TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Pada Tanaman Cabai Tanaman cabai rentan dengan serangan berbagai penyakit, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur maupun nematoda. Penyakit-penyakit yang menyerang tanaman cabai seperti ; tobacco mosaic virus (TMV), cucumber mosaic virus (CMV), layu bakteri (Ralstonia solanacearum), rebah kecambah atau dumping off, virus gemini, bercak bakteri (Xanthomonas campestris), antraksnosa (Patek), bercak daun cercospora, busuk daun (Phytophthora capsici), layu fusarium, bengkak akar (Meloidogyne, spp.), busuk basah bakteri (Erwinia carotovora), dan bercak kering bakteri (Xanthomonas campestris) (Duriat et al., 2007). Penyakit yang disebabkan oleh virus menjadi organisme pengganggu tanaman (OPT) utama yang menyebabkan kerugian pada usaha tani cabai. Menurut Duriat dan Muharam (2003) ahli virologi seperti Neinhaus (1981) dan Kalloo (1994) telah mencatat antara 13-35 jenis virus yang menyerang tanaman cabai di daerah tropis dan sub tropis. Prevalensi penyakit virus ini dari waktu ke waktu terjadi perubahan seperti hasil deteksi virus cabai yang dilakukan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang antara 1986-1995 . Hasil survei tahun 1986 dan 1990 dilaporkan urutan tiga virus utama yaitu CMV (Cucumber Mosaic Virus), PVY (Potato Virus Yellow) dan TEV (Tobacco Etch Virus). Pada tahun 1992 dan 1995 urutan berubah menjadi CMV, CVMV (Chili Veinal Motle Virus) dan PVY. Pada tahun 2002 dan 2003 geminivirus telah menjadi epidemik di sebagian daerah sentra produksi cabai di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Penyakit virus kuning yang disebabkan oleh virus gemini TYLCV (Tomato Yellow Leaf Curl Virus) genomnya berupa DNA utas tunggal, berbentuk bundar dan terselubung dalam virion ikosahedral kembar (germinate). Penyakit ini tidak ditularkan oleh biji, tetapi dapat menular melalui penyambungan dan serangga vektor B. tabaci. Penyakit virus kerupuk yang disebabkan oleh CPSV (Chili Puckery Stunt Virus) yang ditularkan oleh golongan aphid (Aphis gossypii) sebagai vektor virus dan dapat pula ditularkan lewat penyambungan. Penyakit virus mosaik keriting yang disebabkan oleh PVY atau TEV atau CMV atau CVMV secara tunggal atau gabungan yang ditularkan oleh vektor dari golongan aphid (Myzus persicae dan A. gossypii). Penyakit virus kerdil, nekrosis, mosaik ringan disebabkan oleh tobacco mosaic virus (TMV) dan tomato mosaic virus (ToMV) dapat ditularkan secara kontak. Kisaran inang dari penyakit virus pada cabai juga sangat luas seperti tomat, tembakau, ketimun, gulma berdaun lebar, kubis, kacang panjang, kumis kucing, cabai rawit dan gulma babadotan.
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Istilah rizosfer pertama sekali diperkenalkan oleh Hiltner pada tahun 1904, yang didefenisikan tanah yang mengelilingi akar yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Interaksi ini ditandai dengan adanya pemanfaatan eksudat akar yang dikeluarkan akar oleh mikroorganisme dan sebaliknya metabolisme di perakaran dipengaruhi oleh kerja mikroorganisme. Eksudat akar adalah asam amino, asam organik, karbohidrat, gula, vitamin, mucilage dan protein. Eksudat akar sebagai pengirim pesan untuk merangsang interaksi biologi maupun
Universitas Sumatera Utara
fisik diantara akar dan organisme perakaran. Modifikasi biologi dan fisika tanah dari rizosfer memberi kontribusi bagi pertumbuhan akar tanaman agar tetap survive (Kelly, 2005). Bakteri-bakteri yang hidup di sekitar perakaran ada yang menguntungkan. Bakteri ini sering disebut dengan rizobakteri pemacu tumbuh tanaman (RPTT) atau popular disebut plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). Aktivitas rizobakteria ini memberi keuntungan langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung PGPR ini didasarkan atas kemampuannya menyediakan dan memobilisasi atau memfasilitasi penyerapan berbagai unsur hara dalam tanah serta mensintesis dan mengubah konsentrasi berbagai fitohormon pemacu tumbuh (Husen et al., 2006). Dalam Supriadi (2006) menurut Lelliot dan Stead (1987), jenis-jenis agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti telah dirangkum oleh Sadler (2005), yang meliputi Bacillus spp., B. cereus, B. polymyxa, B. subtilis, Burkholderia glume, Corynebacterium sp., Escherichia sp., Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Streptomyces mutabilis, dan actinomycetes. Diantara spesies bakteri tersebut, B. polymyxa dan Curtobacterium (Corynebacterium) flaccumfaciens pv. flaccumfaciens perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi patogen pada tanaman. Menurut Nivedhitha et al. (2008), tiga bakteri dan satu Actinomycetes yang diisolasi dari rizosfer bambu menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan Fusarium, meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan bertambahnya jumlah daun. Selanjutnya menurut Minorsky (2008), bakteri P. fluorescens B16 yang diisolasi dari perakaran
tanaman
Graminae
menunjukan
adanya
kolonisasi
yang
dapat
meningkatkan hasil, menambah jumlah bunga, menambah jumlah buah, dan berat
Universitas Sumatera Utara
buah tomat. Kemampuan untuk menfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, memproduksi senyawa siderofor dan hidrogen sianida (HCN), enzim kitinase, protease, dan selulosa merupakan karakteristik rizobakteri yang diinginkan (Zhang, 2004). Oleh karena itu untuk memperoleh rizobakteri yang berpotensi perlu dievaluasi berbagai karakter tersebut. Salah satu kemampuan rizobakteri dari kelompok Bacillus spp. dan Pseudomonas spp. yang telah dilaporkan adalah mampu melarutkan fosfat (Faccini et al., 2004). Selain itu P. fluorescens merupakan salah satu mikroorganisme antagonis yang diteliti secara intensif dan berpotensi besar untuk pengendalian beberapa penyakit (Hasanuddin, 2003).
Bakteri Pseudomonas fluorescens Pseudomonas fluorescens berbentuk gram negatif yang bersumber dari tanah dan air. Suhu perkembangan dari P. fluorescens antara 25-30°C tetapi juga dapat bertahan dalam suhu rendah 0°C. Pseudomonas fluorescens
merupakan bakteri
obligat aerob dan oksidase positif. Dalam kondisi anaerobik bakteri ini tidak berkembang. Bakteri P. fluorescens mempunyai kemampuan dalam menghasilkan siderofor yang berguna sebagai pengkhelat besi
ketika konsentrasi besi rendah.
Sebaliknya apabila konsentrasi besi tinggi, pyoverdine tidak diperlukan sehingga koloni bakteri tidak akan berpendar di bawah sinar ultraviolet. Di samping itu P. fluorescens juga menghasilkan viscosin yang dapat meningkatkan antivirality. Metabolit sekunder yang dihasilkan P. fluorescens
memainkan peranan
penting dalam menekan perkembangan penyakit tanaman seperti antibiotik pyrrolnitrin,
pyoluteorin,
dan
2,4-diacetylphloroglucinol
yang
menghambat
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan phytopatogen. Pseudomonas fluorescens menghasilkan hidrogen sianida, pyocheline siderophores dan pyoverdine. Pseudomonas fluorescens menghasilkan exopolysaccharides yang digunakan untuk perlindungan terhadap bakteriofag atau dehidrasi serta untuk pertahanan terhadap sistem kekebalan tubuh inang. Pseudomonas fluorescens memiliki flagella yang berguna dalam proses metabolisme. Secara khusus, isolat P. fluorescens tertentu menghasilkan dari metabolit sekunder 2,4-diacetylphloroglucinol (2,4-DAPG) dan biokontrol properti antiphytopathegenic dalam strain nya.
http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/
Pseudomonas_fluorescens. Semua isolat P. fluorescens yang diuji bersifat gram negatif, membentuk enzim katalase dan oksidase positif. Memerlukan oksigen untuk tumbuh (aerob), mampu menghidrolisa pati dan arginin, membentuk enzim gelatinase, melakukan denitrifikasi dan tidak mengakumulasi poly-hydroxybutirate (Arwiyanto et al., 2007). Yanti et al., (2008), melaporkan aplikasi P. fluorescens pada tanaman cabai menunjukkan pertumbuhan yang bagus. Hal ini
dilihat dari peningkatan tinggi
tanaman, jumlah daun, berat basah, berat kering tanaman dan hasil. Di samping itu aplikasi P. fluorescens juga dapat meningkatkan pengurangan serangan penyakit pada tanaman cabai. Menurut Kloepper (1996), ketahanan sistemik terinduksi (induced systemic resistance) bergantung pada kolonisasi sistem perakaran oleh PGPR. Kolonisasi oleh PGPR dapat terjadi melalui penyelubungan benih atau penambahan suspensi PGPR ke dalam tanah pada saat pindah tanaman.
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Hayati dan Mekanisme Ketahanan Penyakit Kerugian yang disebabkan oleh serangan penyakit cukup tinggi dengan menurunnya produksi tanaman cabai. Tindakan pengendalian yang dilakukan selama ini dengan menggunakan pestisida kimia. Disamping harganya mahal dan susah didapat, pestisida kimia dapat berakibat pada kerusakan lingkungan dan kesehatan petani. Hal ini menjadi tantangan besar bagi kita untuk mencari teknik pengendalian yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan kesehatan petani dalam melindungi tanaman terhadap serangan berbagai penyakit pada tanaman cabai. Pengendalian hayati dilihat dari aspek ekologi adalah suatu fase dari pengendalian alami. Definisi pengendalian hayati adalah perbuatan parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kepadatan populasi organisme pada tingkat rata-rata yang lebih rendah dari pada apabila perbuatan itu tidak ada. Beberapa mekanisme pengendalian hayati, antara lain adalah sebagai berikut (Istikorini, 2002): 1. Antagonisme Antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap mikrooraganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya. Antagonisme meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu yang lain dalam jumlah terbatas tetapi diperlukan oleh OPT, (b) antibiosis sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT dan, (c) predasi, hiperparasitisme, mikroparasitisme atau bentuk yang lain dari eksploitasi langsung terhadap OPT oleh mikroorganisme yang lain.
Universitas Sumatera Utara
2. Ketahanan Terimbas. Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilik, asam 2-kloroetil fosfonik). Kacang buncis yang diimbas dengan Colletotrichum lindemuthianum ras non patogenik menjadi tahan terhadap ras patogenik (Agrios, 1988). 3. Proteksi Silang. Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit. Proteksi silang sudah banyak dilakukan di banyak negara antara lain Taiwan dan Jepang. Ketahanan sistemik terinduksi (KST) pada berbagai tanaman terhadap serangan patogen akibat aplikasi agens penginduksi tidak terlepas dari peran senyawa-senyawa tertentu dan PR-protein (Patogenesis Related-protein) seperti peroksidase, kitinase, β-1,3 glukanase, β-1,4glukosidase, dan asam salisilat sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan aktivitas dan kadarnya (Wei et al., 1996). Kessman et al. (1994) menyatakan, asam salisilat (AS) memegang peranan penting dalam KST. Asam salisilat terbentuk pada tanaman sebagai reaksi terhadap infeksi patogen.Beberapa produk dari gen KST mempunyai sifat antimikrobia atau dapat dimasukkan ke dalam kelas protein anti mikrobia. Protein itu antara lain berupa β,1-3, Glukanase, kitinase, thaumatin, dan protein PR-1.
Universitas Sumatera Utara