KOMPARASI PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN K.H. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI
Oleh: Muh. Syamsul Arifin 06110113
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG Oktober, 2010
KOMPARASI PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN K.H. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan guna Memperoleh Gelar Strata Satu Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh: Muh. Syamsul Arifin 06110113
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG Oktober, 2010
HALAMAN PERSETUJUAN
KOMPARASI PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN K.H. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI
Oleh Muh. Syamsul Arifin NIM. 06110113 Telah disetujui Pada Tanggal, 04 Oktober 2010 Oleh Dosen Pembimbing
Dr. H. M. Mujab, M.A NIP. 196611212002121001
Mengetahui, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Drs. H.M. Padil, M. Pd. I NIP. 196512051994031003
MOTTO
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (Q. S. Az-Zumar ayat 1)
“Belajarlah, karena seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan berilmu Padahal orang yang berilmu tidaklah sama dengan mereka yang dungu! Para pembesarpun, jika ia tidak berilmu, Menjadi kecil saat orang-orang dikumpulkan. Sementara orang kecil, jika ia berilmu, Menjadi besar saat berada dalam perkumpulan”. (Muhammad ‘Afif al Za’biy. 2003. Diwan Syafi’i, Untaian Syair Imam Syafi’i, Yogyakarta: Kota Kembang)
PERSEMBAHAN Aku persembahkan karya ini kepada: Bapak (alm) dan Emak tercinta, yang dalam kondisi dan situasi apapun tetap dengan ikhlas dan tulus memberikan curahan kasih sayang dan dukungan berupa moral, material dan spiritual kepada putra tercintanya ini Guru-guruku dan Dosen-dosenku yang telah memberikan bimbingan, arahan dan selalu mentransformasikan keilmuannya sehingga menjadikanku mengetahui, memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh Keluargaku; Siti Nafisah (kakak tertua), Almarhum Miftahus Surur (kakah kedua), dan adikku tercinta serta yang aku banggakan dan harapkan, Siti Zahrotul Mila. Serta tak lupa kakak Iparku, Sepupu-Sepupuku, kakek dan Nenekku, Paman dan Bibiku yang telah memberikan do' a, motivasi, dan bantuan sehingga menjadi pemicu semangatku untuk meraih cita-cita dan untuk menjadi seperti apa yang mereka harapkan. Teman-temanku di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang selalu mengajariku akan hausnya nafsu intelektualitas dan idealisme gerakan. Almamaterku Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang selalu Aku bangga-banggakan.
Dr. H. M. Mujab, M.A Dosen Fakutas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang NOTA DINAS PEMBIMBING Hal : Skripsi Muh. Syamsul Arifin Lamp : 4 (Empat) Eksemplar
Malang, 04 Oktober 2010
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim di Malang Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan, baik dari segi isi, bahasa, maupun tehnik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa tersebut di bawah ini: Nama
: Muh. Syamsul Arifin
NIM
: 06110113
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam Maka selaku Pembimbing, kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak diajukan untuk diujikan. Demikian, mohon dimaklumi adanya. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb. Pembimbing,
Dr. H. M. Mujab, M.A NIP. 196611212002121001
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Malang, 14 Oktober 2010
Muh. Syamsul Arifin NIM. 06110113
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah, Dzat yang menguasai semua mahluk dengan segala kebenaran-Nya. Dengan petunjuk dan pertolongan Nyalah penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam”, walau masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik mengenai isi maupun sistematika penyusunannya. Sebab sebagai manusia biasa, penulis tidak lepas dari salah dan lupa. Oleh karena itu, besar harapan kami atas tegur sapa dan kritik dari semua pihak. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah limpahkan keharibaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan pelajaran, tuntunan dan suri tauladan kepada kita semua, sehingga kita dapat menuju jalan islam yang luruh dan penuh Ridha-Nya. Banyak bantuan yang telah penulis terima dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini, maka sepatutnyalah penulis ucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Bapak (alm) dan Emak tercinta yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan kasih saying dan motivasi baik berupa matriil maupun spiritual, serta telah membesarkan, membimbing dan membiayai penulis dalam menyelesaikan studi hingga kejenjang perguruan tinggi.
2.
Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang beserta staf rektoratnya yang selalu memberikan kesempatan dan pelayanan kepada penulis.
3.
Bapak Dr. H. M. Zainuddin, M.A, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
4.
Bapak Drs. Moh Padil M. Pd. I, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
5.
Dr. H.M. Mujab, M.A, selaku Dosen Pembimbing yang meluangkan waktunya dan dengan ikhlas dan tulus memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis demi kebaikan dan terselesaikannya skripsi ini.
6.
Dr. M. Fatah Yasin, M. Ag dan Muhammad Walid, M. Ag, selaku penguji skripsi yang bersedia bertukar fikiran dalam
rangka memperbaiki
kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini. 7.
Sahabat-sahabat PMII Cabang dan Komisariat seKota Malang serta khususnya PK PMII Sunan Ampel yang selalu menemani penulis untuk selalu berdialektika dalam rangka memperluas khazanah keilmuan dan menemani penulis dalam suka dan duka, serta mengajarkan akan arti hidup sesungguhnya.
8.
Sahabat-sahabat PMII Rayon Kawah Chondrodimuko, Perjuangan Ibnu Aqil, Radikal Al-Faruq, Pencerahan Galileo, Penakluk Al-Adawiyah, dan Moch. Hatta yang selalu menjadi kontroler bagi penulis dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
9.
Kawan-kawan HMI, Bung dan Nona GMNI, dan Imawan-imawati IMM serta akhi-ukhti KAMMI yang selalu berdialektika dengan penulis tentang nafsu idealismenya. Tiada kata yang patut penulis sampaikan selain untaian do’a, semoga Allah
membalas jasa-jasa baik beliau. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi atau isi dan sistematika pembahasan. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif untuk membenahi dan memenuhi kekurangan dalam laporan-laporan selanjutnya. Demikian yang bisa disampaikan oleh penulis, kurang lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga tulisan yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pihak pada umumnya. Amin. Malang, 04 Oktober 2010
Muh. Syamsul Arifin NIM. 06110113
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman transliterasi berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan no. 0543 b/ U/ 1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: A. Huruf =
a
=
z
=
q
=
b
=
s
=
k
=
t
=
sy
=
l
=
ts
=
sh
=
m
=
j
=
dl
=
n
=
h
=
th
=
w
=
kh
=
zh
=
h
=
d
=
‘
=
,
=
dz
=
gh
=
y
=
r
=
f
B. Vokal Panjang Vokal (a) panjang
=
Vokal (i) panjang
=
î
Vokal (u) panjang
=
û
C. Vokal Diftong =
aw
=
ay
=
û
=
î
?
DAFTAR TABEL Tabel 1 : Sumber dan Rujukan Penelitian ................................................. 56 Tabel 2 : Data Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ..................... 195 Tabel 3 : Data Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ................... I96
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 : Langkah-langkah atau prosedur penelitian ............................. 67 Gambar 2 : Silsilah K.H. Ahmad Dahlan
.............................................. 71
Gambar 3 : Silsilah K.H. Hasyim Asy’ari .............................................. 100
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1: Bukti Konsultasi Bimbingan Skripsi ................................... xxii Lampiran 2: Biodata Mahasisiwa ............................................................. xxiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ iii HALAMAN MOTTO ............................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. v HALAMAN NOTA DINAS ................................................................... vi HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ vii KATA PENGANTAR ............................................................................ viii HALAMAN TRANSLITERASI............................................................ x DAFTAR TABEL .................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiii DAFTAR ISI .......................................................................................... xiv HALAMAN ABSTRAK ........................................................................ xviii BAB
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................. 17 C. Tujuan Penelitian .............................................................. 18 D. Manfaat Penelitian ............................................................ 18 E. Batasan Masalah ............................................................... 19
F. Definisi Operasional.......................................................... 20 G. Sistematika Pembahasan ................................................... 21 BAB
II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu ......................................................... 24 B. Kondisi Pendidikan ........................................................... 25 1. Definisi Pendidikan ...................................................... 29 2. Definisi Pendidikan Islam ............................................. 33 3. Tujuan Pendidikan Islam .............................................. 36 4. Sumber dan Dasar Pendidikan Islam ............................. 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ....................................................... 49 B. Jenis Penelitian ................................................................. 53 C. Data dan Sumber Data....................................................... 54 D. Tehnik Pengumpulan Data ................................................ 56 E. Analisis Data..................................................................... 60 F. Pengecekan Keabsahan Data ............................................. 62 G. Tahap-Tahap Penelitian..................................................... 64 H. Rancangan Penelitian ........................................................ 65 BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN A. K.H. Ahmad Dahlan.......................................................... 68 1. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan ............................. 68 2. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ..................... 72 3. Detik-detik Kepergian K.H. Ahmad Dahlan.................. 76
B. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan ............. 79 1. Definisi Pendidikan Islam ............................................. 86 2. Tujuan Pendidikan Islam .............................................. 89 3. Dasar Pendidikan Islam ................................................ 92 C. K.H. Hasyim Asy’ari......................................................... 98 1. Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari ............................ 98 2. Riwayat Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari .................... 105 3. Detik-detik Kepergian K.H. Hasyim Asy’ari................. 113 D. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari ............ 118 1. Definisi Pendidikan Islam ............................................. 133 2. Tujuan Pendidikan Islam .............................................. 138 3. Dasar Pendidikan Islam ................................................ 145 BAB
V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Perbedaan dan Persamaan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam........................ 154 1. Perbedaan dan Persamaan Definisi Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari ............. 156 2. Perbedaan dan Persamaan Tujuan Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari ............. 165 3. Perbedaan dan Persamaan Dasar Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari ............. 174 B. Kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam Bidang Pendidikan Islam................................................... 184
1. K.H. Ahmad Dahlan ..................................................... 187 2. K.H. Hasyim Asy’ari .................................................... 198 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................... 208 B. Saran ................................................................................. 210 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
ABSTRAK Muh. Syamsul Arifin, 2010. Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dr. H. M. Mujab, M.A. Pendidikan merupakan icon fundamental dalam rangka membenahi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, terlebih-lebih pendidikan Islam. Karena hanya dengan pendidikan yang sesungguhnyalah manusia akan mampu merekontruksi pola pikir yang selama ini masih dibawah ketertindasan menuju pola fikir kemerdekaan yang cenderung konstruktif. Pendidikan Islam yang selam ini dalam bayangan manusia menjadi pilihan yang tepat dalam rangka menumbuhkembangkan fitrah dan potensi yang diberikan Tuhan untuk kemudian diekplorasikan dalam kehidupan nyata menjadi sebuah keharusan yang harus difikirkan oleh elemen pelaksana pendidikan. Berangkat dari itulah penulis kemudian ingin membahas kembali pemikiran tokoh dan intelektual muslim Indonesia yang mencoba untuk merumuskan pendidikan Islam yang sesuai dengan haparan agama, bangsa dan Negara, seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Maka dari itu penulis mengambil judul Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Dengan harapan, konsepsi pendidikan Islam yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut mampu menginspirasikan elemen pelaksana pendidikan dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam agar kemudian pendidikan Islam mampu menjawab tantangan globalisasi dengan tetap mendasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, serta kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyiam Asy’ari dalam bidang pendidikan. Dari fokus masalah yang sudah disebutkan tadi, penulis mengambil langkag untuk kemudian menganalisis atau menelitinya dengan tujan mampu mengetahui, memahami, dan mampu mengambil kesimpulan dari pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, sehingga hasil dari telaah tersebut mampu dijadikan kontribusi dalam terselenggaranya dan berkembangnya pendidikan Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif dengan jenis library research. Sedangkan metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dalam rangka mencari sumber dan data yang menunjang dalam penulisan ini. Kemudian dari dokumentasi tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analysis dan interpretasi sumber dan data yang didapat. Dengan kerangka itu, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan adalah merupakan suatu sarana dan upaya sadar yang dilakukan dalam rangka mengentaskan pemikiran manusia yang statis menuju pemikiran yang dinamis yang bertujuan melahirkan manusia yang siap tampil sebagai ulama-intelek dan intelek-ulama yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, serta kuat jasmani dan rohani yang tetap mendasarkan semua itu pada Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan pendidikan Islam dalam perspekti K.H.
Hasyim Asy’ari merupakan sarana dan upaya strategis yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mencapai kemanuisannya, sehingga mampu mengetahui hakikat penciptaannya, penciptanya dan tugas serta tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi yang kemudian bertujuan agar dengan pendidikan Islam, manusia mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT., sehingga mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat yang juga tetap melandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari memiliki persamaan dan perbedaan dalam memandang pendidikan Islam. Namun, secara umum mereka berdua sepakat bahwa pendidikan Islam merupakan sarana dan upaya yang tepat dan strategis dalam rangka menyelamatkan kehidupan manusia dari hal apapun. Sedangkan perbedaan yang terlihat dari kedua tokoh tersebut dalam memaknai pendidikan Islam adalah masalah substansi dari pendidikan Islam tersebut. K.H. Ahmad Dahlan cenderung bercorak modernis, sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari cenderung bercorak tradisionalis. Kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari terhadp pendidikan Islam di Indonesia sangatlah banyak. K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammdiyahnya sudah mendirikan ribuan lembaga pendidikan, dan K.H. Hasyim Asy’ari dengan Nahdlotul Ulamanya juag sudah melahirkan lembaga pendidikan yang tersebar diseluruh Indonesia. Dan sampai sekarang sistem pendidikan Islam yang mereka berdua tawarkan masih dipergunakan dalam lembaga-lembaga pendidikan. Kata Kunci: Pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari
ABSTRACT Muh. Syamsul Arifin, 2010. Thought comparison K.H. Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy'ari on Islamic Education. Thesis, Department of Islamic Religious Education, Faculty of Education, State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang. Advisor : Dr. H. M. Mujab, M.A. Education is a fundamental icon in order to fix the religious life, nation and state, even more Islamic education. Because only with education that indeed humans will be able to reconstruct the mindset that had been still under the oppression towards freedom of thought which tend to be constructive. Islamic education is so far in the shadow of man to be the right choice in order to develop nature and God-given potential for later explored in real life becomes a necessity that should be a lot of rethinking by implementing elements of education. Departing from that author and then want to discuss the re-thinking leaders and Indonesian Muslim intellectuals who tried to formulate an appropriate Islamic education in the hope of religion, nation and the State, such as KH Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari. Thus the writer take the title Comparison of Thought KH Ahmad Dahlan and KH Hasyim Asy’ari on Islamic Education. With hope, the conception of Islamic education offered by these two elements of character can inspire educators to develop the Islamic education for Muslim education and then be able to meet the challenges of globalization with a permanent base on the values of Islamic teaching. Focus problem in this research are the similarities and differences in Islamic education by KH Ahmad Dahlan and K.H. Hashim Asy’ari, and the contribution K.H. Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari in the field of education. From a focus problem that was mentioned earlier, the researcher took steps to then analyze or examine it in order be able to know, understand, and are able to draw conclusions from the Islamic schools of thought KH Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari, so that the results of these studies can be used as contribution in the implementation and development of Islamic education. This study used a qualitative descriptive approach to the type of library research. While the method of data collection method in order to find the source documentation and data that support in writing this. Then, from the documentation was analyzed using content analysis and interpretation methods and data sources are obtained. With that framework, it is known that Islamic education in the perspective of KH Ahmad Dahlan is a means and a conscious effort made in order to alleviate human thought that static towards dynamic thinking aimed at people who are ready to give birth appears as a scholar-intellectuals and scholars who have the intellect, firmness of faith and science are broad, and strong physical and spiritual still basing it on the Quran and Hadith. Meanwhile, Islamic education in perspekti K.H. Hasyim Asy’ari is a means and strategic efforts undertaken by humans in order to achieve humanity, so as to know the nature of its creation, its creator and the duty and responsibility of man as the Caliph on earth who then aimed for with
Islamic education, people can draw closer to Allah SWT ., so get happiness in this world and the hereafter is also fixed bases in the Qur' an and Hadith. K.H. Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari has similarities and differences in the view of Islamic education. However, in general, they both agree that Islamic education is a means and appropriate measures and strategic in order to save human life from it whatsoever. While the differences seen from both figures of understanding of Islamic education is a matter the substance of Islamic education. K.H. Ahmad Dahlan tend patterned a modernist, while KH Hasyim Asy’ari tend patterned traditionalists. Contributions K.H. Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari against Islamic education in Indonesia is very much. K.H. Ahmad Dahlan with Muhammadiyahnya already set up thousands of educational institutions, and KH Hasyim Asy’ari with Nahdlotul Ulamanya also been childbirth education institutions all over Indonesia. And until now the Islamic education system that they both offer is still used in educational institutions. Keywords: Islamic Education, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari
ABSTRAK Muh. Syamsul Arifin, 2010. Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dr. H. M. Mujab, M.A. Pendidikan merupakan icon fundamental dalam rangka membenahi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, terlebih-lebih pendidikan Islam. Karena hanya dengan pendidikan yang sesungguhnyalah manusia akan mampu merekontruksi pola pikir yang selama ini masih dibawah ketertindasan menuju pola fikir kemerdekaan yang cenderung konstruktif. Pendidikan Islam yang selam ini dalam bayangan manusia menjadi pilihan yang tepat dalam rangka menumbuhkembangkan fitrah dan potensi yang diberikan Tuhan untuk kemudian diekplorasikan dalam kehidupan nyata menjadi sebuah keharusan yang harus difikirkan oleh elemen pelaksana pendidikan. Berangkat dari itulah penulis kemudian ingin membahas kembali pemikiran tokoh dan intelektual muslim Indonesia yang mencoba untuk merumuskan pendidikan Islam yang sesuai dengan haparan agama, bangsa dan Negara, seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Maka dari itu penulis mengambil judul Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Dengan harapan, konsepsi pendidikan Islam yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut mampu menginspirasikan elemen pelaksana pendidikan dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam agar kemudian pendidikan Islam mampu menjawab tantangan globalisasi dengan tetap mendasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, serta kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyiam Asy’ari dalam bidang pendidikan. Dari fokus masalah yang sudah disebutkan tadi, penulis mengambil langkag untuk kemudian menganalisis atau menelitinya dengan tujan mampu mengetahui, memahami, dan mampu mengambil kesimpulan dari pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, sehingga hasil dari telaah tersebut mampu dijadikan kontribusi dalam terselenggaranya dan berkembangnya pendidikan Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif dengan jenis library research. Sedangkan metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dalam rangka mencari sumber dan data yang menunjang dalam penulisan ini. Kemudian dari dokumentasi tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analysis dan interpretasi sumber dan data yang didapat. Dengan kerangka itu, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan adalah merupakan suatu sarana dan upaya sadar yang dilakukan dalam rangka mengentaskan pemikiran manusia yang statis menuju pemikiran yang dinamis yang bertujuan melahirkan manusia yang siap tampil sebagai ulama-intelek dan intelek-ulama yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, serta kuat jasmani dan rohani yang tetap mendasarkan semua
xviii
itu pada Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan pendidikan Islam dalam perspekti K.H. Hasyim Asy’ari merupakan sarana dan upaya strategis yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mencapai kemanuisannya, sehingga mampu mengetahui hakikat penciptaannya, penciptanya dan tugas serta tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi yang kemudian bertujuan agar dengan pendidikan Islam, manusia mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT., sehingga mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat yang juga tetap melandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari memiliki persamaan dan perbedaan dalam memandang pendidikan Islam. Namun, secara umum mereka berdua sepakat bahwa pendidikan Islam merupakan sarana dan upaya yang tepat dan strategis dalam rangka menyelamatkan kehidupan manusia dari hal apapun. Sedangkan perbedaan yang terlihat dari kedua tokoh tersebut dalam memaknai pendidikan Islam adalah masalah substansi dari pendidikan Islam tersebut. K.H. Ahmad Dahlan cenderung bercorak modernis, sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari cenderung bercorak tradisionalis. Kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari terhadp pendidikan Islam di Indonesia sangatlah banyak. K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammdiyahnya sudah mendirikan ribuan lembaga pendidikan, dan K.H. Hasyim Asy’ari dengan Nahdlotul Ulamanya juag sudah melahirkan lembaga pendidikan yang tersebar diseluruh Indonesia. Dan sampai sekarang sistem pendidikan Islam yang mereka berdua tawarkan masih dipergunakan dalam lembaga-lembaga pendidikan. Kata Kunci: Pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari
xix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan sangat cepat yang mewarnai seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam rangka mengimbangi perkembangan IPTEK tersebut pemerintah telah menetapkan suatu kebijaksanaan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi setiap warganya. Pencapaian kualitas pendidikan merupakan langkah yang harus dilakukan dengan usaha peningkatan kemampuan professional yang dimiliki oleh guru. Utamanya guru pendidikan agama Islam. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena itu, manusia merupakan kekuatan sentral dalam pembangunan, sehingga mutu dan sistem pendidikan akan dapat ditentukan keberhasilannya melalui peningkatan motivasi belajar siswa. Kehidupan dan peradaban manusia di millenium ke-3 mengalami banyak perubahan. Dalam merespon fenomena itu, lembaga pendidikan berlomba dan berpacu mengembangkan kualitas pendidikan disegala bidang ilmu dan termasuk juga
penerapannya
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Era
yang
demikian
memunculkan sebuah krisis dimensi spiritual dalam kehidupan individu, masyarakat bahkan pada sektor yang lebih luas berbangsa dan bernegara. Hal diatas menurut Abdul Majid disebabkan salah satunya dan yang sering dijadikan sasaran adalah peranan serta efektivitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kesejahteraan dan perdamaian dalam
1
masyarakat. Dengan asumsi jika Pendidikan Agama Islam dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakat pun akan lebih baik.1 Paragraf diatas mengindikasikan betapa pentingnya peranan pendidikan agama (Islam) dalam membangun moral suatu bangsa dan negara menuju gerbang kesejahteraan dan perdamaian. Maka lembaga-lembaga pendidikan mulai dari tingkat yang paling bawah sampai dengan perguruan tinggi selayaknya dan menjadi sebuah keharusan untuk memberikan materi-materi pelajaran yang bernuansa keagamaan. Reorientasi pendidikan akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang sangat menarik untuk dicermati. Hal ini mengingat bahwa pendidikan memang memegang peranan sangat penting dalam peningkatan dan pembangunan bangsa tak terkecuali dalam pendidikan Islam yang saat ini berjalan belum mampu memberika nuansa baru kepada peserta didik sebagai penerus pemegang estafet kepemimpinan. Reorientasi ini tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan, tetapi terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru. Selain hal diatas, perkembangan sains dan teknologi yang semakin hari semakin cepat sehingga tidak memungkinkan seseorang untuk mengikuti seluruh proses perkembangannnya menuntut penguasaan sains dan teknologi informasi bagi seluruh elemen bangsa dalam segala ranah kehidupan. Program peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) hendaknya menjadi prioritas utama lembaga 1
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurukulum 2004,. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Hal. 81
2
pendidikan. Kualitas SDM terkait erat dengan kualitas pendidikan yang merupakan produk dari lembaga pendidikan. Paulo Freire beranggapan bahwa pendidikan merupakan ikhtiar untuk mengembalikan fungsi seabagai alat untuk membebaskan pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan yang dialami oleh masyarakat; baik dari soal kebodohan sampai ketertinggalan. Tidak hanya tokoh Barat saja yang menungkan pikirannya dalam rangka memperbaiki kondisi pendidikan Islam. Imam Al-Ghazali salah satunya, AlGhazali beranggapan bahwa pendidikan Islam merupakan sarana untuk tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah serta kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.2 Begitu amat pentingnya pendidikan Islam sampai menyedot banyak perhatian dari intelektual pendidikan, baik dari Barat ataupun Islam. Pada hakikatnya kaum-kaum intelektual yang berkecimpung dalam dunia pendidikan menyepakati
bahwa
hanya
dengan
pendidikanlah
umat
manusia
akan
mendapatkan pencerahan dalam perkembangannya. Dengan pendidikan manusia akan mampu melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat, dan akan mampu membedakan hal-hal yang baikdan buruk. Secara garis besar pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran–ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammmad melalui proses di mana individu dibentuk agar dapat 2
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sitem Pendidikan Versi Al-Ghazali, (terj.) Fathur Rahmat May dan Syamsuddin Asyrafi, dari judul asli Al-Mazhabut Tarbawi ‘idn Al-Ghazali, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), cet. Ke-I, hlm. 14.
3
mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi, yang dalam rangka lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.3 Tegasnya, sebagaimana yang dikemukakan Ahmad D. Mariban bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.4 Kalimat diatas adalah upaya yang seharusnya dilakukan oleh lembagalembaga pendidikan dengan tetap mengutamakan ajaran-ajaran Islam agar menjadi kosumsi primer yang diterima oleh peserta didik, sehingga peserta didik menyadari tugas dan fungsi Tuhan menciptakannya dimuka bumi. Dimana tujuan yang diharapkan adalah menjadi kholifah dimuka bumi yang mampu mewujudkan kebahagian dunia dan akhirat. Senada dengan hal diatas, Prof. Dr. Zuhairini mengungkapkan bahwa pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan seseorang. Oleh karena itu, ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kewajiban bagi laki-laki dan wanita dan berlangsung seumur hidup. Dalam bahasa lain disebut life long education Hitam dan putihnnya perjalanan hidup seseorang ditentukan dari salah satunya adalah faktor pendidikan, dimana ketika manusia mengetahui tugas dan kewajibannya melalui sarana pendidikan, maka dengan sendirinya dan sadar diri 3
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma' arif, 1980) Hal. 94. 4 Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma' arif, 1980) hal. 23. 5 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksra, 1995) Hal.01. Pendidikan dalam hal Ini sebagaimana di utarakan Prof. Zuhairini bahwa ciri dari Pendidikan Islam adalah perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Dan untuk itu perlu adanya usaha, kegiatan, metode, alat dan juga lingkungan hidup yang menunjang keberhailan pendidikan. Singkatnya, Pendidikan Islam secara umum adalah pembentukan kepribadian muslim. Lihat dalam Zuhairini, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. Ke-4. Hal. 28.
4
manusia akan menjalankan sesuatu yang diperintah dan menjahui sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Oleh karena itu pendidikan untuk umat manusia tidak mengenal ruang dan waktu, dimana manusia itu berada hendaknya dia melakukan proses pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan.6 Dengan landasan pemikiran tersebut, pendidikan nasional disusun sebagai usaha sadar untuk memungkinkan bangsa Indonesia mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengembangkan dirinya secara terus menerus dari satu generasi kegenerasi berikutnya.7 Dewasa ini perkembangan dunia modern menuntut bangsa Indonesia untuk senantiasa berupaya meningkatkan mutu ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping untuk meningkatkan kualitas manusia dalam penguasaan dan pemanfaatan sains dan teknologi guna kesejahteraan masyarakat Indonesia dimasa depan. Keberadaan sains dan teknologi yang maju secara tidak langsung mempengaruhi tatanan kehidupan juga termasuk sistem pendidikan, tuntutan dan kebutuhan dibidang pendidikan merupakan masalah yang penting dalam kelangsungan suatu bangsa. Sistem pendidikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang multidimensional ini akan menyebabkan pendidikan kita berada lebih jauh tertinggal dengan kebutuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu penguasaan dan perkembangan ilmu 6
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.02 Th 1989) (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hlm. 23 7 Ibid. hlm. 24
5
pengetahuan dan teknologi perlu diarahkan untuk memajukan kecerdasan dan kemampuan bangsa serta kesejahteraan seluruh masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Keadaan pendidikan suatu bangsa sangat mempengaruhi bangsa itu, misalnya Indonesia merupakan salah satu negara sedang berkembang yang tengah giat-giatnya membangun dalam upaya memperbaiki dan memajukan pendidikan yang ada agar menghasilkan generasi penerus dan pembangunan bangsa yang profesional. Mekanisme institusional fundamental untuk mengembangkan manusia berpengetahuan luas dan profesional adalah pendidikan. Pendidikan tidak hanya membekali manusia dengan pengetahuan dan keterampilan yang profesional saja tetapi juga memungkinkan orang dapat belajar untuk memperbaiki tingkat ekonominya, pendidikan juga merupakan nilai, cita-cita, sikap serta aspirasi yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan pembangunan suatu bangsa. Adanya kontak-kontak politik dan militer kolonial antara dunia islam dan Barat membawa akibat timbulnya kontak-kontak budaya dan pemikiran. Di dunia Islam mulai diperkenalkan dan berkenalan dengan peradaban sekuler yang di Barat sudah tidak asing lagi. Pendidikan sekuler yang memberikan tekanan pada pembinaan pribadi yang demokrasi dengan dasar antroposentrik murni. Asas theosentrik, masalah-masalah sepiritual manusia, hubungan yang ada antara realisasi sepiritual dan esensi nilai-nilai moral, hubungan yang integral antara nilai-nilai moral dan tindakan manusia, semua terkucil dari persoalan pendidikan untuk kemudian menjadi masalah pribadi. Perbedaan-perbedaan pendidikan
6
sekuler mengenai pendidikan dan konsep Pendidikan Islam sangat mendasar walaupun banyak konsep-konsep mikro yang dapat dimanfaatkan dari Barat.8 Seperti pernyataan M. Rusli Karim, bahwa pada saat ini posisi pendidikan Islam berada pada posisi determinisme. Artinya, pada sejarah awalnya pendidikan Islam pernah mencapai puncak kejayaannya, ketika itu dunia islam mampu melahirkan banyak tokoh-tokoh ilmu pengetahuan yang berkaliber dunia dan bersama dengan perkembangan ilmu tersebut berkembang dan maju dalam peradaban Islam. tetapi sekarang ini, kondisi yang terjadi sebaliknya, artinya dalam realitas praktis pendidikan Islam seakan-akan tidak berdaya, karena dihadapkan dengan realitas perkembangan masyarakat industri modern.9 Hal diatas menggambarkan bagaimana kontribusi tokoh-tokoh Islam yang pada waktu itu membawa Islam mencapai kejayaan pada masa itu, dimana dapat diketahui sosok seperti Ibnu Arabi, Ibnu Farabi, Ibnu Khaldun, Ibnu Thufail, Ibnu Sina, Ibnu Rusdy, dan Imam Ghazali serta tokoh Islam lainnya yang mampu memberikan warna dalam perkembangan dan peradaban Islam pada waktu itu, mulai dari pengetahuan pengetahuan theologi sampai pada sains dan teknologi. Karena disiplin pengetahuan itulah yang menjadi sebuah syarat bagi bangsa dan negara yang ingin mendapatkan predikat sebagai negara yang maju dan berkembang. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang penuh dengan nuansa kapitalisme, maka seiring itu pula kejayaan Islam melaui tergerus. Islam pada dekade ini masih belum mampu melahirkan tokoh-tokoh seperti pendahulunya. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penghargaan terhadap tokoh 8
Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam (Yokyakarta: LKiS, 2004), hlm. 3 M. Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Social Budaya, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta (Yokyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 129 9
7
pendahulunya, sehingga masyarakat enggan untuk kemudian melestarikan dan bahkan meneruskan pemikiran-pemikiran tokoh terdahulu. Perlu kita ketahui bahwa kita hidup dalam lingkaran wacana pragmatisme yang mau mendorong kita supaya menyesuaikan diri dengan fakta-fakta realitas. Impian-impian dan utopia-utopia, disebutnya tidak tak berguna, tetapi sungguh menghambat. (bagaimana pun juga, impian dan utopia merupakan bagian intrinsik setiap praktek pendidikan dengan daya kekuatan untuk menyibak topeng-topeng kebohongan yang dominan)10. Disatu sisi yang lain, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan ini, tidak ada satu hal pun kehidupan di dunia ini yang bisa terlepas dari pendidikan, baik itu ekonomi, politik, hukum, dan yang lainnya. Dalam setiap aspek kehidupan membutuhkan pendidikan meskipun pendidikan yang dilakukan dalam setiap aspek berbeda-beda tergantung pada bidang yang digeluti. Begitu urgennya masalah pendidikan, sehingga begitu banyak para pakar ataupun tokoh yang senantiasa berupaya untuk melahirkan pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Baik yang sifatnya pengetahuan yang benar-benar baru yang sebelumya belum ada ataupun pemikiran-pemikiran yang sifatnya pengembangan atau diadakan inovasi dari pemikiran yang ada. Hal ini dilakukan semuanya tidak lain adalah supaya pendidikan benarbenar mengena pada sasaran, yakni dapat bermanfaat dalam kehidupan terlebih lagi supaya peradaban yang ada semakin maju dan berkembang.
10
Paulo freire, Pedagogi Pengharapan, (Yogyakarta: KANISIUS,2005), hal.7.
8
John Vaisey maupun B.G. Tilak Jandhalaya dalam Fadjar mengemukakan bahwa pendidikan adalah dasar dari pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sains dan teknologi, menekan dan mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, serta peningkatan kualitas peradaban manusia pada umumnya. Selanjutnya, John Vaisey mengemukakan argumennya bahwa sejumlah besar dari apa yang kita ketahui diperoleh dari proses belajar secara formal di lembagalembaga pendidikan termasuk lembaga pendidikan Islam.11 Akan tetapi, di sini tidak akan dibicarakan secara panjang lebar mengenai peranan pendidikan pada semua aspek kehidupan melainkan lebih dispesifikan pada pendidikan Islam itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui sekarang ini dunia sedang mengalami degradasi moral, yang mau tidak mau pendidikan Islam itu sendiri mempunyai andil dalam hal ini. Telah banyak contoh nyata yang dapat kita lihat dari degradasi moral itu sendiri salah satunya yakni tercerabutnya nilai-nilai yang tertanam pada masyarakat. Pada zaman sekarang ini kekerasan sudah biasa terjadi bahkan dikalangan para pelajar yang sedang menuntut ilmu. Hal ini sebenarnya adalah sebuah fenomena yang sudah dapat diramalkan oleh para praktisi pendidikan karena pendidikan yang ada pada saat ini lebih banyak menekankan para peserta didiknya pada kemampuan kognitifnya saja tanpa dibarengi dengan kemampuan dalam bidang afektifnya. Pendidikan pada masa sekarang ini lebih bertujuan untuk mencetak generasi yang dibutuhkan oleh pasar modal, lembaga-lembaga pendidikan beramai-ramai mencetak lulusan yang hanya siap untuk bekerja
11
Mulyono, Desain Dan Pengembangan Pembelajaran PAI, Buku Diktat (Malang: 2007), hlm. 15.
9
sebagai bekal hidupnya. Fenomena ini sebanarnya juga tidak bisa dikatakan salah sepenuhnya, karena kita ketahui kehidupan yang ada pada saat ini serba sulit. Akan tetapi, keterampilan untuk bermasyarakat juga sangat dibutuhkan, hal ini karena manusia selain sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial yang senantiasa harus berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu kemampuan dalam bidang afektif juga harus dikembangkan seimbang dengan kemampuan-kemampuan yang lainnya. Kondisi pendidikan Isl;am yang demikian itu harus segera diatasi dengan cara menumbuhkan dan mengembangkan pendidikan Islam melalui serangkaian kajian dan penelitian, bahkan mugkin menghadirkan kembali tokoh-tokoh atau intelektual muslim yang bergelut dalam pendidikan Islam. Tokoh-tokok intelektual muslim dari zaman klasik, pertengahan sampai dengan zaman modern ini. Tokoh-tokoh intelektual muslim pada era klasik seperti Ibn Miskawaih, AlQabisi, Al-Mawardi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali, juga ada tokoh yang berasal dari abad pertengahan seperti, Burhanuddin az-Zarnuji dan Ibn Jama’ah. Sementara tokoh-tokoh intelektual muslim modern dari Indonesia diwakili oleh Abdullah Ahmad dari Sumatera Barat, Ahmad Sanusi dari Jawa Barat, dan Imam Zarkasyi dari Jawa Timur.12 Tokoh-toko itulah yang pada perkembangan selanjutnya mampu merekontruksi konsep pendidikan Islam yang disesuaikan dengan realitas dan kebutuhan zaman, serta memberikan ruang seluas-luasnya pada peserta didik untuk mengeksplorasikan segala potensi dan fitrah yang terkandung dalam dirinya 12
Dr. H. Abuddin Nata, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), cet. Ke-3, hlm. 2-3.
10
agar kemudian peserta didik mampu mengembangkan potensi dasar yang sudah dimilikinya tersebut dengan tidak melupakan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Islam. Dalam Islam sendiri percaya bahwasannya setiap manusia mempunyai potensi-potensi yang dibawahnya sejak lahir dan di sini pendidikan mempunyai tugas untuk mengembangkan potensi tersebut sehingga dapat dijadikan bekal untuk hidup di dunia ini. Islam adalah syari’at yang diturunkan kepada umat manusia dimuka bumi ini agar mereka beribadah kepada-Nya. Penanaman keyakinan terhadap Tuhan hanya bisa dilakukan melalui proses pendidikan baik di rumah, sekolah maupun lingkungan. Pendidikan Agama Islam merupakan kebutuhan manusia yang dilahirkan dengan membawa potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di muka bumi, serta pendukung dan pemegang kebudayaan. Dalam pendidikan itu sendiri memang mencakup banyak hal yakni tujuan dari pada diadakannya pendidikan itu sendiri, kurikulum yang dipakai dan lain sebagainya yang tidak lain merupakan cara seorang pendidik untuk dapat mengeluarkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik semenjak dia lahir. Dari uraian yang panjang tersebut, pada hakikatnya Islam masih memiliki sosok tokoh yang kemudian padam pandangan sejarah, tokoh tersebut banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sosial, budaya, dan bahkan pendidikan Indonesia. Tokoh tersebut adalah K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Dimana kontribusi yang mereka berikan tidak hanya dalam berkutat dalam masalah Theologi, akan tetapi jauh dari pada itu merak juga turut
11
serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan salah satu kontribusi yang meraka berikan adalah dalam pengembangan dunia pendidikan. Karena menurut merka pendidikan adalh salah saru pilar yang harus dikembangkan dalam sebuah bangsa dan negara. Pendidikan Islam yang selanjutnya akan dikaji ini adalah berdasarkan pada pemikiran tokoh yang mempunyai kontribusi besar terhadap pendidikan yang berasal dari Indonesia yakni K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, penulis merasa tertarik untuk mengkaji pemikiran kedua tokoh tersebut, karena kedua tokoh tersebut merupakan seorang pemikir kontemporer yang menaruh perhatian besar terhadap upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Pemikirannya mempunyai relevansi dengan perkembangan sains dan teknologi, serta mengikuti perkembangan zaman, bahkan dalam tulisannya beliau berupaya mengantisipasi masa depan. Tetapi perlu diketahui pengangkatan topik pada skripsi ini tidak bertujuan untuk merendahkan para pakar pendidikan yang lainnya. Dalam pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, beliau percaya bahwa manusia mempunyai potensi bawaan semenjak lahir, selain itu beliau juga berpendapat bahwa lingkungan sekitar manusia tinggal juga mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya. Oleh sebab itu K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan yang dituangkan dalam salah satu karya terbaiknya, Adam al-‘Alim wa al-Muta’allim, K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwasannya pendidikan itu penting sebagai sarana untuk mencapai kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesunggunhnya penciptanya, untuk apa diciptakan, melakukan segala perintahnya dan menjahui segala larangannya, untuk berbuat baik di dunia
12
dengan menegakkan keadilan, sehingga layak disebut makhluk yang lebih mulia dibanding makhlu-makhluk lain yang diciptakan Tuhan.13 Menurut beliau, tujuan diberikannya sebuah pendidikan pada setiap manusia ada dua, yaitu : 1. Menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.14 Setidakanya dua poin diataslah yang menjadi rujukan bagi K.H. Hasyim Asy’ari tentang betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan maka dengan sendirinya manusia akan terdidik untuk menjadi manusia yang sempurna dalam memahami dirinya dan yang menciptakannya. Dengan demikian, manusia akan memahami tugas dan kewajiban sebagi hamba Allah yang diciptakannya dan sebagai bagain dari rakyat Indonesia yang tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bila dilhat lebih jauh, tujuan pendidikan yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari memang lebih mengarah pada aspek Theologi. Karena dengan menjadikan aspek tersebut sebagai dasar, maka apapun aktiviats yang dilakukan oleh manusia akan tetap berlandaskan dengan nilai-nilai keislaman yang nantinya segala aktivitas tersebut mendapatkan ridho dari Allah SWT. Kemudian, mengenai pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Dalam hal ini penulis ingin mengungkapkan pembahasan mengenai pandangan K.H. Ahmad Dahlan terhadap pendidikan, perlu kiranya sedikit menengok sejarah panjang yang melatarbelakangi terbentuknya ide dan gagasan dari para pejuang dan guru 13
Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari : Biografi Singkat 1871-1947, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 85-86. 14 Ibid, hlm. 86.
13
bangsa kita. Kegelisahan para tokoh pendidikan semisal K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyi Asy’ari dan lainnya merupakan bentuk jawaban dari ketidakpuasan mereka terhadap kondisi bangsa yang terjajah. Dunia pendidikan juga ternyata telah diracuni oleh penjajah demi kepentingan pribadi dan kelangsungan hidup mereka di bumi pertiwi. Berangkat dari keprihatinan itulah yang mendorong perjuangan melalui bidang pendidikan menjadi perhatian serius para tokoh-tokoh pejuang bangsa ini. Karena hanya dengan pendidikanlah bangsa ini bias maju dan terbebas dari cengkeraman kaum imperialisme. Inilah di antara sebab yang melatarbelakangi perlunya didirikan lembagalembaga pendidikan melalui wadah organisasi Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan. Secara umum, pendidikan Islam pada masa penjajahan dapat dipetakan dalam dua periode besar; masa penjajahan Belanda, dan masa penjajahan Jepang. Sudah tidak digarukan lagi peran sosok K.H. Ahmad Dahlan pada masa penjajahan dua periode tersebut, sehinggalayaklah K.H. Ahmad Dahlan merupakan tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila beliau mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu, untuk menelusuri bagaiman orientasi filosofis pendidikan kiai mesti lebih banyak merujuk pada bagaiman ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukan secara eksplisit konsen kiai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Setidaknya ada tiga kalimat kunci yang menggambatkan tingginya minat kiai dalam pencerahan akal, yaitu :
14
1. Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap terhadap kebenaran akali dengan didasari hati yang suci. 2. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia. 3. Ilmi mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah SWT.15 Setidaknya tiga kalimat kunci diataslah yang menggambarkan betapa pentingnya pencerahan akal dalam rangka sebagai dasar dalam melaksanakan proses pendidikan. Dengan pengetahuan tertinggi, akal, dan ilmu mantiq sebagai dasar yang harus dimiliki peserta didik dalam proses pembelajaran,
karena
dengan itu peserta didik akan dengan mudah dan cepat dalam merespon dan menangkap pelajaran atau materi yang disampaikan oleh pendidik. Pada hakikatnya cita-cita pendidikan yang digagas oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang Muslim yang memiliki ketaguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan ruhani.16 Sedikit berbeda dengan tujuan yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Dalam tujuan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan lebih ke ranah pembaharuan sosial. Karena beliau melihat carut marutnya kehidupan sosial pada masa itu. Mulai dari ritual keagamaan yang sudah menyimpang dari 15
Adi Nugroho, KH. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 136. 16 Ibin, hlm. 137
15
syariatnya, sampai pada hubungan manusia satu dengan menusia yang lain yang semakin lama semakit tidak bisa terkondisikan. Maka harapan besar dari K.H. Ahmad Dahlan adalah menciptakan pribadi yang mempunyai wawasan keagamaan yang tinggi dan mempunyai pengetahuan yang luas agar tebentuknya ulama-intelek dan intelek-ulama. Kedua tokoh tersebutlah yang menginspirasi penulis untuk kembali menggungkap pemikiran-pemikiran yang sudah mereka lahirkan. Dengan harapan pemikiran kedua tokoh tersebut menjadi referensi para pemikir lainnya dalam rangka mengembangkan pola pendidikan Islam yang selama ini masih diniali mengalami stagnasi yang berlebihan. Akan tetapi disadari ataupun tidak, Indonesia memiliki banyak melahirkan putra bangsa yang dalam kehidupannya dihabiskan dalam dan untuk memikirkan pendidikan yang sesuai untuk bangsa ini. Karena pendidikan merupakan syarat wajib yang harus terpenuhi dalam sebuah bangsa dan negara jika berkeinginan mendapatkan predikat sebagai bangsa dan Negara maju dan berkembang. Maka tidak lain jawabannya adalah memaksimalkan pendidikan yang menyeluruh pada masyarakat Indonesia. Di tambah, pendidikan merupakan icon terpenting dalam tatanan sebuah bangsa dan Negara. Pada kenyataannya masih banyak para pakar, tokoh, dan peneliti yang banyak mengunggkapkan sisi pemikiran kedua tokoh tersebut, maka dengan demikian pemaparan diatas merupakan sedikit tentang pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mengenai konsep pendidikan Islam yang menjadikan peneliti merasa tertarik untuk mengangkat topik yang berjudul
16
"Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam" yang berusaha untuk menganalisa pendidikan Islam dari sudut pandang kedua tokoh tersebut. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tersebut merupakan salah satu icon terbesar dan tersohor dari ribuan tokoh intelektual muslim yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, yang dalam kehidupannya menjadi sosok pejuang yang mampu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Salah satu bukti yang terekam oleh sejarah adalah kedua tokoh tersebut memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara khususnya dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini yang dimaksud kontribusi yang diberikan pada bangsa dan negara adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren yang sebagi wujud perlawanan dari penjajah yang pada waktu itu mendominasi sistem pendidikan di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan di atas, maka perlu kiranya diberikan suatu rumusan masalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan penelitian. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimanakah definisi pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari? 2. Apa tujuan pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari? 3. Apa dasar atau landasan yang digunakan dalam pendidikan Islam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari?
17
4. Apa persamaan dan perbedaan pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah tertulis diatas, maka tujuan penelitian yang diharapkan adalah sebagi berikut: 1. Untuk mendiskripsikan pendidikan Islam sesuai dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. 2. Untuk mengetahui dan memahami persamaan dan perbedaan pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. D. Manfaat Penelitian Segala tindakan dan perbuatan diharapakan mengandung manfaat baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, antara lain: 1. Manfaat bagi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Sebagai bahan dokumentasi bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam, dan menjadi masukan bagi lembaga ini, agar mempunyai pandangan yang lebih luas terhadap Pendidikan Islam. 2. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai alat atau sarana yang bisa dibaca atau dijadikan rujukan untuk memperoleh informasi-informasi terkait dengan pendidikan Islam, sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya sudah pernah ada.
18
3. Manfaat bagi peneliti. Menambah khazanah keilmuan tentang pendidikan Islam dalam perspektif tokoh pendidikan Islam. E. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penulisan kali ini dimaksudkan agar dalam proses penulisan dan penelitian tidak keluar dari konteks yang diinginkan oleh penulis dan juga agar pembahasan lebih fokus sesuai dengan keinginannya, sehingga menghasilkan karya tulis yang sesuai dengan stsndar penulisan yang baku dan benar. Dalam penelitian ini, Peneliti membatasi kajiannya dengan mengkaji tentang pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang disesuaikan dengan rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan ini. Adapun batasan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini menyakup beberapa dimensi-dimensi pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Definisi pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari 2. Tujuan pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari 3. Dasar-dasar pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari 4. Persamaan dan perbedaan pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
19
Dari empat batasan masalah yang penulis angkat diatas tidak akan dilepaskan dari perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. F. Definisi Operasional Untuk mempermudah pemahaman dan kejelasan tentang arah penulisan skripsi ini, maka penulis memaparkan definisi yang tertera dalam judul. Dalam Kamus Ilmiah Populer disebutkan bahwa Komparasi adalah perbandingan,17 yakni penulis ingin mengetahui letak persamaan dan perbedaan pendidikan Islam sesuai dengan perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Sedangkan menurut Winarno Surahmad metode komparatif adalah meneliti faktor-faktor tertentu yang ada hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan dengan faktor yang lain.18 Metode komparatif dalam penelitian ini akan berguna dalam mengkomparasikan dua ide yang berbeda guna mengambil jalan tengah yang lebih baik. Tidak hanya sekedar selesai pemahaman dalam pemikiran pendidikan Islam yeng mereka lahirkan, akan tetapi komaparasi yang dimaksudkan dalam penulisan kali ini adalah untuk mengetahui dan memahami setting sosial keberadaan mereka pada masa itu, sehingga dapat diketahui latar belakang pemikiran yang mereka lahirkan. Karena dengan mengetahui setting sosial pada waktu itu, maka akan dapat diketahui maksud dan tujuan dari karya yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut.
17 Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya: Arloka, 1994), hlm. 352. 18 Winarno Suharmad, Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1999), hlm. 135-136.
20
Selanjutnya tentang Pendidikan Islam, adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan Islam.19 KH. Hasyim Asy’ari adalah tokoh pendiri organisasi sosial keagamaan yakni Nahdlotul Ulama. Begitu juga dengan KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh pendiri organisasi sosial keagamaan yakni Muhammadiyah. G. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan yang terdapat dibawah ini merupakan runtutan pembahasan yang akan disajikan dalam penulisan ini, adapun sistematika pembahannya sebagaimana berikut: BAB I
Pendahuluan Dalam pendahuluan ini akan dikemukakan berbagai gambaran singkat tentang sasaran dan tujuan sebagai tahap-tahapan untuk mencapai tujuan dari keseluruhan tulisan ini. Serta mendiskripsikan arah pada penulisan skripsi ini, agar dapat terlihat dengan jelas arah tujuan penulisan. Pembahasan pada bab pendahuluan ini meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Operasional dan Batasan Masalah, serta Sistematika Pembahasan.
BAB II
Kajian Pustaka Bab ini mendiskripsikan tentang tokoh-tokoh atau tema besar yang
19
M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani (Yogyakarta: Mikraj, 2005), hlm. 55.
21
akan diteliti oleh penulis dengan disertai acuan yang berisi penelitian terdahulu tentang pendidikan Islam yang memaparkan pembahasan pendidikan
Islam
dalam
perspektif
para
tokoh
pendidikan.
Pembahasan ini meliputi: Definisi Pendidikan Islam, Tujuan Pendidikan Islam, Dasar Pendidikan Islam, serta Persamaan dan Perbedaan Pendidikan Islam sesuai dengan perspektif kedua tokoh yang diangkat dalam penulisan ini.. BAB III
Metode Penelitian Bab ini merupakan unsure terpenting dalm sebuah penelitian, karena dengan berpatokan pada metode penelitian yang sudah tervalidasi oleh standar penelitian, maka arah penulisan akan tersisitematis. Pada bab ini berisikan tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Data dan Sumber
Data,
Tehnik
Pengumpulan
Data,
Analisis
Data,
Pengecekkan Keabsahan Data, dan Tahap-tahap Penelitian. BAB IV
Hasil penelitian Bab ini berisi hasil penelitian dan telaah yang telah dilakukan oleh peneliti terkait dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang kemudian akan dipaparkan secara naratif diskriptif yang meliputi tentang pendidikan Islam, dan dalam pembahasan atau bab ini meliputi: Definisi, Tujuan, Dasar pendidikan Islam, dan Persamaan serta Perbedaan (komparasi) pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
22
BAB V
Pembahasan Hasil Penelitian Dalam Bab ini peneliti akan menganalisis tentang data yang sudah didapatkan pada bab sebelumnya yang kemudian akan diuraikan sesuai dengan apa yang akan dipaparkan dalam tulisan ini.
BAB VI
Penutup Bab ini mencoba untuk menguraikan secara singkat, padat dan bersifat substansial tentang pembahasan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam dengan menarik kesimpulan serta memberikan saran dalam penulisan..
23
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Peneliti mengakui bahwa penelitian tentang K.H. Hasyim Asy’ari bukan merupakan kajian yang pertama kali dilakukan. Hal ini disebabkan karena K.H. Hasyim Asy’ari adalah termasuk tokoh yang banyak bergelut dalam bidang pendidikan yang cukup terkenal dan telah menghasilkan banyak karya-karya, baik yang berhubungan dengan masalah kependidikan maupun yang lainnya. Sebelumya penelitian mengenai pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari telah dikaji oleh Rohinah, yang mengkaji tentang "Sistem Nilai dan Pendidikan (Studi atas Pemikiran Pendidikan K.H.M. Hasyim Asy’ari)" yang di dalamnya membahas tentang definisi, tujuan, bentuk dasar pendidikan Islam, metode pengajaran dan komponen penilaian berdasarkan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari.20 Namun, sepanjang hasil penelitian yang diketahui oleh penulis, masih belum ada yang mencoba melakukan penelitian tentang pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan, kemudian penulis juga belum menemuakan hasil penelitian yang mencoba membandingkan (komparasi) pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari untuk menemukan persamaan dan perbedaan dari dua tokoh tersebut. Maka penulis di sini sifatnya bisa dikatakan melanjutkan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan yang sifatnya masih sangat umum dan mencoba melakukan penelitian yang sekiranya belum dilakukan oleh para pakar dalam 20
Rohinah, Sistem Nilai dan Pendidikan: Studi atas Pemikiran Pendidikan K.H.M. Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidatullah, 2008).
24
dunia pendidikan dalam mengkaji pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam untuk menemukan dan memahami persamaan dan perbedaan serta mampu merelevansikan pemikiran kedua tokoh tersebut sesuan dengan perkembangan pendidikan modern. B. Kondisi Pendidikan Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan istri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan
25
harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.21 Kita menyadari bahwa selama ini kondisi pendidikan kita masih relatif belum banyak mengalami perubahan, sehingga disini perubahan harus dilakukan untuk memperbaharuhi pola belajar dan pembelajaran khususnya dilembagalembaga pendidikan persekolahan dengan menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan belajar yang dapat mengembangkan keutuhannya sebagai pribadi yang memiliki keluasan ilmu, mampu mengaplikasikan dan mengamalkan ilmunya, dapat menemukan dan menjadi dirinya sendiri sebagai manusia beragama, berilmu, bermoral dan bersosial serta dapat hidup dan memberikan kemaslahatan dalam kehidupan bersama. Pembelajaran diarahkan untuk memiliki wawasan global, wawasan yang berprespektif
masa
depan,
berfikir
kritis,
inovatif-kreatif,
berimajinasi,
berinterpretasi, yaitu berfikir holistic, imperatif, produktif dan tidak dikotomis.
21
Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Riau: Infinite press, 2004), hlm. 12.
26
Jadi pengembangan pola belajar seutuhnya dapat diarahkan menjadi empat pilar secara utuh yaitu, belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk berbuat (learning to do), belajar untuk menjadi jati diri (learning to be), dan belajar untuk hidup bersama,(learning to live together).22 Untuk meningkatkan mutu dan kualitas dari hasil pendidikan yang berdasarkan pada pendidikan nasional, adalah melalui belajar dan pembelajaran. Walaupun sebenarnya bahwa peningkatan kualitas dalam proses belajar dan pembelajaran adalah menjadi suatu keniscayaan tapi ingat bahwa ada prosesnya yaitu kita bisa melalui persepsi, penyimpanan informasi, pemanfaatan dan penerapan kembali informasi yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Belajar merupakan kegiatan aktif pembelajar dalam membangun makna atau pemahaman dan pembentukan nilai-nilai. Karena itu dalam peningkatan kualitas proses belajar dan pembelajaran dibutuhkan kemampuan penciptaan situasi dan kondisi belajar untuk terus belajar sampai sepanjang hayat. Beberapa prinsip pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan belajar-pembelajaran yaitu antara lain, satu, berpusat pada pembelajaran, yakni pengelolaan pembelajaran dapat membuat para siswa belajar sesuai karakteristik kemampuan, minat, kesenangan, pengalan cara dan gaya belajar, dua, belajar dengan melakukan, yakni pembelajaran diupayakan yangdapat memberikan pengalaman nyata siswa untuk mengaplikasikan konsep, kaidah, prinsip dan dalil dalam dunia nyata (learning to do), ketiga, mengembangkan kemampuan sosial, keempat, mengembangkan keinginantahuan, 22
E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Karakteristik dan Implementasinya, (Bandung: Rosda Karya, 2002), hlm. 5.
27
imajinasi dan fitrah bertuhan, yakni melatih modal dasar untuk bersikap, kelima, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, keenam, mengembangkan kreatifitas peserta didik, ketujuh, mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi, kedelapan, menuimbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik, kesembilan mendorong belajar sepanjang hanyat, kesepuluh, membangun perpaduan kemampuan berkopetisi, bekerja sama dan solidaritas.23 Agar dapat melakukan prinsip-prinsip di atas, dibutuhkan penataan atau pengelolaan suasana dan pengalaman belajar yang nyaman dan menyenangkan (joyfull learning), yakni menciptakan suasana belajar yang aktif, kreatif dan menyenangkan. Dengan mempertimbangkan beberapa fenomena tentang pendidikan seutuhnya dalam persepektif pendidikan nasional yang kaitannya pada pendidikan menengah, sehingga objeknya adalah pribadi pada usia remaja serta kondisi sosial-masyarakat dewasa ini, baik dalam skala regional, nasional dan global, maka tantangan pendidikan dimasa depan makin memerlukan antisipasi secara maksimal dari pendidikan nasional. Di masa depan bahwa pendidikan seutuhnya, yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat, termasuk dunia industri yaitu; sekolah membangun proses pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak didik, menekankan dan mengembangkan kecakapan hidup (life skill) baik yang bersifat vocational atau pun kepribadian sosial sehingga tidak bisa lepas dari peran orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan.
23
Ibid., hlm. 7-8.
28
Transformasi belajar dan pembelajaran dalam upaya meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan harus terus diupayakan sebagai konsekuensi dari tuntutan belajar yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan suasana, watak, gaya belajar yang seragam serta tidak memberdayakan peserta didik perlu dikembangkan menjadi pola dan sikap belajar yang mengembangkan keutuhan peserta didik secara aktif, produktif dan proaktif dalam membangun learning to know, learning to do, dan learning to live together. Selanjutnya dalam paragraf dibawah ini akan diterangkan lebih terperinci mengenai dimensi-dimensi dalam pendidikan, yang tentunya disesuaikan dengan batasan masalah yang sudah disampaikan dan dipaparkan diatas agar tidak mengalami perluasan pembahasan. a. Definisi Pendidikan Problem mendasar yang dihadapi masyarakat dari negara berkembang adalah keterbelakangan ekonomi sebagai akibat dari rendahnya tingkat kualitas pendidikan. Masalah pendidikan sangat kompleks, sementara di sisi lain dominasi peradaban
Barat
yang
sekularistik
terus
merajalela.
Upaya
mengejar
ketertinggalan dari dunia Barat memang telah lama dilakukan. Hanya saja strategi pembangunan yang mengadopsi Barat dan meletakkan model kapitalisme sebagai kiblat yang harus ditiru telah memberikan implikasi terciptanya masyarakat yang hedonis, individualis, dan materialistis. Negara-negara berkembang telah meletakkan unsure ‘kebendaan’ sebagai tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan hidup.
29
Dalam keadaan demikian, pendidikan Islam menghadapi persoalan yang cukup serius dan rentan terhadap terjadinya krisis nilai. Pola hidup materialisme di tengah masyarakat dewasa ini tentunya sebuah tantangan berat bagi pendidikan Islam yang berkarakteristik balancing antara kepentingan dunia dan akhirat. Sebelum membahas tentang pengertian Pendidikan Islam secara lebih khusus, maka akan kita bahas terlebih dahulu pengertian pendidikan secara umum. Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris education, berasal dari basaha latin educare, yang dapat diartikan pembimbingan keberlanjutan (to lead forth). Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi kegenerasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia. Secara teoritis, ada pendapat yang mengatakan bahwa bagi manusia pada umumnya, pendidikan berlangsung sejak 25 tahun sebelum kelahiran. Pendapat itu dapat diartikan bahwa sebelum menikah, ada kewajiban bagi siapapun untuk mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendidik anak keturunannya. Secara praktis ada yang berpendapat bagi manusia individual, pendidikan dimulai sejak bayi lahir dan bahkan sejak masih di dalam kandungan. Memperhatikan kedua pendapat itu, dapat disimpulkan bahwa keberadaan pendidikan melekat erat pada dan di dalam diri manusia sepanjang zaman.24 Definisi diatas menggambarkan bahwa pada hakikatnya pendidikan dilaksanakan jauh dari masa kelahiran. Dimana sebelum dan sesudah lahir, manusia ditunutut untuk melaksanakan proses pendidikan. Semua manusia
24
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 77.
30
dimanapun berada mendapatkan kewajiban untuk menuntut ilmu. Karena hanya dengan ilmulah derat manusia akan dianggat oleh Allah SWT. Telah banyak ahli yang membahas definisi pendidikan, tetapi dalam pembahasannya mengalami kesulitan, karena antara satu definisi dengan definisi yang lain sering terjadi perbedaan. Menurut Ahmad Marimba, “pendidikan adalah bimbingan atau didikan secara sadar yang dilakukan oleh pendidik terhadap perkembangan anak didik, baik jasmani maupun rohani, menuju terbentuknya kepribadian yang utama”. Definisi ini sangat sederhana meskipun secara substansial telah mencerminkan pemahaman tentang proses pendidikan. Menurut definisi ini, pendidikan hanya terbatas pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik. Sedangkan Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan secara luas, yaitu: “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”.25 Dengan catatan bahwa yang dimaksud “pengembangan pribadi” sudah mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain. Sedangkan kata “semua aspek”, sudah mencakup jasmani, akal, dan hati. Dengan demikian tugas pendidikan bukan sekedar meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Definisi inilah yang kemudian lebih dikenal dengan istilah tarbiyah, dimana peserta didik bukan sekedar orang yang mampu berfikir, tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan. Oleh karena itu tidak dapat diidentikkan dengan pengajaran.26 Pada hakikatnya para pakar atau tokoh dalam mendefinisikan pendidikan harus dilihat pada setting sosial yang terjadi pada waktu itu, karena definisi 25
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm. 28 26 M. Suyudi, Op. Cit.,hlm. 52
31
tentang pendidikan yang mereka ungkapkan adalah mencakup kondisi dan tuntutan sosial pada waktu itu, maka jelas banyak definisi pendidikan yang berbeda antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Akan tetapi pada hakikatnya tujuan yang mereka inginkan adalah sama, yakni ingin memanusiakan manusia. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.27 Dalam referensi yang lain disebutkan bahwa
pendidikan
adalah
usaha
manusia
untuk
menumbuhkan
dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarkat dan kebudayaan.28 Paragaraf definisi diatas lebih menekankan pada pengembangan potensi peserta didik. Karena mereka yakin bahwa manusia diciptakan dengan segala kemampuan dan kekurangan, maka sudah barang tentu tugas dan tujuan lembaga pendidikan adalah memaksimalkan potensi yang diberikan Tuhan kepada peserta didik. Dengan demikian, peserta didik aka mampu mengembangkan dan mengeksplorasikan bakat dan potensi yang dimilikinya. Dari definisi yang sudah diungkapkan oleh para ahli, secara umum dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu definisi secara sempit yang mengkhususkan pendidikan hanya untuk anak dan hanya dilakukan oleh lembaga atau institusi khusus dalam rangka mangantarkan anak didik pada kedewasaan, sedangkan 27
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS (Bandung: Citra Umbara. 2006), hlm. 72 28 M. Djumransjah, Filasafat Pendidikan (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 22
32
definisi pendidikan secara luas dimana pendidikan berlaku untuk semua orang dan dapat dil;akukan oleh semua orang bahkan oleh lingkungan. Tetapi dari perbedaan tersebut ada kesamaan tujuan yaitu untuk mencapai kebahagiaan dan nilai tertinggi. Dengan demikian, definisi-definisi tersebut dapat diverbalisasikan dalam sebuah definisi yang komperhensif bahwa pendidikan adalah seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek perkembangan kepribadian baik jasmani maupun rohani, secara formal, informal maupun nonformal yang berjalan terus menerus untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tertinggi, baik nilai insaniyah maupun ilahiyah. b. Definisi Pendidikan Islam Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar bagi semua orang. Bila seseorang memiliki keinginan untuk belajar dan rasa cinta ilmu, kegairahan untuk mengadakan penelitian dan pembahasan, pintu untuk belajar terbuka luas baginya, bahkan Islam mendorong supaya mereka belajar, apalagi bila seseorang itu pembawaan cerdas. Dengan demikian pintu pendidikan terbuka seluas-luasnya bagi setiap orang yang berkeinginan untuk belajar agama dan lain-lainnya kapan saja dan dimana saja. Inilah dia demokrasi yang hakiki di dalam pendidikan dan pengajaran.
33
Islam ternyata telah menyamaratakan anak-anak si kaya dan si miskin dalam bidang pendidikan dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua untuk belajar tanpa diskriminasi. Islam juga tidak mengatakan kepada si miskin, kamu dijadikan untuk menduduki tempat-tempat rendah sedang orang-orang kaya dijadikan untuk menduduki tempat-tempat yang tinggi, seperti apa yang disuarakan di Eropa sampai pada abad ke 19. Kesimpulannya di dalam pendidikan Islam terwujud prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, persamaan, dan kesempatan yang sama buat belajar, tanpa diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Kata Islam yang berada di belakang kata pendidikan menunjukan warna, model, benduk dan ciri dari pendidikan, yaitu pendidikan yang bernuansa Islam atau pendidikan yang Islami. Secara psikologis, kata tersebut mengindikasikan suatu proses untuk pencapaian nilai moral, sehingga subjek dan objeknya senantiasa mengkonotasikan kepada prilaku yang bernilai, dan menjahui sikap amoral. Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya mewakili istilah yang lain. Atas dasar itu, dalam beberapa buku pendidikan Islam, semua istilah itu digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.29
29
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 10
34
Selanjutnya pada alenia ini akan mulai dibahas tentang definisi dari pendidikan Islam itu sendiri. Yang dimaksud dengan pendidikan Islam jangan cuma dipahami sebagai pendidikan yang berlabel Islam seperti madrasahmadrasah ataupun pondok pesantren. Akan tetapi lebih dari itu pendidikan Islam adalah mencakup semua proses pemikiran, penyelenggaraan dan tujuan, mulai dari gagasan, visi, misi, institusi (pranata), kurikulum, buku pelajaran, metodologi, SDM, proses belajar mengajar, lingkungan pendidikan, yang disemangati dan bersumber pada ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam, yang secara built-in (menyatu) mewarnai proses pendidikan tersebut.30 Dalam sebuah buku “Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani” karangan M. Suyudi disebutkan beberapa definisi pendidikan Islam menurut beberapa tokoh, yakni: 1.
Muhammad Fadlil Al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya.
2.
Omar Mohammad Al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan Islam.
3.
Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah,
30
Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Lantabora Press), hlm. 26
35
larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah ini.31 Banyak definisi pendidikan Islam yang sudah dipaparkan oleh beberapa tokoh dan pakar pendidikan, akan tetapi pada hakikatnya pendidikan adalah upaya sadar yang dilakukan untuk mengarahkan manusia pada derajat kemanusiaanya yang disesuaikan dengan bakat, kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian manusia akan mengetahui tugan dan kewajiban sebagai hamba Allah dan sebagai warga negara. c. Tujuan Pendidikan Islam Sejalan dengan penentuan prioritas pembangunan, lebih-lebih pada bidang yang bersifat material, maka terdapat kecenderungan dalam bidang pendidikan untuk menjejalkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bidang material tersebut. Kecenderungan ini sebenarnya bertujuan
baik.
Ia bermaksud
menyesuaikan diri dengan iklim pembangunan dan kemajuan teknologi. Ia juga bermaksud memenuhi kebutuhan tenaga-tenaga yang masih sangat kurang pada bidang-bidang tersebut. Akan tetapi karena bahan-bahan yang diberikan umumnya bersifat ekstern dari inti kepribadian manusia, dengan sendirinya ciri pendidikan yang sangat nampak hanyalah lebih bersifat pengajaran. Sedangkan pada dasarnya pendidikan tidak identik dengan pengajaran yang hanya terbatas pada upaya pengembangan intelektualitas manusia. Tugas pendidikan bukan melulu meningkatkan kecerdasan, melainkan mengembangkan seluruh aspek kepribadian
31
M. Suyudi, Op. Cit., hlm. 55.
36
manusia.
Pendidikan
merupakan
sarana
utama
untuk
mengembangkan
kepribadian manusia. Faktor tujuan mempunyai peranan penting dalam pendidikan Islam, sebab akan memberikan standar, arahan, batas ruang gerak, dan penilaian atas keberhasialan kegiatan yang dilakukan. Dalam merumuskan tujuan pendidikan, khusus untuk pendidikan Islam, disesuaikan dengan kriteria dan karakter ilmu dalam Islam, yaitu terstruktur hierarkis dari tingkat konkreta sampai dengan illata.32 Tujuan Pendidikan dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan dan berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, terampil serta mandiri. Jika kita mengamati pendidikan kita yang sekarang ini, maka kita akan mendapatkan suatu kenyataan bahwa Pendidikan Agama Islam ternyata masih jauh dari apa yang kita harapkan, walaupun telah berbagai cara yang telah dilakukan dalam meningkatkan keberhasilan Pendidikan Agama Islam. Pada dasarnya, keberhasilan Pendidikan Agama Islam dapat terwujud apabila seluruh aspek yang berhubungan langsung dengan pendidikan dapat bekerjasama dan saling membantu dari berbagai pihak antara lain pihak sekolah dengan orang tua siswa, lembaga dengan masyarakat dan lain sebagainya demi meningkatkan keberhasilan Pendidikan Agama Islam. Sedangkan tokoh dari Barat, Jhon Dewey mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu means dan ends. 32
Jasa Ungguh Mulaiwan, Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 123.
37
Means merupakan tujuan yang berfungsi sebagai alat yang dapat mencapai ends. Means adalah tujuan “antara”, sedangkan ends adalah tujuan “akhir”. Dengan dua kategori ini, tujuan pendidikan harus memiliki tiga kriteria, yaitu: 1.
Tujuan harus dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik daripada kondisi yang sudah ada.
2.
Tujuan itu harus fleksibel, yang dapat disesuaikan dan menyesuaikan dengan keadaan dan situasi dan kondisi apapun.
3.
Tujuan itu harus mewakili kebebasan aktivitas.
Pada akhirnya, setiap tujuan harus mengandung nilai yang dirumuskan melalui observasi, pilihan, dan perencanaan, yang dilaksanakan dari waktu ke waktu. Apabila tujuan itu tidak mengandung nilai, bahkan dapat menghambat pikiran sehat peserta didik, maka itu dilarang.33 Tujuan itu sendiri, menurut Zakiah Darajat, adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sedangkan menurut H.M. Arifin, tujuan itu bisa jadi menunjukan kepada masa depan yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.34 Meskipun banyak pendapat yang merumuskan tentang pengertian dari tujuan itu sendiri, akan tetapi tetap mempunyai unsur kesamaan yakni perbuatau atau maksud yang hendak dicapai melalui perbuatan atau usaha-usaha. Untuk mengetahui tujuan pendidikan, harus berdasarkan atas tinjauan filosofis. Adapun tujuan pendidikan secara umum adalah: 33 34
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hlm. 113-114. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 64.
38
1.
Jika pendidikan bersifat progresif, maka tujuannya harus diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman. Dalam hal ini, pendidikan bukan sekedar menyampaikan pengetahuan kepada anak didik, tetapi juag melatih kemampuan berpikir dan memberikan stimulan, sehingga mampu berbuat sesuai dengan intelegent dan tuntutan lingkungan. Aliran ini dikenal dengan progresivisme.
2.
Jika yang dikehendaki adalah pendidikan nilai yang tinggi, maka pendidikan pembawa nilai yang ada di luar jiwa anak didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan yang tinggi. Aliran ini dikenal dengan essensialisme.
3.
Jika tujuan pendidikan dikehendaki agar kembali kepad konsep jiwa sebagai tuntunan manusia, maka prinsip utamanya iasebagai dasar pegangan intelektual manusia yang dapat menjadi sarana untuk menemukan evidensi sendiri. Aliran ini dikenal dengan perenialisme.
4.
Menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan masyarakat karena adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan penyesuaian ini, anak didik tetap berada dalam suasana
aman
dan
bebas
yang
dikenal
dengan
aliran
rekonstruksionisme.35 Dari uraian diatas kiranya dapat memberikan gambaran luas tentang ruang lingkup tujuan yang dikehendaki oleh pendidikan. Karena dalam hal ini manusia
35
M. Suyudi, Op. Cit., hlm. 62-63.
39
sebagai objek dan subjek pendidikan, maka pendidikan harus mampu mengembangkan misi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan masyarakat. Orientasinya harus utuh (memperkokoh) keberadaan manusia sebagai makhluk pribadi dan masyarakat. Dalam rangka peranannya itu, maka fungsi tujuan pendidikan akhir maupun khusus, yang normatif maupun operatif-praksis merupakan salah satu faktor penting, bukan saja sebagai pendorong, motivasi bagi
anak didik dalam cita-cita hidupnya, tetapi juga
menjadi isi pokok pendidikan dan akan menentukan metode pengajaran, sistem dan organisasi kurikulum. Adapun tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri menurut Abu Ahmadi mempunyai tahapan-tahapan, yakni: 1.
Tujuan tertinggi/terakhir
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum, karena sesuai dengan konsep keTuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Tuhan, yakni: a) Menjadi hamba Allah b) Mengantarkan subjek didik menjadi khalifah di muka bumi c) Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat. Dengan tiga tujuan yang sudah terpaparkan di atas, diharapkan pendidikan mampu menjadi sarana yang paling tepat dan strategis dalam mewujudkan citacita yang luhur.
40
2.
Tujuan umum
Berbeda dengan tujuan tertinggi yang lebih mengutamakan pendekatan filosofik, tujuan umum lebih bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik. Dikatakan umum karena berlaku bagi siapa saja dan tanpa dibatasi ruang dan waktu, serta menyangkut diri peserta didik secara total, baik aspek psikologi, sosiologi dan biologisnya. 3.
Tujuan khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasionalisasi
tujuan
tertinggi/terakhir dan tujuan umum. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/terakhir dan umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut dapat didasarkan pada: a) Kultur dan cita-cita suatu bangsa b) Minat, bakat, dan kesanggupan subyek didik c) Tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu Ketiga dasar dari tujuan tertinggi inilah yang kemudian menjadi orientasi dalam pelaksanaan pendidikan dilembaga-lembaga pendidikan Islam. Dengan berlandaskan ketiga tujuan tersebut, maka harapannya adalah agar supaya tujuan dari pendidikan Islam tersebut dapat tercapai dan proses pembelajaran menjadi lebih efektif, inovatif, dan menyenangkan sehingga mampu melahirkan puteraputeri
bangsa
dan
Negara
yang
mampu
mengembangkan bangsa dan negara ini.
41
mengemban
amanah
serta
4.
Tujuan sementara
Menurut Zakiah Darajat, tujuan sementara itu merupakan tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.36 Pada pembahasan kali ini lebih kepada ruang aktualisasi pendidikan tersebut, sehingga lembaga pendidikan mempu memberikan ruang aktualisasi pada peserta didik untuk mengeksplorasikan bakat yang sesuan dengan potensi yang dimiliki. Dimana sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh M. Tholha Hasan tujuan makro pendidikan Islam dapat dipadatkan dalam tiga macam tujuan, yaitu: a) Untuk menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia. Dalam pengertian yang lebih luas, bahwa menurut awidah islamiyah, setiap manusia yang lahir di bumi ini selalu berada dlam kondisi fitrah, kondisi kemurnian yang original, yang memiliki naluri dan kecenderungan beriman terhadap ke-Esaan Tuhan, yang secara naluri cenderung untuk mengikuti kebaikan dan kebenaran. Fitrah manusia tersebut sering mengalami gangguan dan tantangan dalam perjalanan hidup manusia, karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan, oleh pencemaran eksternal maupun internal, sehingga dia melakukan penyimpangan, pengingkaran, dan perusakan pola hidupnya yang benar, yang sesuai dengan fitrahnya. Maka untuk menyelamatkan dan melindungi manusia itulah, diperlukan proses
36
Ramayulis, Op. Cit., hlm. 66-71
42
pendidikan sepanjang hidup, sejak lahir sampai ke liang kubur. Proses pendidikan dalam pengertian ini, adalah menjaga agar manusia tetap dalam kondisi keimanannya kepada Tuhan, selalu dalam intensitas ketaatan mengikuti ajaran Tuhan (bertakwa), dan selalu bersikap dan berprilaku yang etis dan terpuji (berakhlak akkarimah), agar manusia kompeten menjalankan salah satu dari tujuan penciptaannya, seperti yang difirmankan dalam al-qur’an surat Ad-Dzariyat ayat 56.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Ad-Dzariyat: 56)37 b) Untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia. Menurut ajaran
Islam,
manusia
dibekali
seperangkat
potensi
dan
kemampuan yang luar biasa oleh Allah, berupa fisik, naluri, pancaindera, akal fikiran, hati nurani, ditambah lagi dengan agama. Maka untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia agar menjadi kompeten melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi, dibutuhkan pengetahuan dan keahlian yang bermacammacam, dibutuhka keterampilan dan pengalaman yang memadai, dan semuanya itu membutuhkan pendidikan dan pelatihan dalam
37
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.862.
43
berbagai
tingkatan
dan
bermacam-macam
disiplin
ilmu
pengetahuan. c) Menyelaraskan langkah perjalanan fitrah mukhallaqoh (manusia fitrah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah (agama fitrah/fitrah Islam) dalam semua aspek kehidupannya, sehingga manusia dapat lestari hidup di atas jalur kehidupan yang benar, atau di atas jalur “as-shirat al-mustaqim”. Mereka menjadi orang-orang yang saleh secara individual maupun saleh secara sosial, mereka yang merasakan ketenangan, kepuasan dan kebahagian, apabila hidupnya berjalan sesuai dengan ajaran dan arahan agama Allah (agama Islam).38 d. Sumber dan Dasar Pendidikan Islam Sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, tentunya pendidikan Islam memerlukan landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Sebab dengan adanya dasar juga berfungsi sebagi sumber semua peratuaran yang akan diciptakan sebagai pegangan langkah pelaksanaan dan sebagai jalur langklah yang menentukan arah usaha tersebut. Dalam istilah bahsa Indonesia, kata “sumber” berarti tempat keluar atau asal dalam berbagi-bagi arti, sementara “dasar” berarti bagian yang terbawah, pondasi atau pangkal dari suatu pendapat, dalam hal ini juga bersinonim kata asas, sedangkan kata “asas” bermakna suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau
38
Muhammad Tholhah Hasan, Op. Cit., hlm. 23-34.
44
tumpuan berfikir. Dengan demikian, sumber pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari penggalan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam hali ini, sumber pendidikan Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan landasan, podasi dan pangkal dalam rangka melaksanakan proses pendidikan. Sehingga dalam perjalanan pendidikan dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam sumber tersebut. Dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama adalah Al-Qur’an dan AlHadits, dalam Al-Qur’an disebutkan sesuai dengan surat Asy-Syura, ayat 52:
! &
%$"#
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Asy-Syura: 52)39 Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung, sumber pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, kata-kata sahabat, kemashlahatan umat, tradisi adat kebiasaan masyarakat, dan 39
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.791.
45
hasil pemikiran para ahli Islam. Keenam sumber pendidikan Islam tersebut didudukan secara hierarkis.40 Sistem dan pola pendidikan yang dicanangkan terkait dengan kebudayaan, peradaban, dan tatanan kehidupan yang akan melibatkan semua komponen yang ada, sementara metodenya didasarkan pada perkembangan psikologi anak didik agar proses tersebut dapat memberikan hasil yang baik, yaitu mempersiapkan individu agar dapat menentukan pola pikir dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terbatas pada tempat dan waktu, yang selaras dengan kesiapan jiwa subjek didik. Pola tersebut juga terkait dengan falsafah, ideologi dan dasar kehidupan, sementara dasar kehidupan muslim adalah Al-Qur' an dan Al-Hadits, demikian juga dasar pendidikannya yang merupakan bagian dari ajaran Islam, sehingga tujuannya pun harus selaras dengan dengan tujuan Islam yaitu menciptakan manusia yang bertaqwa dan mengabdi kepada Allah. Dari ayat Al-Qur’an dan Hadits dapat diambil titik relevansinya dengan atau sebagai dasar pendidikan agama, mengingat: 1.
Bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk ke arah jalan yang diridloi Allah SWT.
2.
Menurut hadis Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati
untuk
mengamalkan
ajaran
Allah,
yang
dapat
diformulasikan sebagai usaha dalam bentuk pendidikan Islam. 40
Yasin Musthofa, EQ untuk Anak Usia Dini dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Sketsa, 2007), hlm. 32.
46
3.
Al-Qur’an dan Hadits tersebut menerangkan bahwa Nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam.41
Untuk negara Indonesia secara formal pendidikan Islam mempunyai dasar atau landasan yang cukup kuat. Pancasila yang merupakan dasar setiap tingkah laku dan kegiatan bangsa Indonesia, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, berarti menjamin setiap warga negara untuk memeluk, beribadah, serta menjalankan aktivitas yang berhubungan dengan pengembangan agama. Di samping itu mengingat bahwa tiap-tiap sila adalah merupakan kesatuan, berarti sila-sila yang lain harus dijiwai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian secara konstitusional Pancasila dengan sila-silanya secara total merupakan tiang penegak untuk dilaksanakannya usaha pendidikan, bimbingan dan penyuluhan agama (Islam), karena mempersemaikan dan membina ajaran Islam mendapat lindungan konstitusi dari Pancasila. Demikian pula UUD 1945 memberikan lindungan konstitusional bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama dari keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran-ajaran Islam bersifat universal yang mengandung aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dalam hubungannya dengan khaliqnya yang diatur dalam ubudiyah, juga dalam hubungannya dengan sesamanya yang diatur dalam
41
Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.153-154.
47
muamalah, masalah berpakaian, jual beli, aturan budi pekerti yang baik dan sebagainya.
48
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang sistematis, mempunyai tujuan tertentu dengan menggunakan metodologi yang tepat dimana data yang dikumpulkan harus ada relevansinya dengan masalah yang dihadapi. Baik tidaknya dari hasil suatu kegiatan penelitian tergantung pada bagian teknik-teknik pengumpulan data untuk memperoleh bahan-bahan yang relefan dan akurat. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif-diskriptif, karena dalam pengumpulan data sampai pada analisis data, peneliti berusaha memperoleh data subyektif yang sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada. Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan. Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbanganpertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.
49
Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dalam perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian kualitatif telah menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu pada istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif. Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan
penelitian, dan justru dengan perbedaan tersebut akan
nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan apakah menggunakan metode
kuantitatif
ataukah
menggunakan
metode
kualitatif
dengan
memperhatikan obyek penelitian atau masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Metode adalah aspek yang sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap berhasil tidaknya suatu penelitian, terutama untuk mengumpulkan data. Sebab
50
data yang diperoleh dalam suatu penelitian merupakan gambaran dari obyek penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, di mana penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala atau keadaan.42 Hal ini sesuai dengan statemen yang dikeluarkan oleh Winarno Surahman bahwa metode penyelidikan deskriptif lebih merupakan istilah umum yang mencakup berbagai tehnik deskriptif. Diantaranya ialah penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi.43 Hal ini sesuai dengan penggunaan Lexy J. Moleong terhadap istilah deskriptif sebagai karakteristik dari pendekatan kualitatif karena uraian datanya lebih bersikap deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, menganalisis data secara induktif dan rancangan yang bersifat sementara serta hasil penelitian yang dapat dirundingkan.44 Pada dasarnya, definisi yang dikemukakan oleh para pakar penelitian diatas adalah sama, dimana yang dimaksudkan adalh penelitian yang menganjurkan penulis untuk memahami dan melakukan penelitian berdasarkan sumber dan data yang berasal dari dokumen-dokumen tertentu dan wawancara kepada sumber yang mendukung dalam proses penelitian. Artinya bahwa penelitian ini dianjurkan menggambarkan secara deskriptif dari data-data yang
42
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 1995), cet. Ke-3, hlm. 310. 43 Winarno Surahmad, Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: Tarsito), hlm. 131. 44 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja rosdakarya, 2004), cet. Ke-20, hlm. 8-12.
51
sudah diperoleh sehingga menghasilkan sebuah narasi yang dilengkapi dengan data-data yang akurat. Sedangkan, menurut Bodgan dan Taylor bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara holistic. Sedangkan deskriptif yang dimaksud adalah penelitian yang menguraikan secara teratur seluruh konsep yang dikemukakan oleh tokoh yang akan diteliti.45 Penguraian secara teratur dari seluruh konsep yang dikemukakan oleh tokoh yang akan diteliti menggambarkan bahwa penelitian ini menggunakan metode kamparasi, yakni membandingkan secara objektif dari pemikiran dua tokoh atau lebih tentang substansi yang akan dikaji dalam tulisan ini. Oleh karena itu, pendekatan studi komaratif memiliki dua pendekatan sebagai alat untuk mengungkapkan persamaan dan perbedaan setra kemudian membandingkan pemikiran dari dua tokoh tersebut. Adapun pendekatan studi komparatif yang dimaksud adalah sebagi berikut: 1. Pendekatan Historis Pendekatan historis merupakan pendekatan untuk mengkaji biografi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam karyanya, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Oleh karena itu, Dalam pengungkapan sebuah pemikiran tokoh, maka aspek keseluruhan sejarah riwayat kehidupan dan setting sosial pada waktu itu menjadi sebuah keharusan 45
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Konisius, 1990), hlm. 65.
52
yang hendaknya disampaikan dalam tulisan. Karena diakui ataupun tidak latar belakang sejarah sangat mempengaruhi pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh tersebut. 2. Pendekatan Filosofis Sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengkaji pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari secara kritis, evaluative, dan reflektif yang berkaitan dengan pendidikan Islam, sehingga meskipun dengan pemikiran kedua tokoh tersebut berlainan, dengan pendekatan ini akan ditemukan benang merah dari perbedaan pemikiran tokoh tersebut. Dengan dua pendekatan di atas, diharapkan mampu menemukan sebuah formulasi baru tentang pendidikan Islam yang mengupas dari pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. B. Jenis Penelitian Berdasarkan penjelasan dari pendekatan di atas, tentang pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini merupakan penelitian tokoh. Maka, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitiankepustakaan atau library research, yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.46 Sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh M. Iqbal Hasan, bahwa skripsi ini adalah library research, dimana data yang dipakai dalam penulisan adalah bersumber dari literatur yang diambil dari dokumen atau buku-buku yang 46
M Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 11.
53
berhubungan dengan pemikiran kedua tokoh yang dikaji dalam skripsi ini. Dengan demikian, penulis akan dapat mendeskripsikan serta mampu membuat sebuah narasi yang panjang sesuai dengan acuan dalam penulisan. Penulis menggunakan penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat kepustakaan yang berkaitan dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam dan pada skripsi ini sifatnya adalah menggambarkan atau mendeskripsikan hasil dari penelitian yang telah diperoleh. C. Data dan Sumber Data Karena
penelitian
ini berbentuk
library
research,
maka
dalam
mengumpulkan data menggunakan metode dokumentasi. Suharsimi menjelaskan bahwa metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen dan sebagainya.47 Jadi, yang dimaksud dengan data dan sumber adalah sebuah bahan yang digunakan peneliti dalam melengkapi penelitian yang dilakukannya, sehingga dpat menghasilkan penelitian atau karya ilmiah yang sesuai dengan prosedur penelitian dan dapat dikatakan sebagai karya ilmiah karena data yang diambil sudah valit dan akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan. Data yang dipakai dalam penelitian library reseach ini dapat dikelompokan menjadi dua, yakni: 1. Sumber primer. Adalah berupa karya-karya yang ditulis langsung oleh penulisnya yang berhubungan dengan pendidikan Islam dalam pemikiran 47
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 12, hlm. 206.
54
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, yang berupa buku-buku teks, dan karya ilmiah lainnya. 2. Sumber sekunder. Adalah mencakup kepustakaan yang berwujud bukubuku penunjang, jurnal dan karya-karya ilmiah lainnya yang di tulis atau diterbitkan oleh studi selain bidang yang dikaji yang membantu penulis berkaitan dengan pemikiran yang dikaji. Buku-buku yang penulis jadikan sebagai acuan dapat dikategorikan sebagai berikut: Sumber Acuan Primer
Sumber Acuan Sekunder
Adabul al-‘Alim wa al-Muta’allim oleh K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923 oleh Adi Nugroho. K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri Muhammadiyah oleh Hery Sucipto. Fajar Kebangunan Ulam: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari oleh Drs. Lathiful Khuluq, M.A Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial oleh Abdul Munir Mulkhan Muhammadiyah Prakarsa Besar K.H. Ahmad Dahlan oleh Mohammad Riezam Kiai Hasjim Asj’ari: Bapak Umat Islam Indonesia oleh Akarhanaf K.H.M. Hasyim Asy’ari : Figur Ulama dan Pejuang Sejati oleh M. Ishom Hadzik. K.H.M. Hasyim Asy’ari Ulama Besar Indonesia oleh Solichin Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, Asal-Usul Kutub Gerakan
55
Islam di Indonesia oleh T.H. Thalhas. K.H. Hasyim Asy’ari :Biografi Singkat: Biografi Singkat 1871-1947 oleh Muhammad Rifa’i. Pesan-pesan Dua Pemimpin Besar Islam Indonesia, Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Haji Hasyim Asy’ari oleh Abdul Qodir Mulkhan. Dan buku-buku maupun jurnal yang lain. Tabel 1. Daftar sumber atau rujukan penelitian D. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan langkah atau prosedur yang sangat penting dalam sebuah penelitian, karena itu seorang peneliti harus teliti dan terampil dalam mengumpulkan data agar kemudian mendapatkan data yang valid. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan sebuah penelitian atau pembuatan karya ilmiah. Selanjutnya, untuk mengetahui dan memperoleh data yang valid serta aktual, khususnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini maka dipandang perlu kiranya peneliti mengunakan dan menerapkan beberapa teknik pengumpulan data yang sudah diatur dalam sistematika penulisan penelitian ataupun karya ilmiah. Agar kemudian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan rasional sesuai dengan standar tulisan. Adapun teknik pengumpulan data yang dimaksudkan dan dikehendaki adalah
dengan
menggunakan
metode
dokumentasi.
Suharsimi Arikunto
berpendapat bahwa: Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal 56
atau variabel yang berupa catatan, transkrip buku, surat kabar, majalah, prasasti, metode cepat, legenda dan lain sebaginya.11) Dapat disimpulkan bahwa metode pengumpulan data ini dengan cara mencari data, atau informasi, yang sudah dicatat/dipublikasikan dalam beberapa dokumen yang ada, seperti buku induk, buku pribadi dan surat-surat keterangan lainnya. Data adalah bagian terpenting dalam suatu penelitian, untuk kegiatan pengumpulan data ini peneliti akan berusaha memperoleh dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Dimana dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa metode. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah Metode Dokumenter. Metode ini adalah suatu tehnik pengumpulan data dengan menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah-majalah yang di dasarkan atas penelitian data. Metode ini dilakukan dengan cara mengutip berbagai dat melalui catatan-catatan, laporan-laporan, kejadian masa lampau yang berhubungan dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Teknik pengumpulan data, dalam hal ini penulis akan melakukan identifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web (internet), ataupun informasi lainnya yang berhubungan dengan judul penulisan untuk mencari hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya yang berkaitan dengan kajian tentang pendidikan
11)
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian,Suatu pendekatan Praktik hal. 234
57
Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data-data yang ada baik melalui buku-buku, dokumen, majalah internet (web). 2. Menganalisa data-data tersebut sehingga peneliti bisa menyimpulkan tentang masalah yang diakaji. Sebagaimana pemikiran M. Iqbal Hasan, studi dokumentasi adalah tehnik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada sebuah penelitian, namun melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan khusus dalam pekerjaan sosial dan dokumen lainnya.48 Selanjutnya dalam rangka untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi dalam perjalanan penulisan ataupun pada saat penelitian sebagai rencana pemecahan masalah, maka penulis menggunakan metode pembahasan sebagai berikut: 1. Metode Induktif Berfikir
induktif
berangkat
dari
fakta-fakta
yang
khusus,
peristiwaperistiwa yang kongkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa
yang
khusus
konkrit
itu
ditarik
generalisasi-
generalisasi yang mempunyai sifat umum.49 Penggunaan metode induktif ini dimaksudkan untuk mengemukakan data yang ada kaitannya dengan masalah-masalah yang penulis bahas dalam skripsi ini 48 49
Ibid, hlm. 87. Ibid, hlm.42.
58
dengan bertitik tolak pada pengetahuan-pengetahuan yang bersifat khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum, sehingga menghasilkan sebuah naratif panjang yang sesuai dengan kebutuhan penulisan dan penelitian skripsi ini. 2. Metode Komparatif. Yaitu suatu penyelidikan deskriptif yang berusaha mencari pemecahan melalui analisa tentang perhubungan-perhubngan sebab-akibat, yakni yang meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dengan membandingkan satu faktor dengan yang lain.50 Selain penjelasan di atas, pakar penelitian yang lain juga menjelaskan, bahwa
metode
komparasi
merupakan
metode
yang
digunakan
untuk
membandingkan data-data yang ditarik pada konklusi baru. Komparasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk menemukan persamaan dari dua konsep atau lebih. Menurut Winarno Suharmad, bahwa metode komparasi adalah suatu penyelidikan yang dapat dilaksanakan dengan meneliti hubungan lebih dari satu fenomena yang sejenis dengan menunjukkan unsure-unsur persamaan dan perbedaan dari fenomena yang sejenis tersebut.51 Komparasi tidak hanya sekedar membandingkan persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh yang dikaji atau diteliti oleh penulis. Akan tetapi jauh lebih dari itu, dimana penulis ingin membandingkan kondisi sosial pada masa 50 51
Winarno Surahmad, Dasar dan Teknik Penelitian, (Bandung: Trasito. 1985), hlm. 143. Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Penelitian, (Bandung: Trasitu, 1994), hlm. 105.
59
tokoh tersebut, sehingga nantinya akan diketahui latar belakang pemikiran yang diciptakan oleh tokoh tersebut. Untuk memperlancar dan memperjelas arah dan tujuan penelitian ini, maka diberikan acuan kerja dari metode komparasi tersebut, langkah-langkah dari acuan metode komparasi yang dimaksud adalah:52 1. Menelusuri permasalahan-permasalahan yang setara tingkat dan jenisnya. 2. Mempertemukan dua atau lebih permasalahan yang setara tersebut. 3. Mengungkapkan ciri-ciri dari objek yang sedang dibandingkan secara jelas dan terperinci. 4. Menyusun atau memformulasikan teori-teori yang bias dipertanggung jawabkan secara ilmiah. E. Analisis Data Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh penulis dari berbegai macam sumber. Dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data, maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan, bentuk teknik dalam teknik analisis data sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyususn suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.53
52 Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 348-349. 53 Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, (Bandung: Tarsita, 1990), hlm. 139.
60
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat dikatakan bahwa analisis deskriptif adalah analisis yang menggambarkan dan menjelaskan data-data yang dikumpulkan. Adapun data yang dimaksud adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data dan pengolahan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut, kemudia penulis memberikan penyimpulan dari masing-masing kutipan data yang diambil dari sumber tersebut. 2. Content analisys atau analisis isi Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Di mana data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis).54 Penjelasan diatas menggambarkan, bahwa analisis isi hanya meneliti atau menjelaskan data yang diambil dari sebuag paragraf dari tulisan seseornag. Sehingga analisis ini dibatasi hanya pada isi dari data yang akan dikutip. Pendapat ini seperti yang dikemukakan oleh Hadari Nawawi yang dikutip oleh Soejono dan Abdurrahman bahwa analisis isi dalam penelitian dilakukan
54
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm. 94
61
untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis.55 Burhan Bungin mendefinisikan analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi.56 Dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajegan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi interaksi simbolik yang terjadi dalam komunikasi.57 Pada hakikatnya, analisis isi ini adalah salah satu model analisi yang digunakan peneliti dalam mengungkap, mengetahui, dan memahami isi dari literatur yang sudah dibaca. Dengan begitu, penulis akan dengan mudah menempatkan data mana yang sesuai dengan kebutuhan penulisan dan ppenelitian. F. Pengecekan Keabsahan Data Yang dimaksud dengan keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan yang harus mempu mendemonstrasikan nilai yang benar, mampu menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan, dan memperbolahkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya.58
55
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran Dan Penerapan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), hlm. 14. 56 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis Kea Rah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 231. 57 Ibid, hlm. 232. 58 Lexy J. Moleong, Op.Cit., hlm.320-321.
62
Dapat dikatakan, bahwa dalam penulisan karya ilmiah memerlukan data atau literarur yang valid dan akurat, sehingga diperlukan hal-hal yang dapat menegaskan bahwa data itu memang bebar-benar valid dan akurat. Maka pengecekan keabsahan data dipandang penting untuk dilakukan, karena hal itu merupakan salah satu syarat dalam sebuah penelitian. Untuk menetapkan keabsahan data, diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Adapun kriteria pengecekkan keabsahan data sebagaimana diterangkan dibawah ini:59 1. Kriteria Derajat Kepercayaan (Kredibilitas), pada dasarnya kriteria ini menggantikan konsep validitas internal dari nonkualitatif. Kriteria ini berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat tercapai, untuk mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kriteria ini pada hakikatnya menyerahkan sepenuhnya pada pribadi peneliti yang lain, karena sifatnya hanya berdasarkan kepercayaan, maka seorang peneliti diharuskan memaparkan data yang didapat dengan apa adanya, sehingga dapat meyakinkan peneliti lain untuk memberikan kepercayaan kepada data yang didapat. Oleh karena itu, langkah ini dilakukan dengan cara menggali sumber literatur yang pernah ditulis oleh orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya keabsahan dan kefalidan dari tulisan tersebut.
59
Ibid, hlm.324-325
63
2. Kriteria Kebergantungan, kriteria ini merupakan substitusi istilah reliabilitas dalam penelitian yang nonkualitatif. Di jelaskan bahwa kriteria ini antara data dari penelitian satu dengan penelitian yang lain saling bergantungan, dimana jika ada dua atau beberapa kali diadakan pengulangan suatu studi dalam suatu kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama, maka dikatakan reliabilitasnya berhasil dan tercapai. 3. Kriteria Kepastian, kriteria ini berasal dari konsep objektivitas menurut nonkualitatif. Adapun penjelasannya adalah pengalaman seseorang itu subjektif, namun jika disepakati oleh beberapa atau banyak orang, maka pengalaman itu dapat dikatakan objektif dan dapat dijadikan data. Jadi objektivitas dan subjektivitas itu tergantung pada seseorang. Dengan demikian, objekitvitas dan subjektivitas merupakan sebuah kepastian yang digunakan dalam memperjelas pengabsahan sebuah data yang diperoleh peneliti untuk melengkapi sebuah penelitian. G. Tahap-Tahap Penelitian 1. Tahap pra penelitian Dalam tahap pra penelitian ini kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yakni menyusun kerangka rancangan (proposal) penelitian agar dalam penelitian selanjutnua tidak terjadi pelebaran pembahasan. Selanjutnya mengumpulkan buku-buku dan semua bahan-bahan lain yang diperlukan untuk memperoleh data. 2. Tahap pekerjaan penelitian Pada tahap yang kedua ini, peneliti membaca buku-buku atau bahan-bahan yang berkaitan lalu mencatat dan menuliskan data-data yang diperoleh dari
64
sumber penelitian, lalu berusaha menyatukan sumber yang ada untuk dirancang sebelumnya, kegiatan terakhir pada tahap ini peneliti membuat analisis pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan masalah. 3. Tahap analisis data Pada tahap ini peneliti melakukan pengorganisasian data, lalu melakukan pemeriksaan keabsahan data, selanjutnya yang terakhir adalah penafsiran dan pemberian makna terhadap data yang diperoleh. 4. Penyusunan laporan penelitian berdasarkan data yang telah diperoleh Dalam tahap ini yang merupakan tahap terakhir dari rangkaian tahap-tahap yang dilakukan dalam suatu penelitian dilakukan kegiatan penyusunan laporan penelitian, kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, selanjutnya melakukan perbaikan-perbaikan sampai pada terselesaikannya penyusunan laporan ini. H. Rancangan Penelitian Sebagai penjelas dari tahap-tahapan penelitian, maka penulis akan menyampaikan rancangan penelitian yang dilakukan ini, agar kemudian dapat dilihat secara sistematis dan prosedural. Adapun rancangan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Menelaah
pendidikan
Islam
untuk
merefleksikan
perkembangan
pendidikan sesuai dengan dialektika perkembangan zaman. Konsepkonsep ini ditelaah dari buku-buku yang menjadi sumber dan data yang berkaitan dengan judul penulisan.
65
2. Menelaah Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam. K.H, Ahmad Dahlan sebagai represantatif intelektual muslim yang modernis, sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai representative intelektual muslim yang tradisionalis. 3. Mengadakan penelitian secara kritis dan objektif terhadap pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam, kemudian dilanjutkan dengan mengkomparasikan, mensintesiskan kedua konsep tersebut dan mengarahkan implikasinya dari sintesa konsep pendidikan Islam dalam pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan Islam. Dengan mengetahui implikasi tersebut, maka dapat ditetapkan pola-pola pendidikan Islam yang selaras dengan ajaran Islam dan ilmu pengetahua modern. Sedangkan dari hal tersebut maka dapat di gambarkan bagan dari rancangan penelitian adalah sebagaimana dipaparka sebagai berikut:
66
Konsep Pendidikan Islam perspektif K.H. Ahmad Dahlan
Konsep Pendidikan Islam perspektif K.H. Hasyim Asy’ari
Penelaahan Konsep Pendidikan Islam perspektif K.H. Ahmad Dahlan
Penelaahan Konsep Pendidikan Islam perspektif K.H. Hasyim Asy’ari
Penilaian Kritis dan Objektif Konsep Pendidikan Islam perspektif K.H. Ahmad Dahlan
Penilaian Kritis dan Objektif Konsep Pendidikan Islam perspektif K.H. Hasyim Asy’ari
Komparasi Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
Sintesa Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
Implikasi Sintesa Terhadap Pendidikan Agama Islam Gambar 1. Prosedur atau sistematika penelitian
67
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Biografi K.H. Ahmad Dahlan 1. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan “Jangan kamu anggap urusan kecil, Muhammadiyah adalah besar. Inilah pesanku…” (Pesan terakhir K.H. Ahmad Dahlan. Disampaikan oleh istrinya, Nyai Ahmad Dahlan, dihadapan pertemuan para konsul daerah Muhammadiyah di Yogyakarta, 18 Agustus 1945). Peran gerakan organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia memang tidak bias dikatakan tidak penting. Melalui tridimensi gerakannya (keislaman, dakwah, dan pembaharuan) yang masyhur itu, Muhammadiyah terbukti mampu menyentuh semua bidang kehidupan. Muhammadiyah pun mendapat simpati banyak orang, dan tidak heran jika ormas ini untuk selanjutnya mendulang jumlah anggota yang selalu menunjukkan grafik naik pada tiap tahunnya. Namun
demikian,
tidak
lengkap
kiranya
jika
membicarakan
Muhammdiyah tanpa menyebutkan kontribusi yang telah dilakukan sosok pendirinya, K.H. Ahamad Dahlan, dalam mengawal keberlangsungan dan keberhasilan Muhammadiyah di pentas sejarah keindonesiaan. Utang bangsa terhadap peran K.H. Ahmad Dahlan dalam mengembangkan nilai-nilai keagamaan dalam upaya mengarahkan bangsa ini semakin terbuka, demokratis, sejahtera tanpa meninggalkan jatidiri pluralitas bangsa Indonesia, adalah untang yang tidak terbayarkan.
68
Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang Muhammad Darwis di Kauman, sebuah kampung disebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta, maka sejarah pemikiran Islam di Indonesia tidak akan seperti sekarang. Kauman menjadi nama besar sebagai kampung kelahiran K.H. Ahmad Dahlan alias Muhammad Darwis, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.60 Atas perenungan yang cukup banyak atas segala aktivitas beragama yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, diantaranya banyak ditemui masyarakat Islam yang melakukan praktik takhayul, bid’ah, dan khurafat, maka Dahlan
memeranginya.
Untuk
mempermudah
jalannya,
dia
mendirikan
Muhammadiyah. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaharui pemahaman keislaman, khususnya di Indonesia. Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1869. Kauman adalah sebuah kampung di jantung kota Yogyakarta yang berusia hampir sama tuanya dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kampung Kauman pada zaman kerajaan merupakan tempat bagi sembilan khatib atau penghulu yang ditugaskan Keraton untuk membawahi urusan agama. Sejak ratusan tahun lampau, kampung ini memiliki peran besar dalam gerakan keagamaan Islam. Di masa perjuangan kemerdekaan, kampung ini menjadi tempat berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan yang menjadi pendiri gerakan tersebut merasa prihatin karena banyak warga yang terjebak dalam hal-hal mistik.61 Bisa dikatakan bahwa Kauman merupakan salah satu sentral ritus keagamaan. Dimana pada masa-masa kemerdekaan Persyarikatan Muhammadiyah 60
Adi Nugroho, KH. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923, (Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010), hlm. 9. 61 Ibid, hlm. 13-14.
69
didirikan. Itu artinya, kauman sebagai basic kaderisasi dan pemantapan serta ideologisasi nilai-nilai Islam kepada masyarakat setempat. Karena pada waktu itu era penjajahan merajalela. K.H. Ahmad Dahlan adalah putra K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman, seorang khotib tetap di Masjid Agung. Ketika lahir, Abu Bakar memberi putranya itu dengan nama Muhammad Darwis. Darwis merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang semua saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Lima perempuan saudara Darwis semuanya bersuami. Putri sulung menikah dengan K.H. Khatib Arum di Kauman. Putri kedua menikah dengan K.H. Muhsin dari Pasar Gede (Kotagede). Putri ketiga menikah dengan K.H. Muhammad Saleh. Anak keempat adalah K.H. Ahmad Dahlan sendiri. Putri kelima menikah dengan K.H. Muhammad Faqih, Kauman Yogyakarta. Dari putri bungsu menikah dengan K.H. Abdurrahman bin Abdullah dari Pakualaman. Sedangkan Ibunda Muhammad Darwis adalah Siti Aminah binti almarhum K.H. Ibrahim, Penghulu Besar di Yogyakarta.62 Dalam silsilah, Darwis termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali terkemuka di antara Wali Songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilsyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlulah
62
Ibid, hlm. 19.
70
(Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.63 Silsilah diatas ditegaskan kembali oleh Hery Sucipto dalam bukunya, yakni K.H. Ahmad Dahlan termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim. Jika dirunut silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribing (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadlo, K.H. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).64
Maulana Malik Ibrahim Maulana Ishaq Maulana ‘Ainul Yaqin Maulana Muhammad Fadlullah Maulana Sulaiman Ki Ageng G. Demang Djurung Djuru Sapisan Demang Djurung Djuru Kapindo Kyai Ilyas Kyai Murtadla K.H. Muhammad Sulaiman K.H. Abu Bakar K.H. Ahmad Dahlan
63
Ibid, hlm. 19-20. Hery Sucipto. K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), hlm. 50.
64
71
Ketika Darwis berumur 18 tahun, orang tuanya bermaksud menikahkannya dengan putri dari K.H. Muhammad Fadlil yang bernama Siti Walidah. Setelah orang tua dari kedua belah pihak berunding, maka pernikahan dilangsungkan pada bulan Dzulhijjah tahun 1889 dalam suasana yang tenang. Siti Walidah inilah yang kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, sosok pendiri Aisyiyah dan pahlawan nasional.65 Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.66 Setelah menikahi Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan pernah menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik K.H. Munawwir dari Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari pernikahannya dengan Nyai Aisyah (Adik Adjengan Penghulu) dari Cianjur. Anak laki-laki itu bernama Dandanah. K.H. Ahmad Dahlan bahkan pernah menikah dengan Nyai Yasin dari Pakualaman.67 2. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan Darwis mengawali pendidikan di pangkuan ayahnya di rumah sendiri. Darwis mempunyai sifat yang baik, berbudi pekerti halus, dan berhati lunak, tetapi juga berwatak cerdas. Sejak usia balita, kedua orang tua Darwis sudah memberikan pendidikan agama. Sejak kecil Muhammad Darwis diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Disamping itu, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan 65
Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 20-21. http://udhiexz.wordpress.com/2009/04/25/pemikiran-kh-ahmad-dahlan/ 67 Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 22. 66
72
kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwis. Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui
Muhammadiyah.
Bertujuan
untuk
memperbaharui
pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan
kebekuan
ajaran
Islam,
serta
stagnasi
dan
dekadensi
(keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur' an dan al-Hadits.68 Bisa dikatakan, bahwa sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukan bahwa rasa keagamaan K.H. Ahmad Dahlan tidak berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya. Ketika berusia delapan tahun, Darwis sudah bisa membaca Al-Quran dengan lancar sampai khatam. Darwis juga bisa mempengaruhi tema-teman
68
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/ahmad-dahlan/index.html
73
sepermainannya dan menang dalam jenis-jenis permainan bersama temantemannya. Sejak kecil, Darwis hidup dalam lingkungan yang tenteram dan masyarakat yang sejahtera. Dia selalu hidup berdampingan dengan kedua orang tua, kerabat, dan alim ulama yang menyejukan. Tidak heran jika Darwis mempunyai budi pekerti yang baik dan akhlak yang suci.69 Model pembelajaran homeschooling sesungguhnya bukan hal baru dalam dunia pendidikan, karena banyak orang besar di negeri ini justru mendapatkan ilmu bukan dari proses pendidikan formal di bangku sekolah. Demikian pula yang terjadi pada K.H. Ahmad Dahlan. Dalam didikan ayahnya dan ditambah lingkungan yang mendukung, kepiawaian dan potensi dasar yang dimiliki oleh K.H. Ahmad Dahlan muncul dengan sendirinya sehingga terbentuklah pribadi muslim Indonesia yang memiliki wawasan keilmuan yang luas dan memiliki kedalaman spirirual dan keagungan akhlak yang menjadikan beliau disegani oleh teman-teman sebayanya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya.70 Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang
69 70
Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 20. http://udhiexz.wordpress.com/2009/04/25/pemikiran-kh-ahmad-dahlan/, Op.cit.
74
tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya. Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu. Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak-anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan
75
semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.71 Dan karena keuletan serta kesungguhan dalam belajar agama, sosok K.H. Ahmad Dahlan pada waktu itu dikenal sebagai seorang ulama oleh kiai-kiai lain. Hal ini disebabkan karena seorang Ahmad Dahlan tidak pernah merasa puas dengan hanya belajar dari satu guru. Berbagai guru dari beragam disiplin ilmu sudah dia temui, sebagaimana yang sudah disebutkan diatas. Penjelasan diatas menerangkan bahwa, pada seumuran beliau waktu itu, K.H. Ahmad Dahlan terkenal memiliki pemikiran yang cerdas dan bebas. Memeiliki akal budi yang baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan dibawa dalam perenunganperenungan,
ingin
dilaksanakan
dengan
sebaik-baiknya.
Disinilah
yang
menentukan K.H. Ahmad Dahlan sebagai subyek yang nantinya mendorong berdirinya Muhammadiyah. Jiwa agamanya bukan hanya berdasar semangat tetapi juga berdasar ilmu dan pendidikan. Agama diterima dengan pemikiran yang sungguh-sungguh dengan hati yang sebenar-benarnya. Sehingga lahir dan batin diri K.H. Ahmad Dahlan itu betul-betul merupakan penghayatan agama. 3. Detik-detik Kepergian K.H. Ahmad Dahlan K.H. Ahmad Dahlan tergolong orang yang tidak mengenal kata lelah. Aktivitas yang begitu padat, mulai dari tanggung jawab sebagai seorang suami, ayah dari beberapa anaknya, ulama panutan masyarakat, sampai penjadi pejuang bangsa dan negara yang melakukan perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan
71
Ibid, http://udhiexz.wordpress.com/2009/04/25/pemikiran-kh-ahmad-dahlan/
76
yang sesungguhnya menjadi sebuah keseharian yang beliau lakukan. Sampaisampai beliau sendiri hampir melupakan bahwa dirinya adalah manusia biasa yang membutuhkan istirahat. Kecintaannya terhadap agama, bangsa dan negara mengalahkan segalanya, sampai-sampai pada awal tahun 1923, kesehatan K.H. Ahmad Dahlan mulai sering terganggu. Selama dua bulan K.H. Ahmad Dahlan beristirahat di Tretes, dengan harapan agar kesehatan beliau kembali pulih, karena pelaksanaan rapat tahunan Muhammadiyah akan segera di gelar. Akan tetapi kondisinya justru kian parah. Badannya semakin kurus, kakinya membengkak. Hanya roman wajahnya yang berseri-seri. Melihat kondisi seperti itu, keluarga K.H. Ahmad Dahlan terkejut dengan kesehatannya, maka sejak saat itu K.H. Ahmad Dahlan lebih banyak beristirahat, dan adik iparnya yaitu K.H. Ibrahim selalu menemani dan melayani kebutuhan sehari-hari. Dalam kesempatan ini pula Nyai Ahmad Dahlan juga mencemaskan kesehatan suaminya. Ia khawatir K.H. Ahmad Dahlan akan meninggal dunia dalam waktu dekat dan meninggalkan Muhammadiyah untuk selamanya.72 Akhirnya, pada Jum’at malam, 7 Rajab tahun 134 Hijriyah, K.H. Ahmad Dahlan menghembuskan nafas terakhir di hadapan keluarganya. Kemudian jenazah K.H. Ahmad Dahlan dimandikan pada malam itu juga oleh anggota keluarganya, setelah itu Jenazah itu ditempatkan di suarau milik keluarga Dahlan. Shalat jenazah pun dilaksanakan dan dipimpin oleh K.H. Lurah Nur, kakak ipar
72
Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 45.
77
K.H. Ahmad Dahlan. Jenazah kemudian diberangkatkan menuju makam Karangkajen melalui Jalan Gerjen, Ngabean, dan Gondomanan.73 Pada satu catatan sejarah, K.H. Ahmad Dahlan pernah berwasiat pada K.H. Ibrahim: “ Him, agama Islam itu aku misalkan gayung yang sudah rusak pegangannya dan rusak pula kalengnya karena dimakan karat sehingga tidak dapat digunakan pula sebagi gayung. Umat Islam memerlukan gayung tersebut, tetapi tidak bisa dipakai karena sudah rusak. Aku tidak mempunyai alat untuk memperbaikinya. Para tetangga dan kawan di sekitarkulah yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak mengetahui dan tidak menggunakannya untuk memperbaiki gayung yang dibutuhkan itu. Maka, aku perlu meminjam untuk memperbaikinya. Siapakah tetangga dan kawan-kawan yang ada disekitarku itu? Mereka adalah kaum cerdik, pandai dan orang-orang terpelajar yang tidak memahami agama Islam. Padahal mereka pada dasarnya merasa dan mengakui bahwa pribadinya adalah Muslim. Banyak dari mereka adalah Muslimin, bahkan ada yang merupakan keturunan serta kiai terkemuka. Tetapi, karena mereka melihat keadaan umat Islam pada umumnya sedang berada dalam keadaan krisis dalam segala hal, mereka tidak ingin menjadi umat yang bobrok. Oleh karena itu, dekatilah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya sehingga mereka mengenal kita dan kita mengenal mereka sehingga perkenalan kita bertimbal balik, sama-sama memberi dan sama-sama menerima.” Wasiat inilah yang dijadikan pegangan oleh wakil-wakil dari cabang Muhammadiyah di Jawa Barat dan Jawa Timur mengadakan perundingan bersama para pengurus
73
Ibid, hlm. 47.
78
Muhammadiyah cabang Yogyakarta untuk membahas susunan kepengurusan Muhammadiyah. Hasilnya, mereka bersepakat perlunya pengurus ad interim sebagai Wakil Ketua Muhammadiyah yang bertugas menjalankan kepemimpinan Muhammadiyah sampai tiba waktunya rapat tahunan yang akan datang. Wakil ad interim itu adalah K.H. Ibrahim.74 B. Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan Sebelum memasuki pembahasan mengenai pandangan K.H. Ahmad Dahlan terhadap pendidikan, perlu kiranya sedikit menengok sejarah panjang yang melatarbelakangi terbentuknya ide dan gagasan dari para tokoh pejuang dan guru bangsa kita. Kegelisahan para tokoh pendidikan semisal K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari dan lainnya merupakan bentuk jawaban dari ketidakpuasan mereka terhadap kondisi bangsa yang terjajah. Secara umum, pendidikan Islam pada masa penjajahan dapat dipetakan dalam dua periode besar; masa penjajahan Belanda dan pada masa penjajahan Jepang. Sebagaimana diketahuai pada abad 17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Dan pada masa ini kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Pendidikan diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja muda terlatih dari kalangan penduduk pribumi. Pada masa pemerintahan Daendels, pihak penjajah beranggapan bahwa sekolah-sekolah pemerintah tidak banyak memberikan manfaat bagi kepentingan
74
Ibid, hlm. 48.
79
penjajah. Bahkan menurutnya Mohammedaans gods dienst onderwys tidak perlu diadakan, karena hanya merupakan alat meninggikan akhlak rakyat saja dan dianggap sumber semangat perjuangan rakyat. Untuk itu, diadakanlah peraturan umum yang mengatur tentang persekolahan (Sbtl. 1818 No.4) yang diantaranya berisi mengenai larangan memberikan pelajaran dalam kelas tanpa izin dari Gubernur Jendral.75 Akan tetapi, dalam praktek kesehariannya lembaga pendidikan ini pada dasarnya memperoleh dukungan dan bantuan dari pemerintah penjajah. Sehingga dalam proses pembelajarannya berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para penjajah. Diman mereka menyiapkan amunisi muda berbakat sebagai pegawai dan budak penjajah. Sementara lembaga pendidikan Islam, yakni pesantren dianaktirikan oleh mereka dan tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari penjajah, karena dipandang sebagai tempat untuk memupuk semangat juang untuk memperoleh kemerdekaan. Oleh karena hal itu, kegiatan di lembaga pendidikan Islam dirasa menjadi ancaman bagi para penjajah pada saat berkuasa di Indonesia. Walaupun demikian, lembaga pendidikan Islam tetap bertahan bahkan semakin menunjukan eksistensinya. Terbukti pada awal abad 17, di pulau jawa terdapat pesantren Sunan Malik Ibrahim di Gresik, selanjutnya Sunan Bonang di Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti dan sebagainya. Kemudian pada pertengahan abad 17, juga dapat diketahui dan dikenal tokohtokoh daro Sumatra Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani (1693), Nuruddin 75
Hery Sucipto. K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), hlm. 104-105.
80
Arraniri (1658), Abdurrauf Singkil (1693) dan S. Burhanuddin (1693) di Sumatera Tengah. Tidak hanya itu, pondok pesantren juga saat itu mulai menyebar di daerah Madura, Lombok, Sulawesi, Ternate dan lainnya.76 Paragraf diatas menggambarkan bahwa meskipun pada waktu penjajah mendominasi Indonesia, akan tetapi berkat kegigihan dan semangat untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Islam di bumi pertiwi, maka mereka tetap mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, yang meskipun pada prakteknya pesantren tersebut tidak mendapatkan respon dan bahwan dianaktirikan oleh pemerintah penjajah dengan alibi akan mempersempit ruang gerak mereka dalam menguasai bangsa Indonesia. Meskipun demikian pondok pesantren tersebut kian lama kian meningkat di beberapa daerah yang sudah disebutkan diatas. Secara umum sistem dan prinsip pendidikan yang digunakan dalam lembaga pendidikan pada masa VOC terdiri dari: 1. Pendidikan Dasar 2. Sekolah Latin 3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari) 4. Academieder Marine (Akademi Pelayanan) 5. Sekolah Cina 6. Pendidikan Islam Adapun prinsip yang digunakan oleh pemerintah Belanda yang diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu.
76
Ibid, hlm. 105-106.
81
2. Memerhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial. 3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa. 4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melhirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.77 Sangat terlihat jelas bahwa pendidikan yang digawangi oleh pemerintahan Belanda lebih bercorak politis. Dimana output yang dikehendaki adalah sebagai pekerja yang siap mengabdikan dirinya pada pemerintah Belanda yang pada akhirnya tidak memberikan peluang kepada masyarakat Indonesia untuk menikmati pendidikan pada masa itu. Disamping itu, pendidikan yang di tanamkan oleh pemerintah Belanda bersifat elitis, dimana masyarakta yang tingkat perekonomiannya pada taraf menengah kebawah tidak diperbolehkan masuk dalam lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya adalah pendidikan pada masa penjajahan Jepang. Jika melihat realitas yang terjadi pada masa penjajahan Belanda, maka itu sangat berbeda pada masa penjajahan Jepang. Menurut sejarahnya, Jepang pada masa itu sedang dihadapkan pada usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan dirinya untuk mendekati umat Islam. bahwa dapat dikatakan kedudukan Jepang di Indonesia sangat bergantung pada bantuan umat Islam dalam menghadapi luasnya
77
Ibid, hlm. 106.
82
daerah yang telah diduduki oleh sekutu dan antara umat Islam dan Jepang mempunyai kepentingan yang sama yaitu menghadapi penjajahan Barat. Pendidika Islam pada masa penjajahan Jepang dimulai pada tahun 19421945 yang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait bidang pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan dalam upaya menggantikan bahasa Belanda. 2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.78 Secara kasab mata, kebijakan diatas merupakan kebijakan yang menguntungkan bangsa Indonesia. Karena tidak disadari bahwa pada waktu itu keberadaan bangsa Indonesia sudah diakui oleh Jepang dengan terbukti sekuruh lembaga
pendidikan
yang
dalam
naungan
pemerintahan
Jepang
harus
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidik. Kemudian tidak ada diskriminasi pendidikan, dimana seluruh masyarakat (baik yang miskin maupun yang kaya) Indonesia di perbolehkan mengikut atau mengenyam pendidikan. Akan tetapi, penjajah tetaplah penjajah. Tanpa disadari oleh bangsa Indonesia, bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jepang pada waktu itu adalah sebuah bentuk desain politik. Dimana pada masa itu, Jepang dalam usaha memenangkan peperangan dengan penjajah Barat. Oleh karena itu, mereka
78
Ibid, hlm. 107.
83
memanfaatkan masyarakat dengan memberikan kebijakan yang berpihak pada mereka, agar masyarakat Indonesia memberikan simpatinya dan bahkan rela bekerja sama dalam rangka melawan penjajah Barat. Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan anatara lain: 1. Mengubah kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. 2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pemerintah Jepang. 3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran dabgi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin. 4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta. 5. Mengizinkan kepada ulama dan nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan. 6. Mengizinkan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan kemudian diganti dengan Majlis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas Islam Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama.79
79
Ibid, hlm. 108.
84
Terlepas dari tujuan semula (bekerja sama untuk mengalahkan penjajahan Barat), pemerintah Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas pemuda Islam pada waktu itu, sehingga dapat dilihat perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapai kemerdekaan. Namun apapun yang melatarbelakanginya, sesungguhnya kaum penjajah itu sama saja, baik itu pada masa penjajah Portugis, Inggris, Belanda, atau Jepang, pada intinya mereka tidak senang pendidikan Islam berkembang pada masa pemerintahan mereka. Hal ini terbukti, pada akhir abad ke 19, pernah beberapa kali mengusulkan pondok pesantren dapat dijadikan sebagai model pendidikan untuk seluruh penduduk Bumi Putera, akan tetapi usulan tersebut ditolak oleh pemerintahan Belanda. Padahal, selama ini pondok pesantren secara finansial mampu ditopang secara mandiri kaum muslimin dan tidak pernah meminta bantuan dari pemerintah penjajah. Logikanya, keberadaan pondok pesantren selama ini tidak memberatkan dan merepotkan mereka, namun karena didasari rasa kekhawatiran kalua pesantren akan berkembang pesat, justru akan menjadi kekuatan perlawanan terhadap kaum penjajah, sehingga posisinya terancam, maka hal itu tidak diluluskan oleh pemerintah Jepang. Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat
85
Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi dunia secara realitis. 1. Definisi Pendidikan Islam Dunia pendidikan juga ternyata diracuni oleh penjajah demi kepentingan pribadi dan kelangsungan hidup mereka di bumi pertiwi. Berangkat dari keprihatinan itulah yang mendorong perjuangan melalui bidang pendidikan yang menjadi perhatian serius para tokoh-tokoh pejuang bangsa ini. Karena hanya dengan pendidikanlah bangsa ini bisa maju dan terbebas dari cengkraman kaum imperialisme. Hal inilah di antara menjadi salah satu sebab yang melatarbelakangi perlunya didirikan lembaga-lembaga pendidikan melalui wadah organisasi Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan. Melihat realitas pendidikan Islam yang saat itu dikuasai oleh kaum penjajah, maka pada akhir abad 20, ketika banyak kaum cendikia muslim dari Indonesia yang belajar di Timur Tengah, dan ada juga yang melakukan ibadah haji ke Mekkah yang kemudian bermukim di sana dalam kurun waktu yang lama, merasa tergugah untuk melakukan perubahan dan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang pendidikan. Mereka manyadari bahwa pendidikan yang dibangun oleh kaum penjajah sama sekali tidak menguntungkan umat Islam khususnya dan warga pribumi pada umumnya. Bahkan menimbulkan dampak terjadinya dikotomi ilmu dan kastanisasi dalam dunia pendidikan. Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi sosial tersebut, dan telaah terhadap ajaran Islam serta pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan Islam Timur Tengah seperti Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Ibn Taiymiyah, Syekh
86
Muhammad Abduh Rasyid Ridho dan lain-lain, serta didorong oleh teman-teman dari Budi Utomo, maka
K.H.
Ahmad Dahlan
mendirikan
organisasi
Muhammadiyah. Melalui lembaga inilah beliau melaksanakan ide pembaharuan di segala bidang terutama bidang pendidikan. Sebab menurut K.H. Ahmad Dahlan agama Islam tidak akan bisa tegak tanpa diperjuangkan melalui organisasi yang rapi. Demikian pula untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda, harus dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui lembaga pendidikan. Itulah sebabnya gerakan Muhammadiyah pada awal kelahirannya memprioritaskan kegiatannya pada bidang pendidikan.80 Keterangan
diatas adalah
sebuah
bentuk
sensitifitas sosial
dan
keperihatinan yang mendalam dari para cendikiawan muslim yang melihat kondisi pendidikan di Indonesia. Pada hakikatnya mereka menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu tiang yang sangat penting untuk di perhatikan dengan serius dan serta dikembangkan dengan maksimal. Karena hanya dengan pendidikanlah martabat bangsa Indonesia akan dapat kembali. Oleh karena itu, K.H. Ahmad Dahlan hadir di tengah-tengah keterpurukan pendidikan di Indonesia. Beliau datang dengan segudang pemahaman tentang agama, sosial, dan juga tentang ilmu pendidikan. Dengan rasa ikhlas dan penuh dengan pengabdian kepada bangsa Indonesia, beliau mencoba memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan. Di bawah ini akan sedik banyak akan diulas tentang pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan.
80
http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html
87
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan adalah upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis.81 Definisi tersebut sudah sangatlah jelas, bahwa kedatangan K.H. Ahmad Dahlan membawa perubahan dan pembahuran dalam pemikiran masyarakat pada waktu itu, dimana pola pikir masyarakat pada saat penjajah Belanda dan Jepang menguasai Indonesia, pola pikir mereka statis dan sulit untuk berkembang. Karena diakui atau tidak, itu semua adalah rekayasa yang dibuat oleh para penjajah agar masyarakat Indonesia tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkan oleh penjajah, seperti perlawanan, dll. Kondisi yang dimaksudkan diatas diperjelas oleh Ramayulis dan Samsul Nizar, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan(stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX.82
81
Dr. H. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan historis, teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hlm. 100. 82 http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html
88
Kemudian, karena adanya spesifikasi kata Islam yang diinginkan dalam pembahasan ini, maka definisi yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan tidaklah boleh keluar dari kaidah-kaidah Islam. dengan demikian dapat ditarik dalam sebuah kesimpulan. Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola pikir yang statis menuju pola pikir yang dinamis dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai yang sudah termaktub dalam syariat Islam. 2. Tujuan Pendidikan Islam Dari definisi pendidikan Islam yang sudah dikemukakan pada paragraf sebelumnya, maka dapat dideskripsikan tentang beberapa tujuan yang dinginkan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Karena dengan mendeskripsikan beberapa tujuan pendidikan Islam, maka dapat diketahui output yang sebenarnya diinginkan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Pemikiran Ahmad Dahlan yang sudah dipaparkan diatas, merupakan respon
pragmatis
terhadap
kondisi
ekonomi
umat
Islam
yang
tidak
menguntungkan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dibawah kolonial Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memiliki akses kepada sektor-sektor pemerintahan dan perusahan-perusahan swasta. Kondisi yang demikian itu menjadi perhatian oleh K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha memperbaiki sistem pendidikan Islam. Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
89
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.83 Ungkapan diatas sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Adi Nugroho, bahwa cita-cita atau tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia yang baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seseorang Muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan ruhani.84 Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus memiliki kepribadian Al-Qur an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan mengenai pentingnya pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang 83 84
http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 137.
90
berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur an dan Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Al-Qur an dan Hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi. Berangkat dari pandangan di atas, sesungguhnya Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilakasanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif. Dari uraian di atas, nyatalah bahwa Ahmad Dahlan benar-benar seorang pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan. Pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan telah menjangkau pola pemikiran moderen sekarang ini. Misalnya dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya, kemudian memperkokoh kepribadian intelek ulama. Hal ini sesuai dengan pole pengembangan pendidikan mutaakhir yang meletakkan tiga validitas. Pertama validitas luar, yaitu sejaumana produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan pangsa pasar, kedua, validitas dalam yang menyangkut dengan proses pembelajaran yang berkaitan dengan penyempurnaan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ketiga, pembentukan kepribadian yang kokoh yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam.
91
Dari situ, nampaklah sekali bahwa langkah-langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan, dengan merintis lembaga pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. gagasan pendidikan yang dipelopori K.H. Ahmad Dahlan, merupakan perubahan dan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek nilai-nila agama dan pengetahuan umum, iman dan kemajuan teknologi, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya. 3. Dasar Pendidikan Islam Dalam setiap ucapan, prilaku atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia hendaknya mempunyai dasan ataupun landasan yang memperkuan dari setiap ucapan, prilaku dan kegiatan yang dilakukannya. Karena dengan dasar atau landasan itulah ucapan, prilaku dan kegiatan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam memahami agama, K.H. Ahmad Dahlan selalu berpegang pada prinsip Al-Qur’an dan al-Sunna serta akal yang sehat sesuai dengan jiwa agama Islam. karena hanya dengan itulah nilai-nilai Islam akan termanifestasi dalam kegiatan dalam setiap kehidupan manusia. Dengan berlandaskan pada prinsip pemahaman agama tersebut, maka akan dapat menimbulkan kesadaran yang berupa kayakinan dan cita-cita yang terpancar dari diri K.H. Ahmad Dahlan, sebagaimana yang ditulis Mohammad Riezam sebagai berikut: 1.
Ajaran agama Islam yang sumbernya Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu risalah (pesan pengarahan) Allah pada manusia.
92
2.
Ajaran agama Islam sebagaimana yang tersebut diatas harus diamalkan dalam arti dan proporsi yang sebenarnya.85
Dari penjelasan diatas, maka untuk dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam arti dan proporsi yang sebenarnya, orang-orang Islam harus dibina, baik secara individu maupun secara kolektif dan kemudian digerakkan dan diorganisir serta dipimpin untuk mengamalkan ajaran agama yang dimaksud dan memperjuangkan dengan semangat jihad kaffah. Dalam hal ini wadah yang paling representatif dan memungkinkan hal-hal yang diatas dapat tercapai adalah melalui lembaga pendidikan. Karena didalamnya terdapat proses pembinaan untuk menjadi insan yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan didasari dengan nilainilai ajaran agama Islam. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diletakkan pada skala prioritas dalam proses pembangunan umat. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajemukan umat Islam adalah dengan kembali kepada Al-Qur’an dan AlSunnah, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehingga peradaban Islam akan terus berkembang dan akan tetap dipandang oleh negara-negara lain. Mengenai pelaksanaan pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan memberikan keterangan, bahwa pendidikan Islam hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada 85
Abdul Munir Mulkhan, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Dalam Perspektif Perubahan Sosial,(Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 42.
93
dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitusebagai `abd Allah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al-`aql. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yana harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptannya.86 Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesata, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat alQur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi alQur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia. Hala in disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad. Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi
86
Hery Sucipto, Op.cit, hlm. 120.
94
pengembangan ke semua dimensi tersebut. Pengemabangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu. Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan hadis, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potenmsi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu dan nafs. Prinsip Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang dipegang teguh oleh K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya terlihat dalam dunia pendidikan, akan tetapi juga terlihat dalam kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Sebagaimana yang dikemukakan olehnya, ajaran Islam tidak akan pernah membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali dipraktikan. Betapapun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika tidak dipraktikan, tidak akan bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, K.H. Ahmad Dahlan dengan mencoba mengelaborasikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan langsung mempraktikan dalam alam nyata dari hasil pemahan dari sebuah
95
ayat tersebut. Praktik amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang tersebut dalam surah Al-Ma’un ayat 1-3, yang secara tegas memberikan peringatan kepada kaum Muslimin agara mereka menyanyangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin. Maka dengan berlandaskan itu, K.H. Ahmad Dahlan membentuk rumah-rumah yatim dan menampung orang-orang miskin.
& $%$% $#
*
"
"
) '(#
!!
0 ./
- ' ", %%&+
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1), Itulah orang yang menghardik anak yatim (2), Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin (3).(Q.S. Al-Maa’un: 1-3).87 Kemudian ketika menerapkan Al-Qur’an surat Asy- Syu’araa’ ayat 80, yang mengatakan bahwa Allah menyembuhkan sakit seseorang, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan balai kesehatan masyarakat atau rumah sakit. Lembaga ini didirikan tidak hanya memberikan perawatan pada masyarakat umum, akan tetapi juga memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, dan juga untuk memberikan penyuluhan.
87
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.1108.
96
34 '/* 2 1"
)
(
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku. (Q.S. Asy’ Syu’araa’: 80).88 Sedangkan amal nyata yang diterapkan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang terinspirasi dari ayat Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1 yang memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pendidikan, akan ada upaya pemberantasan buta huruf.
) 6,
& $+
5
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,(Q.S. Al‘Alaq: 1).89 Dari penjelasan diatas, jelaslah sudah bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah sosok yang mampu mengkolaborasikan antara perintah yang tertuang dalam teks Al-Qur’an dengan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sosial dalam upaya untuk memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakat agar mencapai peradaban umat manusia saat ini. Pada hakikatnya, K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti dalam tataran yang sudah disampaikan diatas, beliau mencurahkan sebagian hidupnya untuk memikirkan bagaimana pendidikan yang ideal yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Akan tetapi hanya rangkaian inilah, pembahasa pemikiran K.H. Ahmad 88 89
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.579. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.1079.
97
Dahlan tentang pendidikan Islam yang bias disampaikan dan hanya dibatasi beberapa dimensi-dimensi pendidikan, yakni definisi, tujuan, dan dasar pendidikan Islam. C. Biografi K.H. Hasyim Asy’ari 1. Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’sri “Lembaga-lembaga pendidikan agama sepi, penghuninya yang tinggal palingpaling sekitar sepuluh persen dibanding tahun-tahun yang lalu. Sedangkan sekolah-sekolah Islam (madrasah) banyak yang gulung tikar disebabkan oleh sedikitnya animo masyarakat dan sulitnya mencari orang-orang yang betul-betul punya tanggung jawab dan kepedulian yang besar untuk menghidupkannya kembali.” (K.H. Hayim Asy’ari: Naskah Pidato Pembukaan Muktamar XVII, Madiun 1947) Ada kelakar dari aktivis NU yang bergerak dalam bidang politik praktis, bahwasannya Pangeran Diponegoro berjuang habis-habisan melawan Belanda sampai akhir hayatnya berawal dari upaya membela makam leluhurnya yang terkena proyek pembangunan rel kereta api penjajah. Sementara itu, NU lahir dari polemik gerakan wahabi di Timur Tengah yang sedang gencar mengkampanyekan peminggiran situs-situs bersejarah Islam, seperti ziarah ke makam para aulia, wali, dan kiai dengan dalih pemurnian ajaran Islam. Jadi, NU dan Pangeran Diponegoro sebenarnya sama, yaitu sama-sama membela makam leluhur.90 Pembicaraan NU tanpa K.H. Hasyim Asy’ari adalah bentuk pencurian secara terang-terangan tanpa malu. Hal ini disebabkan karenasalah satu pendiri lahirnya NU pada 1926 adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Tujuan organisasi ini adalah ingin menempatkan tradisi dan nilai-nilai keislaman yang muncul dan berkembang di Indonesia sejajar dengan khazanah keislaman Timur Tengah dan 90
Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari : Biografi Singkat 1871-1947, (Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010), hlm. 11.
98
tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Oleh sebab itu, Islam yang dibawa adalah yang menghormati adat istiadat dan tradisi masyarakat lokal tanpa menghilangkan identitas satu sama lain. Kehidupan K.H. Hasyim Asy’sri mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata sederhana, “Dari pesantren kembali ke pesantren”. Ia dibesarkan di lingkungan pesantren. Kemudian selama tujuh tahun di Mekkah melakukan ibadah haji dan belajar di lingkungan seperti pesantren yaitu Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Nabawi, dia kembali ke Nusantara untuk mendirikan pesantren sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktunya mengajar para santri di pesantren. Diberi nama Muhammad Hasyim oleh orang tuanya, beliau lahir dari keluarga elite kyai Jawa pada 24 Dzul Qo’dah 1287/ 14 Februari 1871 di desa Gedang, sekitar dua kilometer sebelah timur Jombang, K.H.M. Hasim Asy’ari adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Hasyim Asy’sri bin Abdul Wahid bin Abdul Halim, yang mempunyai gelar pangeran Bona, bin Abdul Rohman Rahman, yang dikenal sebagai Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo, bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatih bin Maulana Ishaq, dari Raden ‘Ain Al-Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri. Sedangkan menurut Akarhanaf menyebutkan didalam bukunya bahwa garis silsilah dari ibu adalah sebagai berikut: Muhammad Hasyim Asy’ari bin Halimah binti Layyinah binti Sichah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin
99
Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir (Mas Karebet) bin Prabu Brawijaya VII (Lembu Peteng), Raja Majapahit Terakhir bin Prabu Brawijaya VI.91 Silsilah dari Ayah
Silsilah dari Ibu
Sunan Giri
Prabu Brawijaya VI
Maulana Ishaq
Prabu Brawijaya VII
Abdul Fatih
Jaka Tingkir
Abdul Aziz
Pangeran Benawa
Abdullah
Pangeran Sambo
Abdul Rohman Rahman
Ahmad
Abdul Halim
Abdul Jabar
Abdul Wahid
Sichah
Muhammad Asy’ari
Laiyinah
K.H. Hasyim Asy’ari
Halimah
K.H. Hasyim Asy’ari Gambar 3: Silsilah K.H. Hasyim Asy’ari
91
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 14-15.
100
Ibunya, Halimah adalah putri dari Kiai Utsman, guru ayah KH. Hasyim Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi, ayah KH. Hasyim Asy’ari adalah santri pandai yang mondok di Kiai Utsman, hingga akhirnya karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara Kiai Ustman sendiri adalah Kiai terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19. KH. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sebelas bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.92 Dari silsilah diatas, dapat dikatakan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari adalah tokoh besar yang berasal dari dua golongan yang sangat dihormati dalam sejarah tanah Jawa. Yakni nasab beliau adalah merupakan campuran dua darah atau trah, satunya darah putih, kalangan tokoh agama, kyai, santri, sedangkan satunya adalah darah biru, ningrat, priyayi, keraton. Tanda-tanda kebesaran K.H. Hasyim Asy’ari, dari buku “Tentang Sejar Hidup K.H. A Wahid Hasyim,” sebenarnya sudah terlihat pada waktu beliau di dalam kandungan. K.H Muhammad Hasyim Asy’ari telah menunjukkan keanehan-keanehan dan keajaiban sejak dalam kandungan. Kono, di awal kandungannya, ibunya bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit dan tepat menimpa perutnya. Dan tidak hanya keajaiban dan keanehan itu, tapi keanehan yang lainnya adalah lamanya mengandung sang ibu, yaitu selama 14 bulan. Dalam pandangan masyarakat Jawa, kehamilan yang sangat panjang mengindikasikan kecemerlangan sang bayi di masa depan. Bisa dikatakan bahwa 92
H. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 119.
101
penggodokan keilmuannya dalam kandungan lebih lama dibandingkan dengan yang lainnya, umumnya hanya sekitar 9 bulan. Apalagi, di masa 14 bulanan tersebut, ibunya sering melakukan puasa dan rajin melakukan ibadah shalat malam dan berdzikir kepada Tuhan.93 Kemudian, pada waktu K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan, para bidan yang merawat kelahiran itu juga melihat keanehan pada jabang bayi tersebut. Begitu pula dikatakan oleh neneknya, Winih, yang turut hadir menyaksikan kelahiran itu, bahwa selama ia menjadi dukun beranak, belum pernah menghadapi suatu kelahiran sebagaimana yang dihadapi pada waktu itu. Neneknya melihat beberapa tanda keistimewaan pada bayi yang disambutnya, yang meyakinkan dirinya, bahwa anak itu kelak akan menjadi seseorang pemimpin, orang besar yang terkenal di zamannya. Tanda-tanda itu tampak kepadanya ketika ia memandang wajah anak itu, yang berlainan dengan wajah anak-anak yang pernah ditolongnya. Selang berjalannya waktu, Muhammad Hasyim Asy’ari kecil pun mulai berkembang. Sejak anak-anak K.H. Hasyim Asy’ari sudah menunjukkan bakat kepemimpinan dan kecerdasannya. Misalnya saja dalam permainan, jika ia melihat teman-temannya bermain kasar atau menyimpang dari peraturanperaturan yang berlaku dalam dunia kanak-kanak, maka dia tidak segan-segan menegur dan memperingatkan mereka. Ia menyatakan bahwa tindakan bermain curang itu tidak diperbolehkan karena kalau pelaku curang suatu saat akan dicurangi.94 93 Solichin Salam, K.H. Hasjim Asj’ari, Ulama Besar Indonesia, (Jakarta: Daja Murni, 1963), hlm. 22. 94 M. Ishom Hadiq, K.H.M. Hasyim Asy’ari: Figur Ulama dan Pejuang Sejati, (Jombang: Pustaka Warisan Islam Tebuireng, 2007), hlm. 46.
102
Sikap yang digambarkan diatas inilah yang membuat beliau disenangi oleh teman-temannya, sehingga teman-temannya sejak kecil banyak dan juga karena beliau melindungi teman sepermainannya yang teraniyaya dan mungkin tidak memiliki keberanian untuk melawan. Hal yang lebih disukai lagi oleh temanteman sepermainannya adalah teguran dan peringatan yang dilakukannya itu dengan lemah lembut, kata-kata yang manis, dan tingkah laku yang tidak menyakitkan hati. Ini menjadikan orang yang melakukan kesalahan tidak merasa tersudutkan dan sakit hati, malah justru akan timbul kesadaran dalam dirinya sendiri untuk memperbaikinya. Prilaku yang tertanam seak kecil ini tetap bertahan sampai akhir hayatnya. Hal ini menjadikan belaiu layak menjadi pemimpin yang kharismatik dengan keadilannya menegakkan hukum dan sikap antikekerasan dalam mengubah kejahatan menjadi kebaikan. Oleh sebab itu, tidak heran jika sejak kecil beliau dipatuhi oleh teman-teman sepermainannya dan di masa matangnya menjadi ulama tersohor dengan jutaan umat yang menghormatinya. Sifat dan karakter pemberani yang tidak pernah takut untuk membenarkan hal-hal yang beliau rasa salah dan mempunyai kecerdasan yang luar biasa inilah yang kelak menjadikannya beliau disukai oleh guru-gurunya, yang pada akhirnya, belay dinikahkan dengan putrid dari kyaikyai tersebut. Dalam catatan sejarah, riwyat hidup K.H. Hasyim Asy’ari pernah menikah sebanyak tujuh kali, diantaranya dengan Khadijah, putrid kyai Ya’qub Siwalan Panji, Nafisah, putrid kyai Ramli Kediri, Nyai Priangan di Makkah, Masrurah, saudara kyai Ilyas Kapurejo Kediri, Nafiqoh, putrid kyai Ilyas Sewulan Madiun.
103
Dari perkawinannya dengan Nyai Nafiqoh, putrid Wedana dari Madiun, K.H. Hasyim Asy’ari memperoleh 10 anak, yaitu: 1) Hannah, lahir dan meninggal tahun 1905. 2) Khairiyah, lahir tahun 1908, kemudian menikah dengan kyao Maksum Ali. 3) Aisyah, menikah dengan kyai Ahmad Badawi. 4) Ummu Abdul Haq, menikah dengan kyai Idris dari Cirebon. 5) Abdul Hawid Hasyim, lahir 1 Juni 1914, meninggal 15 April 1953. ia menjadi tangan kanan ayahnya yang kemudian menjadi pimpinan umat Islam dan beberapa kali menjadi Menteri Agama RI dan RIS. 6) Abdul Hafiz, lebih dikenal dengan kyai A. Khalik, lahir tahun 1917, adalah mantan angota konstituante dan menjadi pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. 7) Abdul Karim Hasyim, lahir tahun 1919, mantan dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya. 8) Ubaidillah, lahir dan meninggal tahun 1925. 9) Masrurah, lahir tahun 1926. 10) Yusuf Hasyim, lahir tahun 1929, mantan anggota DPR-RI dan PBNU (Pengurus Besar Nahdhatul Ulama). Sedangkan pada perkawinannya dengan Nyai Masrurah, Hasyim mempunyai empat anak, yaitu: Abdul Kadir, Fatimah, Khadijah, dan Ya’qub. Catatan lain dalam sejarah, konon Nyai Nafiqoh, istri kelima K.H. Hasyim Asy’ari adalah berasal dari keturunan Kyai Ageng Tarub yang berhubungan darah
104
dengan Kyai Ageng Pemanahan yang menjadi mubaligh Islam di Mataram, Yogyakarta. Ia adalah keturunan Panembahan Senopati Mataram. Akan tetapi, perlu diketahuai bahwa perkawinan K.H. Hasyim Asy’ari pada umumnya mempunyai latar belakang dakwah tersendiri dan dilakukan atas dasar ukhuwah Islamiyah yang bersifat cultural. Beliau beriktikad baik untuk mencontoh kehidupan Rosulullah Muhammad Saw. Atau mencontoh perjuangan Wali Songo dalam mengislamkan tanah Jawa. 2. Riwayat Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari Di dalam kehidupan manusia, masa kanak-kanak atau masa kecil dianggap sebagai masa bermain atau bersenang-senang sehingga pendidikan yang diberikan pada anak usia tersebut dilakukan sekadarnya. Artinya, pendidikan tersebut dilakukan tergantung pada keinginan si anak karena kalau dipaksakan, maka mereka menjadi mudah marah atau menangis. Para tokoh pendidikan modern menyatakan bahwa pendidikan masa anakanak adalah penting dilakukan dengan slogannya “bermain sambil bermain”. Ini digunakan untuk lebih mencerdaskan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Asumsinya, pendidikan modern tidak lagi berpedoman pada bakat alami atau tidak, akan tetapi menciptakan atau memunculkan bakat yang terpendam pada diri seorang anak. Namun, hal berbeda yang terjadi kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Sejak masih dalam usia kanak-kanak, bakat dan kepemimpinan dan kecerdasannya memang sudah tampak. Hal inilah yang dijadikan sebuah dasar oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam rangka memperkuat khazanah keilmuannya. Sebab ternyata tercatat
105
dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 12 tahun, KH. Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Serta di kemudian hari kita saksikan sepak terjang dan perjuangannya di berbagai bidang. Pada tahun 1876, ketika KH. Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun, ayahnya mendirikan pesantren di sebelah Selatan Jombang, suatu pengalaman yang di masa mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik. Suasana ini tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter KH. Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar. Minat bacanya sangat tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran dengan literatur-leteratur Islam, tetapi juga buku-buku lain dan umum. Dari lingkungan pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan awal tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ke-Islaman. Sebagaimana santri lain pada masanya, KH. Hasyim mengenyam pendidikan pesantren sejak usia dini. Sebelum beliau umur 6 tahun, Kiai Utsmanlah yang merawat dan mendidik beliau. Pada tahun 1876, KH. Hasyim harus meninggalkan kakeknya tercinta untuk mengikuti kedua orang tuanya ke Keras, sebuah desa di bagian selatan Jombang.
Hingga mencapai usianya 15 tahun, ayahnya
memberikannya dasar dasar-dasar Islam, khususnya membaca dan menghafal Al
106
Qur' an. KH. Hasyim adalah seorang santri yang cerdas, beliau selalu menguasai apa yang diajarkan ayahnya, dan selalu melakukan muthala' ah dengan membaca sendiri kitab-kitab yang belum pernah diajarkan oleh gurunya. Oleh karena alasan terakhir inilah, beliau mampu mengajar bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran agama pada tingkat dasar terhadap para santrinya terhadap para santri yang lain, ketika masih berusia 12 tahun, yakni pada tahun 1883.95 Di dalam bidang pendidikan, K.H. Hasyim Asy’ari terkenal memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan ilmu seluas-luasnya dan sebanyakbanyaknya. Beliau tidak gampang puas dengan ilmu yang sudah didapatnya dan guru yang sudah ditemuinya, sehingga tidak menjadi heran kalau beliau sering berpindah-pindah dari guru satu ke guru yang lain, dari pesantren satu ke pesantren yang lain. Sejak kecil sampai berusia 14 tahun, K.H. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakenya, kyai Usman. Hasrat yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Beliau termasuk anak yang dengan mudah menyerap dan menghafal ilmu yang diberikan. Keistimewaan beliau dalam menyerap dan menghafal ilmu, menjadikannya diberi kesempatan oleh ayahnya pada usia masih terbilang remaja, 13-14 tahun, untuk membantu mengajar dipesantren. Ketidakpuasan dan rasa dahaga yang sangat tinggi terhadap ilmu, membuat beliau berkeinginan untuk mencari sumber pengetahuan lain, diluar pesantren yang diasuh oleh ayahnya. Oleh sebab itu, semenjak usia 15 tahun, 95
Abdurrahman Mas' ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama Dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 57-58.
107
beliau berkelana dari pesantren satu ke pesantren yang lain. Dalam catatan sejarah, beliau mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), sampai menjadi santri di Pesantren Trenggilis (Semarang). Merasa belum puas dengan ilmu yang sudah diperolehnya, dalam situasi semacam inilah pada akhirnya membawanya kepada ketidakpuasan intelektual hingga beliau menyeberangi lautan beliau melanjutkan belajar ke Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura dalam asuhan kyai Kholil, yang akrab dicebut Syaikhona Kholil. Namun tidak berlangsung begitu lama dalam asuhan kyai Kholil, Upaya Hasyim ini didasarkan atas semangatnya untuk memperoleh ilmu yang berbeda pada masing-masing pesantren, karena dalam kenyataannya setiap pesantren memiliki spesialisasinya sendiri. Pesantren Tremas di Pacitan misalnya, dikenal sebagai pesantren ' ilm al-alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika), sementara di pesantren Jampes di Kediri dikenal luas sebagai pesantren Tasawuf. Setelah itu beliau berpindah lagi ke Pesantren Siwalan, Sidoarjo yang diasuh oleh kyai Ya’qub. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Dipesantren inilah, K.H. Hasyim Asy’ari agak merasa benar-benar menemukan sumber pengetahuan Islam yang beliau inginkan. Dari sekian pondok pesantren yang pernah disinggahi oleh beliau, nampaknya di Pesantren Siwalanlah beliau belajar cukup lama, yaitu lima tahun. K.H. Hasyim Asy’ari menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Namun rupanya kyai Ya’qub kagum kepada pemuda yang cerdas dan alim itu, sehingga K.H. Hasyim Asy’ari bukan saja mendapat ilmu di pondoknya, akan tetapi juga dijadikan menantu oleh kyai Ya’qub. Sang kyai menawarkan putrinya, Khadijah,
108
kepada Hasyim yang kemudian dinikahi pada tahun 1982. Pernikahan semacam ini sangat bisa terjadi dalam tradisi pesantren, terhadap seorang santri yang sangat bisa diharapkan mengangkat kualitas pesantren di masa mendatang. Di samping itu, pernikahan ini mengandung arti bahwa ikatan dari pesantren menjadi lebih kuat, karena hubungan tersebut dibangun tidak hanya atas dasar elemen keagamaan saja, tetapi melalui ikatan keluarga. Lebih dari itu, keluarga dipandang sebagai sumber kemajuan, kesejahteraan, dan kekuatan kultur santri.96 Hadiah yang diberikan kyai Ya’qub kepada K.H. Hasyim Asy’ari tidak berhenti sampai disitu. K.H. Hasyim Asy’ari kemudian diberangkatkan haji bersama istrinya. Disini pulalah beliau juga belajar kembali. K.H. Hasyim Asy’ari belajar ilmu Hadis pada ulama ternama, yakni Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Beliau adalah menantu dari Syekh Shaleh Kurdi, seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik dengan pihak penguasa di Makkah. Syekh ini berhasil menjadi ulama dan guru besar yang terkenal di Makkah dan menjadi salah satu imam di Masjidil Haram untuk penganut Mazhab Syafi’i. bahkan menurut Abdul Karim Hasyim, guru-guru K.H. Hasyim Asy’ari semenjak belajar di Makkah bukan hanya itu, akan tetapi masih banyak lagi seperti Syekh Al‘Allamah Abdul Hamid Al-Darustany dan Syekh Muhammad Syu’aib. Ketidakpuasan itulah yang kemudian membawa K.H. Hasyim Asy’ari bertemu dengan berbagai literature hidup selama belajar di Makkah, modal pengetahuan agama selama nyantri di tanah air memudahkan KH. Hasyim Asy’ari memahami pelajaran selama di Makkah. Namun di sana beliau memperoleh pengalaman yang 96
Syaifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, (Yogyakarta: LKis, 2001), hlm. 134135.
109
pahit. Karena sang istri tercinta yang menyertainya, meninggal dunia, karena melahirkan. Dahaga Hasyim akan ilmu pengetahuan tidak surut karena duka cita yang beliau alami, beliau menerima situasi tersebut sebagai musibah. Dalam suasana duka, beliau menghibur diri dengan mengunjungi tempat-tempat suci khusunya Bait Allah. Beliau tidak pernah lupa pesan istrinya supaya tetap bersemangat dalam hidup. Istrinya memberikan inspirasi kepada beliau untuk terus mengejar cita-citanya menjadi seorang Kiai penting, seorang ' Âlim, dan pemimpin bagi kaum muslim Indosesia. Mungkin karena musibah ini beliau memutuskan untuk pulang ke tanah air menengok keluarganya di Jawa.97 pada tahun 1893, beliau kembali ke Makkah bersama adiknya, Anis, dan menetap di sana selama 6 tahun. Di kota suci ini, Hasyim menjadi murid dari: a. Syekh Mahfudz At-Tarmizi. Beliau dikenal luas oleh para santrinya sebagai para ahli dalam hal kitab Shahih Bukhari berikut seluruh sanadnya. Dari gurunya ini, beliau memperoleh sebuah ijazah untuk mengajar kitab tersebut. b. Syekh An-Nawawi Al-Bantani c. Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1334 H) d. Syekh Abdul Hamid Ad-Dururstani e. Syekh Muhammad Syu' aib Al-Maghribi Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa KH. Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Makkah tahun berikutnya. Kali ini ia ditemani saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan
97
Ibid, hlm. 137.
110
berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Sayyid Sultan Ibn Hasyim, Sayyid Abdullah Al-Zawawi, Syekh Shaleh Bafadhal dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu Hadits dan Tasawuf. Hal ini yang membuat Hasyim di kemudian hari senang mengajarkan Hadits dan Tasawuf. Pada masa-masa akhir di Makkah beliau sempat
memberikan
pengajaran
kepada
orang
lain
yang
memerlukan
bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang kemudian hari diteruskan setelah kembali ke tanah air. Pada tahun 1899/1900 beliau kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayah dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya KH. Hasyim Asy’ari menikah lagi dengan putri Kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Mulai itu beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning, baru kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Februari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi Chondrodimuko kader-kader ulama wilayah Jawa dan sekitarnya. Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing dan mengajar santri baru. Ketika di Makkah, beliau juga sempat mengajar. Demikian pula ketika kembali ke tanah air, diabdikannya seluruh hidupnya untuk agama dan ilmu. Kehidupannya banyak tersita untuk para santrinya. Ia terkenal dengan
111
disiplin waktu (istiqamah). Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan KH. Hasyim Asy’ari, tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya. Dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, beliau digelari Hadrat Asy-Syekh (guru besar di lingkungan pesantren), karena peranannya yang sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren, misalnya Pesantren Asem Bagus Situbondo Jawa Timur, pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, dan lain-lain. Ketokohan beliau menjadi sentral dan menjadi tipe ideal untuk menjadi pemimpin. Selain beliau mengembangkan Islam melalui lembaga pesantren dan organisasi sosial keagamaan, beliau pun aktif dalam organisasi politik melawan Belanda.98 KH. Hasyim Asy’ari bersama ulama besar lainnya di Jawa yaitu Syekh Abdul Wahhab dan Syekh Bisri menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama) pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1334 H, sekaligus sebagai Rais Akbar. Organisasi social keagamaan ini memiliki maksud dan tujuan memegang teguh salah satu mazhab empat, serta mengerjakan apa saja yang menjadi kemashlahatan agama Islam.99 Pada bagian lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak
98 Ahmad Taufik, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 2005), hlm. 140. 99 H. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 119.
112
bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerto. Akhirnya, dapat dilihat bagaimana keberhasilan ketokohan beliau memang didasari oleh karakter seorang murid yang haus akan ilmu dengan semangat tinggi serta penuh disiplin. Hal ini juga sebagai bukti kecintaan beliau akan petuah Rasul Muhammad Saw., bahwasannya “menuntut ilmu itu diwajibkan sejak dari kandungan sampai liang lahat” dan “belajarlah sampai ke negeri Cina”. Oleh sebab itu, “siapa yang menanam, maka ia akan memanen.” Beliau menuai hasil dari jerih payahnya, bukan hanya bagi kebesaran dan keterkenalan dirinya, tapi juga mengharumkan nama keluarga besarnya, menjadi suri tauladan seorang pejuang Islam dan pejuang nasional yang lebih mementingkan kepentingan bersama atau umat yang sedang mengalami keterjajahan dan penindasan. Hal ini membuktikan bahwa kerja keraslah yang menentukan ketokohan seseorang dalam hidupnya. Meskipun dilahirkan sebagai keturunan “darah putih” dan “darah biru”, tapi jikalau tidak mempunyai rasa dahaga yang tinggi terhadap ilmu, rajin belajar, serta mengorbankan segala pikiran dan tenaga untuk perjuangan yang diyakininya, belum tentu K.H. Hasyim Asy’ari bisa menjadi tokoh yang sampai hari ini dihormati oleh semua umat Islam, bahkan di luar Islam. 3. Detik-detik Kepergian K.H. Hasyim Asy’ari Tepat pukul 9 malam, 7 Ramadhan 1336 Hijriah, turunlah beliau dari sembayang tarawih, menjadi imam kaum muslimat. Ketika beliau sudah bersiap duduk di kursi untuk memberikan pelajaran kepada para muslimat seperti
113
biasanya, datanglah seorang cucu menantunya mendekatinya dan berbisik di telinga beliau: “Kakek, ada tamu utusan yang mulia panglima besar angkatan perang Republik Indonesia, paduka tuan Jenderal Sudirman dan Bung Toma.” Seketika itu, beliau diam sejenak, lalu berkata kepada para muslimat yang sudah siap sedia menerima pelajaran itu: “Bahwa pada kali ini, tiada kita adakan pelajaran, besok malam saja.” Demikian seraya ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju ruang muka, ruang tamu. Di ruang tengah ia berkata kepada seorang adik kandungnya perempuan: “Jaranglah air the dan sediakan makanan, ada tamu.” Kedua tamu tersebut menjelaskan kondisi saat itu yang sangat sulit setelah Agresi Militer I Belanda. Kemudian diceritakan pula tentang betapa banyaknya jumblah korban dari rakyat Indonesia dan jatuhnya perubahan para gerilyawan di daerah pegunungan Malang. Ketika mendengar penjelasan tersebut, sekonyongkonyong beliau berkata: “Masya Allah, masya Allah.” Kedua tamu mengira beliau pingsan atau kelelahan bekerja dan mengajar, sehingga tertidur karena kecapekan. Oleh sebab itu, karena begitu menghormati beliau, mereka pamitan. Kemudian barulah disadari bahwa beliau telah meninggal dunia, setelah sebelumnya didatangkan dokter angka. Sekitar pakul 03.45 dini hari pada 26 Juli 1947 M/ 7 Ramadhan 1366 H, beliau berpulang kerahmatullah.100 KH. Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari
100
Muhammad Rifa’i, Op,cit, hlm. 38-39.
114
Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan beliau berpulang ke Rahmatullah. Demikianlah perjalanan dan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari sampai akhir hayatnya. Meskipun beliau telah tiada, ruh perjuangan beliau masih dipegang oleh keluarga dan umat beliau untuk menandaskan diri bahwa hidup adalah perjuangan. Begitu juga dengan perjuangan politik beliau yang diteruskan oleh para penerusnya, juga tidak pernah surut, entah itu melalui Masyumi, NU, PPP, PKB, PKNU, maupun partai-partai lain, ataupun LSM. Kemudian warisan beliau yang lainnya adalah seperti yang terlihat dalam karya-karyanya yang menjelaskan tentang dunia pendidikan, sikap seorang murid, dan bagaimana menjadi seorang pendidik yang baik. Selanjutnya dibidang tasawuf, pemikiran kesufian, menunjukan sikap kehati-hatian yang sebenarnya. Adapun karya-karya yang ditulis oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebenarnya sudah dikumpulkan oleh keturunanya, yakni Muhammad Isham Hadziq, diantaranya adalah: 1) “Halqat Al-As’ilah wa Halqat Al-Ajwibah” (1930), dalam Swara Nahdlatul Ulama, no. 1, t.p. 2) Al-Mawa’izh (1936), Surabaya: Hoofbestuur. 3) Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim (1940), Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang: Maktabah Al-Turats al-Islami bi Ma’had Tebuireng. 4) Al-Durrar al-Muntathirah fi al-Masail al-Tis’a ‘Asyarah (1940), t.p.
115
5) “Pradjoerit Pembela Tana Air” (1943), dalam Soeara Masjoemi, 1 Desember. 6) “Menginsafkan Para Oelama” (1944), dalam Soeara Masjoemi. 15 Mei. 7) “Pidato Ketoea Besar “Masjoemi”, K.H. Hasjim Asj’ari” (1944), dalam Soeara Masjoemi, 1 Juli. 8) “Pidato Ketoea Besar “Masjoemi”, K.H. Hasjim Asj’ari” dalam pertemuan oelama seluruh Jawa Barat di Bandung (1944), dalam Soeara Masjoemi, 15 Agustus. 9) Ideologi Politik Islam, Amanat Kyai Hasyim Asy’ari dalam muktamar partai politik Islam Masyumi (1946), dalam Harian Islam Adj-Djihad, Yogyakarta: Februari. 10) “al-Mawa’izh Sjaich Hasjim Asj’ari” (1959), ter. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dalam Pandji Masyarakat. 11) Ihya’ ‘Ama’il al-Fudhala’ fi Tarjamat al-Qonun al-Asasi li alJamiyyat an-Nahdhat al-Ulama” (1969), ter. H. A. Abdul Chamid, Kudus: Menara Kudus. 12) “Pidato Pembukaan Muktamar NU ke-17 di Madiun” (1969), dalam Ihya’ ‘Ama’il al-Fudhala’ fi Tarjamat al-Qonun al-Asasi li alJamiyyat an-Nahdhat al-Ulama,” ter. H. A. Abdul Chamid, Kudus: Menara Kudus. 13) “al-Qonun al-Asasi li Jam’iyyat an-Nahdhat al-Ulama” (1971), ter. H. A. Abdul Chamid, Kudus: Menara Kudus.
116
14) Risalah fi Ta’aqqud al-Akhdh bi Mazhahib al-A’immah al-Arba’ah. Lihat juga: al-Tibyan fi Nahy ‘an al-Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan (1984), Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang Maktabah al-Turats al-Islami bi Ma’had Tebuireng. 15) al-Tibyan fi Nahy ‘an al-Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa alAkhwan (1994), Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang Maktabah al-Turats al-Islami bi Ma’had Tebuireng. 16) Al-Tanbihat al-Wajibat li man Yasna’ al-Mawlid bi al-Munkarat (1995), Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang Maktabah al-Turats al-Islami bi Ma’had Tebuireng. 17) Ziyadat Ta’liqat ‘ala Manzhumat al-Syaikh ‘Abd Allah b. Yasin alFasuruwani (1995), Muhammad Isham Hadziq (ed.), al-Tibyan fi Nahy ‘an al-Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan al-Tibyan fi Nahy ‘an al-Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan (1994), Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang Maktabah al-Turats alIslami bi Ma’had Tebuireng.101 Tiadalah kata yang pantas untuk memberikan simbol karakteristik kepada K.H. Hasyim Asy’ari selain kata bahwa beliau adalah manusia yang mendekati sempurna. Akal yang luas dengan ditandai selalu kehausan dalam mencari ilmu, seangkan budi perkerti yang luhur ditampakkan dalam kegiatan sehari-hari dengan selalu menyayangi umat manusia yang lain meskipun berbeda keyakinan dengan dirinya. 101
Thalhah Hasan, Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari: Asal-Usul Kutub Gerakan Islam di Indonesia, (Jakarta: Galura Pase, 2002), hlm. 76.
117
D. Pemikiran Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari Untuk melihat respon masyarakat, terutama dalam aspek pendidikan, terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah colonial abad XX, di antaranya dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, tradisi keagamaan yang bekembang di masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi dari persentuhan dengan ide-ide pembaharuan Islam. Kedua, fenomena kebijakan pemerintah colonial dalam bidang pendidikan yang kemudian direspon oleh masyarakat. Asumsi di atas didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada awal abad XX merupakan bagian dari gerakan pembaharu Islam di Indonesia, yang memiliki kontak cukup intensif dengan gerakan pembaharu di Timor Tengah. Sebagai agama yang universal, Islam membawakan peradabannya sendiri, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan, yang berakar pada tradisi yang sangat panjang sejak masa Rasulullah Saw. Ketika bersentuhan langsung dengan situasi local dan particular, peradaban Islam tetap mempertahankan esensinya yang sejati walaupun mungkin secara instrumental menampakkan bentuk-bentuk yang kondisional. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan madrasah di Indonesia, aspek universal dari tradisi itu tidak bias dilepaskan karena memang dalam kenyataannya eksistensi lembaga madrasah itu sudah berkembang sejak masa Islam klasik, dan bahkan terus berkembang hingga masa modern dengan segala bentuk penyesuaian dan pembaharuannya. Di sisi lain, tradisi pendidikan Islam di Indonesia tidak sepenuhnya khas Indonesia, kecuali hanya menambahkan muatan dan corak keislaman terhadap tradisi pendidikan yang sudah ada, terutama yang bermula dari agama Hindu. IP
118
Simanjuntak berargumen bahwa “masuknya agama Islam tidak mengubah hakikat pengajaran agama yang formil; yang berubah sejak pengembangan agama Islam, ialah: isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, serta latar belakang pelajaran-pelajaran”.102 Mengikuti asumsi ini orang tentunya akan mudah cenderung kepada anggapan bahwa pertumbuhan madrasah di Indonesia sepenuhnya merupakan usaha penyesuaian atas tradisi persekolahan yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Mengingat struktur dan mekanismenya yang hamper sama, sekilas dapat diduga bahwa madrasah merupakan bentuk lain dari sekolah yang hanya diberi muatan dan corak keislaman. Uraian di atas agaknya menyakinkan bahwa gerakan pembaharu Islam di Indonesia memberi perhatian sangat serius dalam pembenahan pendidikan Islam pada permulaan abad XX. Dalam batas yang cukup jauh, usaha pembenahan itu dilakukan sejalan dengan gerakan pembaharu di Timur Tengah, sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia secara cukup kuat dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Timur Tengah masa modern. Namun demikian, kenyataan politik di tanah air pada zaman Hindia Belanda mengembangkan system pendidikan persekolahan sehingga cukup beralasan untuk berasumsi bahwa perkembangan madrasah di Indonesia juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah
102
IP Simanjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1972/1973), hlm. 24.
119
dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Ketika akan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat bumi putera, diperkirakan oleh beberapa ahli Belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang sudah berkembang, yakni pendidikan Islam.103 Akan tetapi, secara teknis usulan itu sangat sulit dipenuhi karena tradisi pendidikan Islam waktu itu dipandang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dianggap jelek, baik dari sudut kelembagaan, kurikulum, mapun metode pengajarannya. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda memilih
bentuk
persekolahan-persekolahan
sebagaimana
yang
sudah
dikembangkan jauh sebelumnya, khususnya dalam rangka misionaris.104 Dengan demikian, jika pada awal masa-masa penjajahan, sekolah merupakan pendidikan yang eksklusif bagi kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran pemerintah Hindia Belanda, mulai awal abad XX atas perintah Gubernur Jendral Heutsz sistem pendidikan itu mulai diselenggarakan bagi masyarakat yang lebih luas dam bentuk sekolah-sekolah desa. Dari banyaknya argumentasi tentang kebijakan pendidikan Islam yang diambil oleh pemerintahan colonial Hindia Belanda yang sudah terkemuka diatas, pada hakikatnya memiliki beberapa ciri-ciri. Dalam hal ini, S. Nasutian memaparkan beberapa ciri pendidikan pada masa colonial Hindia Belanda, diantaranya adalah:
103
Karel A Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. Ke-2, hlm. 2. 104 Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Bandung: Jemmars, 1983), hlm. 4.
120
1. Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan anak-anak Hindia Belanda. Gradualisme menjamin kedudukan yang menguntungkan bagi masyarakat Belanda. Membatasi kesempatan belajar bagi masyarakat Hindia Belanda antara lain berfungsi untuk menjaga agar anak-anak Belanda selalu lebih maju. Anak-anak Belanda telah memasuki pendidikan menengahsejak tahun 1860, sedangkan pendidikan lanjutan bagi anak-anak Indonesia baru disediakan pada tahun 1914. 2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan pendidikan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi. Dualisme ini menjadi ciri yang dominant dalam sistem pendidikan Hindia Belanda. Pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi memiliki perbedaan yang sangat jelas, diantaranya
dengan
inspeksi,
kurikulum,
bahasa
pengantar,
dan
pembiayaan tersendiri. Pendidikan Belanda diselenggarakan dengan menggunakan bahasa pengantar Belanda, sedangkan pendidikan pribumi menggunakan bahasa pengantar Melayu dan bahasa daerah. Pendidikan Belanda selama hampir seabad telah membuka kesempatan satu-satunya untuk pendidikan lanjutan. Sedangkan pendidikan pribumi boleh dikatakan tidak memberi kesempatan meneruskan pelajaran dan merupakan jalan buntu. 3. Kontrol sentral yang kuat. Sampai tahun 1918 segala masalah pendidikan diputuskan hanya oleh pegawai Belanda saja, tanpa konsultasi dengan masyaraka Hindia Belanda. Sungguhpun telah dibentuk Volksraad (semacam lembaga perwakilan rakyat), tetapi keputusan askhir ada pada
121
kekuasaan Gubernur Jendral. Oleh karena itu, pendidikan dikontrol secara sentralistik, guru-guru dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan. Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, dan pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat. 4. Keterbatasan tujuan pendidikan pribumi dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai factor penting dalam penrkembangan pendidikan. Sekolah pertama untuk anak Indonesia didirikan oleh pemerintah Belanda dengan tujuan mendidik anak-anak aristokrasi di Jawa unutk
menjadi
pegawai
perkebunan
pemerintah
yang
senantiasa
berkembang selama masa Taman Paksa. Boleh dikatakan hanya karena terpaksa maka pemerintah akhirnya melibatkan diri dengan pendidikan masyarakat Hindia Belanda. 5. Adanya prinsip konkordansi. Prinsip ini bertujuan untuk menjaga agar sekolah-sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah-sekolah di negeri Belanda. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perpindahan murid-murid dari Hindia Belanda ke sekolah-sekolah di negeri Belanda. 6. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi. Sekitar tahun 1910 terdapat berbagai ragam sekolah rendah bagi anak-anak Hindia Belanda, seperti Sekolah Desa untuk anak-anak di daerah pedesaan, Sekolah Kelas Dua untuk anak biasa di kota-kota, Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak ningrat dan golongan kaya, Sekolah
122
Khusus untuk anak militer juga untuk golongan aristokrasi di Sumatera, di samping itu sejumlah sekolah untuk pendidikan pegawai dan dokter Jawa. Ciri khas dari sekolah-sekolah ini adalah bahwa masing-masing berdiri tanpa hubungan organisasi antara yang satu dengan yang lain dan tanpa ada kesempatan untuk melanjutkan.105 Paragraf selanjutnya akan menerangkan secara singkat tentang kondisi pendidikan Islam pada masa pemerintahan Jepang, yang dalam catatan sejarah dapat diketahui bahwa pada Perang Pasifik (Perang Dunia II), Jepang memenagkan peperangan dan pada tahun 1942 berhasil merebut Indonesia dari kekuasaan Belanda. Perpindahan kekuasaan itu terjadi ketika colonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu.106 Kebijakan politik Jepang tampaknya tidak jauh dari skenario yang dibuat oleh Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan Islam dan politik praktisnya. Jepang mulai menerapkan pengawasan secara kuat dan ketat terhadap organisasiorganisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam. Namun paradok dengan yang pertama, rezim pendudukan Jepang juga membuka peluang bagi pemimpinpemimpin Islam terlibat dalam organisasi-organisasi politik yang diciptakannya. Dalam memobilisasi Islam Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat kuat dengan elit Muslim. Dengan semangat untuk memperkuat peta Asia Timur Raya dan menggalang semua kekuatan anti-Belanda, Jepang tampaknya lebih memilih elit 105
33.
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet, ke-1, hlm. 20-
106
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), cet. Ke-1, hlm. 85.
123
Muslim dan memberikan berbagai peluang bagi tuntutan umat Islam daripada memenuhi keinginan para elit nasionalis, apalagi terhadap keinginan elit-priyayi. Namun, politik Jepang kurang banyak mengapresiasikan Islam ke tingkat sosioreligius. Alasannya adalah politisasi untuk mempertahankan status-quo dan menggalang massa. Pada awalnya Jepang membentuk sebuah perhimpunan politik melalui “Gerakan Tiga A”, yaitu Jepang Pemimpin Asia, Pelindung Asia, dan Cahaya Asia, di bawah komando Syamsuddin, bekas pemimpin Parindra. Pembentukan organisasi ini dimaksudkan untuk mencari simpati masyarakat Indonesia untuk membantu dalam Perang Pasifik dan mensukseskan propaganda “Kemakmuran Asia Timur Raya”. Karena Gerakan Tiga A dianggap gagal, akhirnya dibubarkan dan diganti dengan “Putera” (Pusat Tenaga Rakyat). Organisasi ini dipimpin oleh empat serangkai: Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansyur, dengan tujuan untuk menggalang massa.107 Di luar kesibukan pemerintah Jepang yang membahas tentang gerakan politisasi pendidikan Islam yang, dimana muncul organisasi-organisasi yang ingin mempertahankan kultur pendidikan Islam di Indonesia. Di sisi lain, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) sebagai organisasi independent yang didukung oleh NU dan Muhammadiyah, pada waktu itu menghadapi tantangan tersendiri. Independensi MIAI mengakibatkan tidak lagi memiliki anggota-anggota dari organisasi Islam seperti awal berdirinya. MIAI tidak lagi bersifat federatif karena organisasiorganisasi Islam banyak yang dibekukan. Akhirnya, pada September 1942, MIAI
107
Ibid, hlm. 86.
124
dibubarkan oleh Jepang. Menurut Harry J. Benda, pembubaran ini pada dasarnya reaksi Jepang terhadap agitasi bait al-mal yang terus menerus dan secara gencar dilancarkan oleh pengurus MIAI tanpa melibatkan Shumubu (kantor urusan Agama yang dibentuk Jepang).108 Sebagai pengganti MIAI, Jepang membentuk organisasi federatif baru, yaitu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) tanggal 22 November 1943, dan sebagai ketua organisasi yang baru dibentuk ini adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Kemudian, dalam perjalanan pada tahun pertama, Masyumi semakin kokoh. Tepat pada tanggal 1 Agustus 1944, pemerintah Jepang mengeluarkan pengumuman reorganisasi Shumubu yang bertujuan agar semua maslah keagamaan yang dirasakan penting dapat diatur dengan mudah. Konsekuensi reorganisasi ini adalah Husein Djajadiningrat mengundurkan diri dari kepala Shumubu, lalu digantikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Dengan demikian, kegiatan keagamaan keislaman di bawah kontrol elit muslim. Akan tetapi, tampaknya pada perkembangan selanjutnya kekuasaan Jepang semakin memudar. Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam waktu dekat. Janji ini kemudian dikenal dengan Deklarasi Koiso. Masyumi yang diwakili oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai juru bicara Islam pada waktu itu, langsung menaggapi deklarasi itu dengan menempatkan gerakan Islam di belakang tujuan-tujuan nasionalisme Indonesia. Puncak dari usaha itu adalah deklarasi 1 Maret 1945 yang menghasilkan suatu panitia yang bertugas untuk menyelidiki apa yang harus dipersiapkan untuk menyongsong kemerdekaan. Panitia ini bernama, dalam 108
Harry J. Benda, “The Cresent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945”. Terjemah Bulan Sabit dan Matahari, Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 181.
125
bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai (BPUPKI: Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) diresmikan di Jakarta taggal 21 April 1945 dan mulai melaksanakan sidangnya pada tanggal 21 Mei sampai 1 Juni 1945, dan siding kedua pada tanggal 10-16 Juli 1945.109 Melihat kenyataan di atas, agaknya perkembangan sosial politik masa pendudukan Jepang hanya terjadi dalam masa yang relative singkat. Usaha-usaha pemerintahan Jepang lebih difokuskan kepada ambisinya untuk menguasai wilayah Asia Pasifik, sehingga kebijakan terkait dengan pendidikan yang dikeluarka oleh pemerintahan Jepang lebih diorientasikan untuk menguatkan kekuasaannya di Indonesia. Pemerintah Jepang memegang kendali yang sangat ketat dalam program-program pendidikan di Indonesia, walaupun pada kenyataannya menghadapi kendawa kurangnya pengajar yang memenuhi criteria. Usaha memutuskan hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Jepang menghapuskan sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Bahasa Indonesia bahkan digunakan secara luas di lingkungan pendidikan. Kurikulum dan struktur pendidikan pun diubah.110 Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah.111 Berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda pada waktu menduduki Indonesia, pemerintah Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah hidup pada masa pemerintahan
109
Mastuki HS, Perguruan Tinggi Islam di Indonesia 1945-1975: Sejarah dan Peranannya, tesis, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1997), hlm. 114-117. 110 Lee Kam Hing, Education and Politics in Indonesia 1945-1965, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1995), hlm. 23-25. 111 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1957), hlm. 122.
126
sebelumnya. Hal ini dilakukan karena pada kenyataannya bahwa pengawasan pemerintah Jepang sendiri tidak dapat menjangkau madrasah dan pesantren yang sebagian besar berlokasi di desa-desa terpencil. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia. Catatan sejarah yang dapat dilaporkan bahwa pada masa penjajahan pemerintah Jepang, pengembangan Madrasah Awaliyah digalakkan secara luas. Majelis Islam Tinggi menjadi penggagas dan sekaligus penggerak utama untuk berdirinya madrasah-madrasah Awaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia minimal 7 tahun. Program pendidikan pada madrasah-madrasah Awaliyah itu lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan diselenggarakan pada sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan bagi anakanak yang pada umumnya mengikuti sekolah rakyat pada pagi hari. Perkembangan madrasah-madrasah itu telah ikut mewarnai pola pengorganisasian pendidikan agama yang lebih sistematis. Sungguhpun demikian, dilaporkan bahwa ketika Jepang masuk di wilayah Padang pada Maret 1942 dan memerintah Indonesia tercatat hanya mengizinkan membuka sekolah atau madrasah dari tingkat dasar sampai tingkat menengah saja. Sedangkan pendidikan tingkat tinggi tidak diberlakukan.112 Tidak ditemukan penyebab secara pasti pelarangan itu. Namun, dari perkembangan setting social politi yang terjadi ketika itu, memang Jepang belum menunjukkan sistem pemerintahan yang mapan.
112
Mahmud Yunus, Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1977), hlm. 41.
127
Uraian diatas sedikit banyak membeberkan situasi dan kondisi Indonesia pada masa pendudukan Hindia Belanda yang diteruskan oleh pemerintahan Jepang. Dimana faktor pendidikan menjadi bidikan pertama oleh mereka, karena diakui atau tidak, pendidikan menjadi icon penting dalam pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Oleh krena itu, salah satu tokoh Islam Indonesia, K.H. Hasyim Asy’ari merasa terpanggil untuk tetap mempertahankan pendidikan (sekolah atau madrasah) yang sesuai dengan kultur Indonesia. Sekolah atau madrasah adalah sebagai tumpuan atas pendidikan sumber daya manusia Indonesia. Dalam kesempatan itu, K.H. Hasyim Asy’ari menjadi juru bicara dari perwakilan lembaga keagamaan, yakni Masyumi, yang ketika itu Indonesia akan mendeklarasikan kemerdekaannya atas janji yang disampaikan oleh Perdana Menteri Koiso. Pada paragraf selanjutnya akan dikupas lebih dalam pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam, yang mana sudah tidak dapat dipungkiri,
bahwa
memperhatikan
beliau
dunia
adalah
pendidikan.
salah Saking
satu
tokoh
perhatiannya
yang
benar-benar
beliau
terhadap
pendidikan Islam beliau menulis kitab dengan judul Adab al-‘Alim wa alMuta’allim. K.H. Hasyim Asy’ari memiliki keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan, khususnya kependidikan Islam dan pada umumnya pengetahuan agama. Dalam hal ini Hasan Langgulung mencoba mempolarisasikan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari terhadap karakteristik pemikiran pendidikan. Polarisasi itu didasarkan atas literature-literatur yang ditulis oleh sejumlah penulis Muslim. Menurutnya ada
128
empat corak pemikiran pendidikan Islam yang dapat difahami. Pertama, corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqih, tafsir dan hadis yang kemudian mendapat perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm (384-456 H) dengan karyanya al-Mufashshal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nibal. Kedua, corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Model ini diwakili oleh Abdullah ibn Muqaffa (106-142 H /724-759 M) dengan karyanya Risalah al-Shahabab. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis. Corak ini diwakili oleh pemikiran pendidikan aliran Mu’tazilah, ikhwan al Ahafa dan para filosof. Keempat, corak pemikiran pendidikan yang berdiri sendiri dan berlainan dengan beberapa corak di atas, tetapi corak ini tetap berpegang pada semangat Al-Qur’an dan Al-Hadist. Corak yang terakhir ini diwakili Muhammad ibn Sahnun (wafat 256 H /871 M) dengan karyanya Adab al-Muta’allim.113 Keempat hasil polarisasi diataslah yang kemudian dapat memberikan kemudahan bagi pemerhati pendidikan Islam untuk mengklasifikasikan sebuah pengetahuan tentang pendidikan Islam yang kemudian dicarikan formula untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi dan mengembangkan pendidikan Islam itu sendiri, sehingga tujuan besar yang digagas oleh K.H. Hasyim Asy’ari dapat dengan mudah terwujud. Di sisi lain, karakter pemikiran pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dapat dimasukkan ke dalam garis mazhab Syafi’iyah. Bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan hal itu adalah banyaknya ulama Syalafi’iyah, termasuk imam al113
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), cet. Ke-2, hlm. 123-129.
129
Syafi’I sendiri, yang seringkali dikutip oleh penulis kitab ini ketimbang ulam mazhab lain. Dengan pengungkapan ide-ide mazhab yang dianutnya, menurut ‘Abd al-Mu’idz Khan, pasti mempengaruhi pemikirannya tentang pendidikan.114 Bias dikatakan bahwa corak pemikiran pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari adalah ala Syafi’iyah. Karena disadari atau tidak hamper segala bentuk tindakan syar’I yang dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah berdasarkan pada mazhab Syafi’i. Maka, tidak heran apabila ide-ide atau gagasan pendidikan yang dikeluarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari lebih kental dengan Syafi’i. Kecenderungan lain dalam pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam adalah mengetengahkan nilai-nila estetis yang bernafaskan sufistik. Kecenderungan ini dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya. Misalnya dalam keutamaan menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari ilmu yang sangat istimewa adalah bagi orang yang benar-benar li Allah Ta’ala. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan aspek-aspek keduniawian. Kecenderungan yang demikian agaknya lebih didominasi oleh pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari yang juga menekankan pada dimensi sufistik sehingga cukup kentara nuansa-nuansa demikian pada karya-karya itu. Bahkan kecenderungan ini merupakan wacana umum bagi literature-literatur kitab kuning yang tidak bias dihindari dari persoalan-persoalan sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali.
114
Affandi Mochtar, The Method of Muslim Learning as Illustrated in al-Zarnuji’s Ta’lim alMuta’allim Tariq al-Ta’allum, Tesis, (Montreal: McGill University, 1993), hlm. 22-23.
130
Kemudian sisi lain pendidikan yang cukup menarik perhatian dalam konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari adalah sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan pengajaran. Kekuatan dalam hal ini terlihat pada penekanannya bahwa eksistensi ulama, sebagai orang yang memiliki ilmu, menduduki tempat yang tinggi. Karena itu, dalam bab pertama kitab Adab al‘Alim wa al-Muta’allim, K.H. Hasyim Asy’ari mengawali pembahasannya mengenai hal itu dengan urutan-urutan argumentasi nasb (Al-quran) kemudian hadis dan pendapat para ulama. Ketegasan tingginya derajat orang yang berilmu ini seringkali diulang, misalnya dengan argumentasi hadis al-‘ulama waratsat al-anbiya’. Hadis ini sesungguhnya menyatakan secara jelas bahwa derajat para ulama adalah setingkat lebih rendah di bawah derajat para nabi. Sementara menurut K.H. Hasyim Asy’ari, tidak ada derajat yang lebih mulia daripada derajat nabi. Oleh karena itu, derajat ahli ibadah lebih rendah daripada ulama. Bahkan, K.H. Hasyim Asy’ari sering mengutip hadis dan pendapat para ulama serta menyatakan pendapatnya tentang perbandingan ibadah dengan ilmu. Menurut nabi, tingginya derajat ulama jika disbanding dengan ahli ibadah, pertama, bagaikan utamanya nabi disbanding dengan manusia selainnya, kedua, bagaikan terangnya bulan purnama disbanding dengan cahaya bintang, dan ketiga, bagi setan lebih sulit menggoda seorang cendikiawan daripada seribu ahl ibadah.115 Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari di atas tampaknya mengikuti pemikiran tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti al-Ghazali. Sebab, pemikiran K.H. Hasyim
115
Suwendi, op,cit., hlm. 149.
131
Asy’ari ini sama dengan hierarki yang dibuat oleh al-Ghazali, yakni ahl al-ilm lebih utama daripada ahl al-ibadah, dengan menyajikan alasan-alasan ayat Alquran, hadis, dan pendapat para ulama.116 Pemikiran K.H. Hayim Asy’ari di atas ini tampaknya menyiratkan sebuah pengertian bahwa yang menjadi sentral pendidikan adalah hati. Penekanan pada hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan progresivisme dan esensialisme. Aliran progresivisme yang dipelopori oleh Jhon Dewey, menyatakan bahwa sentral pendidikan adalah pikiran dan kecerdasan. Pikiran dan kecerdasan ini merupakan motor penggerak dan penentu kea rah kamajuan sekaligus penuntun bagi subjek untuk mampu menghayati dan menjalankan sebuah probram.117 Dengan demikian, aliran progresivisme menitik beratkan pada kecerdasan. Sedangkan aliran esensialisme menyatakan bahwa materi utamalah yang menentukan dan memantapkan pikiran serta kecerdasan manusia. Materi (bahan pengajaran) itulah yang sekaligus menjadi unsure-unsur yang hakiki dalam sebuah perkembangan peradaban dan kebudayaan.118 Atas dasar pemikiran diataslah, menjadi semakin kuat dan jelas bahwa pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari menempatkan corak kependidikannya sebagai corak yang berbeda dari corak-corak kependidikan yang lain, yakni tidaklah bercorak progresif ataupun esensialis. Perbedaan-perbedaan itu dimungkinkan oleh karena adanya titik pandang yang tidak sama dalam memahami manusia.
116 117
11.
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, juz I, (Kairo: Muhthafa al-Babi al-Halabi, 1939), hlm. 6-7. Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1986), hlm.
118
Maslani, Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari dalam karyanya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim: Suatu Upaya Pengungkapan Belajar Mengajar, Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997), hlm. 47.
132
Baik aliran progresivisme maupun esensialisme, sama-sama mendasarkan pandangannya pada penelitian-penelitian yang bersifat fisik-empiris. Sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari yang identik dengan pemikiran al-Ghazali menyimpulkan substansi manusia bukan terletak pada unsure fisiknya, tetapi pada hatinya. Sebagai pandangan kependidikan yang didasarkan atas hati, memang dengan sendirinya akan menghadapi kesulitan tersendiri, terutama pada saat dikontekskan dalam usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah. Sebab, usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah membutuhkan kerangka empiris sehingga agak sulit untuk mencari titik temunya. Sungguhpun demikian, dalam kenyataan banyak dijumpai bahwa tugas kependidikan lebih banyak difokuskan pada aspek yang terakhir itu, yakni bagaimana membentuk orang-orang yang saleh dalam perspektif Tuhan, tentunya Tuhan dalam sesuatu yang difahaminya. Sementara aspek yang lain, tang tidak kalah pentingnya, yakni penguatan kecerdasan dan penguasaan materi pelajaran, menjadi terabaikan. Hal ini dimungkinkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah cukup intennya intervensi pemahaman keagamaan yang kurang memberi penghargaan terhadap aspek kecerdasan dalam aplikasi kependidikan. Kenyataan ini semakin mempermudah dalam menafikan dimensi-dimensi kependidikan yang kritis. 1. Definisi Pendidikan Islam Pendidikan atau al-Tarbiyah, menurut pandangan Islam, adalah merupakan bagian dari tugas kekhalifahan manusia. Allah adalah rabb al-‘alamin, juga rabb al-nas. Tuhan adalah yang mendidik makhluk alamiah dan juga yang mendidik
133
manusia. Karena manusia adalah khalifah Allah, yang berarti manusia mendapat kuasa dan limpahan wewenang dari Allah untuk melaksanakan pendidikan terhadap alam dan manusia, maka manusialah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan tersebut. Pendidikan, sebagai bagian dari tugas kekhalifahan manusia, menurut pandangan Islam, pendidikan harus dilaksanakan oleh manusia secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban baru bias dituntut kalau ada aturan dan pedoman pelaksanaannya. Dan oleh karenanya Islam tentunya memberikan garisgaris besar tentang pelaksanaan pendidikan tersebut. Islam memberikan konsepkonsep yang mendasar tentang pendidikan, dan menjadi tanggung jawab manusia untuk menjabarkan dan mengaplikasikan konsep-konsep dasar tersebut dalam praktek kependidikan. Pendidikan merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya dilaksanakan dan berlangsung dalam kelas, melainkan berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan dalam hal ini tidak hanya bersifat fprmal saja, akan tetapi mencakup pula yang non formal. Kembali kepada pembahasan definisi pendidikan Islam. Dalam hal ini, banyak para tokoh Islam yang mencoba mendefinisikan pendidikan Islam itu sendiri. Di antara tokoh yang dipandang berperan dalam pembaharuan pendidikan Islam adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau telah memperkenalkan pola pendidikan madrasah di lingkungan pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Karena posisi beliau sangatlah sentral dalam jaringan pesantren di pulau Jawa,
134
pembaharuan yang terjadi di pesantren itu cepat menyebar ke pesantren-pesantren lain. Terlebih-lebih setelah pembentukan perkumpulan Nahdlatu Ulama pada tahun 1926, apa yang dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari itu dijadikan madel bagi usaha perkumpulan itu dalam bidang pendidikan. Kecenderungan, ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K.H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik. Akan tetapi, K.H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K.H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa. Sebagai bentuk kepeduliannya dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Agar kemudian masyarakat Indonesia mampu memiliki kapasitas keilmuan yang disiapkan untuk mengabdikan dirinya demi perkembangan dan kemajuan bangsa dan Negara ini. Maka, tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena
kegigihannya
dan
keikhlasannya
dalam
menyosialisakan
ilmu
pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.119
119
A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, (Jakarta: PT. Diva Pustaka,2004), hlm. 319
135
Tidak hanya yang sudah tertulis diatas, sesungguhnya tulisan ini berusaha mengangkat tokoh kependidikan yang hidup pada abad modern dengan objek kajian K.H. Hasyim Asy’ari. Pemikiran tokoh ini patut diangkat kembali karena, pertama, K.H. Hasyim Asy’ari telah menyediakan sebuah risalah kependidikan yang disusun secara khusus, yang berjudul adab al-‘alim wa al-muta’allim. Di dalam kitab tersebut, terkandung muatan-muatan kependidikan (Islam) yang patut dipertimbangkan. Kedua, ketokohan K.H. Hasyim Asy’ari masih belum banyak dikaji oleh kaum intelektual. Padahal beliau merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat pada zamannya. Ketiga, karya kependidikan K.H. Hasyim Asy’ari, adab al-‘alim wa al-muta’allim, dalam banyak hal, terutama sistematika dan redaksinya, memiliki sejumlah kesamaan dengan karya Ibn Jama’ah Tadzkirat al-Sami’.120 Dari uraian diatas sudahlah cukup jelas, bahwa K.H. Hasyim Asy’ari memang benar-benar salah satu tokoh yang mengabdikan dirinya untuk pendidikan, agar seluruh masyaraka dan umat Islam dapat merasakan jenjang pendidikan
yang
kemudian
akan
membawa
manusia
pada
puncak
kemanusiaannya. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, yang membedakan anatara manusia dengan binatang, antara lain adalah ilmu. Ilmu tersebut dapat didapat dengan salah satu perantara pendidikan, karena pendidikan merupakan proses manusia untuk dapat mengetahui segala sesuatu yang ingin diketahui, dan yang belum diketahui. Oleh karena itu, dunia pendidikan atau mencari ilmu itu penting bagi sebuah 120
Badr al-Din Ibn Jama’ah al-Kinani, Tadzkirat al-Sami’ fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1354 H)
136
identitas manusia. Dalam salah satu karya populernya, Adab al-‘Alim wa alMuta’allim, K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa pendidikan adalah sarana mencapai kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya penciptanya, untuk apa diciptakan, melakukan segala perintahnya dan menjahui segala larangannya, untuk berbuat baik di dunia dan menegakkan keadilan.121 Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang hendak dibeberkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalm mendefinisikan pendidikan Islam adalah nilai-nilai illahiyah atau lebih bersifat ketauhidan (teologinya). Dimana, dapat definisi itu dapat dimaknai bahaw dengan pendidikan manusia akan sadar dengan sendirinya serta mengetahuai hakikat manusia diciptakan oleh Tuhan. Maka, harapannya dengan pendidikan agar manusia mengetahui tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah dimuka bumi. Bagi umat Islam, agama merupakan dasar utama dalam melaksanakan ritual kependidikan (belajar mengajar) melalui sarana-sarana pendidikan. Karena dengan menanamkan nilai-nilai agama akan sangat membantu terbentuknya sikap dan kepribadian anak kelak pada masa dewasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat dengan bedasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dalam pelaksanaan pendidikan tentunya terdapat proses belajar mengajar. Disitulah titik tekan yang harus benar-benar dapat dilaksnakan sesuai dengan
121
Muhammad Rifa’i, op., cit. hlm. 85.
137
aturan atau pedoman pendidikan yang sudah disyariatkan oleh Islam. Karena proses belajar mengajar adalah proses awal manusia untuk mengetahui dan memahami segala hal yang ingin difahami. Oleh karena itu, belajar menurut K.H. Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.122 Demikianlah rumusan definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Terlihat cukup kental nuansa ketauhidannya dalam mendefinisikan pendidikan Islam. Karena diakui ataupun tidak tujuan akhir dari sebuah proses pendidikan adalah mengabdikan sepenuhnya kepada sang khaliq. Dengan demikian manusia akan menyadari dan memahafi fungsi dan tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan. 2. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir, ultimate
122
http//habibah-kolis.blogspot.com/200801/hasyim-asyari.html
138
aims of sducation. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, seperti “…terbintuknya kepribadian muslim…”.123 Sebagai dunia cita, kalau sudah ditetapkan, ia adalah ide statis. Tapi sementara itu kualita dari tukuan itu adalah dinamis dan berkembang nilainilainya. Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai yang bersifat fundamental, seperti: nilia-nilai sosial, nilai ilmiah, nilai moral dan nilai agama. Di sini kiranya orang berkeyakinan bahwa pendidikan menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup masa depan di dunia, serta membantu anak didik dalam mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk menghadapi perubahan.124 Dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi kependidikan, sebutan “pendidikan Islam” umumnya difahami hanya sebatas sebagai “cirri khas”, jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dari itu, Zarkowi Soejoeti yang memberikan pengertian lebih terperinci. Pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggarannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam. Baik yang tercermin dalam nama lembaga maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang 123
43.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1962), hlm.
124
Christopher J. Lucas, Challenge and Choice in Comtemporary Education Six Mayor Ideological Perspective, (New York: Mac Millan Publishing Co-Inc, 1976), hlm. 103.
139
akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian yang sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Dalam rangkaian ini, kata Islam ditempatka sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagaimana ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian tersebut di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang diselenggarakannya.125 Dari pengertian yang diberikan oleh Zarkowi tersebut kiranya bias lebih difahami bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi. Yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal. Tujuan pendidikan itu sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Dengan demikian, segala sesuatu di dunia ini, termasuk pendidikan harus mempunyai tujuan yang jelas dan sesuai dengan tantangan zaman. Karena jikalu tidak, pendidikan Islam yang selama ini dilselenggarakan tidak ubahnya seperti paguyuban yang hanya melakukan ritual kumpul-kumpul tanpa ada tujuan yang jelas. Adalah niscaya bahwa kehadiran lembaga pendidikan yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu sesungguhnya sangat diharapkan oleh berbagai pihak, terutama umat Islam. Bahkan kini terasa sebagai kebutuhan 125
Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, (Malang: UIN-Press,2006), hlm. 7.
140
yang sangat mendesak terutama bagi kalangan muslim kelas menengah ke atas yang secara kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena sosial yang sangat menarik ini mestinya dapat dijadikan tema sentral kalangan pengelola lembaga
pendidikan
Islam
yang
dalam
melakukan
pembaharuan
dan
pengembangannya. Namun yang terjadi hari ini justru sebaliknya, di berbagai tempat banyak lembaga pendidikan Islam, terutama yang tergolong “kelas pinggiran” satu persatu mangalami penyusutan karena kehilangan kepercayaan dari umat maupun peminatnya. Sementara itu lembaga-lembaga pendididkan yang latar belakang keagamaannya berbeda namun dikelola secara professional dan menempatkan pada konteks kemasyarakatan yang lebih luas, memperlihatkan perkembangan yang demikian pesat, sehingga keberadaan lembaga pendidikan tersebut semakin dikenal dan kokoh. Kenyataan itu secara tidak langsung menuntut para pengelola pendidikan Islam untuk lebih bersifat rasional dan lebih berorientasi kepada kebutuhan masyarakat luas. Apalagi sekarang ini yang menjadi mainstream pemikiran pendidikan adalah mempersiapkan sumber daya manusia di masa mendatang dan bukan semata-mata sebagai alat untuk membangun pengaruh politik atau sebagai alat dakwah dalam arti sempit. Kalau persepsi yang terakhir ini yang diacu dan dijadikan dalih untuk tetap bertahan, maka boleh jadi pendidikan bukan saja tidak menolong masa depan peserta didik, tetapi jauh kebalikan dari itu, dapat dinilai sebagai perbuatan yang merugikan. Oleh karena itu, persoalan dunia pendidikan sebenarnya termasuk peka dan rawan. Pendidikan yang tidak didasarkan pada
141
oreintasi yang jelas dapat mengakibatkan kegagalan dalam hidup secara berantai dari generasi ke generasi. Sedikit keluar dari keberlanjutan paragraf diatas, bahwa dalam struktur pendidikan (persekolahan) di Indonesia. Pendidikan agama (Islam) mendapat tempat terhormat. Mata pelajaran agama bersifat wajib dan menjadi bagian yang integral dari kurikulum lembaga persekolahan di semua jenjang pendidikan, mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Di luar lembaga pendidikan umum, juga tersedia dan tersebar sedemikian banyak lembaga pendidikan Islam yang tentu saja lebih terkonsentrasi atau setidak-tidaknya memberikan porsi yang lebih besar kepada mata pelajaran agama (Islam). Hal itu merupakan cerminan kentalnya sifat religiusitas masyarakat di bumi nusantara ini dan sudah seharusnya dimaknai secara positif dengan menyuguhkan praktik pendidikan agama yang sebaik mungkin, baik dalam segi kualitas maupun relevansinya. Hal tersebut menjadi kepedulian para ahli, perencana, dan praktisi pendidikan agama (Islam) di Indonesia. Sesuai dengan tuntutan era reformasi sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, pendidikan agama (Islam) di lembaga persekolahan rasanya perlu diposisikan sebagai program andalan dan ruh bagi pembentukan moralitas warga Negara yang berdasarkan pemahaman nilai-nilai dasar keagamaan. Dengan lain perkataan,
pendidika
agama
(Islam)
perlu
diposisikan
sebagai
“Rasul
Pembangunan Bangsa” yang misi utamanya pembangunan watak, pembinaan akhlak, pendidikan moral atau pendidikan nilai. Posisi demikian itu juga dikedepankan oleh Ahmad Watik Pratiknya yang menyatakan bahwa “…
142
Pendidikan Islam adalah (lebih merupakan) suatu proses alih nilai (transfer of value) yang dikembangkan dalam rangka perubahan prilaku…”. Dalam konteks ini, agama (Islam) tentu saja lebih dimaknai sebagai sumber nilai dan pegangan hidup. Ukuran keberhasilannya terletak pada indeks perbaikan moral (akhla alkarimah) yang tentu saja harus terpancar secara kaffah dalam segenap segi kehidupan sehingga tidak ada celah bagi munculnya Darwinisme sosial liar. Dengan begitu, pendidikan agama (Islam) tidak hanya tampil dan berperan sebagai pegangan hidup pada level masing-masing individu, tetapi juga sebagai pemberi kesejukan dan keselamatan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara secara keseluruhan. Bila misi dan orientasi tersebut dapat terpenuhi, niscaya pandidikan agama (Islam) akan tercatat dan dikenang sebagai pengkokoh fundamen kultural masyarakat Indonesia baru yang berwajah religius, demokratis, maju, adil dan makmur.126 Gambaran tujuan pendidikan diatas sangat sejalan dengan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang tujuan pendidikan Islam. Di dalam buku “99 Kyai Karismatik Indonesia,” disebutkan bahwa kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim merupakan kitab tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun pada hari Ahad tanggal 22 Jumada al-Tsaniyah 1343 H. K.H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literature yang membahas tentang pendidikan. Kemudian K.H. Hasyim Asy’ari juga merumuskan tujuan pendidikan Islam. Menurut beliau, tujuan diberikannya sebuah pendidikan pada setiap manusia adalah menjadi insane purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada
126
Ibid, hlm. 41-42
143
Allah SWT., dan insan purna yang mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.127 Terlihat sangat kental sekali nuansa teologi atau ketauhidan dari pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari. Tidak hanya ditunjukkan dalam aktivitas kesehariannya, bahkan sampai merembet kepada pemikiran pendidikannya. Di atas juga sudah dipaparkan mengenai definisi pendidikan Islam yang sangat kentara sekali nilainilai ilahiyahnya. Dan sekarang merumuskan tujuan pendidikan Islam juga mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Dengan mengedepankan nilia-nilai tersebut, haparannya semua manusia yang dalam melaksanakan dan ikut dalam proses pendidikan selalu menjadi insan purna yang bertujuan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga mendapatkan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di samping itu, dalam Islam, tujuan pendidikan Islam yang dikembangkan adalah mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi perkerti dan akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sesungguhnya dari proses pendidikan. Pemahaman ini tidak berarti bahwa pendidikan Islam tidak memperhatikan terhadap pendidikan jasmani, akal, dan ilmu pengetahuan (science). Namun, pendidikan Islam memperhatikan segi pendidikan akhlak seperti memperhatikan segi-segi lainnya.128 Untuk itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Fadhil al-Djamaly, umat Islam harus mampu menciptakan sistem pendidikan yang didasari atas keimanan kepada Allah, karena hanya dengan iman yang benarlah yang menjadi 127
Muhammad Rifa’i, op. cit. hlm. 86. Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyat al-Islamiyah wa Falasafatuhu, (Beirut: Dar alFikr, tth), hlm. 22.
128
144
dasar pendidikan yang benar dan membimbing umat kepada usaha mendalami hakikat menuntut ilmu yang benar, dan ilmu yang benar akan membimbing umat kearah amal saleh.129 Pembahasan yang dikemukakan diatas, yakni tentang pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan sebuah turunan dari tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada paragraf sebelumnya. Dimana dalam proses pendidikan Manusia diarakan kepada nilai-nilai ketuhanan agar kemudian segala aktifitas dalam kehidupan mampu melahirkan budi pekerti dan akhlak yang sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Islam. 3. Dasar Pendidikan Islam Bertolak dari tujuan pendidikan yang telah dipaparkan di atas serta perubahan yang akan terjadi dalam kehidupan kultural, sosial-politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan untuk menuju masyarakat madani Indonesia, secara macro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan suatu kontruksi wacana keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat. Untuk dapat menghadirkan wacana yang dikehendaki di atas, maka menjadi sebuah kewajiban untuk dapat memahami sumber utama ajaran Islam. yakni Al-Qur’an dan Al-Hadis. Karena hanya dengan mampu memahami secara menyeluruh teks sumber utama ajaran Islam itulah manusia akan mendapatkan khazanah keilmuan yang luas dan tanpa keluar dari jalur yang sudah tertera dalam ajaran Islam, terlebih-lebih tentang pendidikan Islam. 129
Muzayin Arifin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat: Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikososial, dan Kultural, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1988), cet. Ke-1, hlm. 66.
145
Sampai saat ini para ilmuwan muslim yang menaruh minat kepada ilmu pendidikan Islam telah mulai mempelajari pendidikan Islam, tidak hanya dilihat sebagai pengalaman praktis dalam sejarah perkembangannya, melainkan mereka juga telah mempelajari pendidikan Islam sebagai ilmu yang akademik, dimana pengkajian dari segi teoritis menjadi dasar pengembangannya. Oleh karena itu, dalam jangka waktu yang tertentu Ilmu Pendidikan Islam masih berada dalam kondisi rintisan ilmiah-akademis seperti saat ini, akan tetapi dalam tahapan proses kesempurnaannya sebagai ilmu yang akademis dengan segenap perangkat ilmiahnya. Dalam melengkapi persyaratan ilmiah yang akademis, pendidikan Islam sebagai ilmu, selalu terbuka pada analisis atau pengkajian dari beberapa disiplin keilmuan yang relevan dengan tuntutan pendidikan Islam dimana pokoknya adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Dari sumber pokok pendidikan Islam itu, para ilmuan muslim mengkajinya dapat menemukan mutiara-mutiara kebenaran dari konsepsi ilahi yang mengandung nilai pedagogis baik dilihat dari segi teoritis maupun operasional, kecuali sejalan dengan prinsip-prinsip pandangan ilmiah dari para ahli didik modern, konsepsi kependidikan Islam juga mengkoreksi terhadap kekurangankekurangan studi mereka dalam ketetapan menganalisis faktor-faktor manusia didik sebagai objek studi, bahkan dalam beberapa aspek potensial rohaniah manusia didik seperti iman dan taqwa, para ilmuan mendapatkan petunjuk baru tentang sasaran-sasaran studi penting lainnya yang tidak mereka ketahui sebelumnya, karena mereka mementingkan gejala lahiriah.
146
Sebagai sumber pokok pedoman pendidikan Islam bagi umat manusia, AlQur’an mengandung dan membawakan nilai-nilai yang membudayakan manusia, hampir dua pertiga ayat-ayat Al-Qur’an mengandung motivasi kependidikan Islam bagi umat manusia. Pola dasar pendidikan Islam yang mengandung tata nilai Islam merupakan pondasi sturktural pendidikan Islam. Ia melahirkan asas, strategi dasar, dan sistem pendidikan yang mendukung, menjiwai, memberi corak dan bentuk proses pendidikan Islam yang berlangsung dalam berbagai model kelembagaan pendidikan yang berkembang sejak 14 abad yang lampau sampai sekarang.130 Bila diamati secara mendalam tentang bagaimana Tuhan mendidik alam ini, akan tampak bahwa Allah sebagai Yang Maha Pendidik (murabby al-a’dham) dengan kodrat iradat-Nya telah mepolakan suatu suprasistem apapun. Sebagai maha pendidik menghadapi segala sesuatu yang menyangkut kehidupan di alam ini berjalan dalam suatu sistem, suatu proses kehidupan yang terjadi secara alami. Hal demikian menjadi contoh bagi makhluk-Nya yang berusaha mengembangkan kehidupan secara manusiawi dan alami sesuai dengan garis yang diletakkan oleh Allah, yang kemudian selalu menjalankan proses pendidikan untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia dalam dunia maupun akhirat. Sejalan dengan apa yang sudah dipaparkan panjang di atas, bahwa AlQur’an dan Sunnah Nabi Muhammad (hadis) menjadi dasar utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, karena hanya dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis proses berjalannya pendidikan Islam pada suatu lembaga pendidikan 130
Prof. H.M. Arifin, M. Ed, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), cet. Ke-2, hlm. 21.
147
akan mampu menghantarkan peserta didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam menurut K.H. Hasyim Asy’ari. Begitu juga dengan dasar pendidikan Islam, sebagaiman yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari, bahwa pemikiran pendidikan Islam yang berdiri sendiri dan belainan dengan beberapa corak, tetapi pendidikan Islam tetap berpegang teguh pada semangat Al-Qur’an dan Hadis, yang terlihat pada karya monumental tentang pendidikan Islam, yakni Adal al‘Alim wa al-Muta’allim.131 Begitu kentalnya nuansa religius pada pola pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam. mulai dari mendefinisikan pendidikan Islam sampai pada dasar pendidikan Islam yang tetap menjaga nilai-nilai dari ajaran Islam. Al-Qur’an dan Hadis menjadi dasar atau landasan yang digunakan dalam proses penyelenggaraan pendidikan Islam merupakan pilihan yang tepat. Karena disadari atau tidak, akhir-akhir ini banyak lembaga pendidikan dalam penyelenggaraannya sedikit sudah melupakan ajaran-ajaran yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis, yang meskipun lembaga pendidikan tersebut terfavorit akan tetapi tidak mampu mengeluarkan dan menghantarkan peserta didik yang memiliki keagungan akhlak dan kedalaman spiritual. Hal tersebut dikarenakan kurangnya mengenyam pendidikan yang berbasiskan Al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, untuk mengembalikan pendidikan Islam pada poros ajaran Islam adalah dengan memberikan materi-materi pelajaran yang mengambil dan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis yang selanjutnya teks-teks dari Al-Qur’an dan Hadis tersebut disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, agar kemudian
131
Muhammad Rifa’i, op.,cit, hlm. 91.
148
peserta didik dalam memahami teks-teks tersebut tidak terkesan kolot. Dengan keilmuan yang dimiliki oleh peserta didik, harapannya peserta didik yang sedang dalam proses pembelajaran mampu menginterpretasikan teks-teks tersebut dalam rangka memehami situasi dan kondisi yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Dari itu, setiap usaha dan tindakan (kegiatan) yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan untuk tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sesuai dengan apa yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai suatu usaha dan tindakan membentuk manusia seutuhnya, harus mempunyai dasar atau landasan ke mana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan. Landasan dan dasar yang dimaksud di atas adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW (Hadis) yang dapat dan selalu ditumbuhkembangkan dengan ijtihad untuk menyesuaikan kondisi dan situasi. Dalam paragraf di bawah ini akan sedikit dipaparkan terkait dasar atau landasan
yang
digunakan
sebagai
acuan
dan
rujukan
dalam
proses
penyelenggaraan pendidikan Islam yang sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari: a.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang
149
berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah.132 Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak begitu banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Hal ini menunjukkan amal itulah yang seharusnya banyak dilakukan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal saleh (syari’ah). Pendidikan, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah, pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat. Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ajaran yang berisikan tentang prinsipprinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Sebagai contoh dapat dibaca kisah Lukman mengajari anaknya dalam surat Luqman ayat 12-19. Cerita itu menggariskan prinsip materi ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai suatu kegiatan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan Islam harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam. dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang penafsirannya 132
Dr. Zakiah Daradjat,dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), cet. Ke-3, hlm. 19.
150
dapat dilakukan berdasarkan ijtihad yang disesuaikan dengan perubahan dan pembaharuan.133 b. As-Sunnah As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah SWT. Yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui oleh Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah AlQur’an. Seperti Al-Qur’an, Sunnah juga berisi aqidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemashlahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Untuk itu Rasul Allah menjadi guru dan pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama dengan menggunakan rumah Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.134 Oleh karena itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran yang berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah yang bekaitan dengan pendidikan. Perlu kiranya ditegaskan kembali bahwa dasar atau landasan yang digunakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam kaitannya pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah (hadis). Akan tetapi untuk dapat memahami isi Al-Qur’an 133 134
Nashir Ali, Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 20. Dr. Zakiah Daradjat, dkk, op,.cit, hlm. 20-21.
151
dan Hadis perlu kiranya adanya ijtihad, terlebih-lebih ijtihad dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah (hadis) yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Ijtihad dalam pendidikan Islam harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup pada kondisi dan situasi tertentu. Terlepas dari perbincangan di atas. Bahwa, kegiatan pendidikan dan pengajaran yang merupakan tugas setiap warga negara dan pemerintah, harus berlandaskan falsafah dan pandangan hidup bangsa ini (pancasila), dan harus dapat membina warna negara yang berfalsafah dan berpandangan hidup yang sama. Oleh karena itu, landasan pendiidkannya harus sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup itu (pancasila). Dan sebagai penganut ajaran agama yang taat, seluruh aspek kehidupannya harus disesuaikan dengan ajaran agamanya (AlQur’an dan Sunnah). Maka, warganegara yang setia pada bangsa dan taat pada agama, harus dapat menyesuaikan falsafah dan pandangan hidup pribadinya dengan ajaran agama serta falsafah dan pandangan hidup bangsanya. Namun bila ternyata ada ketidaksesuaian atau pertentangan, maka para mujtahid dalam bidang pendidikan harus berusaha mencari jalan keluarnya dengan menggunakan ijtihad yang sudah digariskan oleh agama, dengan ketentuan bahwa ajaran agama yang prinsip tidak boleh dilanggar atau ditinggalkan.135 Sejalan dengan itu maka pendidikan agama (Islam) sebagai suatu tugas dan
kewajiban
pemerintah
dalam
mengemban
135
aspirasi
rakyat,
harus
Prof. Dr. Muhammad Athiyah Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 23-24.
152
mencerminkan dan menuju ke arah tercapainya masyarakat pancasila dengan warna agama. Dalam kegiatan pendidikan, agama dan pancasila harus dapat isi mengisi dan saling menunjang. Pancasila harus dapat meningkatkan dan mengembangkan kehidupan beragama, termasuk pendidikan agama. Ini berarti bahwa pendidikan Islam itu, selain belandaskan Al-Quran dan Sunnah, juga berlandaskan
pancasila
yang
kemudian
dengan
didasari
ijtihad
dalam
menyesuaikan kebutuhan bangsa yang selalu berubah dan berkembang. Dengan ijtihad itu, dapat ditemukan penyesuaian antara pancasila dengan ajaran agama (Al-Qur’an dan Sunnah) yang secara bersamaan dijadikan landasan pendidikan, termasuk pendidikan agama.
153
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam Mengamati pendidikan yang berkembang saat ini, maka akan diperoleh gambaran, yang dalam beberapa hal kurang menyenangkan. Pendidikan, selain bersifat parsial, pragmatis, tetapi dalam banyak hal bersifat paradoks. Fenomena yang tampak parsial, terlihat lebih sebatas mengembangkan intelektual dan keterampilan. Kehidupan seseorang tidak cukup jika hanya dibekali dengan ilmu dan keterampilan. Cukup banyak bukti, seseorang yang memiliki kekayaan ilmu dan keterampilan, jika tidak dilengkapi dengan kekayaan akhlak (pengetahuan agama Islam) atau moral yang mencukupi, maka justru ilmu dan keterampilan yang disandang akan melahirkan sikap-sikap individualistik dan materialistik. Jika dua sifat itu semakin jauh tumbuh dan berkembang pada diri peserta didik, maka akan menampakkan prilaku yang kurang terpuji. Pendidikan yang berorientasi pada hal-hal yang praktis dan pragmatis seperti tergambar diatas, tampak jelas dari orientasi pendidikan yang dikembangkan saat ini. Isu pendidikan yang dikembangkan lebih banyak mengarah pada lapangan kerja. Maka muncullah kemudian konsep-konsep pendidikan yang terkait dengan lulusan yang siap pakai, siap kerja, siap latih, dan sejenisnya. Selain itu orang akan mengukur hasil pendidikan dengan ukuranukuran yang sederhana, seperti berapa indeks prestasi atau NEM yang sudah daraih, dan sejenisnya. Pendidikan dikatakan berhasil jika mampu memunculkan
154
alumni atau sarjana yang cepat diterima di lapangan kerja, dan bergaji tinggi. Padahal, bukankah ukuran-ukuran seperti itu sesungguhnya adalah jauh dari konsep pendidika Islam yang lebih luhur, misalnya agar bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil dan seterusnya. Jika ukuran-ukuran yang dikembangkan seperti orientasi sederhana yang terjelaskan di atas, maka sesungguhnya pendidikan Islam selama ini masih belum menyentuh aspek yang lebih substansial atau yang lebih bersifat hakiki. Pada hakikatnya, semua hal ataupun aktifitas akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, jikalau hal ataupun aktifitas itu mempunyai makna yang baik. Dalam hal ini adalah kemampuan untuk mendefinisikan kembali hal ataupun aktifitas yang dilakukan tersebut, begitu pula dengan pendidikan Islam. tujuan pendidikan Islam tidak akan pernah tercapai dan bahkan mungkin akan menemui kegagalan pada saat proses pembelajaran, jika elemen yang berkaitan dengan pendidikan belum mampu mendefinisikan pendidikan Islam itu sendiri. Hal-hal ataupun perbuatan-perbuatan negatif yang sudah dikemukakan diparagraf atas merupakan salah satu kegagalan elemen pendidikan dalam memaknai pendidikan Islam. ibarat kata, jika pendidik tidak mangetahui apa itu gunting, maka bias jadi gunting tersebut akan dijadikan sebagai alat untuk membunuh, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketidakberhasilan pendidikan Islam pada akhir-akhir ini mengundang kembalinya atau mengembalikan makna pendidikan Islam itu kepada jalur yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun sesungguhnya, bila bukan
155
untuk kepentingan ilmu, tidaklah begitu penting membuat pembahasan atau mendefinisikan kembali apa pendidikan itu. Semua orang sudah mengetahui makna pendidikan itu. Pendidikan menurut orang awam adalah mengajari murid di sekolah, melatih peserta didik hidup sehat, menekuni penelitian, membawa peserta didik ketempat-tempat ibadah, melatih peserta didik untuk bernyanyi, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak hanya sebatas itu, dalam rangka untuk memenuhi kepentingan ilmu, dalam hal ini ilmu pendidikan Islam, perumusan definisi yang teliti tidak dapat dihindari. Karena dengan mampu mendefinisikan pendidikan Islam itu sendiri, maka akan dengan mudah dalam pelaksanaannya dan dengan sendirinya tujuan dari pendidikan tersebut akan mudah tercapai. Maka dengan demikian, paragraf dibawah ini akan sedikit mengupas kembali definisi pendidikan Islam dalam perspektif pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang kemudian akan didapatkan persamaanpersamaan dan bahkan mungkin perbedaan dari definisi pendidikan Islam tersebut. Karena diakaui atau tidak, dalam pandangan sejarah, kedua tokoh tersebut hidup pada tahun yang berbeda, dan tentunya setting sosialpun berbeda. Karena latar belakang kondisi social juga merupakan salah satu factor pembentukan pola fakir manusia. 1. Definisi Pendidkan Islam Perlu dijelaskan terlebih dahulu pada awal pembahasan ini, bahwa pembahasan masalah pendidikan Islam disini adalah diarahkan pada masalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah di Indonesia dan sesuai dengan ajaran Islam yang dipeluk bangasa Indonesia serta diakui oleh pemerintah.
156
Dengan memfokuskan pembahasan pada masalah pendidikan Islam saja, maka pembahasan tidak terlalu luas serta agar mudah difahami arah pembicaraannya. Oleh karena itu, dalam pembahasan pendidikan Islam selalu menghubungkan dengan agama Islam, baik dalam pengertian, dasar pendidikan, tujuan pendidikan agama dan seterusnya. Pendidikan mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, yang selalu mengandung fikiran para ahli dan pecinta pembaharuan. Para cendekiawan di bidang pendidikan masing-masing memberi pandangan tentang masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Sekalipun mereka berlainan pendapat dalam memberi batasan tentang pendidikan, akan tetapi ada kesepakatan diantara mereka bahwa pendidikan itu dilaksanakan untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, demi kesempurnaan pribadinya. Untuk membahas pengertian pendidikan Islam, maka harus dimengerti terlebih dahulu apa sebenarnya yang disebut dengan pendidikan itu sendiri. Sehubungan dengan hal ini penulis mencoba mengemukakan teori pendapat yang berkaitan dengan pengertian pendidikan. Mendefinisikan sesuatu hal tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial pada saat itu. Dalam cacatan sejarah, K.H. Ahmad Dahlan hidup pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Penjajahan itu dilakukan oleh mereka tidak hanya dalam bentuk fisik, akan tetapi mulai dari penjajahan pemikiran, fisik, dan bahkan sampai penguasaan sumber alam dan sumber manusia. Penjajahan pemikiran dilakukan oleh mereka dengan cara tidak memberikan sedikitpun ruang-ruang kepada meraka untuk mengeksplorasikan
157
ide-ide ataupun gagasan. Karena pemerintahan Belanda dan Jepang sangat mengkhawatirkan akan terjadi perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Dengan tidak memberikan ruang-ruang kebebasan berfikir, pemerintah Belanda dan Jepang dengan mudah mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kepentingan bangsa mereka tanpa ada perlawanan. Oleh karena itu, definisi yang dikemukakan oleh K.H. Ahamd Dahlan sangat kental dengan aroma pembebasan berfikir yang statis karena penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dan Jepang munuju pemikiran yang kritis dan dinamis sebagai upaya perlawanan dan menyelamatkan umat Islam dari kedua penjajah tersebut. Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan adalah upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis.136 Dari definisi tersebut nampak jelas pola berfikir K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam, bahwa harapannya dengan menjadikan pendidikan sebagai upaya stratgis atau sarana untuk merubah pola fikir masyarakat pada waktu itu yang terkekang oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Karena hanya dengan mampu berfikir kritis dan dinamislah masyaratkat Indonesia bisa keluar dari pembodohan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Selanjutnya, pembahasan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam pun tidak bisa dilepaskan dari setting sosial pada saat itu. Dapat diketahui, bahwa pada saat penjajahan oleh pemerintah Belanda dan Jepang kepada rakyat Indonesia, tak terkecuali K.H. Hasyim Asy’ari untuk melakukan 136
Dr. H. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan historis, teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hlm. 100
158
tradisi seikeirei, yaitu setiap pagi harus membungkukkan badan pada simbolsimbol pemerintahan mereka. Beliau menolak tradisi tersebut dipaksakan kepada beliau. Karena beliau berkeyakinan bahwa seorang muslim punya Tuhan yang disembah, bukan simbol-simbol kekuasaan mereka yang harus disembah. Dari situlah dapat sedikit ditelisik tentang beberapa pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari mengenai pendidikan Islam, bahwa Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, yang membedakan anatara manusia dengan binatang, antara lain adalah ilmu. Ilmu tersebut dapat didapat dengan salah satu perantara pendidikan, karena pendidikan merupakan proses manusia untuk dapat mengetahui segala sesuatu yang ingin diketahui, dan yang belum diketahui. Oleh karena itu, dunia pendidikan atau mencari ilmu itu penting bagi sebuah identitas manusia. Dalam salah satu karya populernya, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, K.H. Hasyim Asy’ari
menyebutkan
bahwa
pendidikan
adalah
sarana
mencapai
kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya penciptanya, untuk apa diciptakan, melakukan segala perintahnya dan menjahui segala larangannya, untuk berbuat baik di dunia dan menegakkan keadilan.137 Dengan pendidikan manusia akan memperolah pengetahuan yang luas dan ilmu yang banyak, maka dengan ilmu yang banyak akan dapat dibedakan antara manusia dan bintang yang tidak dengan mudah dapat disuruh menyembah sesuatu selain kepada Tuhannya, seperti tindakan yang diperintahkan oleh pemerintah penjajah pada saat itu. Dengan pendidikan, harapan besar dari K.H. Hasyi Asy’ari
137
Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari : Biografi Singkat 1871-1947, (Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010), hlm. 85.
159
adalah agar rakyat Indonesia tidak terlalu mudah untuk dibodohi dengan diperintah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Dari pemaparan tentang definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari di atas, maka akan dengan mudah dilihat persamaan dan perbedaannya. Persamaan dan perbedaan itu muncul karena latar belakang biografi sampai dengan kondisi pada waktu itu. Pada hakikatnya, pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari memiliki persamaan, hal itu dikarenakan dalam catatan sejarha mereka sama-sama hidup pada era penjajahan pemerintah Belanda dan Jepang, meskipun pada tahun yang berbeda. Tetapi, minimal ada kesamaan pemikiran karena dilatar belakangi kondisi yang hampir sama. Adapun kesamaan pendefinisian pendidikan Islam antara K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari adalah bahwa: 1. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya untuk mengeluarkan rakyat Indonesia dari cengkraman penjajah. 2. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran bahwa betapa pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk memperluas khazanah keilmuan rakyat Indonesia dan umat Islam. 3. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mendefinisikan pendidikan Islam upaya menyelamatkan umat Islam dari jurang kebodohan, yang mampu berfikir dinamis untuk kemudian mengetahui jatidiri dirinya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan
160
kemudian tuntutan untuk menghambakan dirinya kepada penciptaNya. Minimal ketiga point itulah yang menjadi kesamaan dari pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang definisi pendidikan Islam, karena pada hakikatnya pendidikan Islam merupakan upaya untuk membebaskan umat manusia dari segala macam ketertindasan untuk mencapai kemerdekaan (dalam segala hal), dan untuk memaksimalkan potensi kefitrahannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan suatu proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik. Karena ia merupakan sebagai alat yang dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia
(sebagai
makhluk
pribadi
dan
sosial)
kepada
titik
optimal
kemampuannya untuk memperoleh kesejateraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat. Kendati dalam peta pemikiran Islam tentang pendidikan Islam yang diwakili oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam rangka menghubungkan Islam dengan pendidikan masih diwarnai banyak perdebatan. Namun, yang pasti relasi Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang. Mereka sejak awal mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara ontologis, epistimologis, maupun aksiologis. Yang dimaksud dengan pendidikan Islam sesuai dari hasil komparasi pemikirannya K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari disini adalah :
161
pertama ia merupakan suatu upaya atau proses yang dilakukan secara sadar dan terencana membantu peserta didik melalui pembinaan, asuhan, bimbingan, dan pengembangan potensi mereka secara optimal agar nanti dapat memahami menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai keyakinan dan pandangan hidup demi keselamatan (kemerdekaan dalam segala hal) di dunia dan akhirat. Kedua merupakan usaha yang sistimatis, dinamis, dan metodologis dalam membimbing anak didik atau tiap individu dalam memahami menghayati dan mengamalkan ajaran islam secara utuh demi terbentuk kepribadian yang utama menurut ukuran islam. Dan ketiga merupakan segala upaya pembinaan dan pengembangan potensi anak didik untuk diarahkan mengikuti jalan yang islami demi memperoleh keutamaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Selanjutnya, karena sifat dari karya tulis ini adalah komparasi, maka setelah mengetahui persamaan definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, pembahasan selanjutnya adalah mencari dan mengetahui perbedaannya. Dal hal ini akan dilihat dalam sudut pandang substansi dari definisi pendidikan Islam tersebut dan tidak ada maksud untuk mencari sebuah kebenaran dari sebuah perbedaan dikalangan ulama ataupun para pakar pendidikan Islam yang dibaha dalam tulisan ini. Pada paragraf ini, akan dikupas pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Hampir setengah dari kehidupan K.H. Ahmad Dahlah diabdikan untuk memikirkan pendidikan Islam. Oleh karena itu, tidak menjadi sebuah keheranan jikalau mendengar bahwa beliau adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam pendidikan Islam di Indonesia. Mengenai definisi pendidikan Islam dalam
162
pandangan K.H. Ahmad Dahlan terdapat kata kunci yang menunjukkan sedikit perbedaan dengan K.H. Hasyim Asy’ari, yaitu penyelamatan umat Islam dari kestatisan berfikir. Kalimat tersebut sangat identik dengan slogan “pembaharuan” yang dibawah oleh K.H. Ahmad Dalan. Kestatisan berfikir akan mengakibatkan produktivitas manusia akan berkurang, bahkan mungkin akan tidak mampu lagi untuk memproduksi baik dalam bentuk ide-ide atau gagasan sampai pada perbuatan dalam keseharian. Ketika manusia tidak mampu lagi untuk berfikir dan berbuat, maka yang terjadi adalah manusia (seperti yang di atas) akan menjadi objek penindasan-penindasan oleh orang-orang yang tidak dapat menggunakan pengetahuannya pada jalan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dengan semangat pembaharuan yang dibawah oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan Islam. Pendidikan dijadikan sebagai alat yang mampu memberikan kesadaran pada umat Islam, bahwa betapa pentingnya pendidikan Islam dalam rangka menyelamatkan umat Islam dari keterpurukan. Dan dengan pendidikan yang proses pembelajarannya berjalan dengan baik, maka akan terlahir peserta didik yang akan mampu berfikir dinamis dan sistematis sebagai jawaban dari tantangan globalisasi hari ini. Kemudian, agak sedikit berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Dari sudut pandang substansi definisi tersebut, agaknya definisi yang dipaparkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari lebih kental dengan nuansa religius. Bagaimana tidak, definisi pendidikan Islam dengan uraian bahwa pendidikan Islam sebagai sarana mencapai kemanusiaannya, sehingga menyadari
163
siapa sesungguhnya penciptanya, untuk apa diciptakan merupakan bukti nilai-nilai ketauhidan yang sangat kental terdapat pada definisi tersebut. Pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk menyadarkan kembali umat Islam, bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah kemanusiaannya yang memiliki potensi yang harus dikembangkan sesuai dengan kemauan dan kemampuannya sehingga mampu melaksanakan segala perintah dan menjahui segala larangan yang sudah digariskan oleh penciptanya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang paling sempurna dari sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan. Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk kemudian mencari titik puncak kemanusiaannya agar manusia mengetahui sejatinya maksud dan tujuan Tuhan menciptakan manusia. Proses pencarian tersebut dapat dilakukan hanya dengan pelaksanaan pendidikan, baik pendidikan di dalam lembaga pendidikan ataupun di luar lembaga pendidikan. Nuansa ketauhidan yang begitu kental dengan sengaja dipaparkan K.H. Hasyim Asy’ari dalam mendefinisikan pendidikan Islam, karena dengan harapan pendidikan dengan proses pembelajarannya mampu melahirkan manusia-manusia (peserta didik) yang memiliki khazanah keilmuan yang luas dengan tanpa meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagi makhluk ciptaan Tuhan, yakni mampu mendekatkan diri kepada sang pencipta dengan melakukan segala perintah dan menjahui semua hal yang dilarang olehNya. Dan peserta didik yang seperti itulah yang hari ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena melihat keterpurukan bangsa dalam menghadapi perubahan
164
zaman yang begitu cepat ini. Arus globalisasi menuntut para elemen yang bergelut dalam dunia pendidikan untuk kembali merumuskan pendidikan yang baik dan tepat dengan tetap mengedepankan nilai-nilai keislaman yang sesuai dengan rumusan K.H. Hasyim Asy’ari. 2. Tujuan Pendidikan Islam Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia. Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusiinstitusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusiinstitusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya
165
yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Perbincangan tentang tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah SWT., lahir dan batin, dunia dan akhirat. Tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan ahli pendidikan Islam dari semua golongan dan mazhab dalam Islam. Tak terkecuali oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Pertanyaan yang perlu diajukan terhadap masalah tujuan adalah, benarkah pendidikan itu mempunyai tujuan? Apakah tujuan pendidikan itu hanya hasil pikiran pendidik? Kajian fenomenologi dengan tegas mengatakan bahwa setiap gejala pendidikan itu mempunyai tujuan akhir. Memang pendidik memegang peranan penting dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut. Demikian pula
166
pendidik memegang peranan pula dalam mengarahkan situasi pendidikan, sehingga mencapai tujuan yang positif dan konstruktif. Gejala sosial dapat menjadi gejala mendidik, manakala gejala tersebut mengandung tujuan yang bermanfaat bagi pendidikan. Tujuan akhir pendidikan itu secara universal ialah kedewasaan. Maka, pada penjelasan di bawah ini akan memaparkan tentang persamaan dan perbedaan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, yang kemudian dapat dijadikan acuan pada perumusan pendidikan Islam saat ini yang sesuai dengan tuntunan zaman. Sedikit mengingatkan kembali, bahwa tujuan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah sebagai bentuk eksisitensi umat Islam yang pada waktu itu mengalami penjajahan dari pemerintahan Belanda dan Jepang. Sebagai bukti perlawanan terhadap simbol-simbol penjajahan, maka K.H. Ahmad Dahlan menjadikan pendidikan Islam sebagai benteng pertama untuk melindungi budaya dan kultur umat Islam pada waktu itu. Jelas sudah seperti yang dipaparkan oleh Adi Nugroho dalam bukuny, bahwa cita-cita atau tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia yang baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seseorang Muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan ruhani.138 Kata “lahirnya manusia yang baru” dalam rangkaian tujuan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan merupakan sebuah harapan pada 138
Adi Nugroho, KH. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923, (Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010), hlm. 137.
167
pendidikan Islam agar supaya mampu mencetak generasi baru yang memiliki keahlian sesuai dengan potensi yang dimilikinya agar kemudian mampu menjadi pemimpin dimuka bumi ini. Kemudian kata “mampu tampil sebagai ulamaintelek atau intelek-ulama” merupakan sebuah tujuan akhir dari proses dilaksanakannya pendidikan Islam, agar peserta didik yang sedang menjalani proses pendidikan mempunyai kapasitas keilmuan yang tinggi dan mampu menjadi sosok yang memiliki pemahaman keagamaan yang luas. Beranjak kepada tujuan pendidikan Islam yang diharapkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Dalam hal ini, Muhammad Rifa’i menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah terwujudnya insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan insan purna yang mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.139 Istilah “insan purna” digunakan sebagi simbol bahwa pendidikan Islam mampu melahirkan, menamatkan, mencetak alumni-alumni yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik itu sendiri. Dalam artian, bahwa pendidikan sebagai sarana untuk memberikan ruang kepada peserta didik untuk mengeksplorasikan potensi-potensi yang dimilikinya. Kemudian di tambah dengan kata “bertujuan mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat” mengisyaratkan bahwa tujuan akhir dari sebuah pendidikan adalah kembali pada sang pencipta. Harapannya, pendidikan mampu menghantarkan peserta didik untuk kembali sadar bahwa dirinya dan segala apa yang ada disekelilingnya adalah ciptaan Tuhan, termasuk pendidikan Islam. Oleh
139
Muhammad Rifa’i, op. cit. hlm. 86.
168
karena itu, pendidikan Islam harus berorientasi kepada nilai-nilai ketauhidan agar manusia mendapatkan kebahagian dunia akhirat. Sudah dapat dilihat, dari dua tujuan yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari di atas, pada hakikatnya memiliki persamaan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan Islam diharapkan mampu mencetak manusia-manusia (insan) yang memiliki kapasitas keahlian sesuai dengan potensi yang dimilikinya. 2. Pendidikan Islam diharapkan berorientasi kepada kebutuhan masa depan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai keagamaan atau nilainilai yang sudah diajarkan oleh Islam agar mendapatkan kebahagian dunia akhirat. 3. Pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran kembali bahwa segala sesuatu akan kembali pada sang pencipta. Setidaknya tiga persamaan tujuan pendidikan Islam itulah yang bisa diambil, karena hanya dengan sarana pendidikan Islam yang berorientasi pada pembentukan peserta didik dengan segala potensi yang dimilinya, dan dengan memberikan nilai-nilai keagamaan pada proses pembelajaran, maka dengan sendirinya peserta didik akan terlahir sebagai manusia baru atau insan purna yang mampu tampil sebagi intelek-ulama yang mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, hakikat pendidikan tiada lain adalah humanisasi yang benuansa teologi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya
169
manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan normanorma agama yang dianutnya. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dst. Sebab itu, pendidikan bersifat normatif dan mesti dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat hal di atas, pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya,
tepat
isi
kurikulumnya
serta
efisien
dan
efektif
cara-cara
pelaksanaannya. Implikasinya, dalam pendidikan. Dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan islam merupakam usaha untuk membentuk akhlakul karimah, membantu peserta didik dalam mengembangkan kognisi afeksi dan psikomotori guna memahami menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai pedoman hidup sekaligus sebagai kontrol terhadap pola fikir pola laku dan sikap mental, membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin dangan membentuk mereka menjadi manusia beriman bertaqwa berakhlak mulia memiliki pengetahuan dan keterampilan berkepribadian integratif mandiri dan menyadari sepenuh peranan dan tanggung jawab diri di muka bumi ini sebagai abdulloh dan kholifatulloh. Selanjutnya adalah pembahasn mengenai perbedaan dari tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Seperti yang sudah dikemukakan diawal, bahwa pemikiran K.H. Ahmad Dahlan cenderung pada slogan yang selama ini masing menepel pada dirinya, yakni
170
membawa pembaharuan dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali pendidikan Islam. Sedangkan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari lebih condong kepada penyelamatan atau pelestarian budaya-budaya umat Islam, yang cenderung bersifat tradisionalis dengan harapan budaya-budaya umat Islam masih dapat dipertahankan sampai akhir kehidupan manusia. Kesan tradisionalis itupun terlihat dalam pemikirannya tentang pendidikan Islam. Dalam paragraf ini, akan dikupas mengenai rumusan tujuan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan. Bila dirunut dari sejarah panjang perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam membangun dan memajukan umat Islam dari keterbelakangan, sangat terasa gigihnya memperjuangkan cita-cita besarnya. Dan menurut K.H. Ahmad Dahlan, perjuangan itu akan berhasil manakala ditopang oleh dua komponen utama yang melandasinya, yakni pendidikan dan dakwah. Dari sinilah tampak K.H. Ahmad Dahlan begitu semangat untuk melakukan terobosan pembaharuan melewati dua elemen tersebut (pendidikan dan dakwah). Sebab lembaga pendidikan Islam masih dianggap sebagai media yang paling strategis dalam menyampaikan cita-cita perubahan.140 Pendidikan memang memegang peranan penting dalam pembentukan, perubahan dan perkembangan bangsa, tidak terkecuali pendidika Islam. Karena dengan mengedepankan pendidikan Islam, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat dan memiliki moralitas yang baik dalam kacamata bangsa lain. Akan tetapi, akibat adanya dikotomi ilmu, pemisahan antara pendidikan agama 140
Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), hlm. 112.
171
(Islam) dan pendidikan sains Barat tidak dapat terelakkan. Di satu pihak lembagalembaga pendidikan Islam saat ini belum bisa menghasilkan ilmuwan yang mempunyai otoritas karena mementingkan masalah akhirat semata, dan di pihak lain pendidikan yang diselenggarakan oleh kolonial penjajah sama sekali tidak memperhatikan masalah-masalah kehidupan keakhiratan, hanya mementingkan kehidupan keduniawian. Akibatnya terjadi jurang pemisahan (dikotomi) yang sangat lebar antara lulusan lembaga pendidikan Islam dan lulusan lembaga pendidikan Barat yang sekuler. Untuk itulah, melihat kondisi sosial pendidikan umat Islam pada saat itu, K.H. Ahmad Dahlan merasa tergerak untuk melakukan aktivitas yang menerapkan sistematika kerja organisasi ala Barat. Melalui pelembagaan amal usahanya, K.H. Ahmad Dahlan melakukan penangkalan budaya atas penetrasi pengaruh kolonial Belanda dalam kebudayaan, peradaban, dan keagamaan. Sistem Pendidikan yang hendak dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan system klasikal. Dimana beliau mencoba menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan Islam secara integral. Dengan harapan pendidikan Islam yang modern dengan tetap mengedepankan aspek-aspek keislaman ini dapat melahirkan peserta didik yang mampu tampil sebagai ulamaintelek dan intelek-ulama yang sesuai dengan kebutuhan pada zamannya. Maka, kalau dilihat secara kasap mata, akan dapat disimpulakan, bahwa tujuan pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari memiliki beberapa perbedaan. Dari pengamatan yang sudah dilakukan, rumusan pendidikan
172
Islam yang sudah dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari lebih pada upaya mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat, menghambakan diri kepada Allah, memperkuat keislaman, malayani kepentingan masyarakat Islam, dan berakhlak mulia. Rumusan tujuan dan orientasi pendidikan Islam ini lebih bersifat metafisik, dan lebih ditekankan pada usaha membimbing kea rah pembentukkan kepribadian muslim, yaitu manusia yang berilmu, beriman, beramal sholeh, manusia yang berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang lebih bersifat metafisik.141 Dengan kerangka di atas, dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya bagaimana membuat manusia sibuk untuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja, dan justru melupakan kepekaannya kepada kemanusiaan, tetapi sesungguhnya rumusan pendidikan yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah upaya memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dan dunianya, serta memuliakan dan memberdayakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Rumusan tujuan pendidikan Islam ala K.H. Hasyim Asy’ari lebih diorientasikan kepada kehidupan akhirat, dan memang cenderung bersifat defensive, yaitu supaya menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang dating melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Oleh karena itu, K.H. Hasyim Asy’ari hadir dalam rangka menyelamatkan budaya-budaya Islam 141
Drs. Ismail Thoib, M. Pd, Wacana Baru Pendidikan: Meretas Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), cet. Ke-2, hlm. 181-182.
173
tradisionalis dengan tetap mengedepankan nilai-nilai yang sudah di ajarkan oleh Islam. 3. Dasar Pendidikan Islam Sebagaimana sudah diketahui bahwa pendidikan Islam terdiri dari dua buah kata, yaitu Pendidikan dan Islam. Terminology “pendidikan” banyak dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan pandangan yang mereka gunakan. Definisi yang dianggap paling sesuai adalah bahwa pendidikan merupakan usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Terminology kedua adalah “Islam”. Kata Islam dalam Pendidikan Islam menunjukkan warna atau corak pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang bercorak Islam atau Islami, yaitu pendidikan yang berlandaskan Islam. Dengan demikian ada pendidikan selain Islam yang konsekuensinya bahwa pendidikan itu berbeda dengan pendidikan Islam. Dari kerangka di atas yang menyebutkan bahwa terdapat dua lembaga pendidikan, yakni pendidikan Islam dan ada pendidikan yang diluar Islam, maka akan dapat diketahui hal yang membedakan pendidikan tersebut, yakni pada aspek landasan dan dasar dari pendidikan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang dikuti oleh Hery Noer Aly, bahwa kata dasar secara bahasa berarti alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajatran atau aturan).142
142
Drs. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 29.
174
Apa yang sudah disampaikan di atas mengisyaratkan bahwa dasar atau landasan dari sebuah tindakan menjadi sangat penting untuk kemudian diketahui dean bahkan mugking harus dikaji. Karena dengan mengetahui dasar atau landasan dari sebuah kegiatan tersebut, maka akan dapat difahami substansi yang dibawa dari kegiatan atau tindakan tersebut, begitupun dengan pendidikan Islam. Dasar atau landasan dari pendidikan Islam harus dikupas dan dikaji untuk mengetahui substansi dari pendidikan Islam tersebut, dan dengan dasar atau landasan yang jelas, maka tujuan dari pendidikan Islam itupun akan menjadi jelas pula. Berangkat dari pembahasan yang sudah dipaparkan di atas, bahwa begitu pentingnya untuk mengetahui dasar atau landasan dari pendidikan Islam. Maka, sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mengenai dasar pendidikan Islam. Yang mana dalam pandangan kedua tokoh tersebut, bahwa pendidikan Islam haruslah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Karena hanya dengan mengembalikan segala sesuatu kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW., manusia akan menemukan sebuah kebenaran yang hakiki. Begitu juga dengan mendasarkan pendidikan Islam pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW., maka diharapkan pendidikan Islam mampu mencetak peserta didik yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dengan tetap berlandaskan atau berdasar pada nilai-nilai yang termaktub dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW. Dalam tiap aktivitas manusia sebagai instrumen transformasi ilmu pengetahuan budaya dan sebagai agen perubahan sosial pendidikan memerlukan
175
satu landasan fundamental atau basik yang kuat. Adapaun dasar yang di maksud adalah dasar pendidikan Islam suatu totalitas pendidikan yang wajib bersandar pada landasan dasar. Pendidikan Islam baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas yang bergaerak dalam rangka pembinaan kepribadian yang utuh memerlukan suatu dasar yang kokoh. Kajian tentang pendidikan Islam tak lepas dari landasan yang terkait dengan sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari bahwa semua materi kehidupan sudah terangkum dalam Al-Qur’an dan dijelaskan kembali oleh sunnah Rasul SAW., seakan-akan Al-Qur’n adalah sebuah “buku sejarah” yang mampu membuka segala peristiwa yang terjadi dalam alam semesta, baik dari zaman dulu sampai zaman yang akan dating semua sudah terselip dalam AlQur’an. Tidak ketinggalan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang pendidikan, karena sejatinya Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang membutuhkan arahan dalam mengarungi kehidupan. Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi. Dalam hal ini akan dikemukakan ayat ayat atau hadits hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, dengan asumsi dasar, seperti dikatakan an Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya.
176
Hal-hal yang sudah tersampaikan di atas merupakan gagasan yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Kedua tokoh tersebut bersepakat bahwa dasar atau landasan pendidikan Islam harus bersumber kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW., karena sesuai yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Luqman yang menjelaskan tentang pendidikan Islam.
"
/" 9
2
.
*=
)& )
<5(
)0 /$%1
%,4
*3
":
)
.$ +1 ? #2 -@ ( .
",
( 5" "
$
*
$5
1
)C
4 (
D9"G6> 0?" D "
177
(
/" *
'? 2*3
1 = > 0 5 A6
1
"8
7
:;0 .
./ 9 "8 > * 7" 2 = ",
9-
<
8 ' &
-
B7
3"#
1 ;* E" 4D 9
3"# ,$*= 3"# !
,:;
*
> +1
!
"#
%
F +
Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (12), Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (13), Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (14), Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku,
kemudian
hanya
kepada-Kulah
kembalimu,
Maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Al-Luqma: 1215).143 Begitu jelasnya nilai-nilai pengajaran ataupun pembelajaran (pendidikan Islam) yang tersampaikan dalam ayat tersebut. Maka, tidak menjadi kesalahan jikalau menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar atau landasan pendidikan Islam. Tidak berhenti pada dasar ajaran Islam yang pertama. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ri pun menuturkan, bahwa untuk menjelaskan teks-teks Al-
143
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.654.
178
Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan Islam harus menggunakan Hadis (Sunnah Rasul SAW). Dalam hadis pun banyak terkandung nilai-nilai pendidikan Islam, banyak tindakan mendidik yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam pergaulannya bersama para sahabatnya. Rasul menganjurkan agar pembicaraan yang diarahkan kepada orang lain hendaknya disesuaikan dengan tingkat kemampuan berfikir mereka. Beliau selalu memperhatikan setiap orang sesuai dengan sifatnya : wanita atau lelaki, orang tua atau anak-anak. Kepada orang yang menyenangi harta, beliau akan memberinya harta agar hatinya menjadi lunak. Kepada orang yang menyenangi kedudukan, beliau akan menempatkan kedudukan orang itu dekat dengannya, karena dimata kaumnya beliau adalah orang yang berkedudukan. Dalam pada itu, beliau tidak pernah lengah untuk menyeru agar beribadah kepada Allah dan melaksanakan syari’at-Nya. Seiring dengan fungsi hadis atau sunnah Rasulullah SAW yang sudah tersampaikan di atas, maka Implementasi dan implikasi dalam lapangan pendidikan Islam, hadis atau sunnah Rasulullah SAW mempunyai dua faidah di dalamnya, yaitu: 1. Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di dalamnya. 2. Menggariskan metode-metode pendidikan yang dapat dipraktekkan.144 Selanjutnya, terlepas dari persamaan persepsi yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang dasar atau landasan
144
Drs. Hery Noer Aly, op.,cit. hlm. 43.
179
pendidikan Islam. Jika diteliti lebih mendalam, maka akan ditemukan perbedaan persepsi dalam pengungkapan tentang dasar atau landasan pendidikan Islam harus bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Karena pada hakikatnya, perbedaan itu dilatar belakangi oleh pemahaman dan penafsiran yang berbeda tentang Al-Qur’an dan hadis itu sendiri. Maka, bila dilihat dari visi yang dibawah oleh K.H. Ahmad Dahlan, yakni pembaharuan Islam. Dalam artiyan pemurnian nilai-nilai dan ajaran Islam. Berangkat dari praktek keagamaan masyarakat pada saat itu yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai Islam seperti praktek takhayul, bid’ah dan khurafat, maka K.H. Ahmad Dahlan berusaha mendobrak dan memerangi kemapanan tradisi yang sudah berurat akar dalam masyarakat tersebut dengan meniscayakan adanya tajdid (pembaruan) sebagai soko guru gerakannya. Pembaharuan dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan mempunyai makna kembali pada ajaran pokok yang asli dan esensialitas Islam. Pada ranah ini ia menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak bersikap anti secara mutlak terhadap budaya dan tradisi, tetapi juga tidak dapat menerima budaya dan tradisi yang merusak kejernihan agama, terutama menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Corak pemikiran Islam dari K.H. Ahmad Dahlan pada umumnya berkisar pada penekanan praktik Islam salaf sebagai kritik atas Islam tradisional (taqlid) yang bercorak sinkretis karena pengaruh adat istiadat lokal. Dengan kata lain, singularitas Islam direkonstruksi lagi menjadi Islam sebagaimana mestinya. Oleh
180
karena itu, pembaruan dalam K.H. Ahmad Dahlan berarti memperbarui pemahaman (Islam) dengan kembali kepada keaslian Islam.145 Begitu juga dalam hal pendidikan Islam, konsepsi dasar yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan tentang dasar pendidikan Islam harus kembali pada Al-Qur’an yang substansial tanpa ada penafsiran-penafsirang yang sama sekali tidak sesuai dengan inti ajaran yang diinginkan oleh Islam. Hal itu dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlam dalam rangka memberikan kesadaran bahwa sumber pokok ajaran Islam hanyalah Al-Qur’an dan Hadis yang sesunggugnya. Salah satu contoh yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan tentang pemurnian Al-Qur’an yang tampak dalam bidang pendidikan adalah yang terinspirasi dari ayat Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1 yang memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pendidikan, akan ada upaya pemberantasan buta huruf.
) 6,
& $+
5
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,(Q.S. Al‘Alaq: 1).146 Namun, hal yang demikian itu agaknya sedikit berbeda dengan yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. beliau terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam Al-Qur’an dan 145
http://prodibpi.wordpress.com/2010/08/05/pemikiran-k-h-ahmad-dahlan-dalam-bidangpendidikan-dan-dakwa/ 146 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.1079.
181
hadis dan beliau sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Akan tetapi, menurut K.H. Hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaranajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat. Bagi kalangan nahdliyin akan terasa kental sekali dengan slogan AlMuhafadzatu ‘Ala Qodimi As-Sholih, Wa Ahdzu bi Jadiidi Al-Aslah, dimana K.H. Hasyim Asy’ari menyerukan untuk menjaga tradisi atau nilai-nilai lama yang masih baik, yang masih memiliki dasar dan landasan yang jelas untuk dipertahankan dan kemudian mengambil tradisi atau nilai-nilai baru yang dianggap lebih baik. Oleh karena itu, banyak kalangan intelektual muslim yang menyatakan bahwa gerakan yang dibawa oleh K.H. Hasim Asy’ari adalah gerakan Islam tradisionalis. Maka dari pada itu, menurut K.H. Hasyim Asy’ari konsepsi dasar atau pendidikan Islam agaknya berbeda dengan konsepsi yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dimana untuk memahami Al-Qur’an dan Hadis tidak serta merta saklek dengan apa yang tertuang didalamnya, akan tetapi masih perlu untuk kemudian dijelaskan oleh beberapa hal yang dalam kalangan NU biasa disebut dengan Ijma ataupun Qiyas. Karena pada dasarnya Al-Qur’an masih memerlukan penafsiran-penafsiran kembali untuk merelevankan dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada kehidupan manusia, tidak luput juga dalam dunia pendidikan. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan betapa pentingnya pendidikan pun masih perlu dijelaskan kembali tentang hal-hal teknis yang
182
menyangkut hal itu. Oleh karena itu, dengan bantuan tradisi dan budaya-budaya lama yang masih relevan untuk kemudian diterapkan dalam teknis pelaksannan pendidikan Islam pun menjadi sangat penting. Bahasa yang paling mudah untuk menyimpulkan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari adalah pemikiran yang tradisional akan tetapi tidak kolot. Artinya bahwa meskipun dalam ritual keseharian terkesan tradisional dengan tradisi dan budaya lama, akan tetapi dalam pemahan Al-Qur’an tidak terkesan kaku dan kolot yang harus saklek dengan teks Al-Qur’an tersebut. Oleh karena itu, dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tetap mempertahankan pada tradisi dan nilai-nilai lama dalam pelaksanaan pendidikan Islam, diharapkan mampu melahirkan insan purna yang mempunyai kapasitas keilmuan yang tinggi yang berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam serta mempu menjadi garda depan untuk menyelamatkan, mempertahankan, serta mengembangkan budaya dan tradisi-tradisi yang dianggap masih relevan untuk kemudian dilaksanakan dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam. Maka jelaslah sudah, bahwa menggembalikan dan menyandarkan segala aktivitas kepada Al-Qur’an dan hadis menjadi sebuah kewajiban bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Pendidikan sebagai usaha pembentukan moral manusia yang sebagai representasi dari bangsa, sedangkan Islam sebagai ajaran yang dianut oleh manusia dan sekaligus sebagai warna dari pendidikan itu sendiri. Maka, pilihan yang tepat adalah seperti yang sudah dibahas panjang dalam tulisan ini, yakni menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar dan landasan pendidikan Islam.
183
B. Kontribusi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari Terhadap Pendidikan Islam Jauh sebelum pembahasan tentang UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama (Islam) di Indonesia gagal membentuk manusia-manusia atau peserta didik yang mempunyai budi pekerti sebagaimana diajarkan oleh agamanya masing-masing. Kendatipun sulit dibantah bahwa keterkaitan antara pendidikan di satu sisi dan keberadaan agama serta peluang mengajarkan doktrin-doktrin agama di sisi lain di sekolah-sekolah agama atau umum, namun realitas yang terjadi menyatakan kegagalan-kegagalan pendidikan agama (Islam). Semua orang Islam (muslim) berkeinginan memiliki anak (peserta didik) yang shalih, berakhlak mulia, yang dapat mendoakan kedua orang tuanya, birrul walidain. Islam memberi petunjuk bahwa anak adalah amanah yang dibebankan kepada masing-masing orang tua agar dididik sebaik-baiknya. Menunaikan amanah yang telah disebutkan di atas tidaklah mudah, kesulitan itu dirasakan hampir semua orang tua. Tidak sulit menemukan keluhan dari orang tua mengenai tindak tanduk dari anaknya (peserta didik), seperti misalnya anaknya sering membolos, berani kepada orang tua, serba menuntut yang berlebihan, shalat lima waktu tidak tertib, belum dapat membaca Al-Qur’an secara lancar, dan bahkan mungkin lebih dari itu, tidak sedik anak-anak ditengarai melalukan prilaku yang menyimpang dari ajaran yang diajarakan oleh agamanya, seperti minum obat terlarang, dan sebagainya.
184
Ada sinyalemen bahwa prilaku yang sudah diperbuat oleh peserta didik seperti yang sudah dipaparkan diatas dipengaruhi oleh faktor pendidikan Islam yang dinilai gagal menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Dan itu dianggap yang paling cukup banyak mempengaruhi peserta didik. Diantaranya, informasi yang semakin terbuka luas, yang disalurkan melewati media massa, masyarakat yang semik terpengaruh oleh budaya materialisme, nilai-nilai religius ataupun budaya luhur yang semakin terabaikan dan bahkan mungkin ditinggalkan oleh pelaksana pendidikan, ditambah pendidikan Islam yang sangat sulit ditingkatkan kualitasnya. Oleh karena itu, orang tua, para tokoh masyarakat, dan juga para pemuka agama merasa terpanggil untuk mencari jalan keluar dari persoalan semua itu. Dan rupanya pendidikan dianggap sebagai variabel yang harus memperoleh perhatian lebih. Karena disadari ataupun tidak, pendidikan merupakan variabel yang sangat penting dan berpengaruh dalam rangkan membentuk kepribadian peserta didik. Dari permasalahan-permasalahan di ataslah yang kemudian menuntut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari untu berperan serta dalam rangka menuntaskan permasalah-permasalahn tersebut. Dan dalam perjalanan sejarah, sedikit banyak kedua tokoh tersebut sedah memberikan solusi-solusi dari permasalahan pendidikan Islam di Indonesia. Separuh hidup kedua tokoh tersebut diabdikan untuk memikirkan dan mengurusi pendidikan Islam, karena bagi mereka pendidikan Islam merupakan pondasi yang fundamen untuk terus dipertahankan dan dikembangkan. Dengan pendidikanlah, masyarakat Indonesia
185
dan umat Islam akan memiliki kridibilitas yang tinggi untuk mempertahankan bangsa dan Negara ini. Sosok K.H. Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai tokoh dengan gerakan pembaharu dan reformis Islam, dengan gagah dan sungguh-sungguh meletakkan pendidikan sebagai sarana dan upaya yang strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pemikiran yang statis, karena pada waktu itu masyarakat Indonesia mengalami penjajahan dari kolonial Belanda dan Jepang, menuju pemikiran yang dinamis untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Semangat perjuangan yang digagas dan dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan diimplementasikan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang kemudian lembaga itu digunakan sebagai sentral kaderisasi bagi umat Islam Indonesia. Begitu juga dengan sosok K.H. Hasyim Asy’ari, meskipun tidak dilahirkan pada tahun yang sama, akan tetapi mereka berdua hidup pada masa yang hamper bersamaan, yakni masa penjajahan Belanda dan Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari pun sependapat dengan K.H. Ahmad Dahlan, bahwa pendidikanlah yang mampu menghantarkan umat manusia menjadi manusia yang sempurna. Karena menurut K.H. Hasyim Asy’ari, pendidikan merupakan upaya untuk memanusiakan manusia, agar manusia dapat mencapai tingkat kemanusiannya, sehingga menyadari keberadaan diriny, Tuhan penciptanya, serta alam yang ada di sekelilingnya. K.H. Hasyim Asy’ari pun mengabdikan dirinya untuk melestarikan pendidikan Islam lewat lembaga-lembaga pendidikan yang pada waktu itu disebut dengan pesantren. Lewat pesantren itulah, K.H. Hasyim Asy’ari melakukan
186
dakwa dan pengajaran kepada masyarakat serta menyiarkan betapa pentingnya pendidikan Islam. Maka dari pada itu, dalam paragraf selanjutnya akan dibeberkan beberapa kontribusi atau jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan Islam. Kontribusi dari kedua tokoh tersebut sangat mewarnai dunia pendidikan Islam pada waktu itu, meskipun dalam kondisi penjajahan Belanda dan Jepang, akan tetapi lembaga-lembaga yang didirikan oleh kedua tokoh tersebut masih mampu bertahan. 1. K.H. Ahmad Dahlan K.H. Ahmad Dahlan adalah salah satu pembaharu pemikiraan pendidikan Islam yang mampu menangkap pesan Al-Qur’an dan mengkontekstualisasikannya dengan perkembangan zaman sebagaimana yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid, bahwa buya melakukan pembaharuan yang bersifat break throught, bahwa pembaharuannya tidak mengalami prakondisi sebelumnya dan bersifat lompatan. Orientasinya pada amal dan pembaharuannya yang bersifat alamiah inilah yang menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang beredar bukan hanya di Indonesia tapi juga di dunia Islam. Oleh karena itu usaha dan jasajasa besar K.H. Ahmad Dahlan sampai hari ini masih dapat ditemukan, dirasakan, dan bahkan masih dapat dinikmati, yakni dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tersebar diseluruh Indonesia. Menurut K.H. Ahmad Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu pendidikan hendaknya di tempatkan pada
187
skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamikan kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat islam adalah kembali kepada Al-Qur’an dan hadits. Mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan. Selanjutnya adalah jasa-jasa besar KH. Ahmad Dahlan dapat diuraikan sebagai berikut:147 1.
Mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut semestinya.
Umumnya
Masjid-masjid
dan
langgar-langgar
di
Yogyakarta menghadap ke timur dan orang-orang shalat menghadap ke arah barat lurus. Pada hal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa miring ke utara kurang lebih 24 derajat dari sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falaq itu, orang tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus miring ke utara 24 derajat. Oleh sebab itu K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju kearah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan (Abuddin Nata, 2004: 106-107).
147
Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 106-108.
188
2.
Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak muballigh Islam di Jawa Tengah, sebagaimana Syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak muballigh di Sumatera Tengah.
3.
Memberantas bid’ah-bid’ah dan khurafat serta adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
4.
Mendirikan perkumpulan/persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 M yang tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang. Pada permulaan berdirinya, Muhammadiyah mendapat halangan dan rintangan yang sangat hebatnya, bahkan K.H.Ahmad Dahlan dikatakan telah keluar dari mazhab, meninggalkan ahli sunnah wal jama’ah. Bermacam-macam tuduhan dan fitnahan yang dilemparkan kepadanya, tetapi semuanya itu diterimanya dengan sabar dan tawakal, sehingga Muhammadiyah menjadi satu perkumpulan yang terbesar di Indonesia serta berjasa kepada rakyat dengan mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Keempat faktor di atas merupakan kontribusi yang monumental dalam hal keagamaan, karena dengan kehadiran dan sumbangsi K.H. Ahmad Dahlan pada saat itu, ritus-ritus keagamaan dapat diluruskan oleh beliau dengan tetap berlandaskan kepada Al-Qur’an dan hadis.
189
Jasa termashur selanjutnya yang diberikan beliau kepada Islam Idonesia adalah
pendirian
organisasi
sosial
keagamaan,
yakni
Persyarikatan
Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan salah satu tokoh pendidikan Islam yang terkenal. Beliau hidup pada zaman Belanda. Beliau hidup di tengah-tengah keluarga yang alim ilmu agama. K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh penting yang tidak mengenyam pendidikan formal, meski seperti itu beliau gigih dalam belajar dan memperjungkan pendidikan Islam sehingga Ia mampu mendirikan suatu gerakan yang diberi nama Muhammadiyah.148 Adapun Faktor-faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah dilator belakangi oleh ada dua faktor, yakni:149 1.
Faktor Subjektif
Faktor yang pertama ini bersifat subjek yang dapat diartikan bahwa pelakunya sendiri, dan ini merupakan faktor sentral. Artinya kalau mau mendirikan Muhammadiyah maka harus dimulai dari orangnya sendiri. Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan K.H. Ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Dengan pemahaman agama Islam yang mendalam, maka semua ilmu agama yang selama ini diperoleh baik di Indonesia maupun di Mekkah, maka beliau menyebarkan ilmunya itu melalui persyarikatan Muhammadiyah yang didirikannyan itu. Paham dan keyakinan agama K.H. Ahmad Dahlan yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengamalan agamanya,
148
,Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 123-124. 149 Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah,Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang dan PT.Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm. 4-9.
190
inilah yang membentuk K.H. Ahmad Dahlan sebagai subjek yang mendirikan amal jariah Muhammadiyah. 2.
Faktor Objektif
Faktor objektif yang dimaksud adalah keadaan dan kenyataan yang berkembang saat itu. Apa yang ada dalam pikiran K.H. Ahmad Dahlan merupakan kesadarannya, dinyatakan, disulut dengan api yang ada di dalam masyarakat. Faktor objektif ini dibagi dalam dua bagian yakni internal umat Islam, dan eksternal umat Islam. Faktor internal di kalangan umat Islam adalah kenyataan bahwa ajaran agama Islam yang masuk ke Indonesia, kemudian menjadi agama umat Islam, ternyata sebagai akibat perkembangan agama Islam pada umumnya, sudah tidak utuh dan tidak murni lagi. Tidak murni artinya tidak diambil dari sumber yang sebenarnya. Hanya bagian-bagian tertentu yang difahami, dipelajari, kemudian diamalkan. Kalau ajaran sudah tidak murni, tidak diambil dari sumbernya yang asli, sudah dicampur dengan ajaran-ajaran yang lain, maka ketika Islam dipahami dan dilaksanakan seperti itu, maka sudah tidak tidak bisa memberikan manfaat yang dijanjikan oleh Islam terhadap pemeluknya. Faktor objektif yang seperti itulah, K.H. Ahamad Dahlan segera mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah untuk dijadikan sarana memperbaiki agama dan umat Islam Indonesia. a. Faktor Objektif Eksternal Pemerintah Hindia Belanda merupakan keadaan objektif ekstern umat
Islam
persyarikatan
pertama
yang
Muhammadiyah.
191
melatar
belakangi
Pemerintah
Hindia
berdirinya Belanda
memegang kekuasaan yang menentukan segala-galanya. Agama pemerintah Belanda menurut resminya adalah Protestan, dengan demikian
sudah
tidak
menghendaki
agama
Islam.
Demi
kelangsungan kekuasaannya di Indonesia, pemerintah penjajah Hindia Belanda berpendirian bahwa ajaran agama Islam yang utuh dan murni tidak boleh hidup dan tidak boleh berkembang di tanah jajahan. Maka ajaran agama Islam yang tidak utuh dan tidak murni itulah yang dikehendaki pemerintah Hindia Belanda. Belanda mempunyai keyakinan, kalau umat Islam di tanah jajahan bisa memahami Islam yang sebenarnya, meyakini agama Islam berdasarkan pahamnya yang benar, kemudian bisa melaksanakan ajaran Islam yang benar, maka pemerintah penjajah Belanda tidak akan bisa bertahan. Usaha mereka adalah menjauhkan umat Islam dari Al-Qur’an, menjauhkan dari As-Sunnah,, menjauhkan dari kesanggupan memahami Islam yang sebenarnya dan mampu menggunakan akal pikiran serta akal budinya untuk memahami Islam. b. Faktor Objektif di luar Umat Islam lainnya Dari angkatan muda (antek-antek Belanda) yang sudah mendapat pendidikan Barat, lalu mengadakan gerakan-gerakan untuk memusuhi apa yang menjadi maksud gerakan Muhammadiyah.
192
c. Faktor lainnya Gerakan-gerakan kristenisasi pada waktu itu sangatlah marak, salah satu contohnya adalah Kaum nasrani pada waktu itu mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda untuk mengadakan kegiatan-kegiatan atau melakukan tindakan-tindakan yang pada tujuan akhirnya sangat tidak sefaham dan bahkan menentang gerakangerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Setelah mengetahui latar belakang didirikannya, maka selanjutnya akan disampaikan maksud dan tujuan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Adapun maksud dan tujuannya yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam pendirian Persyarikan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarbenarnya. Usaha untuk mencapai maksud dan tujuan ini adalah dengan: 1.
Mengadakan dakwah Islam.
2.
Memajukan pendidikan dan pengajaran.
3.
Menghidupsuburkan masyarakat tolong menolong.
4.
Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf.
5.
Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti.
6.
Berusaha dengan segala kebijkasanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.
7.
Berusaha kearah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.
150
H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinya, (Yogyakarta: Majelis Pustaka, 1989), hlm. 46-48.
193
Amal usaha di ataslah yang menjadi ciri khas bagi Persyarikatan Muhammadiyah. Dimana jika disimpulkan, dakwa dan pendidikan yang menjadi sentral amal dan usaha yang dilaksanakan sampai detik ini. Karena amak dan usaha tersebut memang sesuai dengan apa yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan. Menurut beliau pendidikan yang akan dikembangkan adalah pendidikan modern yang tidak melupakan nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Oleh karena itu, pendidikan dalam Persyarikatan Muhammadiyah sangat mementingkan pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan Islam, baik pendidikan di sekolah/madrasah ataupun pendidikan dalam masyarakat. Oleh sebab itu tidak heran, bila Muhammadiyah sejak mulai berdirinya membangun sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, bahkan menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah yang berdasarkan Islam. Dibawah ini akan disebutkan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya yang tertua dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik masyarakat Indonesia, diantaranya ialah: 1.
Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta.
2.
Muallimin Muhammadiyah, Solo, Jakarta.
3.
Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta.
4.
Zuama/Zaimat Yogyakarta.
5.
Tabligschool Yogyakarta.
6.
Kulliyah
Muballighin/Muballighat
Tengah).
194
Padang
Panjang
(Sumatera
7.
HIS Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain itu, banyak lagi HIS Muhammadiyah, Mulo, AMS Muhammadiyah, Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah/Wustha Muhammadiyah, dan lain-lain. Semuanya itu didirikan pada masa penjajahan Belanda dan Pendudukan Jepang dan tersebar pada tiap-tiap cabang Muhammadiyah seluruh kepulauan Indonesia. Pada masa Indonesia merdeka, Muhammadiyah mendirikan sekolahsekolah/madrasah-madrasah berlipat-lipat ganda banyaknya dari masa penjajahan Belanda dahulu. Madrasah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya pada masa kemerdekaan adalah sebagai berikut:151 No.
Sekolah
Jumlah
1.
Madrasah Ibtidaiyah
412 buah
2.
Madrasah Tsanawiyah
40 buah
3.
Madrasah Diniyah (Awaliyah)
82 buah
4.
Madrasah Mu’allimin
73 buah
5.
Madrasah Pendidikan Guru Agama
75 buah
Jumlah
692 buah lembaga Tabel 2. Data Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan
Selain
sekolah-sekolah
atau
lembaga-lembaga
pendidikan
yang
konsentrasi pada materi-materi keagamaan, banyak juga sekolah-sekolah umum oleh K.H. Ahmad Dahlan bersama Muhammadiyahnya, seperti: No.
Sekolah
Jumlah
1.
Sekolah Rakyat
445 buah
2.
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
230 buah
151
BP3K, Sejarah Pendidikan Swasta di Indonesia: Pendidikan Muhammadiyah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976), hlm.112-115.
195
3.
Sekolah Menengah Atas (SMA)
30 buah
4.
Sekolah Taman Kanak-Kanak
66 buah
5.
SGB
69 buah
6.
SGA
16 buah
7.
Sekolah Kepandaian Putri
9 buah
8.
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama
3 buah
9.
Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak
2 buah
10.
Sekolah Menengah Ekonomi Atas
1 buah
11.
Sekolah Guru Kepandaian Putri
1 buah
12.
Sekolah Guru Pendidikan Jasmani
1 buah
13.
Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan
1 buah
14.
Sekolah Puteri Aisyiyah
1 buah
15.
Fakultas Hukum dan Falsafat
1 buah
16.
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru
1 buah
Jumlah
877 buah Tabel 3. Data Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan
Jumlah semua Madrasah dan sekolah Muhammadiyah adalah 1569 buah. Sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi umum yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya diberikan pelajaran agama Islam. Karena dengan memberikan pelajaran agama Islamlah masyarkat Indonesia menjadi sadar bahwa manusia diciptakan Tuhan dan akan kembali kepada sang pencipta.
196
Data di atas belum termasuk taman kanak-kanak/raudhatul athfal yang ribuan banyaknya. Hal ini menggambarkan bahwa keterlibatan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam pengembangan pendidikan di Indonesia memiliki akses yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Angka partisipasi dibidang pendidikan dapat menjadi modal yang signifikan bagi kemampuaan Muhammadiyah untuk mengambil inisiatif bagi pelibatan berbagai organisasi kemasyarakatan (Ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), penyelenggara pendidikan, serta menjadi modal bargaining position terhadap pemerintah. Keluasan jaringan, jenjang pendidikan yang dikelola, serta integrasinya beberapa jenjang pendidikan akan berpengaruh besar untuk meningkatkan partisipasi pengembangan masyarakat menuju masyarakat madani. Perlu kiranya kembali ditegaskan, bahwa semua lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyah merupakan pengejawantahan dari pemikiran pendidikan Islam yang selama ini digelutinya. Semua lembaga pendidikan Islam dan umum bertujuan untuk menyelamatkan umat Islam dari pemikiran yang statis karena terkena hegemoni dari penjajah Belanda dan Jepang agar kemudian mampu berfikir kritis, sitematis, serta dinamis sehingga terwujudnya peserta didik yang mampu tampil sebagai ulama-intelek dan intelek-ulama yang memiliki khazanah keilmuan yang luas dengan tetap berlandaskan pada ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam AlQur’an dan sunnah Rasul SAW. Oleh karena itu, diharapkan semua lembaga pendidikan Islam beserta elemen pelaksananya mampu merumuskan kembali beberapa dimensi-dimensi
197
pendidikan Islam itu sendiri, seperti meredefinisi pendidikan Islam, membuat formulasi yang tepat mengenai tujuan pendidikan Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, serta mengembalikan kembali dasar ataupun landasan pendidikan Islam kepada sumber pokok ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Dengan melakukan hal-hal yang sudah pernah dilakukan K.H. Ahmad Dahlan seperti yang telah disebutkan di atas, maka dengan sendirinya pendidikan Islam akan mengalami kejayaan seperti pada masa dulu. Sehingga pendidikan Islam kembali diminati oleh masyarakat karena dipercaya akan mampu mengantarkan perserta didik sesuai dengan harapan mereka, yakni memiliki kedalaman spiritual. Keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan professional yang siap tampil mengisi kekosongan-kekosongan yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat. 2. K.H. Hasyim Asy’ari Pembahasan konsep pendidikan sampai dewasa ini nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat. Sementara apresiasi pemikiran Islam, setidak-tidaknya sampai saat ini ternyata masih banyak ditandai oleh dikotomi pemikiran antara warna Barat dan Timur Tengah. Kondisi ini, kemudian menjadi potensi pemicu ‘perseteruan’ yang hebat di kalangan pemikir Islam. Hal semacam itu sesungguhnya menjadi sah-sah
198
saja, bila itu dijadikan sebagai wahana dinamisasi pemikiran Islam. Tetapi menjadi terlalu naif bila ternyata yang nampak adalah proses pengkafiran satu sama lain. Perseteruan semacam ini sangatlah merugikan, sebab sikap tersebut mempertentangkan secara dikotomik terhadap tradisi dan modernisasi. Sematamata mengandalkan pada adekuasi tradisi, akan menjadikan umat Islam terperangkap pada sikap tradisionalisme, yang akan mengisolasi umat Islam dari proses dinamika zaman. Lebih dari itu, sikap yang demikian akan menjadikan Islam kehilangan elan vitalnya dalam berdialektika dengan perkembangan eksternal. Sebaliknya, sikap berlebihan dalam menerima modernisasi akan mengakibatkan umat Islam tercerabut dari akar tradisinya. Misalnya, membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang filosofisintelektual dan pengetahuan yang diturunkan. Walaupun pembagian ini tidak lantas harus dipahami sebagai fragmentasi atau keterpecahan pengetahuan, akan tetapi dalam kenyataannya, pembagian tersebut telah menciptakan polarisasi pemikiran ke dalam dua arus pemikiran besar (mainstream) yang saling kontradiktif, yakni agamis dan sekular. Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang
199
bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya. Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun, pada umumnya bebannya masih sangat terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoretis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberasi, dan humanisasi.152 Dua corak yang dimaksud di atas dapat disimpulkan seperti yand sedang ada dalam pembahasan karya ini, dimana corak pendidikan Islam yang trdisionalis diwakili oleh K.H. Hasyim Asy’ari, sedangkan corak pendidikan Islam yang modernis diwakili oleh K.H. Ahmad Dahlan yang sudah dibahas dalam paragraf sebelumnya. Kedua corak tersebut pada hakikatnya tidak mengalami dikotomi yang lebar, karena pada substansi pelaksanaannya, kedua corak lembaga pendidikan Islam tersebut mempunyai visi yang sama. K.H. Hasyim Asy’ari selaku salah satu yang mewakili model pendidikan Islam yang lebih cenderung dengan budaya-budaya dan nilai-nilai tradisional banyak memberikan ide dan gagasan untuk mewujudkan pendidikan yang selama ini diidamkan oleh Islam itu sendiri dan serta mampu menjawab tantangan zaman. Dari itulah K.H. Hasyim Asy’ari merasa terpanggil dan menjadi tanggung jawab sejarah untuk mengembalikan kejayaan pendidikan Islam. 152
Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA, Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas, (Jakarta: PT. Bhakti Aksara Persada, 2003), hlm. 98-97.
200
K.H. Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan. Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih.153 Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan
lainnya,
seperti
mendefinisikan
kembali
pendidikan
Islam,
merumuskan tujuan pendidikan Islam, serta mengembalikan Al-Qur’an dan hadis sebagai dasar atau landasan pendidikan Islam. Beliau mengungkapkan bahwa Pendidikan Islam hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, Pendidikan mempunyai peran besar sekali untuk menimbulkan perubahan pada diri umat Islam. Melalui pendidikan dapat 153
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hlm. 45.
201
dibentuk kondisi mental yang lebih kondusif untuk mengembangkan kebangkitan moral-spiritual yang dikehendaki. Demikian pula penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diusahakan melalui pelaksanaan pendidikan yang tepat. Namun harus pula disadari bahwa hasil dari proses pendidikan baru terasa secara sungguh-sungguh setelah berlalunya satu generasi. Oleh karena Kebangkitan Islam sekarang sudah berjalan maka pendidikan harus dibarengi dengan terbentuknya kepemimpinan yang dapat menjalankan proses perubahan tersebut sejak sekarang. Bahkan Kepemimpinan itu sangat penting untuk menimbulkan proses pendidikan yang diperlukan. Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, K.H. Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani. Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah “tercapainya kemampuan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat”. Dan senada pula dengan pendapat Ahmad D. Marimba bahwa, “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.
202
Proses pendidikan meliputi banyak sekali segi dan sebenarnya setiap kegiatan manusia mengandung unsur pendidikan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan meliputi sistem sekolah dan pendidikan luar sekolah. Dua hal itu harus saling mendukung untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam pendidikan luar sekolah yang amat besar perannya adalah pendidikan di lingkungan keluarga. Sebab di lingkungan keluarga manusia lahir dan tumbuh di masa yang paling menentukan bagi pembentukan kepribadiannya. Dalam rangka memajukan masyarakat yang masih terbelakang yang disebabkan kurangnya pendidikan yang memadai untuk membentuk masyarakat yang mempunyai akhlak yang mulia, maka K.H. Hasyim Asy’ari bersama NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang lahirnya dari pesantren mencoba untuk memajukan masyarakat melewati jalur pendidikan. Tidak heran jika kehadiran pesantren sebagai basis atau sumber yang mampu menyediakan tenaga-tenaga untuk menjadi dua fungsi yaitu Ualam dan politisi. Beberapa ulama dan politisi direkrut dari pesantren-pesantren baik untuk kepengurusan NU ditingkat lokal maupun ditingkat pusat.154 Sekitar tahun 1938 (1356 H), komisi perguruan NU berhasil melahirkan reglemen tentang susunan Madrasah-Madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H). Adapun susunan Madrasah tersebut yaitu:
154
1.
Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2 tahun
2.
Madrasah Ibtidaiyah dengan lama belajar 3 tahun
3.
Madrasah Tsanawiyah dengan lama belaar 3 tahun
Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1995), hlm.111
203
4.
Madrasah Muallimin Wustha dengn lama belajar 2 tahun
5.
Madrasah Muallimin Ulya dengan lama belajar 3 tahun.155
Dewasa ini K.H. Hasyim Asy’ari dan NU bergerak di bidang sosial dan pendidikan Islam menurut faham yang diyakini, yaitu Ahlusunnah Waljama’ah. K.H. Hasyim Asy’ari dan NU mempunyai sekolah umum dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal, K.H. Hasyim Asy’ari dan NU membentuk salah satu bagian khusus yang menanganinya, yaitu yang disebut Ma’arif, bertugas untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada dalam naungan NU. Berdasarkan hasil rapat kerja Ma’arif yang dielenggarakan pada tahun 1978, disebutkan tentang program-program kerja Ma’arif antara lain: 1.
Pemantapan sistem Pendidikan Ma’arif yang meliputi: a. Tujuan Pedidikan Ma’arif 1) Menumbuhkan jiwa pemikiran dan gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai dengan ajaran ahlussunnah wal jamaah 2) Menanamkan sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak untuk lebih baik, keterampilan untuk menggunakan ilmu dan teknologi, uang kesemuanya dalah perwujudan pengabdian diri kepada Allah
155
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (JJakarta: Darma Bhakti, 1985), cet. Ke-2, hlm. 242.
204
3) Menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan 4) Mananamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang dinamis.156 b. Penataan kembali orientasi pendidikan Ma’arif, dari orientasi pencapaian
pengetahuan
scholastik
yang
diakhiri
dengan
pembagian ijazah, ke orientasi kemampuan melakukan kerja nyata dalam bidang kemanusiaan dan kemasyarakatan c. Mengkaitkan pelajaran agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan persoalan-persoalan hukum, lingkungan hidup, solidaritas sosial, wiraswasta dan sebagainya d. Mengembangkan watak kultural ke-NU-an e. Secara makro, memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan non-formal. 2.
Peningkatan organisasi Ma’arif
3.
Penyediaan data dan informasi tentang sekolah-sekolah Ma’arif
4.
Penerbitan
5.
Peningkatan mutu guru Ma’arif.157
Usaha-usaha
NU
di
bidang
pendidikan
Islam
memang
cukup
menggembirakan. Nu mempunyai banyak pondok pesantren madrasah yang tersebar di eluruh pelosok tanah air, terutama pada umumnya di daerah pedesaan.
156
Drs. Hasbullah, op., Cit.,, hlm. 111-112 Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN, (Jakarta, _________, 1986), hlm. 36.
157
205
Di samping itu NU juga memiliki sekolah umum dai tingkat Taman kanak-kanak (TK) sampai tingkat Perguruan Tinggi (PT). Berdasarkan data tahun 1981, jumlah lembaga pendidikan yang dikelolah NU ini adalah sebagai berikut: 1.
Pondok Pesantren dengsn jumlsh 3.745 buah
2.
Madrasah dengan jumlah 18.938 buah
3.
Sekolah umum dengan jumlah 3.102.158
Dari data tersebut belum termasuk perguruan tingginya, dan untuk pesantren pun yang tercatat hanya di Jawa. Padahal tidak sedikit pesantrenpesantren NU yang berada di luar Pulau Jawa. Sedangkan untuk kondisi sekarang, tentu saja lembaga pendidikan NU terus bertambah. Dari gambaran dan data yang sudah terpaparkan di atas, maka sudah sangatlah jelas bahwa pendidikan merupakan ruh dari sebuah peradaban bangsa. Dengan mengutamakan pendidikan, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang beradab. Tidak terkecuali pola fikir K.H. Hasyim Asy’ari. Dimana hampir dari separuh hidupnya digunakan untuk memikirkan dan menberikan sumbangsi atas terwujudnya pendidikan Islam yang ideal bersama Nahdlotul Ulama. Semua lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari bersama NU bertujuan untuk mencetak peserta didik yang mampu mndekatkan diri kepada Allah SWT., agar mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat yang tentunya dengan tetap berlandaskan dengan pokok ajaran Islam, yakni Al-Quran dan sunnah Rasul SAW. 158
Pengurus Besar Nahdlotul Ulama, Program dasar Pembangunan NU 1979-1983 Dalam Rancangan Materi Muktamar NU ke-26, hlm. 109.
206
Dengan menggunakan konsep yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari, mulai dari mendefinisikan pendidikan Islam, merumuskan tujuan pendidikan Islam dan dasar atau landasan pendidikan Islam yang berpijak pada Al-Qur’an dan Hadis maka diharapkan pendidikan Islam mampu mencetak peserta didik yang memiliki pengetahuan yang laus sebagai tuntutan perkembangan zaman serta dilandasi dengan kuatnya nilai-nilai keagamaan yang melekat pada diri peserta didik agar kemudian mampu mengabdikan dirinya untuk Negara dan agama.
207
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Demikianlah hasil pembahasan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam. Dari hasil penelitian di atas, rasanya tidak ada yang menafikan arti dan makna pentingnya pendidikan Islam. Hampir semua orang akan sepakat bahwa pendidikan itu memiliki manfaat yang besar dalam kehidupan manusia. Banyak pihak yang meyakina bahwa pendidikan merupakan instrument yang paling penting skaligus yang paling strategis untuk mencapai tujuan individual maupun sosial. Jika seorang individu membangun mimpi-mimpi masa depan yang indah dan menjanjikan dalam kehidupannya, maka ia membutuhkan alat bantu untuk mewujudkannya. Alat yang dimaksud dalam hal ini adalah dengan dan melalui pendidikan. Dengan pendidikan yang melewati jenjang sekolah yang akan memberikan peluang besar untuk mencapainnya dan mewujudkannya. Sebab sekolah lebih sistematis dan terpola untuk dapat tercapainya mimpi-mmimpi tersebut. Selanjutnya
kesimpulan
mengenai pendidikan
Islam
yang sudah
dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut: 1. Definisi pendidikan Islam. K.H. Ahmad Dahlan berpendapat, bahwa pendidikan Islam merupakan sarana dan upaya yang strategis dalam rangkan menyelamatkan umat Islam dari kungkungan pemikiran statis menuju kemerdekaan berfikir yang dinamis. Sedangkan menurut K.H. Hasyim Asy’ari pendidikan Islam merupakan sarana atau upaya sadar yang
dilakukan
manusia
dalam 208
rangka
ingin
mengetahuai
kemanusiaannya, sehingga dapat memahami hakikat Tuhan menciptakan dirinya serta sesuatu yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai makhluk Tuhan dan khalifah di muka bumi. 2. Tujuan Pendidikan Islam. Daalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan, tujuan pendidkan Islam adalah melahirkan manusia-manusia baru yang siap tampil sebagai insan ulama-intelek dan intelek-ulama, yakni manusia baru yang memiliki keteguhan iman dan pengetahuan agama yang begitu luas serta memiliki keterampilan dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, dan juga kuat jasmani dan ruhaninya. Sedangkan tujuan pendidikan Islam menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah menciptakan manusia yang selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yakni melahirkan manusia yang dalam kehidupannya selalu dan setiap saat ingat kepada Tuhan yang menciptakannya serta menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah yang diciptakan oleh Tuhan di muka bumi. 3. Dasar atau landasan pendidikan Islam. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari bersepakat bahwa dasar atau landasan pendidikan Islam harus kembali pada sumber primer umat Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis (sunnah Rasul). Dari ketiga dimensi pendidikan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, maka terlihat persamaan dan perbedaan pandangan kedua tokoh besar tersebut. K.H. Ahmad Dahlan cenderung bercorak pembaharuan
sosial,
sedangkan
K.H.
209
Hasyim
Asy’ari
dengan
tetap
mempertahankan budaya dan nilai-nilai tradisional yang telah dimiliki Islam dan Indonesia. Dengan definisi, tujuan dan dasar atau landasan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari diharapakan lembaga pendidikan mendapatkan kepercayaan lagi dari masyarakat dalam rangka mengemban amanah untuk menumbuhkan dan menggerkkan potensi dasar yang dimiliki peserta didik dengan tetap tidak meninggalkan nilai-nilai dan normanorma yang terdapat pada ajaran Islam. B. Saran Makna penting pendidikan sudah diketahui oleh sebagian besar orang. Akan tetapi kesadaran untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian yang tidak bias terpisahkan dari kehidupan manusia masih menjadi agenda besar yang harus terus menerus diperjuangkan. Sebab, kesadaran itu baru tumbuh di sebgaian kecil kalangan masyarakat. Sementara sebagian besarnya masih memahami pendidikan sebagi sebatas formalitas sekolah sampai jenjang tertentu. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa kharismatik K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari sangat diakui dalam dunia internasional, khususnya Islam. Kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikanIsla di Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Hal ini menunjukan dan memberikan kesadaran bagikaum akademis untuk memperluas khazanah keilmuan, maka barang tentu kedua tokoh tersebut harus dikaji dan diteliti lebih mendalam. Oleh karena itu, dalam proses pengkajian dan penelitian kedua tokoh besar tersebut, penulis memberikan saransaran yang kiranya patut dipaparkan sabagi berikut:
210
Pertama, terkait dengan karya asli yang ditulis oleh K.H. Ahmad Dahlan, spanjang pengetahuan penulis, K.H. Ahmad Dahlan tidak menuangkan idea tau gagasannya dalam bentuk kitab ataupun buku, hanya saja ditulis dalam media cetak, yang ini dirasa menjadi kesulitan tersendiri bagi penulis. Sedangkan karya asli yang ditulis oleh K.H. Hasyim Asy’ari berbentuk kitab yang bebahasa Arab, oleh karena itu penulis juga sedik merasa kesulitan untuk memhami isi dan maksud dari teks asli tersebut. Oleh karena, dalam pengkajian dan penelitian penulis menggunakan literatus-literatur yang ditulis oleh tokoh lain yang menggambarkan biografi lengkap dengan pola pemikirannya. Karenanya, dalam penelitian selanjutnya mampu mendapatkan karya asli baik itu daalam bentuk kitab, buku ataupun tulisan dimedia cetak, sehingga isi dan substansi dari tulisan tersebut sudah tidak perlu diragukan lagi dan harus ditambahi dengan bahasa yang sederhana tetaoi ilmiah agar kemudian steiap kalangan dapat membaca tulisan tersebut. Kedua, besar keyakinan penulis tentang konsepsi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari masih sangat relevan untuk dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalm rangka mendefinisikan, merumuskan serta mendasarka pendidikan Islam pada Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun kemajuan teknologi hari ini menjadi sebuah kewajiban yang harus dikonsumsi oleh masyarakat, akan tetapi bagaiman kemudian elemen pelaksana pendidikan tetap mampu menumpangkan serta mendasakan aktivitas teknologi informasi yang berbasis pada nilai-nilai Islam.
211
Oleh kerena itu, pemberian doktrin kepada peserta didik akan pentingnya melaksanakan pendidikan yang berbasis teknologi informasi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma Islam akan mampu menjadikan lembaga pendidikan yang memiliki dua keunggulan, dimana pserta didik memiliki pengethuan yang luas berbasis teknologi informasi, ditambah dengan keagungan kahlak yang sangat tinggi. Ketiga, penelitian ini masih sangtlah luas, karena hanya dapat mencakup tiga dimensi dalam pendidika Islam yang dikemukakan sesuai dengan pandangan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, yakni definisi pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, dan dasar atau landasan pendidikan Islam, maka untuk peneliti selanjutnya yang berkeinginan melakukan pengkajian dan penelitian tentang K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim asy’ari diharapkan mampu menyajikan semua dimensi pendidikan Islam, seperti definisi, tujuan, dasar tau landasan, pendidik, peserta didik, materi, evalusi, dan sarana prasarana dalam pendidikan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Dengan begitu, maka nilai-nilai dan substansi dari pemikiran kedua tokh tersebut benar-benar dapat terealisasikan dalam lembaga-lembaga pendidikan, karena memang konsep pendidikan yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari masih relevan untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan. Terakhir, perlu diakui bahwa meskipun meskipun Barat mempunyai tokoh atau pakar dalam pendidika, namun Islam Indonesia pun tidak ketinggalan. Dan
212
hal itu terbukti, dengan kehadiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari wajah pendidikan Islam di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dan fundamental. Oleh karena itu, sebagai kaum akademis yang berlatar belakang Islam Indonesia harus memiliki hasrat yang tinggi untuk kemudian menggali lebih dalam kembali pemikiran-pemikiran tokoh Islam Indonesia, termasuk K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
213
DAFTAR PUSTAKA Abdussami, Humaidy dan Ridwan Fakla AS, 1995. Biografi 5 Rois ‘Am Nahdlotul Ulama, Yogyakarta: LTn-NU & Pustaka Pelajar. Arikunto, Suharsimi. 1995. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rieneka Cipta Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta Arifin, Muzayyin, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis Kea Rah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada Dhofier, Zamarkhasi, 1995. K.H. Hasyim Asy’ari: Penggalang Islam Tradisional, Yogyakarta: LTn-NU & Pustaka Pelajar. Djaja, Tamar, 1966. Pustaka Indonesia: Riwayat Hidup Organ-organ Tanah Air, Jakarta: Bulan Bintang. Djumransjah, Muhammad. 2004. Filasafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing Djumhur, I dan H. Dana Saputra, 1976. Sejarah Pendidikan, cet. Ke-IX, Bandung: CV Ilmu Fajar, A Malik, 1998, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI Freire, Paulo. 2005. Pedagogi Pengharapan. Yogyakarta: KANISIUS Hasan, Muhammad Tolhah. 2001. Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press Hasan, M Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia
214
Hamzah, Amir, 1965. Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah dalam Masa Pembaharuan Semesta, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Hitami, Munzir. 2004. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS Idris, Muhammady, 1975. Kyai Haji Ahmad Dahlan: Hislife and Thounght. M.A.thesis, McGill University. Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan, 2001, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia Jainuri, A, 1981. Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad ke-20, Surabaya: Bina Ilmu Kamal, Musthofa, 1976 . Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Persatuan. Karim, M. Rusli. 1991. Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Social Budaya, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma' arif Majid, Abdul., Dian Andayani. 2004.
Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Marimba, Ahmad D. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: AlMa' arif Margono, S, 2005, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta
215
Mendiknas. 2006. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS. Bandung: Citra Umbara Mendiknas. 1999. Undang-undang Republik Indonesia nomor 02 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja rosdakarya. cet. Ke-20 Mujib, Abdul., Jusuf Mudzakir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Mulaiwan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mulyono. 2007. Desain Dan Pengembangan Pembelajaran PAI, Buku Diktat. Malang: Tarbiyah Mulkhan, Abdul Munir, 1994. Pesan-pesan Dua Pemimpin Besar Islam Indonesia: Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKPSM. Musthofa, Yasin. 2007. EQ untuk Anak Usia Dini dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Sketsa Nata, Abuddin. 1999. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Nugroho, Adi. 2010. KH. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Partanto, Puis A., M. Dahlan Al-Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka Ramayulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
216
Rifai, Muhammad. 2010. KH. Hasyim Asy’ari : Biografi Singkat 1871-1947. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Rohinah. 2008. Sistem Nilai dan Pendidikan: Studi atas Pemikiran Pendidikan K.H.M. Hasyim Asy’ari. Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidatullah Rukiati, Enung K dan Fenti Hikmawati, 2006, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia Soejono., Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Suatu Pemikiran Dan Penerapan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Sukardi, Heru, 1985. Kiyai Hasyim Asy’ari: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sukmadinata, Nana Syaodid, 2007, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Surahmad, Winarno. 1999. Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Tarsito Surachman, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik. Bandung: Tarsita Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali Suwendi, 2004, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Suwito dan Fauzan, 2005, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana
217
Suyudi, Muhammad. 2005. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani. Yogyakarta: Mikraj Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya Zuhairini, dkk. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
218