TNC -IMP Berau
Identifikasi CAP Tanjung Batu
Disusun oleh: Anisa Budiayu 1/1/2013
Daftar Isi Bab 1. Conservation Action Plan (CAP)/ Rencana Aksi Konservasi ......................................................... 2 A.
CAP – Sebuah Kerangka Pengelolaan yang Adaptif ..................................................................... 2
B.
Menggunakan metode CAP dalam Perencanaan Masyarakat Lokal ........................................... 3
C.
Penggalian Informasi ....................................................................................................................... 3
Bab 2. Profil Kampung Tanjung Batu.......................................................................................................... 5 Pontesi Sumber Daya Alam di Kampung Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan ......................... 6 1.
Ekosistem Terumbu Karang ........................................................................................................ 6
2.
Ekosistem Padang Lamun ........................................................................................................... 7
3.
Ekosistem Mangrove.................................................................................................................... 7
4.
Ekosistem Hutan .......................................................................................................................... 8
Kelompok Masyarakat Jaringan Nelayan (JALA) .................................................................................. 9 Bab 3. Penyusunan Rencana Aksi Konservasi Kampung Tanjung Batu................................................. 11 Referensi ..................................................................................................................................................... 25
1
Bab 1. Conservation Action Plan (CAP)/ Rencana Aksi Konservasi A. CAP – Sebuah Kerangka Pengelolaan yang Adaptif Konservasi keanekaragaman kekayaan alam bumi adalah disiplin terus berkembang. Pengetahuan kita tentang spesies satwa, komunitas, ekosistem dan proses yang mendukung mereka terus berkembang. Kegiatan manusia yang mengancam atau yang sesuai dengan bidang ini akan terus berubah. Perencanaan Aksi Konservasi dirancang untuk mengenali sifat pergeseran pengetahuan kita dan tantangan wajah konservasi dengan mendorong praktisi untuk melihat proses perencanaan konservasi bukan sebagai latihan yang dilakukan sekali setiap dekade tetapi menjadikannya sebagai proses yang biasa dilakukan dan berulang yang akan menjadi sebuah proses "perkembangan aproksimasi." CAP mendorong tim praktisi untuk menangkap pemahaman mereka yang terbaik dari situasi konservasi, membangun serangkaian tindakan berdasarkan pemahaman bahwa, melaksanakan tindakan, mengukur hasil dari tindakan mereka, belajar dari hasil yang didapatkan dan memperbaiki tindakan dari waktu ke waktu. Aksi Konservasi Perencanaan adalah salah satu dari tiga metode analisis kunci yang mendukung penerapan kerangka kerja strategis The Nature Conservancy untuk memastikan keberhasilan dari misi, yang disebut Konservasi Berdasarkan Desain ( The Nature Conservancy 2006) . Konservasi Berdasarkan Desain adalah pendekatan kolaboratif berbasis ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati yang perlu dilestarikan, menentukan di mana dan bagaimana melestarikannya dan mengukur keefektifan pelestarian. Konsep dasar pendekatan konservasi ini mengikuti kerangka pengelolaan adaptif yakni menetapkan tujuan dan prioritas, mengembangkan strategi, mengambil tindakan dan mengukur hasilnya. Konsep-konsep dasar tercermin dalam setiap metode dari tiga metode analisis kunci, selain CAP yang mencakup Penilaian Habitat Mayor dan Penilaian Ekoregional. Secara umum , Habitat Mayor dan Penilaian Ekoregional memiliki fokus pada menetapkan tujuan dan prioritas, CAP mengambil fokus pada mengembangkan dan menerapkan strategi untuk mengatasi prioritas dan mencapai tujuan, dan ketiga metode ini menggabungkan aspek hasil pengukuran. Selain berfungsi sebagai kerangka kerja strategis konservasi untuk keberhasilan misi, Konservasi Berdasarkan Desain juga mendukung tujuan pengelolaan kawasan lindung dari Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pada intinya, CAP adalah kerangka kerja untuk membantu praktisi untuk memfokuskan strategi konservasi mereka pada unsur-unsur yang jelas dari keanekaragaman hayati atau konservasi target dan ancaman, yang sepenuhnya bertujuan untuk mencapai target dan mengukur keberhasilan kegiatan pengelolaan dengan cara yang akan memungkinkan untuk beradaptasi dan belajar dari waktu ke waktu. Proses CAP akan membantu tim konservasi untuk mencapai tujuan ini dan mendorong tim untuk bekerja melalui serangkaian langkah-langkah diagnostik yang berujung pada pengembangan tujuan yang jelas dan tindakan strategis. Dengan demikian proses ini akan dapat menggambarkan hipotesis keberhasilan konservasi yang dapat diuji serta membentuk dasar dari sebuah " pendekatan adaptif " dari sebuah pengelolaan konservasi.
2
B. Menggunakan metode CAP dalam Perencanaan Masyarakat Lokal Pendekatan CAP dilakukan oleh para perencana di seluruh dunia dengan berbagai adaptasi dan perubahan pada materinya dengan tujuan untuk memjadikannya sebagai metode yang dapat digunakan secara efektif oleh masyarakat lokal. Studi mengenai perubahan dan adaptasi CAP telah dilakukan melalui program Coda/McLean Fellowship yang mengangkat isu ini pada pertemuan CAP Rally tahun 2010. Dari pertemuan tersebut beberapa kesamaan ide dan tema teridentifikasi dalam praktik penggunaan CAP di berbagai lokasi yang berbeda. Di Indonesia, metode CAP relatif mulai dikenalkan pada saat organisasi konservasi bekerja di beberapa tempat dengan potensi sumberdaya alam yang tinggi. Kabupaten Berau merupakan salah satu lokasi yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. TNC memutuskan untuk bekerja pada lokasi ini melalui Program Terestrial dan Kelautan pada tahun 2002 dengan tujuan membantu pengelolaan sumberdaya alam baik darat dan laut secara lestari. Dalam perjalanan pendampingan pengelolaan sumberdaya tersebut, TNC mulai mengenalkan penggunaan metode CAP yang dilakukan di berbagai daerah di dunia. Pengenalan penggunaan metode CAP kepada masyarakat di Berau dimulai pada tahun 2011. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan diadakannya pelatihan kecil kepada beberapa fasilitator dari beberapa kelompok masyarakat dampingan Tim Kelautan TNC yang berasal dari Kampung Tanjung Batu dan Biduk-Biduk pada tahun 2012. Dari pelatihan tersebut masyarakat mulai diperkenalkan sebuah cara yang dapat dilakukan untuk mengukur keberhasilan dari sebuah upaya pengelolaan yang mengutamakan target dan prioritas dengan tujuan pengurangan tekanan pada sebuah sumberdaya alam yang perlu dijaga. Dokumen ini merupakan praktik lanjutan yang dilakukan oleh Tim Kelautan TNC bersama dengan fasilitator yang terlatih dari pelatihan yang pernah dilakukan pada tahun 2012. Penggalian informasi dalam CAP bertujuan untuk mengidentifikasi target dan permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terdapat dalam tingkat tapak. Hasil dari identifikasi ini nantinya akan memperkaya informasi di tingkat Kabupaten dan membantu adaya upaya perencanaan pengelolaan yang adaptif pada setiap tingkatan (Kecamatan, Kabupaten).
C. Penggalian Informasi Penggalian informasi dilakukan dengan menggunakan metode diskusi terfokus oleh beberapa perwakilan dari kelompok JALA. Kelompok JALA dipilih sebagai narasumber informasi terkati dengan CAP dikarenakan kelompok JALA merupakan wadah koordinasi antara nelayan di Kampung Tanjung Batu yang berjumlah lebih kurang 300 orang. Dengan demikian, JALA cukup mengerti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir khususnya nelayan yang berdomisili di Kampung Tanjung Batu. Diskusi terbatas dilakukan oleh Fasilitator Lokal yang bertugas dengan Kelompok JALA dan masyarakat Kampung Tanjung Batu. Perinciaan informasi secara untuk mengidentifikasi lebih jauh CAP kemudian dilakukan oleh Fasilitator Lokal dengan area kerja Tanjung Batu bersama dengan tim outreach TNC. 3
Penyusunan rantai CAP kemudian dilakukan oleh tim outreach TNC dengan berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat melalui Fasilitator Lokal.
4
Bab 2. Profil Kampung Tanjung Batu Kampong Tanjung Batu terletak di Pulau Kalimantan tepatnya di Kalimantan Timur,Kabupaten Berau yang terletak pada koordinat N 2ᵒ17’18.7” ; E 118ᵒ06’08.7”, dengan jarak tempuh melalui jalan darat ± 115 Km/ ± 2 jam jika melalui laut ± 60 Km/1,5 jam dari ibu kota Kabupaten. kampong ini merupakan kampong besar dengan laus wilayah Kampong ± 16.000 Ha, sedang Luas keseluruahnya ± 40.000 Ha, yang menjadi ibukota kecamatan Pulau Derawan dengan segala kelengkapanya dan menjadi salah satu pintu gerbang daerah wisata /Transit Poin yang dilewati kapal/speed boat untuk wisata memancing dan ini sangat populer di kampung ini dan menjadi tren baru serta menambah majunya perekonomian masyarakat, dengan jumlah penduduk ± 2641 jiwa Tanjung Batu dicanangkan menjadi “Little Country”. Kampung Tanjung Batu berfungsi sebagai daerah penyangga wisata Pulau Derawan, Sangalaki, Kakaban dan Maratua juga memiliki potensi sumber dayap esisir dan laut yang besar, terutama dalam sector perikanan, bahkan termasuk penghasil perikanan terbesar di Kabupaten Berau (± 2 ton/hari).
Gambar 1. Dermaga Kampung Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau
Suku Asli Kampong Tanjung Batu adalah suku bajau akan tetapi ada juga suku-suku lain seperti bugis,jawa, banjar berau, dayak dan tidung. Adapun komposisinya sebagai berikut,Suku Bajau ± 50% yang mayoritas masyarakat suku ini bekerja sebagai nelayan dan rata-rata mendiami dipinggir-pinggir sepanjang pantai di Tanjung Batu, kedua Suku Bugis ± 30% adalah yang terbesar kedua mereka adalah pendatang yang mengadu nasib biasanya dan kebanyakan berusaha sebagai nelayan bagan baik tancap maupun terapung, yang sisanya 20 % adalah suku jawa, banjar, dayak, berau dan tidung juga pendatang yang bekerja/ berusaha di kampong tanjung batu sebagai pedagang,tukang dan karyawan
5
Pontesi Sumber Daya Alam di Kampung Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan 1. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan istilah biologi untuk sebutan suatu ekosistem laut yang sangat unik karena secara keseluruhan ekosistem ini terjadi dari hasil proses biologi yang sangat kompleks dan seimbang dari berbagai organisme baik tumbuhan maupun hewan laut. Adapun sebutan “karang” sendiri merupakan istilah untuk substrat dasar berupa endapan-endapan masif berupa kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh hewan-hewan karang (Phylum Cnidaria, ordo Scleractinia), jenis alga berkapur (calcareus alga) serta organisme penghasil kapur lainnya seperti sponge, molluska dan foraminifera. Terumbu karang (TK) di Kepulauan Berau tersebar hampir di seluruh garis pantai dan gusung (gosong/taka). Kepulauan ini memiliki 3 tipe habitat (terumbu) yaitu; 1. Barrier Reef (Karang Penghalang) di Utara (P.Panjang – P. Derawan – Cagar Alam (CA) Pulau Samama - Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Sangalaki; 2. Atoll (Karang Atol) di Timur (Pulau Maratua, Pulau Kakaban) 3. Patch Reef (Karang datar atau menyebar) di Selatan (P. Kaniungan, P.Balikukup) Sebanyak ± 470 species (jenis) karang ditemukan di Kepulauan Berau yang menjadikan keanekaragaman jenis karangnya berada di posisi ke-2 setelah Kepulauan Raja Ampat (Berau Rapid Ecological Assessment, 2010). Ekosistem terumbu karang di kawasan perairan di wilayah kampung Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan dalam pengamatan yang dilakukan pada tahun 2010 -2013 menunjukkan kondisi karang dengan rata-rata penutupan karang antara 0-25%. Hal ini terjadi karena adanya praktik penangkapan tidak ramah lingkungan (bom, racun potassium, trawl) yang pernah dilakukan oleh sebagian nelayan. Namun demikian dari analisis data, tingkat kerusakan terumbu karang yang rendah ditemukan di sisi barat.P.Panjang di yang berada dekat dengan kampung Tanjung Batu dan Pulau Derawan, dan sebagian besar karang tepi di Biduk-Biduk. Faktor dekatnya lokasi dengan masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap karang diduga menjadi faktor penyebab rendahnya tingkat kerusakan karang di lokasilokasi ini. Daerah yang terdeteksi sebagai lokasi yang tidak ditemukan kerusakan karang terdapat di tubir sisi timur sekitar P. Panjang. Adanya kegiatan pengawasan oleh masyarakat dari masyarakat Tanjung. Batu cukup efektif menurunkan praktek perikanan yang merusak di lokasi ini. Selain itu lokasi terumbu karang yang berada di tubir karang luar dan berbatasan langsung dengan laut dalam dengan kemungkinan adanya upwelling diduga menjadi faktor pendukung pemulihan karang di lokasi ini. Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Taman Pesisir Kepulauan Derawan yang telah dicadangkan melalui Keputusan Bupati No. 516 Tahun 2013, yang mencakup kawasan terumbu karang penghalang yang terdapat di kawasan perairan kampung Tanjung Batu. Dengan adanya pencadangan ini, pengawasan masyarakat diharapkan dapat mendukung pengelolaan kawasan yang nantinya menuju 6
kelestarian sumberdaya alam pesisir dan laut yang bertujuan untuk tersedianya sumberdaya alam laut yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara berkelanjutan. 2. Ekosistem Padang Lamun Ekosistem padang lamun adalah salah satu ekosistem pesisir yang ditumbuhi lamun (seagrass) sebagai vegetasi dominan. Lamun adalah kelompok tumbuhan berbji tertutup (angiospermae) dan berkeping tunggal (monokotil) yang mampu hidup secara permanen dibawah permukaan air laut (Sheppard et all.,1996). Batas ekosistem padang lamun berada diantara batas terendah pasang surut dan sampai kedalaman tertentu dimana sinar matahari bisa mencapai dasar perairan. Padang lamun merupakan satu ekosistem penting dengan produktivitas primer dan sekunder dan penghasil detritus yang tinggi sehingga dapat menunjang ekosistem lainnya. Ekosistem padang lamun juga memiliki peranan sebagai tempat asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), tempat berlindung dan tempat migrasi untuk beberapa jenis hewan (Sherpard et all,.1996). Secara khusus peranan padang lamun di perairan Berau sangat penting mengingat kawasan ini merupakan kawasan tempat bertelur (nesting ground) dan mencari makan (feeding ground) penyu hijau yang sangat penting di perairan Indonesia. Di wilayah perairan Berau sendiri ditemukan sekitar 8 jenis lamun yaitu Halodule univervis, Halodule pinifolia, Cyamodocea rotunda, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovata dan Halophila ovalis. Sebaran jenis lamun dan penutupan padang lamun di pesisir Berau bervariasai antara 5 – 80%. Tutupan yang masih bagus dan sangat luas ditemukan di Maratua. Tutupan padang lamun di sekitar wilayah pesisir dekat daratan utama di Kampung Tanjung Batu sampai saat ini belum diketahui. 3. Ekosistem Mangrove Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang sangat produktif. Sebagian besar hasil produksi hutan mangrove memasuki sistem energi sebagai detritus atau bahan organik mati. Hanya sekitar 7% saja daunnya dimakan oleh herbivora, selebihnya serasah memasuki siklus energi sebagai detritus (Johnstone, 1981). Hutan Mangrove merupakan suatu ekosistem yang khas di garis pantai yang mempunyai beberapa fungsi penting, yaitu :
Fisik : Menjaga garis pantai dari abrasi/erosi pantai. Mangrove mempunyai kemampuan mengikat substrat tepi pantai dari gempuran ombak pantai. Biologi : Hutan mangrove dimanfaatkan oleh jenis-jenis ikan, reptilia, amphibia, aves, arthropoda, dan invertebrata sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat istirahat (resting ground), tempat berlindung, tempat asuhan (nursery ground) dan tempat ruaya (proses migrasi dalam siklus hidup) beberapa jenis ikan dan crustacea. Tegakan mangrove juga merupakan habitat bagi satwa daratan seperti berbagai jenis primata (monyet, bekantan, beruk dll), reptil (buaya muara, ular) dan berbagai macam jenis burung. Sosial Ekonomi: Mangrove dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat budidaya air payau (aquaculture), bahan pembuat kertas (pulp), bahan bangunan, dll. Hutan mangrove juga
7
menyediakan berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi, seperti kerang, teripang, ikan bandeng, serta kepiting bakau. Berdasarkan kajian yang dilakukan pada tahun 2011 terkait penyusunan data base penutupan mangrove di Kabupaten Berau, distribusi kawasan mangrove di seluruh wilayah Kecamatan Derawan meliputi wilayah Tanjung Batu, wilayah Delta Berau dan Pulau-pulau yang terdiri dari: Pulau Badakbadak, Guntung, Kolawan, Lungsuran Naga, Nakal, Pagat, Rabu-rabu, Saodang Besar, Telasau, Tempurung, Tidung, Pulau Panjang, Semama, Sangalaki dan Derawan. Berdasarkan hasil kajian penutupan lahan dan sebaran vegetasi mangrove dapat diperkirakan bahwa luas ekosistem mangrove pada areal studi di Kecamatan Pulau Derawan berkisar 37.212 hektar, dengan luasan mangrove di Kampung Tanjung Batu seluas 3.960 hektar. Selain itu menurut pengamatan yang dilakukan oleh Badan Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BALITEK KSDA), ditemukan jenis mangrove yang sudah sangat langka di daerah pesisir Kampung Tanjung Batu, yakni Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. Jenis ini awalnya diperkirakan sudah tidak ada di Indonesia dan sudah lama masuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies – spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah. Dengan ditemukannya jenis mangrove langka di kampung ini menambah alasan pentingnya perlindungan mangrove di Pesisir Kampung Tanjung Batu oleh Pemerintah dan masyarakat. 4. Ekosistem Hutan Hutan di Kalimantan lebih dikenal dengan nama hutan campuran dipterocarpaceae dataran rendah, sebab pada hutan ini penyebaran dan potensi jenis dari suku dipterocarpaceae sangat dominan dibandingkan jenis pohon dari suku lainnya. Banyaknya jenis yang terdapat dalam suku dipterocarpaceae sangat menyulitkan dalam identifikasi, khususnya untuk tingkat jenis. Dari ciri vegetatif, beberapa jenis bahkan cenderung sangat sulit dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis Dipterocarpaceae yang terdapat di Kabupaten Berau mempunyai jumlah jenis Dipterocarpaceae yang tinggi yaitu 99 jenis. Total seluruh jenis yang ada di wilayah Kalimantan (termasuk Brunei, Sarawak dan Sabah) sebanyak 267 jenis yang berarti sekitar 37% jenis tersebut di temukan di Kabupaten Berau. Kawsan hutan yang terdapat di Kamputn Tanjung Batu masuk ke dalam dua jenis status yakni Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) untuk keperluan hutan produksi dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) bagi peruntukan hutan konversi. Kegiatan penebangan kayu secara legal melalui HPH telah berlangsung selama bertahun-tahun akibatnya pohon-pohon besar dengan diameter di atas 50 cm kebanyakan telah hilang. Sedangkan pada kawasan KBNK saat ini sebagian besar telah dikonversi menjadi perkebunan sawit yang salah satunya dapat ditemukan dekat dengan daerah pesisir. Hal ini menjadi perhatian warga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan karena dapat mempengaruhi kondisi karang dan biota laut akibat sedimentasi yang ditimbulkan Oleh karena itu masyarakat nelayan dengan fasilitasi kelompok JALA mengupayakan kesepakatan untuk adanya perlindungan kawasan
8
mangrove sebagai daerah penyangga agar dapat mengurangi bahkan mencegah sedimentasi yang mungkin timbul dari kegiatan pemanfaatan hutan di daratan pesisir Tanjung Batu.
Kelompok Masyarakat Jaringan Nelayan (JALA) Kelompok JALA (Jaringan Nelayan) yang terbentuk pada tanggal 30 Juli 2010 adalah sebuah Perkumpulan atau Kelompok Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang konservasi lingkungan khususnya Laut dengan Visi “Mewujudkan pelestarian ekosistem laut dan Mangrove untuk meningkatkan kesehjateraan masyarakat pesisir pantai, nelayan Tanjung Batu”. JALA didirikan karena kesadaran masyarakat kampung Tanjung Batu yang berada di daerah yang mempunyai kekayaan laut yang melimpah, serta masyarakat nelayan Kampung Tanjung Batu sangat bergantung pada sumberdaya laut. Telah berpuluh-puluh tahun masyarakat nelayan Tanjung Batu memanfaatkan sumber daya laut melalui perikanan tangkapnya. Kondisi alam dan sosial ekonomi masyarakat khususnya nelayan Kampung Tanjung Batu telah berubah, dari yang dulunya mudah untuk menangkap ikan banyak dan sekarang sudah dirasakan cukup sulit. Hal ini terlihat dari bertambah jauhnya lokasi untuk mencari ikan, berkurangnya hasil tangkapan serta mengecilnya ukuran ikan yang tertangkap. Hal tersebut disebabkan karena adanya penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yaitu penggunaan bom dan potassium yang sangat meresahkan dan mengganggu aktivitas nelayan lainnya. Hal lainnya yang menambah keresahan para nelayan adalah praktik penangkapan tidak ramah lingkungan ini terkesan dibiarkan saja oleh aparat hukum dan tidak adanya aturan yang jelas mengenai pengelolaan kawasan penangkapan ikan di Kawasan Tanjung Batu dan sekitarnya. Di sisi lain, masyarakat khususnya nelayan adalah komponen kunci dalam pengelolaan kawasan laut disamping sebagai pengguna langsung. Masyarakat dalam hal ini juga memiliki pengetahuan, pengalaman dan informasi yang didapatkan secara turun temurun, namun informasi ini tidak tekelola dan terdokumentasi dengan baik. Sadar akan pentingnya data dan informasi sebagai dasar dalam penentuan langkah kedepan, demi keberlanjutan sumber daya laut yang terkelola dengan baik serta demi kesejahteraan, maka beberapa kelompok-kelompok nelayan dengan latar belakang cara tangkap berbeda (nelayan pancing, pukat, bagan dan penampung) bersepakat membuat satu wadah untuk mengaspirasikan keinginan menjaga ketersediaan sumber daya perikanan yang lestari melalui Jaringan Nelayan (JALA) . Visi kelompok JALA adalah: “Mewujudkan pelestarian ekosistem laut dan pantai untuk meningkatkan kesehjateraan masyarakat pesisir pantai, nelayan Tanjung Batu”
Misi : 1. Memastikan adanya pengawasan (monitoring & patroli) secara berkelanjutan yang dilakukan secara bersama dari Aparat Penegak Hukum, Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat 2. Memastikan adanya Kawasan Perlindungan Laut (KPL) Tanjung Batu yang dikelola dengan baik oleh Badan Pengelola 9
3. Memastikan adanya Kawasan Perlindungan Mangrove (KPM) Tanjung Batu yang dikelola dengan baik 4. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan Tanjung Batu dalam bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan 5. Memastikan terjaganya adat dan budaya Suku Bajau Tanjung Batu Dalam setiap kegiatannya JALA selalu menyampaikan pesan bahwa pengelolaan Sumberdaya Perairan di Tanjung Batu harus dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan sehingga hasil ikan dan biota laut dapat terus tersedia. JALA mendukung kegiatan konservasi dan telah mempelopori adanya pengepul ikan ramah lingkungan yang tidak menerima ikan yang ditangkap dengan cara tidak ramah lingkungan.
10
Bab 3. Penyusunan Rencana Aksi Konservasi Kampung Tanjung Batu Diagram yang dihasilkan dari informasi yang digali dari perwakilan masyarakat di Kampung Tanjung Batu terkait dengan Rencana Aksi Konservasi
11
Table identifikasi CAP Kampung Tanjung Batu
No I
Target Konservasi Terumbu Karang
Ancaman Langsung 1.1
Bom dan Potassium
Ancaman tidak langsung 1.1.1
Tidak adanya pengelolaan kawasan di wilayah perairan Tanjung Batu yang melindungi ekosistem lamun dan terumbu karang dari praktik penggunaan bom dan potasium
Situasi Ideal 1.1.1
Adanya pengelolaan kawasan di wilayah perairan Tanjung Batu yang melindungi ekositem lamun dan terumbu karang dari praktik pemanfaatan tidak ramah lingkungan
Strategi 1.1.1.a
Penetapan Kawasan Perlindungan Laut (KPL) di wilayah kampung Tj. Batu
1.1.1.b. Pengawasan dan monitoring kawasan perlindungan laut di wilayah kampung Tj. Batu 1.1.1.c. Adanya badan pengelola KPL di kampung Tanjung Batu 1.1.1.d. Adanya Peraturan Kampung tentang Pengelolaan KPL di Kampung Tanjung Batu 1.1.2
Masih banyak konsumen ikan yang belum memahami konsumsi ikan ramah lingkungan permintaan ikan tinggi
1.1.2
Meningkatnya kesadaran para konsumen ikan tetang pentingnya konsumsi ikan dengan cara tangkap ramah lingkungan
1.1.2.a.
Kampanye penyadaran kesadaran masyarakat (perkotaan/ Tj. Redeb) terhadap pentingnya konsumsi ikan ramah lingkungan
12
1.1.2.b. Membangun jejaring dengan jurnalis media masa mengenai pentingnya konsumsi ikan ramah lingkungan
1.1.3
Ada penampung yang bersedia menerima ikan tidak ramah lingkungan
1.1.3. Berkurangnya Penampung yang bersedia menerima ikan tidak ramah lingkungan
1.1.2.c.
Membangun komunikasi dengan YLKI
1.1.3.a.
Kampanye kesadaran penampung tentang pentingnya ikan ramah lingkungan
1.1.3.b. Membentuk kelompok penampung ikan ramah lingkungan Tj. Batu 1.1.4
Belum ada regulasi yang mengatur penampung ikan tidak ramah lingkungan
1.1.4. Adanya peraturan yang mengatur tentang penampung ikan tidak ramah lingkungan
1.1.4.a.
Penguatan internal kelompok tentang peraturan ikan tidak ramah lingkungan
1.1.4.b. Inisiasi peraturan kampung tentang ikan tidak ramah lingkungan 1.1.5
Bahan-bahan bom dan potasium mudah didapatkan dan Ada jaringan supply bahan2 bom dan potassium
1.1.5. Bahan-bahan bom dan potassium tidak mudah didapatkan dengan Pemutusan rantai jaringan supply bahan2 bom dan potassium
1.1.5.a.
Membangun kerjasama dengan aparat dalam mengatasi peredaran bahan-bahan bom dan potassium
13
1.1.6
Lemahnya penerapan hukum yang berujung pada efek jera
1.1.6. Penerapan hukum berjalan dengan baik dan menimbulkan efek jera
1.1.7
Tuntutan ekonomi keluarga nelayan tradisional yang tinggi
1.1.7. Peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan tradisional
1.1.8
Pudarnya kearifan lokal tentang pemanfaatan sumber daya pesisir secara lestari
1.1.8. Kearifan lokal tentang pemanfaatan sumber daya pesisir secara Lestari tetap terjaga melalui pelaksanaan adat kampung
1.1.5.b. Membangun komunikasi dengan masyarakat mengenai pemberantasan peredaran bahan-bahan bom dan potassium 1.1.6.a. Koordinasi pihak aparat yang terjalin dengan baik (AL, Polisi, DKP, Penyidik, Kejaksaan) 1.1.7.a.
Membangkitkan kembali budaya gotong royong dengan menggalang kegiatan " gerakan satu ekor ikan - GSI" 1.1.7.b. Membangun bidangbidang usaha sebagai bagian dari kegiatan GSI untuk menunjang peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan tradisional 1.1.7.c. Mendorong terlaksananya "tabungan ikan" bagi nelayan ramah lingkungan tj. Batu 1.1.8.a. Membangkitkan kembali budaya lokal tentang kearifan pemanfaatan pesisir di Kampung Tj Batu
14
1.1.8.b. Penguatan lembaga adat kampung tanjung batu 1.2
Sampah
1.2.1
Belum ada pengelolaan sampah dan tempat pembuangan sampah rumah tangga dan TPA
1.2.1. Adanya pengelolaan sampah dan tempat pembuangan sampah rumah tangga dan TPA
1.2.1.a.
Pembentukan wadah pengelola sampah di tj. Batu
1.2.1.b. Pengadaan tempat pembuangan sampah rumah tangga 1.2.2
Belum ada aturan tentang pengelolaan sampah di tingkat kampung
1.2.2. Adanya aturan tentang pengelolaan sampah di tingkat kampung
1.2.2.a.
Penguatan perangkat kampung dalam penyusunan peraturan ttg sampah
1.2.2.b. Inisiasi aturan pengelolaan sampah di tingkat kampung 1.2.3
Kesadaran masyarakat dan pengusaha yang kurang ttg dampak penggunaan bahan non organic/ plastic, kaleng
1.2.3. Tingginya kesadaran masyarakat dan pengusaha ttg dampak penggunaan bahan non organic/ plastic, kaleng
1.2.3.a.
Kampanye penyadaran dampak penggunaan bahan non organic terhadap lingkungan dan kesehatan 1.2.3.b. Mendorong pelaksanaan pemilahan sampah organic dan non organic
1.2.4
Belum adanya pengolahan sampah secara terpadu di tingkat kecamatan
1.2.4. Adanya pengolahan sampah secara terpadu di tingkat kecamatan
1.2.4.a.
Penguatan wadah pengelola sampah kampung Tj. Batu
15
1.2.5. Adanya tempat pembuangan akhir TPA (alternatif - program dikembangkan bila diperlukan/ bila Tempat pembuangan Sampah rumah tangga tidak mencukupi dan TPA diperlukan di kampung Tj. Batu)
1.2.4.b. Inisiasi pembentukan kelompok (L/P) pengolah sampah di kampung Tj Batu 1.2.5.a. Pengadaan TPA tanjung batu melalui kerjasama dengan dinas terkait
1.2.5.b. Membangun mekanisme pengelolaan dan pengolahan sampah bekerjasama dengan instansi/ lembaga terkait
1.3
Kapal Kandas
1.3.1
Belum ada pengelolaan kawasan yang dilindungi
1.3.1. Adanya pengelolaan 1.3.1.a. kawasan yang dilindungi
Pembentukan KPL Kampung tj. Batu (sama dengan startegi dari bom potassium) 1.3.1.b. Tambahan - peraturan kampung ttg pengelolaan KPL
16
1.3.2
Belum ada tanda batas pengelolaan kawasan
1.3.2. Adanya tanda batas pengelolaan kawasan
1.3.2.a.
Penetapan lokasi tanda batas kawasan perlindungan laut
1.3.2.
Belum ada aturan alur pelayaran tingkatan kampung, sesuai dengan aturan alur tingkat kabupaten Belum adanya kesadaran masyarakat akan kerusakan karang akibat kabal kandas
1.3.2. Terdapat aturan alur pelayaran tingkat kampung yang sesuai dengan aturan alur tingkat kabupaten 1.3.3. Adanya Kesadaran masyarakat tentang kerusakan karang akibat kapal kandas
1.3.2.a.
Harmonisasi aturan alur pelayaran tingkat kampung dan tingkat kabupaten
1.3.3.a.
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang kerusakan karang akibat kapal kandas
Pembukaan lahan Kelapa Sawit di Sungai Pandan
1.4.1. Pembukaan lahan kelapa sawit yang memperhatikan lingkungan/ dampak sedimentasi dan pencemaran bahan kimia (pupuk, dll)
1.4.1.a.
1.3.3
1.4
Sedimentasi dan bahan kimia dari darat
1.4.1
Komitmen perusahaan kelapa sawit dalam mengurangi dampak sedimentasi dan pencemaran bahan kimia/ limbah ke perairan di sekitar tanjung batu 1.4.1.b. Ikut berpartisipasi/ berkontribusi dalam pengelolaan kawasan Taman Pesisir yang melindungi keberlanjutan sumberdaya pesisir dan laut
17
1.4.2
1.5
Jangkar kapal
Adanya praktik pengambilan kayu oleh perusahaan HPH di kawasan Tanjung Batu
1.4.2. Perusahaan HPH yang memperhatikan lingkungan perairan dalam praktik penebangan kayu/ memiliki sertifikasi pengambilan kayu yang memiliki dampak minimal terhadap lingkungan
1.4.2.a.
Komitmen perusahaan HPH dalam mengurangi dampak sedimentasi akibat praktik penebangan kayu ke perairan di sekitar tanjung batu
1.4.2.b. Ikut berpartisipasi/ berkontribusi dalam pengelolaan kawasan Taman Pesisir yang melindungi keberlanjutan sumberdaya pesisir dan laut 1.4.3.a. Komitmen pengusaha tambak dalam mengurangi dampak sedimentasi dan limbah tambak ke perairan di sekitar tanjung batu
1.4.3
Pembukaan tambak di Tanah Kuning
1.4.3. Pembukaan tambak yang memperhatikan lingkungan/ dampak sedimentasi
1.5.1
Belum ada pengelolaan kawasan yang dilindungi
1.5.1. Adanya pengelolaan 1.5.1.a kawasan yang dilindungi
Adanya pengelolaan kawasan yang dilindungi (sama dengan Kapal kandas, strategi 1 …)
18
II
Mangrove (daerah Bulalung s/d Kubuan)
2.1
1.5.2
Belum ada tanda batas pengelolaan kawasan
1.5.2. Adanya tanda batas pengelolaan kawasan
1.5.2.b
1.5.3
Belum adanya floating buoy untuk tambatan kapal tanpa menggunakan jangkar
1.5.3. Adanya floating buoy sebagai tambatan kapal di daerah segitiga karang tj batu
1.5.3.a.
Penebangan 2.1.1 mangrove untuk bahan bagan dan rumpon
Tidak ada pengelolaan daerah perlindungan mangrove di wilayah pesisir Tj. Batu
2.1.1. Adanya pengelolaan daerah perlindungan mangrove di wilayah pesisir Tj. Batu
Adanya tanda batas pengelolaan kawasan (sama dengan Kapal kandas, strategi 2 …)
Adanya floating buoy yang terpasang di wilayah taman pesisir tanjung batu yang dilindungi 1.5.3.b. Adanya kesepakatan tentang penggunaan floating buoy oleh masyarakat khususnya nelayan (masuk dalam pengelolaan KPLperkam) 2.1.1.a. Penetapan Kawasan Perlindungan Mangrove (KPM) di wilayah kampung Tj. Batumenyatu dengan KPL 2.1.1.b. Pengawasan dan monitoring kawasan perlindungan Mangrove di wilayah kampung Tj. Batu 2.1.1.c. Adanya badan pengelola KPLM di kampung Tanjung Batu 2.1.1.d. Adanya Peraturan Kampung tentang Pengelolaan KPLM di 19
Kampung Tanjung Batu
2.1.2
Kesadaran masyarakat yang kurang tentang manfaat dan fungsi mangrove
2.1.2. Kesadaran masyarakat yang tinggi tentang manfaat dan fungsi mangrove
2.1.2.a.
Penyadaran masyarakat tentang pemanfaatan mangrove
2.1.2.b. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pelestarian mangrove di Kampung Tanjung Batu 2.2
2.3
Pembukaan lahan sawit/ kegiatan HPH yang tidak memperhatikan dampak terhadap kerusakan mangrove Kapal dari pengusaha kayu - sebagai tambatan dan tertabrak kapal tongkang yang memuat kayu karena tidak ada pelabuhan khusus
2.2.1
Pengusaha sawit dan HPH yang tidak berkomitmen dalam melaksanakan AMDAL
2.2.1. Komitmen pelaksanaan AMDAL yang baik oleh pengusaha sawit dan HPH
2.2.1.a.
Adanya Komitmen pengusaha sawit dan HPH dalam mengurangi dampak kerusakan mangrove di sekitar tanjung batu
2.3.1
Tidak ada pengelolaan daerah perlindungan mangrove di wilayah pesisir Tj. Batu
2.3.1. Adanya pengelolaan daerah perlindungan mangrove di wilayah pesisir Tj. Batu
2.3.1.a.
Sama dengan strategi penebangan mangrove poin 1 -
20
2.3.2
III.
Biota laut yang terancam punah (Napoleon, Pari Manta, Hiu, Penyu, Setasean)
3.1
Pemakaian alat tangkap tidak ramah lingkungan (bom, potassium (bahan kimia beracun), pukat harimau)
3.1.1
3.1.2
Tidak adanya aturan/pengawasan terhadap pengerusakan mangrove akibat kapal tongkang atau kapal lainnya Adanya penampung yang menerima biota laut terancam punah
Masih adanya permintaan pasar dari hasil/ produk biota laut terancam punah lokal dan luar daerah
2.3.2. Adanya aturan/ pengawasan terhadap pengerusakan mangrove akibat kapal tongkang/ kapal lainnya
2.3.2.a.
SOP dan peraturan kampung mengakomodir aturan tambat kapal dan alur kapal di kawasan mangrove
3.1.1. Penampung tidak menerima biota laut terancam punah
3.1.1.a.
Terbangunnya komitmen penampung untuk tidak menerima biota laut terancam punah dari nelayan
3.1.2. Tidak ada permintaan pasar dari hasil/ produk biota laut terancam punah lokal dan luar daerah
3.1.1.b. Adanya pengawasan terhadap pelaksanaan komitmen tidak menampung biota laut terancam punah oleh masyarakat dan aparat terkait 3.1.2.a. Adanya kesadaran konsumen tentang pentingnya menjaga biota laut terancam punah 3.1.2.b. Peningkatan peran pemerintah terhadap biota laut terancam punah sebagai keunikan atau kekayaan daerah untuk tujuan wisata 21
3.1.3
Kurangnya kesadaran masyarakat tentang fungsi biota laut yang terancam punah dalam ekosistem perairan
3.1.3. Masyarakat memahami fungsi biota laut yang terancam punah dalam ekosistem perairan
3.1.3.a.
Peningkatan pemahaman masyarakat tentang fungsi biota laut yang terancam punah dalam ekositem perairan
3.1.3.b. Terbangunnnya komitmen masyarakat untuk menjaga biota laut yang terancam punah
3.2
3.1.4
Tidak ada aturan yang menjaga atau melindungi biota laut terancam punah di tingkat kabupaten/ kampung
3.1.4. Adanya aturan yang menjaga atau melindungi biota laut terancam punah di tingkat Kabupaten/ kampung
Pemburuan 3.2.1 biota laut terancam punah oleh nelayan lokal dan nelayan luar 3.2.2
Adanya penampung yang menerima biota laut terancam punah
3.2.1. Penampung tidak menerima biota laut terancam punah
Masih adanya permintaan pasar dari hasil/ produk biota laut terancam punah lokal dan luar daerah
3.2.2. Tidak ada permintaan pasar dari hasil/ produk biota laut terancam punah lokal dan luar daerah
3.1.4.a.
Mendorong pembuatan aturan menjaga dan penanganan biota laut terancam punah di tingkat kabupaten dan kampung 3.1.4.b. Pengawasan terpadu aturan pemerintah tentang biota laut terancam punah 3.2.1.a. Sama seperti strategi penampung yang sudah dibuat
3.2.2.a.
sama seperti strategi permintaan pasar yang sudah disusun
22
3.2.3
3.3
Adanya mitos dari produk hasil olahan biota laut terancam punah memiliki manfaat istimewa
3.2.3. Pemahaman yang benar 3.2.3.a. dari masyarakat tentang mitos manfaat istimewa hasil biota terancam punah 3.2.3.b.
Adanya kebenaran informasi tentang manfaat produk/ hasil biota terancam punah Peningkatan peran dan kerjasama pihak terkait (termasuk lembaga adat) dalam pemahaman kebenaran mitos Strategi sama dengan pembuatan aturan yang telah dibuat
3.2.4
Tidak berjalannya penegakan hukum dari kegiatan perburuan biota laut dengan efektif
3.2.4. Penegakan hukum berjalan dengan efektif
3.2.4.a.
Biota laut 3.3.1 terancam sebagai by catch yang tidak tertangani dengan baik dari usaha perikanan 3.3.2
Adanya penampung yang menerima biota laut terancam punah sebagai by catch
3.3.1. Penampung tidak menerima biota laut terancam punah
3.3.1.a.
Sama seperti strategi penampung yang sudah dibuat - tidak menerima by catch biota laut terancam punah
Masih adanya permintaan pasar dari hasil/ produk biota laut terancam punah lokal dan luar daerah Kesadaran masyarakat yang kurang tentang penanganan biota laut sebagai by catch yang tertangkap oleh nelayan
3.3.2. Tidak ada permintaan pasar dari hasil/ produk biota laut terancam punah lokal dan luar daerah 3.3.3. Masyarakat mengetahui penanganan biota laut sebagai by catch yang tertangkap oleh nelayan
3.3.2.a.
sama seperti strategi permintaan pasar yang sudah disusun
3.3.3.a.
Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang penanganan biota laut terancam punah yang tertangkap
3.3.3
23
3.3.4
Tidak ada aturan penanganan biota laut terancam punah di tingkat kabupaten/ kampung
3.3.4. Adanya aturan penanganan biota laut terancam punah di tingkat Kabupaten/ kampung
3.3.3.b. Mendorong peran pemerintah dalam penanganan biota laut terancam punah yang tertangkap nelayan 3.3.4.a. Strategi seperti pembuatan aturan menambahkan aturan penanganan biota laut terancam punah
24
Referensi Pemerintah Kabupaten Berau. 2013. Keputusan Bupati Berau Nomor 516 Tahun 2013 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai Taman Pesisir Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau. The Nature Conservancy. 2006. Conservation Action Planning Handbook, Developing Strategies Taking Action and Measuring Success at Any Scale. Version December 2006. The Nature Conservancy, Coastal and Marine Program. 2010. Report on a Rapid Ecological Assessment of the Derawan Islands, Berau District, East Kalimantan, Indonesia, October 2003. The Nature Conservancy, Coastal and Marine Program. Bali. Rayadin, Y. dkk. 2011. Penyusunan Data Base Mangrove Kecamatan Pulau Derawan Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Berau.
http://balitek-ksda.or.id/2012/09/mangrove-langka-ditemukan-di-tanjung-batu-berau/
25