TIPOLOGI PEMIKIRAN DAN APLIKASI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN
SKRIPSI Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh: SOIMUN ENDARTO NIM: 243022073
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO April 2006
ABSTRAK Nama : Soimun Endarto Nim : 243022073 Judul Skripsi : Tipologi Pemikiran dan Aplikasi Pendidikan Islam Menurut K. H. Ahmad Dahlan Pada awal abad ke-20 dunia pendidikan Islam masih ditandai adanya dualisme pendidikan atau dikotomi pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Bisa dilihat dalam lembaga pendidikan Islam waktu itu, katakanlah pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, maka tidak bisa lagi memenuhi tuntutan zaman. Adapun pendidikan yang dikembangkan pemerintah Belanda yang hanya bermuatan ilmu umum tanpa mengimbangi ilmu agama, maka akan melahirkan out come yang rakus dan pemarah. K. H. Ahmad Dahlan merupakan tokoh pembaharu pendidikan Islam dari Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat waktu itu. Dialah tokoh yang berusaha mengintegralkan pendidikan umum dan agama diberbagai lembaga pendidikan pada waktu itu. Wacana pemikiran K. H. Ahmad Dahlan akan dipahami secara simpel setelah ditipologisasikan. Tipologi dalam semua aspek pemikiran berimplikasi pada simplification (penyederhanaan). Beranjak dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana konsep pemikiran K. H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam, Bagaimana model pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan dan bagaimana perspektif pemikiran pendidikan Islam terhadap model pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan. Penelitian ini ialah penelitian kepustakaan, maka metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah mengumpulkan data-data dari literatur yang relevan dengan permasalahan. Sedang penganalisaannya penulis gunakan analisa induktif, deduktif dan analisa deskriptif. Pendekatan yang penulis gunakan ialah pendekatan historis untuk menelusuri sejarah pertumbuhan dan pemikiran pendidikan serta setting sosial pendidikan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsep pemikiran pendidikan Islam yang dibangun K. H. Ahmad Dahlan ialah pengkolaborasian atau mensinergikan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama dalam kurikulum sekolah atau madrasah, model pendidikan menurutnya yaitu klasikal, perspektif pemikiran K. H. Ahmad Dahlan masih mengembangkan wawasan “kultur” pendidikan waktu itu.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................... ii HALAMAN NOTA DINAS ........................................................................................iii HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................................iv HALAMAN MOTTO ................................................................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................vi KATA PENGANTAR ................................................................................................ vii ABSTRAK ...................................................................................................................ix TRANSLITERASI ...................................................................................................... x DAFTAR ISI ............................................................................................................... xii BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 8 E.
Tinjauan Pustaka ................................................................................ 8
F.
Penegasan Istilah ............................................................................... 10
G. Metode Penelitian ............................................................................. 11 H. Sistematika Pembahasan ................................................................... 14 xii
BAB II
: KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Islam.............................................................. 17 B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam ................................................. 23 C. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam ....................... 32 1. Pendidik dalam Pendidikan Islam ............................................... 32 2. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam ....................................... 34 D. Kurikulum Pendidikan Islam ............................................................ 35 E.
Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam ............................................... 37
BAB III : PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN A.
Biografi ............................................................................................ 49 1. Riwayat Hidup............................................................................ 49 2. Riwayat Pendidikan.................................................................... 50
B.
Setting Sosial Pemikiran .................................................................. 52
C.
Pemikiran Pendidikan Islam ............................................................ 55
D.
Model Pendidikan Islam .................................................................. 61
BAB IV : ANALISA PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP MODEL
PEMIKIRAN
DAN
PENDIDIKAN
K.H.
AHMAD
DAHLAN A.
Konsep Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan Islam . 64 xiii
B.
Model Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan .................. 67
C.
Perspektif
Pemikiran
Pendidikan
Islam
terhadap
Model
Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan ............................. 68 BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 73 B. Saran ................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi kemasa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri, dan inovatif. Sedangkan masyarakat informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah. Hal ini didukung oleh kemajuan IPTEK dalam bidang informasi serta inovasi-inovasi baru di dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia, maka dari itu diperlukannya suatu pendidikan Islam untuk menyiapkan peserta didik yang unggul dalam IPTEK produktif dan kompetitif. 1 Menurut Islam pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung seumur hidup. Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan umat manusia. Dalam hal ini Dewey berpendapat bahwa pendidikan 1
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan (Jakarta: Fajar Inter Pratama Of Set, 2003), 77.
1
2
,:. )5; . )0< . ( & )* :& )5=. >, #,01, 2$ 3 , ,4 , #,%)56,7 & ( & )* 8 & )93 , #,01, 2$ 3 , ,"! #$%' & ( & )* +& #,-/. #,01, 2$ 3 , IF J$6K , I . FG & )L7 & ", G , #,H :G , #,H .B ! C.#,A ( .*D . )EF, )(' , ,( , )? :. )57 . ( . )* 2. %$ @ , A& )(' , :. )5M , 2, )0' . N. )6O. C)F P& Q . F,RR, N! 6.)SA& U .T >& J,6' , WV X , )?:. Y, N. )6O. C)F Z & 6,[ , )N6$7 , R, \. )56,' , ()\c , #,A ( & )*F. )(0, 7 & d& F,R", ) Z , /, a$ CF,R b, C& )b6])CF,R :, /, )L^ , )CF :. )?_. #,0` , )CF 2. 6.TO, %& >, \. 6.)/F, Artinya : Mewartakan kepada kami Hisyam bin Amar, mewartakan kepada kami Hafsh bin Sulaiman, mewartakan kepada kami Katsir bin Sxinzhir, dari Muhammad bin Sirin, dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Mencari ilmu adalah fardu bagi setiap orang Islam. Dan orang yang memberikan ilmu bagi selain ahlinya adalah seperti orang yang menggalungkan babi dengan mutiara, permata dan emas”. (H. R. Sunan Ibn Majah). 2 Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup dan berproses sejalan dengan dinamikanya hidup serta perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai akibat logisnya maka pendidikan senantiasa konseptual atau operasional, sehingga diperoleh relevansi dan
2
Abdullah Shonhaji, Terjamah Sunan Ibnu Majah (Semarang: CV. Asy Syifa, 1993), 181.
3
kemampuan menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia. 3 Sejak Islam masuk ke Indonesia, pendidikan Islam telah ikut mengalami pertumbuhan dan perkembangan, karena melalui pendidikan Islam itulah, transmisi dan sosialisasi ajaran Islam dapat dilaksanakan dan dicapai hasilnya sebagaimana kita lihat sekarang ini. Telah banyak lembaga pendidikan Islam yang bermunculan dengan fungsi utamanya memasyarakatkan ajaran Islam tersebut. Di Sumatera Barat kita jumpai Surau, Langgar di Jakarta, Tajuk di Jawa Barat, pesantren di Jawa, dan seterusnya. Munculnya lembaga-lembaga pendidikan tradisional ini tidak selamanya diterima baik oleh masyarakat, mengingat jauh sebelum itu telah berkembang pula agama-agama lain seperti Hindu, Budha, dan juga paham agama setempat dan adat istiadat yang tidak selamanya sejalan ajaran agama Islam. Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan khas milik umat Islam di Indonesia, sekaligus merupakan sistem pendidikan yang khas di Indonesia. Dilihat dari sejarahnya sistem pesantren ini sebenarnya sudah berkembang sejak zaman Hindu-Budha. Sistem pondok pesantren yang dikembangkan umat Islam Indonesia telah banyak memberikan sumbangannya bagi nusa dan bangsa dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan Belanda. Lewat lembaga pendidikan ini telah dilahirkan kader-kader umat dan bangsa, dimana pondok pesnatren ini tercatat sebagai lembaga yang 3
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 1.
4
mempelopori menanamkan semangat nasionalisme dan patriot bangsa kepada para santrinya. Namun dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman yang tidak pernah mengenal berhenti, maka akan terasa bahwa muatan isi yang ada dalam sistem pondok pesantren saat ini terasa kurang memadai dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Dalam sistem pondok pesantren saat itu hanya mengajarkan mata pelajaran agama dalam arti sempit yaitu terbatas pada bidang: fiqih agama, tafsir, tasawuf, ilmu mantiq dan lain sebagainya. Sedang mata pelajaran yang bersangkut paut dengan urusan keduniaan (muamalah duniawiyah) seperti ilmu bumi, ilmu berhitung, ilmu biologi dan sebagainya sama sekali belum diperkenalkan di lembaga pendidikan pondok pesantren. 4 Hal ini diperparah oleh situasi dan kondisi umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejemudan, kebodohan, keterbelakangan serta politik kolonial Belanda yang merugikan bangsa Indonesia. Umat Islam waktu itu sebagai anak yatim, yang tidak memiliki payung pelindung kekuasaan politik, sepintas pemerintahan Belanda akan membayar “Hutang Budi” terhadap bangsa Indonesia dengan melancarkan politik etika. Tetapi penjajah melalui sistemnya, tetap berupaya melestarikan penjajahannya. Pendidikan dipersukar, dijadikan sarana pemecah belah kehidupan bangsa sebagai contoh didirikannya ragam sekolah dasar (lager onderwis) dibagi atas pembedaan
4
Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 116.
5
bahasa pengantar, keturunan, suku dan agama. Hollandsh Indisch School (HIS) selama enam tahun khusus untuk anak bangsawan dan Belanda, disebutnya sekolah rendah, dan lain sebagainya. 5 Latar belakang situasi dan kondisi baik di lingkungan pendidikan atau sosial kemasyarakatan tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaruan K. H. Ahmad Dahlan. 6 Pada awal abad ke-20, dunia pendidikan Islam masih ditandai oleh adanya sistem pendidikan yang dikatomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu segi terdapat madrasah yang mengajarkan pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan di satu sisi terdapat lembaga pendidikan umum yang tidak mengajarkan pendidikan agama. Pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. K. H. Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaharu pendidikan Islam dari Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat tersebut di atas. Dialah tokoh yang berusaha memasukkan pendidikan umum ke dalam kurikulum madrasah, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam lembaga pendidikan umum. Melalui pendidikan, K. H. Ahmad Dahlan menginginkan agar umat dan bangsa Indonesia memiliki jiwa kebangsaan dan kecintaan kepada tanah air, Beliau telah berhasil mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan pendidikan modern keseluruh
5
Ahmad Mansur Surya Negara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 19960, 219. 6 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada2001.), 102.
6
pelosok tanah air melalui organisasi muhammadiyah yang didirikannya, dan hingga kini makin menunjukkan eksistensi secara fungsional. 7 Konsep pemikiran pendidikan K. H. Ahmad Dahlan tidak lepas daripada setting sosial pada waktu itu, yang mana problem epistimologi dalam pendidikan Islam kala itu dipicu oleh ideologi ilmiah yang hanya terbatas pada dimensi religius yang membatasi diri pada pengkajian kita-kitab klasik para mujtahid dahulu. Kajian semacam ini tentunya akan berimplikasi serta melibatkan diskursus tentang tipologi-tipologi pemikiran pendidikan Islam itu sendiri. Kajian tentang tipologi dan konstruksi pemikiran pendidikan Islam, yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan sistem pendidikan Islam, akan menjelaskan sejauhmana masing-masing tipologi tersebut, mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan sistem pendidikan nasional, dan manakah diantara tipologi-tipologi tersebut yang masih layak dan atau kurang layak untuk dikembangkan dalam era kontemporer. Sedangkan dalam menatap, merancang dan menyiapkan visi, misi dan strategi pendidikan Islam di era globalisasi yang penuh tantangan ini, umat Islam ditantang untuk berpikir dan bekerja lebih keras lagi. 8 Umat Islam harus mampu merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Upaya ini menuntut adanya pemikiran, gagasan, dan saransaran yang konstruktif. Umat Islam perlu melihat dan belajar serta bersikap terbuka terhadap gagasan dan pemikiran yang datang dari manapun. 7
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 98. 8 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 9-12.
7
Dalam kerangka pemikiran yang demikian itu,maka penulis sepakat untuk mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang merupakan buah dari masa lalu, dan perbuatan masa depan merupakan buah dari perbuatan yang dilakukan di masa sekarang. Teori yang pada intinya menekankan kesaling pengaruh-mempengaruhi ini menarik untuk digunakan sebagai strategi untuk melihat masa lalu dalam rangka menatap masa depan. Berangkat dari latar belakang di atas dan mengetahui ketokohan dari K. H Ahmad Dahlan serta pemikirannya dalam pendidikan Islam maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya ilmiah yang berjudul: “TIPOLOGI PEMIKIRAN DAN APLIKASI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K. H. AHMAD DAHLAN”.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep pemikiran K. H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam? 2. Bagaimana model pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan? 3. Bagaimana perspektif pemikiran pendidikan Islam terhadap model pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan?
8
C. Tujuan Penelitian Dengan pertimbangan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep pemikiran K. H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam. 2. Untuk mengetahui model pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan. 3. Untuk mengetahui perspektif pemikiran pendidikan Islam terhadap model pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Sumbangan
bagi
dunia
pendidikan
Islam
khususnya
dalam
memperkaya khazanah pemikiran tentang pengembangan pendidikan Islam dan sekaligus akan mendukung, mempertajam serta memperkokoh eksistensi bangunan pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. 2. Secara Praktis Melalui penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan penyusunan kebijakan lebih lanjut bagi institusi yang terkait dengan masalah ini.
E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dapat diartikan sebagai proses mengkaji atau melakukan telaah terhadap hasil penelitian terdahulu yang topiknya serupa, yang salah satu
9
tujuannya untuk mendapatkan gambaran serta kepastian, bahwa penelitian yang dilakukan masih relevan, karena murni dari sebuah penelitian yang dilakukan peneliti dan bukan merupakan plagiat. 9 Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan kajian atau penelitian yang pernah mengkaji tentang pemikiran pendidikan K. H. Ahmad Dahlan. Pertama Setyaningsih (mahasiswi STAIN Ponorogo yang tamat pada tahun 2002), dengan judul: Studi Komparasi Pemikiran Pendidikan Islam K. H. M. Hasyim Asy’ary dan K. H. Ahmad Dahlan. Dia mengkomparasikan dan mempertemukan konsep pemikiran pendidikan Islam dari kedua tokoh tersebut. Dalam hasil penelitiannya terdapat persamaan dan perbedaan diantara kedua tokoh yang diangkatnya, persamaannya terletak pada tujuan akhir pendidikan itu sendiri, yaitu menyebarkan agama Islam yang benar dan membuat anak didik menguasai ajaran Islam. Adapun perbedaannya terletak pada metode yang dipergunakannya dan penekanan dari pendidikan Islam itu sendiri. K. H. M. Hasyim Asy’ary menekankan pada pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan K.H. Ahmad Dahlan menekankan pemahaman dan kemampuan akal. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yang dikembangkan oleh K. H. M. Hasyim Asy’ary adalah mendidik anak didik menjadi ulama intelek dan intelek ulama dan K. H. Ahmad Dahlan mempunyai tujuan untuk mengembangkan potensi fitrah manusia terutama potensi akal.
9
Pedoman Penulisan Skripsi Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo, Ponorogo: (Lembaga Penerbitan dan Pengembangan Ilmiah STAIN Ponorogo, 2002, 32.
10
Jadi dari hasil kajian dan eksplorasi yang telah dilakukan belum terdapat sebuah hasil dari penelitian yang berusaha menampilkan pemikiran pendidikan K. H. Ahmad Dahlan perspektif konsep pendidikan Islam dan tipologi pemikiran pendidikan Islam. Sehingga untuk melanjutkan penelitian yang dilakukan kali ini adalah penelitian murni.
F. Penegasan Istilah Untuk menghindari salah penafsiran terhadap maksud skripsi ini, maka penulis memberikan penjelasan istilah-istilah yang terdapat dalam judul sebagai berikut: 1. Tipologi
: Ilmu watak tentang pembagian manusia dalam golongan-golongan
menurut
corak
watak
dan
pemikiran masing-masing. 10 2. Pemikiran
: Suatu
hasil
interpretasi,
pandangan
seseorang
berkenaan dengan epistimologi, metafisika, universal atau hal-hal yang bersifat umum. 11 3. Aplikasi
: Penerapan. 12
4. Pendidikan Islam
: Bimbingan
terhadap
pertumbuhan
rohani
dan
jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 952. 11 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1960), 793. 12 Departeman Pendidikan, Kamus Besar, 46.
11
mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. 13 5. K. H. Ahmad Dahlan : Tokoh
pembaharu
mengkolaborasi
pendidikan
kurikulum
Islam
madrasah
yang dengan
kurikulum pendidikan umum, beliau lahir di Kauman
(Yogyakarta)
pada
tahun
1868
dan
meninggal pada tahun 1925. 14
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang data-datanya menggunakan data-data kepustakaan atau literatur. 2. Data Dalam penelitian ini data-data yang diperlukan adalah sebagai berikut: a. Pengertian pendidikan Islam. b. Dasar dan tujuan pendidikan Islam. c. Pendidik dan peserta didik dalam pendidikan Islam. d. Kurikulum pendidikan Islam. e. Tipologi pemiliran pendidikan Islam. f. Konsep pemikiran pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan. 13 14
Jamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), 11. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 107.
12
3. Sumber Data Sebagai penelitian literatur, maka sumber data penelitian ini diambil sepenuhnya dari riset kepustakaan dengan mengandalkan pada bacaan yang berupa buku-buku, jurnal dan karya ilmiah yang mempunyai relevansi dengan masalah yang akan dibahas yaitu “Tipologi Pemikiran dan Aplikasi Pendidikan Islam Menurut K. H. Ahmad Dahlan”. Adapun buku-buku yang relevan dengan permasalahan adalah sebagai berikut: a. Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafinfo Persada, 1999. b. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. c. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. d. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada. e. Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. f. Jamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998. g. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1991. h. Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
13
i. Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. j. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. k. Muhammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru, 2000. l. Ziauddin Sardar, Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2000. m. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara membaca buku-buku
penunjang
dan
membuat
ringkasan
serta
menyimpulkan
keterangan yang ada dalam buku tersebut. 5. Metode Analisa Data Dari data yang telah terkumpul yang diambil dari data kepustakaan berupa buku-buku, jurnal dan karya ilmiah, maka data tersebut selanjutnya dianalisa dengan menggunakan beberapa metode yaitu: a. Metode Deduktif Metode deduktif ialah metode yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum dan bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum itu kita hendak mengkaji kejadian yang bersifat khusus. b. Metode Induktif Metode induktif ialah metode yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongrit, kemudian dari fakta atau
14
peristiwa yang khusus atau kongkrit dicari generalisasi yang mempunyai kesamaan. 15 c. Metode Deskriptif Metode ini untuk mendeskripiskan segala hal yang berkaitan dengan pokok pembicaraan secara otomatis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dari sinilah akhirnya diambil sebuah kesimpulan umum yang semula berasal dari data-data yang ada tentang objek permasalahan.
H. Sistematika Pembahasan Sebagai rangkaian dalam isi skripsi dimana satu dengan yang lain saling berkaitan sebagai satu kesatuan yang utuh dan merupakan deskripsi sepintas yang mencerminkan urutan tiap bab, maka sistematika pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
:
PENDAHULUAN Pendahuluan yang berfungsi sebagai pola dasar pemikiran penulis dalam penyusunan skripsi yang terdiri dari tujuh sub yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
15
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), 36-42.
15
BAB II :
KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM Fungsinya sebagai kerangka teori yang akan dipakai sebagai acuan untuk menulis model pendidikan Islam versi K. H. Ahmad Dahlan, yang meliputi: pengertian pendidikan Islam, dasar dan tujuan pendidikan Islam, pendidik dan peserta didik dalam pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam serta tipologi pemikiran pendidikan Islam.
BAB III :
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K. H. AHMAD DAHLAN Sebagai sajian data literer yang meliputi: biografi, setting sosial pemikiran, pemikiran pendidikan Islam dan model pendidikan Islam.
BAB IV :
ANALISA TERHADAP
PEMIKIRAN MODEL
DAN
PENDIDIKAN
PEMIKIRAN
DAN
ISLAM
PENDIDIKAN
MENURUT K. H. AHMAD DAHLAN Analisis terhadap pendidikan Islam versi K. H. Ahmad Dahlan yang meliputi: konsep pemikiran. K. H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam, model pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan dan perspektif pemikiran pendidikan Islam terhadap model pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan.
16
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
I. Pengertian Pendidikan Islam 1. Pengertian Bahasa Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term altarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam. Secara esensial ketiga term ini mempunyai perbedaan secara signifikan baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut, antara lain: i. al-Ta’dib Menurut Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-ta’dib. Kata yang diterjemahkan sebagai mendidik oleh al-attas adalah “addaba”, masdarnya adalah “ta’dib”, dan berarti pendidikan. Dalam artinya yang asli dan mendasar “addaba” berarti “the inviting to a banquet” (undangan kepada suatu perjamuan). Gagasan ini menyiratkan bahwa si tuan rumah adalah
17
18
seorang yang mulia, sementara itu hadirin adalah yang diperkirakan pantas mendapatkan penghormatan untuk diundang, oleh karena mereka adalah orang-orang yang bermutu dan berpendidikan, dan diperkirakan bisa menyesuaikan diri, baik tingkah laku maupun keadaannya. 16 Menurut
Samsul
Nizar, al-ta’dib berarti pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam peserta didik, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Lebih banyak ia ungkapkan bahwa, penggunaan istilah al-tarbiyah terlalu luas untuk mengungkap hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-tarbiyah memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, tapi juga digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Timbulnya istilah tarbiyah dalam dunia Islam merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “education”, yang dalam batasan pendidikan Barat lebih menekankan pada aspek fisik dan material. Sedangkan pendidikan Islam penekanannya tidak hanya aspek tersebut tapi juga pada aspek psikis dan immaterial. 17
16
Miftahul Ulum dan Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam; Konseptualisasi Pendidikan dalam Islam (STAIN Ponorogo, 2006), 3. 17 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 30.
19
Sebagai alternatif yang diajukan Naquib al-Attas untuk istilah pendidikan Islam harus dibangun dari berbagai istilah yang secara substansial
mengacu
pada
pemberian
pengetahuan,
pengalaman,
kepribadian dan sebagainya. Pendidikan Islam harus dibangun dari perpaduan istilah ilm atau allama (ilmu, pengajaran), adl (keadilan), amal (tindakan), haqq (nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), aql (pikiran), tafsir dan ta’wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan istilah tersebut terkandung dalam istilah adab. 18 ii. al-Ta’lim Istilah al-ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut Abdul Fattah Jalal, al-ta’lim menurutnya lebih relevan. Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada ayat ini:
"! #! $%' & $()!* + ! ,!-%& $() /. %. #. 01!23. !* $/%. 4056! 3. *! ,!7&8,!3)!9 $/%. $41!: ! ;.1$-3! $/%. $7<& > = ;.?@! $/%. 4&A ,!71$ ? ! $@B! ,!#5! (151 :EFGH()) C ! ;.#1!$28! );.D;.%8! $/(! ,!< $/%. #. 01!23. !* Artinya: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-kitab dan al-hikmah (as-sunnah), serta mengantarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 2:15) 19 Berdasarkan ayat di atas, menurut Jalal, dapat diketahui bahwa proses ta’lim lebih universal bila dibandingkan dengan proses tarbiyah, sebab ketika mengajarkan al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasul Saw, 18
Miftahul Ulum dan Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan, 1-4.
20
tidak terbatas membuat mereka sekedar dapat membaca, tetapi membaca dengan penerungan yang berisi pemahaman, tanggung jawab dan amanah. Dari membaca semacam ini Rasul membawa mereka kepada tazkiyah dan menjadikan diri itu berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. 20 c. al-Tarbiyah Kata al-tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu pertama, rabba-yarbu yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang. Kedua, rabiya-yarba berarti menjadi besar, ketiga rabba-yarubbu berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun dan memelihara. 21 Berangkat dari asal makna tarbiyah tersebut, Albani berpendapat bahwa pendidikan terdiri dari empat unsur: pertama menjaga dan memelihara fitrah anak hingga baligh, kedua mengembangkan seluruh potensi, ketiga mengarahkan fitrah dan seluruh potensi menuju kesempurnaan, dan keempat dilaksanakan secara bertahap. 22 Dengan definisi yang lebih tepat untuk melihat bahwa pendidikan (al-tariyah) lebih luas dari pengajaran (al-ta’lim) adalah pemberian pengaruh dengan berbagai macam yang berpengaruh yang sengaja dipilih untuk membantu 19
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004), 45. 20 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), 30.
21
anak, agar berkembang jasmaniyahnya, akalnya dan akhlaknya sehingga sedikit demi sedikit sampai kepada batas kesempurnaan maksimal yang dapat ia capai. Dengan demikian menurut penulis ketiga istilah tersebut memberi kesan yang berbeda. Istilah ta’lim mengesankan proses transformation of knowledge, istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidupan, sedangkan istilah al-tarbiyah mengesankan
proses
pembinaan,
pengarahan
bagi
pembentukan
kepribadian dan sikap mental. Sebenarnya pemakaian dan pemahaman ketiga istilah itu tidak perlu terjadi, jika konsep yang terkandung dalam tiga istilah itu diaplikasikan dalam pendidikan formal. Tapi dituntut untuk bersikap eklektif, tanpa mendiskreditkan pada istilah-istilah yang kurang relevan untuk dikembangkan, apalagi jika ketiganya ditampilkan secara konfrontatif, sebab ketiganya punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang terdapat pada masing-masing istilah itulah yang perlu dirumuskan sebagai lebih mencerminkan konsep dan aktifitas pendidikan Islam, sehingga implementasinya akan menjadi sebagai berikut: istilah tarbiyah disepakati untuk dikembangkan sebab cakupannya lebih luas, tapi dalam proses belajar mengajar konsep ta’lim tidak bisa diabaikan, mengingat untuk mencapai tarbiyah ialah dengan proses ta’lim, sedangkan tarbiyah
21 22
Nizar, Filsafat Pendidikan, 26. Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi (Ponorogo, 2006), 21.
22
dan ta’lim harus lebih mengacu pada konsep ta’dib dalam perumusan arah dan tujuan aktifitasnya.
2. Pengertian Istilah Secara terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam, di antaranya: i. Azyumardi Azra; pendidikan Islam ialah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah Swt. 23 ii. Muhammad Fadhil al-Jamaly; pendidikan Islam ialah sebagai upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. 24 iii. Ahmad Tafsir; pendidikan Islam ialah sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. 25 iv. Abdurrahman Nalawi; pendidikan Islam ialah pengaturan pribadi dan masyarakat yang karenanyalah dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif. 26
23
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Jakarta: Kalimah, 2001), 10. 24 Nizar, Filsafat Pendidikan, 31. 25 Tafsir, Ilmu Pendidikan, 32. 26 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 9.
23
v. Menurut Budian Somand; pendidikan Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah ajaran Allah. 27 Dari beberapa pengertian pendidikan Islam yang dikemukakan para ahli pendidikan, terdapat perbedaan pendapat tentang rumusan pendidikan Islam. Ada yang menitikberatkan pada penguasaan teori dan praktek, pembentukan budi pekerti. Dengan demikian, hemat penulis bahwa pendidikan Islam ialah suatu sistem yang memungkinkan peserta didik dapat mengarahkan kehidupannya sesuai ideologi Islam, punya kepribadian utuh (integrated personality) sehingga dapat memakmurkan, memuliakan kehidupan material dan spiritual diri. II. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam 1. Dasar Pendidikan Islam Sebagai aktifitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan dasar yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan Islam dapat tegak berdiri, dan bisa survive baik di masa sekarang maupun yang akan datang. Adapun dasar pendidikan Islam secara garis besar adalah sebagai berikut: i. al-Qur’an
27
Jamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), 7.
24
Islam adalah agama yang membawa misi agar umatnya menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, 28 sebagai pedoman, alQur’an tidak ada keraguan padanya (Q.S. al-Baqarah, 2: 2). Ayat alQur’an yang pertama kali turun adalah yang berkenaan di samping masalah keimanan juga pendidikan (Q.S. al-Alaq, 2: 1-5). 29 ii. as-Sunnah Rasulullah Saw mengatakan adalah beliau juru didik. Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan menjelaskan
hal-hal
yang
tidak
terdapat
di
dalamnya.
Kedua,
menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya. Sikap Rasul seperti tersebut di atas merupakan fakta bahwa Islam sangat mementingkan adanya pendidikan dan pengajaran, dalam Sabda Nabi:
SR ,T!U1&P& "& T!<,!4G& $() S! $;T!3 Q . ) O. T!#U ! $()! V&L$3W0 T() F& T$
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, 19. Nizar, Filsafat Pendidikan, 35. 30 Al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, 99. 29
25
iii. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia 1) UUD 1945 pasal 29 Ayat 1 berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.” Ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu…” 31 2) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB VI TENTANG JALUR, JENJANG DAN JENIS PENDIDIKAN Pasal 30 i) Ayat 1 disebukan: “Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. ii) Ayat 3 disebutkan: “Pendidikan
keagamaan
dapat
diselenggarakan
pada
jalur
pendidikan formal, non formal dan informal. 32 2. Tujuan Pendidikan Islam Secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah 31
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, 21 – 24.
26
tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan cara pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. 33 Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia sempurna (insan kamil). 34 Sementara tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. 35 Namun demikian agar tujuan-tujuan dimaksud agar lebih dipahami, berikut ini akan diuraikan tujuan pendidikan Islam dalam perspektif para ulama muslim.
32
Undang-Undang Republik Indonesia, Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Kloang Klede Putra Timur, 2003), 17. 33 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 30. 34 Armai Arief, Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 19. 35 Daradjat, Ilmu Pendidikan, 32.
27
i. Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah Abdurrahman Saleh Abdullah mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian sebagai khalifatullah. Tujuan utamanya yaitu beriman kepada Allah dan tunduk serta patuh secara total kepada-Nya. Selanjutnya tujuan pendidikan Islam menurutnya dibangun atas tiga komponen sifat dasar manusia yaitu: tubuh, ruh, dan akal. Berdasarkan
hal
tersebut
maka
tujuan
pendidikan
Islam
dapat
dari
tujuan
diklasifikasikan kepada: 1) Tujuan pendidikan jasmani (ahdaf al-jismiyah) Kekuatan
fisik
merupakan
bagian
pokok
pendidikan, maka pendidikan harus mempunyai tujuan ke arah ketrampilan-ketrampilan fisik yang dianggap perlu bagi tubuhnya keperkasaan tubuh yang sehat. Pendidikan Islam dalam hal ini mengacu pada pembicaraan fakta-fakta terhadap jasmani yang relevan bagi para pelajar. 2) Tujuan pendidikan rohani (ahdaf al-ruhaniyah) Orang yang betul-betul menerima ajaran Islam tentu akan menerima seluruh cita-cita ideal yang terdapat dalam al-Qur’an. Peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani dari tingkah laku
28
kehidupan Nabi Saw, merupakan bagian pokok dalam tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam harus mampu membawa dan mengembalikan ruh yang menyimpang dari kebenaran. Maka pendidikan Islam meletakkan dasar-dasar yang harus memberi petunjuk agar manusia memelihara kontaknya dengan Allah Swt. 3) Tujuan pendidikan akal (al-ahdaf al-aqliyah) Tujuan ini mengarah kepada perkembangan intelegensi yang mengarahkan setiap manusia sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya. Pendidikan yang dapat membantu tercapainya tujuan akal, seharusnya dengan bukti-bukti yang memadai dan relevan dengan apa yang mereka pelajari. Sehingga pada dasarnya pendidikan Islam bukan hanya memberi titik tekan pada hafalan, tetapi juga peningkatan intelektualitas. 4) Tujuan sosial (al-ahdaf al-ijtima’iyah) Seorang khalifah mempunyai kepribadian utama dan seimbang, sehingga khalifah tidak akan hidup dalam keterasingan dan ketersendirian. Oleh karena itu, aspek sosial dari khalifah harus dipelihara. Fungsi pendidikan dalam mewujudkan tujuan sosial adalah menitikberatkan pada perkembangan karakter-karakter manusia yang
29
unik, agar manusia mampu beradaptasi dengan standar-standar masyarakat. Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam versi Abdurrahman adalah mewujudkan manusia ideal sebagai abid Allah atau ibad Allah, yang tunduk secara total kepada Allah. ii. Menurut Imam al-Ghazali Al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman
menjelaskan
bahwa
tujuan
pendidikan
Islam
dapat
diklasifikasikan kepada: 1) membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. 2) membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. 36 Dari kedua tujuan di atas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan versi al-Ghazali tidak hanya bersifat ukhrawi, tetapi juga bersifat duniawi. Pemikiran al-Ghazali ini dapat dipahami dari landasan berpikir dan berpijak yang digunakan yaitu al-Qur’an. Allah berfirman:
(17-16 :87 ,^1:b)) (17)^!G$PB!*! _F$4!` E. F! ` & a$()!*(16),!4$DWZ () E! ,!4' ! $() C ! *.F[& \$ 8. $]P!
36
Arief, Metodologi Pendidikan, 20 – 22.
30
Artinya: “…tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal…” (Q.S. al-A’la, 87: 16-17) 37 iii. Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany Menurutnya, tujuan pendidikan mempunyai tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Tujuan individual Tujuan
ini
berkaitan
dengan
masing-masing
individu
dalam
mewujudkan perubahan yang diinginkan pada tingkah laku dan aktifitasnya, di samping untuk mempersiapkan mereka dapat hidup bahagia baik di dunia maupun di akhirat. 2) Tujuan sosial Tujuan
ini
berkaitan
dengan
kehidupan
masyarakat
sebagai
keseluruhan dan tingkah laku mereka secara umum, di samping juga berkaitan dengan perubahan dan pertumbuhan kehidupan yang diinginkan serta memperkaya pengalaman dan kemajuan. 3) Tujuan profesional Tujuan ini berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai sebuah ilmu, sebagai seni dan sebagai profesi serta sebagai satu aktifitas di antara aktifitas masyarakat.
37
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004), 1248.
31
iv. Menurut Hasan Langgulung Hasan Langgulung menjelaskan bahwa tujuan pendidikan harus dikaitkan dengan tujuan hidup manusia atau lebih tegasnya, tujuan pendidikan adalah untuk menjawab persoalan “untuk apa kita hidup?” 38 Islam telah memberi jawaban yang tegas dalam hal ini, seperti firman Allah Swt:
(56 :f3@)g()) &C*.WH. $2!4&( ,K(c& d ! $De&$()!* L KU & $() f . $G1!` ! ,!<*! Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat, 51: 56) 39 Adapun pendidikan Islam sangat menekankan sifat keteladanan pemimpin. Nabi memperingatkan bahwa seburuk-buruk pemimpin adalah perusak. Tidak ada kesayangan yang lebih disukai oleh Allah dari pada kesayangan dan lemah lembut seorang pemimpin. Dan tidak ada kejahilan yang lebih dibenci Allah selain dari kejahilan dan kebodohan seorang pemimpin. Dengan demikian mendidik manusia agar menjadi pengabdi Allah yang setia, sebagai tujuan yang hendal dicapai oleh pendidikan Islam adalah tepat. 40 Dari rumusan tujuan-tujuan pendidikan Islam, sebagaimana tersebut di atas, dapat penulis pahami bahwa inti dari tujuan pendidikan Islam tersebut terfokus kepada: 38 39
Arief, Metodologi Pendidikan, 25. Arief, Metodologi Pendidikan, 20-24.
32
i. Terbentuknya kesadaran terhadap hakekat dirinya sebagai manusia hamba Allah yang diwajibkan menyembah kepadanya. (Q.S. al-An’am, 6: 165) ii. Terbentuknya kesadaran akan fungsi dan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi dan selanjutnya dapat ia wujudkan dalam kehidupan seharihari. (Q.S. al-Baqarah, 2: 30) 41
III.Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam 1. Pendidik Menurut Pendidikan Islam Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggung jawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. 42 Dalam pendidikan Islam, pendidik memiliki arti dan peranan sangat penting, hal ini disebabkan ia memiliki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan. 43 Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh
40
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999), 42. 41
Arief, Metodologi Pendidikan, 26. Nizar, Filsafat Pendidikan, 41. 43 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 91. 42
33
potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam merupakan orang yang bertanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. 44 Islam telah mengajarkan bahwa tanggung jawab pendidik yang pertama dan utama terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik ialah orang tua. Firman Allah:
)=@,!D $/%. 4&1$hB!*! $/%. i ! J. $DB! );.j );.7
44
Nizar, Filsafat Pendidikan, 42. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004), 1148. 46 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), 74. 45
34
Di antara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktifitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang konsep peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh semua pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fithrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis serta perlu dikembangkan. 47
IV. Kurikulum Pendidikan Islam 1. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olah raga yang berarti “a lite reca course” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan
47
Nizar, Filsafat Pendidikan, 47.
35
olahraga). Berdasar pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan, memberinya pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran di mana guru dan murid terlibat di dalamnya. Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik untuk menghantarkan, mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai tujuan tertentu. 48 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kurikulum yaitu landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental.
48
Ibid., 56.
36
2. Aspek-aspek yang Terkandung dalam Kurikulum i. Tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum itu. ii. Pengetahuan, ilmu-ilmu, data, aktifitas, pengalaman yang menjadi sumber terbentuknya kurikulum itu. iii. Metode dan cara mengajar dan bimbingan yang diikuti oleh murid-murid untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki oleh tujuan yang dirancang. iv. Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum. 49 3. Pendapat para Ahli tentang Bahan Kurikulum i. Imam al-Ghazali 1) Ilmu-ilmu yang fardhu ain meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an. 2) Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan dalam urusan keduniawian seperti ilmu hitung, kedokteran, pertanian dan lain-lain. ii. Ibn Sina 1) Ilmu nadari atau ilmu teoritis yang meliputi ilmu alam, ilmu matematika dan sebagainya. 2) Ilmu-ilmu amali (praktis) yang terdiri dari beberapa ilmu pengetahuan yang prinsip-prinsipnya berdasarkan atas sasaran-sasaran analisisnya.
49
Jalaludin dan Said, Pendidikan Islam, 44.
37
iii. Ibn Khaldun 1) Ilmu lisan yang meliputi ilmu lughah, nahwu, saraf, balaghah, dan lain sebagainya. 2) Ilmu naqli yaitu ilmu-ilmu yang dinukil dari kitab suci al-Qur’an dan sunnah Nabi. 3) Ilmu aqli ialah ilmu yang dapat menunjukkan manusia melalui daya kemampuan berpikirnya kepada filsafat dan semua jenis ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu teknik, ilmu nujum dan lain-lain. 50 Dari uraian di atas tentang bahan kurikulum yang dikemukakan para ahli dapat penulis tarik benang merah bahwa dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam tidak ada wacana dikotomi antara ilmu yang bernuansa keagamaan dan umum (keduniawian). Dengan hal ini diharapkan pendidikan Islam yang bertujuan untuk mengaktualisasikan secara penuh dan seimbang antara aspek jasmani dan rohani bisa dicapai dan mampu menjadi khalifah fil ardh.
V. Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam Di Amerika Serikat telah berkembang madzhab-madzhab pemikiran pendidikan, yang dapat dipetakan ke dalam dua kelompok, yaitu tradisional dan kontemporer. Termasuk dalam kelompok tradisional adalah perenialism dan
50
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, 170.
38
essentialisme, sedangkan yang termasuk dalam kelompok kontemporer adalah progressivsm, reconstructionism, dan existentiaslism. Dalam lapangan pendidikan, masing-masing madzhab tersebut terwujud dalam kemungkinan-kemungkinan sikap dan pendirian para pendidik, seperti sikap konservatif, yakni mempertahankan nilai-nilai budaya manusia, sebagai perwujudan dari essentialisme; sikap regresif, yakni kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, yaitu agama sebagai perwujudan dari perenialism; sikap bebas dan modifikatif sebagai perwujudan dari progressivsm; sikap radikal rekonstruktif sebagai perwujudan dari reconstructionism. Penjabaran dari masing-masing sikap tersebut dalam pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Perenialism menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional, 51 pendidikan hendaknya merupakan suatu perencanaan dan penanaman kebenaran. 52 2. Essentialism menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai ini hendaklah sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh
51
Muhaimin, Wacana Pengembangan, 40. Redja Mudyaharja, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, t.t.), 165. 52
39
waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara ata pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai daya serap yang tinggi. 53 Menurut esensialisme, nilainilai yang tertanam dalam warisan budaya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus tahun, dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu. 54 3. Progressivism menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus meneru, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelejen dan mampu menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan. 4. Reconstructionism menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas. 5. Existentialism menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari-cari pilihan sesuai kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati dirinya.
53 54
Muhaimin, Wacana Pengembangan, 41. Mudyaharja, Pengantar Pendidikan, 160.
40
Dalam pemikiran pendidikan Islam, Hasan Langgulung menyatakan bahwa sumber-sumber pemikiran pendidikan Islam adalah al-Qur’an, sunnah, kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pemikirpemikir Islam. Selnjutnya al-Syaibani dan Langgulung juga menyatakan bahwa ajakan kembali kepada Islam bukan sekedar ajakan kepada peninggalan masa lalu yang harus dipelihara, tetapi ajakan kepada suatu sumber yang hidup, dinamis, berkembang dan progresif sepanjang masa. Ia memiliki flesibilitas pada prinsipprinsip umumnya yang berkenaan dengan penyusunan kehidupan mausia menyebabkan ia sesuai bagi setiap waktu dan tempat. Selain dari itu kembali ke peninggalan lama itu mengaitkan masa sekarang dan masa lampau. Sedangkan menurut Jalal bahwa sumber pemikiran pendidikan Islam hanya al-Qur’an dan al-Hadits dan tidak perlu bersusah payah mencari sumber lainnya, karena Allah telah mengutus Nabi Muhammad sebagai seorang guru. Berbeda halnya dengan Ubud yang menyatakan bahwa pendidikan Islam itu cepat merespon setiap perubahan dan perkembangan budaya, dan ia bersumber dari dua hal, yaitu ideologi Islam sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an dan al-sunnah, serta situasi dan kondisi baru yang dihadapi oleh dunia Islam, yang pada akhirnya unsur-unsur budaya baru tersebut ditransformasikan menjadi budaya yang Islami. Uraian tersebut di atas menggarisbawahi adanya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan yaitu:
41
1. Kelompok yang berusaha membangun konsep pendidikan Islam, di samping al-Qur’an dan al-hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nila-nilai dan kebiasaan sosial serta pandanganpandangan pemikir-pemikir Islam. 2. Kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari alQur’an dan al-hadits, sehingga konsep pemikirannya hanya berasal dari kedua sumber ajaran tersebut. 3. Kelompok yang berusaha membangun pemikiran pendidikan Islam melalui alQur’an dan al-sunnah dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang Islami. Di sisi lain, pengembangan pemikiran pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam para periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, Abdullah mencermati adanya empat model pemikiran keislaman, yaitu: 1. Model tekstualis salafi berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-sunnah dengan melepaskan diri, dan kurang begitu mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang
mengitarinya.
Masyarakat
ideal
yang
diidam-idamkan
adalah
masyarakat salaf, yang struktur masyarakat era kenabian Muhammad Saw dan
42
para sahabat yang menyertainya, rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab hadits, tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Dalam konteks pemikiran pendidikan terdapat dua madzhab yang dekat dengan model tekstualis salafi yaitu perenialism dan essensialism. Hanya saja perenialism menghendaki agar kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan sedangkan model tekstualis salafi menghendaki agar kembali ke masyarakat salaf (era kenabian dan shabat). Tetapi pada intinya keduanya lebih berwatak regresif. Adapun essentialism menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan dan nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi yang telah teruji oleh waktu. Sedangkan dalam konteks pemikiran pendidikan Islam, model tekstualis salafi tersebut selain menyajikan secara manquli yakni menafsirkan nash-nash tentang pendidikan dengan nash yang lain, atau dengan menukil dari pendapat sahabat, juga berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian tekstual berdasarkan kaidah bahasa Arab dalam memahami nash al-Qur’an, al-hadits dan kata-kata sahabat, serta memperhatikan praktek pendidikan masyarakat Islam, untuk selanjutnya berusaha mempertahankan melestarikan nilai-nilai dan praktek pendidikan tersebut hingga sekarang. Dalam bangunan pemikiran penidikan Islam, model ini dapat dikategorikan sebagai tipologi perenial-esensialis salafi.
43
2. Model tradisionalis madzhabi berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilainilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, namun sering kali kurang begitu mempertimbangkan situasi sosio-historis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hadil pemikiran ulama dahulu dianggap sudah absolut tanpa mempertimbangkan dimensi historisnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah masyarakat muslim era klasik, di mana semua persoalan keagamaan dianggap telah dikupas habis oleh para ulama muslim terdahulu. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa model tradisionalis madzhabi lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan madzhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai, norma, adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun teumurn dan tidak mudah terpengaruh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan IPTEK. Karena wataknya yang tradisionali dan madzhabi tersebut maka, dalam pengembangan pemikiran pendidikan Islam ia lebih menekankan pada pemberian penjelasan materi pemikiran para pendahulunya dan tidak ada keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahulunya. Dengan demikian pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya serta praktek sistem pendidikan
44
Islam terdahulu tanpa mempertimbangkan konteks perkembangan zaman. Dalam membangun konsep pendidikan Islam dengan cara mengkaji pemikiran pendidikan Islam para ulama para periode dahulu, baik dalam bangunan tujuan, pendidikannya, kurikulum, pendidik, maupun peserta didik. Karena itu dalam bangunan pemikiran pendidikan Islam model ini dapat diketagorikan tipologi perenial esensialis madzhabi. 3. Model modernis berupaya memahami ajarana-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio historis dan kultural yang dihadapi oleh masyarakat muslim era kontemporer, tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik. Dalam konteks pemikiran pendidikan, terdapat suatu madzhab yang lebih dekat dengan model pemikiran modernis tersebut, yaitu progressivism terutama dalam hal wataknya yang menginginkan sikap bebas dan modifikatif. Progressivism menghendaki pendidikan pada hakekarnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terusmenerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian serta tuntutan zaman. Menjadi modernis memang berarti progresif dinamis bersikap bebas dan modifikatif, akan tetapi sikap bebas di sini bukan berarti kebebasan mutlak tanpa adanya keterkaitan. Kebebasan di sini terikat oleh ruang dan waktu, yang modern secara mutlak hanyalah Allah.
45
Uraian di atas menunjukkan bahwa pemikiran pendidikan Islam yang modernis memiliki sikap yang progresif, dinamis, dan sikap bebas modifikatif dalam pengembangan pendidikan Islam menuju ke arah kemajuan pendidikan Islam yang diridhai oleh-Nya. Untuk mengarah ke sana diperlukan sikap lapang dada dalam menerima dan mendengarkan pemikiran dan teori pendidikan orang lain, termasuk di dalamnya melakukan transformasi, mengakomodasi atau bahkan mengadopsi pemikiran dan temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sistem pendidikan modern yang berasal dari non-Islami, dalam rangka mengejar ketinggalan serta mencapai kemajuan sistem pendidikan Islam itu sendiri. Maka dalam hal ini tepatlah dikategorikan tipologi modernis. 4. Model neo-modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan kemudahan-kemudahaan oleh dunia teknologi modern. Jadi model ini selalu mempertimbangkan al-Qur’an dan alsunnah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad 19 dan 20. Jargon yang sering dikumandangkan adalah “al-muhafazah ‘ala al-qadoim al-salih wa al-akhzu bi al jadid al-aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
46
Kata “al-muhafazah al-qadim al-salih”, menggarisbawahi adanya unsur perenialism dan essentialism yakni sikap regresif dan konservatif terhadap nilai-nilai Ilahi dan nilai-nilai insani yang telah ada dan dibangun serta dikembangkan oleh para pemikir dan masyarakat terdahulu. Sedangkan kata “al-ahkzu bi al-jadid al-aslah” ini menunjukkan adanya sikap dinamis dan progresif serta sikap rekonstruktif walaupun tidak bersifat radikal. Karena itu, dalam konteks pemikiran pendidikan Islam ia dapat dikategorikan tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif. 5. Model rekonstruksi sosial, model ini dikembangkan oleh Muhadjir, yang dalam pemikirannya didasarkan bahwa manusia adalah konstruktivist, bahkan konstruktivist sosial. Sedangkan dalam pemikiran pendidikan ia lebih bersifat proaktif dan antisipatif. Dikatakan proaktif karena ia berusaha untuk mencari jawaban dan sekaligus memperkirakan perkembangan ke depan atas situasi dan kondisi serta permasalahan yang ada. Dikatakan antisipatif, karena ia berusaha untuk mengkondisikan situasi, kondisi dan faktor menjadi lebih ideal, sehingga permasalahan yang ada akan dipecahkan ke perubahan yang lebih ideal. Tugas pendidikan adalah membantu peserta didik agar menjadi cakap dan selanjutnya mampu bertanggungjawab terhadap pengembangan masyarakatnya. Maka dalam hal ini dapatlah dikategorikan tipologi rekonstruksi sosial perbedaan masing-masing tipologi tersebut terlak pada tekanannya dalam pengembangan wawasan kependidikan Islam.
47
i.
Tipologi
perenial-esensialis
salafi
lebih
menonjolkan
wawasan
kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (ilahiyah dan insaniyah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat ideal. ii.
Tipologi perenial-esensialis madzhabi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran, doktrin serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
iii. Tipologi modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terusmenerus agar dapat berbuat sesuatu yang intelegen dan mampu mengadakan penyesuaian sesuai dengan lingkungan pada masa sekarang. iv. Tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangan wawasan
48
kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan dan perkembangan IPTEK. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai (ilahiyah-insaniyah) dan sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. v.
Sedangkan tipologi rekonstruksi sosial lebih menonjolkan sikap proaktif dan antisipatifnya, sehingga tugas pendidikan adalah membantu manusia agar menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan masyarakatnya. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya menumbuhkan kreatifitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif, baik di segi ekonomi, sosio kultural atau di segi mengantisipasi masa depan. 55
55
Muhaimin, Wacana Pengembangan, 44-64.
49
BAB III PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K. H AHMAD DAHLAN
A. Biografi 1. Riwayat Hidup K. H. Ahmad Dahlan sewaktu mudanya bernama Muhammad Darwis, lahir pada tahun 1868 M atau 1285 H di kampung Kauman, Yogyakarta. Ayahnya seorang ulama, yang bernama K. H. Abu Bakar bin K. H. Sulaiman, pejabat khatib dan imam di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Dan ibunya bernama Siti Aminah Binti Kyai Haji Ibrahim, pejabat penghulu kesultanan Yogyakarta. Muhammad Darwis adalah anak ke-4, dari tujuh bersaudara: (1) Kyai Ketib Harun, (2) Kyai Muhsin (Kyai Nur), (3) Kyai H. Saleh, (4) Kyai Haji Ahmad Dahlan, (5) Kyai Abdurrahman, (6) Kyai Muhammad Faqih, dan (7) Basir. 56 K. H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai Abdullah, janda dari H. Abdullah. Pernah juga kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakir) adik ajengan penghulu Cianjur, dan konon ia juga pernah kawin dengan Nyai Solikhah putri Kanjeng Penghulu M. Syari’i adiknya Kyai Yasin Pakualam Yogya. Dan terakhir kawin dengan Ibu Walidah binti Kyai penghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang
56
2000), 81.
Muhammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
50
mendampinginya hingga ia meninggal dunia. K. H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 atau bertepatan dengan 7 Rajab 1340 di Kauman Yogyakarta dalam usia 55 tahun. 57
2. Riwayat Pendidikan Sewaktu kecil, K. H. Ahmad Dahlan tidak sempat menikmati pendidikan barat untuk anak-anak kaum ningrat yang lulusannya biasanya disebut kapir landa. Malahan ia mendapatkan pendidikan tradisional di Kauman Yogyakarta, dimana ayahnya sendiri Kyai Haji Abu Bakar menjadi guru utamanya yang mengajarkan pelajaran-pelajaran dasar mengenai agama Islam. Seperti anak-anak kecil lain ketika itu, Ahmad Dahlan dikirim ke pesantren di Yogyakarta dan pesantren-pesantren lain dibeberapa tempat di Jawa. Di lembaga-lembaga pendidikan inilah, ia belajar pelajaran agama.58 Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca Al-Qur'an hingga khatam. Selanjutnya ia belajar ilmu fiqh kepada K. H. Muhammad Shaleh, Nahwu kepada K. H. Muhsin keduanya adalah kakak ipar Muhammad Darwis sendiri. 59 Ilmu falak kepada Kyai Raden Haji Dahlan, ilmu hadits kepada Kyai Mahfudh dan Syekh Khayyat, belajar qiroah kepada Syekh Amin dan Bakri Satock, belajar ilmu bisa (racun) binatang kepada Syekh Hasan. Disamping itu dia juga berguru kepada Kyai Haji Abdul Hamid dari 57
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 94. 58 Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan, 99. 59 Pasha dan Darban, Gerakan Islam, 103.
51
Lempuyangan, K. H. Muhammad Nur, R. Ng. Sosrosugondo, R. Wedana Dwijosewoyo dan Syekh M. Jamil Jambek dari Bukit Tinggi. 60 Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, K. H. Ahmad Dahlan pergi ke Makkah untuk ibadah haji. Ia tiba di Makkah pada bulan Rajab 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah ia silaturrahim dengan para ulama Indonesia maupun Arab sekaligus untuk menimba ilmu darinya.61 Diantara ulama tersebut adalah: Syekh Muhammad Khatib Al-Minangkabawi, Kyai Nawawi Al-Banteni, Kyai Mas Abdullah, dan Kyai Faqih Rembang. Ia juga mendatangi ulama mazhab Syafi’i Bakri Syata dan mendapat ijazah nama Haji Ahmad Dahlan. 62 Pada tahun 1896 M, K. H. Abu Bakar wafat. Jabatan khatib masjid besar oleh kesultanan Yogyakarta lalu dilimpahkan kepada K. H. Ahmad Dahlan sepulang dari Makkah pada tahun 1309 H (1819 M), lalu beliau diberi gelar khatib Amin, yang diberi tugas: a. Khutbah jum’at saling bergantian dengan kawannya delapan orang khatib. b. Piket di srambi masjid dengan kawannya enam orang sekali seminggu. c. Menjadi anggota Road Agama Islam hukum keraton. Pada tahun 1903 ia berangkat lagi ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Ia studi lanjut tentang berbagai ilmu Islam kepada gurunya ketika haji yang pertama dulu, juga kepada lainnya. Dalam hal ini ia belajar: (1) Ilmu 60
Damami, Gerakan Muhammadiyah, 82. Pasha dan Darban, Gerakan Islam, 104. 62 Nizar, Filsafat Pendidikan, 101.
61
52
fiqh kepada Syekh Saleh Bafedal, (2) Ilmu Hadis kepada Mufti Syafi’i, dan lain sebagainya. Kecuali itu ia juga bersahabat akrab dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim disana, seperti K. H. Fakih (maskumambang), Kyai Mas Abdulah (Surabaya), dan lain sebaganya. 63 Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan mulai penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd Wahab, Jamal-al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang universitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur'an dan sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan ketika itu.
B. Setting Sosial Pemikiran Pemikiran K. H. Ahmad Dahlan hampir seluruhnya berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan, kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan politik kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia. 64 Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan pertama milik umat Islam di Indonesia, dan juga merupakan sistem pendidikan yang khas 63 64
Pasha dan Darban, Gerakan Islam, 106. Nizar, Filsafat Pendidikan, 103.
53
di Indonesia. Meski pesantren umumnya dipandang sebagai lembaga pendidikan indigenous Jawa, tradisi keilmuan pesantren dalam banyak hal memiliki afinitas dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional di kawasan dunia Islam lainnya. Afinitas atau kesamaan itu dalam batas tertentu bukan hanya pada tingkat kelembagaan dan keterkaitannya dengan lingkungan sosialnya, tetapi juga pada watak dan karakter keilmuannya. Dalam konteks keilmuan, keberadaan pesantren merupakan perwujudan dari egalitarianisme Islam dalam lapangan keilmuan. Dengan pesantren, setiap muslim yang mempunyai latar belakang lapisan sosial yang berbeda memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan, bukan sembarang pengetahuan, tetapi pengetahuan agama yang dalam segi-segi tertentu dipandang memiliki dura sakralitas. 65 Namun dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman yang tidak pernah mengenal berhenti, maka akan terasa sistem pendidikan pondok pesantren dalam era kekinian terasa kurang relevan dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Sesungguhnyalah, bahwa lembaga pendidikan Islam sudah seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader-kader penerus cita-cita Islam dan siap mengemban amanat Allah sebagai “khalifah Allah” dimuka bumi, yang tugas utamanya adalah mengupayakan terciptanya perdamaian sesama umat
65
Azumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan dan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1998), 87-88.
54
manusia, serta mengupayakan terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran hidup umat manusia. Mengingat fungsi pendidikan Islam seperti ini maka apa yang ada dalam lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren pada saat itu dirasakan oleh K. H. Ahmad Dahlan masih ada satu kekurangan mendasar yang harus segera disempurnakan. 66 K. H. Ahmad Dahlan sangat merasa kemunduran umat Islam di tanah air. Hal itu merisaukan hatinya, ia merasa bertanggungjawab serta berkewajiban membangunkan, menggerakkan, dan memajukan mereka, beliau sadar kewajiban itu tidak mungkin dilakukan seorang diri, harus oleh beberapa orang, yang diatur secara seksama. Kerjasama beberapa orang, yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi. Dengan pemahaman semacam itu, K. H. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi atau perkumpulan yang ia beri nama Muhammadiyah. 67 Faktor lain yang mendorong lahirnya Muhammadiyah ialah sikap keberagamaan umat Islam kala itu dinilai sangat sinkietis dan diselimuti oleh tradisi Hindu-Budha dalam menjalankan ibadah ritual. Selain sikap keberagamaan umat Islam pada saat itu yang masih belum rasional, banyak bercampur dengan syirik, khurafat, bid’ah dan taqlid. Hal ini ditambah sistem pendidikan yang lebih menekankan
66
Pasha dan Darban, Gerakan Islam, 117. Nur Achmad dan Pramono Utanthowi, Muhammadiyah Digugat (Jakarta: PT. Kompan Media Nusantara, 2000), 193. 67
55
kepada kemampuan mengaji bukan mengkaji sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional kurang rasional. 68 Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan K. H. Ahmad Dahlan. Secara umum, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu: 1. Mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui interpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan masalah dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio. 2. Berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam.
C. Pemikiran Pendidikan Islam Menurut K. H. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan kepada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada Al-Qur'an dan hadits, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komperhensif, dan menguasai berbagai
68
Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2001), 256.
56
disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan menurut K. H. Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai abd Allah dan khalifah fi alardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al ruh dan alaql. Untuk itu, hendaknya pendidikan menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada khaliqnya. Disini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam kontek tujuan penciptaannya. 69 Usaha-usaha dibidang pendidikan oleh K. H. Ahmad Dahlan semakin digalakkan setelah ia membentuk perkumpulan Muhammadiyah. Perkumpulan ini dibentuk pada tanggal 18 November 1912 bertepatan 8 Dzulhijjah 1330 H. 70 Salah satu sebab didirikannya Muhammadiyah ialah karena lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi lagi kebutuhan dan tuntutan zaman. Tidak saja isi dan metode pengajaran yang tidak sesuai, bahkan sistem 69 70
2003), 92.
Nizar, Filsafat Pendidikan,104. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
57
pendidikannya pun harus diadakan perubahan. 71 Menurut Dahlan hal ini kalau dibiarkan maka akan berdampak pada stagnan pemikiran, kejumudan serta pola pikir yang regresif. Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta. Islam mengajarkan bahwa betapa pentingnya menggunakan akal akan tetapi juga mengakui akan keterbatasan akal. Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metafisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad. Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistimologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan kesemua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengembangan merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini dketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip AlQur'an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu. Upaya untuk mengaktualisasikan gagasan tersebut butuh transparansi baik dari segi konseptual maupun operasionalnya, mengingat proses pendidikan Islam waktu itu yang nota
71
Pasha dan Bardan, Gerakan Islam, 133.
58
bene Islam tradisionalis, dengan demikian modernisasi di segala bidang merupakan salah satu jalan untuk memenuhi tuntutan zaman. Islam merupakan agama taghayyir yang menghendaki modernisasi (tajdid). Prinsip ini ditegaskan Allah dalam Al-Qur'an, bahwa tidak akan terjadi modernisasi pada suatu kaum, kecuali mereka sendiri berupaya ke arah tersebut (QS. Yusuf / 13 : 11). Disini, Islam mencela sifat jumud dan taqlid yang membabi buta. Karenanya, Islam mendorong manusia meningkatkan kreatifitas berpikirnya dan melakukan prakarsa. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian menurut Dahlan disebut proses ijtihad, yaitu mengerahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulasi tajdid yang strategis dalam memahami ajaran Islam secara proporsional. Sesungguhnya Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada wakti itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun sosial yang telah menjadi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dialogis. Padahal dalam pandangan K. H. Ahmad Dahlan, pengembangan daya kritis, sikap, dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi.
59
Menurut K. H. Ahmad Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai abd maupun khalifah fi al-ardh untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasikan berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik. Upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Untuk menghasilkan peserta didik yang “intelektual-ulama”, maka epistimologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan. Beliau mengemukakan bahwa materi pendidikan ialah pengajaran Al-Qur'an dan hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Berpijak pada pandangan di atas, sesungguhnya Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif dan progresif. Untuk mewujudkan ide pembaharuan dibidang pendidikan, K. H. Ahmad Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya masih
60
cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Disini ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral. 72 Selain melakukan kegiatan pendidikan sebagaimana tersebut di atas, Ahmad Dahlan juga berkiprah dalam pembinaan kehidupan beragama yang juga berkaitan erat dengan bidang pendidikan dalam arti informal tapi aktual, karena hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Semangat dan cita-cita pembaharuannya dalam bidang keagamaan telah tertanam sejak ia kembali dari Makka pada kunjungannya yang pertama. Ia memperkenalkan cita-citanya mulai dari pembetulan posisi kiblat, arah orang bersembahyang. Sebelumnya, kiblat tersebut lurus mengarah ke barat. Kemudian, ia mengorganisasikan kawan-kawannya di daerah Kauman untuk melakukan kerja sosial dalam memperbaiki kesehatan lingkungan, seperti membersihkan jalan dan parit. Di lihat dari kondisi kehidupan keberagamaan umat Islam sekarang, apa yang
dilakukan
Ahmad
Dahlan
dalam
memperkenalkan
semangat
pembaharuannya relatif cukup sederhana. Namun dilihat dari kondisi kehidupan keberagamaan umat waktu itu, pembetulan posisi kiblat ke arah Ka’bah dan mengajak masyarakat menyadari lingkungan yang sehat merupakan kerja mendasar dalam artian juga potensial. 73
72 73
Nizar, Filsafat Pendidikan, 107-108. Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan, 107.
61
D. Model Pendidikan Islam Dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang diantaranya yaitu manusia yang berbudi pekerti yang luhur, luas pandangan dan punya integritas tinggi, maka K. H. Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan Islam dengan berbagai sistem di antaranya sebagai berikut: 1. Sekolah yang mengikuti pola gubernermen yang ditambah dengan pelajaran agama. 74 Dalam pola ini guru-guru pribumi dilibatkan dalam sekolah itu sebagai tenaga pengajar dengan silabus modern yang memasukkan pelajaran umum dan agama yang berasarkan pelajaran bahasa Arab dan tafsir. Sekolah yang dibangun K. H. Ahmad Dahlan itu agaknya sama dengan sekolah setingkat dalam sistem pendidikan pemerintahan Hindia Belanda. Sekolah ini tampaknya sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk menerima subsidi pemerintah Belanda. Sampai akhir tahun 1923 di Yogyakarta telah berdiri empat SD Muhammadiyah dan tengah mempersiapkan pendirian HIS (Holands Inslandse School) dan sekolah pendidikan guru. Dalam sekolah pendidikan guru tersebut, pelajaran umum diberikan oleh kedua orang guru dari sekolah pendidikan guru (kweekschool), sedangkan K. H. Ahmad Dahlan sendiri dan beberapa orang guru lainnya memberikan pelajaran agama yang lebih mendalam. Untuk sekedar melihat kurikulum salah satu sekolah gubernemen itu, dalam hal ini MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwis), sebagai berikut: 74
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 206.
62
Tabel Kurikulum Mulo Mata Pelajaran Membaca Bahasa Belanda Menulis Berhitung Sejarah (Belanda dan jajahan) Sejarah (dunia) Geografi Ilmu alam Bahasa Prancis Bahasa Inggris Bahasa Jerman Menggambar
I 3 5 6 1 1 3 3 2 4 4 2 2 36
Kelas II 3 4 9 1 1 3 3 3 3 3 2 1 36
III 2 4 2 2 1 3 4 4 3 4 2 5 36
Dari tabel di atas terlihat bahwa kurikulum mulo yang dikembangkan pemerintah tidak menawarkan materi-materi keagamaan. Dalam hal ini, K. H. Ahmad Dahlan melengkapi kekurangan itu sehingga ada keseimbangan antara materi keagamaan dan non keagamaan. 75 2. Madrasah yang lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama. Jadi dalam kurikulum madrasah tersebut banyak mata pelajaran keagamaannya, tanpa mengesampingkan muatan pelajaran umum. Diantara madrasah yang cukup berjasa dan didirikan pada masa penjajahan yaitu: a. Kweekschool Muhammadiyah. b. Mu’allimin Muhammadiyah. c. Mu’alimat Muhammadiyah. d. Zu’ama / Za’imat. 75
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran, 97 – 98.
63
e. Kulliyah Muballighin / Muballighat. f. Tabligh School. g. H. I. K. Muhammadiyah. Disebutkan, Muhammadiyah,
selain Mulo
beberapa
sekolah
Muhammadiyah,
di
Madrasah
atas,
juga
HIS
Ibtidaiyah
dan
Tsanawiyah Muhammadiyah. Dengan perbandingan yang bervariasi, pada madrasah-madrasah tersebut mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama diberikan secara seimbang. Madrasah ini, seperti madrasah diniyah di Minangkabau, dimaksudkan untuk mengganti sekaligus memperbaiki pengajaran Al-Qur'an tradisional. Untuk pengajian kitab, juga dicarikan penggantinya sesuai dengan tuntutan zaman modern. Usaha tersebut bisa dianggap sebagai realisasi rencana sarikat Islam yang sejak tahun 1912 berusaha mendirikan sekolah pendidikan agama, yang dapat menyaingi sekolah pendidikan guru gubernemen. 76 Dari pandangan tersebut dapat diketahui bahwa menurut KH. Ahmad Dahlan akal merupakan prioritas dari pendidikan Islam. Sebab dengan kemampuan penalaran akal akan memberi peluang peningkatan dan pengembangan dalam memahami dan mengenal makna petunjuk Al-Qur'an. Oleh karena itulah, model yang dipergunakannya harus membantu secara optimal dalam membebaskan dan mengembangkan akal tersebut dan menurut KH. Ahmad Dahlan yang sesuai adalah dengan sisem madrasi. 76
Nata, Pendidikan Islam, 206.
BAB IV ANALISA PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP MODEL PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN K. H AHMAD DAHLAN
A. Konsep Pemikiran K. H Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan Islam Dari uraian pada bab III point C di atas tentang pemikiran pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan dapat dianalisis bahwa; corak pemikiran K. H. Ahmad Dahlan tersebut tidak lepas dari setting sosial pada waktu itu. Salah satu sebabnya dari keterbelakangan dan kemunduran umat Islam ketika itu adalah kurangnya ilmu pengetahuan umum pada lembaga pendidikan Islam, semisal pesantren. Memang di Indonesia waktu itu, mengalami dikotomi dalam bidang pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Pada satu sisi dilihatnya sekolah-sekolah umum rintisan Belanda, seperti His dan Mulo, mengajarkan ilmu umum secara murni, sedangkan disisi lain sekolah-sekolah agama terutama pesantren, hanya mengajarkan ilmu agama. Perlunya keseimbangan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama dalam sebuah lembaga pendidikan Islam yang bemutu dan progresif akan memicu K. H. Ahmad Dahlan untuk mengkolaborasikan sistem pendidikan madrasah dengan sistem pendidikan pesantren. Pemikiran K. H. Ahmad Dahlan yang tidak membeda-bedakan antara ilmu agama dan ilmu umum tersebut adalah sangat relevan dengan ajaran Al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan yang tidak terbatas pada ilmu agama dan syari’ah saja, namun Al-Qur'an juga
64
mengajak mempelajari ilmu-ilmu duniawi, karena ilmu duniawi menjadi salah satu sarana untuk membangun dan meningkatkan standar kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya serta untuk mencapai kehidupan bahagia baik di dunia dan akhirat. Allah berfirman dalam wahyu pertama yang menekankan untuk selalu membaca. Wahyu pertama Surat Al-Alaq mengandung makna tersirat bahwa menghendaki umat manusia untuk membaca apa saja selama bacaan tersebut menyebut nama Tuhan (bi-ismi rabbik). Dengan asumsi dasar ini maka out put pendidikan yang dikehendaki K. H. Ahmad Dahlan yaitu, pertama muslim yang bermoral tinggi bersumber dari ajaran Al-Qur'an dan Al-Sunnah dengan pemahaman secara luas, kedua muslim yang memiliki individualitas bulat, dalam arti seimbang antara perkembangan jasmani dan rohani antara iman dan akalnya, antara perasaan dan pikirannya, antara ilmu ukhrawi dan duniawi, ketiga muslim yang memiliki sikap sosial politik dalam arti selalu siap sedia untuk bekerja memajukan masyarakatnya. Ketiga hal tersebut harus terpadu, merupakan satu peleburan yang harmonis, melahirkan satu pribadi muslim yang layak disebut hamba Allah atau Abdullah. 77 Maka dari itu pendidikan Islam harus berorientasi pada keseimbangan antara kepentinagn duniawi (the worldly oriented) dan ukhrawi. Selain
itu
pendidikan Islam bukan sekedar pendidikan budaya (cultural education), dan juga bukan sekedar pendidikan yang semata-mata bertolak dari atau dan berorientasi pada upaya pengembangan dari atau dan berorientasi pada upaya pengembangan 77
Ibid., 79.
65
dan pelestarian sosio-kultural tertentu, tetapi sekaligus dan bahkan yang lebih utama bermaksud menanamkan pengetahuan yang berguna (ilm nafi) dalam rangka merealisasikan fitrah manusia sebagai hamba Allah SWT, dan khalifatulullah. Pendidikan Islam bertujuan untuk mengaktualisasikan secara penuh dan seimbang seluruh potensi manusia baik secara spirit, emosi, intelek, organ-organ indrawi maupun fisiknya. Keutuhan ini perlu mendapatkan perhatian lebih serius mengingat makin menjamurnya gejala kepribadian yang terbelah (split personality). Maka dengan sasaran, muatan dan pendekatan Qur’ani, maka institusi pendidikan Islam akan sangat mungkin melahirkan lulusan yang memiliki ilmu yang luas dan jasmani yang kuat, disamping hati yang bersih. Maka pendekatan keagamaan dalam proses pendidikan juga sangat penting keberadaannya. Sebab tujuan pendidikan yang ingin dicapai sebagaimana yang tersirat dalam Al-Qur'an adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Lebih jauh K.H. Ahmad Dahlan juga memandang bahwasannya peserta didik mempunyai potensi yang sangat mendasar yaitu akal, yang secara kontinuitas perlu dipelihara serta dikembangkan guna untuk menyeimbangkan antara kemampuan lahiriah dan batiniah, duniawi dan ukhrawi. Pandangan ini
66
sangat relevan dengan konsep pendidikan Islam yang mana peserta didik merupakan orang yang belum dewasa akan tetapi punya sejumlah kemampuan atau potensi dasar yang sangat perlu untuk ditumbuhkembangkan. Peserta didik juga merupakan hamba Allah yang memiliki fitrah jasmani dan rohani serta memiliki keberbedaan antara satu dengan yang lain baik dari segi intensitasnya maupun kematangannya untuk itu menumbuhkembangkannya merupakan suatu hal yang sangat dituntut demi mencapai kelangsungan hidup. Di sisi lain beliau juga mengemukakan bahwa materi dalam sebuah lembaga pendidikan tidak terfokuskan mempelajari satu disiplin ilmu saja akan tetapi dari berbagai disiplin ilmu bahkan antara satu dengan yang lain saling bertautan. Pandangan ini ada titik temunya bila dikaitkan dengan kurikulum pendidikan Islam, dimana bahan kurikulum terdiri dari beberapa aspek mulai dari yang bersifat teoritis atau praktis. Berpijak pada pandangan di atas maka K. H. Ahmad Dahlan, berupaya mengelola pendidikan Islam secara profesional, modern dengan menggunakan sistem klasikal, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai modernitas dan era globalisasi.
B. Model Pendidikan Islam Menurut K. H. Ahmad Dahlan Seiring dengan tuntutan zaman pengembangan pendidikan Islam yang dilakukan K. H. Ahmad Dahlan kala itu merupakan awal dari pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam. Pendidikan yang merupakan salah satu sarana untuk
67
pembangunan umat seharusnya diletakkan pada skala prioritas. Maka dari itu K. H. Ahmad Dahlan mengembangkan sistem pendidikan Islam yang pertama menambah dan memasukkan pendidikan agama dalam sekolah yang mengikuti pola gubernemen. Sedangkan sistem yang kedua adalah sistem madrasah yang banyak muatan pelajaran agama akan tetapi tetap mempertimbangkan muatan pelajaran umum. Kedua sistem tersebut di atas mempunyai titik temu dengan pola pendidikan yang dikemukakan oleh Ismail Faruqi, diantara pola itu ialah internalisasi nilai-nilai agama dalam sains (ilmu umum diislamkan) dan internalisasi sains dan IPTEK kedalam ilmu agama (ilmu agama diumumkan), kedua pola ini menepis dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Sistem pendidikan yang dikembangkan K. H. Ahmad Dahlan, bila ditinjau dari segi teoritis dan praktis, maka akan bermuara pada konsep fitrah, yang intinya bahwa manusia diciptakan sebagai abd yang tugasnya ialah ibadah, disisi yang
lain
manusia
diciptakan
juga
sebagai
khalifatufilard.
Untuk
mengaktualisasikan hal itu maka potensi peserta didik harus seimbang, baik dari segi aspek aqliyah, jismiyah, maupun aspek khuluqiyah (kognitif, psikomotorik, afektif). Hal ini akan terealisir manakala sistem pendidikan yang dikembangkan bersifat madrasi.
C. Perspektif Pemikiran Pendidikan Islam Terhadap Model Pendidikan Islam Menurut K. H. Ahmad Dahlan Model pendidikan yang dikembangkan oleh K. H. Ahmad Dahlan yang tidak mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, hal ini mengacu pada
68
hakekat manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya dimuka bumi. Hakekat manusia itu ada karena ia memiliki seperangkat potensi lantent yang diberikan oleh Allah, baik potensi yang bersifat jasmani, rukhani, maupun kejiwaan, atau potensi yang yang ditimbulkan dari predikat al-Basyar (makhluk biologis), alinsan (makhluk psikologis), dan al-nas (makhluk sosial). Sebagai aktualisasi fungsi
kehambaan
dan
kekhalifahan,
manusia
dituntut
mampu
mentransiternalisasikan nilai-nilai Islami, berupa iman, mempergunakan akal fikiran, berakhlak mulia, dan beramal shalih. Melalui upaya tersebut, kehidupan manusia akan memiliki keharmonisan, baik antara dirinya dengan Tuhan, masyarakat, maupun alam sekitar, yang pada gilirannya membawa keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dalam mengkaji tentang hakekat manusia bahwa manusia dicipta sebagai abd Allah dan khalifatullah. Dengan demikian manusia diharapkan mampu mengembangkan potensi yang ada. Lebih jauh, beliau juga mengemukakan bahwa pada proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al-aql. Dengan pernyataan ini sehingga pendidikanlah yang tepat dalam rangka mengasah semua potensi yang ada pada diri manusia. 78 Corak pemikiran dan model pendidikan yang dikembangkan oleh K. H. Ahmad Dahlan, bila dipandang dari tipologi pemikiran pendidikan Islam maka ia dapat dikategorikan tipologi modernis. Hal ini kelihatan ketika beliau mengkaji tentang hakekat manusia, bahwa manusia diciptakan sebagai abd Allah dan
78
Haidar Putra Daulay, Historitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001), 158.
69
khalifatullah. Lebih jauh beliau juga mengemukakan bahwa pada proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al-aql. Adapun tujuan pendidikan Islam secara umum terfokus pada terbentuknya kesadaran terhadap manusia sebagai hamba Allah dan terbentuknya kesadaran akan fungsi serta tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Tujuan ini bila dikontekkan dengan konsep pemikiran K. H. Ahmad Dahlan terkait dengan tujuan pendidikan yang dikehendakinya yaitu pribadi muslim yang beradab tinggi bersumber pada Al-Qur'an dan sunnah, pribadi muslim yang selaras antara perkembangan jasmani dan rokhani, iman dan akalnya, perasaan dan pikirannya. Semua ini sangat relevan dalam arti mempunyai titik temu yang signifikan. Dilihat dari model pemikirannya K. H. Ahmad Dahlan agaknya juga mengembangkan paradigma modernisasi Islam, yang berangkat dari kepedulian akan keterbelakangan umat Islam kala itu, yang disebabkan oleh kepicikan berfikir, kebodohan, dan ketertutupan dalam memahami ajaran agamanya sendiri, sehingga sistem pendidikan Islam tertinggal terhadap kemajuan yang dicapai oleh negara-negara barat. Karena itu, ia cenderung mengembangkan pesan Islam dibidang pendidikan dalam konteks perubahan sosial, serta melakukan liberalisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman, tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dari proses modernisasi, sehingga ia lebih menampilkan kelenturan dan keterbukaan dalam menghadapi dunia yang plural dan terus berubah.
70
Dalam konteks pemikiran pendidikan Islam, sikap bebas dan modifikasi tersebut bukan berarti kebebasan mutlak tanpa adanya keterikatan. Menjadi modernis memang berarti progresif dan dinamis. Hanya saja kemodernannya itu bersifat relatif, terikat oleh ruang dan waktu, yang modern secara mutlak hanyalah Tuhan (pencipta alam). Dengan kesadaran kerelatifan kemanusiaan, maka seseorang akan bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain. Uraian di atas menunjukkan bahwa pemikiran pendidikan Islam yang modernis memiliki sikap yang progresif, dinamis dan sikap bebas modifikasi dalam pengembangan pendidikan Islam menuju kearah kemajuan pendidikan Islam yang diridhai Allah SWT. Untuk mengarah kesana diperlukan, sikap lapang dada dalam menerima dan mendengarkan pemikiran dan teori pendidikan orang lain, termasuk didalamnya melakukan tranformasi, mengakomodasi bahkan mengadopsi dari pemikiran dan temuan IPTEK serta system pendidikan modern yang berasal dari non muslim dalam rangka mengejar ketinggalan serta mencapai kemajuan sistem pendidikan Islam itu sendiri. Melihat dari hal ini konsep pemikiran pendidikan K. H. Ahmad Dahlan sangat tepatlah bila dikatakan dan dikategorikan tipologi modernis, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus menerus agar dapat berbuat sesuatu yang intelegen dan mampu mengadakan penyesuaian dan tuntutan lingkungan serta zaman. Sehingga parameternya ialah bersumber dari Al-Qur'an dan al-sunnah, bebas modifikatif
71
tetapi terikat nilai-nilai kebenaran universal (Allah), progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan zaman serta wawasan kependidikan Islam kontemporer.
72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. K. H. Ahmad Dahlan mensinergikan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama dalam lembaga pendidikan Islam. 2. Model pendidikan Islam yang dikembangkan K. H. Ahmad Dahlan yaitu model klasikal dengan menggabungkan muatan keagamaan dan non keagamaan. 3. Perspektif pemikiran pendidikan Islam terhadap model pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan masih kental sekali dengan “kultur” pendidikan waktu itu, meskipun pada tataran konsepnya sudah mengacu pada kemodernan tapi kemodernannya masih terikat ruang dan waktu, dan hal ini akan terasa ketika output pendidikan Islam saat ini dituntut untuk punya integritas tinggi yang unggul secara intelektual, kokoh secara moral dan anggun secara moral, maka dari itu pendidikan Islam harus lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching).4
B. Saran-saran 1. Lembaga pendidikan Islam dalam era kekinian dihadapkan pada peluang dan tantangan perkembangan zaman, maka dari itu untuk mencapai output pendidikan yang ideal hendaknya dalam proses pembelajaran senantiasa
73
diperlukan terobosan-terobosan konsep pendidikan yang lebih ideal dan inovatif serta mempunyai efektifitas tinggi. 2. Praktisi pendidikan untuk lebih transparansi dalam hal perumusan model dan sistem pendidikan yang lebih relevan dan tepat serta melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang dilakukan para pemikir pendidikan terdahulu sebab apa yang telah dirumuskannya tidak lebih sebagai bahan perbandingan, tolak ukur sekaligus evaluasi akan kepedulian dalam memjukan dunia pendidikan di tengah-tengah percaturan globalisasi.
74
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nur dan Pranomo U. Tanthawi. Muhammadiyah Digugat. Jakarta: Harian Kompas, 2000. Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001. Arif, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999. _________. Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan dan Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1998. An-Nahlawi Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Pers, 1995. Al-Abrasy, Muhammad Athiyah. Al-Tarbiyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1964. terj. H. Bustami, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari: Syarah Shahih al-Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002. Drajad, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Damami, Muhammad. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000. Daulay, Haidar Putra. Historitas dan Eksistensi: Pesantren Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001. Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004. Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
_________. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Hasan, Ali dan Mukti Ali. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Jilid 1, Yogyakarta: Andi Offset, 1993. Ihsan, Hamdani. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2001. Jamaluddin. Kapita Selekta Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998. Jalaluddin dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Muliawan, Jasa Ungguh. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan dakwah. Yogyakarta: Sipers, 1993. Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Muslim Romdoni. Tokoh Muslim Indonesia: Pola Pikir, Gagasan, Kiprah dan Falsafah. Jakarta: Restu Ilahi, 2005. Mudyaharjo, Redja. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1991. Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. _________. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2001.
_________. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. _________. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Nizar, Samsul. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia. Jakarta: PT. Ciputat Press Group Quantum Teaching, 2006. Nasir, Ridlwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesanren di Tengah Arus Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002. Sonhaji, Abdullah. Terjemah Sunan Ibnu Majah. Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993. Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Suwendi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Sekretariat Negara RI. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Kloang Klede Putra Timur, 2003. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Ulum, Miftahul dan Basuki. Pengantar IP Perspektif Islam tentang Tujuan Pendidikan. Ponorogo: STAIN, 2006. Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.