TINJAUAN PUSTAKA Daun Rami dan Pemanfaatannya Tanaman rami (Boehmeria nivea, L. Gaud) identik dengan serat karena selama ini tanaman tersebut dibudidayakan untuk diambil seratnya. Adapun sistematika botani tanaman rami adalah sebagai berikut: Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliosida
Subkelas
: Hammamelidae
Ordo
: Urticales
Famili
: Urticaceae
Genus
: Boehmeria
Spesies
: Boehmeria nivea
Gambar 1. Tanaman Rami Sumber : en.wikipedia.org
Sepintas tanaman ini terlihat seperti tanaman murbei, namun pada tanaman rami menghasilkan rhizome dapat digunakan sebagai bibit dan dapat menghasilkan rhizome baru yang berbentuk rimpang. Rimpang dapat tumbuh hingga 250 cm dan memiliki diameter antara 12 – 20 mm setelah 3 bulan penanaman (Dhomiri, 2002). Batang rami dapat dipanen dan menghasilkan serat setelah 6 bulan penanaman. Rami dikenal di Jawa Barat dengan nama haramay. Tanaman rami menghasilkan serat kulit batang yang mengkilap. Serat rami merupakan salah satu bahan baku tekstil yang pemakaiannya dapat dicampur dengan serat kapas atau polyester. Serat olahan awal disebut dengan China grass selanjutnya melalui proses degumming, diolah menjadi serat panjang halus. Pemotongan menjadi serat pendek halus dilakukan terlebih dahulu sebelum dipintal sehingga menyerupai serat kapas dan dijadikan benang. Budidaya tanaman rami ini merupakan usaha yang sangat menjanjikan. Produksi serat mentah tanaman rami di Wonosobo sekitar 1 ton/ha/bulan atau setara 200 kg serat rami top dengan harga Rp. 15000/kg (Dhomiri, 2002). Disamping itu, limbah hijauannya berupa daun dan pucuk dapat digunakan sebagai makanan ternak (FAO, 1978). Menurut Duarte et al. (1997) daun rami mengandung bahan kering berkisar 19%, protein 21%, lemak 4%, serat kasar 20% yang menyisakan bahan ekstrak tanpa nitrogen sekitar 46%. Kandungan mineral Ca daun rami sangat tinggi yaitu berkisar 2
6%, namun kandungan phospornya rendah (kurang dari 1%). Mineral yang cukup tinggi dalam tanaman ini adalah Molibdenum yang dapat mengganggu penggunaan Cu karena membentuk senyawa tak larut. Tanaman rami memenuhi semua unsurunsur utama atau nutrien makro yang dibutuhkan ternak, kecuali asam amino methionin yang terdapat hanya 1,27 g/100g dari 2,60 g kebutuhan harian ternak kambing yang dianjurkan (FAO, 1978). Ferreira et al. (2007) menggunakan daun rami sebagai pakan serat unggul dalam ransum kelinci dan tidak menemukan gangguan metabolisme dan pertumbuhan kelinci. Kambing Jawarandu Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang cocok untuk dibudidayakan di daerah tropis. Kambing dapat beradaptasi dengan baik di daerah tropis dan tahan terhadap cekaman suhu lingkungan yang panas. Ternak kambing dapat beradaptasi dengan baik pada
daerah yang memiliki
sumber pakan hijauan yang kurang baik dan dapat menjadi sumber penyedia daging yang potensial
pada
peternakan
rakyat
Gambar 2. Kambing Jawarandu Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2010
(Subandriyo et al., 1995). Kambing jawarandu atau sering juga disebut dengan
Bligon, Gumbolo,
Koplo dan Kacukan, merupakan kambing hasil persilangan antara kambing peranakan etawa (PE) dengan kambing kacang lokal (BPTP Jateng, 2011). Kambing ini termasuk kedalam jenis kambing dwi guna, yaitu sebagai ternak potong dan ternak penghasil susu (Sudono, 1999). Kambing jawarandu memiliki beberapa karakteristik, antara lain adalah profil muka agak cembung, telinga lebar terkulai kebawah, bulu di bagian paha belakang cukup lebat, warna bulu badan bervariasi (belang coklat putih, ke abu-abuan, dan hitam kecoklatan), tinggi pundak antara 75100 cm, bobot badan jantan dewasa ±70 kg dan betina dewasa ±60 kg (Devendra dan Burns, 1994).
3
Onggok Onggok merupakan hasil ikutan dari pembuatan tepung tapioka. Potensi onggok sangat baik untuk dijadikan bahan pakan ternak, karena ketersediaannya berlimpah, harga relatif murah, mudah didapat dan tidak bersaing dengan kebutuhan pangan manusia. Onggok dapat dijadikan pakan sumber energi bagi ternak ruminansia. Onggok dapat diberikan kepada ternak dalam keadaan segar atau dalam bentuk konsentrat yang dicampur dengan bahan pakan lain (Adeyene dan Sunmonu, 1994). Zat pati yang terkandung di dalam onggok berupa amilopktin (Richana dan Suarni, 2010). Zat pati yang terdapat dalam onggok menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba rumen. Hasil degradasi zat pati tersebut dipakai untuk sumber energi bagi perkembangan mikroba rumen (Anggorodi, 1994). Menurut Karolita (2011), onggok dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif pengganti jagung dalam ransum domba bunting. Penggunaan ransum berbasis karbohidrat jagung dan onggok pada domba bunting tidak mempengaruhi konsumsi zat makanan, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, dan absorpsi mineral. Silase Silase atau silage adalah hijauan pakan ternak yang diawetkan dengan cara peragian atau fermentasi asam laktat (Siregar, 1996). Proses fermentasi pembuatan silase secara garis besar dapat dikelompokan menjadi 4 fase utama, yaitu : fase aerob, fase fermentasi, fase stabil dan fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak ( Sapienza dan Bolsen 1993; Schroeder 2004). Keberhasilan pembuatan silase dipengruhi oleh beberapa faktor seperti : kadar air, tingkat kematangan hijauan, ukuran partikel bahan, pemakaian aditif dan penyimpanan saat proses ensilase berlangsung (Schroeder, 2004). Kadar air yang tinggi mendorong pertumbuhan jamur dan menghasilkan asam butirat, sedangkan kadar air yang rendah menyebabkan suhu di dalam silo lebih tinggi sehingga mempunyai resiko yang tinggi terhadap terjadinya kebakaran (Pioner Development Foundation, 1991). Keberadaan dan keadaan bakteri asam laktat (BAL) alami yang cukup baik dalam proses ensilase atau penambahan aditif silase berupa BAL atau bahan yang mengandung sumber 4
gula dan bahan kering yang sesuai dapat menghasilkan silase berkualitas baik (McDonald et al., 1991). Proses pelayuan dan penambahan bahan lain yang mengandung gula juga dapat menghasilkan silase berkualitas baik. Hal ini terutama perlu dilakukan pada hijauan tropis yang memiliki karbohidrat terlarut air (WSC) dalam jumlah sedikit (Titterton dan Pareeba, 1999). Silase yang berkualitas baik memiliki kandungan bahan kering berkisar antara 35 - 40% dan mengandung gula lebih dari 2% dari bahan segarnya (Ohmomo et al. 2002). Selain itu, silase yang dibuat juga harus kedap udara dan suhu penyimpanan yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat homofermentatif (McDonald et al., 1991). Menurut Siregar (1996), silase yang baik mempunyai ciriciri sebagai berikut : warna masih hijau atau kecokelatan, rasa dan bau asam tetapi segar dan enak, nilai pH rendah, dan tekstur masih jelas ( tidak menggumpal, tidak berjamur dan tidak berlendir). Adapun kriteria silase yang baik menurut Deptan (1980) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Penilaian Silase Kriteria
Baik Sekali
Baik
Sedang
Buruk
Jamur
Tidak ada
Sedikit
Lebih banyak
Banyak
Bau
Asam
Asam
Kurang asam
Busuk
pH
3,2 – 4,5
4,2 – 4,5
4,5 – 4,8
> 4,8
Kadar N-NH3 (%)
< 10%
10 – 15%
< 20%
> 20%
Sumber : Deptan (1980).
Hay Hay adalah hijauan pakan yang diawetkan melalui pengeringan agar dapat disimpan lama sehingga dapat digunakan pada musim kemarau ( Siregar, 1996). Menurut, Siregar (1996), pembuatan hay dapat menggunakan alat pengering sejenis oven atau dengan bantuan sinar matahari. Pengeringan yang menggunakan alat pengering membutuhkan biaya yang relatif mahal, sehinggga kurang populer. Oleh karena itu, cara pengeringan yang lebih ekonomis dan praktis adalah dengan memanfaatkan sinar matahari. Apalagi di daerah tropis seperti Indonesia, sinar matahari tersedia sepanjang tahun.
5
Hay mengandung nilai gizi yang lebih rendah dari hijauan segar. Menurut Siregar (1996), untuk menjaga agar nilai gizi hay tidak terlalu turun, perlu diperhatikan beberapa faktor seperti : kesuburan lahan pertanaman, jenis hijauan yang akan dibuat hay, waktu pemotongan yang tepat dan proses pengeringan dan penyimpanan. Limbah pertanian seperti jerami padi, limbah kacang tanah, jagung, kacang hijau dan lainnya juga dapat dibuat hay. Kandungan kadar air pada hay (baled) supaya aman disimpan adalah kurang dari 14% (Sokhansanj, 1999). Kecernaan Pakan dan Kecernaan Rami pada Kambing Kecernaan adalah bagian dari pakan yang tidak dieksresikan melalui feces dan diasumsikan bagian tersebut diserap oleh hewan (McDonald et al., 2002). Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu lingkungan, bentuk fisik pakan, komposisi nutrien pakan dan laju alir pakan saat melewati sistem pencernaan (Campbell et al., 2003). Menurut McDonald et al. (2002), kecernaan juga dipengaruhi oleh komposisi rasio ransum antara hijauan dan konsentrat, pengolahan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Pada ruminansia, pakan mengalami perombakan secara fermentatif sehingga sifat-sifat kimianya berubah menjadi senyawa lain yang berbeda dengan zat makanan asalnya (Sutardi, 1980). Menurut Arora (1989) semakin tinggi kecernaan bahan kering pakan maka semakin banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Wahju (1997) melaporkan bahwa semakin tinggi kandungan protein di dalam pakan, maka konsumsi protein makin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai kecernaan bahan pakan tersebut. Menurut Toharmat et al.(2006), keambaan bahan pakan kaya serat dalam ransum membatasi konsumsi bahan kering pakan. Konsumsi bahan kering meningkat dengan meningkatnya kecernaan
nutrien
ransum.
Kecernaan
lemak
ransum
meningkat
dengan
meningkatnya daya ikat lemak komponen pakan kaya serat.
6