Vol. 4 No. 2, Juli – Desember 2016 ISSN: 2303-2235, E-ISSN: 2476-8820
TRANSFER PRICING DALAM SUDUT PANDANG TEORITIS YANG BERBEDA Antonius Grivaldi Sondakh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat ABSTRACT The development of research in the field of management accounting today's increasingly dynamic. The re-searchers in the development of research hypotheses, not only use theories from the economics perspective which are central of they science, but also consider the theories developed in other perspective such as psychology and sociology. Economics theories, psychological theories, and sociological theories are used interchangeably and simultaneously in response to the phenomena occurring in the field of management accounting. With various assumptions underlying these theories, they are actually complementing one another. This raises the impression that the real in the social sciences such as accountancy, will always be in touch with another discipline to be able to answer every phenomenon that appears, both organizational behavior, individuals, or with the environment. Especially for transfer pricing topics, recording progress and new discoveries that come into contact with a variety of disciplines, at least broaden the knowledge and understanding of what variables are interrelated in considering transfer pricing. The purpose of this article is to present the wealth of the region ac-counting studies that have been penetrated in a variety of disciplinary perspectives, not just economics but also psychology. Keywords: transfer pricing, economics theory, psychology theory PENDAHULUAN Banyak literatur diawal tahun 1950an tentang ilmu akuntansi, ilmu manajemen, dan ilmu ekonomika membahas tentang permasalahan transfer pricing (penetapan harga transfer). Para penulis menganjurkan solusi terkait dengan permasalahan ini dengan analogi dari permasalahan harga internal untuk menentukan harga pasar yang kompetitif dari ilmu ekonomi tradisional (Watson dan Baumler, 1975). Yang dimaksudkan disini adalah terjadinya proses tawar menawar dari para pelaku pasar (produsen dan konsumen) sehingga membentuk harga pasar. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah solusi terkait dengan model harga pasar ini dapat diterapkan. Sugiri (2009) menyebutkan bahwa model ini sangat tepat digunakan sebagai penentu harga transfer ketika pasar tersebut adalah pasar persaingan sempurna (perfectly competitive). Artinya, terdapat kondisi ideal yang musti terpenuhi, yaitu adanya harga pasar eksternal dan bersifat persaingan sempurna, serta adanya kebebasan untuk membeli atau menjual produk tersebut dari dan kepada pihak eksternal. Dalam realitanya, pasar persaingan sempurna hampir tidak ada. Dalam banyak hal, produsen dapat mengambil tindakan yang mempengaruhi harga pasar. Misalnya produk yang IARN (iarn.detikjogja.com)
dijual perusahaan (dalam hal ini divisi penjual) sedemikian besarnya sehingga menurunkan harga pasar. Ini merupakan contoh ketidaksempurnaan pasar, sehingga harga pasar kurang cocok digunakan sebagai penentu harga transfer. Dalam kasus demikian, harga transfer negosiasian (negotiated transfer pricing), merupakan alternatifnya. Ghosh (2000) menegaskan bahwa negosiasi merupakan sebuah metoda yang umum digunakan oleh banyak perusahaan dalam menetapkan harga transfer. Kachelmeier dan Towry (2002) menyebutkan bahwa meski harga pasar eksternal tersedia pun, harga transfer negosiasian berpotensi digunakan sebagai mekanisme kontrol, serta memberikan keseimbangan antara pertimbangan ekonomik dan perhatian sosial yang luas oleh divisi-divisi yang independen. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa penetapan harga transfer dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi seperti harga pasar eksternal dan faktor-faktor perilaku termasuk keadilan (fairness) dan pembingkaian (framing) (lihat Luft & Libby, 1997; Ghosh dan Boldt, 2006; Chang et, al, 2008). Sesuai dengan judul yang disajikan, artikel ini akan menyajikan beberapa hal terkait penetapan harga transfer dalam 2 sudut pandang (perspektif) teoritis yang berbeda. Dua perspektif teoritis yang 131
Sondakh akan dibahas disini yaitu, ekonomika dan psikologi. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menyajikan kekayaan wilayah studi akuntansi yang sudah merambah pada berbagai perspektif disiplin ilmu, bukan hanya ekonomika saja, tetapi juga psikologi1. Khusus untuk topik penetapan harga transfer, rekaman perkembangan dan penemuan baru yang bersentuhan dengan berbagai disiplin ilmu, setidaknya memperluas pengetahuan dan pemahaman akan variabelvariabel apa saja yang saling terkait dalam mempertimbangkan penetapan harga transfer. PEMBAHASAN McAulay dan Tomkins, (1992) mengatakan bahwa penetapan harga transfer terus
diperdebatkan karena efek yang ditimbulkan dalam organisasi dapat menimbulkan dysfunctional consequences yang mencakup praktik-praktik judi (gaming), sabotase, pencurian, inefisiensi, pseudoprofit centres, konflik tujuan (conflict of objectives), dan motivasi divisional yang bersifat individual dan lain-lain. Hal ini membuat semakin besar rasa penasaran kita untuk mempelajari ini, mengingat fenomena harga transfer dalam praktek perusahaan yang terdesentralisasi banyak dijumpai2. Sebelum melangkah lebih jauh kepada 2 perspektif teoritis, penting untuk memahami terlebih dahulu tentang harga transfer. Harga Transfer Organisasi
Serta
Dampaknya
Bagi
Gambar 1. Ilustrasi Keadaan Perusahaan dalam Penetapan Harga Transfer Gambar di atas menggambarkan kondisi nyata dari fenomena harga transfer, ketika sebuah holding company industri otomotif memiliki 2 divisi yang autonom. Divisi aki kering memproduksi aki kering yang dijual ke pasar eksternal dan dapat pula ke divisi perakitan mobil, karena aki kering ini merupakan salah satu suku cadangnya. Aki kering (intermediate product) ini tentulah memiliki harga. Harga inilah yang disebut dengan harga transfer. Sugiri (2009) menjelaskan bahwa harga transfer adalah harga produk atau jasa yang ditransfer secara internal oleh pusat-pusat pertanggungjawaban (divisi) dalam sebuah perusahaan. Harga transfer mempunyai pengaruh terhadap laba divisi pembeli maupun penjual serta laba perusahaan sebagai satu kesatuan sebagai berikut: 1. Bagi divisi pembeli, harga transfer merupakan bagian dari kos produk, sehingga ketika kos tersebut ditandingkan (setelah produk terjual) dengan pendapatan selama satu perioda
akuntansi yang sama, akan mempengaruhi laba. 2. Sebaliknya, bagi divisi penjual, harga transfer merupakan bagian dari pendapatan, sehingga ketika biaya terkait ditandingkan dengan pendapatan selama satu perioda akuntansi, akan mempengaruhi labanya. 3. Bagi perusahaan, andaikan secara ekonomis kos produk yang relevan untuk memproduksi barang antara (intermediate product) justru lebih murah daripada harga produk di pasar eksternal, sedangkan divisidivisi tidak sepakat melakukan harga transfer, maka laba perusahaan akan menjadi buruk, terutama ketika jumlahnya sedemikian signifikan. Selain pengaruhnya terhadap laba, harga transfer juga memiliki dampak pada autonomi divisi. Ketika laba perusahaan terpengaruh, maka top manajemen akan terdorong untuk melakukan intervensi terhadap keputusan membeli dari pihak eksternal ataupun memproduksi secara internal. Bentuk intervensi ini berpeluang untuk mengurangi autonomi dari tiap divisi yang terlibat
1
dinamis dengan lebih baik. Desentralisasi yang dimaksudkan disini adalah adanya pendelegasian wewenang dan tanggung jawab kepada manager divisi untuk mengambil keputusan yang menguntungkan terhadap sejumlah perubahan lingkungan sesuai wewenang dan tanggung jawab yang diberikan, dan hal ini akan menjadi ukuran kinerja divisi yang dipimpinnya.
Ide ini telah dilakukan terlebih dahulu oleh Covaleski et, al (2003). Mereka membahas tiga perspektif teoritis dan kriteria untuk integrasi selektif dari ketiganya yaitu teori-teori ekonomika, psikologi dan sosiologi pada topik penganggaran (budgeting) dengan berbasis penelitian-penelitian yang ada. 2
Organisasi yang terdesentralisasi merupakan organisasi yang memiliki kebutuhan untuk merespon perubahan lingkungan yang
132
IARN (iarn.detikjogja.com)
Indonesia Accounting Research Journal | Vol. 4 No. 2, Juli – Desember 2016 dalam harga transfer. Untuk menjaga autonomi divisi yang ada, perusahaan tidaklah menentukan berapa rupiah besarnya harga transfer, melainkan menetapkan kebijakan (aturan) yang secara wajar dapat diterima oleh masing-masing manager divisi. Kebijakan itu meliputi dasar-dasar penetapan harga transfer berikut: 1. Harga pasar (marketbased transfer price). 2. Kos (cost-based transfer price). 3. Harga negosiasian (negotiated transfer pricing). Metoda-Metoda Harga Transfer dan Perbandingannya 1. Harga Pasar (market-based transfer price). Harga pasar merupakan harga produk (barang atau jasa) yang terjadi di pasar eksternal sebagai hasil akhir dari proses tawar menawar seluruh pelaku pasar (produsen dan konsumen). Jika pasar tersebut adalah pasar persaingan sempurna, maka harga pasar sangat tepat menjadi harga transfer. Pada situasi demikian, berbagai tindakan manager divisi akan mengoptimalkan laba divisi serta laba perusahaan secara simultan. Jadi, harga pasar dianggap dapat menciptakan goal congruence
(kinerja manager untuk mencapai tujuan pribadi dan divisinya, juga dapat mencapai tujuan perusahaan secara keseluruhan) 2. Kos (cost-based transfer price). Harga pasar eksternal kerap tidak tersedia. Hal ini bisa terjadi karena produk yang ditransfer menggunakan disain yang memiliki hak paten perusahaan induk. Dalam kasus ini, bisa digunakan pendekatan penetapan harga transfer berdasarkan kos. Ketika harga yang ditetapkan adalah senilai kos, maka ada kemungkinan, divisi penjual tidak mendapatkan laba. Untuk kepentingan bersama, maka kos oleh organisasi dapat didefinisikan sebagai kos plus, yaitu penetapan harga transfer ditetapkan berdasar kos ditambah margin sesuai kebijakan. 3. Harga transfer negosiasian (negotiated transfer pricing). Dalam realita, pasar persaingan sempurna hampir tidak ada. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan penetapan harga transfer melalui negosiasi kedua divisi adalah alternatif praktis. Ghosh (2000) menegaskan bahwa negosiasi merupakan sebuah metoda yang umum digunakan oleh banyak perusahaan dalam menetapkan harga transfer.
Tabel 1. Perbandingan Tiga Metoda Penetapan Harga Transfer Metoda-Metoda Penetapan Harga Transfer Perbandingan Antar Metoda Harga Dengan Faktor-Faktor Berikut KOS NEGOSIASIAN Pasar Ya, jika sering, tetapi tidak Pencapaian Goal Congruence pasar Ya selalu kompetitif Ya, jika Sulit, kecuali jika Kebergunaan Untuk pasar harga transfer Ya Mengevaluasi Kinerja Sub Unit kompetitif melebihi kos penuh Ya, jika berdasar pada kos standar Memotivasi Upaya Managemen Ya Ya dan bukan kos aktual Ya, jika Tidak, metoda ini Memelihara Autonomi Sub Unit pasar Ya berbasis aturan kompetitif Pasar Berguna untuk tawar menawar mungkin menentukan kos memerlukan Faktor Lainnya tidak penuh, dan mudah waktu dan tersedia diimplementasi arbitrator Sumber: Diringkas dari buku teks Cost Accounting karangan Horngren, Datar dan Foster Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa, ketiga metoda memiliki karakteristik masingmasing, dan metoda negosiasi memiliki keunggulan lebih, meski tetap memiliki IARN (iarn.detikjogja.com)
kekurangan. Hal ini didukung oleh Ghosh (1994) yang menemukan bahwa metoda harga transfer negosiasian menghasilkan laba perusahaan yang lebih tinggi dan konflik managerial yang lebih 133
Sondakh kecil dibandingkan dengan metoda harga transfer tersentralisasi. Sedangkan Kachelmeier dan Towry (2002) menyebutkan bahwa meski harga pasar eksternal tersedia, harga transfer negosiasian berpotensi digunakan sebagai mekanisme kontrol, serta memberikan keseimbangan antara pertimbangan ekonomik dan perhatian sosial yang luas oleh divisi-divisi yang independen. Watson dan Baumler (1975) menyatakan bahwa model harga transfer negosiasian menguntungkan organisasi karena berpotensi sebagai wahana untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dari berbagai tujuan divisi, sedangkan kelemahannya adalah dapat menimbulkan kinerja yang melihat fungsi kekuatan negosiasi lebih dominan daripada kinerja berbasis ekonomi. Selain itu, kemampuan tawar menawar (bargaining) lebih kuat daripada kontribusi aspek ekonominya. Penetapan Harga Transfer Dalam Perspektif Teoritis yang berbeda Dalam studi terkait topik harga transfer, sebenarnya ketiga perspektif teoritis yaitu ekonomika, psikologi, dan sosiologi dapat digunakan secara bersama-sama. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan Ghosh dan Boldt (2006), yaitu menggunakan teori yang dikembangkan dalam psikologi serta teori ekonomika dalam pengembangan hipotesis penelitian3. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Chan (1998). Dalam penelitian ini, pengembangan hipotesis penelitian menggunakan teori yang dipinjam dari teori yang dikembangkan dalam bidang ilmu psikologi, ekonomika serta sosiologi secara bersama-sama4. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa keterkaitan dari ketiga teori dalam tiga bidang ilmu yang masuk dalam ilmu-ilmu sosial ini, secara berintegrasi, dapat menjelaskan serta memberi pemahaman terhadap suatu fenomena sosial, sebagaimana yang terjadi pada fenomena harga transfer secara lebih komprehensif. Pemahaman yang komprehensif ini sendiri dapat bermanfaat bagi para peneliti dari suatu bidang ilmu yang terkait. Misal para peneliti dari bidang ilmu ekonomika yang memiliki asumsi 3
Penelitian ini menggunakan teori pembingkaian (teori psikologi) serta teori keagenan (teori ekonomika) dalam menentukan reaksi manager penjual terhadap hasil (outcome) dari melakukan negosiasi harga transfer. Hipotesis yang dikembangkan dalam studi eksperimen yang dilakukan adalah treatmen pengaruh pembingkaian tujuan (perolehan laba/positif dan laba tangguhan/negatif), serta treatmen struktur kompensasi (tinggi dan rendah) terkait perolehan bagian laba divisi serta tingkat fleksibilitas proses negosiasi.
134
bahwa semua manusia adalah rasional serta keadaan adalah stabil. Mereka dapat memahami kondisi yang berkebalikan dari asumsi yang mereka pahami, dengan menggunakan teori psikologi yang menyatakan bahwa manusia memiliki bias karena adanya rasionalitas dibatasi (bounded rationality) serta ketidakstabilan kondisi ekonomi karena adanya faktor sosiologis seperti budaya yang ada pada suatu negara. Namun perlu dipahami bahwa, seringkali peneliti yang berpengalaman dalam satu perspektif teoritis sering mengalami kesulitan untuk mengambil keuntungan penuh dari bantuan yang ditawarkan oleh hasil penelitian pada perspektif yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh 4 hal yaitu: 1. Seringkali penelitian pada masing-masing perspektif mempergunakan penyebutan yang berbeda untuk variabel yang sebenarnya sama (atau serupa), 2. Mempergunakan penyebutan yang sama untuk variabel yang berbeda, 3. Membuat penyederhanaan asumsi berbeda yang digunakan (hal ini tidak selalu dengan tegas diidentifikasi), dan 4. Memiliki suatu perbedaan fokus perhatian utama (juga tidak selalu dengan tegas diidentifikasi). Perspektif Ekonomika Dalam penelitian harga transfer yang menggunakan teori-teori ekonomika, pertanyaan penelitian yang muncul adalah apakah nilai ekonomis dari praktek penetapan harga transfer untuk pihak-pihak yang terlibat, seperti perusahaan sebagai satu kesatuan ataupun divisi-divisi yang berperan sebagai penjual dan pembeli. Menurut Gox dan Schiller (2007), penelitian-penelitian ekonomika terkait harga transfer kebanyakan berbasis pada model-model ekonomi mikro seperti teori keagenan (agency theory) dan teori permainan (game theory). Teori keagenan didasarkan atas berbagai aspek dan implikasi hubungan antara prinsipal (principal) dan agen (agent), yang di dalamnya agen bertindak atas nama dan untuk kepentingan prinsipal, atas tindakan (actions) tersebut agen 4
Teori psikologi yang digunakan adalah fairness dimana responden diminta memperhatikan hasil yang diperoleh oleh dirinya serta manager lain dalam kondisi permainan atau disain game theory yang merupakan bagian dari teori ekonomika pada setting kultur budaya (teori sosiologi yaitu teori kontingensi) yang berbeda (US dan juga Australia)
IARN (iarn.detikjogja.com)
Indonesia Accounting Research Journal | Vol. 4 No. 2, Juli – Desember 2016 mendapat imbalan tertentu. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam bentuk kontrak5. Dalam teori keagenan, agen biasanya dianggap sebagai pihak yang ingin memaksimumkan dirinya tetapi tetap selalu berusaha memenuhi kontrak. Diawal pembahasan telah disebutkan bahwa penetapan harga transfer terus diperdebatkan karena efek negatif yang ditimbulkan dalam organisasi (McAulay dan Tomkins, 1992). Dalam kaitannya dengan teori keagenan, efek negatif ini mendorong prinsipal untuk lebih melakukan pengendalian serta pengawasan terhadap agen yang cenderung oportunis. Sebagaimana disampaikan sebelumnya (Sugiri, 2009), ada dua mekanisme yang dapat dilakukan prinsipal untuk pengendalian dalam penetapan harga transfer yaitu melalui mekanisme insentif (kompensasi) dan arbitrase. 1. Mekanisme insentif (kompensasi). Ghosh dalam beberapa penelitian pribadi ataupun bersama Boldt (1994, 2000, 2004, dan 2006) memasukkan struktur kompensasi atau insentif sebagai treatmen dalam disain penelitian yang dilakukannya. Hasil yang didapat adalah bahwa struktur kompensasi atau insentif yang diberikan dapat menstimuli manager untuk melakukan penetapan harga transfer negosiasian yang tentunya menguntungkan semua pihak (antar divisi dan perusahaan secara keseluruhan). Terlepas dari mana yang lebih efektif antara menggunakan insentif yang didasarkan pada laba korporasi (corporate profits) ataukah laba divisi (division profits)6, berbagai penelitian yang ada menyimpulkan bahwa mekanisme pemberian insentif dapat memperbaiki atau memecahkan masalah keagenan dalam teori keagenan. Hal ini dapatlah dipahami, karena dengan adanya struktur kompensasi7 atau kontrak insentif, seorang agen akan berusaha memenuhi bukan hanya kebutuhan (keuntungan) pribadinya
untuk mendapatkan insentif, tetapi juga kebutuhan (keuntungan) prinsipal. Terkait dengan kontrak insentif, Church et al. (2008) menyebutkan bahwa kontrak insentif akan efektif dalam mempengaruhi perilaku individu ketika berada dalam titik referensi yang dapat diterimanya sebagai target insentif terendah dan target insentif tertinggi. Jika dibawah target terendah maupun diatas target tertinggi, perilaku individu akan cenderung konstan. 2. Mekanisme arbitrase juga merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan penetapan harga transfer yang berdampak pada keuntungan perusahaan secara keseluruhan. Mekanisme arbitrase ini juga efektif untuk memecahkan masalah keagenan dengan memberikan keyakinan kepada prinsipal terkait keputusan yang diambil agen melalui campur tangan pihak ketiga yang independen8 (arbitrator yang kredibel dan independen tentunya dapat dipilih oleh prinsipal). Temuan Greenberg et al. (1994) menunjukkan bahwa arbitrase adalah salah satu faktor yang mendorong kesuksesan sistem harga transfer. Johnson dan Pruitt (1972) dalam Greenberg et al. (1994) yang meneliti mediasi versus arbitrase, hasilnya menunjukkan bahwa manajer yang bernegosiasi (negosiator) dan menggunakan arbitrase akan lebih kooperatif serta lebih cepat mencapai kesepakatan harga. Penelitian ini juga menemukan bahwa adanya pihak ketiga akan mempercepat pencapaian solusi pada saat terjadi kondisi konflik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan menerapkan arbritase dalam melakukan negosiasi harga transfer, para manajer divisi (negosiator) mendapatkan solusi serta dapat mencapai kesepakatan dalam penetapan harga transfer.
5
7
Teori kontrak juga dimaksudkan untuk mengatasi masalah keagenan, dimana agen diberi ikatan dengan kontrak untuk melakukan tindakan (dalam pengambilan keputusan strategisnya) sesuai dengan harapan dan memberi keuntungan bagi prinsipal. 6
Grabski (1985) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam penetapan harga transfer negosiasian akan lebih baik menggunakan insentif yang didasarkan pada laba korporasi (corporate profits) dibandingkan laba divisi (division profits). Temuan Spicer (1988) menunjukkan bahwa semakin besar penghasilan (reward) yang diterima manajer divisi yang dihubungkan dengan laba korporasi, maka akan semakin besar pula dukungan manajer divisi untuk korporasi.
IARN (iarn.detikjogja.com)
Struktur kompensasi disini, dalam penelitian Ghosh (2004, 2006) dapat saja berupa kompensasi rendah (3%) dan terutamanya kompensasi tinggi (30%) dari laba divisi dapat mempengaruhi perilaku manager dalam menentukan harga transfer (keinginan untuk mendapatkan laba yang besar serta fleksibilitas dalam negosiasi). 8
Independen yang dimaksudkan disini adalah bebas dari konflik kepentingan diantara pihak-pihak yang terlibat konflik (para manager divisi yang bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan harga transfer)
135
Sondakh Game theory mula-mula dikembangkan oleh ilmuwan Prancis bernama Emile Borel, secara umum digunakan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan tindakan sebuah unit bisnis (misalnya) untuk memenangkan persaingan dalam usaha yang digelutinya. Seperti diketahui, bahwa dalam praktek sehari-hari, setiap unit usaha atau organisasi pada umumnya harus berhadapan dengan para pesaing. Untuk memenangkan persaingan itulah, diperlukan analisis dan pemilihan strategi yang tepat, khususnya strategi bersaing yang paling optimal bagi unit usaha atau organisasi yang bersangkutan. Terdapat tiga model permainan klasik yang dikenal dalam game theory, yaitu prisoner’s dilemma (cooperation), Stug hunt/weak link (coordination), dan Zero-sum game (conflict in normal form). Dalam penetapan harga transfer negosiasian, para manager divisi yang bertindak sebagai penjual ataupun pembeli memiliki kepentingan yang sama untuk memperoleh kesepakatan harga transfer yang menguntungkan divisi yang dipimpinnya masingmasing. Mereka terlibat dalam suatu negosiasi9 yang merupakan suatu permainan (game) menang, kalah atau win-win-solution. Dalam kondisi seperti ini, ilmu ekonomika berasumsi bahwa semua pihak sama-sama puas atau semua harapan dari masingmasing pihak terpenuhi. Asumsi inilah yang dikenal dengan Nash equilibrium10. Dalam kondisi kooperatif dan koordinasi terdapat kondisi Nash equilibrium, sementara konflik pada kondisi normal tidak terdapat Nash equilibrium. Duvallet et al. (2004) yang melakukan penelitian pendekatan teoritis permainan (model koordinasi) pada negosiasi harga dengan disain analisis eksperimen, menceritakan hasil penelitian yang belum konklusif untuk koordinasi terkait prediksi game theory yang menurutnya mungkin diakibatkan oleh faktor lain seperti perilaku ataupun kondisi budaya dari negosiator. Dari hasil ini, sebagaimana dikatakan Bazerman (1994), game theory memiliki 2 kelemahan yaitu: 1. Mempercayai akan mampu untuk secara penuh menggambarkan semua pilihan
dan menghubungkan hasil untuk setiap kombinasi kemungkinan pergerakan pada suatu keadaan tertentu (a tedious task at its best, infinitely complex at its worst); 2. Memerlukan rasionalitas yang konsisten dari tiap pemainnya. Dari apa yang dipaparkan, dapat dipahami bahwa game theory memiliki keterbatasan teori ekonomika yaitu asumsi rasionalitas dan konsistensi/kestabilan yang pada praktiknya dapat saja berbicara sebaliknya. Untuk menjelaskan hal ini, teori psikologi yang menyatakan manusia memiliki bias karena adanya rasionalitas dibatasi serta teori sosiologi yang menjelaskan adanya lingkungan yang berbeda (teori kontingensi11) dapat memperlengkapi keterbatasan game theory.
9
membahas game theory, seperti Miller (2003), dan Geckil dan Anderson (2009)
Negosiasi yang dilakukan oleh para manager divisi cenderung akan mengaburkan kinerja hasil dari divisi yang dipimpin dengan kemampuan manager dalam bernegosiasi.
Perspektif Psikologi Menurut Birnberg et al. (2007), psikologi adalah ilmu tentang pikiran (mind) (yaitu sikap, kognisi, motivasi) dan perilaku (tindakan serta komunikasi) manusia. Berbeda dengan teori-teori ilmu sosial lainnya, penelitian bidang akuntansi manajemen yang menggunakan teori-teori psikologi lebih berfokus pada perilaku individu dibandingkan perilaku organisasi ataupun sosial, dan pada fenomena subyektif seperti representasi mental dibandingkan fenomena obyektif seperti harga pasar dan kuantitas atau ukuran perusahaan dan teknologi. Covaleski et al. (2003) menyebutkan 2 asumsi yang ada pada penelitian akuntansi manajemen khususnya penganggaran yang berbasis pada teori-teori psikologi yaitu: 1. Bahwa perilaku adalah memiliki rasionalitas dibatasi (bounded rationality) dan satisficing; 2. Bahwa individu akan mencari atau menginginkan keseimbangan internal atau pribadi (internal or single-person equilibrium) sebagai bagian dari rasionalitas dibatasi (bounded rationality) dan satisfacing mereka. Hal ini dapat terjadi juga pada penetapan harga transfer. Misal ketika dalam proses negosiasi yang berjalan lama dan alot, individu yang terlibat merasakan jenuh, lelah, dan bosan (kondisi burnout12), sehingga informasi yang
11 10
Geckil dan Anderson (2009) menjelaskan bahwa dalam suatu permainan, kondisi Nash equilibrium akan terjadi ketika setiap pemain mengoptimalkan utilisasinya. Namun yang terpenting adalah Nash equilibrium berasumsi bahwa setiap pemain adalah rasional, dan pilihan strategi optimal yang diambil merupakan hasil dari rasionalitas tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang Nash equilibrium dapat dipelajari dalam berbagai literatur yang
136
Dalam teori kontingensi, setiap keputusan yang diambil merupakan keputusan terbaik dalam kondisi saat itu. Artinya, tergantung pada kondisi atau keadaan yang ada pada lingkungan sekitar pembuatan keputusan. 12
Kondisi burnout adalah merupakan akibat dari tekanan (stressor) yang dihadapi seseorang. Dalam penelitian Almer dan Kaplan (2002), seorang profesional auditor mengalami stressor (konflik,
IARN (iarn.detikjogja.com)
Indonesia Accounting Research Journal | Vol. 4 No. 2, Juli – Desember 2016 diberikan kemudian, meski merupakan informasi yang penting untuk judgment yang diberikan bagi penetapan harga transfer, tidak lagi dapat digunakan untuk menentukan keputusan. Hal ini membawa dampak pada keputusan yang diambil akan bias (heuristic biases13). Di kemudian hari yang ada hanya penyesalan dan ini bukti ketidakkonsistenan karena adanya keterbatasan rasionalitas (hal ini dapat dijelaskan dengan cognitive dissonance theory). Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan Birnberg et al. (2007), teori psikologi yang banyak digunakan tergolong pada 3 kelompok, yaitu teori psikologi sosial, motivasi, dan kognitif. Berikut akan dibahas teoriteori psikologi yang ditemukan pada beberapa penelitian tentang harga transfer berdasarkan klasifikasi tersebut. Organization justice theory. Penelitian psikologi motivasi mencoba meneliti bagaimana kepercayaan orang terhadap ekuitas, fairness, dan justice mempengaruhi motivasi kerja mereka. Teori ini mengasumsikan bahwa orang akan sangat memperhatikan 2 tipe justice yaitu distributif dan prosedural14. Penelitian harga transfer yang menggunakan teori-teori psikologi banyak menggunakan teori ini dalam negosiasi penetapan harga transfer. Baik Luft dan Libby (1997) serta Kachelmeier dan Towry (2002) menemukan bahwa ketika terdapat harga pasar eksternal produk yang dinegosiasikan, dan harga pasar tersebut lebih besar daripada harga yang akan menyebabkan kedua divisi menerima keuntungan sama, divisi penjual biasanya akan mempertimbangkan harga pasar sebagai harga transfer yang lebih adil karena menghasilkan laba yang lebih tinggi untuk divisinya. Namun, pembeli akan melihat harga transfer yang adil sebagai harga yang memberikan keuntungan yang sama bagi dua divisi. Perbedaan persepsi tentang fairness ini memperlihatkan adanya keterbatasan rasionalitas yang membawa pada konflik. Karenanya, sebagai sebuah asumsi, rasionalitas dibatasi terkadang membawa kepada
kondisi yang serba sulit dan tidak pasti. keterbatasan ini akhirnya dapat diisi dengan teori ekonomika yang berisi kepastian, sehingga setiap permasalahan bisa diatasi. Sebagai solusi yang ditawarkan dari teori ekonomika, adanya distribusi dalam negosiasi (Bazerman, 1994). Distribusi dalam negosiasi ini memperlihatkan konsep “bargaining zone”. Divisi penjual dan pembeli, di saat hendak melakukan negosiasi akan datang dengan membawa harga tertinggi (terendah untuk dijual) serta batas toleransi terendah (tertinggi untuk dibeli) yang mereka akan negosiasi. Dalam konteks harga transfer negosiasian, harga tertinggi penawaran adalah harga pasar, sementara terendah adalah kos produk ditambah margin (dengan nilai yang wajar untuk harga transfer internal) bagi penjual. Di sinilah rasionalitas kedua divisi dituntut, dimana harga yang cukup masuk akal adalah, harga tengah antara harga pasar dan kos produk tambah margin yang pantas. Hal ini menggambarkan saling melengkapinya kedua perspektif teori yang dikembangkan dalam dua ilmu yang berbeda. Dalam teori psikologi kognitif, teori keputusan keprilakuan memperkenalkan adanya teori prospek dan pembingkaian (framing). Pembingkaian (framing) merupakan penyajian informasi yang secara substansi sama namun dalam bingkai yang berbeda (bingkai positif dan negatif). Prospect theory yang diperkenalkan oleh Kahneman and Tversky (1979) dalam Bazerman (1994) menjelaskan efek dari pembingkaian ini melalui fungsi nilai berbentuk S yang menggambarkan bahwa pembuat keputusan akan cenderung risk averse saat kondisi untung (bingkai positif), dan risk taker saat kondisi rugi (bingkai negatif) dengan tingkat titik referen yang sama. Ghosh dan Boldt (2006) melakukan penelitian terkait pembingkaian informasi sebagai laba yang diperoleh/made profit (bingkai positif) dan laba dikorbankan/profit foregone (bingkai negatif) pada konteks penetapan harga transfer negosiasian.
ambigu, dan kelebihan peran) yang berakibat burnout (emotional exhaust, reduced personal accomplishment, dan depersonalization) dalam lingkungan kerjanya.
kebanyakan memilih ukuran biasa daripada ukuran unik (Lipe dan Salterio, 2000). Meski dengan responden yang memiliki pengalaman sekalipun, tetap saja menggunakan ukuran yang umum disamping ukuran yang khusus (Dilla dan Steinbart, 2005).
13
Bias heuristik adalah sebuah keputusan yang diambil tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya menurut logika rasionalitas karena adanya keterbatasan rasionalitas (bounded rationality). Contoh dalam penelitian terkait Balanced Scorecard (BSC), bias yang terjadi adalah sebenarnya menurut logika, penggunaan ukuran unik lebih baik dalam mengukur kinerja daripada ukuran yang umum, yang bisa jadi tidak merepresentasi apa yang ingin diukur. Namun untuk alasan kemudahan, maka pengambil keputusan
IARN (iarn.detikjogja.com)
14
Keadilan distributif adalah kepercayaan individual tentang keadilan yang terdistribusi terkait dengan fairness dari distribusi hasil kepada dirinya dan orang lain. Fokus pada hasil yang dianggap fair. Sementara keadilan prosedural lebih kepada keadilan dari proses (secara prosedural) yang membawa hasil, apapun hasilnya, yang terpenting adalah fair dari prosesnya
137
Sondakh Mereka dapat membuktikan bahwa bagian laba yang didapatkan manager divisi penjual akan lebih besar ketika informasi dibingkai negatif dibandingkan dibingkai positif. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori prospek yang menyebutkan bahwa ketika informasi kepada seseorang dibingkai negatif, orang tersebut cenderung untuk bersedia lebih berkorban (risk seeking), sehingga apapun akan diupayakan untuk jangan sampai kehilangan keuntungan. Penelitian yang spesifik ingin menguji pertimbangan (judgment) manager dalam kondisi negosiasi harga transfer dilakukan Chang et al. (2008). Disini peneliti menguji dua faktor yang diharapkan dapat mempengaruhi pertimbangan manajer dalam negosiasi harga transfer yaitu, pembingkaian tujuan sebagai suatu keuntungan atau suatu kerugian (gain and losses), serta tujuan yang dimiliki oleh mitra negosiasi (apakah tujuannya melibatkan perhatian yang tinggi atau rendah untuk orang lain). Disini dikatakan bahwa dua faktor tadi mempengaruhi persepsi manajer dalam konteks negosiasi, dan dengan demikian ini berpengaruh pada cara mereka menginterpretasikan konsekuensi ekonomi dan sosial dari informasi akuntansi. Dari kedua penelitian ini, dapat dipelajari bahwa pembingkaian tujuan (goal framing) dapat mempengaruhi sikap mental individu dalam mengambil keputusan. PENUTUP Dalam penelitian-penelitian akuntansi manajemen, banyak ditemukan teori-teori yang dikembangkan pada bidang ilmu lain (selain akuntansi) dalam pengembangan hipotesis penelitiannya. Teori-teori ekonomika, teori psikologis, serta teori sosiologis dipakai bergantian dan secara bersamaan dalam menjawab fenomena yang terjadi dalam bidang ilmu akuntansi manajemen. Dengan berbagai asumsi yang melandasi teori-teori tersebut, sesungguhnya teoriteori ini saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa sesungguhnya dalam ilmu sosial sebagaimana akuntansi, akan senantiasa bersentuhan dengan bidang ilmu yang lain untuk dapat menjawab setiap fenomena yang muncul, baik perilaku organisasi, individu, ataupun dengan lingkungan. Terkhusus harga transfer negosiasian, adalah merupakan satu dari beberapa metoda penetapan harga transfer yang digunakan pada organisasi yang terdesentralisasi. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, metoda ini terbukti efektif dalam menjaga autonomi divisi, sehingga 138
pengukuran kinerja secara obyektif dapat didasarkan pada laba divisi. Meski masih menjadi perdebatan karena mungkin terdistorsi oleh kemampuan manajernya dalam bernegosiasi. Penelitian yang dilakukan Chalos dan Haka (1990) menyatakan bahwa terdapat monopoli bilateral dalam harga transfer, telah sesuai dengan apa yang diprediksi oleh teori negosiasi, yaitu: 1. Sistem reward yang berorientasi pribadi (divisional) membawa kepada hasil yang lebih berbeda daripada insentif yang lebih kooperatif; 2. Laba perusahaan akan meningkat dengan pengalaman; 3. Bertambahnya ketidakpastian pada suatu skema reward divisional, akan meningkatkan konflik; 4. Skema insentif campuran akan membawa kepada frekuensi terbesar dari baik hasil yang merupakan keuntungan (advantageous) dan hasil yang integratif. Terlepas dari ini semua, menarik untuk menyimak apa yang disampaikan Covaleski et al. (2003) tentang kriteria untuk para peneliti untuk melakukan studi komparasi terhadap perspektif yang berbeda dari teori, apakah dipakai untuk melengkapi atau menambahkan penjelasan. Ada 4 kriteria yaitu: 1. Apakah nama variabel dan penjelasannya konsisten diantara (across) tiap perspektif teoritis? 2. Apakah penjelasan model proses kausalitas dari tiap perspektif teoritis yang berbeda konsisten dengan masing-masing lainnya? 3. Apakah penelitian dari tiap perspektif teoritis yang berbeda ada pada level analisis yang sama? 4. Apakah kendala dari model kausalitas adalah implikasi dari tiap perspektif teoritis pada penelitian-penelitian yang terintegrasi? Wacana untuk melanjutkan studi ini dengan lebih baik dan komprehensif ke depan menjadi tantangan tersendiri, bukan hanya pada topik harga transfer saja, melainkan juga pada topik-topik akuntansi manajemen lainnya. Semoga saja. DAFTAR PUSTAKA Almer, E.D., dan S. E. Kaplan. (2002). The Effects of Flexible Work Arrangements on Stressors, Burnout, and Behavioural Job Outcomes in Public Accounting. Behavioural Research in Accounting. Vol 14: 1-31 Bazerman, Max H. (1994). Judgment in Managerial Decision Making, 3rd edition. John Wiley & Sons. Inc. IARN (iarn.detikjogja.com)
Indonesia Accounting Research Journal | Vol. 4 No. 2, Juli – Desember 2016 Birnberg, J. G., J. Luft., dan M. D. Shields. (2007). Psychology Theory in Management Accounting Research, In Handbook of Management Accounting Research, edited by Chapman C. S., Hopwood A. G., dan Shields M. D., Vol 1: Elsevier Ltd Chalos, P., dan S. Haka. (1990). Transfer Pricing Under Bilateral Bargaining. The Accounting Review (July); hal 624-641 Chan,
Chris W. (1998). Transfer Pricing Negotiation Outcomes and the Impact of Negotiation Mixed-Motives and Culture: Empirical Evidence from the U.S. and Australia. Management Accounting Research 9: 139-161
Geckil, I. K., dan P. L. Anderson. (2009). Applied Game Theory and Strategic Behavior. CRC Press, Taylor & Francis Group. Ghosh, D. (1994). Organization Intra-Firm Pricing: Experimental Evaluation of Alternative Mechanisms. Journal of Management Accounting Research, Vol. 6. (2000). Organization Design and Manipulative Behavior: Evidence from a Negotiated Transfer Pricing Experiment. Behavioral Research in Accounting, Vol. 12. dan M. Boldt. (2004). The Outcome Saliency Effect on Negotiated Transfer Prices. Journal of Managerial Issues 16 (3): 305-321.
Chang, L., M. Cheng., dan K.T. Trotman. (2008). The effect of framing and negotiation partner’s objective on judgments about negotiated transfer prices. Accounting, Organizations and Society 33: 704-717
dan M. Boldt. (2006). The Effect of Framing and Compensation Structure on Seller’s Negotiated Transfer Price. Journal of Managerial Issues 18 (4): 456-467.
Church, B. K., T. Libby., dan P. Zhang. (2008). Contracting Frame and Individual Behaviour: Experimental Evidence. Journal of Management Accounting Research. Vol 20: 153-168
Gox, R. F., dan U. Schiller. (2007). An Economic Perspective on Transfer Pricing, In Handbook of Management Accounting Research, edited by Chapman C. S., Hopwood A. G., dan Shields M. D., Vol. 2: Elsevier Ltd
Coombs, H., D. Hobbs., dan E. Jenkins. (2005). Management Accounting: Principles and Applications. Sage Publications Ltd Covaleski, M. A., J. H, Evans III., J. L. Luft., dan M. D. Shields. (2003). Budgeting Research: Three Theoretical Perspectives and Criteria for Selective Integration. Journal of Management Accounting Research. Vol 15: 3-49 Dilla, W. N. dan P. J. Steinbart. (2005). Relative Weighting of Common and Unique Balanced Scorecard Measures by Knowledgeable Decision Makers. Behavioural Research in Accounting. Vol 17: 45-53 Duvallet, J., Garapin, A., Llerena., dan Robin, S. (2004). A Game Theoretical Approach of Price Negotiation and Coordination in an Innovative Firm-Supplier Context: An Experimental Analysis. International Negotiation 9: 245-269
IARN (iarn.detikjogja.com)
Grabski, S.V. (1985). Transfer Pricing in Complex Organizations: A Review and Integration of Recent Empirical and Analytical Research. Journal of Accounting Literature 4: hal. 3375 Greenberg, P., dan R. H. Greenberg. (1994). The Impact of Control Policies on the Process and Outcomes of Negotiated Transfer Pricing. Journal of Management Accounting Research 6 (Fall): 93-127 Hansen, D. R., dan M. M. Mowen. (2007). Managerial Accounting, Ed 8th. Cengage Learning Asia Pte Ltd, Singapore Kachelmeier, S. J., dan K. L. Towry. (2002). Negotiated transfer pricing: Is fairness easier said than done?, The Accounting Review 77, 571–593. Lipe, M. G. dan S. E. Salterio. (2000). The Balanced Scorecard: Judgmental effects of common and unique performance measures. The Accounting Review 75 (July): 283-298 139
Sondakh Luft, J. L., dan R. Libby. (1997). Profit comparisons, market prices and managers’ judgments about negotiated transfer prices. The Accounting Review, 72(2), 217–229.
Spicer, H.B. (1988). Towards an Organizational Theory of Transfer Pricing Process. Accounting, Organizations and Society 7: hal. 149-165
McAulay, L., dan C.R. Tomkins, (1992). A Review of the Contemporary Transfer Pricing Literature with Recommendations for Future Research, British Journal of Management, Vol.3: hal.101-122
Sugiri, Slamet. (2009). Akuntansi Manajemen: sebuah pengantar. UPP STIM, Yogyakarta Watson, D.J.H., dan J.V. Baumler. (1975). Transfer Pricing: A Behavioural Context, The Accounting Review, (July): hal. 466-474
Miller, James L. (2003). Game Theory at Work: How to Use Game Theory to Outthink and Outmanoeuvre Your Competition. McGrawHill Companies, Inc.
140
IARN (iarn.detikjogja.com)