B.4
1 mm
1 mm B.5
1 mm
1 mm
C.1
C.2
1 mm C.3
C.4
1 mm
1 mm C.5
1 mm
1 mm
Gambar 10 Hasil uji ekspresi transien gen gusA pada kalus embriogenik kelapa sawit setelah perlakuan elektroporasi. A: Kalus tanpa perlakuan (kontrol); B: Elektroporasi tanpa plasmid; C: Elektroporasi dengan plasmid; 1: 250 V/cm, 2: 500 V/cm, 3: 750 V/cm, 4: 1,000 V.cm, 5: 1,250 V/cm. Sudan et al. (2006) menemukan bahwa enzim GUS berhubungan dengan pertumbuhan tanaman. Ekspresi gen gusA lebih tinggi pada jaringan muda yang sedang berkembang dibandingkan dengan jaringan yang lebih tua dan dewasa.
21
Kalus dapat dikelompokkan menjadi jaringan muda yang terus berkembang. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa ekspresi gen gusA dapat ditemukan pada kalus kelapa sawit. Selain itu, perlakuan elektroporasi diduga dapat memicu ekspresi gen ini. Intensitas warna biru yang terbentuk semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kekuatan medan listrik yang diberikan (Gambar 4.2). Hal ini disebabkan karena semakin tinggi kekuatan medan listrik maka semakin besar juga kerusakan sel yang dialami oleh jaringan kalus. Kerusakan pada sel akan memicu sel untuk melakukan perbaikan diri dengan meningkatkan ekspresi gengen terkait perbaikan sel. Gen gusA endogenus ini kemungkinan merupakan bagian dari gen-gen perbaikan sel tersebut. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui apakah benar gen gusA tersebut aktif ketika sel melakukan perbaikan diri. 4.3 Optimasi Parameter Elektroporasi Ukuran kalus awal yang digunakan untuk elektroporasi adalah sekitar 4 mm . Pertumbuhan kalus dibandingkan dengan ukuran kalus awal untuk melihat tingkat proliferasi kalus. Kalus yang hidup adalah kalus yang dapat berkembang dan berproliferasi. Data pengamatan dan hasil analisis statistik terhadap pertumbuhan kalus embriogenik kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 4. Proliferasi kalus yang paling baik dapat ditemukan pada perlakuan elektroporasi 250 V/cm. Pada perlakuan elektroporasi 1,250 V/cm, kalus hampir tidak dapat berkembang yang ditunjukkan oleh pertambahan ukuran kalus yang tidak signifikan dan paling rendah di antara perlakuan yang lain. Persentase kalus hidup paling rendah juga ditemukan pada perlakuan elektroporasi 1,250 V/cm. 2
Tabel 4 Pengaruh kekuatan medan listrik terhadap pertumbuhan kalus embriogenik kelapa sawit setelah 4 bulan masa tanam Kekuatan Medan Listrik (V/cm) 0 (Kontrol)
Jumlah Kalus dalam Ulangan 20
100
a
Jumlah kalus yang dihasilkan (mm2)## 978
250
11.33
57 ± 25
a
266.68
c
13.33
67 ± 36
a
156.94
14.9 ± 4.4
bc
15
75 ± 13
a
223.5
20
12.0 ± 2.2
c
13.5
68 ± 18
a
162
20
6.1 ± 0.2
c
16.33
18 ± 2
b
99.61
Ukuran Kalus (mm2)*
Jumlah kalus hidup
48.9 ± 5
a
20
20
23.6 ± 10.3
b
500
20
11.8 ± 3
750
20
1,000 1,250 KK (%)
26.57
Persentase Kalus Hidup*/#
17.25
* Nilai-nilai pada kolom tiap peubah yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α0.05 berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan. # Transformasi data dengan √x dilakukan untuk memenuhi distribusi normal. Data yang ditampilkan adalah data rata-rata aktual. ## Jumlah kalus yang dihasilkan merupakan perkalian antara ukuran kalus dengan jumlah kalus hidup.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan kalus kontrol berbeda nyata terhadap kalus hasil perlakuan elektroporasi. Proliferasi kalus pada perlakuan 250 V/cm berbeda nyata terhadap seluruh perlakuan lain kecuali
22
perlakuan 750 V/cm. Proliferasi kalus pada perlakuan elektroporasi 500 hingga 1,250 V/cm tidak berbeda nyata. Data yang kurang sesuai ditemukan pada perlakuan 500 V/cm. Jika melihat pola tingkat proliferasi dari data yang diperoleh, tingkat proliferasi perlakuan 500 V/cm seharusnya berada diantara tingkat proliferasi perlakuan 250 V/cm dan 750 V/cm. Pada data yang diperoleh, tingkat proliferasi pada perlakuan 500 V/cm lebih rendah dibanding perlakuan 750 V/cm. Hal ini mungkin disebabkan karena ragam pertumbuhan kalus yang besar. Persentase kalus hidup pada perlakuan 1,250 V/cm berbeda nyata terhadap seluruh perlakuan lain. Akan tetapi, tidak ditemukan perbedaan nyata di antara persentase kalus hidup pada perlakuan 250 hingga 1,000 V/cm. Hal ini menunjukkan bahwa ragam pertumbuhan kalus yang digunakan cukup besar sehingga persentase kalus hidup menjadi tidak berbeda nyata pada sebagian besar perlakuan. Hal ini menyebabkan data persentase kalus hidup ini tidak dapat digunakan untuk menentukan metode elektroporasi yang optimal. Jumlah kalus yang dihasilkan diperoleh dari perkalian rata-rata ukuran kalus dengan rata-rata jumlah kalus yang selamat setelah seleksi dengan hygromycin. Perlakuan kontrol memiliki jumlah kalus yang dihasilkan paling tinggi dan berbeda secara signifikan dengan hasil perlakuan elektroporasi. Dari data ini dapat dilihat bahwa perlakuan elektroporasi 250 V/cm memiliki jumlah kalus yang dihasilkan paling tinggi diantara perlakuan elektroporasi lainnya. Pengamatan visual dan pengambilan gambar dilakukan pada kalus hasil percobaan yang berumur 4 bulan setelah perlakuan (Gambar 11). Pertumbuhan kalus-kalus hasil elektroporasi terlihat tidak seragam. Hal ini adalah masalah yang ditemukan pada penggunaan eksplan kalus embriogenik kelapa sawit dimana cukup sulit mendapatkan unit percobaan dengan pertumbuhan yang seragam. Pertumbuhan kalus kontrol (Gambar 11A) sangat baik jika dibandingkan dengan kalus yang diberi perlakuan elektroporasi (Gambar 11B-F). Pertumbuhan kalus hasil elektroporasi 250-750 V/cm relatif lebih baik dibandingkan pertumbuhan kalus hasil elektroporasi 1,000-1,250 V/cm. A
B
C
D
E
F
Gambar 11 Hasil pengamatan visual terhadap kalus embriogenik kelapa sawit yang sudah diberi perlakuan elektroporasi. A: Kontrol; B: 250 V/cm; C: 500 V/cm; D: 750 V/cm; E: 1,000 V/cm; F: 1,250 V/cm.
23
Kekuatan medan listrik merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat keberhasilan elektroporasi. Kekuatan medan listrik juga merupakan faktor atau parameter yang dapat diatur ketika melakukan elektroporasi. Durasi elektroporasi dapat diketahui tetapi tidak dapat diatur dikarenakan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis elektroporator exponential wave dimana parameter yang dapat diatur hanya tegangan listrik, resistensi, dan kapasitansi. Durasi elektroporasi dalam percobaan ini berkisar antara 17.3 hingga 22.5 ms (miliseconds) dengan rata-rata 19.9 ms (data tidak ditunjukkan). Resistensi dan kapasitansi tidak secara signifikan mempengaruhi durasi elektroporasi. Oleh karena itu, optimasi hanya dilakukan terhadap kekuatan medan listrik karena parameter ini paling mudah untuk dikendalikan. Kalus embriogenik dipilih sebagai eksplan target karena memiliki tingkat proliferasi dan regenerasi yang tinggi. Hal ini sangat penting karena proses regenerasi tanaman kelapa sawit melalui kultur jaringan merupakan proses yang panjang dan cukup sulit dilakukan. Penggunaan kalus embriogenik dapat memperbesar kemungkinan memperoleh tanaman kelapa sawit transgenik karena jenis kalus tersebut memiliki potensi besar untuk membentuk tanaman utuh. Eksplan yang serupa juga digunakan dalam penelitian transformasi tanaman kelapa sawit dengan menggunakan teknik biolistik (Parveez et al. 1996; 1997; 1998; Parveez 2000) dan transformasi menggunakan A. tumefaciens (Izawati et al. 2012). Elektroporasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan kalus dimana semakin besar kekuatan medan listrik yang digunakan maka pertumbuhan kalus semakin menurun. Saunders et al. (1995) menemukan bahwa semakin tinggi kekuatan medan listrik dalam elektroporasi maka viabilitas sel tanaman akan semakin menurun sedangkan kemampuan sel menyerap molekul di sekitarnya akan semakin meningkat. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa elektroporasi dapat menyebabkan induksi pori-pori atau area permeabel pada membran sel jika kekuatan medan listrik ketika elektroporasi mampu melampaui ambang batas tertentu dalam suatu durasi. Jika tegangan listrik tidak dapat melampaui batas tersebut, maka membran sel tidak akan menjadi permeabel. Akan tetapi, jika tegangan listrik terlalu jauh melampaui batas tersebut, maka kerusakan membran tidak dapat diperbaiki sehingga sel menjadi mati. Hal yang serupa ditemukan pada pertumbuhan kalus dari perlakuan elektroporasi 1,250 V/cm. Kekuatan medan listrik terlalu besar sehingga menyebabkan kerusakan membrane yang tidak dapat diperbaiki. Hal ini menyebabkan kalus tidak dapat berkembang dan mati. Berdasarkan data pertumbuhan kalus yang diperoleh dari setiap perlakuan elektroporasi, kekuatan medan listrik sebesar 250 V/cm adalah parameter yang dianjurkan untuk elektroporasi kalus kelapa sawit. Pertumbuhan kalus dari perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan petumbuhan kalus dari perlakuanperlakuan elektroporasi lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena kerusakan yang diterima kalus relatif lebih kecil sehingga kalus dapat lebih cepat memperbaiki diri dan tumbuh dengan baik. Pertumbuhan yang cepat akan menghasilkan jumlah kalus kandidat transforman yang lebih banyak. Jika melihat dari referensi-referensi penelitian elektroporasi tanaman (Tabel 2.1), kekuatan medan listrik yang digunakan sangat bervariasi mulai dari 50 V/cm hingga 1,000 V/cm. Jenis eksplan yang digunakan juga bervariasi dan umumnya
24
merupakan jaringan yang memiliki potensi besar untuk dapat diregenerasikan menjadi tanaman utuh. Perbandingan metode-metode tersebut secara langsung memang tidak dapat dilakukan karena jenis eksplan dan komoditi yang berbedabeda, akan tetapi metode-metode tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam optimasi metode elektroporasi pada kelapa sawit. Luong et al. (1995) melaporkan bahwa dengan kekuatan medan listrik 1,000 V/cm, jaringan tanaman singkong mengalami kerusakan dan ekspresi GUS transien tidak dapat dideteksi. Kalus kelapa sawit pada percobaan ini masih dapat bertahan hidup setelah elektroporasi dengan kekuatan medan listrik 1,000 V/cm, akan tetapi pertumbuhan kalus menjadi terhambat dan terus menurun pada kekuatan medan listrik 1,250 V/cm. Pada umumnya, kekuatan medan listrik yang digunakan pada penelitian-penelitian elektroporasi berkisar antara 250-750 V/cm. Kekuatan medan listrik sebesar 250-750 V/cm juga merupakan parameter yang cukup baik digunakan untuk elektroporasi kelapa sawit. Penelitian-penelitian transformasi tanaman yang menggunakan elektroporasi umumnya menggunakan protoplas sebagai eksplan. Transformasi genetik yang menggunakan protoplas membutuhkan (i) protokol regenerasi yang efektif dari protoplas hingga menjadi tanaman transgenik fertil dan tidak kimerik, (ii) pengembangan protokol regenerasi yang spesifik untuk genotipe tertentu, (iii) waktu kultivasi in vitro yang panjang dan dapat menyebabkan alterasi epigenetik, dan (iv) teknik pengerjaan yang khusus (Quecini & Vieira 2001). Pengembangan transformasi dengan menggunakan eksplan protoplas mumbutuhkan penelitianpenelitian pendahuluan yang cukup panjang. Oleh karena itu, elektroporasi jaringan tanaman seperti yang dilakukan pada penelitian ini dapat dijadikan metode alternatif untuk transformasi tanaman. Jumlah referensi penelitian elektroporasi terhadap jaringan tanaman hingga saat ini masih sangat terbatas. Teknik elektroporasi memang tidak umum digunakan pada transformasi jaringan tanaman, akan tetapi memiliki potensi yang besar jika dikembangkan lebih lanjut. Sorokin et al. (2000) menyatakan bahwa elektroporasi jaringan memiliki beberapa keuntungan potensial dibandingkan transformasi dengan biolistik dan Agrobacterium seperti: viabilitias sel yang tinggi setelah aplikasi elektroporasi, tingkat penghantaran DNA yang lebih tinggi, dapat digunakan pada sel tunggal atau kumpulan sel, dan efisiensi seleksi yang tinggi karena baik sel transforman maupun non-transforman memiliki kondisi yang sama setelah proses elektroporasi. Metode elektroporasi dapat digunakan jika protokol regenerasi tanaman dari eksplan target sudah tersedia. Transformasi tanaman kelapa sawit telah dilakukan dengan metode biolistik/ particle bombardment (Abdullah et al. 2005; Bahariah et al. 2013; Parveez et al. 1996, 1997, 1998, 2007; Parveez 2000), Agrobacterium tumefaciens (Abdullah et al. 2005; Izawati et al. 2012; Mariani et al. 2015), transfeksi menggunakan PEG, dan mikroinjeksi DNA (Masani et al. 2014). Metode mikroinjeksi DNA memiliki efisiensi transformasi tertinggi yaitu 14% dibandingkan metode lain seperti transfeksi menggunakan PEG (4.76%), biolistik (1%), dan A. tumefaciens (0.7%) (Masani et al. 2014). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa transformasi tanaman kelapa sawit merupakan proses yang tidak mudah dilakukan. Efisiensi transformasi pada tanaman kelapa sawit lebih rendah jika dibandingkan tanaman lain seperti padi (46%) (Sahoo et al. 2011), tembakau (50%) (An 1985), dan kentang (58.4%) (Sarker et al. 2009). Efisiensi transformasi
25
dengan menggunakan elektroporasi belum dapat ditentukan dari hasil penelitian ini karena proses regenerasi tanaman belum selesai dilakukan. Hasil yang diharapkan adalah efisiensi transformasi yang lebih dibandingkan dengan metodemetode transformasi yang umum digunakan seperti biolistik dan transformasi menggunakan A. tumefaciens. 4.4 Transformasi dengan Elektroporasi dan A. tumefaciens Pada tahap penelitian ini, metode elektroporasi dikombinasikan dengan metode transformasi menggunakan bakteri A. tumefaciens. Pengamatan visual kalus hasil perlakuan pada bulan ke-4 disajikan pada Gambar 12. Kalus-kalus tidak berkembang dan cenderung menuju fase kematian. Pada perlakuan tanpa elektroporasi dan elektroporasi 250 V/cm, sebagian besar kalus mati yang ditandai dengan perubahan warna kalus menjadi hitam. Kalus-kalus pada perlakuan yang lain tetap hidup tetapi tidak berkembang. Kalus-kalus pada seluruh perlakuan tidak dapat berkembang. Walaupun kalus-kalus tidak menunjukkan kondisi mati, kalus tidak berproliferasi seperti pada perlakuan tranformasi dengan menggunakan elektroporasi tanpa A. tumefaciens. Kalus-kalus yang langsung ditransformasi dengan menggunakan A. tumefaciens (Gambar 12A) juga tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Hal ini sepertinya disebabkan oleh kondisi eksplan kalus yang kurang baik pada tahap percobaan ini. Kalus yang ideal digunakan untuk proses penelitian adalah kalus dengan jumlah subkultur di bawah 18 kali. Kalus-kalus yang digunakan dalam penelitian ini sudah mencapai tahap subkultur ke-23 sehingga laju perkembangannya semakin menurun. Eksplan clump kalus dengan fase subkultur yang sama juga tidak berproliferasi walaupun tidak diberi perlakuan (data tidak ditunjukkan). Keberhasilan transformasi dengan kombinasi metode elektroporasi dan A. tumefaciens tidak dapat dibuktikan dari hasil penelitian ini. A
B
C
D
E
F
Gambar 12 Hasil pengamatan visual terhadap kalus embriogenik kelapa sawit yang sudah diberi perlakuan elektroporasi + A. tumefaciens. A: Tanpa elektroporasi; B: 250 V/cm; C: 500 V/cm; D: 750 V/cm; E: 1,000 V/cm; F: 1,250 V/cm.
26
4.5 Analisis Molekuler terhadap Clump Kalus Hasil Elektroporasi Analisis PCR dilakukan pada kalus-kalus yang berproliferasi pada media seleksi yang mengandung hygromycin sebesar 25 ppm (4 bulan setelah perlakuan). Beberapa kalus pada perlakuan yang sama dikumpulkan untuk mendapatkan jumlah sampel yang cukup untuk isolasi DNA. Primer OP digunakan sebagai kontrol internal terhadap genom sawit. Hasil PCR dengan primer OP disajikan pada Gambar 13A. Hasil positif ditunjukkan dengan pita berukuran sedikit di atas 500 bp. Pita tidak ditemukan pada sampel plasmid pCAMBIA 1303 dan kontrol negatif. Selain kedua sampel tersebut, pita dapat ditemukan di semua sampel yang diuji. Kontrol internal digunakan untuk melakukan konfirmasi terhadap DNA tanaman kelapa sawit. Seluruh sampel DNA kalus dari hasil elektroporasi merupakan genom kelapa sawit. Selain itu, hasil ini juga menunjukkan bahwa proses PCR dapat dilakukan dengan baik pada sampel-sampel yang diuji. Pita tidak ditemukan pada sampel plasmid pCAMBIA 1303 karena pada plasmid tersebut tidak terdapat situs penempelan primer OP. Proses selanjutnya adalah PCR dengan menggunakan primer HPT pada sampel-sampel hasil elektroporasi. Pita dengan ukuran sekitar 750 bp hanya ditemukan pada sampel plasmid pCAMBIA 1303 yang merupakan kontrol positif (Gambar 13B). PCR dengan template plasmid pasti menghasilkan pita karena primer HPT spesifik menempel pada gen resistensi hygromycin yang ada pada plasmid pCAMBIA 1303. Hasil PCR gen HPT ini digunakan sebagai template untuk proses PCR selanjutnya (nested PCR) menggunakan primer HPTnest. Primer ini memiliki situs penempelan pada produk PCR yang dihasilkan pada proses PCR pertama Pita-pita dengan ukuran sekitar 500 bp ditemukan pada sampel DNA kalus hasil elektroporasi (Gambar 13C). Pita dapat ditemukan pada seluruh perlakuan elektroporasi. Pita serupa juga ditemukan pada sampel plasmid pCAMBIA 1303 walaupun dapat ditemukan pita-pita tidak spesifik pada lajur yang sama. Pita hanya ditemukan pada DNA dari kalus hasil elektroporasi dan kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa produk PCR merupakan hasil amplifikasi gen HPT yang terdapat di dalam kalus. Analisis molekuler dengan metode PCR merupakan salah satu tahap penting untuk mengetahui keberhasilan proses transformasi. Pita-pita spesifik baru ditemukan ketika dilakukan nested PCR pada sampel yang diuji. Pita-pita tidak muncul ketika proses PCR pertama dengan gen HPT (Gambar 13B). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah gen target yang terintegrasi ke dalam genom sawit tidak cukup banyak jika dibandingkan total sampel DNA kalus. Populasi sel transforman lebih sedikit dibandingkan dengan sel yang bukan transforman. Jumlah template DNA yang sedikit akan berakibat pada rendahnya produk PCR yang terbentuk. Produk PCR sebenarnya terbentuk ketika proses PCR pertama tetapi jumlahnya tidak cukup banyak untuk dapat divisualisasi. Oleh karena itu, PCR kedua (nested PCR) dilakukan untuk memperkuat hasil amplifikasi dari proses PCR pertama.
27
A. Primer OP M 1 2
3
4
5
6
7
B. Primer HPT M 1 2
3
4
5
6
7
C. Primer HPTnest M 1 2
3
4
5
6
7
8
9
M
8
9
M
8
9
M
750 bp
500 bp
750 bp 500 bp
A. OP Primers 750 bp 500 bp
Gambar 13 Hasil analisis molekuler terhadap kalus embriogenik kelapa sawit hasil elektroporasi. A: PCR dengan primer OP; B: PCR dengan primer HPT; C: PCR dengan primer HPTnest. M: Marker 1 kb ladder; eksplan hasil elektroporasi dengan kekuatan medan listrik, 1: 250 V/cm, 2: 500 V/cm, 3: 750 V/cm, 4: 1,000 V/cm, 5: 1,250 V/cm; 6: genom kelapa sawit; 7: kalus yang direndam dalam plasmid tanpa elektroporasi; 8: plasmid pCAMBIA 1303; 9: kontrol negatif (ddH2O). Pita-pita hasil nested PCR yang menunjukkan hasil positif dapat ditemukan di semua perlakuan elektroporasi (Gambar 4.5C). Hal ini menunjukkan bahwa DNA target dapat masuk ke dalam sel kalus kelapa sawit pada setiap kekuatan medan listrik yang digunakan dalam elektroporasi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa kemungkinan besar integrasi gen target ke dalam genom telah terjadi karena analisis PCR dilakukan pada sel-sel yang telah berproliferasi. Analisis lebih lanjut akan dilakukan pada tanaman-tanaman transforman yang nantinya
28
berkembang dari kalus-kalus hasil elektroporasi ini. D’Halluin et al. (1992), Sorokin et al. (2000), He et al. (2001), dan Hagio (2009) berhasil mendeteksi keberadaan gen target pada progeni dari tanaman transforman sedangkan Fernandez-Da Silva & Menendez-Yuffa (2003) berhasil melakukannya pada embrio sekunder. Walaupun analisis gen target dalam penelitian ini belum dapat dilakukan hingga tahap progeni, hasil penelitian yang didapat memiliki indikasi positif terhadap keberhasilan transformasi. Proses lebih lanjut adalah sekuensing terhadap pita positif yang muncul pada hasil nested PCR. Pensejajaran hasil-hasil sekuensing dari setiap perlakuan dilakukan terhadap sekuen gen hptII yang terdapat pada plasmid pCAMBIA 1303 (Gambar 14). Seluruh sekuen sampel yang diuji memiliki kecocokan yang tinggi terhadap sekuen gen hptII pada plasmid pCAMBIA 1303. Hal ini menunjukkan bahwa pita positif yang muncul pada nested PCR berasal dari amplifikasi gen hptII yang berhasil masuk ke dalam kalus kelapa sawit.
Gambar 14 Pensejajaran hasil sekuensing produk nested PCR dari kalus embriogenik kelapa sawit hasil elektroporasi terhadap sekuen gen hptII pada plasmid pCAMBIA 1303.
29
Keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode transformasi tanaman dengan menggunakan elektroporasi dapat dilakukan pada jaringan kalus kelapa sawit. Efisiensi transformasi belum dapat diketahui karena tanaman transgenik sedang dalam tahap regenerasi dan jumlah tanaman transforman belum dapat dihitung. Walaupun regenerasi kalus transforman hingga menjadi tanaman utuh masih dalam proses, keberadaan gen target dalam kalus sudah dapat dikonfirmasi. Konfirmasi ini sangat penting untuk dilakukan karena uji ekspresi transien gen pelapor tidak dapat dilakukan pada kalus kelapa sawit. Keberhasilan transformasi gen dengan elektroporasi mencapai 100% karena gen target dapat ditemukan pada kalus-kalus dari seluruh perlakuan. Kalus-kalus kandidat transforman terus diseleksi dan konsentrasi hygromycin dalam media seleksi terus ditingkatkan hingga mencapai dosis letal. Tanaman transgenik sebelum dapat dilepas dan diedarkan harus melewati serangkaian proses pengkajian (PPRI 2005). Proses pengkajian dimulai dari evaluasi dan kajian teknis keamanan hayati yang dilakukan oleh Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH) atas penugasan dari Komisi Keamanan Hayati (KKH). Jika tanaman transgenik lolos kajian dan masyarakat tidak berkeberatan maka maka KKH akan merekomendasikan tanaman tersebut ke Mentri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berwenang. Keamanan hayati yang diuji meliputi keamanan lingkungan, pangan, dan/atau pakan. Tanaman transgenik yang telah memperoleh rekomendasi keamanan hayati baru dapat diberikan izin pelepasan atau peredaran oleh Mentri atau kepala LPND yang berwenang. Tanaman kelapa sawit transgenik yang berhasil diregenerasi nantinya harus melewati prosedur yang serupa sebelum dapat dimanfaatkan dalam perkebunan. Metode elektroporasi untuk transformasi tanaman kelapa sawit masih dapat dikembangkan lagi pada penelitian selanjutnya. Penelitian yang dilakukan merupakan langkah awal dalam pemanfaatan elektroporasi dalam transformasi tanaman kelapa sawit. Keberhasilan transformasi dalam penelitian ini memberikan indikasi positif terhadap potensi elektroporasi untuk transformasi. 4.6 Protokol Elektroporasi Kalus Embriogenik Kelapa Sawit Berikut ini adalah protokol optimal transformasi dengan elektroporasi yang berhasil didapatkan dari penelitian ini: 1. Eksplan yang digunakan adalah kalus embriogenik kelapa sawit dengan diameter 1-2 mm. 2. Kalus dimasukkan ke dalam kuvet elektroporasi (jarak elektroda 0.4 cm) yang berisi 500 uL buffer EPM + 5 ug plasmid pCAMBIA 1303. Jumlah kalus dalam satu kuvet adalah 20 kalus. Komposisi buffer EPM: 80 mM KCl 5 mM CaCl2 10 mM HEPES 0.425 M mannitol pH 7.2 3. Inkubasi dilakukan selama satu jam pada suhu ruang yang diikuti dengan inkubasi es selama 10 menit
30
4. Kuvet dimasukkan ke dalam elektroporator (jenis exponential wave) lalu diberi tegangan listrik Kondisi elektroporasi: Kekuatan medan listrik : 250 V/cm Resistensi : 50 Ω Kapasitansi : 960 uF 5. Inkubasi kembali dalam es selama 10 menit. 6. Kalus dikeringkan kemudian dipindahkan ke media EE + 0.2% Plant Preservative Mixture (PPM) (v/v). Satu petri media berisi 20 kalus Komposisi media EE: Media dasar MS0 3.5 ppm NAA 7. Inkubasi di ruang kultur pada suhu 28oC dalam kondisi gelap selama 1 bulan 8. Kalus dipindahkan pada Media EE + 0.2% PPM + 15 ppm hygromycin 9. Subkultur dilakukan satu bulan sekali dan konsentrasi hygromycin ditingkat sebesar 5 ppm pada setiap subkultur hingga mencapai konsentrasi 36.8 ppm. 10. Analisis molekuler mulai dapat dilakukan 4 bulan setelah elektroporasi.
31
5
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Uji dosis letal antibiotik hygromycin dan optimasi kekuatan medan listrik untuk transformasi clump kalus embriogenik kelapa sawit telah dilakukan pada penelitian ini. Dosis letal antibiotik hygromycin terhadap kalus embriogenik sesuai dengan analisis regresi adalah 36.8 ppm. Uji transien gen gusA tidak dapat digunakan pada kalus kelapa sawit karena terdapat ekspresi gen endogenus mirip gusA yang tinggi pada kalus kelapa sawit. Analisis PCR dan sekuensing menunjukkan bahwa gen hptII dapat ditemukan pada seluruh kalus hasil perlakuan dan hal ini menunjukkan tingkat keberhasilan transformasi yang mencapai 100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode elektroporasi dapat digunakan untuk memasukkan gen spesifik ke dalam kalus embriogenik kelapa sawit dan medan listrik paling optimal untuk elektroporasi adalah 250 V/cm. Metode elektroporasi dengan menggunakan bakteri A. tumefaciens tidak berhasil dilakukan dikarenakan clump kalus mati setelah perlakuan elektroporasi. Metode elektroporasi merupakan metode transformasi yang mudah dilakukan dan relatif lebih ekonomis serta dapat dikembangkan lebih lanjut lagi untuk mendapatkan protokol yang lebih baik. 5.2 Saran Saran untuk penelitian selanjutnya adalah pemilihan kondisi kalus yang lebih baik dan seragam sehingga tidak menimbulkan bias ketika dilakukan analisis. Jumlah kalus yang digunakan dalam perlakuan mungkin sebaiknya ditingkatkan. Kalus embriogenik kelapa sawit yang digunakan sebaiknya kalus pada tahap subkultur di bawah subkultur ke-18 agar tingkat proliferasi kalus masih baik. Konsentrasi dan topologi DNA plasmid yang digunakan mungkin dapat diuji pada penelitian selanjutnya. Pemanfaatan gen pelapor lain seperti gen gfp dapat digunakan untuk menggantikan gen gusA sehingga uji ekspresi transien gen dapat dilakukan.
32
DAFTAR PUSTAKA Abdullah R, Zainal A, Heng WY, Li LC, Beng YC, Phing LM, Sirajuddin SA, Ping WYS, Joseph JL, Jusoh SA. 2005. Immature embryo: A useful tool for oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) genetic transformation studies. Electronic J Biotechnol. 8(1):24-34. Agarwal PK, Agarwal P, Reddy MK, Sopory SK. 2006. Role of DREB transcription factors in abiotic and biotic stress tolerance in plants. Plant Cell Rep. 25(12):1263-1274. Alwen A, Moreno RMB, Vicente O, Heberle-Bors E. 1992. Plant endogenous βglucuronidase activity: how to avoid interference with the use of the E. coli β-glucuronidase as a reporter gene in transgenic plants. Transgenic Res. 1(2):63-70. An G. 1985. High efficiency transformation of cultured tobacco cells. Plant Physiol. 79(2):568-570. Bahariah B, Parveez GKA, Masani MYA, Masura SS, Khalid N, Othman RY. 2013. Biolistic transformation of oil palm using the phosphomannose isomerase (pmi) gene as a positive selectable marker. Biocatal Agric Biotechnol. 2(4):295-304. BES. 2017. Electroporation. [diunduh 2017 Jan 31]. Tersedia pada: http://www.bioelectrochemical-soc.org/general/electroporation.php Brodersen DE, Clemons Jr. WM, Carter AP, Morgan-Warren RJ, Wimberly BT, Ramakrishnan V. 2000. The structural basis for the action of the antibiotics tetracycline, pactamycin, and hygromycin B on the 30S ribosomal subunit. Cell. 103(7):1143-1154. CAMBIA. 2014. What versions of the gus genes are used in the pCAMBIA vectors? [diunduh 2014 Des 04]. Tersedia pada: http://www.cambia.org/daisy/cambia/1202.html Chalfie M, Tu Y, Euskirchen G, Ward WW, Prasher DC. 1994. Green fluorescent protein as a marker for gene expression. Science 263(5148):802-805. D'Halluin K, Bonne E, Bossut M, De Beuckeleer M, Leemans J. 1992. Transgenic maize plants by tissue electroporation. Plant Cell. 4(12):1495-1505. Da Silva RF, Menéndez-Yuffá A. 2003. Transient gene expression in secondary somatic embryos from coffee tissues electroporated with the genes gus and bar. Electronic J Biotechnol. 6(1):11-12. Dubouzet JG, Sakuma Y, Ito Y, Kasuga M, Dubouzet EG, Miura S, Seki M, Shinozaki K, Yamaguchi‐Shinozaki K. 2003. OsDREB genes in rice, Oryza sativa L., encode transcription activators that function in drought‐, high‐salt‐ and cold‐responsive gene expression. Plant J. 33(4):751-763. FAO. 2014. Food and Agriculture Organization of the United Nations Statistics Division. [diunduh 2014 Sep 30]. Tersedia pada: http://faostat3.fao.org/faostat-gateway/go/to/browse/Q/QC/E Gehl J. 2003. Electroporation: theory and methods, perspectives for drug delivery, gene therapy and research. Acta Physiol Scand. 177(4):437-447. Hagio T. 2009. Direct gene transfer into plant mature seeds via electroporation after vacuum treatment. Di dalam: Nakamura H, editor. Electroporation and Sonoporation in Developmental Biology. Tokyo (JP): Springer Japan. hlm. 285-293.
33
He GY, Lazzeri PA, Cannell ME. 2001. Fertile transgenic plants obtained from tritordeum inflorescences by tissue electroporation. Plant Cell Rep. 20(1):67-72. Izawati AMD, Parveez GKA, Masani MYA. 2012. Transformation of oil palm using Agrobacterium tumefaciens. Di dalam: Dunwell JM, Wetten AC, editor. Transgenic Plants. New York (US): Humana Press. hlm.177-188 Jefferson RA. 1987. Assaying chimeric genes in plants: the GUS gene fusion system. Plant Mol Biol Rep. 5(4):387-405. Jefferson RA, Burgess SM, Hirsh D. 1986. beta-Glucuronidase from Escherichia coli as a gene-fusion marker. Proceedings of the National Academy of Sciences. 83(22):8447-8451. Jefferson RA, Kavanagh TA, Bevan MW. 1987. GUS fusions: beta-glucuronidase as a sensitive and versatile gene fusion marker in higher plants. EMBO J. 6(13):3901. Kementan. 2014. Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Perkebunan di Indonesia. [diunduh 2014 Sep 30]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id/Indikator/tabel-3-prod-lsareal-prodvitas-bun.pdf Kushairi A, Tarmizi AH, Zamzuri I, Ong-Abdullah M, Samsul KR. 2010. Production, performance and advances in oil palm tissue culture. Di dalam: International Seminar on Advances in Oil Palm Tissue Culture. 2010. Yogyakarta, Indonesia. Le V. 2010. Co-transformation of Oil Palm Using Agrobacterium-Mediated Transformation. [diunduh 2012 Mei 30]. Tersedia pada: http://precedings.nature.com/documents/5441/version/1 Liu Q, Kasuga M, Sakuma Y, Abe H, Miura S, Yamaguchi-Shinozaki K, Shinozaki K. 1998. Two transcription factors, DREB1 and DREB2, with an EREBP/AP2 DNA binding domain separate two cellular signal transduction pathways in drought-and low-temperature-responsive gene expression, respectively, in Arabidopsis. Plant Cell. 10(8):1391-1406. Lojda Z. 1970. Indigogenic methods for glycosidases. Histochemie. 23(3):266288. Low ETL, Alias H, Boon SH, Shariff EM, Tan CYA, Ooi LC, Cheah SC, Raha AR, Wan KL, Singh R. 2008. Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) tissue culture ESTs: identifying genes associated with callogenesis and embryogenesis. BMC Plant Biol. 8(1): 62. Luong HT, Shewry PR, Lazzeri PA. 1995. Transient gene expression in cassava somatic embryos by tissue electroporation. Plant Sci.107(1):105-115. Mann RL, Bromer WW. 1958. The isolation of a second antibiotic from Streptomyces hygroscopicus. J Am Chem Soc. 80(11):2714-2716. Mariani TS, Ermavitalini D, Mitsutaka T, Chia TF, Miyake H. 2015. GUS gene expression in somatic embryo of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Asian J Appl Sci. 3(5):649-650. Masani MYA, Parveez GKA. 2008. Development of transformation vectors for the production of potentially high oleate transgenic oil palm. Electron J Biotechnol. 11(3):23-31. Masani MYA, Parveez GKA, Izawati AMD, Lan CP, Siti Nor Akmar A. 2009. Construction of PHB and PHBV multiple-gene vectors driven by an oil palm leaf-specific promoter. Plasmid. 62(3):191-200.
34
Masani MYA, Noll GA, Parveez GKA, Sambanthamurthi R, Prüfer D. 2014. Efficient transformation of oil palm protoplasts by PEG-mediated transfection and DNA microinjection. PloS one 9(5):e96831. Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bio assays with tobacco tissue cultures. Physiol Plantarum. 15(3):473-497. Murphy DJ. 2009. Oil palm: future prospects for yield and quality improvements. Lipid Technol. 21(11‐12):257-260. Parveez GKA, Chowdhury MKU, Saleh NM. 1996. Determination of minimal inhibitory concentration of selection agents for oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) transformation. Asia Pac J Mol Biol Biotechnol. 4:219-228. Parveez GKA, Chowdhury MKU, Saleh NM. 1997. Physical parameters affecting transient GUS gene expression in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) using the biolistic device. Industrial Crops and Products 6(1):41-50. Parveez GKA, Chowdhury MKU, Saleh NM. 1998. Biological parameters affecting transient GUS gene expression in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) embryogenic calli via microprojectile bombardment. Ind Crop Prod. 8(1):17-27. Parveez GKA. 2000. Production of Transgenic Oil Palm (Elaeis guinensis Jacq.) Using Biolistic Techniques. Di dalam: Jain SM, Minocha SC, editor. Molecular Biology of Woody Plants. Volume 2. Dordrecht (NL): Springer Netherlands. hlm. 327-350. Parveez GKA, Na’imatuapidah AM, Alizah Z, Rasid AO. 2007. Determination of minimal inhibitory concentration of selection agents for selecting transformed immature embryos of oil palm. As. Pac. J. Mol. Biol. Biotechnol. 15(3):133-146. Parveez GKA, Bahariah B. 2012. Biolistic-Mediated Production of Transgenic Oil Palm. Di dalam Dunwell JM, Wetten AC, editor. Transgenic Plants. New York (US): Humana Press. hlm. 163-175. PPRI. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetik. [diunduh 2017 Feb]. Tersedia pada: http://jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-PUU-3-2005-PP No. 21 Th 2005 dan Penjelasannya.pdf Prasher DC, Eckenrode VK, Ward WW, Prendergast FG, Cormier MJ. 1992. Primary structure of the Aequorea victoria green-fluorescent protein. Gene. 111(2):229-233. Quecini VM, Vieira MLC. 2001. Transient gene expression in electroporated intact tissues of Stylosanthes guianensis (AUBL.) SW. Scientia Agricola 58(4):759-765. Rols MP. 2006. Electropermeabilization, a physical method for the delivery of therapeutic molecules into cells. BBA Biomembrans. 1758(3):423-428. Sahoo KK, Tripathi AK, Pareek A, Sopory SK, Singla-Pareek SL. 2011. An improved protocol for efficient transformation and regeneration of diverse indica rice cultivars. Plant Methods. 7(1):1. Sarker SR, Hossain M, Shirin F. 2009. Precise incubation period for the Agrobacterium-mediated transformation efficiency in potato (Solanum tuberosum L.) cvs. Cardinal and Atlas. Plant Tissue Cult Biotechnol. 19(2):227-235.
35
Saunders JA, Bates GW. 1992. Genetic manipulation of plant cells by means of electroporation and electrofusion. Di dalam: Chang DC, Chassy BM, Saunders JA, Sowers AE, editor. Guide to Electroporation and Electrofusion. San Diego (US): Academic Press Inc. hlm. 471-483. Saunders, JA, Lin CH, Hou BH, Cheng J, Tsengwa N, Lin JJ, Smith CR, McIntosh MS, Van Wert S. 1995. Rapid optimization of electroporation conditions for plant cells, protoplasts, and pollen. Mol Biotechnol. 3(3):181190. Sheen J, Hwang S, Niwa Y, Kobayashi H, Galbraith DW. 1995.Green‐fluorescent protein as a new vital marker in plant cells. Plant J. 8(5):777-784. Siemering KR, Golbik R, Sever R, Haseloff J. 1996. Mutations that suppress the thermosensitivity of green fluorescent protein. Curr Biol. 6(12):1653-1663. SnapGene. 2014. pCAMBIA 1303. [diunduh 2014 Des 26]. Tersedia pada: http://www.snapgene.com/resources/plasmid_files/plant_vectors/pCAMBIA 1303/ Sorokin AP, Ke XY, Chen DF, Elliott MC. 2000. Production of fertile transgenic wheat plants via tissue electroporation. Plant Sci. 156(2):227-233. Sudan C, Prakash S, Bhomkar P, Jain S, Bhalla-Sarin N. 2006. Ubiquitous presence of β-glucuronidase (GUS) in plants and its regulation in some model plants. Planta. 224(4):853-864. Tsien RY. 1998. The green fluorescent protein. Annu Rev Biochem. 67(1):509544. Tsong TY. 1991. Electroporation of cell membrans. Biophys J. 60(2):297-306. Van Wert SL, Saunders JA. 1992. Electrofusion and electroporation of plants. Plant Physiol. 99(2):365-367. Wang JW, Yang FP, Chen XQ, Liang RQ, Zhang LQ, Geng DM, Zhang XD, Song YZ, Zhang GS. 2006. Induced expression of DREB transcriptional factor and study on its physiological effects of drought tolerance in transgenic wheat. Acta Genet Sinica. 33(5):468-476. Wozniak CA, Owens LD. 1994. Native β‐glucuronidase activity in sugarbeet (Beta vulgaris). Physiol Plantarum. 90(4):763-771. Wu FS, Feng TY. 1999. Delivery of plasmid DNA into intact plant cells by electroporation of plasmolyzed cells. Plant Cell Rep. 18(5):381-386.
36
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, 6 Februari 1987. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Soenyoto dan Ibu Wanda Wahyuni. Pada tahun 2005, penulis lulus dari SMU Kolese Kanisius dan diterima di Fakultas Teknobiologi Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta. Penulis lulus pada tahun 2009 dan menerima gelar Sarjana Sains. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai staff peneliti di divisi Plant Production and Biotechnology, PT. SMART Tbk. Penulis mengambil cuti dari pekerjaan pada tahun 2013 untuk meneruskan studi pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama menjalankan studi pada program S2, penulis berusaha aktif dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa baik di dalam maupun di luar Departemen Agronomi dan Hortikultura. Pada tahun 2014, penulis menerima beasiswa Bakrie Graduate Fellowship dan mengikuti pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Bakrie Centre Foundation. Penulis juga mengikuti program International Summer Course for Practical Agricultural Sciences towards Regional Sustainability (PARS) 2014 dan terpilih untuk mengikuti program selanjutnya yaitu Winter Course Program in Japan for Practical Agricultural Sciences towards Regional Sustainability (PARS) 2014. Pada acara tersebut, penulis diberi kesempatan untuk membuat poster mengenai tesis yang sedang dilakukan dan mempresentasikannya baik di Indonesia maupun ketika mengikuti kegiatan di Jepang.