TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian Hayati Baker and Cook (1974 dalam Cook 2002) mendefinisikan bahwa pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum atau penurunan aktivitas dari patogen penyebab penyakit dengan introduksi agens antagonis, perbaikan kondisi lingkungan tumbuh atau dengan modifikasi lingkungan yang dapat mendukung perkembangan agens antagonis. Dengan kata lain, pengendalian hayati didefinisikan sebagai pengurangan jumlah inokulum atau aktivitas penyebab penyakit dengan penggunaan organisme lain (agens antagonis). Pengendalian
hayati
(biological
control)
terhadap
patogen
yaitu
menghancurkan sebagian atau seluruh populasi patogen dengan organisme lain dan selalu terjadi secara rutin di alam (Agrios 1996). Sebagai contoh, beberapa jenis penyakit yang patogennya tidak dapat berkembang pada lahan tertentu yang disebut tanah supresif (suppressive soil). Pemanfaatan agens antagonis tersebut telah banyak digunakan dalam pengembangan strategi pengembangan pengendalian hayati yang efektif dan efisien untuk mengatasi beberapa jenis penyakit tanaman. Walaupun memiliki sejumlah keterbatasan namun agens antagonis dapat diharapkan menjadi bagian penting dalam tindakan pengendalian yang dapat dilakukan terhadap lebih banyak patogen. Sebagai contoh, beberapa jenis cendawan yang mencakup Oomycetes, Chytridiomycetes, Hyphomycetes dan beberapa bakteri Pseudomonas serta Aktinomiset mampu menginfeksi spora istirahat dari cendawan tertentu. Selain itu, ada juga cendawan mikoparasitik seperti Trichoderma harzianum yang memiliki kemampuan dalam memarasit miselium dari cendawan Rhizoctonia dan Slcerotium, mampu menghambat pertumbuhan banyak cendawan jenis lainnya, seperti Pythium, Fusarium dan Fomes, dan mampu mengurangi penyakit yang disebabkan oleh sebagian besar patogen tersebut.
6
Selain cendawan, bakteri dari genus Streptomyces dan Pseudomonas juga telah ditemukan dapat memarasit dan atau menghambat cendawan patogenik Pythium sp. dan Gaeumannomyces tritici. Nematoda mikofagus Aphelencus anenae memarasit Rhizoctonia dan Fusarium, dan amuba Vampyrella memarasit cendawan patogenik Cochiliobolus sativus dan Gaeumannomyces graminis. Belum seluruhnya dapat dijelaskan dengan cara bagaimana mikroorganisme antagonis mempengaruhi populasi patogen, tetapi umumnya mekanisme tersebut dihubungkan dengan salah satu dari lima pengaruh berikut, yaitu: (1) parasitisme dan membunuh patogen secara langsung, (2) berkompetisi dengan patogen dalam hal nutrisi atau makanan, (3) toksin yang langsung mempengaruhi patogen dengan zat antibiotik yang dilepaskan oleh agens antagonis, (4) toksin yang tidak langsung mempengaruhi patogen melalui zat yang mudah menguap, seperti etilen yang dilepaskan oleh aktivitas metabolik antagonis dan (5) penginduksi ketahanan tanaman inang (Agrios 1996).
Pseudomonas fluorescens Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri gram negatif yang sebagian besar bersifat non-patogenik dan saprofitik pada tanah dan daerah rizosfer tanaman. P. fluorescens mengkolonisasi tanah, permukaan tanaman dan memanfaatkan bahan organik sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya. Bakteri ini memproduksi pigmen biru kehijauan pada saat kandungan Fe (besi) yang rendah serta dapat tumbuh baik pada media yang mengandung garam-garam mineral dengan tambahan sumber karbon yang beragam (Ratdiana 2007). P. fluorescens merupakan agens antagonis yang potensial dengan menghasilkan antibiotik dan siderofor. Siderofor berfungsi mengikat ion Fe3+ dari lingkungan sehingga patogen tidak dapat memanfaatkan senyawa tersebut dan mengakibatkan pertumbuhan cendawan terhambat (Leong 1988 dalam Hamdan et al. 1991). Antibotik tersebut berperan dalam menekan perkembangan patogen yang ada di lingkungan pertanaman sehingga P. fluorescens dapat berkembang secara optimal (Mazolla et al. 1992). Selain itu, antibiotik yang dihasilkan oleh P. fluorescens dapat mempengaruhi populasi dari bakteri kelompok Pseudomonas lainnya (Natsch et al. 1997).
7
Senyawa antibiotik yang dihasilkan bakteri ini antara lain pyrrolnitrin, pyoluteorin (PLT), phenazine-1-carboxylase (PCA) dan 2,4-diacetylploroglucinol (PHL) (Duffy & Defago 1998). Hamdan et al. (1991) menyatakan bahwa antibiotik PCA menjadi faktor utama dalam menekan kejadian penyakit pada tanaman. Sedangkan, siderofor yang dihasilkan antara lain ptochelin dan pyovedrin. Keduanya merupakan pigmen berwarna kuning kehijauan, tetapi pigmen yang dihasilkan oleh pyovedrin lebih cerah daripada ptochelin. P. fluorescens banyak dilaporkan sebagai penghasil fitohormon dalam jumlah yang besar khususnya IAA untuk merangsang pertumbuhan (Watanabe et al. 1987 dalam Marwoso 2005). IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang sangat besar peranannya dalam pertumbuhan tanaman (Heddy 1986 dalam Marwoso 2005). Dilaporkan oleh Tjondronegoro et al. (1989), bahwa pengaruh auksin antara lain: memanjangkan dan membesarkan sel batang, menghambat proses absisi yaitu pengguguran daun, merangsang pembentukan buah, penghambat pucuk lateral yaitu menghambat pertumbuhan tunas ketiak dan dapat merangsang pertumbuhan kambium serta membentuk pertumbuhan floem dan xilem sekunder. Beberapa contoh produk yang telah menggunakan P. fluorescens sebagai agens hayati antara lain: BlightBan A506, Conquer dan Victus. Produk tersebut tersedia dalam bentuk serbuk dan cairan yang dapat langsung diaplikasikan ke tanaman (Cook 2002).
8
Limbah Organik
Limbah Air Kelapa Kelapa merupakan bahan utama dalam industri kopra. Air kelapa merupakan limbah dari industri kopra yang mempunyai banyak manfaat antara lain sebagai bahan pembuat permen karet (kernel), bahan pembuat nata de coco (Thirupati et al. 2007), sumber hormon pemicu pertumbuhan dan pengganti dekstrosa. Air kelapa memiliki kandungan nutrisi yang cukup lengkap. Bobot air kelapa sekitar 25% dari keseluruhan bobot buah kelapa dan komposisi yang terkandung didalamnya yaitu 4% karbohidrat, 0,1% lemak, 0,02% kalsium, 0,01% fosfor, 0,05% besi, protein (9 g/L), vitamin C, vitamin B kompleks dan garamgaram mineral. Umur buah kelapa mempengaruhi kadar gula yang terdapat pada air kelapa. Semakin tua umur buah kelapa maka kadar fruktosa dan glukosa akan meningkat, sedangkan kadar sukrosa akan menurun. Kalor yang terdapat dalam air kelapa adalah sebesar 17,4 kal/100 mg (Thirupati et al. 2007).
Limbah Air Tahu Pembuatan nata de soya merupakan salah satu pemanfaatan limbah tahu yang telah banyak dilakukan. Pengolahan tersebut melibatkan bakteri Acetobacter xylinum yang memanfaatkan protein dan karbohidrat dalam limbah tahu sebagai energi untuk hidup dan berkembang biak (Anonim 2007). Limbah cair tahu mengandung kadar air 99,28%, kadar abu 0,06%, total padatan 0,067%, protein 0,17% dan karbohidrat 0,35% dengan pH 4,27. Analisis tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tahu merupakan sumber media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, termasuk bakteri antagonis. Akan tetapi untuk memperoleh hasil pertumbuhan yang optimal diperlukan tambahan nutrisi berupa sumber karbon dan nitrogen.
9
Limbah Perikanan Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas merupakan sumberdaya alam yang memiliki sejumlah potensi untuk dimanfaatkan secara optimal. Minimnya pengetahuan dan sarana nelayan dalam mengolah hasil laut menyebabkan masalah terhadap lingkungan khususnya di kawasan pesisir, seperti gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan. Limbah pengolahan ikan di Cirebon berkisar 10 ton per hari yang berasal dari sekitar 20 industri kecil pengolahan ikan (Meidina et al. 2007). Limbah pengolahan ikan seperti kulit udang, kepiting dan rajungan mengandung kitin dalam kadar tinggi, berkisar antara 20-60% tergantung spesiesnya (Rochima et al. 2007). Kitin adalah polimer alami kedua yang paling banyak tersedia di alam setelah selulosa dan merupakan polimer aminoglukan dari N-asetil-D-glukosamin yang tidak larut air. Beberapa manfaat yang dapat diambil dari kitin, salah satunya di bidang pertanian antara lain dengan memanfaatkan sifat antifunginya untuk melindungi tanaman dari serangan fungi dan sifat antibakterinya terhadap beberapa patogen (Shahidi et al. 1999). Kitin dapat diproses lebih lanjut menjadi kitosan yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit. Kitosan adalah senyawa turunan dari kitin yang telah mengalami deasitilisasi, yaitu penghilangan gugus asetat pada kitin. Kitosan merupakan rangkaian β-1.4-polimer yang berasal dari glukosaamina (2-amino-2deoksi-β-D-glukosa ) dan terdapat sejumlah N-asetilglukosamin. Zat ini dibentuk oleh poly-N-glukosamin (Rinaudo 1999). Singh and Sitaramaiah (1999) menyatakan bahwa kitosan sebagai substrat tumbuh mikrob antagonis juga dapat menginduksi ketahanan inangnya apabila ditambahkan langsung ke tanah.
Penyakit Rebah Kecambah Pada Cabai Penyakit rebah kecambah (damping off) adalah penyakit yang menyerang bibit pada persemaian atau tanaman yang baru dipindahkan ke lapangan. Umumnya penyakit ini menyerang tanaman yang masih dalam keadaan sukulen serta belum banyak membentuk kutikula. Tanaman yang terserang penyakit rebah kecambah akan menampakkan gejala busuk basah, mengerut hingga bercak coklat pada leher akar atau bagian bawah batang dan pada akhirnya tanaman mati.
10
Apabila kondisi lingkungan dapat mendukung pertumbuhan patogen, maka kerugian akibat penyakit rebah kecambah berkisar 80-100% (Sugiharso dan Suseno dalam Rina 1993). Tembakau, jagung, cabai, kapas, sorgum, tomat, kubis-kubisan dan kacangkacangan adalah tanaman yang mudah terserang penyakit rebah kecambah. Agrios (1996) menyatakan bahwa timbulnya penyakit rebah kecambah dapat terjadi sebelum bibit muncul ke permukaan tanah (pre-emergence damping off) dan setelah bibit muncul ke atas permukaan tanah (post-emergence damping off). Penyakit rebah kecambah telah tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis dan daerah beriklim basah. Sclerotium rolfsii adalah salah satu cendawan patogen penyebab penyakit rebah kecambah. Cendawan patogen ini bersifat saprofit fakultatif yang tumbuh secara saprofit dalam lapisan tanah ketika tidak ada tanaman inang (Frederiksen 1986). Berbagai usaha telah dilakukan dalam mengendalikan penyakit rebah kecambah, diantaranya adalah penggunaan fungisida. Alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan adalah dengan pemanfaatan spesies organisme yang bersifat antagonis terhadap patogen penyebab penyakit, atau secara umum dikenal sebagai pengendalian hayati (Campbell 1989). Penggunaan
bakteri
antagonis
P.
fluorescens
berpotensi
untuk
mengendalikan penyakit rebah kecambah. Penelitian yang telah dilakukan Howell dan Stipanovic (1979 & 1980) menunjukkan bahwa P. fluorescens dapat mengendalikan patogen Rhizoctonia solani dan Pythium spp. sebagai penyebab penyakit rebah kecambah pada persemaian kapas. Ganesan dan Gnanamanikam (1986) menyatakan bahwa P. fluorescens juga mampu mengendalikan patogen S. rolfsii penyebab penyakit rebah kecambah pada kacang tanah. P. fluorescens memiliki kemampuan dalam menekan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh S. rolfsii pada persemaian cabai dan kedelai (Rina 1993).