TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Nutrisi Itik Petelur Bahan pakan yang dipergunakan dalam menyusun ransum pada itik belum ada aturan bakunya, yang terpenting ransum yang diberikan kandungan nutriennya dalam ransum sesuai dengan kebutuhan itik (Rasyaf, 1993). Sedangkan menurut Wahju (1992), bahan makanan untuk ransum itik tidak berbeda dengan ransum ayam. Ransum dasar dianggap telah memenuhi standar kebutuhan ternak apabila cukup energi, protein, serta imbangan asam-amino yang tepat (Rasyaf, 1993). Standar kebutuhan dan energi dapat dihitung berdasarkan pola konsumsi ransum per hari (Wahju, 1992). Konsumsi akan meningkat apabila itik diberi ransum dengan energi rendah dan sebaliknya akan menurun apabila diberi energi tinggi. Selain protein dan energi, nutrien yang mempengaruhi produktivitas adalah mineral (NRC, 1994). Ketaren dan Prasetyo (2002) melaporkan bahwa kebutuhan gizi untuk itik petelur pada fase pertumbuhan umur 1− 16 minggu cenderung lebih rendah yaitu sekitar 85− 100% . Selanjutnya dilaporkan bahwa kebutuhan gizi untuk itik petelur fase produksi 6 bulan pertama cenderung lebih rendah (± 3%) dibanding kebutuhan gizi pada fase produksi 6 bulan kedua. Dilaporkan bahwa kebutuhan lisin untuk itik berumur 0−8 minggu adalah 3,25 g/kkal EM dengan tingkat energi 3.100 kkal EM/kg dan 2,75 g/kkal EM dengan tingkat energi 2.700 kkal EM/kg pakan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Kebutuhan gizi itik petelur Nutrien Energi (Kkal ME/Kg) Protein (%) Metionin (%) Lisin (%) Kalsium (%) Pospor (%)
Starter 2900 22 0.40 0.90 0.65 0.40
Fase Grower 3000 16 0.30 0.65 0.60 0.30
Layer 2900 15 0.27 0.60 2.75 -
Sumber : NRC (1994)
Kebutuhan Air Minum Kebutuhan air minum pada unggas tergantung dari suhu lingkungan, kelembaban relatif, komposisi ransum, kecepatan pertumbuhan dan efisiensi penyerapan air oleh ginjal (Ferket dan Gernat, 2006). Ketersediaan air minum dalam kandang pemeliharaan itik pedaging juga harus selalu ada agar itik dapat minum setiap saat. Jumlah air minum yang diberikan disesuaikan dengan banyak itik. Air yang digunakan harus air bersih diganti setiap hari dan tempat minum dibersihkan secara rutin, ada baiknya tempat pakan diletak berdekatan dengan tempat minum agar itik mudah menyelingi kegiatan makan dan minum (Wakhid, 2013). Kekurangan air dapat menyebabkan gangguan metabolisme tubuh dan bila kandungan air dalam pakan kurang akan menyebabkan lambatnya pergerakan makanan dari tembolok (Sudaro, 2000). Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut; Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis amboinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar badan 5-5,5 kali lebih pendek dari panjang standart, 6-7 kali lebih pendek dari panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala
Universitas Sumatera Utara
bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010). Limbah ikan gabus pasir terdiri atas kepala dan isi perut. Limbah ikan gabus pasir diolah menjadi tepung dengan cara dipanaskan (cooking), dipressing, dioven dan digrinder menjadi tepung ikan. Tepung ikan mengadung protein yang tinggi dan dapat meingkatkan produksi dan nilai gizi telur dan daging (Stevie et al., 2009). Tabel 2. Komposisi nutrisi tepung limbah ikan gabus pasir Jenis Nutrisi Kandungan Gross Energi (K.kal/g) 3,7128a Kadar air (%) 6,75b Protein kasar (%) 49,36b Lemak kasar (%) 4,55b Bahan kering (%) 93,25b Abu (%) 15,00b Kalsium (%) 5,86c Posfor (%) 0,026c Sumber: aLaboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2015), bLaboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2015) cLaboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014)
Tepung Ikan Menurut Afifah (2006), menjelaskan bahwa bahan baku pakan yang dapat mengurangi penggunaan tepung ikan dalam pakan harus memiliki kriteria utama antara lain kandungan protein yang tinggi sekitar 30-60%, ketersediaan ikan yang akan dijadikan tepung ikan melimpah dan harga tepung ikan alternatif murah dibandingkan tepung ikan impor (Afrianto, 2005). Tabel 3. Komposisi nutrisi tepung ikan komersil lokal Nutrisi Gross Energi (K.kal/g) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Abu (%)
Kandungan 2,2130a 45,7b 6,49b 3c 5,20b
Sumber: aLaboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014), bLaboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2014) dan cSNI (1997).
Universitas Sumatera Utara
Produksi Telur Produksi telur dapat diukur dalam satuan hen-day. Hen-day merupakan produksi telur dibagi dengan jumlah ternak petelur yang ada pada saat itu, dan biasanya diukur setiap hari. Masa bertelur dihitung setelah produksi telur mencapai 5 % hen day (Rasyaf, 1996). Kandungan nutrien yang sesuai dengan kebutuhan hidup itik dan mendukung produksi telur tergantung pada bahan yang digunakan untuk membentuk ransum itik tersebut. Penurunan produksi telur dapat disebabkan karena pemberian asam amino yang rendah (Wahju, 1992). Itik Indonesia bila dipelihara secara intensif mampu bertelur hingga 300 butir per tahun. Tetapi bila dipelihara secara ekstensif dan dibawa berkelana kesana kemari maka hanya mampu bertelur 90–120 butir (Rasyaf, 1993). Menurut Baroto (2001) produksi telur itik Tegal dapat mencapai 200-250 butir per tahun, itik Mojopura 180-185 butir per tahun, itik Bali 140-200 butir per tahun, itik Alabio 250-300 butir per tahun dan itik Brati atau Togri 180- 225 butir per tahun, sedangkan itik Mojosari dapat bertelur 230-250 butir per tahun (IP2TP Jakarta, 2000). Untuk menghasilkan puncak produksi telur yang optimal, menurut Prasetyo dan Ketaren (2005) pemberian ransum dengan kandungan protein pakan yang rendah (14%) akan menghasilkan puncak produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian pakan dengan kandungan protein pakan yang lebih tinggi (20%), dan juga perlu diperhatikan imbangan energi:protein dalam pakan ttersebut. Menurut Wahju (1992) imbangan energi:protein dimaksutkan untuk mencapai kebutuhan protein minimum, dan kisaran idealnya yaitu 145-160.
Universitas Sumatera Utara
Berat Telur Telur itik secara umum lebih besar dibandingkan dengan telur ayam dan cangkangnya pun lebih tebal. Keadaan ini berkaitan dengan adanya perbedaan dalam hal ukuran saluran reproduksi betina (oviduk). Oviduk fungsional pada itik dewasa, panjang sekitar 45 – 47 cm sedangkan pada ayam 72 cm. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan sebutir telur yang sempurna berbeda dengan ayam yaitu memerlukan waktu 25,4 jam sedangkan pada itik adalah 24 – 24,4 jam (Srigandono, 1997). Menurut Anggorodi (1985) berat telur dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti genetik, umur, tingkat dewasa kelamin, obat-obatan, penyakit, umur telur dan kandungan gizi pakan. Ia menambahkan bahwa faktor terpenting dalam pakan yang mempengaruhi berat telur adalah protein dan asam amino, karena kurang lebih 50% dari berat kering telur adalah protein. Untuk menghasilkan telur dengan berat yang optimal diperlukan pakan dengan kandungan protein pakan yang tinggi, Menurut IP2TP Jakarta (2000) untuk itik periode bertelur, pemberian pakan dengan kadar protein tinggi (18%) dapat meningkatkan produksi telur lebih baik dibandingkan pakan dengan kadar protein rendah.
Pemberian
pakan
dengan
kadar
protein
yang
lebih
rendah
akanmenyebabkan telur yang dihasilkan lebih kecil. Penurunan berat telur dapat disebabkan defisiensi asam amino dan asam linoleat. Berat telur rata-rata itik Tegal adalah 70-75 g/butir dan itik Mojopura 60-65 g/butir (Bharoto, 2001), sedangkan berat rata-rata telur itik Mojosari adalah 64.5 g (IP2TP Jakarta, 2000). Ketaren dan Prasetyo dalam penelitiannya menggunakan pakan dengan kandungan protein pakan 17.07% dan menghasilkan telur dengan berat 65,21-66.73 g.
Universitas Sumatera Utara
Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dimakan dalam waktu tertentu (Wahju, 1992). Pencatatan konsumsi ransum oleh peternak unggas bertujuan untuk mengatur anggaran pembelian ransum serta menunjukkan perubahan kesehatan dan produktivitas ternak unggas (Williamson dan Payne, 1993). Konsumsi ransum dapat dihitung dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah ransum sisa. Data ini dibuat dalam satuan gram atau kilogram dan lakukan per minggu (Rasyaf, 1996). Tujuan ternak mengkonsumsi ransum adalah untuk mempertahankan hidup, meningkatkan bobot badan dan untuk berproduksi (Anggorodi, 1985). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum itik adalah kesehatan itik, kandungan energi dalam ransum, macam bahan pakan, kondisi ransum yang diberikan, kebutuhan produksi, selera dan metode pemberian pakan yang digunakan (Rasyaf, 1993). Konsumsi ransum akan meningkat bila diberi ransum dengan kandungan energi yang rendah dan akan menurun bila diberi ransum dengan kandungan energi tinggi. Dengan demikian dalam penyusunan ransum kandungan protein harus disesuaikan dengan kandungan energinya. Unggas mengkonsumsi ransum terutama untuk memenuhi kebutuhan energinya (Anggorodi, 1985). Kelebihan energi dalam ransum terjadi bila perbandingan energi dan protein,vitamin serta mineral dalam keadaan berlebihan daripada yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal, produksi, aktivitas dan untuk memelihara fungsifungsi vital (Wahju, 1992). Jumlah pemberian ransum sebaiknya disesuaikan dengan periode pemeliharaan yaitu starter, grower dan layer (masa
Universitas Sumatera Utara
produksi). Williamson dan Payne (1993) merekomendasikan kebutuhan ransum untuk konsumsi normal itik masa produksi adalah 170 – 227 gram per ekor per hari. Konversi Ransum Konversi ransum erat kaitannya dengan efisiensi penggunaan ransum selama proses produksi telur dan didefinisikan sebagai perbandingan antara konsumsi ransum dengan unit berat telur yang dihasilkan (Anggorodi, 1985). Sedangkan menurut Rasyaf (1993) konversi ransum merupakan pembagian antara ransum yang dihabiskan untuk produksi telur dengan jumlah produksi telur yang diperoleh. Semakin kecil angka konversi ransum semakin baik tingkat konversinya. Konversi ransum dipengaruhi oleh laju perjalanan digesta di dalam alat pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi ransum dan pengaruh imbangan nutrien (Anggorodi, 1985). Efisiensi penggunaan pakan itik petelur yang biasa diukur dengan FCR masih sangat buruk yaitu berkisar antara 3,2–5,0 dibandingkan dengan ayam ras petelur
yang
hanya
INTERNATIONAL,
2,4–2,6
1986).
Lutfi
selama (2001)
setahun dan
produksi −LINE(HY
Septyana
(2008)
dalam
penelitiannya melaporkan bahwa nilai konversi yang diperoleh adalah 5,4-14,7 dan 8,8-36,6. Begitu pula FCR itik pedaging/itik jantan yang digemukkan juga masih sangat buruk yaitu 3,2 – 5,0 jika dibandingkan dengan FCR ayam ras pedaging yang hanya 2,1 – 2,2 pada umur yang sama 8 minggu (INDIAN RIVER INTERNATIONAL, 1988). Ketaren dan Prasetyo (2002) melaporkan bahwa efisiensi penggunaan pakan itik ptelur selama empat bilan produksi pertama dapat
Universitas Sumatera Utara
diperbaiki dari 5,67 menjadi 2,88 dengan memberikan pakan dalam bentuk pellet pada tingkat konsumsi pakan sebanyak 154 g/ekor/hari.
Universitas Sumatera Utara