5
TINJAUAN PUSTAKA Risalah Sengon (Paraserianthes falcataria) Sengon tergolong famili Leguminosae (Mimosaceae) dan dikenal dengan berbagai nama lokal seperti Jeungjing (Sunda), Sengon laut (Jawa), Tedehu pute (Sulawesi), Sika (Maluku), Bae (Papua) sedangkan di Malaysia dikenal dengan nama Batai (Hidayat 2002). Jenis ini merupakan jenis asli dari kepulauan sebelah timur Indonesia yakni di sekitar Maluku dan Papua. Penyebarannya secara alami selain di Indonesia yaitu Haiti, Papua New Guinea, dan Kepulauan Solomon (Orwa et al. 2009). Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah hingga ke pegunungan sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 1989), dengan ketinggian optimum 0–800 m dari permukaan laut (Siregar et al. 2010). Sengon termasuk spesies yang memerlukan cahaya (Hidayat 2002). Sengon tumbuh pada suhu sekitar 20 oC–33 oC dan kelembaban sekitar 50–75% (Atmosuseno 1998). Sengon termasuk dalam jenis yang cepat tumbuh. Hidayat (2002) mengemukakan bahwa pohon sengon mulai berbunga sejak umur 3 tahun dengan musim berbunga pada bulan Maret – Juni dan Oktober – Desember. Sengon dapat dipanen pada umur yang relatif singkat, yaitu 5–7 tahun setelah tanam. Tinggi pohon dapat mencapai 40 m dan diameter bisa mencapai 100 cm. Peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman sengon dapat dilakukan dengan aplikasi mikoriza dan cuka kayu (Siarudin dan Suhaendah 2007). Beberapa jenis hama dan penyakit sengon yang menyerang tanaman sengon adalah hama penggerek batang, hama ulat kantong dan penyakit karat puru.
Anakan sengon di persemaian sering
terkena lodoh yang disebabkan oleh Rhizoctonia, Sclerotium, Fusarium, Pythium dan Phytopthora (Hidayat 2002). Pohon sengon tidak berbanir dan kulit berwarna kelabu muda.
Daun
majemuk menyirip ganda, berwarna hijau dan berbentuk elips sampai memanjang. Jumlah sirip dalam tiap daun 6–20 pasang dengan anak daun 6–26 pasang persirip (Hidayat 2002). Bunga tersusun dalam bentuk malai. Benang sari menonjol lebih panjang dari daun mahkota. Warna bunga putih kekuningan. Kuntum bunga yang mekar berisi bunga jantan dan bunga betina. Cara penyerbukan bunga
6
dibantu oleh serangga dan angin. Buah berbentuk polong, pipih dan tipis serta berwarna hijau sampai coklat jika sudah masak, setiap polong buah berisi 15–30 biji. Biji berbentuk elips, berwarna hijau ketika masih muda dan berwarna coklat kehitaman dan agak keras serta licin jika sudah masak (Atmosuseno 1998). Kayu gubal dan kayu teras sengon berwarna coklat muda yang disertai warna merah muda dan tidak dapat dibedakan dengan jelas. Kayunya lunak, sangat ringan dan mudah menyerap bahan pengawet. Berat jenis 0.32–0.37 dan tergolong dalam kelas kuat III–IV dan kelas awet IV (sedang). Kayu sengon mengandung selulosa tinggi, lignin rendah, pentosan rendah dan ekstraktif tinggi. Persentase lignin rendah menunjukkan kayu tidak terlalu kuat dan tidak terlalu kaku. Persentase pentosan yang rendah akan mengurangi kekuatan kayu karena selain sebagai cadangan makanan bagi sel, pentosan juga berfungsi sebagai penguat dinding sel kayu (Atmosuseno 1998). Beberapa kegunaan kayu sengon antara lain adalah untuk konstruksi ringan, bahan pulp, kerajinan tangan, veneer.
Daun sengon dapat digunakan
sebagai pakan ternak (ayam dan kambing) sedangkan kulit batang oleh masyarakat Ambon digunakan untuk penyamak jaring, kadang-kadang sebagai pengganti sabun (Hidayat 2002). Ekstrak daun sengon yang ditambahkan garam tawas dapat digunakan sebagai pewarna kain sutera sebagai pengganti bahan pewarna
sintetik
(Kusriniati
2007).
Tegakan
sengon
dapat
membantu
menyuburkan tanah di sekitarnya. Daun sengon yang luruh cepat membusuk. Perakarannya dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium membentuk bintil akar yang dapat mengikat nitrogen bebas dari udara dan mengubahnya menjadi amonia (NH3).
Hama Boktor (Xystrocera festiva) Permasalahan yang paling umum dihadapi dalam pengembangan sengon adalah serangan hama penggerek batang atau yang disebut juga hama boktor (Xystrocera festiva). X. festiva tergolong dalam kelas Coleoptera: Famili Cerambycidae dan subfamili Cerambycinae. Jarak terbang X. festiva tidak jauh sehingga untuk mencapai tempat yang jauh, kumbang ini harus terbang beberapa kali dan dapat dibantu oleh angin (Husaeni 2010).
7
Serangga ini merupakan serangga nokturnal. Husaeni (2010) menjelaskan bahwa kumbang X. festiva memiliki panjang tubuh sekitar 2.5–3.8 cm, berwarna coklat kemerahan dengan sisi-sisi sebelah luar elitranya berwarna hijau kebirubiruan (Gambar 1). Telur berwarna hijau kekuningan dan membentuk kelompok telur karena ada semacam zat perekat yang dihasilkan oleh kumbang betina. Larva yang baru ditetaskan berukuran 2x1 mm dan berwarna kuning gading sedangkan larva dewasa panjangnya dapat mencapai 5 cm. Pupa (kepompong) berukuran 4 cm dan berwarna kuning gading namun dengan bertambahnya umur warna ini berangsur-angsur berubah menjadi coklat.
Gambar 1 Kumbang Xystrocera festiva (Sumber : www.beetle.diversity.com). Nair (2007) mengemukakan bahwa kumbang meletakkan telur pada celah luka kulit kayu pohon dan larva mengebor batang. Larva berada di bawah kulit dan akhirnya melubangi hingga ke bagian dalam kayu (Matsumoto dan Irianto 1995). Pertumbuhan sejumlah besar larva pada suatu pohon menyebabkan terbentuknya terowongan dan kulit kayu mengering serta pecah. Pada umumnya serangan hama ini terjadi pada pohon yang telah berumur 3 tahun (Husaeni 2010). Persentase serangan hama cenderung meningkat dengan semakin bertambahnya umur dan diameter pohon (Husaeni dan Haneda 2010). Sengon yang sehat memiliki kambium dengan kandungan air yang tinggi dan berwarna putih sedangkan yang terserang hama boktor memiliki kambium dengan kandungan air yang sedikit atau mengering dan berwarna coklat serta seratnya ada yang kehitaman (Hartati 2002). Serangan awal hama boktor terlihat dengan berubahnya warna kulit batang sengon yang terserang. Batang sengon berubah warna menjadi merah kecoklatan berbeda dengan batang sengon sehat yang berwarna putih. Kerusakan awal ditandai dari kulit pohon yang mengalami nekrosis dan menunjukkan adanya lubang yang berbentuk oval sebagai aktivitas pengeboran dari larva hama ini.
8
Jalan masuk hama pada batang akan tampak berwarna hitam dan kering (Gambar 2). Larva biasanya hidup secara berkelompok dan memakan kulit kayu, lapisan kambium, xylem dan berdiam di bawah kulit kayu (Matsumoto dan Irianto 1995). Serangan pada kayu gubal dapat berlanjut ke sekeliling batang yang menyebabkan tajuk di bagian atas menguning dan daun berguguran hingga akhirnya menyebabkan kematian pohon tersebut. Lubang gerek berbentuk lonjong dengan panjang berkisar antara 6–18 cm dan garis tengah antara 15–20 mm.
Gambar 2 Pohon sengon yang terserang hama boktor (Sumber : dokumentasi pribadi 2010). Pengendalian hama boktor dapat dilakukan secara mekanik (penangkapan kumbang dengan lampu perangkap, pemusnahan kelompok telur boktor, penyesetan kulit batang sengon yang terserang), secara silvikultur (penanaman pohon sengon resisten, pengaturan jarak tanam, pembuatan tanaman campuran, penjarangan tegakan), secara hayati (pelepasan parasit telur, penyemprotan dengan cendawan patogen) dan secara kimiawi. Ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit dipengaruhi oleh faktor genetik ataupun lingkungan. Iklim secara tidak langsung dapat mempengaruhi vigor dan fisiologi tanaman inang akan ketahanan tanaman inang terhadap hama (Wiyono 2007). Pengendalian X. festiva secara hayati dapat menggunakan cendawan Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae dengan mengaplikasikannya
9
langsung ke serangga (Wahyono dan Tarigan 2007). Penjarangan terhadap pohon yang terkena serangan merupakan tindakan yang cukup baik untuk mengurangi serangan hama. Tanaman mempunyai mekanisme pertahanan diri berupa reaksireaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman (Rimbawanto 2008). Serangga hama biasanya mempunyai enzim-enzim khusus dalam sistem pencernaannya untuk mencerna makanan.
Aktivitas tripsin inhibitor pada
tanaman diketahui dapat mengontrol perkembangan hama.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada tanaman famili Leguminosae atau Fabaceae terdapat zat kimia berupa inhibitor tripsin dan kimotripsin yang dapat menghambat aktivitas kerja enzim pencernaan tersebut. Zat inhibitor ini merupakan daya tahan alami suatu tanaman untuk melawan serangan hama.
Gen Tripsin Inhibitor (TI) dan Alfa Amilase Inhibitor (AAI) Tanaman secara alami memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya dari serangan hama dengan mensintesis makromolekul tertentu seperti protease inhibitor dan alfa amilase inhibitor (Ismail et al. 2010). Tripsin inhibitor adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas proteolitik enzim tripsin sehingga menyebabkan terganggunya pencernaan protein. Tripsin inhibitor menghalangi pelepasan asam-asam amino dari ikatan proteinnya sehingga tidak dapat diserap.
Mekanisme penghambatan aktivitas enzim
proteolitik (tripsin dan kimotripsin) oleh inhibitor protease terjadi karena terbentuknya ikatan kompleks antara kedua senyawa tersebut (interaksi proteinprotein). Alfa amilase inhibitor adalah senyawa yang menghambat kerja enzim alfa amilase. Enzim alfa amilase (α-1,4-glucanohydrolase) termasuk dalam famili 13 glycosyl hydrolases (Henrissat dan Bairoch 1996 dalam Polaina dan MacCabe 2007). Alfa amilase mengkatalisis pemutusan ikatan α-1,4-glikosidik pada molekul karbohidrat. Amilase menghidrolisis karbohidrat menjadi maltosa, maltotriosa dan oligosakarida ataupun hingga menjadi glukosa (Polaina dan MacCabe 2007). Gen-gen yang berperan menghasilkan senyawa-senyawa inhibitor ini masing-masing adalah gen AAI dan gen TI. Kedua gen ini banyak dipelajari dalam upaya peningkatan resistensi tanaman terhadap hama. Gen-gen ini seperti
10
sarana untuk memindahkan sifat resisten suatu hama dari suatu tanaman ke tanaman lainnya melalui rekayasa genetik. Winarni (2003) melaporkan bahwa berdasarkan marka isozim pada sengon terlihat pola-pola pita yang khas yang menunjukkan nilai aktivitas tripisin yang rendah atau tinggi pada lokus-lokus tertentu walaupun korelasi aktivitas tripsin inhibitor dengan marka isozim memperlihatkan nilai korelasi yang rendah.
Tanaman padi transgenik yang
mengekspresikan gen CpTI secara signifikan meningkat daya resistennya terhadap dua spesies penggerek batang padi (Xu et al. 1996). Begitu pula pada benih kopi arabika (Coffea arabica) transgenik yang mengekspresikan gen AAI dari Phaseolus vulgaris menghasilkan alfa amilase inhibitor dan mampu menghambat aktivitas enzim alfa amilase hama Hypotheneumus hampei (coffe berry borer) sehingga berpotensi dalam pengendalian hama tersebut (Barbosa et al. 2010). Suatu alfa amilase inhibitor dapat menghambat alfa amilase suatu hama namun tidak menghambat hama lainnya (Ishimoto dan Kitamura 1989). Hasil penemuan Mirkov et al. 1994 mengindikasikan bahwa genom buncis mengandung lebih dari satu gen AAI.
Perancangan Primer Primer adalah seutas tunggal DNA pendek atau oligonukleotida, yang panjangnya antara 16–24 basa (Chawla 2002). Primer berfungsi sebagai penginisiasi reaksi polimerisasi DNA secara in vitro. Primer merupakan komponen PCR yang sangat menentukan ketepatan sekuen DNA yang ingin diamplifikasi. Urutan nukleotida primer akan menjadi penentu pada bagian mana primer akan menempel (anneal) pada genom.
Dieffenbach et al.
(1993)
mengemukakan bahwa desain primer ditujukan untuk memperoleh keseimbangan antara spesifisitas (ketegasan) dan efisiensi amplifikasi.
Spesifisitas diartikan
sebagai frekuensi terjadi mispriming. Efisiensi didefinisikan sebagai kemampuan pasangan primer untuk mengamplifikasi produk pada tiap siklus PCR. Sekuensekuen primer perlu dipilih untuk memilih daerah DNA, menghindari kemungkinan mishibridisasi untuk sekuen yang sama yang berdekatan. Pengulangan mononukleotida harus dihindari. Primer harus tidak mudah menempel dengan primer lainnya ketika dicampur.
11
Beberapa parameter yang diperhatikan dalam mendesain primer yaitu : a. Panjang Primer Panjang primer berperan dalam mengontrol spesifisitas. Primer yang baik biasanya terdiri dari 18–30 nukleotida (Abd-Elsalam 2003).
Panjang ini
cukup bagi primer untuk terikat dengan mudah pada DNA template pada suhu annealingnya. Ukuran primer yang paling banyak dipilih sekitar 20 basa karena nilai temperature melting (Tm)nya dapat mencapai lebih dari 55 oC (Jamil 2005). b. Temperatur Melting (Tm) Temperatur melting atau suhu leleh adalah temperature dimana setengah dari duplex DNA akan terpisah menjadi strand tunggal. Kedua primer dalam reaksi PCR harus mempunyai Tm yang sama untuk menyakinkan bahwa keduanya akan mempunyai kinetik hibridisasi yang sama selama fase temperatur annealing (Chawla 2002). Tm primer yang optimal adalah 52 oC– 58 oC. Umumnya Tm primer ini menghasilkan hasil yang lebih baik dibandingkan Tm yang lebih rendah. Primer dengan Tm di atas 65 oC harus dihindari karena berpotensi untuk secondary annealing (Abd-Elsalam 2003). Nilai Tm biasa diindikasikan dari kandungan basa GC. Dieffenbach et al. (1993) menyatakan bahwa untuk primer yang lebih pendek dari 20 basa, pendugaan Tm dapat dihitung dengan formula Tm= 4(G+C) + 2(A+T). c. Komposisi Primer Kandungan GC adalah persentase jumlah G dan C terhadap jumlah basa total pada primer. Guevara-Garcia (1997) dalam Jamil (2005) menyatakan bahwa kandungan G dan C ditentukan untuk menjamin stabilitas primer yang tinggi. Persentase atau kandungan GC merupakan ciri penting DNA dan memberikan informasi tentang kekuatan annealing (Abd-Elsalam 2003). Primer harus memiliki kandungan GC antara 45 % hingga 60 % (Dieffenbach et al. 1995 dalam Abd-Elsalam 2003 ). Kandungan GC, suhu leleh dan suhu annealing saling berpengaruh satu dengan yang lainnya.
12
Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi polimerase berantai atau PCR adalah suatu proses perbanyakan DNA secara in vitro enzimatik dengan pengontrolan suhu (Weising et al. 2005). Campuran reaksi PCR mengandung bufer, DNA-polimerase termostabil, empat dioksiribonukleotida (dNTPs), primer oligonukleotida, DNA template. PCR dapat menghasilkan perbanyakan DNA dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif singkat. Reaksi PCR merupakan proses berulang antara 25–50 kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap yaitu denaturasi, annealing dan elongasi. Pada tahap denaturasi, DNA template yang merupakan utas ganda dibuat menjadi utas tunggal melalui peningkatan suhu (94 oC–96 °C). Tahap berikutnya adalah tahap penempelan atau annealing primer, yaitu dengan suhu yang lebih rendah tergantung pada primer yang digunakan. Primer menempel pada bagian DNA templat yang komplementer urutan basanya. Penempelan ini bersifat spesifik pada sekuen target. Urutan nukleotida primer akan menjadi penentu pada bagian mana primer akan menempel (anneal) pada genom. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Tahap berikutnya adalah tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu yang digunakan adalah sesuai dengan suhu optimal aktivitas DNA polimerase. Umumnya suhu yang digunakan antara 65 oC–72 oC.
Kloning Gen Kloning gen adalah upaya perbanyakan suatu gen melalui proses perkembangbiakan sel inang.
Fragmen DNA diletakkan di vektor untuk
memastikan fragmen yang diklon tersebut terduplikasi (Lodge et al. 2007). Fragmen DNA yang mengandung gen yang hendak diklon dimasukkan ke molekul vektor berupa DNA sirkular untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan (Brown 2006). Fragmen DNA dan vektor dipotong dengan enzim retriksi yang sama agar ujung untaian DNA mempunyai segmen yang sama sehingga memudahkan proses ligasi. Penggabungan fragmen DNA dengan DNA vektor dikatalis oleh enzim ligase sehingga terbentuk DNA rekombinan (Brown 1991). Umumnya vektor yang digunakan adalah plasmid.
Plasmid adalah
molekul kecil DNA sirkular yang ditemukan pada banyak tipe bakteri. Plasmid
13
mempunyai ORI (Origin of Replication) yang berfungsi untuk replikasi. Gen yang terinsert akan tercopy sejalan dengan perbanyakan plasmid. Plasmid yang digunakan dalam kloning mengandung selectable marker, biasanya gen resisten antibiotik.
Selectable marker berperan dalam membedakan bakteri yang
mengandung plasmid dengan menebarkannya pada media agar yang mengandung antibiotik (Lodge et al. 2007). Salah satu plasmid yang digunakan dalam kloning adalah pGEM-T Easy yang petanya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta retriksi vektor pGEM-T Easy (Promega 2010).
Vektor mentransport gen ke sel inang. Sel inang yang umumnya digunakan adalah bakteri (Brown 2006). Vektor dimasukkan ke sel inang melalui proses yang disebut transformasi sehingga menghasilkan plasmid rekombinan ke bakteri.
Pembelahan sel bakteri menyebabkan terduplikatnya fragmen DNA
(Lodge et al. 2007).
Dalam sel inang, vektor bermultiplikasi menghasilkan
jumlah kopian yang identik bukan hanya vektor tetapi juga gen yang terinsert. (Brown 2006).
14
Sekuensing dan Analisis Homologi Sekuensing DNA adalah penentuan seluruh atau sebagian sekuen nukleotida dari molekul DNA.
Alasan mendasar untuk mengetahui sekuen
molekul DNA adalah untuk membuat prediksi tentang fungsinya dan memfasilitasi untuk manipulasi molekul (Alphey 1997). Sekuensing DNA juga dipergunakan dalam studi populasi genetik (Weising et al. 2005).
Informasi
sekuen nukleotida sangat penting dalam bidang kloning molekuler sebab dengan mengetahui sekuen DNA maka dapat ditentukan situs enzim retriksi spesifik atau dapat memprediksi ORF sekuen DNA yang bersangkutan (Glick dan Paternak 1994). Sekuensing dapat dilakukan langsung terhadap daerah target amplifiksi PCR ataupun disekuensing setelah diklon (Weising et al. 2005). Sekuensing DNA Metode Sanger disebut juga metode chain terminator yaitu prosesnya berdasar pada sintesis enzimatik dari template DNA untai tunggal menggunakan ddNTPs (dideoksinukleotida).
Metode Maxam Gilbert disebut juga metode
chemical degradation yaitu prosesnya didasarkan meliputi degradasi secara kimia fragmen DNA yang diberi radiolabel
pada ujungnya. Pelabelan biasanya
menggunakan fosfat radioaktif (Alphey 1997; Graham 2001). Fungsi-fungsi gen sering dapat diturunkan dari sekuen nukleotidanya, sebagai contoh dalam membandingkan sekuen sampel dengan sekuen gen yang telah diketahui fungsinya (Glick dan Paternak 1994).
Perbandingan sekuen
didasarkan pada asumsi bahwa protein disusun dari suatu tetua akan mempunyai sekuen yang sama yang disebut homologi.
Jika suatu sekuen dikategorikan
homolog dengan suatu kelompok sekuen maka dapat disimpulkan bahwa sekuen tersebut tersusun dari sekuen tetua yang sama sehingga mempunyai fungsi yang sama pula degan kelompok sekuen tersebut (Lodge et al. 2007). Analisis homologi dapat dilakukan melalui pendekatan bioinformatika. Bioinformatika adalah ilmu yang menggunakan teknologi informasi untuk mengatur, menganalisis, dan mendistribusikan informasi biologis untuk menjawab pertanyaan biologi kompleks (Abd-Elsalam 2003). meliputi penemuan gen pada
Komputasional biologi
sekuen DNA dari berbagai organisme,
mengembangkan metode untuk menduga struktur dan/atau fungsi protein yang
15
baru ditemukan dan sekuen RNA struktural, mengelompokkan sekuen protein ke famili-famili bersesuaian dan pengembangan model protein
(Chawla 2002).
Pengembangan teknologi menjadikan bioinformatika semakin mudah dilakukan karena dapat diakses secara gratis dari internet. European Bioinformatics Institute (EBI), National Center for Biotechnology Information (NCBI) dan DNA Data Bank of Japan (DDBJ) mempunyai situs dimana ketiga situs saling berintegrasi untuk memberikan informasi sekuen DNA atau protein suatu organisme. Program yang umum digunakan yaitu BLAST (Basic Local Alignment Search Tool). Program ini digunakan untuk mencari kesamaan sekuen DNA atau protein query dengan sekuen pada database. BLAST membandingkan sekuen yang tidak diketahui fungsinya dengan sekuen pada database.
Fungsi dari sekuen baru
kemudian disimpulkan dari fungsi sekuen yang diketahui. Program BLASTN membandingkan sekuen nukleotida query dengan sekuen nukleotida pada database. BLASTX membandingkan sekuen nukleotida query yang ditranslate dalam keenam frames reading dengan sekuen protein database (Hindley 1983). Evalue (expect value) adalah ukuran seberapa mirip kecocokan suatu sekuen dengan yang ada di database (Lodge et al. 2007).