15
II. 1.
TINJAUAN PUSTAKA
Risalah Jenis Mangium (Acacia mangium Willd.) Mangium (A. mangium Willd.) adalah tanaman asli (indigenous species) yang
banyak tumbuh di Queensland (timur laut Australia), Papua Nugini dan wilayah timur Indonesia. Wilayah penyebaran meliputi 1 – 18,57 derajat lintang selatan dan 125,22 – 146,17 derajat bujur timur dengan ketinggian 0 – 100 m dpl dengan batas tertinggi pada 780 m. Untuk Indonesia, daerah Papua bagian selatan, Papua bagian utara (Fak-fak dan Tomage), Maluku bagian selatan, pulau Seram, kepulauan Aru dan daerah Bantuas di Kalimantan Timur merupakan tempat penyebaran alaminya. Mangium termasuk dalam famili Leguminoceae, genus Acacia. Genus ini memiliki lebih dari 1.000 spesies pohon dan perdu yang tumbuh di Afrika, Amerika, Asia dan terbanyak di Australia. Nama lain bagi jenis ini adalah mangge hutan, tongke hutan (Seram), nak (Maluku), laj (Aru) atau jerri (Papua) (Pinyopusarerk et al., 1993). Tanaman ini pada mulanya dikembangkan secara eksitu di Malaysia Barat dan selanjutnya di Sabah dan Sarawak. Karena menunjukkan pertumbuhan yang baik maka Filipina telah mengembangkan pula sebagai jenis kayu untuk hutan tanaman. Di Jawa, tanaman A. mangium sering juga disebut dengan kayu pilang, jati mangium atau kayu mangium. Kayu mangium sebagai hasil hutan tanaman di Indonesia pertama kali dikenal di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur, yang ditanam tahun 1942 oleh penguasa Jepang sebagai upaya memperoleh kayu yang diketahui berkualitas baik sebagai bahan baku popor senjata. Pengembangan pertama di Subanjeriji tahun 1978 dengan benih dari Sabah. Kemudian dengan dicanangkannya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 1984, jenis mangium telah dipilih sebagai salah satu jenis favorit untuk ditanam di areal HTI. Pada mulanya jenis ini dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kayu HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu serat terutama untuk bahan baku industri pulp dan kertas dengan rotasi 6-7 tahun, atau ditunggu sampai umur 25-30 tahun untuk dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan. Satu-satunya faktor pembatas mangium adalah tidak dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian lebih dari 300 m di atas permukaan laut (Khaerudin, 1994), meski ada yang menyatakan jenis ini mampu tumbuh baik pada ketinggian 100 – 800 meter dpl. Jenis ini juga tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi, bahkan mampu tumbuh
16
dengan baik pada lahan yang miskin hara dan tidak subur, seperti pada alang-alang maupun daerah bekas tebangan, pada tanah podsolik merah kuning ataupun tanah berpasir dan kurus. Habitus pohon mangium dapat mencapai tinggi 30 m dengan diameter sampai sebesar 90 cm serta batang bebas cabang 10 – 15 m. Rotasi tebang pohon ini mencapai 10 – 20 tahun dengan riap 45 m3/ha/tahun. Ciri tanaman ini adalah bentuk batangnya bulat lurus, bercabang banyak (simpodial), berkulit tebal agak kasar, dan kadang beralur kecil dengan warna cokelat muda. Kegunaan dari kayu mangium adalah untuk pulp, kayu pertukangan dan kayu bakar (Sindusuwarno dan Utomo, 1981). Selanjutnya Scharai-Rad dan Kambey (1989) meneliti sifat anatomi, fisis dan mekanis kayu jenis tegakan mangium berumur delapan tahun yang berasal dari HTI PT ITCI Kenangan, Balikpapan seperti Tabel 4 berikut: Tabel 4. Sifat Anatomis, Fisis dan Mekanis Mangium (A. mangium Willd) Sifat Nilai Anatomis Jari-jari kayu: Panjang (µm) 221,44 Jumlah per mm2 6,84 Proporsi (%) 9,71 Pori: Tinggi (µm) 242,96 Diameter arah tangensial (µm) 119,54 Jumlah per mm2 6,28 Proporsi (%) 12 Serat: Panjang serat (µm) 870,86 Diameter serat (µm) 18,76 Diameter lumen (µm) 13,86 Ketebalan dinding sel (µm) 2,45 Sifat Fisis: Kerapatan kering tanur (gr/cm3) 0,501 Kerapatan normal (gr/cm3) 0,530 KA kondisi normal (%) 12,25 Kembang Susut Maksimum (%) - arah radial (%) 3,41 - arah tangensial (%) 7,17 - longitudinal (%) 0,42 Sifat Mekanis: Kekuatan Tekan (N/mm2) 37 Kekuatan Patah (N/mm2) 83,47 Modulus elastisitas (N/mm3) 10.590 Kekuatan geser: Radial (N/mm2) 7,46 Tangensial (N/mm2) 9,46 Kekuatan Pukul (mN/mm2) 0,07 Catatan: 1 kgf = 9,80665 N. Sumber: Scharai-Rad dan Kambey (1989).
Tegakan mangium mampu menghasilkan Mean Annual Increment (MAI) sebesar 46 m3/ha/tahun pada plot pemuliaan dan 32 m3/ha/tahun pada tingkat pratik di lapangan. Diameter kayu mangium di HTI yang berumur 10 tahun berkisar antara 20-22 cm dengan tebal kayu terasnya mencapai 14-16 cm (Malik et al., 2000). Sementara Chai (1980) dalam Tsai (1993) melaporkan diameter jenis tersebut sebesar 38,6 cm pada umur 13
17
tahun dengan MAI diameter sebesar 5,98 cm/tahun. Diameter setinggi dada akan membesar dengan cepat sampai lebih dari 20 cm hanya dalam kurun umur 4 tahun, kemudian menurun setelah tahun ke lima dan pada umur 8 tahun pertumbuhannya seolah berhenti pada diameter 30 cm (Tsai, 1993). 2.
Sifat Dasar Kayu Mangium
a. Sifat Anatomis 1). Lingkaran Tumbuh Lingkaran tumbuh mangium pada kayu normal berkorelasi dengan kerapatan, yaitu kayu dengan pori tata lingkar, kerapatannya cenderung meningkat dengan meningkatnya lingkaran tumbuh tiap inci. Ginoga (1997) menyatakan bahwa kayu mangium termasuk jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) yang mempunyai batas lingkaran tumbuh yang jelas pada bagian terasnya dengan lebar 1 – 2 cm. Hal ini mungkin disebabkan oleh pertumbuhannya yang cepat serta adanya kayu muda (juvenile wood). Dengan demikian diduga lingkaran tumbuh pada kayu mangium tidak berkorelasi dengan kerapatan. 2). Tebal Kayu Gubal dan Teras Tebal kayu gubal dan teras berpengaruh terhadap kekuatan kayu. Hasil pengamatan Ginoga (1997) terhadap dolok kayu mangium yang berasal dari Benakat, Sumatera Selatan menunjukkan kecenderungan bahwa makin tinggi umur kayu maka bagian kayu terasnya makin tebal. Dalam rangka menurunkan daur teknis agar kayu teras lebih tebal dibanding pada pertumbuhan normalnya, menurut Pandit (1995) dapat dipacu dengan prunning, mempersempit jarak tanam dan lain-lain. 3). Warna, Serat Kayu dan Morfologi Dolok Warna kayu teras dan gubal dapat dilihat jelas; bagian teras berwarna lebih gelap, sedangkan gubalnya berwarna putih dan lebih tipis. Warna kayu teras agak kecoklatan, hampir mendekati kayu jati, kadang-kadang mendekati warna jati gembol. Arah serat lurus sampai berpadu (Ginoga et al., 1999). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa sifat anatomi kayu mangium mempunyai pori tata baur, 69 % soliter dan lainnya radial 2 – 3 sel, diameter pori 193 – 224 mikron, frekuensi pori 2 – 6 per mm2, bidang perforasi sederhana dengan noktah antar pembuluh selang-seling tanpa umbai, parenkim paratrakheal jarang, tidak dijumpai silika, kristal berderet vertikal sampai 15 butir serta jari-jari homoseluler.
18
Penelitian Suwinarti (1999) memperoleh data tentang nilai dimensi dan turunan serat jenis mangium sebagaimana Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Nilai Dimensi dan Turunan Serat Pulp Mangium Dimensi/Turunan Rataan Panjang serat (µm) 933,4 Diameter serat (µm) 24,27 Diameter lumen (µm) 14,43 Tebal dinding serat (µm) 4,92 Runkel ratio 0,73 Felting power 39,71 Flexibility ratio 0,59 Coef. of rigidity 0,21 Muhlsteph ratio (%) 65,01 Sumber: Suwinarti (1999).
Kayu terasnya yang berwarna coklat kelabu dan kayu gubalnya berwarna putih dengan ketebalan 2 – 4 cm. Tekstur kayu agak kasar, kesan raba agak halus dan kayu agak lunak, arah serat lurus dan agak berpadu (Ruliaty dan Mandang, 1988). b. Sifat Fisis-Mekanis Sifat fisis-mekanis yang umum dijadikan dasar dalam penggunaan kayu adalah berat jenis (BJ), kadar air (KA) dan kekuatan lentur (MOE dan MOR). 1). Berat Jenis dan Kadar Air Sifat fisis mangium dengan kelas umur 10 tahun yang terdiri atas berat jenis basah, kering udara dan kering oven berturut-turut adalah 0,95, 0,52 dan 0,42. Sementara kadar air basah dan kering udara berturut-turut adalah 125,4% dan 18,0%. Secara statistik berat jenis kayu pada umur yang berbeda tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (Ginoga, 1997). 2). Kekuatan lentur Hasil pengujian Ginoga (1997)
terhadap sifat mekanis kayu mangium yang
berumur 9 dan 10 tahun menyatakan bahwa kayu mangium berumur 10 tahun mempunyai berat jenis 0,57 dengan nilai MOR, MOE dan tekan sejajar serat berturut-turut adalah sebagai berikut : 942,23 kgf/cm2, 113.644 kgf/cm2 dan 435,85 kgf/cm2. Sedangkan untuk kayu mangium berumur 9 tahun dengan berat jenis 0,51 berturut-turut bernilai 725,37 kgf/cm2, 118.693 kgf/cm2 dan 416,48 kgf/cm2. 3). Kelas Kuat Menurut Ginoga (1997), berdasarkan berat jenis, kekuatan lentur statis dan tekan sejajar arah serat, maka kayu mangium umur 9 –10 tahun termasuk kelas kuat II – III.
19
c. Sifat Kimia Pasaribu dan Roliadi (1990) menyatakan bahwa komponen kimia yang dikandung kayu mangium, baik yang berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman tidak ideal untuk pulp bila ditinjau dari kandungan kimianya. Menurut klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia (Anonim, 1976), kelompok akasia dari spesies A. auriculiformis A.cunn dan A. decurrens Willd termasuk kelompok tinggi (45%) dalam hal kandungan selolusa, kadar lignin dan pentosan rendah (18-21%), sedangkan zat ekstraktif dan kadar abu tergolong tinggi (3–6%). Perbedaan umur pohon memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komposisi kimia kayu. Kadar selulosa, lignin, kelarutan dalam alkohol-benzena dan air dingin, secara umum menunjukkan kecenderungan menurun dengan bertambahnya umur pohon sedangkan kadar pentosan cenderung meningkat. Untuk kadar abu, silika, kelarutan dalam NaOH 1% dan air panas, memberikan respon yang berfluktuatif dengan bertambahnya umur tanaman. Berdasarkan penelitian Muladi (1996), kandungan komponen kimia kayu Akasia yang berumur 12 tahun sebesar 73,9 % holoselulosa, 53,8 % selulosa, lignin sebesar 26,6 % dan ekstraktif yang larut dalam alkohol benzen sebesar 3,9 %. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa dari nilai kerapatan dasarnya sebesar 0,462 g/cm3 akan diperoleh 462,1 kg substansi kayu kering tanur sebagai bahan baku pulp dan kertas. d. Keawetan dan Keterawetan Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu. Biasanya faktor perusak yang dimaksud adalah faktor biologis seperti jamur, serangga (terutama rayap dan bubuk kayu kering) dan binatang laut. Sifat keawetan ditentukan berdasarkan persentase penurunan berat kayu akibat serangan faktor biologis. Sedangkan sifat keterawetan adalah kemampuan kayu menyerap bahan pengawet tertentu yang diawetkan dengan metode tertentu. Sifat keterawetan ditentukan berdasarkan retensi dan daya penetrasi bahan pengawet terhadap kayu. Retensi dinyatakan dalam kg/m3 kayu dihitung berdasarkan penimbangan kayu sebelum dan sesudah pengawetan. Penetrasi dinyatakan dalam persen luas penampang contoh uji (Martawijaya dan Barly, 1990; Ismanto, 1995).
20
Berdasarkan sifat-sifat tersebut kayu Akasia (A. mangium Willd.) memiliki kelas ketahanan IV (rendah) terhadap serangan rayap tanah (Macrotermes) dan kelas ketahanan III (sedang) terhadap penggerek di laut (Muslich dan Sumarni, 1993). Berdasarkan kelas keawetan dari Findlay dan kelas keterawetan dari Smith dan Tamblyn dalam Martawijaya & Barly (1990) dinyatakan bahwa kayu mangium memiliki sifat keawetan yang berbeda menurut asal kayunya. Dengan menggunakan bahan pengawet CCA, kayu mangium dari hutan tanaman (asal Jawa Barat) relatif memiliki sifat keawetan lebih buruk (kelas awet II – III) dibanding kayu mangium dari hutan alam (asal Maluku) yang memiliki kelas awet I-II. 3. Keteknikan Kayu Konstruksi a. Kayu Konstruksi dan Tegangan Ijin Kayu konstruksi adalah kayu bangunan untuk digunakan sebagai elemen struktur bangunan yang penggunaannya memerlukan perhitungan beban (Surjokusumo, 1982). Struktur adalah gabungan komponen yang menahan gaya desak, tarik atau momen untuk meneruskan beban ke tanah dengan aman. Elemen struktur terdiri atas batang desak yang berfungsi menahan gaya desak aksial, batang tarik yang menahan gaya tarik aksial, balok yang menahan gaya geser, lentur dan gaya aksial dalam struktur horisontal dan kolom yang berfungsi sama dengan balok namun dalam struktur vertikal (Siswadi et al, 1999). Kayu adalah bahan konstruksi yang diperoleh dari tumbuhan yang hidup di alam. Dengan sifat alam yang beragam akan mempengaruhi kualitas kayu yang dibentuknya, dan untuk mampu menahan beban yang diemban suatu kayu harus berada pada batas tegangan yang diijinkan.
Tegangan dasar pada kayu yang kemudian diperhitungkan
dengan beberapa faktor koreksi seperti keamanan, penyesuaian, pengaruh ukuran, kadar air dan rasio kekuatan, akan menghasilkan suatu nilai tegangan yang diijinkan (allowable stress) yang memberikan jaminan keselamatan dalam penggunaannya. Tegangan ijin dibuat sedekat mungkin dengan penggunaannya supaya dihasilkan nilai penggunan dan keamanan yang cukup tinggi (Surjokusumo, 1993). Nilai tegangan ijin tersebut bila digunakan pada konstruksi harus digandakan dengan suatu faktor yang sesuai dengan sifat muatan dan kondisi keterlindungan struktur. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI, 1961) memberikan patokan besarnya tegangan yang diperkenankan bagi kayu Indonesia sebagaimana Tabel 6 berikut.
21 Tabel 6. Tegangan yang Diperkenankan untuk Kayu Mutu A menurut PKKI (1961) Jenis Tegangan Ijin (kgf/cm2) Lentur Tekan Sejajar serat = Tarik Sejajar serat Tekan Tegaklurus serat Geser Sejajar serat Sumber: Anonim (1961).
I 150
II 100
130 40 20
85 25 12
Kelas Kuat III 75 60 15 8
IV 50
V -
Jati (Tectona grandis) 130
45 10 5
-
110 30 15
Istilah kelas kuat yang tercantum dalam Tabel 6 di atas merupakan penggolongan kelas kekuatan kayu yang ditetapkan Den Berger (1923). Klasifikasi kayu Indonesia NI (Nederlansch Indische) tersebut disusun dalam lima kelas kekuatan hanya berdasarkan hubungan antara berat jenis dengan kekuatan lentur dan kekuatan tekan, dan oleh sebab itu klasifikasi tersebut masih bersifat sangat global karena banyak faktor lain yang seharusnya turut diperhitungkan. Tabel 7 menguraikan kelas kekuatan kayu tersebut. Tabel 7. Kelas Kuat Kayu Indonesia Kelas Kuat
Berat Jenis
I > 0,90 II 0,60 – 0,90 III 0,40 – 0,60 IV 0,30 – 0,40 V < 0,30 Sumber: Den Berger (1923).
Kekuatan Lentur Mutlak (kgf/cm2) > 1.100 725 – 1.100 500 – 725 360 – 500 < 360
Kekuatan Tekan Mutlak (kgf/cm2) > 650 435 – 650 300 – 425 215 – 300 < 215
Pengkelasan mutu kayu serupa juga telah dilakukan sesuai dengan Standar Kehutanan Indonesia (SKI 1988) yang mendasarkan pengujian MOE menggunakan beban ganda di tengah bentang pada posisi edgewise (sisi sempit dibebani)
sesuai
standar ASTM D 198 dan menghasilkan kelas mutu kayu berdasarkan tegangan lenturnya. Nilai tegangan ijin bagi tiap kelas mutu yang diperoleh disebut dengan kode mutu Tegangan Serat (TS) dengan rincian sebagai Tabel 8 berikut. Tabel 8. Tegangan yang Diijinkan bagi Setiap Kelas Mutu Tegangan Kerja Dasar (kgf/cm2) Lentur Tarik // Tekan Geser serat // serat // serat TS35 350 210 271 26 TS32 325 195 252 24 TS30 300 180 232 22 TS27 275 165 213 20 TS25 250 150 193 18 TS22 225 135 174 16 TS20 200 120 155 15 TS17 175 105 135 13 TS15 150 90 116 11 TS12 125 75 97 9 TS10 100 60 77 7 TS7 75 45 58 5 TS5 50 30 39 3 Sumber: SKI C-bo-010:1987 (1988). Kelas Mutu
Tekan ┴ serat 52 48 45 41 37 33 30 26 22 18 15 11 7
MoE ( X1000 kgf/cm2) 210 200 190 180 170 160 150 140 125 110 95 80 65
22
Sementara itu, Konsensus Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (RSNI, 2002) mencantumkan nilai desain yang disebut dengan Kuat Acuan Lentur yang dihitung melalui pengujian menggunakan beban tunggal di tengah bentang pada posisi flatwise. Tabel 9 menyajikan selengkapnya kode mutu dan nilai kuat acuan bagi desain terbaru tersebut. Tabel 9. Kuat Acuan (MPa) bagi Setiap Kelas Mutu Kayu Konstruksi menurut Konsensus Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (Pra-SNI) Kode mutu
Ew
Fb
Ft//
Fc//
E26 25000 66 60 46 E25 24000 62 58 45 E24 23000 59 56 45 E23 22000 56 53 42 E22 21000 54 50 41 E21 20000 52 47 40 E20 19000 47 44 39 E19 18000 44 42 37 E18 17000 42 39 35 E17 16000 38 36 34 E16 15000 35 33 33 E15 14000 32 31 31 E14 13000 30 28 30 E13 12000 27 25 28 E12 11000 23 22 27 E11 10000 20 19 25 E10 9000 18 17 24 Sumber: RSNI (2002). Keterangan: Ew = Modulus elastisitas lentur Fb = Kuat lentur Ft = Kuat tarik sejajar serat Fc = Kuat tekan sejajar serat Fv = Kuat geser sejajar serat Fc ┴ = Kuat tekan tegaklurus serat 1 MPa = 1,0197 x10 kgf/cm2
Fv//
Fc ┴
6.6 6.5 6.4 6.2 6.1 5.9 5.8 5.6 5.4 5.3 5.2 5.1 4.9 4.8 4.6 4.5 4.3
24 23 22 21 20 19 18 17 17 15 14 13 12 11 11 10 9
Nilai tegangan ijin menurut PKKI maupun SKI menggunakan format ASD (Allowable Stress Design), sedangkan dalam
SNI yang sedang dikembangkan di
Indonesia tersebut menganut format LRFD (Load and Resistance Factor Design) sehingga nilai desain bagi sifat kekuatan kayu harus ditetapkan dalam format baru. b. Pemilahan Kayu dan Pendugaan Kekuatan Kayu Konstruksi Kayu memiliki variabilitas sangat tinggi akibat pengaruh sifat genetik dan faktor lingkungan selama pertumbuhannya. Variabilitas tersebut juga terbawa sampai pada sifat mekanik kayu yang dicirikan dua sifat penting yaitu MOE (modulus of elasticity) atau kekakuan lentur dan MOR (modulus of rupture) atau kekuatan lentur patah. Kekakuan lentur kayu konstruksi di pasaran kayu bangunan di Indonesia berkisar pada selang yang sangat lebar yaitu antara 30.000 – 260.000 kgf/cm2, dengan kata lain kekakuan lentur kayu tertinggi dapat mencapai 6 – 9 kali kekakuan lentur kayu terendah. Sementara itu, kekuatan kayu terkuat (MOR) yang mampu mencapai sekitar 1.200 kgf/cm2 bisa mencapai 11 – 13 kali dibanding yang terlemah (Surjokusumo dan Bahtiar, 2000).
23
Penetapan satu nilai kekuatan karakteristik untuk setiap jenis/kelompok jenis, secara ekonomis maupun sumberdaya sangat merugikan karena justifikasi kekuatan jauh di bawah kemampuan sebenarnya dari sebagian besar kayu. Tindakan ini menyebabkan penggunaan dimensi kayu untuk suatu beban tertentu menjadi lebih besar dibanding yang dibutuhkan, sehingga terjadi pemborosan sumberdaya. Karena itu pemilahan guna penentuan kelas mutu (grading) dikembangkan dengan mencari variable selain jenis sebagai dasar pengkelasan mutu. Variabel alternatif tersebut sekurang-kurangnya dapat diukur dengan mudah tanpa merusak kayu dan mempunyai korelasi yang tinggi dengan sifat kekuatan kayu. Berat jenis dan MOE memenuhi kedua syarat tersebut dengan baik. Menurut Gloss (1994) dalam Surjokusumo dan Bahtiar (2000), berat jenis berkorelasi dengan MOR sebesar 0,5 dan MOE sebesar 0,7-0,8. Penggunaan berat jenis dan MOE secara bersama-sama tidak dapat meningkatkan kemampuan pendugaan karena koefisien korelasinya tetap 0,7-0,8. Karena itu MOE diharapkan dapat digunakan sebagai variabel tunggal untuk menduga kekuatan kayu. Namun demikian, koreksi atas jenis tampaknya masih perlu dilakukan meski asumsi dasarnya MOE dapat menduga MOR secara regardless species. Untuk kemudahan dan alasan ekonomi, setiap potong kayu yang memiliki sifat mekanis serupa dipilah atau dikelompokkan dalam kelas yang disebut dengan kelas mutu (stress grades). Kelas mutu tersebut dicirikan oleh satu atau lebih standar penyortiran, sekumpulan sifat mekanis yang diijinkan untuk desain struktur dan sebuah nama kelas mutu yang khas. Sifat mekanis yang diijinkan tergantung pada standar penyortiran dan faktor tambahan yang tidak berkorelasi dengan standar penyortiran. Dalam pengkelasan mutu, sifat yang diperhatikan sebagai standar penyortiran adalah modulus elastisitas, kekuatan tekan, tarik dan geser
sejajar serat, kekuatan tekan tegaklurus serat dan
kekuatan lentur patah. Dalam perkembangannya, dewasa ini dikenal dua system pemilahan kayu yang dikenal dengan pemilahan visual dan pemilahan masinal. 1). Pemilahan visual Pemilahan visual merupakan metoda pemilahan yang paling tua. Metoda ini berdasar anggapan bahwa sifat kayu gergajian berbeda dari sifat kayu bebas cacat karena terdapat karakteristik pertumbuhan yang kasat mata yang berpengaruh terhadap sifat tersebut. Karakteristik pertumbuhan ini digunakan untuk menyortir kayu gergajian ke dalam
24
beberapa kelas mutu. Dengan demikian pemilahan visual didasarkan dua konsepsi penting yaitu: a. Kekuatan kayu konstruksi berbanding lurus dengan kekuatan jenis kayunya dalam keadaan bebas cacat. Kekuatan ini didapatkan dari pengujian contoh kecil bebas cacat. b. Reduksi kekuatan karena cacat kayu seperti miring serat dan lain-lain dinyatakan dalam rasio kekuatan yang menggambarkan besarnya pengaruh cacat tersebut. Dalam ASTM D-245(2008) karakteristik pertumbuhan yang dipergunakan sebagai standar penyortiran adalah miring serat, mata kayu, retak dan pecah, pingul dan seleksi berat jenisnya. Demikian pula dalam PKKI (1961) dan SII 0458-81 karakteristik pertumbuhan yang dipergunakan sebagai standar penyortiran adalah mata kayu, pingul, miring serat, reta, pecah dan berat jenis. Dalam SKI (1988) memanfaatkan mata kayu, pingul, miring serat, retak, pecah, lubang gerek dan cacat gabungan dalam peyortiran kelas mutu kayu A dan B. Meski demikian, pemilahan visual ini sulit dikembangkan karena tidak praktis, terlebih bagi kayu Indonesia yang beraneka ragam jenis dan kelompok jenis di pasaran. 2). Pemilahan masinal Sistem masinal mulai dipergunakan pada permulaan tahun 1960 serentak di Amerika Serikat, Inggris dan Australia, dan terus berkembang mengikuti perkembangan sistem teknologi.
Di Indonesia telah dikembangkan mesin pemilah mekanis yang murah dan
sederhana sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia, dan dikenal sebagai Mesin Pemilah Kayu Panter (Plank and Sorter). Pada dasarnya Panter menduga kekuatan kayu dengan cara mengukur defleksi untuk beban tertentu yang kemudian dikonversi dalam bentuk persamaan hubungan menjadi suatu nilai modulus elastisitas dan kekuatan lentur patahnya. Persamaan tersebut adalah
MOR = 109 + 0,00301 MOE-Panter
(Surjokusumo dan Bahtiar, 1999). 3). Format untuk menghitung kekuatan kayu Selanjutnya Surjokusumo dan Bahtiar (2000) menjelaskan dua cara yang dapat digunakan untuk mengukur tegangan yang diperkenankan pada kayu yaitu pengujian langsung dengan menghancurkan beberapa contoh uji, dan pengujian tidak langsung
25
dengan mengukur variabel sifat kayu yang berkorelasi erat dengan kekuatan kayu tanpa merusaknya (non destructive test). Ada dua format yang dikembangkan untuk menghitung kekuatan kayu yaitu ASD (Allowable Stress Design) dan LRFD (Load and Resistant Factor Design). a). Format ASD (Allowable Stress Design) Format ASD merupakan format konvensional yang sangat sederhana, diasumsikan tidak terdapat variabilitas beban sehingga setiap macam beban dianggap mempunyai pengaruh yang sama terhadap kayu. Dengan demikian tegangan ijin murni ditentukan oleh distribusi kekuatan kayu dan tidak ada distribusi beban. Konsep dasar yang berlaku dalam format ASD adalah: K d . F x ≥ D + L yang berarti beban hidup ditambah beban mati harus lebih kecil atau sama dengan tegangan ijin dikalikan dengan faktor lama pembebanan. Faktor lama pembebanan (K d ) dipilih 1,00 untuk lantai, 1,15 untuk beban salju dan 1,25 untuk atap tanpa salju. Nilai tersebut diperoleh dengan asumsi lama pembebanan selama 10 tahun. Sedangkan tegangan ijin (F x ) merupakan kekuatan karakteristik kayu yang telah direduksi dengan faktor keamanan sebagai faktor pengali, yakni sebesar 1/(2,1) untuk softwood dan 1/(2,3) untuk hardwood. Kekuatan karakteristik suatu jenis atau kelompok kayu merupakan 5% exclution limit terhadap distribusi populasinya. Pedoman SKI (1988) menerapkan metoda ini dan menyajikan tabel tegangan ijin kayu konstruksi yang telah dikelas-kelaskan dalam 13 kelas mutu kayu yang disebut dengan TS (Tegangan Serat). b). Format LRFD (Load and Resistant Factor Design) Format LRFD merupakan format yang praktis, sederhana dan siap pakai bagi masyarakat perkayuan di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1999. Dasar penggunaan analisis keterandalan dalam menentukan faktor beban (load) dan daya tahan (resistance) untuk desain struktural mengacu pada suatu diagram keamanan struktur. Standar ASTM D 5457 (2008) mengijinkan dua cara perhitungan ketahanan referensi (reference resistance) yaitu dengan prosedur reliability normalization dan format conversion. Realibility normalization merupakan prosedur LRFD yang dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat, sedangkan format conversion hanya mengalikan tegangan ijin (allowable stress) dalam format ASD dengan faktor konversi sebesar 2,16/φ, karena itu format conversion tidak dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat.
26
c. Kayu Rekayasa Struktural (Structural Engineered Wood) Kayu struktural adalah kayu gergajian yang dapat digunakan untuk struktur bangunan. Dengan demikian kayu rekayasa struktural adalah semua material yang berbahan dasar kayu atau serat kayu yang diolah sedemikian rupa sehingga mampu menjadi bahan struktur bangunan. APA-EWA (2002) membagi kayu rekayasa struktural dalam beberapa kategori, antara lain panel struktural termasuk kayu lapis, OSB (oriented strand board) dan panel komposit, kemudian kayu lamina (glued laminated timber), SCL (structural composite lumber) termasuk di dalamnya LVL (laminated veneer lumber) serta balok I (I-joist). Sementara itu Smulski (1997) mencontohkan jenis produk komposit kayu yang termasuk dalam kayu rekayasa (engineered wood products) antara lain adalah kayu lamina (glulam), kayu lapis (plywood), sambungan kayu dengan plat baja, balok I (wood I-joist), OSB (oriented strand board), waferboard, LVL (laminated veneer lumber), PSL (parallel strand lumber) dan LSL (laminated strand lumber). Pembuatan balok komposit merupakan salah satu cara untuk mendapatkan bahan konstruksi dari kayu berdiameter kecil. Uji coba pembuatan produk ini antara lain dilakukan oleh Ginoga (1998). Hasil pengujian mutu kekuatan (strength grade) berdasarkan kekuatan lentur, balok komposit Akasia memenuhi standar JAS dan tergolong ke dalam E120-F330. Kekuatan geser rata-ratanya sebesar 24,35 kgf/cm2, kekuatan tekan sejajar 379,13 kgf/cm2 (kelas kuat II), sedangkan kekuatan delaminasinya belum memenuhi standar JAS. Pada pembuatan bilah sambung dan papan sambung, kayu Akasia berkualitas baik dibawah kualitas kayu pinus dan diatas kayu sukun dengan menggunakan sambungan menjari (Alamsyah dan Rahman, 2002). Pada balok susun, seringkali dimensi kayu tidak mencukupi kebutuhan sehingga beberapa balok harus disusun menjadi satu, dengan resiko terjadinya tegangan geser akibat gaya lintang pada balok tersebut, terutama bila balok tidak dilekatkan satu sama lain. Untuk melekatkan balok susun dapat digunakan baut, namun karena tegangan geser menimbulkan gaya geser maka bidang kontak antar balok susun harus diberi alat sambung yang mampu mendukung gaya geser tersebut. Alat sambung tersebut dapat berupa kokot (pasak) disertai baut yang hanya berfungsi sebagai pengikat (Hong dan Djokowahjono, 1994).
27
4. Sambungan Kayu dengan Pasak Sambungan kayu (timber connections) memerlukan alat sambung (connector) yang dibedakan atas alat sambung tradisional (traditional connector) dan alat sambung modern (cotemporer connector). Sambungan kayu berdasarkan alat sambung tradisional terbagi atas dua jenis yakni tipe sambungan pasak (shank joint, dowel type joint) dimana beban baik tegangan tekan atau tarik disalurkan dari kayu ke kayu lewat sepanjang sambungan. Contoh sambungan ini adalah pasak bulat (drift pin, dowel), baut (bolt), sekrup (screw) dan paku (nail). Tipe yang lain adalah sambungan luar (skin type connector) dimana beban ditransmisikan dari kayu ke sambungan terutama melalui geseran. Contohnya adalah pelat geser (shear plate) atau cincin belah (split ring). Dalam banyak kasus baut digunakan sebagai pelekap batang kayu yang digabungkan namun tidak ambil bagian dalam transmisi gaya, semata-mata hanya menjaga agar sambungan masih berada pada tempatnya atau batang kayu asli tidak merenggang akibat bekerjanya momen. Sementara itu metoda sambungan kotemporer menggunakan alat sambung glulam rivets, glued-in bolts dan glued-in rods (Madsen, 1992; Madsen, 2000). Pasak adalah benda yang dimasukkan sebagian pada bidang sambungan untuk memindahkan beban dari bagian yang satu kepada yang lain (Yap, 1984). Dalam PKKI (1961) dijelaskan bahwa pasak adalah alat penyambung yang dimasukkan ke dalam takikan dalam kayu dan yang dibebani tekanan dan geseran. Pasak dipasang dalam lubang yang mempunyai ukuran yang sama atau tidak ada kelonggaran, sehingga jika terjadi pengembangan dan penyusutan kayu, pasak dapat tetap dipertahankan dalam lubang. Oleh karena itu kadar air pasak harus sama dengan kadar air kayu pada saat pemasangan jika pasak terbuat dari kayu (Faherty dan Williamson, 1999). Sementara itu R-SNI (2002) mengharuskan diameter lubang penuntun untuk paku dan pasak tidak boleh melebihi 0,9 D untuk G > 0,6 dan 0,75 D untuk G≤ 0,6 dimana G adalah berat jenis dan D adalah diameter batang pasak atau paku. Sambungan dengan pasak kayu dapat berupa pasak persegi panjang, pasak bulat (silindrik, dowel) dan pasak Kubler (pasak bulat seperti cincin tebal dan berlubang kecil untuk pemasangan baut pengencang). Pasak kayu memiliki kelebihan dibanding baut, yaitu kayu mampu mendukung gaya yang besar, efisiensi lebih tinggi dan deformasi lebih kecil. Sambungan pasak bulat lebih baik daripada pasak persegi karena meski keduanya dibebani beban geseran dan desakan, pada pasak bulat tidak mengalami momen jungkit (Wiryomartono, 1977; Yap, 1984).
28
Sementara itu Perkins dan Suddarth (1958) menyebutkan keunggulan pasak sebagai alat sambung antara lain hasil sambungan yang kuat dan rigid (kaku) secara aksial, mudah dalam pengerjaan, merupakan sambungan yang paling kaku diantara semua sambungan mekanis meski lubang pasak telah longgar namun masih mampu bertahan. Penambahan konektor geser akan memberikan hasil yang lebih baik pada suatu sambungan yang terbebani gaya aksial yang cukup besar, konektor geser tersebut diletakkan diantara lapisan kayu tegak lurus arah gaya. Tahanan bidang geser akan lebih besar dibanding tanpa konektor geser (Williamson, et al. 2002). Meski demikian, konektor geser juga kemungkinan menderita kerusakan akibat gaya modulus geser antar serat yang disebut dengan rolling shear. Neuhaus dalam Fellmoser dan Blaß (2004) mencatat modulus rolling shear kayu spruce sebesar 48 N/mm² pada kadar air 9% melalui uji torsi, sementara Aicher et al. mencatat modulus rolling shear pada orientasi lingkaran tahun bidang lintang dengan menggunakan metoda elemen hingga menemukan nilai sebesar 50 N/mm² sampai dengan 200 N/mm²
(1
kgf/m2 = 9,80665 N/m2). Syarat dan cara perhitungan perencanaan dalam menggunakan pasak sebagai alat sambung telah tertuang dalam Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI, 1961) sebagai berikut: a. Pasak hanya boleh dibuat dari kayu keras (walikukun, kosambi, bengkirai, simantok, belangeran dan sebagainya), baja atau baja. b. Pasak kayu keras yang mempunyai tampang persegi empat panjang, memasangnya harus sedemikian sehingga seratnya terletak sejajar dengan serat batang kayu yang disambung. Antara masing-masing pasak, demikian pula antara pasak dan ujung kayu harus diberi pengencang dengan garis tengah minimum 12,7 mm (1/2”). c.
Jika dalam suatu sambungan dipergunakan alat penyambung yang khusus keluaran suatu pabrik, maka harus menggunakan daftar kekuatan yang dikeluarkan oleh pabrik yang bersangkutan atau oleh salah satu laboratorium yang resmi di Indonesia. Gambaran syarat peletakan baut sebagaimana PKKI (1961) pada arah gaya sejajar di
atas adalah sebagai Gambar 5 berikut:
29
2d
d
3d 2d
7d
6d
6d
Gambar 5. Peletakan Baut untuk Arah Gaya yang Sejajar dengan Arah Serat Kayu menurut PKKI (1961)
Pada konstruksi kayu adanya sambungan harus diperhatikan karena merupakan titik terlemah. Tidak seperti pada konstruksi baja dimana sambungan dapat melekat erat, pada sambungan kayu sering muncul slip (sesaran) yang besar sesuai dengan besarnya gaya yang didukungnya. Dengan demikian memperhitungkan kekuatan sambungan tidak hanya berdasar beban maksimum (beban patah) namun sampai pada kondisi sesaran mencapai 1,5 mm karena sesaran yang besar akan menimbulkan tegangan sekunder yang besar pula. Penentuan sesaran 1,5 mm tersebut diambil mengingat besarnya beban yang diijinkan adalah 1/3 beban maksimum atau beban patah, dan dalam penelitian sulit untuk mencapai gaya patah dimana pada titik tersebut sesarannya lebih dari satu mm. Demikian pula dalam perencanaan sambungan kayu dengan menggunakan alat sambung pasak, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah pengujian desak pasak kepada kayu. Dampak yang perlu diperhatikan adalah terjadinya sesaran akibat desakan pasak pada penampang kayu, dimana sesaran atau pergeseran yang terjadi tidak boleh lebih dari 1,5 mm. Dengan demikian beban yang diijinkan pada sambungan kayu tidak boleh melebihi nilai beban yang menyebabkan sesaran melebihi batas tersebut. Yap (1984) menjelaskan bahwa penggunaan pasak sebagai alat penyambung memiliki nilai 60% akibat pengurangan luas tampang, sementara sambungan dengan perekat dinilai 100% karena luas tampang tidak berkurang (dengan adanya perekat maka konstruksi kayu fiktif dianggap tanpa sambungan). Namun demikian sambungan pasak masih lebih tinggi nilainya dibanding sambungan paku (50%) ataupun sambungan baut (30%). Meski demikian pemanfaatan perekat dalam sambungan untuk tujuan konstruksi cukup berbahaya karena memungkinkan adanya keruntuhan secara tiba-tiba apabila terjadi pembebanan melampaui daya dukungnya. Jarak antar sambungan dengan arah gaya sejajar arah serat dan arah gaya tegak lurus serat yang tertera dalam PKKI (1961) dan R-SNI (2002) tentang Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia adalah sebagai Tabel 10 berikut:
30 Tabel 10. Jarak Tepi, Ujung dan Spasi Pasak dalam Arah Gaya Sejajar dan Tegaklurus Serat menurut PKKI (1961) dan SNI (2002) Jenis Jarak PKKI(1961)
Dimensi minimum menurut R-SNI(2002)
Beban Sejajar Arah Serat Jarak Tepi 2d
Jarak Ujung Spasi
Dibebani : 7d dan ≥ 10 cm Tidak dibebani : 3,5d Arah gaya: 6d Tegaklurus gaya: 3d
Bila Im/D≤ 6: 1,5D Im/D>6: yang terbesar dari 1,5D atau 1/12 jarak antar baris alat pengencang tegaklurus serat Komponen Tarik: 7D Komponen Tekan: 4D Spasi dalam baris alat pengencang: 4D Jarak antar baris alat pengencang: 1,5D<127 mm
Beban Tegaklurus Arah Serat Jarak tepi Tepi yang dibebani: 5d Tepi tidak dibebani: 2d Jarak Ujung Spasi Arah gaya: 5d Arah tegaklurus gaya: 3d
Tepi yang dibebani: 4D Tepi tidak dibebani: 1,5D 4D Spasi dalam baris alat pengencang: < 127 mm Jarak antar baris alat pengencang: Im/D≤ 2: 2,5D 2
Penggunaan bambu sebagai alat pengencang lebih disebabkan oleh sifatnya yang lebih baik daripada alat sambung baja ataupun kayu. Sifat tersebut antara lain tidak menimbulkan noda akibat kondensasi logam, atau kepraktisan dalam pengolahan karena dapat diumpankan pada mesin perkayuan tanpa melepas alat sambungnya. Disamping itu, kemudahan dalam perolehan budidaya berdaur pendek (3 – 4 tahun) dengan sifat fisik dan mekanik yang tinggi. Sifat mekanik yang menonjol seperti elastisitas (2.200 N/mm2), kekuatan tarik (288,3 N/mm2), kekuatan tekan (82,8 N/mm2) serta kekuatan patah (71 N/mm2) merupakan cerminan kekuatan yang dimiliki bambu. Kelemahan bambu terletak pada kandungan zat pati (starch) yang tinggi, dan itu bisa diatasi dengan merendamnya dalam air mengalir selama 7 hari (Janssen, 1991; Gopar dan Subyakto, 2002; Inoue dan Mori, 2002). Sementara itu baja yang sering digunakan sebagai pasak pada sambungan kayu adalah baja bulat ataupun plat baja yang dipotong sesuai ukuran yang diperlukan. Pranata (2011) menguji kekuatan baut bulat diameter 12 mm dan memperoleh nilai kuat tarik sebesar 445,41 MPa dan kuat lentur sebesar 631,76 MPa pada tegangan leleh (tegangan pada batas proporsional).
31
5. Kayu Glulam (Glued Laminated Timber) dan Penggunaan Perekat pada Kayu a. Balok Glulam Menurut Standar ASTM D 3737-01b (2008), balok glulam merupakan suatu bahan yang direkat dari lembaran kayu yang terpilih, baik lurus ataupun lengkung dengan arah serat yang sejajar dengan sumbu. Sebagai bahan struktural, kayu glulam harus terdiri dari dua lapisan atau lebih dan ketebalan tiap lapisan minimum 1 atau 2 inci. Balok glulam merupakan engineered wood product yang tertua, digunakan sejak 1893 untuk suatu bangunan auditorium di Bassel, Swiss dengan hak paten yang disebut dengan system Hetzer dan menggunakan perekat interior. Meski demikian, kayu glulam pertama kali dibuat di laboratorium Forest Products di Madison, Wisconsin, oleh seorang imigran Jerman di Amerika pada tahun 1934. Pada saat perang dunia kedua, kayu glulam banyak digunakan oleh militer sebagai bahan bangunan militer, gudang dan hanggar. Di Amerika pada tahun 1950 sudah berdiri lusinan industri kayu glulam dan pada tahun 1990 mengekspornya ke Jepang (Moody dan Hernandez, 1997). Selanjutnya Moody dan Hernandez (1997) dan Anonim (1998a) mengemukakan kelebihan balok glulam antara lain: 1.
Ukuran, yaitu dengan diameter hasil tebangan yang relatif kecil dapat diperoleh kayu lamina dengan ukuran yang lebih besar dan dapat disesuaikan dengan ciri yang dimiliki seperti jenis, kerapatan, cacat dan kelas kualita.
2.
Bentuk, yaitu mampu menghasilkan bentuk bentang yang panjang untuk bangunan yang tidak memerlukan banyak tiang penyangga. Disamping itu dapat dihasilkan kreasi lengkung dan sebagainya yang tidak dapat dibuat dari kayu utuh. Dengan demikian keuntungan balok glulam bukan saja dari nilai strukturalnya, tetapi juga dari segi arsitektural dan keindahan alami bagi suatu seni interior.
3.
Melalui perlakuan pengeringan dengan tanur balok glulam mampu memberikan penampilan yang lebih baik yakni cacat pengeringan yang minimal, serta memberikan kekuatan yang bertambah karena kekuatan patah, kekakuan dan nilai tegangan ijinnya lebih tinggi. Pada kayu solid, sifat tersebut sering terbatas.
4.
Mampu menghasilkan luas tampang melintang yang bermacam-macam sesuai kebutuhan, misalkan pada bagian yang berhubungan dengan tiang penyangga dibuat lebih tebal.
32
5.
Penggunaan balok lamina berarti penghematan kayu berkualitas baik, karena kayu dengan kualitas rendah dapat dimanfaatkan sebagai lapisan tengah (core), disamping mampu memadukan berbagai campuran jenis kayu. Selain itu, peningkatan kekuatan kayu lamina dapat dilakukan dengan membuang bagian yang lemah serta menggabungkannya dengan lapisan yang berkekuatan lebih tinggi sehingga membentuk struktur yang memberikan efisiensi besar.
6.
Dibanding bahan struktur lainnya seperti baja atau beton, balok glulam lebih ramah lingkungan karena disamping dapat diperbaharui, konsumsi energi ketika tumbuh dan diproduksi lebih rendah serta mampu menjadi gudang karbon bagi kehidupan. Disamping itu balok glulam 20% lebih ringan dibanding dengan bahan baja, dan 600% lebih ringan dari beton (concrete). Selanjutnya Anonim (1998b) mengutarakan beberapa kelebihan balok glulam yaitu
lebih ekonomis, hemat energi, kuat, awet, tahan api dan lebih stabil dimensinya. Dikatakan lebih ekonomis karena memiliki rasio yang lebih tinggi antara kekuatan dan berat serta kekuatan dan harga, bila dibanding dengan bahan produk sejenis seperti baja terutama pada bentuk rangka (framing). Hemat energi karena bahan kayu lamina dapat dipakai sebagai bahan isolasi panas di musim dingin sehingga energi panas tetap dapat dipertahankan dalam ruang dan terhambat karena adanya dinding atau konstruksi berlapis-lapis, atau dapat ditempeli dengan bahan yang mampu mengefisienkan energi. Keawetan, kekuatan dan ketahanan kayu terhadap api serta kestabilan dimensi terutama disebabkan proses pembuatan kayu glulam yang telah melalui proses pemilihan bahan bebas cacat dan melalui proses pengeringan atau pengawetan sehingga cacat dapat tereliminasi. Bahkan produk FiRP (Fibre Reinforced Plastic Glulam), yaitu laminasi kombinasi serat kayu, strip kayu dan plastik, memiliki kekuatan 2 – 3 kali lebih besar dari lamina biasa. Meski terdapat banyak kelebihan, kayu glulam masih memiliki kelemahan antara lain (Houwink dan Salomon, 1967): 1.
Faktor ekonomis sering menjadi penghambat karena terdapat penambahan biaya atas harga perekat, investasi lahan dan peralatan kilang. Faktor ekonomi itu juga menjadi pertimbangan bila dihadapkan pada kayu solid, atau bahan sejenis seperti baja, aluminium dan beton.
33
2.
Proses perekatan memerlukan prosedur fabrikasi tertentu, berbeda dengan proses pengikatan kayu dengan paku atau pasak yang relatif lebih mudah.
3.
Balok glulam berukuran lebar dan terutama untuk lamina lengkung sulit dalam proses penanganan, pengangkutan dan dalam proses mendirikannya, yang terkadang menimbulkan kesulitan. Proses pembuatan kayu glulam meliputi empat proses yaitu:
1.
Pengeringan dan pengujian kualita, yaitu melalui pemilahan visual ataupun E-rating dengan kadar air 12% atau kadar air kesetimbangan (KAS) 15%.
2.
Penyambungan ujung kayu dengan metoda sambungan menjari (finger joint) karena dengan sambungan ini mampu mempertahankan tegangan tarik 75% kayu utuhnya.
3.
Pelaburan perekat pada permukaan laminasi.
4.
Finishing dan fabrikasi, yang pada perlakuan khusus dapat ditambahkan dengan upaya pengawetan dan perlindungan anti serap kelembaban dengan menambahkan creosot ataupun pentachlorophenol. Balok glulam banyak ditemukan pada aplikasi bagian fleksural, kolom, pelengkungan,
bagian rangka dan dek. Karena tingkat homogenitasnya yang dapat tercapai ketika balok glulam struktural berukuran besar, bagian struktur lamina dan produk-produknya mempunyai tegangan ijin lebih tinggi dan lebih kaku dibanding kayu gergajian. Balok glulam dibuat dari kayu yang telah dikeringtanurkan sehingga hampir tidak menunjukkan masalah dalam penyusutan dan timbulnya tegangan lanjutan seperti yang sering terjadi pada sambungan kayu-kayu gergajian. Curry (1955) memberikan saran bahwa untuk memperoleh balok glulam yang lebih kuat, seleksi terhadap cacat harus dilakukan sebelum lapisan dibuat, dan penyusunan kayu tersebut dilakukan sedemikian rupa sesuai dengan kekuatannya sehingga bagian terluar memiliki kekuatan yang tertinggi. Meski demikian Balfas (1995) menyatakan produk balok glulam memiliki kelemahan dalam kekuatan rekat antar lapisan. Dengan demikian pada saat kayu diberi beban, kerusakan akan lebih mudah terjadi karena adanya garis perekat di dalam kayu. Penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan balok glulam Meranti merah (Shorea leprosula Miq.) memperoleh nilai kekuatan sejajar serat yang lebih tinggi
34
dibanding kayu utuh seperti tertera pada Tabel 11 berikut, sehingga berdasar sifat tersebut balok glulam mampu menggantikan kayu utuh. Tabel 11. Hasil Pengujian Sifat Mekanis Balok Glulam Meranti (Shorea leprosula Miq.)
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah Lapisan Glulam Kayu Utuh Dua Lapis Tiga Lapis Empat Lapis Lima Lapis
Kekuatan Lentur (Kg/cm2) 624,31 727,32 556,74 651,84 452,37
Kekuatan Tekan (Kg/cm2) Sejajar Serat Tegaklurus Serat 280,82 55,20 302,59 54,40 355,11 57,23 341,46 64,13 329,42 67,13
Sumber: Sutigno dan Masano (1989).
b. Penggunaan Perekat pada Kayu Awal penggunaan perekat oleh manusia masih belum secara jelas diketahui. Juga belum jelas adanya kepastian mana yang lebih dahulu dilakukan orang untuk mempersatukan bahan, perekat ataukah penyambung metal seperti paku. Meski demikian, bukti sejarah menunjukkan penggunaan perekat telah dilakukan beberapa ribu tahun sebelum masehi. Para seniman kerajinan tangan atau peti kayu pada jaman Firaun berkuasa di Mesir menggunakan perekat dari kulit dan tulang binatang. Perekat sintetis dikenal mulai tahun 1920-an yang untuk selanjutnya berkembang dengan pesat menyisihkan perekat alami. Menurut Brown et al. (1952), perekat (adhesive) adalah bahan yang bersifat merekatkan dua bahan atau lebih menjadi satu dengan pengikatan permukaan dan bahan yang disatukan oleh perekat disebut dengan adheren. Sedangkan perekatan (adhesion) adalah proses pengikatan dua permukaan menjadi satu dengan adhesi mekanis dan adhesi spesifik. Adhesi mekanis disebabkan adanya perekat yang mengeras pada sambungan dan pori, sedang adhesi spesifik disebabkan kerja molekul atau atom antara perekat dengan permukaan kayu. Ruhendi (1986) menjelaskan bahwa perekat (adhesive) adalah suatu substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis ataupun tidak sejenis melalui ikatan permukaan. Perekat yang siap pakai bukanlah merupakan komponen tunggal, tetapi merupakan kombinasi dari dua atau lebih komponen binders, pelarut, katalis, pengeras, pengisi, extenders (penambah bahan), fortifiers (peningkatan kualitas seperti ketahanan api atau air) ataupun bahan pengawet. Perekat juga merupakan istilah umum bagi bahan lain seperti glue, mucilage (perekat dari getah dan air untuk perekat kertas), paste (komposisi perekat tertentu dengan konsisten plastis dibuat dari pati dan air yang dipanaskan sehingga menjalani gelatinasi dan dipertahankan dalam bentuk
35
pasta) dan cement (perekat dengan bahan dasar karet atau resin thermopalstik yang dilarutkan dalam pelarut organik). Kollmann et al. (1975) dan Cowd (1991) mengklasifikasikan perekat berdasarkan komponen utamanya ke dalam dua golongan besar, yaitu: a. Perekat alami (natural) antara lain seperti pati, perekat protein, shelak, getah, ter/aspal, natrium silikat dan sebagainya b. Perekat buatan (sintetic) yang dibagi dalam dua tipe dasar yaitu: 1). Perekat thermosetting (mengeras-bahang, yaitu sistem polimer yang dapat diawetkan dengan cara dipanasi) seperti urea, melamin, furan, phenol, epoxy dan polyester tidak jenuh. 2). Perekat thermoplastic (lentuk-bahang, yaitu polimer yang dapat dilunakkan dan dicetak dengan pemanasan) seperti selulosa ester dan eter, polyamida dan sebagainya. Jenis perekat perekat memang berpengaruh sangat besar pada hasil suatu perakatan. Perekat sintetis yang banyak dipergunakan dalam industri pengolahan kayu pada umumnya memiliki kekuatan dan ketahanan rekat yang tinggi, namun demikian kekuatan dan ketahanannya juga masih dipengaruhi oleh bentuk sambungan, permukaan bahan yang direkat, persiapan perekat, pelaburan, kondisi perekatan dan temperaturnya (Kollmann et al., 1975). Selanjutnya Brown et al. (1952) menyatakan bahwa beberapa aspek yang berhubungan dengan garis rekat (kampuh, glue line) pada perekatan kayu adalah sebagai berikut: a. Jumlah rantai ikatan Terdapat lima rantai ikatan perekat yang dapat terjadi pada perekatan dua permukaan kayu. Lima rantai tersebut terdiri atas satu rantai paling tengah yang merupakan kohesi perekat yang bergantung pada komponen kimia dan gaya kohesi tersebut dapat berkurang karena penggunaan ekstender yang berlebihan. Dua rantai yang berhubungan dengan rantai paling tengah tersebut adalah ikatan yang terbentuk antara perekat dengan permukaan yang direkat, sedangkan dua rantai yang terletak di ujung merupakan penjangkaran perekat ke kayu yang utamanya tergantung pada sifat permukaan kayu tersebut. b. Tahap perkembangan perekatan Perkembangan garis rekat terjadi dalam beberapa tahap yakni pengaliran, pemindahan, penembusan, pembasahan dan pemadatan. Pengaliran merupakan proses
36
perekat mengalir mendatar membentuk lapisan tipis seperti film, pemindahan merupakan proses perekat berpindah dari permukaan yang telah dilaburi perekat ke permukaan lain sedangkan penembusan adalah proses menembusnya perekat ke kedua permukaan kayu yang berhubungan. Proses selanjutnya adalah proses pembasahan yang merupakan proses membasahnya permukaan kayu oleh bahan perekat. Proses ini merupakan proses awal dari ikatan kimia dan yang mempengaruhi proses ini adalah kekentalan perekat, sifat kimia dari perekat dan keadaan permukaan kayu. Proses terakhir adalah pemadatan atau pengerasan, yaitu tahap akhir dari perkembangan garis rekat yang memadat menjadi bahan yang keras. Pemadatan perekat dapat terjadi karena pendinginan, reaksi kimia atau kombinasinya, dan terkadang berlangsung pada suhu tinggi. c. Pengaruh tekanan Tekanan diperlukan untuk meratakan perekat dan membentuk lapisan perekat yang tipis sehingga membuat terjadinya kontak antara lapisan tersebut dengan permukaan kayu. Tekanan juga membantu masuknya perekat ke dalam sel kayu. d. Karakter perubahan fisik perekat Berdasarkan pergerakan perekat antara saat dilabur hingga perekat berubah secara sempurna, hasil penyambungan dapat menghasilkan ikatan yang lemah (starved joint), tidak menjangkar (unchored), perekat lebih awal berubah (precure glue) atau ikatan yang menyatu (bonded joint). e. Pengaruh tebal garis perekat Ketebalan garis perekat ternyata tidak berhubungan dengan keteguhan rekat, namun garis rekat yang terlalu tebal atau terlalu tipis akan turut serta menurunkan keteguhan rekat. f.
Pengaruh dinding sel Kandungan lignin yang tinggi pada lamela tengah akan menyebabkan adhesi dan kohesi menurun karena lignin pada lamela tengah menghalangi terjadinya kontak antara dinding primer dari sel yang terpisah.
g. Pengaruh permukaan kayu yang direkat Permukaan yang halus dan rata akan menghasilkan keteguhan rekat yang lebih kuat dibandingkan permukaan yang kasar atau permukaan yang diketam dengan pisau yang tumpul atau bergerigi.
37
6. Pemadatan Kayu Pemadatan kayu untuk tujuan stabilisasi dimensi dapat dilakukan melalui impregnasi (densifying by impregnation) dan pemadatan dengan pengempaan (densifying by compression). Kalau yang pertama mengisi struktur rongga sel dengan berbagai zat yang menyebabkan struktur lebih padat, yang disebut kedua lebih bersifat modifikasi sifat kayu tanpa merusak struktur sel kayu (Stamm, 1964).
Pemadatan kayu dengan
pengempaan merupakan usaha meningkatkan mutu kayu dengan memberikan perlakuan kempa panas (thermo-mechanical), atau yang di Amerika dikenal dengan istilah staypack, yaitu pengempaan kayu tanpa adanya proses bahan kimia. Yano et al. (1996, 1997) dalam Yano (2000) menyatakan bahwa terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan untuk meningkatkan kekuatan kayu yaitu kualitas dan kuantitas material dinding sel. Efek pemadatan adalah meningkatkan rasio dinding sel. Perubahan bentuk dinding sel tanpa merusakkannya merupakan hal penting yang harus diperhatikan guna mencapai kekuatan yang tinggi. Pemadatan kayu berfungsi sebagai upaya stabilisasi dimensi, disamping keseragaman dan peningkatan kekuatan.
Pemadatan akan berhasil lebih baik kalau
sebelumnya dilakukan perlakuan pendahuluan agar kayu bersifat plastis. Tujuan plastisasi adalah agar kayu lebih lunak sehingga mudah dibentuk, dipadatkan, mengurangi energi pembentukan dan mengurangi cacat akibat pengempaan. Perlakuan pendahuluan sebelum pemadatan meliputi perendaman, perebusan atau pengukusan. Pemadatan yang berhasil dilakukan pada kayu Agatis (Agathis loranthifolia) sampai 50% berlangsung pada suhu 125 – 175 0C selama 9-20 menit dengan perlakuan pendahuluan berupa pengukusan dan perebusan selama 1 – 2 jam, sedangkan waktu pencapaian pemadatan bambu adalah selama 3 menit dalam suhu 150 – 180 0C. (Nugroho dan Ando, 2001; Sulistyono, 2001). USDA (1999) menyatakan bahwa panas dan kelembaban akan membuat kayu lebih plastis dan lebih mudah dibentuk. Proses plastisasi yang dianjurkan adalah pengukusan dan perebusan kira-kira 15 menit tiap cm tebal kayu dengan kadar air 2025%. Untuk bahan yang lebih tebal dan kadar air lebih rendah diperlukan waktu pengukusan atau perebusan yang lebih lama, yaitu 30 menit tiap cm. Pemadatan juga mampu memperbaiki sifat kayu, seperti fleksural (MOE, MOR dan tegangan pada batas proporsi), kekuatan tekan, tarik, geser, kekauan dan kekuatan pukul rata-rata lebih besar dari 150%.
38
Penelitian Murhofiq (2000) membuktikan bahwa pemadatan kayu sengon dan agathis hingga tebal 50% meningkatkan kerapatan dan sifat mekanis bahan yang dihasilkan hingga mencapai 300% untuk kekerasan ujung dan daya dukung baut, sedang Rilatupa dalam Sulistyono (2001) mencapai hasil 100 – 246% untuk perlakuan yang sama. Navi et al. (1999) dalam Ayina et al. (2000) menyatakan bahwa kayu terpadatkan dapat menggantikan kayu solid dalam teknik sipil untuk berbagai kegunaan. Tomme et al. (1998) meneliti sifat mekanis dan higroskopis kayu terpadatkan jenis beech dan spruce. Hasilnya terjadi peningkatan dari 0,67 gr/cm3 dan 0,43 gr/cm3 menjadi 1,27 gr/cm3 dan 1,3 gr/cm3 pada temperatur 140 0C dan 150 0C. kekuatan geser meningkat 10 kali dan kekerasan serta stabilitas dimensi meningkat secara signifikan. Killmann dan Koh (1988) melakukan penelitian pendahuluan tentang pemadatan kayu sawit. Plastisasi dilakukan dengan merendam kayu sawit dalam larutan amonia selama 24 jam. Hasilnya terjadi pengurangan tebal sebesar 10 – 15% dari tebal awal nominal, dengan kerapatan meningkat hingga 165%, dan peningkatan tertinggi terjadi pada kayu berkerapatan rendah. Tekanan, waktu dan temperatur kempa merupakan faktor yang berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Untuk mendapatkan bahan yang mempunyai springback rendah, diperlukan perlakuan setelah proses pengempaan selesai (post-treatment), misalnya proses pemanasan (thermo-mechanical) hydro-mechanical) (Navi et al., 2000).
atau proses hidro-panas (thermal-