TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Tinjauan Pustaka Bahan baku proses pabrik gula adalah tanaman yang banyak mengandung gula. Kandungan gula dalam tanaman ini berasal dari hasil proses asimilasi yang terjadi dalam tanaman ini. Tanaman sebagai bahan baku pabrik gula di Indonesia terutama adalah tebu, memang ada banyak tanaman yang juga dapat menghasilkan gula seperti kelapa, enau, nipah, dan lain sebagainya. Tanaman yang paling banyak digunakan sebagai sumber bahan baku pabrik gula di Indonesia adalah tebu. Tebu adalah tanaman keluarga rumput-rumputan (graminae) yang mempersyaratkan iklim banyak hujan saat mulai ditanam dan sedikit hujan pada saat akan dipanen. Kebetulan kondisi ini sesuai dengan iklim di Indonesia yang memiliki dua macam iklim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Tebu yang digunakan sebagai bahan baku pabrik merupakan tanaman keturunan hasil persilangan antara tebu alam dan pimping untuk tumbuhnya juga mempersyaratkan kondisi tanah tempat tumbuhnya. Maka untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan agar di tanaman jenis (varietas) tertentu yang sesuai dengan kondisi tanah dan iklim (suhu, angin, dan intensitas curah hujan) agar didapat hasil gula yang cukup tinggi. Gula sebagai hasil proses asimilasi disimpan oleh tanaman di dalam cairan sel tebu, cairan ini di lingkungan pabrik gula disebut nira. Selanjutnya mudah dimengerti bahwa di dalam nira tanaman ini pasti gula tercampur dengan bahanbahan lain yang diperlukan dalam pertumbuhannya (Soejardi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Batang tanaman tebu merupakan sumber gula. Namun demikian rendemen/persentase gula yang dihasilkan hanya berkisar 10-15%. Sisa pengolahan batang tebu adalah : 1. Tetes tebu (molase) yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan masih mengandung gula 50-60%, asam amino, dan mineral. Tetes tebu adalah bahan baku bumbu masak MSG, gula cair, dan arak. 2. Putik dan tebu yang diperoleh dari penebangan digunakan untuk pakan ternak dalam bentuk silase, pelet, dan wafer. 3. Ampas tebu merupakan hasil sampingan dari proses ekstrasi cairan tebu. Dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, particle board dan media untuk budidaya jamur atau dikompakkan untuk pupuk. 4. Blotong yang merupakan hasil sampingan dari proses penjernihan. Bahan organik ini dipakai sebagai pupuk (Anonimousa, 2010). Beberapa masalah yang perlu diperhatikan dan memerlukan tindak lanjut antara lain : 1. Gula yang terdapat dalam tanaman (tebu) merupakan hasil proses asimilasi. Proses asimilasi hanya dapat dilakukan tanaman terjadi di dalam hijau daun dan bantuan sinar matahari. Karena terbentuknya gula dengan cara ini maka dapat dikatakan yang mampu membuat gula hanyalah tanaman dalam hal pabrik gula Indonesia adalah tanaman tebu, karena itu dalam kegiatan di pabrik gula harus berusaha agar terbentuknya gula dalam tebu adalah maksimal.
Universitas Sumatera Utara
2. Gula yang sudah terbentuk di dalam tebu secara maksimal itu harus diusahakan agar selama proses di pabrik gula yang sudah terbentuk tersebut tidak hilang maupun rusak. Untuk dapat memperoleh hasil sesuai dengan rencana diatas maka perlu diikuti perkembangan terbentuknya gula di tanaman tebu maupun langkah pabrikasi di dalam mengambil gula yang sudah terdapat di dalam tebu. Agar gula yang sudah terbentuk tersebut tidak hilang dan tidak rusak. Karena itu petugas yang menangani kegiatan di pabrik harus dapat mengikuti proses yang terjadi baik semenjak usaha menghasilkan gula di dalam tanaman maupun pada saat memisahkan gula dari komponen tebu yang lain dalam proses pabrikasi (Soejardi, 2003). Pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan yang secara langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi dan kebijakan harga.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Beberapa Regim Kebijakan Pergulaan Nasional Regim Kebijakan
Bulog / Stabilisasi
Bebas / Liberalisasi
Pengendalian Impor
Nomor SK/Kepres/Kepmen Keppres No.43/1971, 14 Juli 1971 Surat Mensekneg No.B.126/ABN SEKNEG/3/74, 27 Maret 1974 Inpres No.9/1975, 22 April 1975
Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981 Kepmenkeu No. 342/KMK. 011/1987
Perihal
Tujuan
Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula Pengusahaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP Intensifikasi tebu (TRI)
Menjaga kestabilan gula sebagai bahan pokok Penjelasan mengenai kepres no.43/1971 tang meliputi gula PNP
Tataniaga gula pasir dalam negeri
Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani
Penetapan harga gula pasir dalam negeri dan impor
Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani, pendapatan petani dan pabrik Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Kebebasan kepada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan UU No. 12/1992 Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang Menghindari kerugian petani
Inpres No.5/1997, 29 Desember 1997
Program pengembangan tebu rakyat
Inpres No.5/1998, 21 Januari 1998
Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997 Komoditas yang diatur tatniaga impornya Penetapan harga proveneu gula pasir
Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 Kepmenhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999 Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/199 9, 5 Agustus 1999 Kepmenperindag No. 230/MPP/Kep/6/199 9, 5 Juni 1999 Kepmenkeu No. 324/KMK/01/2002 Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/200 2, 23 September 2002 Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/2004
Tataniaga impor gula
Mencabut Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999 Perubahan bea masuk Tataniaga impor gula
Pengaturan Impor, kualitas gula, dan harga referen gula petani
Peningkatan produksi gula serta peningkatan pendapatan petani tebu
Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula untuk melindungi industri dalam negeri Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri Peningkatan efektifitas bea masuk Pembatasan pelaku impor gula hanya pada importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani / produsen Pembatasan pelaku impor gula, kualiatas gula , waktu impor, dan harga penyangga/jaminan.
Sumber : Sudana, dkk (2000) dan Susila (2002)
Universitas Sumatera Utara
Landasan Teori Indonesia pernah mengalami masa gemilang sebagai negara utama penghasil gula pasir yaitu sekitar tahun 1930-1932 ketika mampu memproduksi gula pasir hampir 3 juta ton. Pada saat itu, di Indonesia terdapat 179 buah pabrik gula yang menguasai areal tanaman tebu hanya 196,65 ribu Ha. Dengan kemampuan ekspor gula pasir antara 1,5-2,0 juta ton. Indonesia saat itu tercatat sebagai
negara
pengekspor
gula
terbesar
kedua
setelah
Kuba
(Winarno dan Birowo, 1988). Namun sejak perusahaan gula diambil alih oleh pemerintah Indonesia (setelah kemerdekaan RI) secara perlahan kinerja industri gula menurun. Meskipun demikian industri gula masih bertahan hidup dan merupakan industri yang dapat memberikan penghidupan yang terhormat bagi banyak pihak karena industri gula banyak mendapatkan proteksi dan subsidi dari pemerintah. Laju peningkatan produksi masih lebih rendah dari konsumsi gula sehingga kebutuhan impor makin besar (Masyuhuri, 2005). Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka permintaan akan gula ini juga mengalami peningkatan. Konsumsi yang semakin bertambah ini harus segera direspon pemerintah tentang bagaimana penyediaannya (dari produksi dalam negeri, impor ataukah keduanya). Untuk memenuhi kebutuhan gula pasir yang terus meningkat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui berbagai kebijakan antara lain TRI, rehabilitasi pabrik gula, penetapan harga provenue, dan sebagainya yang bertujuan menjaga ketersediaan gula dengan melindungi produsen dalam negeri dengan tidak merugikan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi dan permasalahan pergulaan nasional memang sangat kompleks dari sisi produksi, konsumsi, impor maupun perdagangannya. Keseluruhan sisi tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Mengingat gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dibutuhkan oleh seluruh kalangan masyarakat. Untuk melindungi produsen lokal dari persaingan internasional, ada dua bentuk utama kebijakan yaitu kebijakan hambatan tarif dan non tarif. Kebijakan tarif dirancang untuk meningkatkan harga dari barang impor secara langsung dan non tarif merupakan alat yang dirancang untuk mengurangi arus dari barang impor. Hanya hambatan tarif yang dapat diterapkan untuk produsen lokal, non tarif tidak diperkenankan lagi oleh WTO. Tarif juga dapat diterapkan dalam dua bentuk yaitu tarif spesifik yang dikenakan dengan jumlah uang tertentu untuk tiap satuan produk, dan tarif ad valorem yang dikenakan sebagai persentase tertentu dari harga produk. Dampak dari pengenaan tarif pada efisiensi ekonomi dapat dianalisis dengan menggunakan konsep surplus konsumen dan surplus produsen dalam ekonomika mikro (Gambar 1). Surplus konsumen adalah selisih antara nilai yang diterima konsumen dari konsumsi barang tertentu dengan jumlah yang mereka bayar untuk barang tersebut. Dalam hal ini digambarkan oleh luas daerah di bawah kurva permintaan terkompensasi dan di atas harga pasarnya. Secara umum, istilah produksi diartikan sebagai penggunaan atau pemanfaatan sumberdaya yang mengubah suatu komoditas menjadi komoditas lainnya yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dimana atau kapan komoditas-komoditas itu dialokasikan, maupun dalam dalam pengertian apa yang
Universitas Sumatera Utara
dapat dikerjakan oleh konsumen terhadap komoditas itu. Produksi dapat didefenisikan sebagai hasil dari suatu proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan (input). Dengan demikian, kegiatan produksi tersebut adalah mengombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output (Agung,dkk.,2008). Dalam perekonomian, fungsi perusahaan dalam perekonomian adalah sebagai penyedia berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Dalam kegiatan mewujudkan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat tersebut, perusahaan-perusahaan haruslah menggunakan faktor-faktor produksi. Teori produksi menerangkan sifat hubungan diantara tingkat produksi yang akan dicapai dengan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan (Sukirno, 1996). Didalam ekonomi, kita kenal apa yang disebut fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor – faktor produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi ini dituliskan sebagai berikut. Y = f (x1, x2,…..xn) Dimana : Y
= hasil produksi fisik
x1
= faktor – faktor produksi
(Mubiyarto, 1989) Perkaitan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat prodiksi yang diciptakannya dinamakan fungsi produksi. Faktor-faktor produksi dapat dibedakan kepada empat golongan, yaitu tenaga kerja, tanah, modal, dan keahlian keusahawan (Sukino, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Surplus produsen adalah selisih antara total nilai yang diterima produsen dari semua satuan produk yang terjual dari suatu komoditas dengan biaya variabel total untuk memproduksi komoditas tesebut. Dalam hal ini digambarkan oleh daerah di atas kurva penawaran dan di bawah harga pasar komoditas tersebut. Surplus konsumen dan produsen untuk menggambarkan kesejahteraan konsumen dan produsen secara berturut-turut yang dapat diperoleh dalam perdagangan tersebut.
Harga
Harga
D
S
D
S
pd pw
pw
a
b
d
e
c q0
q1 Kuantitas (A)
q0
q3 q2
q1
Kuantitas (B)
Gambar 1. Dampak Pengenaan Tarif Impor Terhadap Efisiensi
Pada kedua bagian dari Gambar 1, D dan S berturut-turut menunjukkan kurva permintaan dan penawaran dalam negeri dan pw adalah tingkat harga dunia dari komoditas yang diimpor dan dihasilkan di dalam negeri. Konsumsi dalam negeri sebesar q1, produksi dalam negeri q0, impor q0 q1. Bagian A menunjukkan situasi dengan perdagangan bebas dan Bagian B menunjukkan apa yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
dengan pengenaan tarif oleh pemerintah sebesar T tiap satuan komoditas, sehingga harga dalam negeri meningkat menjadi pd. Konsumen mengurangi konsumsi dari q1 menjadi q2 dan membayar tambahan uang yang ditunjukkan oleh daerah a , b dan d, untuk kuantitas sebesar q2 yang mereka beli sekarang. Produksi dalam negeri meningkat dari q1 menjadi q2 dan impor menjadi q3 q2 sehingga penerimaan pemerintah menjadi d. Dampak pengenaan tarif pada konsumen dalam negeri berupa kehilangan surplus konsumen yang ditunjukkan oleh daerah a+b+d+e. Dari daerah yang hilang tersebut daerah a ditransfer kepada produsen sebagai produsen surplus dan daerah d diperoleh pemerintah sebagai penerimaan. Daerah b merupakan biaya langsung untuk menghasilkan tambahan produksi sebesar q3 q0, di dalam negeri. Biaya tersebut mencerminkan adanya produksi yang tidak efisien, yang seharusnya dapat diperoleh dengan impor pada harga yang lebih rendah. Daerah e merupakan surplus konsumen yang hilang akibat dari konsumsi yang berkurang. Daerah b dan e merupakan daerah yang hilang dan tidak ada satupun pihak yang dapat memperolehnya, yang disebut sebagai kerugian percuma (dead weight loss) dari tarif. Tingkat tarif impor optimum merupakan tingkat tarif yang ditentukan dengan mempertimbangkan dampak pengenaannya terhadap konsumen yaitu kehilangan surplus konsumen dan keterjangkauan konsumen termiskin untuk membeli komoditas yang meningkat harganya. Selain itu juga mempertimbangkan dampak terhadap produsen untuk mempertahankan operasinya dan surplus produsen yang diperolehnya akibat dari kenaikan harga yang terjadi. Dalam mempertimbangkan dampak terhadap konsumen dan produsen tersebut memang
Universitas Sumatera Utara
diperlukan ketajaman wawasan, karena lebih banyak bersifat subyektif daripada obyektif.
Penelitian Terdahulu Pada penelitian ini terdapat beberapa penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi dalam penulisan, yaitu : Menurut kholifah (1995) aktivitas intervensi pemerintah ini dilakukan bukan tanpa alasan yang kuat. Pemerintah berkepentingan sekali terhadap stabilitas harga dan stok gula di pasaran. Kondisi yang tidak memungkinkan menciptakan stabilitas menjadi sasaran perubahan. Selama ini pemerintah menjadi kekuatan superior yang tidak dapat dipengaruhi oleh kelompok lain. Kondisi ini tercermin dalam setiap kali pemerintah memformulasikan kebijakan gula, khususnya kebijakan perdagangan gula. Disamping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Bahkan dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan kebijakan produksi dan input. Diantara kebijakan tersebut, Kepres No. 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam hal pemasaran gula. Kepres tersebut pada dasarnya memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir (Susila, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Kerangka Pemikiran Semenjak tahun 1990 konsumsi gula pasir dalam negeri sudah mengalami kenaikan yang signifikan dan tergolong tinggi yaitu mencapai 2,4 juta ton. Angka ini tidak diikuti oleh pertumbuhan produksi gula yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh tingginya angka pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri gula pada saat itu. Di tengah meningkatnya konsumsi, harga gula rata-rata pada saat itu sudah sebesar Rp 708,00/kg sebelum akhirnya melonjak naik secara drastis hingga Rp 1.450/kg tahun 1998 akibat dari krisis moneter yang melanda Indonesia. Tahun itu juga ditandai dengan babak baru regim bebas/liberalisasi dan berakhirnya regim Bulog sebagai lembaga stabilisator pergulaan nasional yang dianggap tidak mampu lagi menjaga kestabilan harga gula dalam negeri. Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dianggap akan mampu memenuhi konsumsi gula pasir domestik dan menjaga pasokan tebu sebagai bahan baku pembuatan gula pasir di dalam negeri. Secara garis besar banyak kalangan menilai semua kebijakan tersebut tidak efektif karena hanya bersifat jangka pendek dan berpihak pada sebagian kalangan. Namun pemerintah tetap menjalankan kebijakan tersebut dengan alasan bahwa kebijakan dalam negeri menstabilkan harga kebutuhan pokok, termasuk gula pasir yang merupakan hal yang penting bagi masyarakat dan bagi perekonomian secara keseluruhan. Jika kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dinilai efektif maka akan mampu membuat harga gula pasir turun menjadi harga semula dan stabil. Namun jika tidak maka pemerintah seharusnya mencari lagi kebijakan lain (kebijakan alternatif) yang bisa dengan efektif menurunkan harga gula pasir dan bukan hanya untuk jangka pendek namun jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini kebijakan pemerintah sebagai suatu instrumen penstabil harga akan dilihat pengaruhnya dalam menurunkan harga gula pasir dan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri serta melihat kebijakan mana yang paling efektif untuk menstabilkan harga gula pasir di Indonesia. Secara ringkas dapat dilihat pada skema di bawah ini :
Kenaikan Harga Gula Pasir
Produksi Gula Domestik
Kebijakan Pemerintah
Bulog / Stabilisasi
Bebas / Liberalisasi
Produksi dan Ketersediaan
Pengendalian Impor
Harga Domestik
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Universitas Sumatera Utara
Hipotesis Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang telah diuraikan maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor, luas areal, dan rendemen tebu berpengaruh positif terhadap produksi gula pasir. 2. Harga gula domestik secara signifikan dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga gula disetiap periode, impor, dan konsumsi gula.
Universitas Sumatera Utara