42
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Ruang, Wilayah, dan Kawasan Undang-undang Nomor 24/1992 tentang Penataan Ruang mendefinisikan ruang sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, laut, dan udara, termasuk di dalamnya tanah, air, udara, dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dan mahkluk hidup lainnya melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (i) jarak, (ii) lokasi, (iii) bentuk, dan (iv) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001). Wilayah didefinisikan Budiharsono (2001) sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama. Definisi konsep kawasan menurut Rustiadi et al. (2006) adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional.
Pengembangan Kawasan Istilah pembangunan dan pengembangan digunakan dalam banyak hal yang sama, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan dapat saling dipertukarkan. Secara umum pembedaan istilah ”pembangunan” dan ”pengembangan” di Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi ”pemberdayaan”, ”kedaerahan” atau ”kewilayahan”, dan ”lokalitas”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ”pengembangan” lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa
43
pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari ”nol’, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (Rustiadi et al., 2006). Secara filosofis, proses pembangunan dapat diartikan sebagai ”upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik” (Rustiadi et al., 2006). Menurut Todaro (2000) yang diacu dalam Rustiadi
et al. (2006),
pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki, yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma, menurut Anwar (2001) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006), mengarahkan pembangunan wilayah/kawasan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability).
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang sangat kaya akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya hayati dan nir-hayati, dimana unsur hayati terdiri atas ikan, mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut lain beserta ekosistemnya, sedangkan unsur non-hayati terdiri dari sumberdaya mineral dan abiotik lain di lahan pesisir, permukaan air, kolom air, dan dasar laut (Djais et al., 2002).
44
Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Management/ICZM) adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan (environmental service) yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assesment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfataan guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilakukan secara kontinyu dan dinamis, dengan mempertimbangkan segala aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspirasi masyarakat pengguna (stakeholders), serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc Creary, 1990; IPPC, 1994 dalam Dahuri et al., 2001). Lebih lanjut, Dahuri et al. (2001) mengatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM) adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mencakup tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Sedangkan menurut Cicin-Sain (1998) pengelolaan pesisir diinterpretasikan dalam dimensi keterpaduan kebijakan yang menekankan pada beberapa isu penting, yaitu: 1) keterpaduan antar sektor di dalam wilayah pesisir atau dengan wilayah lain, 2) keterpaduan antara wilayah darat dan laut dalam zona pesisir, 3) keterpaduan antar level pemerintahan (nasional dan lokal), 4) keterpaduan antar negara, 5) keterpaduan antar disiplin ilmu (ilmu alam, sosial, dan teknik). Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan vertikal dan horisontal, ekosistem darat dan lalut, sains dan manajemen, merupakan proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang mengacu pada pengelolaan yang berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah
45
pesisir Kabupaten Kutai Timur harus terintegrasi dan harus melibatkan semua sektor serta stakeholders yang ada, sehingga dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Penataan Ruang Pesisir Dalam pengembangan lautan salah satu kegiatannya yang penting adalah menata ruang lautan untuk penggunaan multiganda (multiple use of ocean space) untuk: (i) menghindari konflik penggunaan ruang lautan, dan (ii) menjaga kelestarian sumberdaya yang terkandung di dalamnya (Rais et al., 2004). Menurut Rustiadi et al. (2006) penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke keseimbangan yang baru, yang ”lebih baik”. Penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara hakiki harus dipandang sebagai bagian dari proses pembangunan
khususnya
menyangkut
aspek-aspek
spasial
dari
proses
pembangunan. Penataan ruang dilakukan sebagai upaya: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktivitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya Tata ruang wilayah pesisir merupakan pengaturan penggunaan lahan wilayah pesisir ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik, non-fisik,
sosial,
budaya,
ekonomi,
pertahanan,
keamanan.
Pengaturan
penggunaan lahan diperlukan karena wilayah pesisir merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri et al., 2001). Tiga alasan ekonomis terkonsentrasi pembangunan di wilayah pesisir menurut Bengen (1999) adalah: (a) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan praktis dan relatif lebih mudah bagi kegiatan industri dan pemukiman dan kegiatan lainnya, dibandingkan dengan yang dapat disediakan daratan lahan
46
atas, (c) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama yang menarik dan menguntungkan.
Sistem Teknologi Akuakultur Sistem teknologi akuakultur didefinisikan sebagai wadah produksi beserta komponen lainnya dan teknologi yang diterapkan pada wadah tersebut serta bekerja secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan akuakultur. Tujuan akuakultur adalah memproduksi ikan dan akhirnya memperoleh keuntungan. Memproduksi ikan berarti mempertahankan ikan bisa dan tetap hidup, tumbuh dan berkembang biak dalam waktu sesingkat mungkin hingga mencapai ukuran pasar dan bisa dijual. Komponen di dalam sistem teknologi akuakultru bekerja sinergis sehingga tercipta lingkungan terkontrol dan optimal bagi upaya mempertahankan kelangsungan hidup ikan serta memacu pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan (Effendi, 2004). Menurut Effendi (2004), sistem akuakultur bisa dikelompokkan menjadi 2, yaitu sistem akuakultur berbasiskan daratan (land-based aquaculture) dan sistem akuakultur berbasiskan air (water-based aquaculture). Sistem budidaya yang termasuk dalam land-based aquaculture antara lain terdiri dari kolam air tenang, kolam air deras, tambak, bak, akuarium, dan tangki. Sedangkan sistem budidaya yang termasuk dalam water-based aquaculture antara lain jaring apung, jaring tancap, karamba, kombongan, long line, rakit, pen culture, dan enclosure. Dalam sistem land-based aquaculture, unit budidaya berlokasi didaratan dan mengambil air dari perairan di dekatnya. Terdapat pembatas antara unit budidaya dengan perairan sebagai sumber air, minimal oleh pematang sehingga land-based aquaculture merupakan sistem tertutup (closed system). Faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi sistem produksi, seperti pencemaran, dapat direduksi dengan cara menutup aliran air masuk ke dalam sistem atau mentreatment air terlebih dahulu sebelum digunakan. Berbeda dengan land-based aquaculture, unit budidaya water-based aquaculture ditempatkan di badan perairan (sungai, saluran irigasi, danau, waduk, dan laut) sehingga merupakan suatu sistem yang terbuka (open system), dimana interaksi antara ikan (unit budidaya) dengan lingkungan perairan berlangsung
47
hampir tanpa pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya dilakukan di perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga bisa terkena dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan (agen pencemar). Konflik kepentingan dan isu lingkungan pada waterbased aquaculture lebih sering muncul dan lebih rumit dibandingkan pada landbased aquaculture (Effendi, 2004).
Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik (Shell & Lowell, 1993) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial. Berdasarkan kepada habitat sumber air yang dimanfaatkan, budidaya perikanan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture) (Pillay, 1990) Tujuan budidaya laut adalah memproduksi makanan, meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement), memproduksi umpan untuk kegiatan penangkapan atau menghasilkan ikan hias (Tucker, 1998). Kegiatan budidaya laut untuk tujuan memproduksi makanan manusia sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang terutama di Cina, Mesir, Romawi dan Eropa (Effendi, 2004), namun berkembang dengan cepat beberapa puluh tahun belakangan ini saja (Beveridge, 1996). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain menurunnya produksi perikanan tangkap, sedangkan populasi manusia cenderung bertambah dengan. Budidaya perikanan diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan cepat (Muir dan Roberts, 1985). Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir dan laut sebagian besar adalah kegiatan usaha perikanan tambak, baik tambak udang, ikan bandeng, atau campuran keduanya. Selain itu, terdapat pula beberapa jenis kegiatan budidaya yang lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan budidaya ikan dalam keramba
48
(net impondment) (Bardach et al., 1972). Air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, oleh karena itu
pengelolaan terhadap sumber-
sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam, dan lain-lain) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Dalam kegiatan budidaya perikanan laut terdapat beberapa tipe pembudidayaan yaitu: 1) Sea Ranching dan Restocking Sistem terbuka terdiri atas kegiatan sea ranching dan restocking. Sea ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang terisolasi geografis secara alamiah. Kawasan karang dalam adalah suatu kawasan yang secara geografis dan alamiah mengisolasi ikan-ikan karang (demersal species), teripang, moluska dan krustasea (udang dan lobster). Secara reguler hatchery swasta melakukan kegiatan restocking beberapa benih ikan potensial kedalam kawasan sea ranching (Nurhakim, 2001). 2) Eclosure Enclosure adalah sistem budidaya yang dilakukan di perairan laut dimana sebagian besar dinding wadah dari sistem tersebut merupakan dinding alam (teluk, perairan diantara beberapa pulau) dan sebagian kecil berupa dinding buatan
manusia (man made) berupa jaring, pagar kayu atau batu
(Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Prakteknya, budidaya dalam sistem enclosure ini tidak dilakukan pemberian pakan (no feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Kegiatan ini mengandalkan benih dari hatchery yang berlokasi di dekatnya. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening) di sistem cage culture atau pen culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang rendah. 3) Pen Culture Pen culture adalah sistem budidaya menggunakan wadah dengan dinding buatan manusia yang terbuat dari jaring atau kayu, sementara dasar wadah berupa dinding alam (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan
49
organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Beberapa komoditas yang potensial dipeliharan dalam sistem ini adalah abalon, teripang dan ikan kerapu. Prakteknya, budidaya dalam sistem pen culture ini bisa dilakukan pemberian pakan atau tanpa pemberian pakan (no feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening) di sistem cage culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan menengah. 4) Cage culture Cage culture adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring, baik mengapung (floating net cage) maupun menancap (fixed net cage) (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Semua dinding adalah buatan manusia. Sistem ini menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan tinggi, maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu mensuplai oksigen yang cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan pakan yang cukup. Sistem budidaya
ini
seyogyanya
dilakukan
oleh
SDM
dengan
kemampuan
pembudidayaan yang relatif tinggi. Sistem budidaya cage culture tergolong sistem budidaya intensif, sehingga dituntut pula pemberian pakan yang intensif dan pengguna benih yang bermutu (Gjedrem, 1988; Cowey &. Cho, 1991 dalam Soebagio, 2004). Jaring apung adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di perairan seperti danau, waduk, laguna, selat, dan teluk. Sistem tersebut dewasa ini lebih dikenal dengan dengan nama karamba jaring apung (KJA). Komoditas akuakultur yang sudah lazim dibudidayakan dalam KJA di perairan laut antara lain kerapu, kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut (Effendi, 2004). Jaring tancap (fixed net cage) adalah sistem teknologi budidaya dalam wadah berupa jaring yang diikatkan pada patok yang menancap ke dasar peraiaran. Sistem ini ditempatkan di pantai perairan danau, waduk, laut, dan
50
sungai yang tenang yang memiliki kedalaman sekitar 3-7 m. Pada kedalaman perairan >7 m sulit untuk mencari patok dengan panjang >10 m. Penempatan sistem ini di perairan laut harus memperhatikan kisaran pasang surut pada saat pasang kantong jaring yang terendam bisa mengakibatkan ikan lepas keluar, sedangkan pada saat surut ketinggian air dari dasar kantong masih bersisa minimum 1 m (Effendi, 2004). Komoditas akuakultur yang sudah lazim dibudidayakan dalam karamba jaring tancap di perairan laut antara lain kerapu, kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut. Di Kabupaten Kutai Timur saat ini telah mulai diupayakan pembesaran udang lobster (Homarus sp) dalam karamba jaring tancap. Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir Budidaya tambak adalah kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan hasilnya dengan cara memanennya. Pengertian tambak adalah kolam ikan yang dibuat pada lahan pantai laut dan menggunakan air laut (bercampur dengan air sungai) sebagai penggenangnya. Tambak berasal dari kata ”nambak” yang berarti membendung air dengan pematang sehingga terkumpul pada suatu tempat. Bentuk tambak umumnya persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 sampai 2 ha. Deretan tambak dapat mulai dari tepi laut terus ke pedalaman sejauh 1-3 km (bahkan ada yang mencapai 20 km) tergantung sejauh mana air pasang laut dapat mencapai daratan (Hardjowigeno, 2001). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), berdasarkan letak tambak terhadap laut dan muara sungai yang memberi air ke tambak, maka dapat dibedakan tiga jenis tambak, yaitu: (a) Tambak lanyah, adalah tambak yang terletak dekat sekail dengan laut atau lebih jauh, tetapi air laut masih dapat menggenangi tambak tanpa mengurangi salinitas yang menyolok, sehingga tambak tersebut berisi air laut yang berkadar garam 30 ‰. (b) Tambak biasa, adalah tambak yang terletak di belakang tambak lanyah dan selalu terisi campuran air asin dari laut dan air tawar dari sungai, setelah kedua
51
macam air tersebut tertahan dalam petakan tambak, maka terciptalah air payau dengan kadar garam 15 ‰. (c) Tambak darat, adalah tambak yang terletak jauh dari pantai laut. Tambak ini kurang memenuhi syarat untuk produksi biota air payau karena salinitasnya rendah (5-10 ‰). Biota perairan yang umum dibudidayakan di tambak antara lain: udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus merguensis), bandeng (Chanos chanos), kakap (Lates calcalifer), nila merah (Oreochromis niloticus), dan rumput laut (Euchema spp). Di wilayah Kalimantan mulai muncul usaha budidaya kepiting bakau (Scylla serrata) di tambak. Udang windu merupakan komoditas yang paling populer dibudidayakan, karena permintaan pasar laur negeri yang semakin meningkat dengan harga yang relatif tinggi. Komoditas lain yang cukup banyak diusahakan, terutama di tambak tradisional adalah bandeng. Perkembangan teknologi budidaya bandeng cenderung lambat, namun merupakan komoditas yang banyak diproduksi dan dikonsumsi. Bandeng merupakan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan strategis dibanding komoditas perikanan lain, karena: (i) teknologi pembenihan dan pembesaran telah dikuasai dan berkembang di masyarakat, (ii) persyaratan hidupnya tidak memerlukan kriteria kelayakan yang tinggi karena toleran terhadap perubahan mutu lingkungan, (iii) merupakan ikan yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia dalam bentuk hidup dan segar, serta untuk umpan hidup tuna, (iv) merupakan sumber protein ikan yang potensial bagi pemenuhan gizi serta pendapatan masyarakat petambak dan nelayan (Ahmad, 1998 dalam Alaudin, 2004). Untuk memperoleh produksi tambak yang diharapkan, kegiatan budidaya tambak udang harus memperhatikan daya dukung lahan. Poernomo (1992) menyatakan daya dukung tambak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: tipe dasar pantai, tipe garis pantai, arus, amplitudo pasang surut, elevasi, mutu tanah, air tawar, jalur hijau, dan curah hujan. Dari daya dukung tersebut maka dapat ditentukan tingkat teknologi budidaya yang tepat, yaitu tradisional, semi intesif, atau intensif.
52
Di Indonesia, budidaya tambak udang dikategorikan pada tiga sistem produksi, yaitu: sistem ekstensif/tradisional, semi intensif, dan intensif. Ciri-ciri masing-masing sistem budidaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 1a. Tabel 1a. Sistem budidaya udang di Indonesia SISTEM CIRI-CIRI EKSTENSIF
¾ Pergantian air memanfaatkan energi pasang surut ¾ Padat penebaran 5.000-15.000 ekor/ha ¾ Menggunakan pupuk TSP, urea, organik yang diperkaya
SEMI
¾ Ukuran tambak, kedalaman air, kedalam pematang
INTENSIF
mirip tambak ekstensif ¾ Pemasukan air dengan menggunakan pompa air ¾ Menggunakan kincir air ¾ Padat penebaran 15.000-150.000 ekor/ha ¾ Menggunakan pakan buatan (pelet)
INTENSIF
¾ Konstruksi tambak lebih dalam daripada tambak ekstensif ¾ Pemasukan air dengan menggunakan pompa air ¾ Menggunakan kincir air ¾ Padat penebaran >150.000 ekor/ha
¾ Menggunakan pakan buatan (pelet) berkualitas tinggi Sumber: Chamberlain (1991) dalam Kusumastanto (1994) Pada umumnya tambak di Indonesia yang dikelola dengan tidak menggunakan kincir, sedikit menggunakan pakan, serta menerapkan pemupukan sudah mampu memproduksi udang antara 500-750 kg/ha/4 bulan. Tambak yang dikelola dengan sistem tradisional ini akan memberikan kelangsungan produksi yang lebih lestari dibanding sistem intensif (Widigdo, 2002). Di Philipina tambak yang lestari dan memiliki mutu produk yang baik adalah tambak yang menerapkan teknologi rendah (tradisional) dengan target produksi sekitar 600-750 kg/ha/4 bulan (Garcia dalam Widigdo, 2002). Sejalan dengan itu, Poernomo (1992) menyatakan bahwa tambak semi intensif mempunyai target produksi antara 2-4 ton/ha, sedangkan untuk tambak ekstensif target produksinya antara 500-750 kg/ha. Tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif akan memberikan kelangsungan produksi yang lestari daripada sistem semi intensif.
53
Sistem Informasi dan Analisis Geografis Sistem informasi adalah suatu jaringan perangkat keras dan lunak yang dapat menjalankan operasi-operasi dimulai dari perencanaan, pengamatan, dan pengumpulan data, kemudian untuk penyimpanan dan analisis data, termasuk penggunaan informasi yang diturunkan ke beberapa proses pengambilan keputusan. Fungsi sistem informasi adalah sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu peta merupakan bagian dari sistem informasi spasial (Barus dan Wiradisastra, 2000). Informasi dan analisis geografi berupa informasi yang bersifat keruangan yang merupakan hasil penafsiran data yang dituangkan dalam bentuk simbol sebagai gambaran keadaan sebenarnya di lapangan dalam bentuk peta. Informasi keruangan ditujukan untuk menjawab masalah yang terkait dengan pertanyaan apa, di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa (Sandy, 1986). Untuk lebih mengoptimalkan dalam menghimpun dan memanfaatkan informasi keruangan tersebut maka disusunlah Sistem Informasi Geografis (SIG).
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang berreferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star dan Estes dalam Barus dan Wiradisastra, 2000) SIG secara singkat diartikan sebagai suatu perangkat lunak untuk mengumpulkan, menyimpan, menampilkan kembali, mentransformasi, dan menyajikan data keruangan (spatial) atau geografis dari sebagian fenomena ruang muka bumi (Burrough dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Kelebihan SIG jika dibandingkan dengan sistem pengelolaan data dasar yang lain adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spatial maupun non spatial secara bersama-sama dalam bentuk vektor, raster ataupun data tabular (Barus dan Wiradisastra, 2000).
54
Basis data yang terdapat di dalam SIG dibagi dalam dua bagian, yaitu basis data grafis/spatial/ruang dan basis data non grafis/atribut/keterangan. Model data grafis terdiri dari dua model, yaitu data raster dan data vektor. Pada model data raster setiap informasi akan disimpan pada setiap pixel (picture element). Susunan data dasar raster ini terdiri dari koordinat pixel dan informasi yang dikandungnya disajikan biasanya dengan intensitas warna. Pada susunan demikian, setiap pixel adalah satuan yang berdiri sendiri dan bukan merupakan satu rangkaian yang saling berhubungan dengan pixel sekitarnya (De Mers, 1997). Data dasar vektor mengandung informasi koordinat dan arah. Model vektor ini dapat menampilkan kembali titik, garis, dan poligon (area) dengan ketelitian dan pendekatan yang cukup tinggi dari kenampakan sesungguhnya. Data spatial vektor secara garis besar dibedakan dalam tiga jenis kenampakan, yaitu feature titik, garis, dan area (Laurini dan Thompson dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Basis data non grafis/non spasial berbentuk atribut, yang peranannya tidak menunjukkan posisinya akan tetapi lebih bersifat penjelasan mengenai obyek atau bersifat identitas. Data atribut dapat dinyatakan menjadi 4 bentuk, yaitu: a) nominal, b) ordinal, c) interval, dan d) ratio (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Penentuan Sektor Basis dalam Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah memandang penting adanya keterpaduan sektoral, spasial, serta keterpaduan antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Dalam kacamata sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2006). Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung atau tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan
55
(penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain), (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya dengan karakteristik yang berbedabeda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktifitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, infrastruktur, dan sosial yang ada. Sehingga setiap wilayah selalu terdapat sektor yang bersifat strategis (Rustiadi
et al., 2006). Sektor
strategis di suatu wilayah dapat ditentukan dengan pendekatan model ekonomi basis. Inti dari model berbasis ekonomi (economic base model) adalah bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja dan pendapatan pada sektor basis adalah fungsi permintaan dari luar (exogeneous), yaitu permintaan dari luar yang mengakibatkan terjadinya ekspor dari wilayah tersebut. Disamping sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor pendukung yang dibutuhkan untuk melayani pekerja (dan keluarganya) pada sektor basis dan kegiatan sektor basis itu sendiri. Kegiatan sektor pendukung, seperti perdagangan dan pelayanan perseorangan, disebut sektor non-basis (Budiharsono, 2001). Untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau nonbasis dapat digunakan beberapa metode, yaitu: (1) metode pengukuran langsung dan (2) metode pengukuran tidak langsung. Metode pengukuran langsung dilakukan dengan survai langsung. Metode pengukuran tidak langsung ada beberapa metode, yaitu: (1) melalui pendekatan asumsi; (2) metode location quotient; (3) metode kombinasi 1 dan 2; dan (4) metode kebutuhan minimum (Budiharsono, 2001).
Metode Location Quotient Metode location quotient (LQ) merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional (Budiharsono, 2001). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
56
LQi =
vi vt
Vi / Vt
Dimana: vi = pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah vt = pendapatan (tenaga kerja) total wilayah Vi = pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional Vt = pendapatan (tenaga kerja) total nasional Apabila LQ suatu sektor ≥ 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor nonbasis. Asumsi metode LQ adalah penduduk di wilayah yang bersangkutan mempunyai pola permintaan wilayah sama dengan pola permintaan kabupaten. Asumsi lainnya adalah bahwa permintaan wilayah akan suatu barang akan dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi wilayah, kekurangannya diimpor dari wilayah lain.
Proses Hierarki Analitik/PHA (Analitycal Hierarchy Process/AHP) Marguire dan Carver (1991) dalam Subandar (2002) telah mengamati kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision). Kelemahan SIG yang lain adalah keterbatasannya dalam penentuan prosedur pendukung pengambilan keputusan (Birkin et al, 1996; Maguire, 1995 dalam Subandar, 2002). Subandar (1999) mengunakan teknik MCDM (Multy Criteria Multy Decision) untuk mengatasi kelemahan SIG dalam pengambilan keputusan. Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analitycal Hierarchy Process/AHP) merupakan salah satu metode MCDM yang mula-mula dikembangkan oleh Saaty (1991), dan sangat populer digunakan dalam perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang
57
memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana (Saaty, 1991). Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analitycal Hierarchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah (Saaty, 1991): 1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur. 2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. 3.
AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. 5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas. 6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. 7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. 8. AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. 9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda. 10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
58
Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty, 1991). Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1991). Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA.
59
PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantiatif. Dalam PHA, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (tidak terukur) ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan (Saaty, 1991). Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu: (i) menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis. Tahapan analisis data dengan PHA menurut Saaty (1991) adalah: 1. identifikasi sistem 2. penyusunan struktur hierarki 3. membuat matriks perbandingan/komparasi (pairwise comparison) 4. menghitung matriks pendapat individu 5. menghitung pendapat gabungan 6. pengolahan horisontal 7. pengolahan vertikal 8. revisi pendapat.
Analisis SWOT Analisis SWOT (Strenght Weakness Opportunities Threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats)
60
(Salusu, 1996). Sedangkan menurut Kotler, 1988; Wheelen dan Hunger, 1995 dalam Kajanus (2001) analisa SWOT adalah suatu alat yang umum digunakan untuk penganalisaan lingkungan yang internal dan eksternal dalam rangka mencapai suatu pendekatan sistematis dan dukungan untuk suatu situasi pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategi dirumuskan setelah TOWS selesai dianalisis (Salusu, 1996). Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti, 2004), yaitu: (1) Strategi SO, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang. (2) Strategi WO, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. (3) Strategi ST, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal. (4) Strategi WT, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman. Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) untuk Pengkajian Wilayah RRA (Rapid Rural Appraisal), dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Pengenalan Pedesaan dalam Waktu singkat, merupakan metode yang relatif baru berkembang sejak akhir dekade 70-an. Menurut Daniel (2002), RRA dirancang terutama untuk untuk tim yang berbeda disiplin ilmu, guna dipakai untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi atau data dalam jangka waktu yang singkat, dengan lebih komprehensif. Metode penelitian ini pada prakteknya tidak perlu harus terlalu terfokus pada sampel yang representatif (berbeda dengan metode survei atau studi kasus), tetapi lebih mengutamakan pemahaman tentang realita sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan aspek bio-fisik suatu daerah atau masyarakat. Keunggulan metode ini adalah jawaban atas suatu masalah dapat diperoleh dalam waktu singkat dan biaya murah, tapi juga secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan (Daniel, 2002).
61
Dalam pelaksanaannya metode RRA juga sekaligus melakukan konfirmasi data (secara segitiga), data sekunder, didalami melalui wawancara semistruktural dengan pengambil kebijakan, kemudian data ini dikonfirmasikan ke lapangan (petani, sesepuh desa, sumberdaya alam). Dari lapangan hasilnya didiskusikan oleh tim yang terdiri berbagai disiplin ilmu atau keahlian (Daniel, 2002). Wawancara semistruktural adalah suatu bentuk wawancara yang hanya menggunakan beberapa pertanyaan pokok (sub-topik) sebagai pedoman. Pertanyan-pertanyan pokok tersebut telah disiapkan sebelumnya, tetapi tidak berbentuk kuisioner, dan dijadikan acuan untuk membuat pertanyaan ketika melaksanakan wawancara. Penelitian untuk tesis pada bidang ilmu yang bersifat multidisiplin seperti pengelolaan sumberdaya pesisir, walaupun merupakan penelitian indiviual, sangat memungkinkan menggunakan metode RRA ini karena bidang ilmu yang multidisplin menggunakan berbagai displin ilmu di dalam analisisnya.