TINGKAT KONSUMSI OKSIGEN SEDIMEN PADA DASAR TAMBAK INTENSIF UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei )
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Januari 2009
Hidayat Suryanto Suwoyo NRP. C151060281
3
ABSTRACT HIDAYAT SURYANTO SUWOYO. Level of Sediment Oxygen Demand in the Bottom Soil of the Intensive Pond Culture of White Shrimp (Litopenaeus vannamei). Under direction of KUKUH NIRMALA and D. DJOKOSETIYANTO. A study on the level of sediment oxygen demand in the bottom soil of intensive pond culture of white shrimp (Litopenaeus vannamei) was conducted at Instalation of Research Institute for Coastal Aquaculture (RICA), Takalar Regency, South Sulawesi from Mey to August 2008. The aim of this reasearch was to determine the level of sediment oxygen demand, sedimentation rate in the bottom soil of intensive pond culture and related variables with the level of sediment oxygen demand. This study was based on the causal design with descriptive method. The results showed that the level of sediment oxygen demand and sedimentation rate tends to increase progressively until the end of the shrimp culture period. The range of sediment oxygen demand was 3.4-48 mg O2/m2/hour, while sedimentation rate was 0.26-5.55 g/m2/day. The level of sediment oxygen demand was influenced by main variables (redox potential, number of bacteria population and total organic matter), water quality variables (dissolved oxygen, biological oxygen demand (BOD5), total suspended solid (TSS) and ammonia), production variables (average of weight and shrimp biomass) Keywords : sediment oxygen demand, sediment, intensive system, L. vannamei
4
RINGKASAN HIDAYAT SURYANTO SUWOYO. Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan D. DJOKOSETIYANTO. Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang introduksi yang akhir-akhir ini banyak diminati, karena memiliki banyak keunggulan. Peningkatan produksi udang vaname dapat dilakukan melalui usaha budidaya secara intensif hingga super intensif dengan penerapan teknologi maju. Penelitian tingkat konsumsi oksigen sedimen pada dasar tambak intensif udang vaname (L. vannamei) telah dilakukan di Instalasi Tambak Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Takalar, Sulawesi Selatan pada bulan Mei–Agustus 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi oksigen sedimen, laju sedimentasi pada dasar tambak intensif udang vaname dan variabel-variabel yang berhubungan dengan tingkat konsumsi oksigen sedimen. Penelitian ini menggunakan dasain kausal dengan metode deskriptif yang bersifat ex post-facto atau kajian fenomena alami yang mempelajari proses-proses yang terjadi ditambak sesuai dengan kondisi yang ada dengan mengobservasi kegiatan budidaya udang vaname secara intensif pada petak tambak yang terkendali selama ± 100 hari. Kegiatan pengelolaan tambak dilakukan sesuai dengan prosedur operasional baku atau SOP (standard operational procedure) dari BRPBAP-Maros. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian meliputi : 2 petak tambak berukuran ± 4000 m2/petak, berpola intensif dengan padat tebar 50 ekor/m2, sarana dan prasarana produksi serta alat pengambilan dan pengukur contoh sesuai dengan variabel yang diukur. Sampel air, bakteri dan sedimen diambil secara langsung di lokasi tambak udang. Sampel diambil sebanyak 3 titik pada masing-masing petak yakni pada bagian dekat sudut tambak, bagian sisi tambak yang terdapat sirkulasi air aktif serta bagian tengah tambak. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 8 kali dengan interval waktu setiap 2 minggu sekali selama pemeliharaan udang vaname. Perameter yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas parameter utama yaitu kualitas sedimen terdiri atas bahan organik total, pH, potensial redoks,total populasi bakteri, tekstur, konsumsi oksigen sedimen dan laju sedimentasi. Parameter penunjang yaitu fisika kimia air yang meliputi suhu, kecerahan, kedalaman air, padatan tersuspensi total, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, bahan organik total dan BOD5. Parameter produksi yaitu pertumbuhan, sintasan, produksi dan rasio konversi pakan. Untuk mengetahui keterkaitan antar variabel, data yang diperoleh dianalisis regresi dengan bantuan perangkat lunak SPSS dan MINITAB versi 14.0 serta analisis deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua tambak yang diamati bertekstur lempung berpasir dengan kandungan bahan organik total tanah tambak berkisar antara 0,90-2,95 % dengan rata-rata 1,83 %. Potensial redoks sedimen tambak selama penelitian berkisar antara -157 sampai +146 mV dan nilai pH berkisar antara 6,90-7,70. Jumlah total populasi koloni bakteri yang didapatkan pada sedimen dasar tambak dilokasi penelitian berkisar antara 2,02 x 105 hingga 2,37 x 109 koloni per gram tanah. Tingkat konsumsi oksigen sedimen dan laju
5
sedimentasi semakin tinggi sejalan dengan semakin lamanya pemeliharaan udang vaname. Tingkat konsumsi oksigen sedimen yang diperoleh berkisar 3,4–48,0 mg O2/m2/jam dan laju sedimentasi berkisar 0,26–5,55 g/m2/ hari. Tingkat konsumsi oksigen sedimen sangat dipengaruhi oleh variabel utama yang meliputi potensial redoks, total populasi bakteri dan bahan organik total. Sementara variabel kualitas air meliputi oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biokimia (BOD5), total padatan tersuspensi (TSS) dan amoniak serta variabel produksi meliputi berat rata-rata dan biomassa udang. Kata kunci : konsumsi oksigen sedimen, intensif, bahan organik, udang vaname
6
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7
TINGKAT KONSUMSI OKSIGEN SEDIMEN PADA DASAR TAMBAK INTENSIF UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei )
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
8
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA
9
Judul Tesis Nama NRP
: Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar Tambak Intensif Udang vaname (Litopenaeus vannamei) : Hidayat Suryanto Suwoyo : C151060281
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. D.Djokosetiyanto,DEA. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Prof. Dr.Ir. Enang Harris, M.S.
Tanggal Ujian : 30 Januari 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,M.S.
Tanggal Lulus : 05 Februari 2009
10
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rakhmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi tentang tingkat konsumsi oksigen sedimen tambak dan laju sedimentasi selama pemeliharaan udang vaname serta beberapa variabel-variabel yang berpengaruh. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. D.Djokosetiyanto, DEA selaku komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, selaku penguji luar komisi atas arahan, bimbingan dan masukan dalam penyusunan karya ilmiah ini. 2. Ayahanda Suwoyo dan Ibunda Bunaiya atas doa, kasih sayang dan ketulusan yang tiada terhingga serta saudara-saudaraku Mas Eko , Mba Dwi, Mba Tri, Mas Dian dan Adikku Sri Sulastri atas dukungannya selama ini. 3. Bapak Dr. Rachman Syah, M.S selaku kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Bapak Dr. A.Akhmad Mustafa. M.S, Bapak Drs.Gunato, M.Sc, Bapak Ir. Markus Mangampa, Bapak Ir A.Parenrengi, M.Sc dan Bapak Ir. Usman, M.Si serta staf Peneliti dan Teknisi BRPBAP-Maros atas arahan, dukungan dan bantuan baik moril maupun materiil selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. 4. Isteriku tercinta Sri Redjeki Hesti Mulyanigrum, S.Si atas doa, pengertian, kesabaran dan kesetiaannya selama penulis melaksanakan tugas belajar di IPB Bogor. 5. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan atas beasiswa pendidikan pascasarjana yang diberikan. Yayasan R.v.G. Van Deventer Maas, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri dan Program Mitra Bahari – COREMAP II atas bantuan studi dan penulisan karya ilmiah yang telah diberikan. 6. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Perairan angkatan 2006 (Pak Maskur, Bu Tutik Kadarini, Bu Kusdiarti, Bu Irin IK, Bu Lies S, Bu Yosmaniar, Bu Sarifah N, Bu Diana Yolanda S, Mas Adi Sucipto, Pak Azis, Mas Nur Hidayat, Mas Ferdinand HT, Mba Eni K, Bu Yudiana J, Muh Mustakim, Haryo Triajie, Catur Agus,Widi Setyogati, Angeli S, Rini Susilowati, Nurul Hanum, Marlina Ahmad, A. Aliah H, Ahmad Zahid, Yuyun, Nuning V, dan Naning K) atas kebersamaan, kekompakan, kerjasama yang baik serta bantuannya dalam perkuliahan, penyusunan dan penyelesaian karya ilmiah ini. Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan didalamnya sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan hasil penelitian ini dimasa mendatang. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya. Amien. Bogor, Januari 2009
Hidayat Suryanto Suwoyo
11
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pinrang, Sulawesi Selatan pada tanggal 10 Juli 1976 dari pasangan Bapak Suwoyo dan Ibu Bunaiya sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Pendidikan sekolah dasar di SDN 16 Pinrang dari tahun 1983 hingga 1989, melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pinrang dari tahun 1989 hingga 1992 dan pendidikan sekolah menengah atas penulis selesaikan di SMAN 1 Pinrang pada tahun 1995. Pendidikan sarjana di tempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar dari tahun 1995 dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama mendapat penghargaan sebagai Mahasiswa Terbaik I Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS. Pengalaman kerja di bidang perikanan dimulai pada tahun 1999 saat penulis bekerja di Divisi Budidaya, PT. Mina Transindo Totabuan di Gorontalo, Sulawesi Utara. Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai tenaga honorer di Balai Penelitian Perikanan Pantai, dan diangkat sebagai staf peneliti pada tahun 2002 di tempat yang sama dan sekarang berganti nama menjadi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Maros Sulawesi Selatan dengan bidang kajian penelitian keteknikan budidaya udang dan ikan. Tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana (S2) dengan bantuan beasiswa dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan diterima di Program Studi Ilmu Perairan (AIR), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Sri Redjeki Hesti Mulyaningrum di penghujung tahun 2008. Penulis dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar Magister Sains pada bulan Februari 2009.
12
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ……………………………………………………… DAFTAR GAMBAR …………………………………………………... DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1.1 Latar Belakang …………………………………………….. 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………….. 1.3 Pendekatan Masalah ………………………………………. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………. 1.5 Hipotesis …………………………………………………... II
Halaman xii xiii xiv 1 1 3 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 2.1 Sistem Budidaya Intensif ………………………………….. 2.2 Sedimen …………………………………………………… 2.3 Bahan Organik …………………………………………….. 2.4 Potensial Redoks …………………………………………... 2.5 Bakteri ……………………………………………………... 2.6 Kualitas Air ………………………………………………...
5 5 7 9 12 15 18
III
METODOLOGI PENELITIAN ………………………………... 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………... 3.2 Bahan dan Alat ……………………………………………. 3.3 Metode Penelitian …………………………………………. 3.3.1 Penentuan Titik Amatan …………………………… 3.3.2 Pengambilan Contoh Air dan Sedimen ..................... 3.3.3 Pengambilan Contoh Bakteri pada di tambak ……... 3.3.4 Konsumsi Oksigen Sedimen Tambak ……………... 3.3.5 Laju Sedimentasi …………………………………... 3.3.6 Pertumbuhan Mutlak dan Laju Pertumbuhan Harian. 3.3.7 Tingkan Kelangsungan Hidup …………………….. 3.3.8 Produksi Bersih ……………………………………. 3.3.9 Rasio Konversi Pakan ……………………………... 3.4 Analisis Data ……………………………………………… 3.4.1 Analisis Deskriptif ………………………………… 3.4.2 Analisis Regresi dan Korelasi ……………………...
24 24 24 25 25 25 27 27 28 29 29 30 30 31 31 31
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………. 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ……………………………….. 4.2 Parameter Utama ………………………………………….. 4.3 Parameter Penunjang ……………………………………… 4.4 Analisis Regresi dan Korelasi ……………………………..
32 32 32 46 60
V
SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan …………………………………………………... 5.2 Saran ………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………... LAMPIRAN
76 76 76 77 89
13
DAFTAR TABEL
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Klasifikasi sedimen dasar berdasarkan ukuran diameter butiran.. Reaksi redoks yang terjadi pada sedimen tambak ......................... Alat pengambilan contoh dan pengumpulan data ......................... Kisaran parameter fisika kimia air selama penelitian ................... Pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, produksi dan rasio konversi pakan udang vaname selama 100 hari pemeliharaan ..... Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan variabel bahan organik, total bakteri, potensial redoks, pH dan umur ..................
Halaman 7 15 25 47 57 61
14
DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. a 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Skema titik pengambilan contoh air dan sedimen ............... Alat pengambilan contoh sedimen di tambak udang............ Persentasi fraksi tekstur tanah pada tambak penelitian ........ Kandungan bahan organik total tanah tambak budidaya udang vaname selama penelitian ......................................... Perubahan potensial redoks tanah tambak ........................... Perubahan nilai pH tanah tambak selama penelitian............ Total populasi bakteri pada sedimen tambak udang ............ Laju sedimentasi pada tambak intensif udang vaname......... Konsumsi oksigen sedimen tambak selama penelitian ........ Pola dinamika oksigen terlarut (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian .......................... Pola dinamika amoniak (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian .......................................... Pola dinamika nitrit (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian .......................................... Pola dinamika padatan tersuspensi total (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian .......................... Pola dinamika BOD5 (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian .................................................... Pola dinamika bahan organik total (mg/L) pada media Budidaya udang vaname selama penelitian ......................... Pertumbuhan udang vaname selama penelitian ................... Hubungan antara berat udang vaname dan umur ……….... Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan varibel Bahan organik, total bakteri, potensial redoks, pH,umur .... Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan varibel kualitas air (oksigen terlarut, BOD5, TSSdan amoniak) ...... Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan laju sedimentasi ........................................................................... Hubungan antara laju sedimentasi dengan padatan tersuspensi total selama penelitian ....................................... Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen dengan berat rata-rata udang vaname selama penelitian ........................... Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen dengan biomassa udang vaname selama penelitian .......................... Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dan rasio konversi pakan udang vaname selama penelitian ............................... Hubungan antara rasio konversi pakan (FCR) dengan oksigen terlarut dalam tambak udang vaname selama penelitian ..............................................................................
Halaman 26 26 33 34 36 38 39 41 45 49 50 51 53 54 55 56 58 62 69 70 71 72 73 74 75
15
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Peta lokasi penelitian .......................................................... Hasil Analisis regresi 5 variabel yang berhubungan dengan Konsumsi oksigen sedimen tambak ..................................... Ringkasan persamaan regresi dalam menentukan variabelvariabel yang berpengaruh terhadap konsumsi oksigen sedimen ................................................................................ Analisis ragam dari variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi oksigen sdimen ..................................................... Konstanta dan koefisien regresi pada persamaan 3 dari variabel yang berpengaruh terhadap kons.Oksigen sedimen Rata-rata dan standar deviasibeberapa variabel kualitas sedimen tambak udang vaname ............................................ Matriks korelasi antara variabel terikat dengan variabel bebas dan antar variabel bebas sendiri ................................. Hasil pengukuran konsumsi oksigen sedimen, bahan organik total, potensial redoks, pH dan umur ...................... Analisis ragam bagi persamaan regesi hubungan berat ratarata dan umur pemeliharaan ................................................. Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen dengan beberapa parameter kualitas air ........................................... Analisis ragam bagi persamaan regesi hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan laju sedimentasi ............................ Analisis ragam bagi persamaan regesi hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan berat rata-rata udang .................... Analisis ragam bagi persamaan regesi hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan berat biomassa udang ................... Perhitungan jumlah sedimen (limbah organik) yang terakumulasi dalam tambak dan beberapa pendekatan pustaka yang lain ..................................................................
Halaman 91 92 92 93 93 94 94 95 97 97 98 98 99 100
16
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang vaname (Litopenaeus vannamei)
merupakan salah satu jenis
udang introduksi yang akhir-akhir ini banyak diminati, karena memiliki banyak keunggulan seperti relatif tahan penyakit, pertumbuhan cepat (masa pemeliharaan 100 – 110 hari), tahan terhadap perubahan lingkungan, sintasan selama pemeliharaan tinggi dan FCR-nya rendah. Sejak diperkenalkan udang vaname sebagai salah satu komoditas budidaya unggulan, kinerja perudangan nasional tampak menunjukkan produksi udang yang signifikan. Produksi udang tahun 2003 mencapai 192.666 ton dan tahun 2004 meningkat menjadi 242.650 ton (Anonim 2005). Peningkatan produksi udang vaname dapat dilakukan melalui usaha budidaya secara intensif hingga super intensif dengan penerapan teknologi maju. Kegiatan budidaya udang vaname yang dilakukan secara intensif memerlukan berbagai input budidaya seperti pakan, pupuk, kapur, benih udang, pestisida dan pergantian air baru akan memberikan pengaruh pada kandungan bahan organik pada air dan sedimen tambak. Kandungan bahan organik ini cukup tinggi, terutama yang berasal dari sisa pakan, sisa metabolisme/urine, organisme yang mati, pemupukan, pengapuran, pestisida yang digunakan serta konstribusi bahan organik dari sumber air yang masuk ke tambak melalui pergantian air. Akumulasi bahan organik di dalam media pemeliharaan tersebut memerlukan oksigen terlarut untuk menguraikannya (Boyd 1991). Hasil monitoring yang dilakukan oleh Primavera (1994) terhadap tambak intensif menyebutkan bahwa 15 % dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85 % yang dimakan sebagian besar juga dikembalikan lagi ke lingkungan dalam bentuk limbah. Hanya 17 % dari jumlah pakan yang diberikan dikonversi menjadi daging udang, 48 % terbuang dalam bentuk ekresi(metabolisme, kelebihan nutrien), ecdysis (moulting) dan pemeliharaan (energi), 20 % dari pakan yang diberikan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah padat berupa feses.
Kondisi ini berpotensi untuk terjadinya
defisit oksigen yang selajutnya dapat menyebabkan kondisi anaerob dalam sistem budidaya. Keadaan ini bertambah berat karena bahan organik yang tersuspensi di
17
dalam air menyebabkan kekeruhan dan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga akan mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintetik (Ginting 1995; Siregar dan Hasanah 2006). Akumulasi bahan organik dalam jumlah yang sesuai dengan daya dukung lahan akan berdampak positif, karena dapat dihasilkan unsur-unsur hara yang sangat bermanfaat bagi organisme perairan. Sebaliknya akumulasi bahan organik dalam jumlah yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan akan berdampak negatif karena akan meningkatkan laju penurunan oksigen (oxygen deplesion rate) dalam air dan peningkatan kebutuhan oksigen di sedimen dasar (sedimen oxygen demand) serta menurunkan potensial redoks ke tingkat reduksi (Meagaung 2000). Bila hal ini berlanjut maka akan memperburuk kondisi lingkungan budidaya khususnya lapisan air dasar permukaan tanah dasar dan akan dihasilkan senyawa tereduksi seperti NH3, CH4 dan H2S yang bersifat toksik dan menciptakan habitat yang tidak sesuai bagi udang (Boyd 1992). Sehingga udang mengalami stress, nafsu makan berkurang, mudah terserang penyakit bahkan lebih parah lagi akan menyebabkan kematian (Poernomo 1996). Di sedimen tambak proses penguraian bahan organik menjadi lebih kompleks karena melibatkan aktivitas tidak hanya bakteri aerob namun juga anaerob dan proses fermentasi. Sedimen tambak kaya akan nutrien dan bahan organik. Konsentrasi nutrien disedimen tambak jauh lebih tinggi dari yang ada di badan air diperkirakan 1 cm ketebalan sedimen tambak umumnya terdapat 10 kali atau lebih jumlah nutrien yang ada pada 1 m kedalaman badan air. Bahan organik yang melimpah di sedimen tambak, menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme sangat pesat, sehingga konsumsi oksigen di sedimen tambak menjadi banyak dan dapat mengakibatkan daerah dasar tambak di bawah permukaan menjadi daerah anoksid (tidak beroksigen). Kebutuhan oksigen terlarut merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses dan kondisi di perbatasan antara air dan sedimen tambak. Kebutuhan konsumsi oksigen pada sedimen merupakan indikator tingkat intensitas proses mineralisasi dan metabolisme komunitas bentik ( Boyd 1995 ; Gunarto 2006). Menurut Madenjian (1990) bahwa penggunaan total oksigen dalam tambak udang windu didominasi oleh sedimen, air tambak dan udang masing-masing 51,
18
45 dan 4 %. Tingkat konsumsi oksigen sedimen merupakan petunjuk adanya kegiatan mikroorganisme di dalam substrat dan merupakan gambaran kebutuhan oksigen yang dapat diketahui melalui konsumsi atau proses penggunaan oksigen terlarut di dalam tambak atau badan air. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat konsumsi oksigen sedimen dan laju sedimentasi pada dasar tambak intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tingkat konsumsi oksigen sedimen dasar tambak dan variabel-variabel yang berhubungan sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan lahan tambak yang baik dan menentukan strategi alokasi input budidaya yang optimal dalam sistem budidaya udang vaname secara intensif. 1.2. Perumusan masalah Banyaknya limbah organik yang terakumulasi dalam tambak yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan akan menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen dalam perairan tambak. Hal ini terjadi karena oksigen dibutuhkan mikroorganisme (bakteri) aerob yang terdapat di sedimen untuk merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Bila aktivitas bakteri pengurai ini berlangsung intensif, maka tambak akan menjadi anaerob sehingga dapat menyebabkan ketersediaan oksigen dan daya dukung perairan tambak menjadi rendah yang selanjutnya berdampak pada produksi biomassa udang yang rendah melalui penurunan laju pertumbuhan dan tingginya tingkat mortalitas udang. 1.3. Pendekatan Masalah Dalam sistem budidaya udang vaname secara intensif memerlukan masukan pakan tambahan (pellet) menjadi salah satu komponen utama untuk mencapai target produksi. Tingginya beban masukan bahan organik dari sisa pakan dan hasil ekskresi udang akibat efisiensi pemanfaatan pakan yang rendah, padat penebaran benur yang tinggi serta tidak dapat diimbangi oleh kemampuan pulih diri (self purification) dari tambak itu sendiri sehingga menimbulkan terjadinya penumpukan bahan organik pada sistem tambak.
19
Dengan meningkatnya bahan organik dalam tambak, maka akan menyebabkan perubahan kualitas fisika-kimia habitat udang, yakni penurunan kandungan oksigen terlarut dan peningkatan kebutuhan oksigen di sedimen dasar karena digunakan untuk menguraikan bahan organik tersebut. Konsumsi oksigen pada sedimen merupakan gambaran kebutuhan oksigen yang dapat diketahui melalui konsumsi atau proses penggunaan oksigen terlarut sehingga informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan lahan tambak yang baik dan menentukan strategi alokasi input budidaya yang optimal dalam sistem budidaya udang vaname secara intensif.
Usaha perbaikan mutu lingkungan
habitat udang yang disebabkan oleh akumulasi bahan organik dapat dilakukan dengan cara memperbaiki pengelolaan pakan (feeding management), pergantian air, sistem penyiponan secara periodik, sistem pembuangan tengah, pemanfaatan berbagai jenis bakteri pengurai bahan organik, pengembangan metode tandon yang dikombinasikan dengan biofilter dan resirkulasi . 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi oksigen sedimen dan laju sedimentasi pada dasar tambak intensif udang vaname selama pemeliharaan dan variabel-variabel yang berhubungan dengan tingkat konsumsi oksigen tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat konsumsi oksigen sedimen tambak, laju sedimentasi dan variabel-variabel yang berhubungan sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan lahan tambak yang baik dan menentukan strategi alokasi input budidaya yang optimal dalam sistem budidaya udang vaname secara intensif. 1.5. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah semakin intensif suatu kegiatan budidaya, akumulasi bahan organik dan laju sedimentasi di dasar tambak akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan, maka tingkat konsumsi oksigen sedimen tambak semakin tinggi, ketersediaan oksigen dan daya dukung perairan tambak menjadi rendah sehingga berdampak pada produksi biomassa udang.
20
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Budidaya Intensif Teknologi budidaya udang dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan yaitu : non intensif, semi intensif (madya), dan intensif, bahkan akhirakhir ini telah berkembang sistem super-intensif. Perbedaan dari sistem tersebut terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola pemberian pakan serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo 2000, diacu dalam Rahman 2005).
Sistem budidaya non intensif dilakukan secara
sederhana dengan input dan manajemen yang minimal, sistem semi intensif menggunakan input yang menengah, dan sistem budidaya intensif biasanya membutuhkan input sumberdaya dan manajemen yang lebih banyak (Wyban dan Sweeny 1991). Perkembangan budidaya udang vaname
sudah menyebar di
sentra
budidaya udang nasional seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jogjakarta, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan. (Poernomo 2002; Sugama 2002), dengan berbagai tingkatan teknologi budidaya mulai dari teknologi non intensif, semi-intensif, intensif bahkan super intensif. Ciri-ciri teknologi budidaya udang intensif adalah penggunaan padat penebaran tinggi disertai pemberian pakan tambahan dan pengelolaan mutu air. Semakin tinggi produksi yang hendak dicapai dari suatu ekosistem makin besar subsidi energi yang harus diberikan. Energi yang diserap pada tingkat yang lebih tinggi akan lebih rendah dari masukkannya, dimana sebagian akan merupakan limbah sisa. Jika limbah yang dieksresikan lebih besar dari kemampuan penguraian secara alami, maka akan terjadi penurunan mutu lingkungan (Azwar 2001). Produksi udang di tambak dapat ditingkatkan melalui penerapan teknologi intensif. Sistem ini dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan input biaya yang besar. Ciri-ciri sistem budidaya ini adalah memiliki petakan yang kecil berukuran 0,2 – 0,5 ha/petak dengan padat tebar yang cukup tinggi (500.000 – 600.000) ekor/ha, serta pemberian pakan buatan yang tinggi. Pemberian pakan akan menentukan keberhasilan budidaya udang karena pakan buatan merupakan input utama dalam peningkatan pertumbuhan (Suyanto dan Mujiman 2002).
21
Dilihat dari aspek produksi, daya dukung lahan tambak dapat diartikan sebagai jumlah produksi ikan (biomassa) optimum yang dapat dihasilkan per satuan luas lahan tambak dengan teknologi tertentu pada musim tanam tertentu (Gang et al. 1998). Lebih lanjut dikatakan bahwa daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi seperti peningkatan kadar oksigen dalam air dengan aerator, pengolahan air baku (water treatment), pemupukan untuk meningkatkan kadar nitrat dan fosfat, dan penggunaan pakan berkualitas, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas dan kuantitas limbah tambak yang dihasilkan. Pada budidaya tambak udang sistem intensif, input pakan yang tinggi akan meningkatkan kadar nutrien dan kelimpahan fitoplankton dalam air kolam, aerasi mekanis menyebabkan partikel sedimen menjadi tersuspensi, dan melalui pergantian massa air akan terbuang sejumlah nutrien dan padatan tersuspensi dari kolam-kolam budidaya yang pada akhirnya memasuki perairan pesisir di sekitarnya (Hopkins et al. 1993). Boyd (2003) menyatakan bahwa limbah tambak intesif sering memiliki pH, kadar amonia, fosfor, kebutuhan oksigen biologis (BOD) dan padatan tersuspensi (TSS) yang lebih tinggi dibanding perairan alamiah disekitarnya. Pada waktu panen, kadar TSS akan tinggi terutama pada volume 20-25 % limbah akhir tambak (final effluent) dan TSS tersebut sekitar 92 % berasal dari input pakan (Chen et al. 1989). Menurut Primavera dan Apud (1994) menyatakan, dalam proses budidaya intensif, 35 % dari input pakan akan menjadi limbah berupa padatan tersuspensi dan limbah tersebut akan memasuki perairan pesisir disekitarnya. Soewardi (2002), mengemukakan bahwa pada luasan tambak udang 5000 m2 dengan teknologi budidaya intensif (kepadatan udang 210.000 ekor/ha), total pakan 3,6 ton menghasilkan limbah TSS sebesar 1.230 kg selama pemeliharaan 120 hari. Menurut Boyd (1999), beban limbah budidaya udang dapat mencapai 12,6-21 kgN dan 1,8-3,6 kgP per ton produksi udang pada tingkat FCR 1,5 dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya produktivitas udang. TeichertCoddington et al. (1996) melaporkan bahwa buangan limbah nitrogen dari tambak udang komersial meningkat seiring meningkatnya FCR
22
2.2. Sedimen Menurut Neufeldt (1988) diacu dalam Haeruddin (2006), yang dimaksud dengan sedimen adalah bahan/materi yang mengendap di dasar cairan atau bahan yang diendapkan oleh angin dan air. Sementara kamus Chamber (1972) diacu dalam Selley (1988) menyatakan bahwa sedimen sebagai sesuatu yang terdapat di dasar cairan, kerukan atau deposit. Sedimen adalah material yang terkontaminasi di dalam suatu massa air, baik berupa bahan organik maupun an organik (Taurusman, 1999).
Menurut Sutikno (1984), sedimen adalah material yang
diendapkan dan bersifat lunak serta tidak kompak. Menurut diameter butirannya, Selley (1988) mengklasifikasi sedimen atas batuan (boulders), kerikil (gravels), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir halus (fine sand), pasir sangat halus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (clay) dan bahan terlarut (dissolved material). Ada beberapa skala kelas (grade scale) yang biasa digunakan untuk mengklasifikasikan sedimen menurut ukuran butirannya. Skala yang umum digunakan adalah Skala Wenworth dan Skala Phi Krumbein. Hutabarat dan Evans (1985) telah membagi sedimen berdasarkan ukuran diameter butiran yaitu batuan (Boulders), kerikil (gravels), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir haIus (fine sand), pasir sangat haIus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (ciay), dan bahan terlarut (dissolved material). Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar berdasarkan ukuran diameter butiran (Hutabarat dan Evans 1985) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis sedimen Batuan (boulders), Kerikil (gravels), Pasir sangat kasar (very coarse sand), Pasir kasar (coarse sand), Pasir haIus (fine sand), Pasir sangat haIus (very fine sand), Pasir (medium sand), Lumpur (silt), Liat (ciay) Bahan terlarut (dissolved material).
Diameter (mm) > 256 2 – 256 1 – 2 0,5 – 1 0,25 – 0,5 0,125 - 0,25 0,0625 – 0,125 0,0020 – 0,0625 0,0005 – 0,0020 < 0,0005
23
Wood (1987) mengemukkan bahwa terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar, hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah, karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap. Lebih lanjut dikatakan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber bahan makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju penambahanya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya fauna yang didominasi oleh deposist feeder. Sedimen dasar tambak merupakan bagian dari lingkungan tambak. Sedimen tambak terutama dibagian permukaannnya berinteraksi dengan air di atasanya dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sedimen yang terdiri atas partikel dan mikroorganisme dapat mengalami resuspensi ke dalam air apabila ada gerakan air dengan kecepatan 0,95 cm/detik (Boyd 1990). Proses degradasi bahan organik secara biokimiawi melepaskan nutrien dan mengkonsumsi oksigen diperairan. Kondisi sedimen mengalami proses-proses yang dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas air, terutama terjadi didasar perairan yaitu pada lapisan dekat permukaan sedimen yang dikenal dengan interface layer (Sutikno 2003). Substrat bagi jenis-jenis udang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang (Ray dan Chien 1992).
Udang pama (Penaeus
semisulcatus) dan Penaeus monodon hidup dengan baik pada substrat pasir dengan kisaran ukuran 0,9 – 0,12 mm. Sedangkan L vannamei tumbuh lebih baik pada substrat yang impermeabel daripada substrat tanah (Mendez et al. 2004). Bratvold dan Browdy (2001) melakukan pemeliharaan udang vaname dengan substrat yang berbeda yakni tanpa sedimen, pasir dan aqua mats selama 104 hari pemeliharaan dengan padat tebar 130 ekor/ m2 memperoleh sintasan dengan kisaran 65,4 – 80,8 %. Sedangkan Suwoyo dan Hendrajat (2006) mendapatkan pertumbuhan udang vaname lebih baik pada media tanah tambak dibanding dengan substrat tanah sawah dan pasir
24
2.3. Bahan Organik Limbah yang berasal dari budidaya tambak intensif mengandung bahan organik yang tinggi. Limbah organik ini berasal dari sisa pakan yang terlarut dan tersuspensi dalam air, sisa metabolit, eksresi hewan budidaya berupa feses dan urin, pupuk, obat-obatan dan bahan perlakuan lainnya (Sitorus 2005). Penguraian bahan organik melalui proses oksidasi aerobik, berlangsung sebagai bagian rantai makanan di alam, sebagai bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan digunakan untuk membangun substansi vital dari jenis-jenis mikroba (Mara 1976, diacu dalam Bachtiar 1994). Bahan organik total menggambarkan kandungan bahan organik total dalam suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid (Hariyadi et al. 1992) serta yang mengendap di dasar perairan. Bahan organik dalam suatu perairan budidaya dapat berasal dari sisa pakan, sisa metabolisme, pupuk, plankton yang mati dan beberapa sumber lainnya. Dalam perairan bahan organik secara tidak langsung berpengaruh pada organisme budidaya karena keberadaannya dapat mempengaruhi parameter kimia air lainnya sebagai bahan yang akan terdekomposisi baik secara aerob dan anaerob. Selain itu bahan organik juga merupakan faktor pendukung akan timbulnya jamur dan bakteri yang bersifat patogen. Berdasarkan fungsinya bahan organik menurut Goldman dan Horne (1983) dapat dibagi lima macam, yaitu : 1) bahan organik yang dapat mengalami proses dekomposisi, contohnya N-organik, P-organik dan humus; 2) bahan organik yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme, contohnya asetat, glukosa dan glikolat; 3) bahan organik yang dihasilkan oleh alga dan beberapa hewan yang berperan penting dalam pigmentasi darah dan klorofil, antara lain asam humik dan sitrat; 4) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan dan tumbuhan yang dapat mempercepat atau menghambat pertumbuhan dirinya atau pesaingnya; 5) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuhan untuk mempertahankan dirinya, sering kali bahan organik ini merupakan racun bagi organisme lain, contohnya lendir yang dihasilkan oleh alga biru-hijau (blue green algae). Berdasarkan sumbernya, Metcalf dan Eddy (1991) membedakan bahan organik menjadi tiga macam, yaitu 1) bahan organik yang berasal dari limbah
25
domestik, yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; 2) bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; 3) bahan organik yang berasal dari limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida. Lebih lanjut dikatakan bahwa , nilai kandungan bahan organik diperairan dapat diukur sebagai karbon organik total (TOC, total organic carbon), kebutuhan oksigen untuk proses kimia (COD, chemichal oxygen demand), kebutuhan oksigen untuk proses biokimia (BOD, biologychal oxygen demand). Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat dalam agregat besar atau organisme mati yang bersumber baik dari dalam (autochtonous) maupun dari luar (allocthonous) perairan. Secara umum bahan organik mengandung 40 – 60 % protein, 25 – 50 % karbohidrat dan 10 % lemak dan minyak, serta urea (APHA, 1985).
Menurut Sladeck (1979),
diacu dalam Taurusman (1999), bahan organik dalam ekosistem perairan akan terbentuk karena adanya proses anabolisme unsur hara oleh organisme primer dengan bantuan sinar matahari, lalu diikuti proses kehidupan organisme sekunder dan adanya masukan bahan organik dari ekosistem lainnya. Kandungan bahan organik dalam perairan dapat diukur secara langsung dengan cara mengukur kandungan bahan organik total (total organic matter, TOM) (Wetzel dan Likens 1991). Seiring dengan penambahan jumlah pakan dalam kegiatan budidaya udang, beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya semakin meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat penurunan kualitas media budidaya (Rosenbery 2006). Tanpa adanya penanganan khusus tentang hal ini akan berdampak pada penurunan hasil produksi akibat pertumbuhan yang lambat, peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan menurunnya efisiensi konversi pakan (Brune et al. 2003). Limbah organik yang masuk ke perairan di sekitar pertambakan berasal dari buangan rumah tangga daerah urban, industri berbahan baku organik, pertanian/ peternakan, dan buangan tambak itu sendiri. Limbah organik tambak berasal dari sisa pakan, eksresi organisme budidaya dalam bentuk feses dan urine, bangkai mikro alga dan zooplankton serta organisme tambak lainnya. Limbah ini
26
mengendap dan terakumulasi di dasar tambak. Limbah ini dikeluarkan pada saat pergantian air tambak dan pada saat panen. Agar pergantian air tambak dapat bermanfaat secara efektif , maka pembuangan sedimen organik dilakukan dengan mengembalikan dalam keadaan tersuspensi, sehingga dapat dialirkan melalui saluran pembuangan. Cara yang paling umum untuk mengembalikan dalam keadaan tersuspensi adalah mengeruknya dengan air mengalir yang berkecepatan 0,25 – 0,5 m/detik. Aliran tersebut dapat dihasilkan dengan menggunakan kincir atau sirkulator lainnya. Penggunaan alat tersebut bisa menyebabkan akumulasi bahan organik dibagian tertentu tambak (Effendie 1998). Peningkatan bahan organik dan unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik untuk memanfaatkannya akan timbul permasalahan serius. Permasalahan yang timbul antara lain: tingkat kekeruhan menjadi tinggi sehingga menurunkan tingkat penetrasi sinar matahari dan proses fotosintesis di kolom air akan terhambat; makin meningkatnya jumlah tanaman berakar pada bagian litoral dan menghilangkan jenis plankton dan benthos tertentu serta jenis organisme akuatik lainnya, serta munculnya jenis organisme baru yang biasanya merugikan kepentingan perikanan (Jorgensen 1980). Soeriatmaja (1981) menambahkan bahwa peningkatan bahan organik berlebihan akan membawa akibat-akibat seperti meningkatnya unsur kimia yang berlebihan, menurunkan pH dan oksigen terlarut, serta peningkatan aktivitas biologi yaitu proses dekomposisi. Selanjutnya keadaan tersebut akan berpengaruh pada kualitas lingkungan pesisir yang juga akan berakibat terjadinya penurunan potensi perikanan dan dapat mengancam usaha pertambakan udang sendiri dalam jangka panjang karena air buangan tambak akan mempengaruhi sumber air areal pertambakan. Hasil penelitian Bachtiar (1994) di TIR Karawang menunjukkan bahwa pada tambak intensif, setiap siklus per hektar dari 4.188 kg pakan akan terbagi menjadi produksi udang 2.327 kg dan 1.861 kg pakan yang tidak termanfaatkan dan sisa metabolisme. Selanjutnya pakan yang tidak dimanfaatkan dan sisa metabolisme tersebut akan mengendap di dasar tambak sebesar 18 % (1.327,61 kg) berbentuk padatan tersuspensi, serta sisanya sebesar 533,39 kg terbuang ke perairan sebagai beban limbah BOD dalam bentuk padatan terlarut. Sehingga
27
dengan model keseimbangan bahan terhadap beban limbah organik kegiatan budidaya udang secara intensif diperoleh konstribusi beban limbah BOD sebesar 533,39 kg/siklus/ha dan COD sebesar 656 kg/siklus/hektar. Menurut Huisman (1987) diacu dalam Harris (1993) menyatakan bahwa bila konversi pakan 1 : 1,5 ; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg sehingga akan menghasilkan limbah organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg yang selanjutnya akan terbuang ke perairan sekitarnya. 2.4. Potensial Redoks Redoks potensial (Eh) adalah besarnya nilai relatif dari proses oksidasi dan reduksi
di lingkungan dasar perairan/tambak.
Nilai yang lebih besar
menunjukkan kondisi yang lebih teroksidasi (John et al. 1989, diacu dalam Gunarto 2006). Menurut Rhoads (1974) bahwa potensial redoks (Eh) adalah besarnya aktivitas elektron dalam proses oksidasi reduksi yang dinyatakan dalam milivolt (mV). Berdasarkan besarnya nilai redoks potensial (Eh) dan pH sedimen serta warnanya, Odum (1971) mengelompokkan sedimen secara vertikal menjadi 3 mintakat yaitu mintakat oksidasi dengan nilai redoks potensialnya diatas + 200 mV, mintakat
diskontinyu (redox rotential discontinuity, RPD) dengan nilai
redoks potensialnya antara 0 sampai + 200 mV, dan mintakat reduksi dengan nilai redoks potensialnya dibawah nol atau negatif.
Mintakat redoks Diskontinyu
merupakan daerah pembalikan nilai redoks potensial (Eh) dari positif ke negatif, sehingga disebut juga sebagai mintakat peralihan Konsentrasi oksigen di sedimen berhubungan erat dengan nilai potensial redoks (Eh) sedimen tersebut. Rhoads (1974) mengemukakan bahwa pada nilai potensial redoks (Eh) lebih kurang dari 400, konsentrasi oksigennya berkisar 4 – 10 mg/L. Kemudian pada nilai potensial redoksnya (Eh) sekitar + 300 mv, nilai konsentrasi oksigennya sekitar 0,3 mg/L. Pada nilai redoks potensial (Eh) +200 mv, oksigennya sebesar 0,1 mg/L, dan nilai konsentrasi oksigen tidak terukur lagi pada nilai Eh dibawah nol (0) mV.
28
Nilai derajat keasaman sedimen bersama potensial redoks menunjukkan sifat fisika kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik. Kandungan oksigen dalam sedimen berpengaruh besar terhadap nilai redoks potensial dan pH sedimen selain itu dapat pula dijadikan sebagai kontrol reaksi kimia ion-ion antar air dan sedimen. Banyaknya bahan organik, jumlah bakteri yang hidup dalam substrat dan kurangnya sirkulasi air menyebabkan kadar oksigen dalam substrat menurun. Keadaan ini dapat mengubah kondisi substrat kedalam lingkungan reduksi (Biggs 1967, diacu dalam Emiyarti 2004). Reaksi oksidasi-reduksi (redoks)
dalam reaksi biologi secara normal
dapat digambarkan sebagai proses kehilangan atau penambahan hidrogen atau elektron. yang masing-masing oksidasi akan diimbangi oleh reduksi (Gray 2004), secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut : AH2 A
B BH2
Dimana AH2 adalah donor hidrogen dan B adalah akseptor hidrogen. Masingmasing pasangan (AH2/ A atau B / BH2) yang mempunyai suatu kecenderungan untuk menyumbangkan ekuivalen, oksidasi (AH2 Æ A) atau menerima dan di kurangi/mereduksi (BÆ BH2). Bila kedua pasangan tersebut berada dalam reaksi reduksi-oksidasi
yang
kompleks,
aliran
reaksi
akan
ditentukan
oleh
kecenderungan yang relatif dari masing-masing pasangan untuk menyumbangkan atau menerima elektron ekuivalen, hal ini disebut dengan potensial redoks. Redoks dapat diukur dengan menggunakan sel galvanik yang terdiri dari 2 elektroda dengan penghubung cairan/media. negatif
(anoda)
dan
memproduksi
Oksidasi terjadi pada elektroda
elektron,
sedangkan
elektron
yang
dimanfaatkan dan reduksi ditempatkan pada elektroda positif (cathoda). Kebanyakan kondisi perairan, cenderung memiliki kondisi oksigen yang rendah, hal ini berkaitan dengan permasalahan difusi oksigen dalam kolom air ke sedimen. Hal ini tergantung pada konsentrasi oksigen dalam air, sifat fisika dan kimia sedimen, dan aktivitas organisme dasar. Bila kondisi sedimen menjadi anoksid, populasi fauna akan semakin berkembang. Pada kondisi ini, potensial redoks digunakan sebagai suatu indikator dimana elektron akseptor digunakan
29
oleh bakteri yang anaerob dalam sedimen. Sedimen terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik, dimana bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur. Reaksi geokimia yang terjadi di perairan estuari terutama dikontrol oleh kondisi fisika-kimia sedimen khususnya potensial redoks. Menurut Golterman (1990), salah satu metode untuk melihat proses dekomposisi bahan-bahan organik dalam sedimen adalah dengan melihat zona reduksi atau oksidasi (potensial redoks). Potensial redoks adalah pengukuran kuantitatif reduksi-oksidasi dari suatu sistem yang dapat diukur dengan elektroda platina. Potensial redoks merupakan suatu besaran potensial listrik yang dapat menunjukkan proses dekomposisi bahan-bahan organik dalam sedimen berlangsung dalam keadaan reduksi atau oksidasi. Oksidasi adalah proses kehilangan elektron dari suatu persenyawaan kimia, dari substansi atau dari atom dan radikalnya, sedangkan reduksi adalah penambahan elektron pada persenyawaan kimia. Pada perairan yang belum tercemar dan cukup bahan organik, zona oksidasi relatif lebih tebal. Adapun pada perairan yang kurang oksigen, zona oksidasi ini hanya beberapa sentimeter saja dari permukaan sedimen, dan zona reduksi akan bergerak ke lapisan lebih dalam. Perbedaan stratifikasi di sedimen dicirikan oleh perbedaan akseptor elektron. Oksigen merupakan agen oksidasi yang paling penting dipermukaan sedimen. Pada kedalaman dibawah 0 – 4 cm, dimana kandungan oksigen telah menurun sehingga terjadi proses denitrifikasi, Nitrat (NO3) merupakan akseptor elektron selanjutnya diikuti oleh besi (Fe3+), mangan (Mn++), sulfat (SO42-) dan karbondioksida membantu sebagai elektron akseptor (Tabel 2), yang umumnya terjadi pada kedalaman antara 10 – 50 cm. Aliran energi biologi di sedimen pada umumnya hanya terjadi pada empat zona tersebut dan pemisahan zona tersebut berdasarkan hasil energi bebas dari reaksi redoks potensial yang terjadi pada masing-masing zona.
Respirasi secara aerob terjadi pada lapisan dimana
didominasi oleh banyaknya oksigen, sedangkan zona lainnya respirasi terjadi secara anaerob
30
Tabel 2 . Reaksi redoks yang terjadi pada sedimen tambak (Reddy et al. 1986, diacu dalam Avnimelech dan Rivto 2003). Sistem Oksidasi (Elektron aseptor) O2 → CO2 NO3- → N2 Senyawa Organik Fe3+ → Fe2+ Mn4+ → Mn2+ SO4 → S2CO2 → CH4
Respirasi aerob Denitrifikasi
Perkiraan nilai redoks potensial (mV) 500 – 600 300 – 400
Fermentasi Reduksi Sulfat Reduksi Methanogenesis
< 400 200 -100 -200
Proses
2.5. Bakteri Bakteri
merupakan
kelompok
organisme
yang
paling
melimpah
jumlahnya. Bakteri dapat ditemukan di tanah, air atau bahkan dalam bentuk simbion dengan organisme lain. Berdasarkan sumber karbonnya bakteri digolongkan atas bakteri heterotrof dan autotrof. Bakteri heterotrof merupakan jenis bakteri yang membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Organisme heterotrof tidak dapat mensistesis bahan organik ataupun senyawa berkarbon dari bahan anorganik. Oleh karena itu golongan ini harus mendapat sumber nutriennya dari bakteri heterotrof yang lain atau autotrof. Bakteri heterotrof biasa dikenal sebagai dekomposer dan konsumen pada rantai makanan. Sedangkan autotrof hanya menggunakan karbondioksida atau karbonat inorganik sebagai satu-satunya sumber karbon (Wikipedia 2007) Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi nutrien organik di dalam kegiatan produksi akuakultur dan sedimen tambak (Hargreaves 1988). Di dalam kolam atau tambak, bakteri sering ditemukan di sedimen dasar, yang biasanya mengandung banyak bahan organik dan aerasi kurang bahkan anaerob (Moriaty 1999 ; Burford et al. 2003). Bakteri heterotrof yang ada dalam perairan biasanya akan memanfaatkan pakan yang tidak termakan (un aeaten feed), feses dan bahan organik lain sebagai sumber protein untuk dirubah menjadi amonia inorganik. Proses perubahan nitrogen dari protein menjadi amonia inorganik disebut mineralisasi. Hampir 85% nitrogen yang terdapat di pakan yang diberikan ke udang biasanya akan menjadi amonia (Wyk et al. 1999). Jika bahan organik yang terdekomposisi
31
mengandung terlalu banyak nitrogen, mikroorganisme perombak akan tumbuh dengan baik dan kelebihan nitrogen akan dilepaskan ke lingkungan dalam bentuk nitrogen inorganik (mineralisasi ) (Boyd 1990). Peningkatan
bahan
organik
dalam
tambak
dapat
menyebabkan
meningkatnya populasi bakteri. Bahan organik yang ada akan digunakan bakteri sebagai sumber pakan untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Ginting 1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa populasi bakteri Vibrio sp lebih banyak terdapat dalam tanah dibandingkan dalam air. Hal ini menunjukkan tingginya penimbunan bahan organik pada tanah akibat sisa pakan dan kotoran udang. Muliani et al. (1998) mengemukakan bahwa bakteri yang patogen oportunistik terhadap udang adalah Aeromonas spp dan Vibrio sp sering menimbulkan kematian udang baik di panti pembenihan maupun di tambak. Jenis bakteri ini umumnya ditemukan di perairan laut dan pantai bahkan di dalam saluran pencernaan udang itu sendiri. Bakteri ini akan berkembang dan menjadi patogen jika terjadi penurunan mutu air akibat penumpukan bahan organik yang berasal dari sisa pakan dan kotoran udang. Fukuda (2000) menyatakan, bahan organik limbah budidaya bersifat dapat terurai secara biologis (biodegradable matter) dalam air. Melalui aktivitas mikrobial, bahan organik dapat terhidrolisis melalui proses enzimatis dan mengubah bentuk senyawa organik tidak larut menjadi larut dalam air. Disamping itu, mikroba juga berperan dalam mineralisasi senyawa organik menjadi senyawa anorganik terlarut yang menghasilkan nutrien seperti fosfat dan nitrat (Nagata et al. 2003). Dalam proses penguraian bahan organik dalam perairan, umumnya kelompok bakteri yang dominan berperan adalah bakteri aerobik, baik dari jenis bakteri autotrofik maupun heterotrofik. Sedangkan jenis bakteri anaerobik obligat ataupun fakultatif lebih berperan dalam dekomposisi bahan organik di sedimen dasar perairan, atau pada keadaan dimana terjadi anoksid dalam air (Rheinheimer 1992 ; Leonard et al. 2000 ; Fukuda 2000). Beberapa jenis bakteri yang berperan dalam degradasi bahan organik di perairan pesisir (termasuk air payau) dan laut seperti Pseudomonas sp, Nitrosomonas sp, Marinobacter sp, Nitrobacter sp, Flavobacterium sp, Oceanospirillum sp, Paracoccu sp, Bacillus sp, Desulvovibrio sp, Alteromonas sp (Mitchell 1992 ; Leonard et al. 2000)
32
Dalam proses oksidasi secara biologis, bahan organik dari limbah tambak yang terdiri dari komponen karbohidrat, protein, lemak dan lain-lain, akan mengalami pemecahan o!eh aktivitas mikroba (enzim) dan menghasilkan berbagai senyawa yang lebih sederhana. Proses ini berlangsung dalam beberapa tahap, karena tidak otomatis seluruh senyawa organik langsung dapat diubah menjadi bentuk yang sederhana. Fukuda (2000) menyatakan, reaksi oksidasi dari bakteri melalui respirasi endogenous akan berjalan dalam 3 tahapan reaksi, yakni : enzim 1) Oksidasi senyawa organik : 2) Sintesa materi sel : 3) Oksidasi materi sel :
(CH2O)m
CO2 + H2O enzim Sel + CO2 (CH2O)m + NH3 + O2 enzim Sel + O2 CO2 + H2O + NH3
Dalam respirasi tersebut, sintesa materi sel merupakan tahapan terpenting proses oksidasi senyawa organik karena mikroba melepaskan ion nitrat ke dalam air setelah mengoksidasi ion amonium. Persamaan (2) di atas merupakan kunci keberhasilan proses penguraian limbah organik secara biologis aerobik, karena ketersediaan bahan organik dan amonia akan menjadi faktor penentu perkembangan populasi mikroba pengurai (sintesa sel). Bila selama proses penguraian limbah organik tersebut terdapat nitrogen, maka akan dioksidasi menjadi nitrit dan akhimya membentuk produk nitrat yang mempunyai bentuk stabil dan tidak beracun (Nagata et al. 2003). Biodegradasi senyawa organik akan berlangsung berdasarkan sistem enzim, sehingga faktor-faktor lingkungan yang menyertainya berperan sangat penting di dalamnya. Faktor lingkungan penting yang mempengaruhi biodegradasi aerobik tersebut adalah ketersediaan nutrien (senyawa organik dan amonia), dan oksigen dalam media air (Brown 1990 ; Nagata et al. 2003). Selama sumber nutrisi cukup dan jumlah oksigen tidak berkurang, bakteri aerob akan berkembang populasinya dengan baik dan menghasilkan energi yang cukup untuk menguraikan senyawa organik. Aktivitas mikroba akan merata selama perbandingan jumlah nutrisi cukup. Kondisi ini terdapat dalam biodegradasi limbah tambak karena kaya bahan organik (Sitorus 2005).
33
Di samping faktor ketersediaan nutrien dan oksigen, faktor lingkungan lainnya yang cukup berpengaruh terhadap laju degradasi bahan organik limbah tambak adalah: suhu, pH, salinitas, dan alkalinitas air (Choo dan Tanaka 2000). Setiap jenis mikroba, baik itu bakteri, jamur, protozoa maupun mikro alga mempunyai kisaran optimum terhadap faktor lingkungan untuk pertumbuhannya. Misalnya, bakteri Nitrobacter berkembang dengan baik pada pH optimum 7,2 7,8 dan bila pH turun ( pH < 6) maka proses nitrifikasi akan terhambat (Mitchell 1992). Faktor lain yang mempengaruhi laju biodegradasi bahan organik adalah karakteristik mikroba pengurai dan jenis subsrat (limbah). Setiap jenis mikroba mempunyai laju yang berbeda dalam oksidasi senyawa organik, sintesa materi sel, dan laju oksidasi materi sel. Demikian juga jenis substrat, apakah didominasi bahan karbohidrat, protein atau lemak, akan sangat menentukan jenis bakteri yang berkembang dan kemampuannya untuk mengkonversi bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. 2.6. Kualitas Air Salah satu faktor yang berperan menentukan keberhasilah produksi udang budidaya adalah pengelolaan kualitas air, karena udang adalah hewan air yang segala kehidupan, kesehatan dan pertumbuhannya tergantung pada kualitas air sebagai media hidupnya (Tricahyo 1995). Kualitas air secara luas dapat diartikan sebagai setiap faktor fisik, kimiawi dan biologi yang mempengaruhi penggunaan air. Untuk keperluan budidaya udang kualitas air secara umum dapat diartikan sebagai setiap peubah (variabel) yang mempengaruhi pengelolaan dan kelangsungan hidup, kembang biak, pertumbuhan atau produksi. (Boyd1982) Pengukuran kualitas air selama pemeliharaan udang menurut Hendrajat dan Mangampa (2007) penting dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan salah satu parameter kualitas air. Dengan mengetahui gejala-gejala tersebut maka dapat diambil suatu tindakan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang kurang baik terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang yang dipelihara. Beberapa peubah kualitas air penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang di tambak
34
meliputi oksigen terlarut, salinitas, suhu, warna, pH, serta senyawa beracun seperti amoniak dan asam belerang yang berkaitan erat satu sama lain (Ahmad 1991). Suhu air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan, morfologi, reproduksi, tingkah laku, pergantian kulit dan metabolisme udang. Disamping itu suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas, kecepatan reaksi unsur dan senyawa yang terkandung dalam air. Udang vaname hidup pada toleransi suhu 16 – 36 0C dan optimal pada suhu 28 – 31 0C (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa temperatur optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 27 – 32 0C. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan udang vaname antara 26-32 0C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Temperatur optimal untuk udang vaname menurut Zweig et al. 1999 berkisar antara 28 – 30 0C. Menurut Boyd (1990) bahwa temperatur yang umum untuk spesies daerah tropik yang memberikan pertumbuhan optimal berkisar 29 – 30 0C, sedangkan suhu yang dapat menyebabkan pertumbuhan rendah < 26 – 28 0C dan batas tingkat lethal < 10 – 15 0C. Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan mati jika berada pada suhu dibawah 15 0C atau diatas 33 0C dalam waktu 24 jam atau lebih. Sub lethal stress terjadi pada 15 – 22 0C dan 30 – 33 0C. Temperatur optimum untuk udang vaname adalah antara 23 – 30 0C (Wyban dan Sweeny 1991; Soemardjati dan Suriawan 2007). Menurut Adiwijaya et al. (2003) bahwa kecerahan air yang baik pada petak pembesaran udang vannamei berkisar antara 40–60 cm, sedangkan Anonim (2003) mengemukakan bahwa kecerahan/ transparansi untuk budidaya udang vannamei berkisar 30 – 60 cm. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi serta ketelitian dalam melakukana pengukuran (Effendie 2000).
Poernomo (1989) mengemukkan
bahwa penyebab utama menurunnya daya cerah dan seringnya terjadi blooming karena makin suburnya dasar tambak akibat timbunan sisa-sisa makanan serta tinggi kepadatan plankton , batas kecerahan yang layak adalah antara 30 – 40 cm. batas kecerahan tersebut biasanya didominasi oleh kepadatan plankton jenis Chlorella (hijau) dan Diatomae (coklat) sehingga warna air berwarna coklat muda
35
(hijau kecoklatan). Menurut Suprapto (2005), kecerahan optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 30 – 40 cm. Bila kondisi tambak sudah siap, segera tambak diisi air sampai penuh (120 cm), jangan dilakukan secara bertahap untuk mencegah tumbuhnya klekap. Bray et al. (1994) menyatakan bahwa udang vanname dapat dipelihara di daerah perairan pantai (coastal) dengan kisaran salinitas 1-40 ppt. Udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15-25 ppt, bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 5 ppt masih layak untuk pertumbuhannya. (Samocha dan Lawrence 1993 ; Zweig 1999 ; Clifford 1994 ; Soemardjati dan Suriawan, 2007). Menurut Mc Grow dan Scarpa (2002) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran yang lebar dari 0,5 – 45 ppt. Sugama (2002) melaporkan bahwa kisaran salinitas selama pemeliharaan udang vannamei di tambak air tawar berkisar 1,2-5,0 ppt. Haliman dan Adijaya (2005) mengemukakan bahwa udang vanname memiliki sifat euryhalin. udang muda yang berumur 1–2 bulan memerlukan kadar garam 15–25 ppt agar pertumbuhannya dapat optimal, setelah umurnya lebih dari 2 bulan , pertumbuhan relatif baik pada kisaran salinitas 5 –30 ppt. Lebih lanjut dikatakan bahwa salinitas yang tinggi (diatas 40 ppt) sering terjadi pada musim kemarau menyebabkan pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Pada salinitas yang tinggi pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi. Kisaran salinitas optimal untuk udang vaname berkisar 15 – 30 ppt. Kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan/udang. Clifford (1998) melaporkan bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L. Menurut Anonim (2003) bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimal untuk budidaya udang vaname
harus > 4 mg/L dengan nilai
toleransi 0,8 mg/L. Sedangkan Suprapto (2005) berpendapat bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vaname > 3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/L. Adiwijaya et al. (2003) mengemukakan bahwa kisaran optimal oksigen terlarut selama masa pemeliharaan berkisar 3,5 – 7,5 mg/L. Sugama (2002) menambahkan bahwa kadar oksigen selama pemeliharaan udang vaname harus > 3,5 mg/L. Menurut Seidman
36
dan Lawrence (1985), diacu dalam CP.Prima (1993) bahwa oksigen terlarut yang rendah merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kelambatan pertumbuhan udang pada tambak intensif. Nilai DO (Dissolved oksigen) kritis untuk pertumbuhan Penaeus vannamei adalah 1,9 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005) menngemukakan bahwa tanda-tanda sederhana terjadinya kekurangan oksigen yaitu udang berenang dipermukaan air atau berkumpul disekitar inlet air tambak. Upaya untuk meningkatkan angka DO dilakukan dengan pemakaian kincir air. Nilai DO minimal pada malam hari dianjurkan tidak kurang dari 3 mg/L. Sedangkan untuk mengantisipasi oksigen yang terlalu tinggi akibat blooming plankton dilakukan dengan pergantian air (pengenceran) dan pengaturan jam operasional kincir air. Kebutuhan
oksigen
biokimia
(BOD)
menggambarkan
banyaknya
pemakaian oksigen oleh mikroba untuk merombak bahan organik didalam sampel air yang diinkubasi pada periode tertentu dengan temperatut tetap, misalnya BOD5 (dalam kondisi aerobik diinkubasi pada suhu 20 0C selama 5 hari) (Wardoyo 1994). Menurut Abel (1989), nilai BOD merupakan ukuran yang digunakan sebagai kandungan bahan organik diperairan dengan asumsi bahwa oksigen dikonsumsi oleh mikroorganisme selama masa penguraian bahan organik. Keberadaan BOD akan mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan karena proses oksidasi limbah organik, oksigen terlarut yang tersedia akan cepat dikonsumsi untuk proses metabolisme bakteri. Lee et al. (1978), diacu dalam Sudibyaningsih (1983) menggolongkan tingkat kualitas air berdasarkan nilai BOD5 yakni kisaran konsentrasi BOD5 < 2,9 mg/L tergolong kriteria kualitas air tidak tercemar, kisaran 3,0 – 4,9 mg/L tergolong tercemar ringan, kisaran 5,0 – 14,9 mg/L tergolong tercemar sedang dan konsentrasi > 15,0 mg/L tergolong tercemar berat. Standar pH untuk budidaya vaname yaitu 7,5 – 8,5 (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang optimal untuk budidaya vaname berkisar 7,3 – 8,5 dengan torelansi 6,5 – 9. Wyban dan Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intesif sebesar 7,4 – 8,9 dengan nilai optimum 8,0. Nilai pH air tambak bagi pertumbuhan udang berkisar antara 7,5 – 8,7 dengan batas optimum antara
37
8,0 – 8,5 (Poernomo 1989). Perairan dengan pH ekstrim dapat membuat udang tertekan , pelunakan karapaks, serta kelangsungan hidup rendah. Mortalitas tinggi pada udang terjadi pada pH perairan dibawah 6,0 sedangkan pada pH 3,0 dalam 20 jam terjadi kematian 100 % (Law 1988). Buwono (1993) menyatakan bahwa pengaruh langsung dari pH rendah menyebabkan kulit udang keropos dan selalu lembek karena tidak dapat membentuk kulit baru. Selanjutnya dikatakan bahwa pH 6,4 dapat menurunkan laju pertumbuhan sebesar 60 %. Sebaliknya pH tinggi 9,0-9,5 menyebabkan peningkatan kadar amoniak sehingga secara tidak langsung membahayakan udang. Kondisi pH tinggi kadang-kadang terjadi di tambak pada siang hari dan dapat menyebabkan blooming plankton. Standar kadar amoniak
untuk budidaya udang vaname < 0,1 mg/L
(Anonim 2003). Sedangkan menurut Samocha dan Lawrence (1993) bahwa kandungan amonia untuk juvenil udang vaname berkisar antara 0,4 – 2,31 mg/L. Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amoniak untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam, salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L. Boyd dan Fast (1992) mengatakan bahwa konsentrasi NH3 lebih dari 1,0 mg/L dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada konsentrasi lebih dari 0,1 mg/L dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan udang. Wyk et al. (1999) mengemukakan bahwa konsentrasi LC50 dari NH3 adalah sekitar 0,2 mg/L untuk post larva dan 0,95 mg/L untuk udang yang berukuran 4,87 gram. Kesehatan dan pertumbuhan udang tidak terpengaruh pada konsentrasi amonia kurang dari 0,03 mg/L. Walaupun begitu, pemaparan intensif dari konsentrasi sublethal ini akan berdampak buruk terhadap udang. Laju pertumbuhan akan turun dan FCR akan meningkat. Menurut Poernomo (1988) pengaruh langsung dari kadar amonia yang tinggi tapi belum mematikan adalah rusaknya jaringan insang. Lembaran insang akan membengkak (hiperplasia) sehingga fungsi insang sebagai alat pernapasan akan terganggu dalam hal pengikatan oksigen dari air. Level amonia yang tinggi diperairan juga dapat meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah sehingga mengurangi afinitas pigmen darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen. Selain itu tingginya kadar amonia juga dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap penyakit.
38
Nitrit diperoleh dari hasil perombakan amonia oleh bakteri aerob Nitrosomonas menjadi NO2- dan seterusnya menjadi NO3- oleh bakteri Nitrobacter didalam proses nitrifikasi dan antara nitrat dan gas nitrogen dalam proses denitrifikasi.
Menurut Suprapto (2005), kandungan nitrit yang dapat
diltoleransi oleh udang vaname berkisar 0,1–1 mg/L. Adiwijaya et al. (2003) berpendapat bahwa kisaran optimal nitrit untuk budidaya vaname yakni 0,01-0,05 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005), kandungan nitrit yang baik untuk kehidupan udang vaname adalah ≤ 0,1 mg/L.
Clifford (1994) mengemukakan bahwa
kandungan nitrit yang optimal untuk budidaya udang vaname < 1.0 mg/L. Menurut Clifford (1994) bahwa konsentrasi nitrat yang optimal untuk udang vaname berkisar 0,4-0,8 mg/L.
Anonim (1988), diacu dalam Musafir
(1999), kandungan nitrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan algae diperairan adalah 0,2-0,9 mg/L dan optimal pada kisaran 0,1-4,5 mg/L. Menurut Sumawidjaya (1997), kandungan nitrat dalam perairan berasal dari beberapa faktor seperti gerakan air, oksidasi, reduksi, asimilasi serta dekomposisi bahan organik. Selanjutnya dikatakan bahwa kadar nitrat yang ideal untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 2 – 3,5 mg/L. Menurut Boyd (1990), kandungan bahan organik terlarut suatu perairan normal adalah maksimum 15 mg/L, apabila kandungan bahan organik terlarut tinggi maka dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga menurunkan daya tahan udang.
Sedangkan menurut Adiwijaya et al. (2003)
bahwa kisaran optimal bahan organik pada budidaya udang vaname < 55 mg/L Meagung (2000) menyatakan bahwa proses penguraian bahan organik yang terlarut dalam air dapat menghabiskan oksigen dalam air. Kondisi ini akan menghasilkan senyawa tereduksi seperti CH4, H2S, NH3 dan senyawa tereduksi lainnya. Proses penguraian ini akan berjalan lancar dengan ketersediaan oksigen terlarut yang cukup.
39
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, di Desa Punaga, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2008. 3.2. Bahan dan Alat Bahan dan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : a) Petak tambak sebanyak 2 petak yang berukuran ± 4000 m2 b) Benih dan pakan udang serta sarana produksi lainnya, serta c) Alat pengambilan contoh dan pengumpul data (Tabel 3). Tabel 3. Alat pengambilan contoh dan pengumpulan data Parameter A. AIR Suhu Kecerahan Kedalaman Padatan tersuspensi total Salinitas pH Oksigen terlarut Bahan organik total BOD5 Amonia Nitrit Nitrat B. SEDIMEN/TANAH pH Potensial redoks Bahan organik total Tekstur Konsm. oksigen sedimen Laju sedimentasi C. BIOTA Total Bakteri Bobot Udang
Satuan 0
C cm cm mg/L ppt mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
mV % mgO2/m2/j g/m2/hari cfu/g g
Alat/Metode
Lokasi
Termometer Keping secchi Tongkat penduga/berskala Penyaringan,gravimetrik Refraktometer pH-meter DO-meter Permanganat, titrimetrik Inkubasi 200C, titrimetrik Spektrofotometer,phenat Spektrofotometer, sufanilik Spektrofotometer,brucin
Insitu Insitu Insitu Lab Insitu Insitu Insitu Lab Lab Lab Lab Lab
Potensiometrik elektroda Redox probe (Inode electro) Permanganat, titrimetrik Metodeboyoucus hydrometer TPSTM WP-82 DO meters Sedimen trap
Insitu Insitu Lab Lab Insitu Insitu
Media agar TSA Timbangan elektrik
Lab Insitu
40
3.3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan dasain kausal dengan metode deskriptif yang bersifat ex post-facto atau kajian fenomena alami yang mempelajari proses-proses yang terjadi ditambak sesuai dengan kondisi yang ada dengan mengobservasi kegiatan
budidaya udang vaname secara intensif pada 2 petak tambak yang
terkendali selama ± 100 hari. Kegiatan pengelolaan tambak dilakukan sesuai dengan prosedur operasional baku atau SOP (standard operational procedure) dari BRPBAP-Maros. Kehomogenan antara satuan percobaan didekati dengan penyeragaman pengelolaan: preparasi/persiapan tambak, pengelolaan benih udang (kesamaan asal benih,kriteria pemilihan benih, padat tebar, perlakuan dan cara tebar benih), pengelolaan pakan (ukuran, jumlah, frekuensi dan cara pemberian pakan selama pemeliharaan) serta pengelolaan air (pergantian air, aerasi ketinggian air dan perlakuan air). 3.3.1. Penentuan Titik Amatan (Sampling) Sampel air dan sedimen diambil secara langsung di lokasi tambak udang. Sampel diambil sebanyak 3 titik pada masing-masing petak yakni pada bagian dekat sudut tambak, bagian sisi tambak yang terdapat sirkulasi air aktif serta bagian tengah tambak (Gambar 1). Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 8 kali dengan interval waktu setiap 2 minggu sekali selama pemeliharaan udang vaname. 3.3.2. Pengambilan contoh air dan sedimen pada tambak udang Sampel air diambil pada permukaan tambak dibagian yang sama dengan pengambilan sampel sedimen. Contoh air diambil dengan menggunakan botol sampel steril volume 500 mL sampai penuh. Parameter fisika kimia air yang diamati meliputi suhu, kecerahan, kedalaman air, padatan tersuspensi total, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, bahan organik total dan BOD5. Contoh sedimen diambil dengan menggunakan sedimen core diameter 8,5 cm, panjang >100 cm dan diberi tutup disalah satu sisi lubangnya (dop) agar sedimen tidak keluar. Sedimen diambil dari bagian permukaan dasar sampai pada kedalaman 5 cm. Contoh sedimen tersebut dimasukkan dalam plastik klip.
41
Parameter kualitas sedimen yang diukur adalah pH, redoks potensial, bahan organik total dan tekstur sedimen. Contoh air dan sedimen lalu disimpan dalam cool box yang telah diberi es sebelumnya. Sampel tersebut selanjutnya dianalisa di Laboratorium Kualitas Air dan Tanah, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan.
Kincir
Inlet
Titik sampling
Outlet
Gambar 1. Skema titik pengambilan contoh air dan sedimen
8,5 cm
> 100 cm 5 cm
Gambar 2. Alat pengambilan contoh sedimen (Sediment core) di tambak udang
42
3.3.3. Pengambilan contoh bakteri pada tambak udang Pengambilan contoh bakteri pada air dan sedimen dilakukan sesuai tempat pengukuran konsumsi oksigen pada sedimen. Contoh bakteri di air diambil dengan menggunakan botol sampel steril volume 50 mL dan diisi sampai penuh, sedangkan untuk contoh bakteri di sedimen diambil dengan menggunakan spatula steril yang telah dibersihkan dengan kapas dan alkohol, lalu sampel sedimen diambil sekitar 3 – 5 gr lalu dimasukkan ke dalam botol steril. Contoh bakteri dari air dan sedimen disimpan dalam cool box yang telah diberi es sebelumnya. Sampel tersebut selanjutnya dianalisa di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan. Sampel Air diencerkan secara seri (sampai 10-2), sedangkan sampel sedimen diencerkan secara seri (sampai 10-4), dari setiap pengenceran diambil 100 μL (1 ml) dan disebar pada media Triptic Soy Agar (TSA) dalam cawan petri, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24 – 48 jam. Koloni bakteri yang tumbuh selanjutnya dikarakterisasi secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, elevasi, dan ukuran koloni bakteri yang terbentuk serta dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri yang tumbuh dengan metode Total Plate Count (TPC) (Prescot et al. 2002, diacu dalam Muliani et al. 2006). 3.3.4. Konsumsi oksigen sedimen tambak Pendugaan tingkat konsumsi oksigen sedimen tambak dilakukan berdasarkan metode Boyd (1995), Alongi et al. (2005) dan Almadi (2006) dengan menggunakan 3 buah alat bantu chamber / bentik jar yakni alat yang terbuat dari kaca volume 1 L. Sebanyak ± 200 gram sampel sedimen dasar tambak diambil dan dimasukkan ke dalam jar tersebut, sedangkan chamber/ jar yang lain tanpa sedimen, kemudian keseluruhan chamber / bentik jar diinkubasikan selama 1 jam dalam wadah yang menggunakan air tambak. Oksigen terlarut diukur dengan alat pengukur O2 (TPSTM Model WP-82 DO meters). Data laju respirasi selama proses inkubasi diperoleh dari data loger yang merekam dinamika kandungan oksigen terlarut diukur setiap lima menit. Pada prinsipnya pengukuran ini menggunakan media air untuk mengetahui oksigen yang dikonsumsi/digunakan oleh sedimen (substrat) dasar tambak dengan mengurangkan oksigen terlarut awal dan akhir
43
setelah diinkubasi selama 1 jam. Data tersebut menunjukkan total konsumsi oksigen dari sedimen. Tingkat konsumsi oksigen pada sedimen (SOD) diukur menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Nolan dan Johnson (1979) dan Boyd (1995) yaitu : SOD mg O2/m2/jam = (DOI – DOF)SC – (DOi – DOf)CC . V ( SA)
(t)
Keterangan : DOI DOF Doi Dof SC CC V SA t
= Konsentrasi oksigen terlarut awal (mg/L) jar bersedimen = Konsentrasi oksigen terlarut akhir (mg/L) jar bersedimen = Konsentrasi oksigen terlarut awal (mg/L) jar tanpa sedimen = Konsentrasi oksigen terlarut akhir (mg/L) jar tanpa sedimen = Jar/chamber yang bersedimen = Jar/chamber tanpa sedimen = Volume air dalam tabung/jar = Luasan sedimen yang diukur = Waktu/jam
3.3.5. Laju sedimentasi : Pengukuran laju sedimentasi di dasar tambak dilakukan dengan memasang perangkap sedimen yang terbuat dari pipa paralon berukuran 3 inchi sepanjang 45 cm, dipasang sebanyak 5 titik untuk setiap petaknya. Koleksi sedimen dilakukan setiap bulan sekali. Sample sedimen dikeringkan, kemudian dianalisis kadar air dan ditimbang bobotnya.
Laju sedimentasi dihitung sesuai persamaan yang
dikemukakan oleh Rachmansyah et al. (2004) sebagai berikut : Laju sedimentasi (g m-2 hr-1) = Wsd / Ap t Keterangan Wsd Ap t
: = bobot kering sedimen dalam (g) = luas penampang paralon ( m2) = periode koleksi sedimen dalam (hari)
44
3.3.6. Pertumbuhan Mutlak dan Laju Pertumbuhan Spesifik Harian Pertumbuhan mutlak hewan uji dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979) sebagai berikut : G Keterangan
= Wt - Wo :
G
= Pertumbuhan mutlak uji (g)
Wt
= Berat rata-rata pada akhir penelitian (g)
Wo
= Berat rata-rata pada awal penelitian (g)
Laju pertumbuhan harian spesifik hewan uji dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979) sebagai berikut : Ln Wt – Ln Wo SGR =
x 100 % t
Keterangan
:
SGR
= Laju pertumbuhan harian spesifik (%)
Wt
= Berat rata-rata pada waktu t (g)
Wo
= Berat rata-rata awal penelitian (g)
t
= Lama Penelitian (hari)
3.3.7 Tingkat Kelangsungan Hidup (Sintasan) Tingkat kelangsungan hidup pada hewan uji dapat diketahui dengan menggunakan rumus Effendie (1979) sebagai berikut : Nt SR =
X 100 % No
Keterangan
:
SR
= Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Nt
= Jumlah hewan uji pada akhir penelitian (ekor)
No
= Jumlah hewan uji yang ditebar (ekor)
45
3.3.8 Produksi Bersih Produksi bersih pada hewn uji
dapat diketahui dengan menggunakan
rumus Effendie (1979) sebagai berikut : P =
Wt . Nt
-
Wo . No
Keterangan : P
=
Produksi Bersih (g)
Wo =
Berat awal rata-rata individu (g)
Wt =
Berat akhir rata-rata individu (g)
No =
Jumlah Awal (ekor)
Nt
Jumlah akhir (ekor)
=
3.3.9. Rasio Konversi Pakan Rasio konversi pakan (FCR) merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang diberikan terhadap pertambahan biomassa udang pada periode tertentu (NRC 1977, diacu dalam Budiardi 2007) dengan rumus : FCR = F / ΔB Keterangan : FCR = Rasio konversi pakan F
= Jumlah pakan yang diberikan selama waktu tertentu (kg)
ΔB
= Pertambahan biomassa udang (kg)
46
3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Deskriptif Analisis deksriptif digunakan untuk menggambarkan /menjelaskan kondisi fluktuasi kualitas air, populasi bakteri sedimen, laju sedimentasi dalam tambak, pertumbuhan, sintasan, FCR serta produksi udang selama masa pemeliharaan udang vaname yang disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. 3.4.2.Analisis regresi dan korelasi Untuk mengetahui hubungan fungsional antar variabel dengan tingkat konsumsi oksigen sedimen, maka dilakukan analisis keeratan hubungan dalam bentuk model regresi berganda. Persamaan regresi adalah persamaan matematik yang memungkinkan kita meramalkan nilai-nilai suatu peubah tak bebas dari nilai-nilai satu atau lebih peubah bebas. Regresi berganda adalah persamaan regresi dengan satu
peubah tak bebas (Y) dengan lebih dari satu peubah bebas (X1, X2, ..., Xp )(Mattjik dan Sumertajaya 2002; Iriawan dan Astuti 2006). Regresi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk melihat pola hubungan antara konsumsi oksigen sedimen dengan varibel yang lain seperti bahan organik total, total bakteri, redoks potensial dan pH tanah. Sedangkan korelasi yakni dengan melihat derajat ketergantungan dalam hubungan antar variabel dengan menggunakan koefisien korelasi.
Analisis dilakukan dengan
bantuan perangkat lunak SPSS dan MINITAB versi 14.0. Secara matematis, model regresi berganda tersebut dapat disajikan sebagai berikut : Yi = β0 + β1 X1i + β2 X2i + β3 X3i + β4 X4i + β5 X45 + εi Keterangan : Yi
= Kebutuhan konsumsi oksigen sedimen tambak
Xi
= Variabel-variebel yang diambil yakni bahan organik total (X1), total bakteri (X2), redoks potensial (X3), pH tanah (X4), dan umur (X5) sebagai peubah bebas.
β0
= Intersep
β1 ... n = Koefisien regresi untuk peubah bebas Xi yang diperoleh dari pengamatan satuan percobaan ke-i. εi
=
Nilai kesalahan / error
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian merupakan bagian dari unit Instalasi tambak Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau yang termasuk
dalam wilayah Desa Punaga,
Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, 0
’
’’
0
’
pada posisi 05 .33 .11.1 - 05 .33 .12.7
’’
Provinsi Sulawesi Selatan
Lintang Selatan dan 1190.25’.16.7’’
1190.25’.19.4’’ Bujur Timur. Lokasi tersebut berjarak ± 65 km kearah Selatan dari kota Makassar yang dapat ditempuh dengan kendaraan selama 1,5 jam perjalanan. Wilayah pertambakan ini memiliki luas lahan ± 11,68 ha dan sekitar 70 % dari lahan tersebut digunakan untuk petak-petak tambak sedangkan sisanya digunakan untuk fasilitas penunjang. Jumlah seluruh tambak sebanyak 16 petak dengan luas berkisar 2.500 – 5.000 m2, yang sebagian besar berbentuk empat persegi panjang dan beberapa petak yang trapesium. Letak lokasi tambak penelitian berada disekitar areal persawahan, pemukiman penduduk dan berbatasan langsung dengan tepi pantai. Topografi atau tinggi rendahnya lokasi tambak melandai kearah laut sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi air terlaksana dengan baik dan lancar. Sumber air asin berasal dari Selat Makassar yang disedot menggunakan pompa dan pipa berukuran 10 inchi sejauh ± 70 meter dan dialirkan ke petak-petak tambak melalui saluran air dengan pompanisasi sedangkan sumber air tawar diperoleh hanya berasal dari air hujan saat pemeliharaan udang berlangsung. Sistem irigasi tambak pada lokasi penelitian telah memenuhi persyaratan teknis karena dilengkapi dengan saluran pemasukan yang berada diatas pematang tambak dan saluran pembuangan sehingga memudahkan di dalam pengelolaan air. 4.2. Parameter Utama 4.2.1. Tekstur Tanah Tekstur adalah salah satu sifat fisik tanah yang memberikan gambaran tentang ukuran partikel penyusun tubuh tanah yang dominan yang dinyatakan dalam perbandingan relatif antara proporsi ukuran dari fraksi atau partikel penyusun fase padat tanah dengan berat tanah yang dinyatakan dalam kelas tekstur tanah (Subroto 2003).
Tekstur tanah sangat penting untuk diketahui
48
karena dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan tingkat stabilitas tanah, tingkat pergerakan air tanah, tingkat difusi gas ke udara atau sebaliknya, tingkat aktivitas mikroorganisme maupun flora fauna tanah dan jumlah bahan organik (Hanafiah 2005). Hasil pengukuran tekstur tanah pada tambak penelitian (Gambar.3), menunjukkan bahwa kedua tambak tersebut bertekstur lempung berpasir dengan fraksi sebagai berikut: tambak A terdiri atas pasir 58 %, liat 18 % dan debu 24 %, sedangkan tambak B terdiri atas pasir 62 %, liat 16 % dan debu 22 %. Debu 22%
Debu 24%
Pasir 58%
Liat 18%
Tambak A
Liat 16%
Pasir 62%
Tambak B
Gambar 3. Persentase fraksi tekstur tanah pada tambak penelitian Berdasarkan tekstur tanah pada wilayah penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah tersebut layak untuk dijadikan tambak udang intensif. Hal ini sesuai dengan pendapat Poernomo (1996) bahwa persyaratan tanah khususnya tekstur tanah menentukan kalayakan tanah tersebut untuk dijadikan tambak udang intensif. Daya dukung lahan untuk pertambakan tinggi bila tekstur tanahnya terdiri dari liat berpasir, lempung berpasir, lempung berdebu dan lempung liat berpasir. Selanjutnya Poernomo(1989), diacu dalam Bitner (1989) mengemukakan bahwa untuk budidaya udang intensif tekstur tanah yang baik adalah lempung berpasir dengan kandungan liat 0 – 20 %, debu 10 – 50 % dan pasir 50 – 70 %.
49
4.2.2. Bahan Organik Hasil pengukuran kandungan bahan organik total tanah tambak berkisar antara 0,9062 – 2,9578 % dengan rata-rata 1,8340 %. Rata-rata kandungan bahan organik tanah tambak tersebut tergolong rendah sesuai dengan kriteria Hanafi (1986), meskipun secara umum cenderung terjadi peningkatan kandungan bahan organik sejalan dengan umur pemeliharaan udang (Gambar 4). Menurut Boyd (1992) bahan organik yang terakumulasi berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan.
Bahan Organik Total (%)
6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 4. Kandungan bahan organik total (%) sedimen tambak udang vaname selama penelitian Rendahnya kandungan bahan organik total pada tambak penelitian berhubungan dengan jenis tekstur tanah tambak dilokasi tersebut yang cenderung berpasir.
Dimana pada sedimen tambak yang bertekstur kasar atau berpasir
kandungan bahan organiknya lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap. Hal ini sesuai dengan pendapat Wood (1987) bahwa terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar, hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan, selain itu pada sedimen yang halus terjadi gaya tarik menarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral, pengikatan
50
oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme. Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah, karena partikel yang lebih halus tidak mengendap. Sementara Foth (1984), diacu dalam Meagaung (2000) mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan suatu korelasi antara kandungan liat dan kandungan bahan organik tanah. Makin tinggi jumlah liat maka makin tinggi pula bahan organik dan kandungan N tanah. Lebih lanjut Meagaung (2000) berpendapat bahwa pada sedimen yang sedikit mengandung bahan organik akan berpeluang lebih besar untuk menampung dan menguraikan yang terakumulasi selama masa pemeliharaan jika dibandingkan dengan sedimen yang mengandung bahan organik tinggi. Peterson dan Daniels (1992) melaporkan bahwa pada tambak yang baru dibuka diperoleh kandungan bahan organik yang rendah yaitu 1,26 %. Sedang menurut Monoarfa dan Hanafi (1998) pada tambak budidaya udang intensif bukaan baru mengandung 0,49 – 1,10 % bahan organik dan meningkat menjadi 4,77 – 13,24 % setelah beberapa kali siklus pemeliharaan.
Boyd (1992)
melaporkan bahwa pada tambak semi intensif dan intensif di Ecuador, Colombia, Thailand dan Philipina mengandung bahan organik total berkisar antara 0,24 9,50 % dengan rata-rata 1,86 %. Budiardi (1998) memperoleh kandungan bahan organik tanah dari 6 petak tambak penelitian meningkat dari 1,306 % menjadi 1,685 % dengan laju akumulasi berkisar antara 0,024 – 0,964 % dengan rata-rata 0,379 % selama 3 bulan pemeliharaan. Perbedaan kandungan bahan organik tanah ini sangat ditentukan oleh keberhasilan pengelolaan pakan dan lingkungan tambak serta kecepatan degradasi bahan organik. Bahan organik akan terakumulasi menurut waktu yang kerapatannya antara lain dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan, pengelolaan serta kecepatan degradasi bahan organik (Budiardi 1998). Usaha perbaikan mutu lingkungan habitat udang yang disebabkan oleh akumulasi bahan organik dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologi. Secara fisik antara lain mempertahankan limbah tetap berada dalam kondisi tersuspensi (tidak tersedimentasi) dengan menggunakan kincir dan membuang limbah tersuspensi ke luar tambak dengan pergantian air harian (Harris 1996). Dengan sistem sifon yang menggunakan pompa, lumpur dibuang keluar tambak, sistem pembuangan tengah (central
51
drainage), sistem tandon dan pengangkatan /pengerukan lumpur bagian atas. Selain itu digunakan pula sistem biologi melalui pemanfaatan berbagai bakteri komersial pengurai bahan organik tanah dan perbaikan kimia melalui pengapuran (Boyd 1992). 4.2.3. Potensial Redoks Potensial redoks merupakan suatu besaran potensial listrik yang dapat menunjukkan proses dekomposisi bahan organik dalam sedimen berlangsung dalam keadaan reduksi atau oksidasi.
Potensial redoks tanah selama penelitian
berkisar antara -157 sampai +146 mV. Selama budidaya udang vannamei terjadi penurunan potensial redoks sejalan dengan lama waktu pemeliharaan (Gambar 5). Makin lama umur pemeliharaan, potensial redoks juga semakin rendah. Penurunan potensial redoks ke arah negatif mulai terlihat pada bulan ketiga pemeliharaan atau sekitar hari ke 70 pemeliharaan udang.
Hal yang sama
diperoleh Budiardi (1998) dan Meagaung (2000), yakni potensial redoks tanah menurun mulai hari ke-40 dan ke-60 umur pemeliharaan udang.
Hal ini
disebabkan karena penguraian bahan organik setelah penggenangan memerlukan banyak oksigen. Penguraian bahan organik sampai batas tertentu yaitu pada saat pasokan oksigen lebih kecil dari pada yang diperlukan, akan menciptakan kondisi yang reduktif.
Potensial Redoks (mV)
200 150 100 50 0 -50
0
2
4
6
8
10
12
14
-100 -150 -200
Lama Pemeliharaaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 5. Perubahan potensial redoks sedimen tambak (mV) selama penelitian
52
Hasil pengukuran potensial redoks pada bulan pertama dan kedua pemeliharaan udang cenderung positif atau oksidasi.
Keadaan oksidasi ini
mencerminkan bahwa reaksi kimia yang terjadi pada tanah mengalami pengurangan elektron akibat penambahan oksigen atau proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme dilakukan pada suasana aerob. Setelah memasuki bulan ketiga hingga akhir pemeliharaan udang potensial redoks tanah terlihat cenderung negatif atau kondisi reduktif. Keadaan reduksi ini mencerminkan bahwa reaksi kimia yang terjadi pada tanah mengalami penambahan elektron akibat pengurangan atau tanpa oksigen (anaerob). Hal ini sesuai dengan pendapat Abdunnur et al. (2004) bahwa proses dekomposisi bahan organik dapat terjadi baik dalam kondisi reduksi maupun oksidasi. Lebih lanjut Golterman (1990) mengemukakan bahwa salah satu metode untuk melihat proses dekomposisi bahan-bahan organik dalam sedimen adalah dengan melihat zona reduksi atau oksidasi. Oksidasi adalah proses kehilangan elektron dari suatu persenyawaan kimia, dari substansi atau dari atom dan radikalnya, sedangkan reduksi adalah penambahan elektron pada persenyawaan kimia. Pada perairan yang belum tercemar dan cukup bahan organik, zona oksidasi relatif lebih tebal. Sedangkan pada perairan yang kurang oksigen, zona oksidasi ini hanya beberapa sentimeter saja dari permukaan sedimen dan selanjutnya zona reduksi. Selama pemeliharaan udang bahan organik yang terakumulasi didasar tambak berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Peristiwa tersebut diikuti dengan penurunan potensial redoks tanah dan penurunan oksigen terlarut. oksigen banyak dipakai
Penurunan oksigen ini disebabkan karena
untuk respirasi udang yang terus meningkat
biomassanya, penguraian bahan organik serta untuk mengoksidasi bahan-bahan yang lain. Kandungan oksigen dalam sedimen berpengaruh besar terhadap nilai redoks potensial dan pH sedimen selain itu dapat pula dijadikan sebagai kontrol reaksi kimia ion-ion antar air dan sedimen. Banyaknya bahan organik, jumlah bakteri yang hidup dalam substrat dan kurangnya sirkulasi air menyebabkan kadar oksigen dalam substrat menurun. Keadaan ini dapat mengubah kondisi substrat kedalam lingkungan reduksi (Emiyarti 2004).
53
4.2.4. Nilai pH Tanah Nilai pH dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Nilai pH tanah tambak penelitian berkisar antara 6,90 – 7,70. Menurut Boyd (1992), pH tanah mempengaruhi kecepatan penguraian bahan organik di dasar tambak. Potter (1976), diacu dalam Meagaung (2000) mengemukakan bahwa ditinjau dari ketersediaan hara, maka pH tanah dasar tambak yang baik adalah 6,5 – 8,0. Maswardi et al. (2003), nilai pH yang baik untuk budidaya di tambak berkisar antara 6 – 8. Budiardi (1998) memperoleh nilai pH tanah pada 8 petak tambak udang intensif di Karawang, Jawa Barat berkisar antara 5,2 – 7,0 dengan rata-rata 6,4. Sementara Meagaung (2000) memperoleh hasil pengukuran nilai pH tanah pada 50 petak tambak Intensif di Sulawesi Selatan berkisar antara 6,11 – 7,11 dengan rata-rata 6,68. Berdasarkan hal tersebut maka nilai pH tanah tambak penelitian cukup optimal dan layak untuk budidaya udang intensif. Perubahan pH tanah dari awal sampai dengan akhir pemeliharaan udang relatif kecil dan cenderung menurun dengan bertambahnya umur pemeliharaan. (Gambar 6). Penurunan pH ini terjadi akibat adanya penguraian atau dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme karena dalam prosesnya melepaskan CO2 yang dapat menurunkan konsentrasi oksigen dan pH tanah. 8 7,8
Nilai pH
7,6 7,4 7,2 7 6,8 6,6 6,4 6,2 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 6. Perubahan Nilai pH sedimen tambak selama penelitian Reaksi tanah merupakan faktor lingkungan yang sangat nyata berpengaruh terhadap peningkatan kandungan bahan organik total tanah dasar tambak udang intensif (Meagaung 2000). Reaksi tanah rendah akan meningkatkan kandungan
54
bahan organik total tanah. Hal ini disebabkan karena pH tanah berpengaruh secara langsung dengan aktivitas mikroorganisme tanah untuk melalkukan proses penguraian bahan organik tanah (Boyd 1992). Umumnya mikroorganisme tanah melakukan penguraian bahan organik secara optimal pada pH tanah 7,5 – 8,5. Bila pH tanah rendah maka aktivitas mikroorganisme tanah untuk melakukan penguraian bahan organik akan terhambat sehingga menyebabkan akumulasi bahan organik didasar tambak. 4.2.4. Total Bakteri Sedimen Tambak Jumlah total populasi koloni bakteri yang didapatkan pada sedimen dasar tambak dilokasi penelitian berkisar antara 2,02 x 105 hingga 2,37 x 109, dengan rata-rata 5,68 x 107 koloni per gram tanah. Sementara jumlah total populasi koloni bakteri yang didapatkan pada kolom air berkisar antara 1,0 x 105 hingga 7,06 x 107 koloni/mL, dengan rata-rata 4,99 x 106 koloni/mL. Menurut Pantjara et al. (1997) mendapatkan populasi bakteri pada tanah gambut berkisar 4,7 x 102 - 2,0 x 108 CFU/g tanah kering. Mustafa (1997) menggunakan bakteri Pseudomonas putida untuk menurunkan bahan organik dengan kepadatan 107 CFU/g tanah untuk tanah mineral dan 106 CFU/g tanah untuk tanah gambut. Meagaung (2000) mendapatkan jumlah total populasi koloni bakteri pada sedimen dasar di 50 tambak intensif di Sulawesi Selatan berkisar antara 2,3 x 105 hingga 1,5 x 108, dengan rata-rata 2,6 x 107 CFU/ g tanah. Komposisi genus bakteri yang dominan terdapat pada sedimen tambak udang intensif adalah Pseudomonas 33,1%, Bacillus 29,69 %, Actynomyces 23,63 %, Enterobacteriaceae 12,44 % dan Vibrio 0,8 %. Moriaty (1986), diacu dalam Avnimelech dan Rivto (2003) mendapatkan jumlah bakteri pada sedimen tambak udang yang menggunakan pupuk kandang (kotoran ayam) sebesar 4 x 1013 bakteri/m2, yang jumlahnya 2 – 3 kali jumlah bakteri yang terdapat dalam kolom air. Bufford et al. (1998) melaporkan jumlah bakteri sebanyak 15,5 x 109 sel/g tanah pada bagian tengah/pusat tambak udang dimana kotoran/lumpur terakumulasi dan pada bagian tepi /periphery ditemukan sebanyak 8,1 x 109 sel/g tanah. Dan dari penelitian ini ditemukan bahwa jumlah bakteri meningkat dengan peningkatan konsentrasi nutrien dan dengan ukuran butir sedimen yang lebih kecil.
Log Total Populasi Bakteri Sedimen (cfu/g)
55
11,0 10,0 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 7. Total populasi bakteri (cfu/g) sedimen tambak udang vaname selama penelitian Jumlah populasi bakteri lebih banyak ditemukan pada sedimen dasar tambak dibandingkan pada air tambak. Hal ini disebabkan karena terjadinya akumulasi bahan organik (sisa pakan, feses, organisme yang mati dan lain-lain) pada dasar tambak.
Menurut Avnimelech dan Rivto (2003) bahwa Sedimen
tambak kaya akan nutrien dan bahan organik. Konsentrasi nutrien disedimen tambak jauh lebih tinggi dari yang ada di badan air diperkirakan 1 cm ketebalan sedimen tambak umumnya terdapat 10 kali atau lebih jumlah nutrien yang ada pada 1 m kedalaman badan air. Bahan organik yang melimpah di sedimen tambak, menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme sangat pesat, sehingga konsumsi oksigen di sedimen tambak menjadi banyak dan dapat mengakibatkan daerah dasar tambak di bawah permukaan menjadi daerah anoksid (tidak beroksigen).
Ram et al. (1982) mendapatkan kepadatan bakteri aerob dan
anaerob pada sedimen dasar tambak 2 – 4 kali kepadatan bakteri dari kelompok yang sama dalam kolom air. Ginting (1995) mengemukakan bahwa jumlah bakteri Vibrio sp yang ditemukan pada sedimen tambak lebih besar dibandingkan yang terdapat pada kolom air. 4.2.5. Laju Sedimentasi Pengukuran laju sedimentasi pada tambak intensif udang vaname bertujuan untuk mendapatkan data mengenai limbah sedimen yang berasal dari sisa pakan , hasil metabolisme udang vaname dan partikel lain yang mengendap di
56
dasar tambak menggunakan perangkap sedimen (sedimen trap). Hasil pengukuran laju sedimentasi pada tambak intesif udang vaname terlihat mengalami peningkatan seiring dengan waktu pemeliharaan udang (Gambar 8). Pada bulan pertama pemeliharaan laju sedimentasi rata-rata yang diperoleh sebesar 0,26 g/m2/hari, kemudian pada bulan kedua pemeliharaan meningkat menjadi 0,40 g/m2/hari, pada bulan ketiga pemeliharaan sebesar 1,86 g/m2/hari dan memasuki bulan keempat atau periode akhir pemeliharaan mencapai 5,55 g/m2/hari. Semakin lama waktu pemeliharaan, maka laju sedimentasi semakin cepat demikian pula jumlah sedimen yang terakumulasi di dasar tambak juga semakin besar. Menurut Boyd (1992), bahan organik yang terakumulasi berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Pada akhir pemeliharaan diperoleh ketebalan bahan organik 6,4 – 8,5 cm. Cholik dan Poernomo (1988) mengemukakan bahwa seiring dengan pertumbuhan udang, maka jumlah pakan akan semakin bertambah sehingga sisa pakan hasil metabolisme udang juga akan bertambah. Beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya udang semakin meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat penurunan kualitas media budidaya (Rosenbery 2006). Tanpa adanya penanganan khusus tentang hal ini akan berdampak pada penurunan hasil produksi akibat pertumbuhan yang lambat, peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan menurunnya efisiensi konversi
Laju sedimentasi (g/m 2/hari)
pakan (Brune et al. 2003). 7 6
5,55
5 4 3
1,86
2 1
0,26
0,40
0 1
2
3
4
Lama Pemeliharaan (Bulan Ke-) Rerata
Tambak A
Tambak B
Gambar 8. Laju sedimentasi (g/m2/hari) pada tambak udang vaname selama Penelitian.
57
Laju sedimentasi yag diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibanding dengan hasil yang dilaporkan oleh Fahrur dan Yulianingsih (2006) yang mendapatkan laju sedimentasi dalam tambak intensif udang vaname pada kepadatan udang 54 ekor/m2 berkisar antara 117,26 – 299,24 g/m2/hari, kepadatan 58 ekor/m2 sebesar 115,74 – 358,63 g/m2/hari, dan pada kepadatan104 ekor/m2 didapatkan laju sedimentasi berkisar 130,20 – 452,29 g/m2/hari. Pada penelitian ini, jumlah sedimen yang diperoleh hingga akhir pemeliharaan sekitar 245,53 g/m2/hari atau sebanyak 982,12 kg/petak /siklus pemeliharaan lebih rendah dari beberapa penelitian sebelumnya. Clifford (1998) mengemukakan bahwa pada tambak intensif dihasilkan sedimen organik sebesar 0,8 kg bahan kering/m2/hari. Menurut Huisman (1987), dalam Harris (1993) menyatakan bahwa bila konversi pakan 1 : 1,5 ; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg, sehingga akan menghasilkan limbah organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg, yang selanjutnya akan terbuang ke perairan sekitarnya. Hasil penelitian Bachtiar (1994) di TIR Karawang menunjukkan bahwa pada tambak intensif, setiap siklus per hektar dari 4.188 kg pakan akan terbagi menjadi produksi udang 2.327 kg, dan 1.861 kg pakan yang tidak termanfaatkan dan sisa metabolisme.
Selanjutnya pakan yang tidak dimanfaatkan dan sisa
metabolisme tersebut akan mengendap di dasar tambak sebesar 18 % (1.327,61 kg) berbentuk padatan tersuspensi, serta sisanya sebesar 533,39 kg terbuang ke perairan sebagai beban limbah BOD dalam bentuk padatan terlarut. Lebih lanjut Soewardi (2002), mengemukakan bahwa pada luasan tambak udang 5000 m2 dengan teknologi budidaya intensif (kepadatan udang 210.000 ekor/ha), total pakan 3,6 ton menghasilkan limbah TSS sebesar 1.230 kg selama pemeliharaan 120 hari. Akumulasi sedimen ditambak udang telah dilaporkan dari beberapa penelitian sebelumnya. Lemonnier dan Brizard (2001) melaporkan adanya korelasi antara tingkat akumulasi sedimen dengan kepadatan akhir udang pada 13 petak tambak di New Caledonia. Rata-rata laju sedimentasi musiman sekitar 200 ton/ha dengan ketebalan lapisan atas/permukaan sedimen berkisar 0,25–0,3 g/mL,
58
dengan bagian dasar tambak yang tertutupi oleh sedimen yang baru terdeposit berkisar 5 – 36 % dari bagian tambak. Avnimelech dan Rivto (2001), melaporkan bahwa sekitar 40 % dari luasan tambak 1,2 ha di Thailand dan 30 % dari luasan 0,2 ha tambak di Carolina Selatan
tertutupi oleh sedimen.
Boyd (1995)
menemukan bahwa sedimen yang terakumulasi dalam tambak udang di Thailand sebagian besar terdiri atas mineral tanah yang berasal dari longsoran dinding pematang. Sementara Smith (1996) menemukan 70 – 80 % dari sedimen yang terakumulasi didasar tambak merupakan campuran dari kuarsa, kaolinit dan mineral mika, 5-10 % besi, aluminium dan mineral silikon oksida, 5- 10 % bahan organik dan bahan –bahan yang mudah menguap serta mineral lainnya. Akumulasi karbon (C), Nitrogen (N) dan Phosfor (P) yang merupakan bagian nutrien (nutrient budget) di dasar tambak ikan/udang telah dilaporkan oleh beberap peneliti sebelumnya.
Kebanyakan bahan yang terakumulasi di dasar
tambak /kolam ikan yang telah dipanen mengandung 75 % nitrogen, 80 phosfor dan 25 % karbon organik. (Avnimelech dan Rivto 2001). Lin dan Nash (1996) melakukan penelitian yang serupa , mengestimasi sekitar 26 % nitrogen dan 24 % phosfor dari pakan yang diberikan selama budidaya terakumulasi disedimen tambak udang intensif. Sementara Funge-Smith dan Briggs (1998) mendapatkan sedimen yang terakumulasi didasar mengandung 24 % nitrogen dari pakan dan 84 % phosfor. Paez-Osuna et al. (1999) memperkirakan sekitar 47,2 % input phosfor diakumulasi sedimen tambak udang. Martin et al. (1998) menemukan bahwa lebih dari 38 % dari total input nitrogen terakumulasi disedimen dasar tambak. Lebih lanjut Hopkins et al. (1994) melaporkan bahwa sumber akumulasi sedimen di dalam tambak udang berasal dari pakan yang tidak termakan, feses, plankton/diatom yang mati dan membusuk, erosi tanah tambak dan jasad renik merupakan bagian dari sedimen. Meagaung (2000) mengemukakan bahwa pakan buatan merupakan faktor pengelolaan yang sangat berpengaruh nyata terhadap peningkatan ketebalan lumpur pada dasar tambak tambak udang intensif. Lebih lanjut dikatakan bahwa pakan buatan sangat potensial menyebabkan akumulasi bahan organik pada tanah dasar tambak udang intensif, terlihat dari jenis rantai karbon yang dimiliki pakan buatan (C9
-
C29) mendekati jenis rantai karbon
sedimen tambak udang intensif pasca panen (C10 – C28)
59
Menurut Avnimelech (1995), selama pemeliharaan udang, nutrien dan residu bahan organik cenderung terakumulasi di dasar kolam/tambak dan akumulasi yang berlebihan ini akan mengakibatkan pembusukan didalam tambak. Luas area yang tertutupi oleh lumpur/sedimen yang merupakan ciri/tipe dari tambak di Thailand mencapai hampir sekitar 50 % dari luasan kolam yang berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan, aktivitas dan kesehatan udang.
Dalam sistem budidaya Intensif, Delgado et al. (2001) melaporkan bahwa kelimpahan udang secara nyata menurun pada bagian tengah tambak yang banyak terakumulasi sedimen berpengaruh kurang baik terhadap petumbuhan dan kesehatan udang. Avnimelech dan Rivto (2003), melaporkan bahwa akumulasi sedimen di dalam tambak udang harus dikurangi karena dapat meningkatkan /memperkaya kandungan bahan organik, nitrogen dan fosfor. Bahan-bahan tersebut merupakan awal produk anaerobik yang beracun yang diduga berasal dari sedimen yang dapat menyebabkan
stress pada udang, mengurangi vitalitas,
resistensi dan kepekaan terhadap penyakit, penurunan nafsu makan, pertumbuhan lambat dan rendahnya sintasan udang (Lemonnier dan Brizard 2001). 4.2.6. Konsumsi Oksigen Sedimen Kebutuhan oksigen terlarut merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses dan kondisi di perbatasan antara air dan sedimen tambak. Kebutuhan oksigen pada sedimen merupakan indikator tingkat intensitas proses mineralisasi dan metabolisme komunitas bentik. Hasil pengukuran konsumsi oksigen sedimen selama penelitian berkisar antara 1,15-19,35 mg O2/g B.Org/jam dengan rata-rata 7,17± 4,32 mg O2/g B.Org/jam yang setara dengan 3,4–48 mg O2/m2/jam dengan rata-rata 23,5 ± 12,8 mg O2/m2/jam. Pengukuran konsumsi oksigen sedimen pada tambak tersebut terlihat kecenderungan mengalami peningkatan seiring dengan waktu pemeliharaan udang (Gambar 9). Pada bulan pertama konsumsi oksigen sedimen rata-rata yang diperoleh sebesar 5,31 mg O2/g B.Org/jam, kemudian pada bulan kedua pemeliharaan meningkat menjadi 5,69 mg O2/m2/jam, pada bulan ketiga pemeliharaan sebesar 5,96 mg O2/g B.Org/jam dan memasuki bulan keempat atau periode akhir pemeliharaan mencapai 11,69 mg O2/g B.Org/jam.
Konsumsi Oksigen Sedimen (mg O2/g B.Org/jam)
60
25 20 15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke-) Rerata
Tambak A
Tambak B
Gambar 9. Konsumsi oksigen sedimen (mg O2/g B.Org/jam ) tambak udang vaname selama penelitian Menurut Madenjian (1990) bahwa penggunaan total oksigen dalam tambak udang windu didominasi oleh sedimen , air tambak dan udang masingmasing 51, 45 dan 4 %.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kebutuhan oksigen
sedimen tambak udang yang diperoleh sebesar 298 mg O2 m-2. h-1. Suplee dan Cotner (1996) mendapatkan bahwa peningkatan kebutuhan oksigen pada sedimen tambak cukup tinggi dari 0,06 g O2/m2/jam pada minggu ke tiga menjadi 0,24 g O2/m2/jam pada akhir pemeliharaan dengan kebutuhan oksigen maksimum 0,33 g O2/m2/jam.
Bufford dan Longmore (2001) mendapatkan
konsumsi oksigen sedimen di tambak udang berkisar antara 30 – 350 mg O2 m-2. h-1.
Menurut Ellis (1992) bahwa kebanyakan data kebutuhan oksigen pada
sedimen tambak yang telah dilaporkan berkisar antara 0,1 – 0,3 g O2/m2/jam atau 2,4 – 4,8 g O2/m2/hari, yakni dengan membandingan kandungan oksigen yang tersimpan dalam kolom air dengan kebutuhan oksigen oleh udang secara terus menerus. Kebutuhan oksigen sedimen terdiri atas lebih 50 % dari total kebutuhan oksigen tambak udang sampai akhir masa pemeliharaan. Almadi (2006) memperoleh konsumsi oksigen tanah dasar tambak tradiosional berkisar antara 0,007 – 0,093 mg O2/cm2/jam pada bagian pelataran dan 0,003 – 0,115 mg O2/cm2/jam pada bagian caren. Adapun variabel yang mempengaruhi konsumsi oksigen sedimen tersebut yakni kandungan pirit, bahan organik, potensial redoks, umur tambak dan nilai pH tanah.
61
Tingkat konsumsi oksigen sedimen tersebut merupakan petunjuk adanya kegiatan mikroorganisme di dalam substrat dan merupakan gambaran kebutuhan oksigen yang dapat diketahui melalui konsumsi atau proses menghabiskan oksigen terlarut didalam tambak atau badan air.
Perbedaan
konsumsi oksigen sedimen yang diperoleh dari beberapa penelitian diatas disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan untuk pengkuran konsumsi oksigen sedimen dan kondisi lingkungan tempat pengukuran juga berbeda (kandungan bahan organik). Menurut Meijer dan Avnimelech (1999) bahwa kebutuhan oksigen pada sedimen dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa metode antara lain pipa sedimen (sediment cores), tabung-tabung insitu (in situ tubes), jar/bilik dasar (benthic chamber), perhitungan anggaran dalam tambak secara utuh (whole pond budget calculation) dan perhitungan berdasarkan profil oksigen pada lapisan perbatasan antara air dan sedimen (calculation based upon oxygen profile in the water sedimen interface). 4.3. Parameter Penunjang 4.3.1. Kualitas Air Salah satu faktor yang berperan menentukan keberhasilah produksi udang budidaya adalah pengelolaan kualitas air. Pengukuran kualitas air selama pemeliharaan udang penting dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan salah satu parameter kualitas air. Dengan mengetahui gejala-gejala tersebut maka dapat diambil suatu tindakan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang kurang baik terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang yang dipelihara. Hasil pengamatan terhadap beberapa peubah kualitas air yang meliputi suhu, kecerahan, kedalaman, padatan tersuspensi, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, BOD5 dan Bahan organik total selama penelitian di sajikan pada Tabel 4. Kisaran nilai fisika kimia media pemeliharaan yang diperoleh selama penelitian masih berada dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh udang vaname untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhannya.
62
Tabel 4. Kisaran nilai fisika kimia media pemeliharaan selama penelitian Nilai Fisika Kimia Air
Parameter Suhu (oC) Salinitas (ppt) pH Oksigen Terlarut (mg/L) Kecerahan (cm) Kedalaman air (cm) Amonia (mg/L) Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L) TSS (mg/L) BOT (mg/L) BOD5 (mg/L)
Minimum 22,0 30 7,0 2,6 20 104 0,0098 0,0008 0,0065 24 4,93 2,25
Maksium 29,6 42 8,8 6,9 100 170 0,9675 0,0456 0,6409 120 39,90 7,32
Rerata (n=8) 25,06 38,17 7,8 4,14 44,69 135,19 0,3214 0,0134 0,1425 73,833 27,215 4,6746
Hasil pengukuran suhu pada petak tambak penelitian berkisar antara 22,0 – 29,6 0C, dengan suhu rata-rata 25,06 0C, kisaran suhu tersebut masih berada dalam batas yang layak bagi kehidupan udang vaname. Udang vaname hidup pada toleransi suhu 16 – 36 0C dan optimal pada suhu 28–31 0C (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa temperatur optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 27–32 0C. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan udang vaname antara 26-32 0C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Temperatur optimal untuk udang vaname berkisar antara 28–30 0C (Zweig et al. 1999). Menurut Boyd (1990) bahwa temperatur yang umum untuk spesies daerah tropik yang memberikan pertumbuhan optimal berkisar 29–30
0
C, sedangkan suhu yang dapat
menyebabkan pertumbuhan rendah < 26–28 0C dan batas tingkat lethal < 10–15 0
C. Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan mati jika
berada pada suhu dibawah 15 0C atau diatas 330C dalam waktu 24 jam atau lebih. Sub lethal stress terjadi pada 15–22 0C dan 30–33 0C. Temperatur optimum untuk udang vaname adalah antara 23 – 30 0C (Wyban dan Sweeny 1991). Hasil pengamatan salinitas air tambak udang vaname selama pemeliharaan (Tabel 4.) berkisaran antara 30- 42 ppt dengan rata-rata 38,17 ppt, kisaran salinitas yang diperoleh pada awal pemeliharaan berkisar 30–35 ppt dan terus meningkat
63
hingga akhir pemeliharaan berkisar 37– 42 ppt. Hal ini selain disebabkan karena lokasi penelitian berdekatan dengan pantai/laut sebagai sumber air asin dan tidak ada percampuran air dari sumber air tawar , juga karena masa pemeliharaan dilakukan pada saat peralihan dari musim hujan ke musim kemarau sehingga meningkatkan penguapan. Walaupun demikian kadar salinitas tersbut masih dapat ditoleransi oleh udang vaname karena bersifat euryhaline (Haliman dan Adijaya 2005), sehingga dapat dipelihara didaerah pantai dengan kisaran salinitas 1–40 ppt (Bray et al. 1994). Menurut Mc Grow dan Scarpa (2002) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran yang lebar dari 0,5–45 ppt. Soemardjati dan Suriawan (2007), mengemukakan bahwa udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15–25 ppt, bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 5 ppt masih layak untuk pertumbuhannya. Kisaran nilai pH air yang diperoleh selama penelitian berkisar 7,0–8,8. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pH air media budidaya udang tersebut cukup optimal. Dimana standar pH untuk budidaya vaname yaitu 7,5–8,5 (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang optimal untuk budidaya vannamei berkisar 7,3–8,5 dengan torelansi 6,5–9. Wyban dan Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intesif sebesar 7,4–8,9 dengan nilai optimum 8,0. Nilai pH air tambak bagi pertumbuhan udang berkisar antara 7,5–8,7 dengan batas optimum antara 8,0– 8,5 (Poernomo 1989). Kandungan oksigen terlarut yang diamati selama penelitian berkisar 2,6 – 6,9 mg/L dengan rata-rata 4,14 mg/L. Kadar oksigen terlarut (DO) dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan/udang. Clifford (1998) melaporkan bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L Sedangkan Suprapto (2005) berpendapat bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vannamei > 3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/L. Dari data yang diperoleh selama pemeliharaan menunjukkan konsentrasi oksigen terlarut yang semakin menurun pada akhir penelitian. Hal ini diduga disebabkan karena biomassa udang vaname semakin tinggi sehingga lebih banyak membutuhkan oksigen. Selain itu salinitas yang semakin tinggi akan memacu laju metabolisme di dalam tubuh udang untuk proses osmoregulasi
64
sehingga disatu sisi udang lebih banyak membutuhkan oksigen, disisi lain konsentrasi oksigen di dalam air semakin menurun karena difusi oksigen dari udara terhambat hingga menyebabkan kelarutan oksigen semakin berkurang.
Oksigen Terlarut (mg/L)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 10. Pola dinamika oksigen terlarut (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian. Hasil pengamatan kecerahan air selama pemeliharaan berkisar 20-100 cm dengan rata-rata 44,69 cm. Pada awal pemeliharaan kecerahan air tambak cukup tinggi dan semakin menurun hingga akhir pemeliharaan. Tingginya nilai kecerahan pada awal pemeliharaan diduga disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang cukup baik masuk kedalam air, kurangnya padatan tersuspensi, dan warna air yang terlihat agak jernih, kemudian nilai kecerahan mulai turun hingga 20 cm pada pertengahan bulan 3 sampai panen disebabkan karena makin meningkatnya suspensi organik dari kotoran udang dan sisa makanan, menumpuknya sel plankton yang sudah tua dan mati ditambah lagi gerakan udang yang makin aktif karena semakin besar dengan padat tebar yang tinggi. Menurut Adiwijaya et al. (2003) bahwa kecerahan air yang baik pada petak pembesaran udang vannamei berkisar antara 40–60 cm, sedangkan Anonim (2003) mengemukakan bahwa kecerahan/ transparansi untuk budidaya udang vannamei berkisar 30–60 cm. Kecerahan optimal untuk budidaya udang vannamei berkisar 30–40 cm (Suprapto 2005). Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi serta ketelitian dalam melakukan pengukuran (Effendi 2000).
65
Hasil pengamatan tinggi air tambak udang vaname selama pemeliharaan berkisaran antara 104-170 cm dengan rata-rata 135,19 cm, kisaran tinggi air yang diperoleh pada awal pemeliharaan berkisar 104–115 cm dan terus meningkat hingga akhir pemeliharaan. Hal ini selain disebabkan karena adanya penambahan air pada awal pemeliharaan dan pergantian air pada akhir – akhir pemeliharaan udang. Menurut Suprapto (2005), Bila kondisi tambak sudah siap, segera tambak diisi air sampai penuh (120 cm), jangan dilakukan secara bertahap untuk mencegah tumbuhnya klekap. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama 2 bulan pertama tidak dilakukan pergantian air, tetapi penambahan air untuk menjaga kedalaman air dalam tambak tetap dilakukan. Setelah udang mencapai umur lebih dari 2 bulan maka pergantian air dilakukan sedikit demi sedikit. Hasil pengukuran kadar amonia diperoleh selama pemeliharaan udang vaname berkisar antara 0,0098–0,9675 mg/L dengan rata-rata 0,3214,69 mg/L. Kisaran nilai amonia tersebut cukup tinggi namun masih berada dalam batas toleransi bagi kehidupan udang vaname di tambak karena ditunjang oleh nilai pH dan oksigen yang berada pada batas optimal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Buwono (1993) yang menyatakan bahwa kadar amonia yang tinggi akan bersifat racun apabila pH air tinggi. Total amonia yang baik bagi kehidupan udang dewasa adalah kurang dari 3 mg/L dan bagi kehidupan benur kurang dari 1 mg/L Bila proses pembusukan tidak berlangsung lancar, maka terjadi penumpukan sampai konsentrasi yang membahayakan udang.
Amoniak (mg/L)
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Lam a Pem eliharaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 11. Pola dinamika amoniak (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.
66
Daya racun amonia akan meningkat bila konsentrasi oksigen terlalu rendah, sebaliknya bila kandungan oksigen tinggi akan menyebabkan kandungan amonia menjadi rendah karena dioksidasi menjadi NH4 yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis (Widigdo dan Soewardi 1999). Soetomo (2002), menyatakan bahwa jumlah amonia ditambak akan bertambah sejalan dengan aktifitas proses perombakan dan meningkatnya suhu air. Menurut Samocha dan Lawrence (1993) bahwa kandungan amonia untuk juvenil udang vaname berkisar antara 0,4–2,31 mg/L. Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amonia untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam , salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L. Suprapto (2005) mengemukakan bahwa kadar amonia yang masih dapat ditoleransi oleh udang vaname berkisar 0,1 – 0,5 mg/L. Hasil pengukuran kandungan nitrit yang diperoleh selama penelitian berkisar 0,0008-0,0456 mg/L, dengan rata-rata 0,0134 mg/L.
Kadar nitrit yang
diperoleh ini masih dalam batas toleransi untuk kehidupan dan pertumbuhan udang. Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada perairan alami. Konsentrasi lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat melalui
Nitrit (mg/L)
proses nitrifikasi, serta antara nitrat dan gas hidrogen melalui proses dinitrifikasi. 0,050 0,045 0,040 0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 0
2
4
6
8
10
12
14
Lam a Pem eliharaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 12. Pola dinamika nitrit (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.
67
Kisaran optimal nitrit untuk budidaya vaname yakni 0,01–0,05 mg/L (Adiwijaya et al. (2003) ; Soemardjati dan Suriawan (2007). Menurut Suprapto (2005), kandungan nitrit yang dapat di toleransi oleh udang vaname berkisar 0,1–1 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005), kandungan nitrit yang baik untuk kehidupan udang vaname adalah ≤ 0,1 mg/L. Clifford (1994) mengemukakan bahwa kandungan nitrit yang optimal untuk budidaya udang vaname < 1,0 mg/L. Kandungan nitrat yang diperoleh selama penelitian
berkisar 0,0065-
0,6409 mg/L, dengan rata-rata 0,1425 mg/L. Kadar nitrat yang diperoleh cukup layak dan sangat diperlukan karena merupakan bentuk nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh plankton dalam pertumbuhannya. Menurut Effendi, (2000), Nitrat adalah bentuk nitrogen utama diperairan alami dan sangat diperlukan oleh pertumbuhan akuatik (algae), sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Kandungan nitrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan algae di perairan adalah 0,2–0,9 mg/L dan optimal pada kisaran 0,1–4,5 mg/L. Sementara Clifford (1994) mengemukakan bahwa konsentrasi nitrat yang optimal untuk udang vaname berkisar 0,4–0,8 mg/L. Hasil pengamatan kandungan padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/ TSS)
yang didapatkan berkisar 24-120 mg/L, dengan rata-rata 73,833
mg/L. Nilai TSS yang diperoleh ini pengaruhnya masih sedikit terhadap kepentingan perikanan (Effendie 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa bahanbahan yang tersuspensi dalam perairan terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab nilai TSS yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air.
Bahan tersuspensi tidak beracun tetapi dapat
meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis dalam perairan. Nilai TSS yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih rendah dari hasil penelitian Rachmansyah et al. (2006) yang mendapatkan kadar TSS air tambak udang vaname berkisar 249,28±137,47 – 254,89±143,55 mg/L dan saluran pemasukan 128,11 ± 24,82. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses budidaya dihasilkan material organik yang terakumulasi di dalam tambak dan menciri pada meningkatnya nilai TSS air tambak. Peningkatan nilai TSS dalam tambak dapat disebabkan oleh operasional kincir yang berlebih dan hembusan angin yang
68
kencang dapat mempengaruhi pengikisan dan pelarutan tanah pematang tambak serta pengadukan dan pelarutan bahan organik dari dasar tambak sehingga dapat meningkatkan kekeruhan dan siltasi. Menurut Soemardjati dan Suriawan (2007)
Padatan Tersuspensi Total (mg/L)
bahwa nilai TSS air sumber untuk budidaya udang vaname berkisar 25–500 mg/L. 200 175 150 125 100 75 50 25 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 13. Pola dinamika padatan tersuspensi total (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian. Menurut Abel (1989), nilai BOD merupakan ukuran yang digunakan sebagai kandungan bahan organik diperairan dengan asumsi bahwa oksigen dikonsumsi oleh mikroorganisme selama masa penguraian bahan organik. Keberadaan BOD akan mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan karena proses oksidasi limbah organik, oksigen terlarut yang tersedia akan cepat dikonsumsi untuk proses metabolisme bakteri.
Nilai BOD5 perairan
tambak yang diperoleh selama penelitian berkisar 2,25–7,32 mg/L, dengan nilai rata-rata 4,6746 mg/L. Nilai BOD5 yang diperoleh ini masih dalam batas toleransi kehidupan udang vaname.
Ginting (1995) mendapatkan nilai BOD5 selama
pemeliharaan udang windu berkisar 1,4–6,8 mg/L dengan rata-rata 4,25 mg/L. Lebih lanjut dikatakan bahwa batas kisaran nilai BOD5 bagi kehidupan udang adalah sekitar 12,5 mg/L. Lee et al. (1978), diacu dalam Sudibyaningsih (1983) menggolongkan tingkat kualitas air berdasarkan nilai BOD5
yakni kisaran
konsentrasi BOD5 < 2,9 mg/L tergolong kriteria kualitas air tidak tercemar, kisaran 3,0 – 4,9 mg/L tergolong tercemar ringan, kisaran 5,0–14,9 mg/L tergolong tercemar sedang dan konsentrasi > 15,0 mg/L tergolong tercemar berat.
69
8 7 BOD5 (mg/L)
6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke- ) Tambak A
Tambak B
Gambar 14. Pola dinamika BOD5 (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian. Kisaran nilai Bahan Organik Total (BOT) yang diperoleh selama penelitian berkisar 4,93 – 39,90 mg/L, dengan rata-rata 27,215 mg/L. Nilai BOT yang diperoleh ini lebih tinggi dari penelitian Ginting (1995) yang mendapatkan kadar BOT air tambak udang windu berkisar 3,16 – 13,26 mg/L dengan rata-rata 5,68 mg/L pada kepadatan udang 15 ekor/m2. sementara nilai BOT air tambak udang windu yang didapatkan oleh Budiardi (1998) di tambak Karawang berkisar 6,52 – 29,9 mg/L dengan rata-rata 22,47 mg/L dengan padat tebar benur 34 – 35 ekor/m2.
Selanjutnya Budiardi (2007) mendapatkan kadar BOT rata-rata air
tambak udang vaname untuk masa awal pemeliharaan, masa transisi dan masa akhir pemeliharaan masing-masing sebesar 50,97 mg/L; 104,58 mg/L dan 198,67 mg/L dengan padat tebar benur 85 ± 15 ekor/m2. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi padat penebaran benur, maka sejumlah input produksi yang dimasukkan ke tambak juga semakin tinggi yang berdampak pada akumulasi bahan organik dalam tambak yang seiring dengan semakin lamanya pemeliharaan. Menurut Boyd (1990), kandungan bahan organik terlarut suatu perairan normal adalah maksimum 15 mg/L, apabila kandungan bahan organik terlarut tinggi maka dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga menurunkan daya tahan udang.
Sedangkan menurut Adiwijaya et al. (2003)
bahwa kisaran optimal bahan organik pada budidaya udang vaname < 55 mg/L. Meagaung (2000) menyatakan bahwa proses penguraian bahan organik yang terlarut dalam air dapat menghabiskan oksigen dalam air. Kondisi ini akan
70
menghasilkan senyawa tereduksi seperti CH4, H2S, NH3 dan senyawa tereduksi lainnya. Proses penguraian ini akan berjalan lancar dengan ketersediaan oksigen terlarut yang cukup. Bahan Organik Total (mg/L)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke-) Tambak A
Tambak B
Gambar 15. Pola dinamika bahan organik total (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.
4.3.2. Produksi Produksi udang merupakan biomassa udang pada saat panen. Beberapa parameter yang mendukung produksi adalah ukuran atau bobot rata-rata, laju pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup serta rasio konversi pakan. Hasil pengamatan pertumbuhan udang vaname selama 100 hari pemeliharaan (Gambar 16.), tampak bahwa pertumbuhan berat rata-rata udang vaname pada kedua petak tambak selama penelitian semakin meningkat seiring dengan lama waktu pemeliharaan. Pada 2 minggu pertama hingga minggu ke 8 pemeliharaan, laju pertumbuhan udang relatif cepat. namun setelah mencapai minggu ke 10 (70 hari)
laju pertumbuhannya mulai melambat hingga akhir
penelitian (100 hari). Pertumbuhan udang vaname yang diperoleh diperoleh pada penelitian ini berkisar 14,21–14,29 g/ekor dengan rata-rata 14,25 ± 0,056 g/ekor. lebih tinggi dari hasil penelitian Suwoyo et al. (2005) yang mendapatkan pertumbuhan berat udang vaname selama 100 hari pemeliharaan dengan kepadatan 50 ekor/m2 berkisar 13,07-13,64 g/ekor, namun lebih rendah dari hasil
71
penelitian Adiwijaya et al. (2003) memperoleh berat rata-rata udang vannamei sebesar 16,67 (size 60) yang dipelihara selama 120 hari dengan padat tebar benih 50 ekor/m2. 16 14 Berat Udang (g)
12 10 8 6 4 2 0 0
14
28
42
56
70
84
98
Umur Udang (hari)
Gambar 16. Pertumbuhan udang vaname (L vannamei) selama penelitian Pertumbuhan udang vanme pada penelitian ini hasilnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan beberapa hasil kajian budidaya udang vannamei sebelumnya. Anonim (2003) mendapatkan berat rata-rata udang vannamei sebesar 20 g/ekor dengan laju pertumbuhan 0,18 g/hari yang dipelihara dengan padat tebar 90 ekor/m2 dan lama pemeliharaan 110-130 hari. Poernomo (2004) melaporkan bahwa dengan teknologi probiotik pada budidaya udang vannamei dengan padat penebaran 216; 212 dan 244 ekor/m2 yang dipelihara selama 150 hari , diperoleh berat rata-rata udang saat panen dapat mencapai 18,18 ; 18,55 dan 19,61 g/ekor. Suprapto (2005) melaporkan bahwa udang vaname yang dipelihara dengan padat tebar 125–150 ekor/m2 pada umur 100 hari beratnya sebesar 14,8 g/ekor dan masih dapat bertumbuh hingga mencapai 20 g/ekor pada umur 130 hari. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa udang vannamei dapat dipanen setelah berumur sekitar 120 hari (DOC 120, DOC = day of culture) dengan berat tubuh berkisar 16–20 g/ekor. Laju pertumbuhan berat harian spesifik yang diperoleh pada penelitian ini (Tabel 5). berada pada kisaran 7,95-7,96 %. Laju pertumbuhan berat harian spesifik udang vaname yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dari
72
penelitian Suwoyo dan Hendrajat (2006), yang memperoleh laju pertumbuhan harian udang vaname yang dipelihara pada substrat berbeda yakni pasir pantai, tanah sawah dan tanah tambak masing-masing 4,76 ; 3,84 dan 5,35 %/ hari. Tahe (2008) memperoleh laju pertumbuhan berat spesifik udang vaname dengan perlakuan pengurangan ransum pakan sebesar
5,17-5,26 %. Namun hasil
penelitian ini lebih rendah dari penelitian Hendrajat dan Mangampa (2007) yang mendapatkan laju pertumbuhan harian udang vaname pola tradisional plus dengan kepadatan 4 , 6 dan 8 masing-masing 9,23; 9,19 dan 9,05 %/hari. Rachmansyah et al. (2006) memperoleh laju pertumbuhan harian udang vaname berkisar 9,48 – 9,52 %/hari selama 100 hari pemeliharaan. Arifin et al. (2007) memperoleh laju pertumbuhan harian udang vaname pola sederhana selama 60 hari pemeliharaan sebesar 14,01%. Perbedaan laju pertumbuhan yang diperoleh ini disebabkan perbedaan ukuran awal dan kepadatan udang yang tebar, lama pemeliharaan serta wadah budidaya yang digunakan. Tabel 5. Pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, produksi dan rasio konversi pakan udang vaname selama 100 hari pemeliharaan. Variabel Kepadatan (ekor/m2) Lama pemeliharaan (hari) Berat awal (g/ekor) Berat akhir (g/ekor) Laju pertumbuhan spesifik (%) Tingkat kelangsungan hidup(%) Produksi (kg/petak) Produktivitas (kg/ha) Rasio konversi pakan
Nilai parameter produksi 50 100 0,005 14,21 – 14,29 7,95 - 7,96 83,6 – 89,5 2.308 – 2.319 5.890 – 5.979 1,35 – 1,44
Data berat rata-rata yang diperoleh terhadap waktu pemeliharan (hari ke-1 sampai dengan ke-98) (Gambar 17.), memperlihatkan adanya kecenderungan membentuk persamaan linear (Lampiran 9). Hubungan linear yang ditunjukkan oleh berat rata-rata (Y, gram) terhadap waktu ( X, hari ; 1 < X < 98) adalah Y = 1,67 + 0,157 X dengan nilai R2 = 0,972 ; adjusted R2 = 0,970, P < 0.01) yang berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya berat udang, 97,20 % dapat diterangkan oleh karena adanya pertambahan/perubahan umur dan sisanya
73
sebesar 2,80,4 % diterangkan oleh faktor lain. Sedangkan nilai R2 adjusted = 0,970 , berarti bahwa nilai R2 yang disesuaikan sehingga gambarannya mendekati mutu penjenjangan model dalam populasi bernilai 0,970. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P < 0,01) sehingga dapat digunakan untuk memprediksi berat rata-rata dari hari ke-1 sampai dengan hari ke-98 pemeliharaan udang vaname. F itte d L ine P lot Be rat udang (g) = - 1,673 + 0,1568 Um ur (hari) 15,0
S R- S q R- S q (ad j)
Berat udang (g)
12,5
0,906887 97,2% 97,0%
10,0 7,5 5,0 2,5 0,0
0
20
40 60 Umur (ha ri)
80
100
Gambar 17. Hubungan antara berat rata-rata udang vaname (g) dengan umur/waktu pengamatan (hari). Sintasan dan produktivitas udang vaname yang diperoleh dalam penelitian ini (Tabel 5.) berkisar 83,6–89,5 % dan 5.890–5.979 kg/ha tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Sugama (2002) bahwa beberapa petambak sangat berhasil membudidayakan udang vannamei dengan produksi berkisar antara 6–12 ton/ha, kelangsungan hidup 65–85 %, konversi pakan 1,0–1,2 dengan lama pemeliharaan 100–110 hari, serta ukuran panen udang antara 12,5–17,0 g/ekor (size 60–80). Bratvold dan Browdy (2001) dengan perlakuan substrat yang berbeda yakni tanpa sedimen, pasir dan aqua mats selama 104 hari pemeliharaan dengan padat tebar 130 ekor/ m2 memperoleh sintasan udang vannamei dengan kisaran 65,4–80,8 %. Salame dan Salame (2002), diacu dalam Sugama (2002) melaporkan hasil budidaya udang vannamei pada salinitas rendah di Ecuador dengan padat tebar 75–120 ekor/m2, lama pemeliharaan 100 hari diperoleh hasil sebesar 4,9–5,8 ton/ha/siklus. Tracee (2002) melaporkan hasil budidaya udang
74
vaname di Texas dengan kepadatan 50–75 ekor/m2, lama pemeliharan 100 hari mendapatkan produktivitas sebesar 3,36–5,04 ton/ha. Widiasa (2005) melaporkan hasil budidaya udang vannamei di Kabupaten Barru dengan padat tebar 57 ekor/m2 , lama pemeliharaan 100–105 hari , diperoleh ukuran panen udang 17,5– 19,2 g/ekor dengan sintasan 81–87 % dan produksi mencapai 2,9–3,2 ton/3.500 m2. Suwoyo et al. (2005) memperoleh sintasan sebesar 67,42–81,38 % dan produktivitas tambak udang vaname 4.594,4 - 5.550,4 kg/ha, pada kepadatan 50 ekor/m2 selama 100 hari pemeliharaan. Nilai rasio konversi pakan yang diperoleh pada penelitian ini (1,35-1,44) tidak jauh berbeda dengan beberapa kajian budidaya udang vaname sebelumnya. Anonim (2003) mendapatkan FCR 1,3 untuk budidaya udang vaname dengan kepadatan 90 ekor/m2, sintasan 70 - 90 %, dan berat udang rata-rata saat panen 20 g/ekor dengan lama pemeliharaan 110 hari. Trenggono (2003) mendapatkan FCR udang vannamei sebesar 1,4 yang dipelihara di tambak dengan kepadatan 90 eko/ m2 dengan lama pemeliharaan 110 hari Haliman dan Adijaya (2005) melaporkan budidaya udang vaname di Sitobondo, Jawa Timur dengan padat tebar 150 ekor/m2, sintasan 85 %, berat akhir 14,28 g/ekor, menghasilkan udang sebanyak 5.465 kg/3000m2 dengan FCR 1,5. Suwoyo et al. (2005) mendapatkan FCR udang vaname dengan perlakuan jumlah kincir berbeda sebesar 1,80–2,17 yang dipelihara di tambak dengan kepadatan 50 eko/ m2 dengan lama pemeliharaan 100 hari
Menurut Sutanto (2005) bahwa untuk meningkatkan efisiensi dalam
budidaya udang vaname salah satu hal yang perlu dilakukan yakni menggunakan pakan yang berkualitas baik dan berprotein rendah (30 % protein) sehingga bisa mengurangi pencemaran/lebih ramah lingkungan, pengelolaan air lebih mudah, pertumbuhan lebih baik, FCR lebih rendah sehingga biaya pakan menjadi lebih rendah. Huet (1971) menyatakan bahwa konversi makanan dipengaruhi oleh sintasan, kepadatan, bobot individu, perbedaan persentase makanan harian, waktu dan lokasi penelitian serta pertumbuhan biomassa udang. Semakin rendah nilai konversi makanan semakin baik karena sedikit jumlah makanan yang dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot udang.
75
4.4. Analisis Regresi dan Korelasi Dalam penelitian ini dilakukan perhitungan korelasi antara variabel (intercorellation) yakni variabel-variabel yang dikorelasikan lebih dari 2 variabel sehingga terdapat beberapa pasang korelasi. Namun demikian variabel-variabel yang dikorelasikan yakni antara variabel dependen (terikat) dengan beberapa variabel independen (bebas) dan antar variabel independen itu sendiri harus secara teoritis mempunyai hubungan sehingga ada hipotesis yang dibangun dan kemudian ingin dibuktikan kebenarannya (Sulaiman 2004). 4.4.1. Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan beberapa parameter kualitas sedimen. Faktor-faktor yang terpilih masuk dalam model konsumsi oksigen sedimen sebanyak 5 variabel (Lampiran 2). Terdapat 4 pasang variabel yang memiliki hubungan erat dengan konsumsi oksigen sedimen yang dapat dilihat pada matriks korelasi (Lampiran 7.) yakni antara konsumsi oksigen sedimen dengan potensial redoks (- 0,917), antara konsumsi oksigen sedimen dengan umur atau masa pemeliharaan ( 0,832), antara konsumsi oksigen sedimen dengan pH (- 0,744) dan antara konsumsi oksigen sedimen dengan total bakteri (0,632). Sementara korelasi antara variabel bebas terdapat 7 pasang peubah yang memiliki hubungan erat yakni nampak antara bahan organik tanah dengan potensial redoks (-0,585), antara total bakteri dengan potensial redoks (-0,541), antara total bakteri dengan pH (0,525), antara total bakteri dengan umur pemeliharaan (0,575), antara potensial redoks dengan pH (0,827), antara potensial redoks dengan umur (-0,932) dan antara pH dan umur (0,883). Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen dengan masing-masing variabel disajikan dalam Gambar 18. Jika dibandingkan antara semua variabel dengan konsumsi oksigen sedimen dari persamaan hubungan yang terbentuk dengan nilai koefisien regresinya, hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan variabel potensial redoks menunjukkan nilai korelasi dan koefisien regresi yang lebih tinggi dibanding dengan variabel lainnya, dengan nilai r = - 0,914 dan R2 = 0,836. Nilai r = - 0,914 tersebut berarti bahwa adanya tingkat hubungan yang tinggi (91,40 %) antara konsumsi oksigen sedimen dengan potensial redoks. Nilai R2 = 0,836 berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya konsumsi
76
oksigen sedimen 83,60 % dapat diterangkan oleh karena adanya perubahan besar kecilnya nilai potensial redoks dan sisanya sebesar 16,4 % diterangkan oleh faktor lain. Sedangkan nilai
R2
adjusted = 0,824, berarti bahwa nilai R2 yang
disesuaikan sehingga gambarannya mendekati mutu penjenjangan model dalam populasi bernilai 0,824. Tabel 6. Persamaan regresi hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan variabel bahan organik, total bakteri, potensial redok, pH dan umur pemeliharaan. Hubungan SOD Vs Bahan Organik SOD Vs Total Bakteri SOD Vs Potensial Redoks SOD Vs pH SOD Vs Umur
Persamaan Regresi Y = 15,65 + 4,33 X1 Y = -60,31 + 10,81 X2 Y = 24,72 – 10,27 X3 Y = 286,9 – 36,13 X4 Y = 7,954 + 31,69 X5
Keterangan : SOD = X1 = X2 = X3 = X4 = X5 =
Konsumsi oksigen sedimen (sedimen oxygen demand) Bahan organik total Total bakteri sedimen Potensial redoks pH Umur pemeliharaan
77
Fitted Line Plot
Fitted Line Plot
SOD (mg O2/m2/jam) = 15,65 + 4,325 B.Organik Total (%)
SOD (mg O2/m2/jam) = - 60,31 + 10,81 Log Tot. Bakteri sed (cfu/g)
50
S R-Sq R-Sq(adj)
50
12,7834 5,3% 0,0%
30
20
10
0
S R-Sq R-Sq(adj)
8,77755 55,3% 52,1%
30
20
10
0 1,0
1,5 2,0 B.Organik Total (%)
2,5
3,0
6,0
6,5 7,0 7,5 8,0 8,5 Log Tot. Bakteri sed (cfu/g)
9,0
Fitted Line Plot
Fitted Line Plot
SOD (mg O2/m2/jam) = 24,72 - 0,1027 Potensial Redoks (mV)
SOD (mg O2/m2/jam) = 286,9 - 36,13 pH
50
S R-Sq R-Sq(adj)
50
5,32451 83,6% 82,4%
40 SOD (mg O2/m2/jam)
40
30
20
10
0
30
20
10
0 -150
-100
-50 0 50 Potensial Redoks (mV)
100
150
6,8
6,9
7,0
7,1
7,2
7,3 pH
7,4
7,5
7,6
7,7
Fitted Line Plot SOD (mg O2/m2/jam) = 7,954 + 0,3169 Umur (hari) 50
S R-Sq R-Sq(adj)
7,46822 67,7% 65,4%
40 SOD (mg O2/m2/jam)
SOD (mg O2/m2/jam)
10,1805 39,9% 35,6%
40 SOD (mg O2/m2/jam)
SOD (mg O2/m2/jam)
40
S R-Sq R-Sq(adj)
30
20
10
0 0
20
40 60 Umur (hari)
80
100
Gambar 18. Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan variabel bahan organik, total bakteri sedimen, potensial redok, pH dan umur pemeliharaan.
78
Dalam memilih persamaan regresi berganda terbaik digunakan prosedur eliminasi langkah mundur (the backward elimination prosedure) yakni menganalisis variabel dari belakang, artinya semua variabel dianalisis kemudian dilanjutkan menganalisis pengaruh variabel-variabel bebasnya kemudian variabel yang tidak kurang berpengaruh dihilangkan. (Sulaiman 2004; Pratista 2005). Berdasarkan hasil analisa statistik yang dilakukan , dengan mengajukan semua variabel yang dianggap berhubungan dengan konsumsi oksigen sedimen, maka diperoleh 5 model persamaan regresi (Lampiran 3.). Dari kelima persamaan tersebut dipilih model persamaan terbaik dengan melihat nilai R2 yang disesuaikan (adjusted R2 ) terbesar, nilai standar galat estimasi terendah dan uji signifikansi persamaan regresi dan koefisien regresi menggunakan uji F dan uji t. Dari hasil pengujian pada Lampiran 3 terlihat bahwa nilai R2 yang disesuaikan tertinggi (0,847) didapatkan pada persamaan yang ke-3, berarti akan semakin baik bagi persamaan regresi, karena variabel bebas dapat menjelaskan variabel tergantung lebih besar. Dalam hal ini 84,7 % konsumsi oksigen sedimen dalam tambak udang vaname dapat dijelaskan oleh variabel potensial redoks, total bakteri dan bahan organik, sedangkan sisanya (15,3 %) dijelaskan oleh faktor lain. Dari Lampiran 3, terlihat bahwa standar galat estimasi (standar error of estimate) terendah (4,95 mg O2/m2/jam) dijumpai pada persamaan 3, dimana standar galat estimasi lebih kecil dari standar deviasi konsumsi oksigen sedimen yang besarnya 12,8 mg O2/m2/jam (Lampiran 6.), maka model regresi lebih baik dalam bertindak sebagi prediktor konsumsi oksigen sedimen. Selanjutnya dari hasil uji ragam atau uji F (Lampiran 4.), menunjukkan persamaan 3 memiliki F hitung sebesar 28,724 dan nilai P sebesar 0,001, maka persamaan regresi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi konsumsi oksigen sedimen dalam tambak udang vaname. Variabel yang dominan berperan dalam menentukan konsumsi oksigen sedimen tambak digambarkan dalam persamaan regresi sebagai berikut : Y = 0,496 + 2,56 X1 + 3,71 X2 - 0,0949 X3 Keterangan : Y = Konsumsi oksigen sedimen X1 = Bahan organik total, X2 = Total bakteri, X3 = Potensial redoks
79
Konstanta sebesar 0,496 yang berati konsumsi oksigen sedimen tambak dapat diprediksi mencapai 0,496 mg O2/m2/jam walaupun tidak ada kontribusi dari ketiga variabel tersebut. Dari 5 variabel yang dikaji dalam studi ini, ternyata potensial redoks merupakan variabel yang paling berpengaruh dalam menentukan konsumsi oksigen sedimen tambak udang vaname. Koefisien regresi dari variabel potensial redoks sebesar - 0,0949 yang berarti bahwa setiap peningkatan nilai potensial redoks dapat menurunkan konsumsi oksigen sedimen sebesar 0,0949 mg O2/m2/jam. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kondisi potensial redoks yang bernilai negatif berarti bahwa kondisi sedimen tambak berada pada kondisi yang reduktif dimana kandungan oksigen kurang sehingga proses penguraian bahan organik selama proses budidaya akan terhambat sehingga menyebabkan akumulasi bahan organik pada dasar
tambak, namun jika potensial redoks
meningkat ke arah positif maka kondisi sedimen berada pada kondisi yang oksidasi dimana kandungan oksigen cukup untuk merombak bahan organik, sehingga jumlah kebutuhan oksigen di substrat/sedimen menjadi lebih sedikit. Variabel kedua dan ketiga yang berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen pada sedimen dasar tambak udang vaname adalah total bakteri sedimen dan kandungan bahan organik total. Hal ini jelas terlihat pada koefisien regresi dari variabel total bakteri yang bernilai (+ 2,56) dan bahan organik total yang bernilai (+ 3,71), yang berarti bahwa setiap peningkatan jumlah koloni bakteri /gram tanah akan meningkatkan kebutuhan oksigen pada sedimen dasar tambak sebesar 2,56 mgO2/m2/jam.
Demikian
halnya
dengan
bahan
organik,
setiap
penambahan/peningkatan jumlah bahan organik dalam tambak, maka akan meningkatkan kebutuhan oksigen pada sedimen dasar tambak sebesar 3,71 mg O2/m2/jam Hal ini dapat dijelaskan bahwa selama masa budidaya udang, bahan organik yang terakumulasi berupa sedimen semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan karena seiring dengan pertumbuhan udang, maka jumlah pakan akan semakin bertambah sehingga sisa pakan hasil metabolisme udang juga akan bertambah. Beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh tambak budidaya udang semakin meningkat.
Peningkatan
bahan organik dalam tambak dapat menyebabkan peningkatan jumlah populasi bakteri sebagai dekomposer dalam proses perombakan bahan organik yang
80
membutuhkan sejumlah oksigen. Oksigen secara umum sangat diperlukan dalam proses dekomposisi terutama bagi dekomposer yang bersifat aerobik. Sebenarnya baik bakteri aerob maupun anaerob sama-sama membutuhkan oksigen dan samasama melakukan proses dekomposisi. Bakteri aerob dapat memanfaatkan oksigen bebas yang terlarut dalam perairan sementara bakteri anaerob tidak dapat memanfaatkan oksigen bebas dan hanya menggunakan oksigen yang terkandung dalam senyawa-senyawa yang ada dalam perairan. Hal inilah menyebabkan laju penurunan oksigen dalam air dan peningkatan kebutuhan oksigen disedimen dasar Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi nutrien organik di dalam kegiatan produksi akuakultur dan sedimen tambak (Hargreaves 1988). Di dalam kolam atau tambak, bakteri sering ditemukan di sedimen dasar, yang biasanya mengandung banyak bahan organik dan aerasi kurang bahkan anaerob (Moriaty 1999 ; Burford et al. 2003). Lebih lanjut Ginting (1995) mengemukakan bahwa
peningkatan
bahan
organik
dalam
tambak
dapat
menyebabkan
meningkatnya populasi bakteri. Bahan organik yang ada akan digunakan bakteri sebagai sumber pakan untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Populasi bakteri yang ditemukan lebih banyak terdapat dalam tanah/sedimen dibandingkan dalam air. Hal ini menunjukkan tingginya penimbunan bahan organik pada tanah akibat sisa pakan dan kotoran udang. Menurut Foth (1984), diacu dalam Meagaung (2000) bahwa tingginya populasi bakteri pada lapisan permukaan tanah karena pada lapisan tersebut banyak mengandung sisa-sisa bahan organik yang menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme. Sunarto (2003) berpendapat bahwa dekomposisi merupakan proses yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dekomposer baik jumlah maupun diversitasnya. Sedangkan keberadaan dekomposer sendiri sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan baik kondisi kimia, fisika maupun biologi.
Faktor-faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap dekomposisi
antara lain oksigen, bahan organik dan bakteri sebagai agen utama dekomposisi. Tersedianya nutrien (bahan organik) dan keberadaan oksigen diperairan menjadi faktor utama yang menentukan keberadaan bakteri sebagai pelaku dekomposisi, meskipun hal ini bergantung pada jenis dekomposernya.
81
4.4.2. Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan beberapa parameter kualitas air. Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen dengan masing-masing parameter kualitas air disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 10. Hubungan antara konsumsi oksigen dengan laju sedimentasi disajikan pada Gambar 20 dan Lampiran 11. Parameter kualitas air yang berhubungan dengan konsumsi oksigen sedimen antara lain oksigen terlarut, BOD5, padatan tersuspensi, amonia. Jika dibandingkan antara semua variabel dengan konsumsi oksigen sedimen dari model hubungan yang terbentuk dengan nilai koefisien regresinya, hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan parameter oksigen terlarut menunjukkan nilai korelasi dan koefisien regresi yang lebih tinggi dibanding dengan variabel lainnya, dengan nilai r = - 0,788. Nilai r (koefisien korelasi) tersebut berarti bahwa adanya tingkat hubungan yang tinggi (78,80 %) antara konsumsi oksigen sedimen dengan oksigen terlarut. Peningkatan konsumsi oksigen sedimen satu satuan akan menurunkan konsentrasi oksigen terlarut diperairan demikian pula sebaliknya. Hubungan linear yang ditunjukkan oleh konsumsi oksigen sedimen (SOD) (Y, mg O2/m2/jam) terhadap oksigen terlarut ( X,mg/L) adalah Y = 74,87–12,33 X1 dengan nilai R2 = 0,621; Nilai R2 (koefisien determinasi) tersebut berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya konsumsi oksigen sedimen 62,1 % dapat diterangkan oleh karena adanya perubahan besar kecilnya nilai oksigen terlarut dan sisanya sebesar 37,9 % diterangkan oleh faktor lain. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P < 0,01). Peningkatan konsumsi oksigen sedimen oleh mikroorganisme dan reaksi kimia dalam sedimen akan menurunkan konsentrasi oksigen terlarut diperairan karena oksigen digunakan untuk proses penguraian bahan organik yang terakumulasi selama masa pemeliharaan dalam jumlah yang besar dan tidak sesuai dengan daya dukung lahan sehingga berdampak negatif yakni penurunan konsentrasi oksigen terlarut dalam air , kondisi dasar tambak menjadi anaerob atau tereduksi dan meningkatkan kebutuhan oksigen di sedimen dasar. Hal ini akan menyebabkan penurunan kualitas air terutama oksigen yang akan membahayakan organisme budidaya karena dapat menyebabkan stres, mudah
82
terkena penyakit dan bahkan kematian. Menurut Boyd (1989) yang diacu dalam Ginting (1995) bahwa efek merugikan dari penurunan oksigen terlarut dalam air yang merupakan akibat banyaknya bahan organik lebih sering ditunjukkan oleh penurunan pertumbuhan dan kerentanan yang besar terhadap penyakit. Dalam tambak dengan konsentrasi oksigen terlarut rendah, udang akan kurang makan dan makanan yang dirubah menjadi daging tidak seefisien dalam tambak yang konsentrasi oksigen terlarutnya normal. Parameter kualitas air kedua yang berhubungan dengan konsumsi oksigen sedimen adalah BOD5 . Nilai korelasi dan koefisien regresi dari model hubungan yang terbentuk dari konsumsi oksigen sedimen dengan parameter BOD5 yakni nilai r = 0,738 dan R2 = 0,545. Nilai r = 0,738 tersebut berarti bahwa adanya tingkat hubungan yang positif
(73,80 %) antara konsumsi oksigen sedimen
dengan BOD5. Nilai R2 = 0,545 berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya nilai konsumsi oksigen sedimen 54,50 % dapat diterangkan oleh karena adanya perubahan besar kecilnya nilai BOD5 dan sisanya sebesar 45,5 % diterangkan oleh faktor lain. Persamaan regresi yang terbentuk antara konsumsi oksigen sedimen (SOD) (Y, mg O2/m2/jam) dengan BOD5 ( X, mg/L) adalah Y = -3,86 + 5,86X2. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P < 0,01). Konsumsi oksigen sedimen tambak merupakan petunjuk adanya kegiatan mikroorganisme didalam substrat dan merupakan gambaran kebutuhan oksigen yang dapat diketahui melalui konsumsi atau proses penggunaan oksigen terlarut di dalam tambak atau badan air untuk proses perombakan bahan organik. Semakin besar nilai BOD5, maka akan berpengaruh terhadap nilai konsumsi oksigen sedimen dasar karena nilai BOD yang merupakan ukuran yang digunakan sebagai kandungan bahan organik diperairan dengan asumsi bahwa oksigen dikonsumsi oleh mikroorganisme selama masa penguraian bahan organik dan mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut diperairan. Menurut Hariyadi et al. (1992) bahwa BOD merupakan banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi sehingga BOD menggambarkan suatu proses oksidasi bahan organik oleh mikroorganisme yang terjadi di perairan. Lebih lanjut Abel (1989) mengemukakan bahwa keberadaan BOD akan
83
mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan karena proses oksidasi limbah organik , oksigen terlarut yang tersedia akan cepat dikonsumsi untuk proses metabolisme bakteri. Persamaan regresi yang terbentuk antara konsumsi oksigen sedimen (SOD) (Y, mg O2/m2/jam) dengan padatan tersuspensi total ( X, mg/L) sebagai parameter ketiga yang berpengaruh adalah Y = 10,37 + 0,18 X3 dengan nilai r = 0,656 dan R2 = 0,43 yang berari bahwa adanya tingkat hubungan yang positif (65,6 %) antara konsumsi oksigen sedimen dengan nilai TSS dan perubahan nilai tersebut hanya mampu menerangkan besar kecilnya konsumsi oksigen sedimen sebesar 43 % dan sisanya diterangkan oleh faktor lain. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P < 0,01). Parameter kualitas air keempat yang berhubungan dengan konsumsi oksigen sedimen adalah NH3. Persamaan regresi yang terbentuk antara konsumsi oksigen sedimen (SOD) (Y, mg O2/m2/jam) dengan konsentrasi amonia ( X, mg/L) sebagai Y = 14,83 + 26,36 X4 dengan nilai r = 0,578 dan R2 = 0,334. Nilai r = 0,578 tersebut berarti bahwa adanya tingkat hubungan yang positif (57,80 %) antara konsumsi oksigen sedimen dengan NH3. Peningkatan konsumsi oksigen sedimen berpengaruh nyata terhadap konsentrasi amonia diperairan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa bila konsumsi oksigen sedimen besar berarti bahwa perombakan bahan organik didasar berlangsung dalam suasana reduksi atau kondisi anaerob sehingga akan menghasilkan senyawa tereduksi seperti amonia yang bersifat toksik bagi udang. Nilai R2 = 0,334 berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya konsumsi oksigen sedimen 33,4 % dapat diterangkan oleh karena adanya perubahan besar kecilnya nilai konsentrasi amonia atau kondisi tereduksi dan sisanya sebesar 66,6 % diterangkan oleh faktor lain.
Menurut Boyd (1991), sisa pakan dan eksresi udang akan membentuk
kumpulan bahan organik didalam media pemeliharaan yang memerlukan oksigen terlarut untuk menguraikannya. Kondisi ini berpotensi untuk terjadinya defisit oksigen yang selajutnya menyebabkan penguraian bahan organik secara anaerob dalam sistem budidaya dan akan menghasilkan senyawa beracun seperti amonia. Secara keseluruhan kondisi ini akan menyebabkan penurunan kualitas air sehingga mengganggu metabolisme udang.
Semakin tinggi sisa pakan
84
menyebabkan semakin tinggi konsentrasi bahan organik sehingga peluang terjadinya gangguan pada udang akan semakin meningkat, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya biomassa udang (Budiardi 2007).
Fitted Line Plot
Fitted Line Plot
SOD (mg O2/m2/jam) = 74,87 - 12,33 O2 (mg/L)
SOD (mg O2/m2/jam) = - 3,855 + 5,857 BOD5 (mg/L)
50
S R-Sq R-Sq(adj)
50
8,08493 62,1% 59,4%
30
20
10
0
30
20
10
0 2,5
3,0
3,5
4,0 O2 (mg/L)
4,5
5,0
2
3
4
5 BOD5 (mg/L)
6
7
8
Fitted Line Plot
Fitted Line Plot
SOD(mg O2/m2/jam) = 10,37 + 0,1827 TSS (mg/L)
SOD(mg O2/m2/jam) = 14,83 + 26,38 NH3 (mg/L)
50
S R-Sq R-Sq(adj)
50
9,91355 43,0% 39,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
40 SOD(mg O2/m2/jam)
40 SOD(mg O2/m2/jam)
8,85682 54,5% 51,3%
40 SOD (mg O2/m2/jam)
SOD (mg O2/m2/jam)
40
S R-Sq R-Sq(adj)
30
20
10
0
30
20
10
0 0
50
100 TSS (mg/L)
150
200
0,0
0,2
0,4 0,6 NH3 (mg/L)
0,8
1,0
Gambar 19. Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan parameter kualitas air (oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biokimia (BOD5), total padatan tersuspensi (TSS) dan amoniak Parameter selanjutnya yang berhubungan dengan konsumsi oksigen sedimen adalah laju sedimentasi.
Persamaan regresi yang terbentuk antara
konsumsi oksigen sedimen (SOD) (Y, mg O2/m2/jam) dengan laju sedimentasi dalam tambak ( X, g/m2/hari) adalah Y = 16,41 + 0,1909 X dengan nilai r = 0,738 dan R2 = 0,544. Nilai r = 0,738 tersebut berarti bahwa adanya tingkat hubungan yang positif dan kuat (73,80 %) antara konsumsi oksigen sedimen dengan laju sedimentasi. Peningkatan laju sedimentasi dalam tambak udang vaname selama masa pemeliharaan berpengaruh nyata terhadap konsumsi oksigen sedimen (P< 0,01). Nilai R2 = 0,544 berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya
10,7156 33,4% 28,7%
85
konsumsi oksigen sedimen tambak 54,4 % dapat diterangkan oleh karena adanya perubahan besar kecilnya nilai laju sedimentasi selama pemeliharaan udang vaname dan sisanya sebesar 45,6 % diterangkan oleh faktor lain. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada budidaya udang intensif dengan padat penebaran tinggi digunakan pakan buatan dalam jumlah yang besar sebagai sumber gizi utama bagi udang. Pemberian pakan secara terus menerus selama budidaya
berlangsung
dan
akan
bertambah
jumlahnya
sejalan
dengan
pertumbuhan biomassa udang mengakibatkan peningkatan laju sedimentasi atau akumulasi sisa pakan yang tidak termakan dan kotoran udang yang mana hal tersebut berdampak terhadap peningkatan kebutuhan oksigen di sedimen dasar untuk proses perombakan bahan organik. F itte d L ine P lo t S O D (m g O 2 /m 2/ja m ) = 1 6,4 1 + 0 ,1 9 09 La ju S e d (g/m 2 /ha ri) 50
S R-S q R - S q ( ad j)
8,86635 54,4% 51,2%
SOD (mg O2/m2/jam)
40
30
20
10
0 0
20
40
60 80 100 1 20 La ju Se d ( g / m2/ ha r i)
14 0
1 60
18 0
Gambar 20. Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen (mgO2/m2/jam) dengan laju sedimentasi (g/m2/hari) selama penelitian. Laju sedimentasi dalam tambak juga berhubungan erat dengan total padatan tersuspensi. Persamaan regresi yang terbentuk antara laju sedimentasi (X, g/m2/hari) dengan padatan tersuspensi total ( Y, mg/L) adalah Y = -21,55 + 0,8168 X.
Nilai korelasi dan koefisien regresi dari model hubungan yang
terbentuk tersebut yakni nilai r = 0,759 dan R2 = 0,576. Nilai r = 0,759 tersebut berarti bahwa adanya tingkat hubungan yang tinggi (75,90 %) antara padatan tersuspensi dengan laju sedimentasi. Nilai R2 = 0,576 berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya nilai padatan tersuspensi total 57,6 % dapat
86
diterangkan oleh karena adanya perubahan besar kecilnya nilai laju sedimentasi dan sisanya sebesar 42,4 % diterangkan oleh faktor lain. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P < 0,01). Hal ini sesuai pendapat Rachmansyah et al. (2006) bahwa selama proses budidaya udang vaname dihasilkan material organik yang terakumulasi (sedimentasi) di dalam tambak dan mencirikan pada peningkatan nilai TSS air tambak. Peningkatan nilai TSS dalam tambak dapat disebabkan oleh operasional kincir yang berlebih dan hembusan angin yang kencang dapat mempengaruhi pengikisan dan pelarutan tanah pematang tambak serta pengadukan dan pelarutan bahan organik dari dasar tambak sehingga dapat meningkatkan kekeruhan. Menurut Boyd (1992), bahwa ketebalan lumpur dasar tambak udang intensif meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Pada akhir pemeliharaan diperoleh ketebalan lumpur 6,4 – 8,5 cm. Lumpur yang terlalu dalam akan berpengaruh negatif terhadap kualitas air tambak karena airnya mudah keruh yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan udang.
Selanjutnya Effendie (2000) mengemukakan
bahwa bahan tersuspensi dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis dalam perairan.
Fitted Line Plot Laju S ed (g/m 2/hari) = - 21,55 + 0,8168 TS S (m g/L) 180
S R-S q R-S q (ad j)
Laju Sed (g/m2/hari)
160
33,0389 57,6% 54,6%
140 120 100 80 60 40 20 0 0
50
100 TSS (mg/ L)
150
200
Gambar 21. Hubungan antara laju sedimentasi (g/m2/hari) dengan padatan tersuspensi total (mg/L) selama penelitian
87
4.4.3. Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan berat rata-rata dan biomassa udang vaname. Hubungan konsumsi oksigen sedimen tambak dengan berat rata-rata udang vaname yang diperoleh selama pemeliharaan dari hari ke-1 sampai dengan ke-98 memperlihatkan adanya kecenderungan membentuk persamaan linear (Gambar 22, Lampiran 12). Hubungan linear yang ditunjukkan oleh konsumsi oksigen sedimen (SOD) (Y, mg O2/m2/jam) terhadap berat rata-rata udang vaname ( X, berat ; 0,005 < X < 14,29) adalah Y = 11,22 + 2,041 X dengan nilai R2 = 0,709 ; adjusted R2 = 0,689.
yang berarti bahwa bahwa variasi yang terjadi terhadap
besar kecilnya kebutuhan oksigen pada sedimen dasar, 70,9 % dapat diterangkan oleh karena adanya pertambahan berat rata-rata udang vaname dan sisanya sebesar 29,10 % diterangkan oleh faktor lain. Sedangkan nilai R2 adjusted = 0,689 , berarti bahwa nilai R2 yang disesuaikan sehingga gambarannya mendekati mutu penjenjangan model dalam populasi bernilai 0,689. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P < 0,01). F i tte d L i n e P l o t Ko n s . O ks ig e n S e d ( m g / m 2 / j a m ) = 1 1 ,2 2 + 2 ,0 4 1 Be r a t U d a n g ( g )
Kons. Oksigen Sed (mg/m2/jam)
50
S R-S q R - S q ( a d j)
7,07985 70,9% 68,9%
40
30
20
10
0 0
2
4
6 8 10 Be r a t Ud a n g ( g )
12
14
16
Gambar 22. Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen (mgO2/m2/jam) dengan berat rata-rata udang vaname (g) selama penelitian. Hubungan tingkat konsumsi oksigen pada sedimen tambak dengan berat biomassa udang vaname yang diperoleh selama pemeliharaan
dari hari ke-1
sampai dengan ke-98 memperlihatkan adanya kecenderungan membentuk persamaan linear (Gambar 23, Lampiran 13 ). Hubungan linear yang ditunjukkan
88
oleh konsumsi oksigen sedimen (SOD) (Y, mg O2/m2/jam) terhadap berat biomassa udang vaname ( X, biomassa; 1 < X < 2319) adalah Y = 11,00 + 0,01247 X.
Nilai korelasi dan koefisien regresi dari model hubungan yang
terbentuk tersebut yakni r = 0,870 dan R2 = 0,756 serta R2 yang terkoreksi = 0,739. Nilai r = 0,870 tersebut berarti bahwa adanya tingkat hubungan yang tinggi dan positif (87,0 %) antara konsumsi oksigen sedimen tambak dengan peningkatan bobot bimassa. Nilai R2 = 0,756 berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya nilai konsumsi oksigen sedimen 75,6 % terkait oleh karena adanya perubahan besar kecilnya peningkatan berat biomassa udang dan sisanya sebesar 24,4 % diterangkan oleh faktor lain.
Sedangkan nilai
R2
terkoreksi =0,739, berarti bahwa nilai R2 yang disesuaikan sehingga gambarannya mendekati mutu penjenjangan model dalam populasi bernilai 0,739. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P < 0,01). Hal ini dapat dijelaskan bahwa selama pemeliharaan udang bahan organik yang terakumulasi didasar tambak berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Peristiwa tersebut diikuti dengan penurunan oksigen terlarut. Penurunan oksigen ini disebabkan karena oksigen banyak dipakai untuk respirasi udang yang terus meningkat biomassanya, penguraian bahan organik serta untuk mengoksidasi bahan-bahan yang lain sehingga hal ini berpengaruh terhadap nilai konsumsi oksigen sedimen di dasar tambak. F i tte d L i ne P lo t Ko n s . O ks ige n S e d (m g /m 2 /ja m ) = 1 1 ,0 0 + 0 ,0 1 2 4 7 Bio m a s s a (kg)
Kons. Oksigen Sed (mg/m2/jam)
50
S R-S q R - S q ( ad j)
6,48164 75,6% 73,9%
40
30
20
10
0 0
500
1000 1500 Bio ma s s a ( kg )
2000
2500
Gambar 23. Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen (mgO2/m2/jam) dengan berat biomassa udang vaname (kg) selama penelitian.
89
4.4.4. Hubungan rasio konversi pakan dengan oksigen terlarut (mg/L) di tambak udang vaname selama penelitian. Oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang secara langsung berperan dalam proses metabolisme biota air termasuk udang.
Ketersediaan
oksigen terlarut dalam air media sering kali menjadi faktor pembatas (critical factor) bagi pertumbuhan dan kehidupan udang. Kandungan oksigen terlarut yang diamati selama penelitian berkisar 2,6 – 6,9 mg/L dengan rata-rata 4,14 mg/L. Dari data yang diperoleh selama pemeliharaan menunjukkan konsentrasi oksigen terlarut semakin menurun dengan meningkatnya nilai rasio konversi pakan hingga akhir penelitian yang berkisar antara 0,22 – 3,93. Hal ini dapat dijelaskan bahwa selama masa budidaya udang, bahan organik yang terakumulasi baik di air dan sedimen semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan karena seiring dengan pertumbuhan udang, maka jumlah pakan yang diberikan semakin bertambah sehingga sisa pakan dan hasil metabolisme udang juga semakin bertambah.
Beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh tambak
budidaya udang semakin meningkat. Peningkatan bahan organik dalam tambak diikuti dengan penurunan oksigen terlarut. Penurunan oksigen ini disebabkan karena oksigen banyak dipakai
untuk respirasi udang yang terus meningkat
biomassanya dan proses-proses metabolisme dalam tubuhnya, penguraian bahan organik serta untuk mengoksidasi bahan-bahan yang lain sehingga hal ini
8
4,5
7
4
6
3,5 3
5
2,5
4
2
3
1,5
2
1
1
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
12
14
Lama Pemeliharaan (Minggu ke-) DO Tambak A
DO Tambak B
FCR Tambak A
FCR Tambak B
Gambar 24. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut (mg/L) dan rasio konversi pakan udang vaname selama penelitian.
Rasio Konversi Pakan
Oksigen Terlarut (mg/L)
berpengaruh terhadap konsentrasi oksigen terlarut didalam tambak.
90
Pada awal pemeliharaan, kelarutan oksigen dalam tambak cukup tinggi sehingga akan
mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen udang vaname dan
oksigen yang berada dalam tubuh. Oksigen tersebut digunakan untuk proses oksidasi nutrien agar dihasilkan energi.
Energi yang dihasilkan dari proses
oksidasi nutrien tersebut akan digunakan untuk proses mencerna dan menyerap makanan, mengkonsumsi makanan dan mengaktivasi proses-proses anabolisme. Pada kondisi oksigen yang optimal maka pemanfaatan pakan yang diberikan ke udang akan efisien sehingga nilai rasio konversi pakan rendah dan diperoleh pertumbuhan yang optimal. Menurut Affandi dan Tang (2002) bahwa kandungan oksigen terlarut di perairan akan mempengaruhi konsumsi oksigen organisme air. Pada kisaran toleransi, tingkat konsumsi oksigen meningkat dengan meningkatnya kandungan oksigen di perairan dan mencapai nilai maksimum ketika dicapai konsentrasi optimum. F i tte d L i n e P l o t F C R = 4 ,2 8 4 - 0 ,6 6 9 4 DO (m g / L) 4
S R-S q R - S q ( a d j)
0,853368 47,8% 44,1%
FCR
3
2
1
0 2
3
4
5 D O ( m g / L)
6
7
Gambar 25. Hubungan antara rasio konversi pakan (FCR) dengan oksigen terlarut (mg/L) dalam tambak udang vaname selama penelitian. Hubungan antara rasio konversi pakan udang vaname dengan kelarutan oksigen dalam tambak yang diperoleh selama pemeliharaan memperlihatkan adanya kecenderungan membentuk persamaan linear negatif yakni rasio konversi pakan semakin meningkat dengan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dalam tambak (Gambar 25). Hubungan linear yang ditunjukkan oleh rasio konversi pakan (Y) terhadap kelarutan oksigen dalam tambak (X) adalah Y = 4,284 –
91
0,6694 X dengan nilai R2 = 0,478 ; adjusted R2 = 0,441, yang berarti bahwa bahwa variasi yang terjadi terhadap besarkecilnya nilai rasio konversi pakan, 47,8 % dapat diterangkan oleh karena adanya perubahan kelarutan oksigen dalam tambak udang vaname dan sisanya sebesar 52,2 % diterangkan oleh faktor lain. Sedangkan nilai R2 adjusted = 0,441, berarti bahwa nilai R2 yang disesuaikan sehingga gambarannya mendekati mutu penjenjangan model dalam populasi bernilai 0,441. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P <0,01). Konversi makanan merupakan bilangan yang menunjukkan jumlah makanan yang diperlukan untuk menghasilkan bobot tertentu. Semakin rendah nilai konversi makanan semakin baik karena sedikit makanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan bobot tertentu. Pada tingkat konsumsi oksigen yang optimal (metabolisme aktif), maka udang akan memanfaatkan pakan secara maksimum
atau
efisien
sehingga
dihasilkan
sejumlah
energi
untuk
pertumbuhannya dan pakan yang terbuang semakin sedikit. Jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan daging (pertumbuhan) akan semakin sedikit menyebabkan nilai rasio konversi pakan menjadi lebih kecil.
Menurut Huet
(1971) bahwa konversi makanan dipengaruhi oleh jumlah dan cara pemberian makanan, kelompok umur, kepadatan, bobot individu, suhu air, oksigen terlarut, tingkat kematian udang, masa simpan dan kualitas makanan yang digunakan Dengan mengetahui ketersediaan oksigen terlarut dalam air dan kebutuhan oksigen bagi keperluan respirasi udang dari habitat lingkungannnya, maka dapat diperhitungkan daya dukung perairan budidaya. Oksigen minimal yang dibutuhkan oleh udang vaname lebih tinggi pada udang yang berukuran lebih besar. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya biomassa yang terjadi pada tambak seiring dengan lamanya pemeliharaan.
Biomassa yang tinggi dapat
membuat permintaan oksigen meningkat , sehingga tambak memerlukan pasokan oksigen lebih tinggi dari kincir air maupun fitoplankton melalui proses fotosintesis. Untuk itu pengelolaan oksigen pada tambak intensif harus mempertimbangkan bobot rata-rata dan populasi udang, kondisi kualitas air (suhu, salinitas, konsentrasi oksigen terlarut, bahan organik, dan lain-lain) sehingga dapat memprediksi jumlah kebutuhan kincir air dalam tambak yang dapat mendukung pertumbuhan dan kehidupan udang vaname yang dipelihara.
92
V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Tingkat konsumsi oksigen sedimen dan laju sedimentasi cenderung semakin tinggi sejalan dengan semakin lamanya pemeliharaan udang vaname. Tingkat konsumsi oksigen sedimen yang diperoleh berkisar 3,4-48,0 mg O2/m2/jam setara dengan 1,15-19,35 mg O2/g bahan organik/jam dan laju sedimentasi berkisar 0,26-5,55 g/m2/ hari. 2. Tingkat konsumsi oksigen sedimen sangat dipengaruhi oleh variabel utama yang meliputi potensial redoks, total populasi bakteri dan bahan organik total. Sementara variabel kualitas air meliputi oksigen terlarut, BOD5, TSS dan amonia serta variabel produksi meliputi berat rata-rata dan biomassa udang. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang konsumsi oksigen sedimen tambak pada jenis dan tekstur tanah yang berbeda serta pada tingkat kepadatan udang yang berbeda.
Untuk menghitung tingkat konsumsi oksigen sedimen
disarankan menggunakan persamaan jumlah oksigen yang dikonsumsi per gram bahan organik untuk setiap jam.
93
DAFTAR PUSTAKA Abdunnur, Suyatna I, Rafii I. 2004. Variasi nilai potensial redoks dalam lapisan sedimen sebagai indikator stabilitas lingkungan perairan pesisir di Muara Badak, Kutai Kartanegara. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis 4 (1) : 24 – 35. Abel PD. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited, Chischester. John Wiley and Sons. New York. Adiwijaya D, Sapto PR., Sutikno E, Sugeng dan Subiyanto, 2003. Budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 29 hal. Affandi R, UM. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press. Riau. 217 hal. Ahmad T. 1991. Pengelolaan peubah mutu air yang penting dalam tambak udang intensif. Direktorat Jenderal Perikanan bekerjasama dengan International Development Research Center. Infish Manual Seri No. 25. Almadi IF. 2006. Konsumsi oksigen tanah dasar tambak tradisional di Desa Ambarawang laut, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. [tesis]. Samarinda. Program Pascasarjana Universitas Mulawarman. 85 hal. Alongi DM, Pfitzner J, Trott LA, Tirendi F, Dixon P, Klumpp DW. 2005. Rapid sediment accumulation and microbial mineralization in forest of the mangrove Kandelia candel in the Jiulongjiang Estuary, China. Estuaria, Coastl and Shelf science 63 (2005) : 605 – 618. [Anonim]. 2003. Litopenaeus vannamei sebagai alternatif budidaya udang saat ini. PT. Central Proteinaprima (Charoen Pokphand Group). Surabaya.16 hal. [Anonim]. 2005. Membangun kembali udang Indonesia. Sinar Tani. Edisi Mei 2005. No. 3098. Tahun XXXV. Hal 11 – 17 Arifin Z, Andrat K, Subiyanto. 2007. Teknik produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) secara sederhana. Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara 9 hal. Avnimelech Y. 1995. Sludge accumulation in the shrimp pond bottom: significance and management. Asian Shrimp News, p. 2 (4th quarter). Avnimelech Y, Ritvo G. 2001. Aeration, mixing and sludge control in shrimp ponds. Glob. Aquac. Alliance Advocate 4, 51– 53. Avnimelech Y, Rivto G. 2003. Shrimp and fish pond soil: process and management. Aquaculture 220 :549 – 567.
94
Azwar ZI. 2001. Perkembangan budidaya udang intensif , antara harapan dan keprihatinan. Warta Penelitian Prikanan Indonesia, Vol 7 (3): 15 –19. Bachtiar B. 1994. Pengaruh limbah organik tambak udang intensif terhadap kualitas lingkungan perairan pesisir. Studi kasus pada PP Tambak Inti Rakyat. Karawang [tesis].Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bittner A. 1989. Budidaya Air. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Boyd CE. 1982. Water quality for pond fish culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 312 p Boyd CE. 1990. Water quality in pond for aquaculture. Alabama Agriculture Experiment Station. Auburn University. Birmingham Publishing Co, Alabama. USA. 482 p. Boyd CE. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Auburn : Fisheries and Allied Aquacultures Departemental, Auburn University. 82 p Boyd CE. 1992. Shrimp Pond Bottom Soil and Sediment Management . p 166 – 181. In Wyban, J. (Editor) : Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming. Worl Aqaculture Society, Baton Rouge, L.A, U.S.A. . Boyd CE. 1995. Bottom Soil Sediment and Pond Aquaculture. Chapman & Hall. New York. 348 p. Boyd, C.E., 1999. Management of shrimp ponds to reduce the euthrophication potential of effluents. The Advocate, December, 1999 p:12-14. Boyd CE. 2003. Applying effluent standard to small-scale shrimp farm. Aquaculture Certification Council: http://
[email protected]. (12 Oktober 2007). Boyd CE., Fast AW. 1992. Pond Monitoring and Management. In. Fast AW and Lester LJ (eds). Marine Shrimp Culture Principles and Practices. Elsivier Science Publishing Comp. Inc., New York, p. 497 – 513. Bratvold D, Browdy CL. 2001. Effect of sand sediment and vertical surfaces (AquaMatsTM) on production, water quality, and microbial ecology in an intensive Litopenaeus vannamei culture system. Aquaculture 195 : 81 –94 p Bray WA, Lawrence AL, Leung –Trujillo JR. 1994. The effect of salinity on growth and survival of Penaeus vannamei with observations on interaction of IHHN virus and salinity. Aquaculture 122 : 133 – 146.
95
Brown AD. 1990. Microbial Water : Principles and Perspectives, John WiIey and Sons, Inc., New York Brune DE, Schwartz G, Eversole AG, Collier JA, Schwedler TE. 2003. Intensification of pond aquaculture and high rate photosynthetic systems. Aquaculture Engineering 28 (2003) : 65 – 86. Budiardi T. 1998. Evaluasi akumulasi bahan organic, penyiponan dan produksi udang windu (Penaeus monodon Fab). pada budidaya intensif [tesis].Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 63 hal. Budiardi T. 2007. Keterkaitan produksi dengan beban masukan bahan organik pada sistem budidaya intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei Boone 1931) [disertasi].Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bufford MA, Peterson EL, Baiano JCF, Preston NP. 1998. Bacteria in shrimp pond sediments: their role in mineralizing nutrients and some suggested sampling strategies. Aquac. Res.29: 843 – 849. Bufford MA, Longmore AR. 2001. High ammonium production from sediments in hypereutrophic shrimp pond. Mar. Ecol., Prog. Ser. 244 , 187 -195. Burford MA, Thompson PJ, McIntosh RP, Bauman RH, Pearson DC. 2003. Nutrient and microbial dynamics in high-intensity, zero-exchange shrimp ponds in Belize. Aquaculture 219 : 393 : 411. Buwono ID. 1993 Tambak Udang Windu; Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius, Yogyakarta. 151 hal. Chen JC, Liu PC, Lin YT. 1989. Culture of Penaeus monodon in an Intensified System in Taiwan. Journal of Aquaculture 77, 319 - 328. Cholik F , Poernomo A. 1988. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya intensif . Balai Penelitian Budidaya Pantai Maros. Makalah Disajikan dalam Seminar Aeration. Medan. 8 – 14 Desember 1988. Hal 35 – 36. Choo PS, Tanaka K. 2000. Nutrient level in ponds during the grow-out and harvest phase of Penaeus monodon under semi-Intensive or Intensive culture. Journal JIRCAS 8 : 13 – 20. Clifford HC. 1994. Semi-Intensive Sensation : A case study in Marine Shrimp Pond Management. World Aquaculture 25(3) : 10. Clifford HC. 1998. Management of ponds stocked with Blue Shrimp Litopenaeus stylirostris. In Print, Proceedings of the 1st Latin American Congress on Shrimp Culture, Panama City, Panama, 101- 109 p.
96
CP. Prima. 1993. Panduan budidaya udang windu semi intensif. Pusat Pengembangan Budidaya Udang Windu semi Intensif. Surabaya. 42 hal. Delgado PC, Avnimelech Y, McNeil R, Bratvold D, Browdy CL, Sandifer P. 2001. Physical, chemical and biological characteristics of radially aerated shrimp ponds. Aquaculture, in press. Effendi H. 2000. Telaah Kualitas Air : Bagi pengelolaan sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan managemen Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Bogor. 258 hal. Effendi I. 1998. Ekosistem Pertambakan dan Pelestarian produktivitasnya. Makalah disampaikan pada Pelatihan Singkat Perlindungan Lingkungan Mangrove dan Tambak Suatu Upaya Pelestarian Produksi Ekosistem Mangrove dan Tambak. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB. Bogor. Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor Ellis MS. 1992. Oxygen, carbon and sulfur cycling in the sediments of hypereutrophic mesocosms (shrimp mariculture ponds). MSc thesis, Texas A&M University, Texas. 152 pp. Emiyarti. 2004. Karakteristik fisika kimia sediment dan hubungannnya dengan struktur komunitas makrozoobenthos di perairan teluk kendari. [tesis].Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fahrur M, Yulianingsih R. 2006. Teknik pengukuran laju sedimentasi pada tambak intensif udang vanamei (Litopenaeus vannamei ). Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa, 18 – 19 Mei 2006, Bali. Hal 117 – 122. Fukuda R. 2000. Microbial Degradation of Proteinaceous Organic Matter in Marine Environments, University of Tokyo. Tokyo.Japan. Funge-Smith SJ, Briggs MRP. 1998. Nutrient budgets in intensive shrimp ponds: implications for sustainability. Aquaculture 164, 117– 133. Gang CL, Shaojing , Shengyun Y. 1998. Estimation of carryng capacity of mariculture development in Xianmen. The regional Workshop on Partnership in the Application of integrated Coastal Management, Chonburi, Thailand, pp 81 – 90. Ginting EL. 1995. Hubungan habitat tambak udang windu (Penaeus monodon) dengan populasi bakteri Vibrio sp . [tesis].Bogor : Fakultas Pasacasarjana Institut Pertanian Bogor. 85 hal.
97
Goldman CR , Horne AJ. 1983. Limnology. Mc-Graw Hill International Book Company. London . 464 p. Golterman HL. 1990. The influence of Lime and biological activity sediment, pH, redox and Phosphorous dynamic. Kluwer Academic Publication. Belgium. Gray NF. 2004. Biology of Wastewater treatment. Second Edition. Imperial. Colleg Press. University of. Dublin. Ireland. Gunarto. 2006. Apakah nilai reduksi dan oksidasi potensial sedimen tambak berpengaruh terhadap produksi udang windu di tambak ?. Media Akuakultur No.1 (3) : 91 – 96. Haeruddin. 2006. Analisis terpadu sediment dalam penetapan status pencemaran perairan estuaria Wakak-Plumbon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. [disertasi].Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 138 hal. Hagreaves JA. 1988. Nitrogen biogeochemistry of aquaculture ponds. Aquaculture. 166 : 181 - 212. Haliman, R.W., dan D. Adijaya S. 2005. Udang vannamei, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hal. Hanafi A. 1986. Evaluation of Barckishwater Fishpond Productivity in Bulacan Province. Thesis S2. Subnitted to the Faculty of The Graduate School University of the Philippines at Los Banos. 145 p. Hanafiah KA. 2005. Jakarta. 360 hal.
Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada.
Hariyadi SI, Suryadiputra INN, Widigdo B. 1992. Limnologi : Metoda Analisis Kualitas Air. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 58 hal. Harris E. 1993. Perencanaan usaha budidaya udang berkelanjutan. Makalah Simposium Perikanan Nasional I, Jakarta 25 – 27 Agustus. 1993. Harris E. 1993. Perencanaan dan pengelolaan bangunan budidaya pesisir bewawasan lingkungan dan berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu. Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Bogor dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah DEPDAGRI RI dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Jakarta. 20 hal. Hendrajat EA, Mangampa M. 2007. Pertumbuhan dan sintasan udang vaname (Litopenaeus vannamei ) pola tradisional plus dengan kepadatan berbeda. Jurnal Riset Akuakultur. Vol 2 ( 2 ): 149 – 155.
98
Hopkins JS , Hamilton RD, Sandifer PA, Browdy CL, Stokes AD. 1993. Effect of water exchange rate on water quality effluent characteristics and nitrogen budgets of intensive shrimp ponds. Journal of World Aquaculture Society 24 : 304 – 320. Hopkins JS , Sandifer PA, Browdy CL. 1994. Sludge management in intensive pond culture of shrimp- effect of management regime on water quality, sludge characteristics, nitrogen exiction, and shrimp production . Aquac. Eng. 13, 11 – 13. Huet M., 1971. Texbook of Fish Culture: Breeding and Cultuvation of Fish. Fishing Press, Inc Queson City Phillipines 436 p. Hutabarat S, Evans MS. 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah data statistik dengan mudah menggunakan Minitab 14. Penerbit Andi Yogyakarta. 469 hal. Jorgensen SE. 1980. Lake Management. Pergamon Press. Oxford. Law AT. 1988. Water quality requirements for penaeus monodon culture. Proceeding of Seminar on Marine Prawn Farming in Malaysia. Malaysia Fisheries Society: pp 53 -65. Lemonnier H, Brizard R. 2001. Number of shrimp crops and shrimp density effects on sediment accumulation on earthen pond bottoms. World Aquaculture Society meeting, January 21–25, 2001, Disney’s Coronado Springs Resort Lake Buena Vista, Florida. Book of Abstracts, p. 365. Leonard N, Blanchetoq JP, Guiraud JP. 2000. Population of Heterotrophic Bacteria in an Experimental Resirculating Aquaculture System, Journal of Aquaculture Engineering 22, 109 -120. Lin CK, Nash GL. 1996. Asian Shrimp News, Collected Columns, 1989 – 1995. Asian Shrimp Culture Council, Bangkok, Thailand. Lin YC, Chen JC. 2001. Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei boone juveniles at different salinity levels. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. Elsevier Science Ltd. ISSN 0022-0981.259 (1) : 109 – 119 . Madenjian CP. 1990. Pattern of oxygen production and consumption in intensively shrimp ponds. Aquac Fish Manage (12) : 402 – 417. Martin JLM, Veran Y, Guelorget O, Pham D. 1998. Shrimp rearing: stocking density, growth, impact onsediment, waste output and their relationships studied through the nitrogen budget in rearing ponds. Aquaculture 164, 135–149.
99
Maswardi A, Sutikno E , Adiwijaya D. 2003. Usaha budidaya tambak dan pembenihan terpadu . Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 16 hal. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. Jurusan Statistik Facultas MIPA. Institut Pertanian Bogor. 281 hal. Mc Graw WJ, Scarpa J. 2002. Determining ion concentration for Litopenaeus vannamei culture in freshwater. Global Aquaculture. Advocate.5 (3): 3637. Meagaung WDM. 2000. Karakterisasi dan pengelolaan residu bahan organik pada dasar tambak udang intensif [disertasi]. Makassar. Program Pasacasarjana Universitas Hasanuddin. 128 hal. Meijer LE, Avnimelech Y. 1999. On the use of micro-electrodes in fish pond sediments. Aquac. Eng. 21, 71– 83. Mendez LC, Raccota IS, Acosta B, Portilo- Clark G. 2004. Effect of sediment on growth and survival of post larval Litopenaeus stylirostris (Boone, 1931). Aquaculture Research 35 : 653 – 658. Metcalf and Eddy. 1991. Wastewater Engineering: Collection, Treatment, Disposal. McGraw-Hill Book Publishing Company Ltd. New York. Mitchell R. 1992. Water Pollution Microbiology. Wiley Interscience Publication, New York. Monoarfa W, Hanafi A. 1998. Efektifitas pemupukan terhadap perubahan potensi reduksi-oksidasi pada tanah tambak budidaya udang intensif. Torani, Buletin Ilmu Kelautan, No. I Vol (8). Moriarty DJW. 1999. Microbial Biosystem; New Frontiers. In Bell CR, M. Brylinsky ans G.P. Johnson(Editor). Proceeding of the 8th International Symposium on Microbial Ecology. Canada. Muliani, Atmomarsono M, Madeali MI. 1998. Pengaruh penggunaan kekerangan sebagai biofilter terhadap kelimpahan dan komposisi jenis bakteri pada budidaya udang windu (Penaeus monodon) dengan sistem resirkulasi air. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Maros Vol IV(4) : 54 – 61. Muliani, Nurbaya, Atmomarsono M. 2006. Penapisan bakteri yang diisolasi dari tambak udang sebagai kandidat probiotik pada budidaya udang windu (Penaeus monodon). Jurnal Riset Akuakultur. Vol 1 (1) : 73 – 85.
100
Musafir A. 1999. Studi kelayakan kualitas air fisika dan kimia sungai Kalibone Kabupaten Pangkep yang digunakan untuk pengairan tambak. [Skripsi]. Ujung Pandang: Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Muslim Indonesia. 57 hal. Mustafa. A. 1997. Penelitian kinerja bakteri Pseudomonas sp pada berbagai pH tanah gambut. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Nagata T, Meoq B, Kirchman DL. 2003. Microbial Degradation of Dissolved Organic Matter in Sea Water, Journal of Limnology and Oceanography 48, 745-754. Nolan PM, Johnson AF. 1979. A Method for Measuring sediment Oxygen Demand Using a Bench Model Benthic Respirometer. US. Environmental Protection Agency. Lexington, Massachusetts. 5 p. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Third. Editions. W. B.Sounders Co. Philadelphia- London. Toronto. 574 p. Paez-Osuna F, Guerrero-Galvan SR., Ruiz-Fernandez AC. 1999. Discharge of nutrients from shrimp farming to coastal waters of the Gulf of California. Mar. Pollut. Bull. 38, 585– 592. Pantjara B, Hanafi A, Mustafa A. 1997. Karakterisasi mikroba asal tanah gambut. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Peterson J, Daniels P. 1992. Shrimp Industry Prespectives on Soil and Sediment Management p : 182 – 193. In Wyban, J. (Editor) : Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming. Worl Aqaculture Society, Baton Rouge, L.A, U.S.A. Poernomo A. 1988. Pembuatan Tambak Udang di Indonesia. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros Poernomo A. 1989. Faktor lingkungan dominan pada budidaya udang Intensif. dalam Bittner, A. Budidaya Air. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Poernomo A. 1996. Peranan tata ruang dan desain interior kawasan pesisir dan pengelolaannya terhadap kelestarian budidaya tambak. Disampaikan pada Pertemuan Teknis Pengembangan Sistem Pengendalian Penyakit Udang. Direktorat Jenderal Perikanan, 1 – 2 Oktober 1996, BBAP Jepara, 35 hal. Poernomo A. 2002. Perkembangan udang putih vannamei (Penaeus vannamei) di Jawa Timur. Disampaikan dalam Temu Bisnis Udang . Makassar, 19 Oktober 2002.
101
Poernomo A. 2004. Teknologi Probiotik untuk Mengatasi Permasalahan Tambak Udang dan Lingkungan Budidaya. Makalah disajikan pada Simposium Perkembangan Ilmu dan Teknologi Inovasi Dalam Bidang Akuakultur. 27 – 29 Januari 2004. Semarang. 20 hal. Pratista A. 2005. Aplikasi SPSS 10.05 dalam Statistik dan Rancangan Percobaan. Penerbit Aleareta. 138 hal. Primavera JH. 1994. Environmental and socioeconomic effect of shirmp farming : The Philippine Experience, Infofish International I, 44 - 49. Primavera JH, Apud FF. 1994. Pond culture of Sugpo (Penaeus monodon Fabricus). Philipp J. Fish 18 (5) : 142 – 176. Rachmansyah, Makmur, Kamaruddin. 2004. Pendugaan laju sedimentasi dan dispersi limbah partikel organik dari budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung di Laut. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Akuakultur. Vol 10 (2). Rachmansyah., Suwoyo HS, Undu MC, Makmur. 2006. Pendugaan nutrient Budget tambak intensif udang Litopenaeus vannamei. Jurnal Riset Akuakultur. Vol 1 (2) : 181 -202. Rahman MA. 2005. Kajian aspek teknis dan ekonomis budidaya udang intensif di tambak. (Studi Kasus di Kabupaten Situbondo). J. Fish Science VII (1) : 71 – 79. Ram N, Zur O, Avnimelech Y. 1982. Microbial changes occurring at the sediment– water interface in an intensively stocked and fed fish pond. Aquaculture 27, 63–72. Ray WM, Chien YH. 1992. Effect of stocking density and age on tiger prawn, Penaeus monodon, nursery system. Aquaculture 104 : 231 – 248. Rheinheimer G. 1992. Aquatic Microbiology, John Wiley & Sons, Inc., New York Rompas Rhoads DC. 1974. Organism-Sediment Relation. in : Oceanography and Marine Biology. Barnes H (eds ) . George Allen & Unwin Ltd. London. Rosenberry. 2006. Shrimp News International. http://www.shrimpnews.com ( 6 Februari 2007). Samocha TM, Lawrence DL, Bray WA. 1993. Design and opration of an intensive nursery raceway system for penaeid shrimp. James P. McVey (ed) CRC Hand Book of Mariculture 2nd edition Vol 1 . Crustacean Aguaculture. Fishery Biologist. National Sea Grant College Program Silver Spring, Maryland. pp113-210.
102
Selley RC. 1988. Applied Sedimentology. London : Academic Press, Harcourt. Brace Jovanovich Publisher. Siregar PR , Hasanah I. 2006. Keberlanjutan, keadilan dan ketergantungan wajah tambak udang Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia .WALHI . Jakarta hal 24 – 37 Sitorus H. 2005. Estimasi daya dukung lingkungan pesisir untuk pengembangan areal tambak berdasarkan laju biodegradasi limbah tambak di perairan pesisir Kabupaten Serang. [disertasi].Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Smith PT. 1996. Physical and chemical characteristics of sediments from prawn farms and mangrove habitats on the Clarence River,Australia..Aquaculture 146, 47– 83. Soemardjati W, Suriawan A. 2007. Petunjuk teknis budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di Tambak. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 30 hal. Soeriaatmadja RE. 1981. Ilmu Lingkungan. Penerbit ITB Bandung. Soetomo MHA. 2002. Teknik Budidaya Udang Windu. Penerbit Sinar Baru Algensindo. Bandung Soewardi K. 2002. Pengelolaan kualitas air tambak. Makalah disampakan dalam Seminar Penetapan Standar Kualitas Air Buangan Tambak. Ditjen Perikanan Budidaya. Puncak 7 – 9 Agustus 2002. Subroto. 2003. Tanah , Pengelolaan dan Dampak. Fajar Gemilang. Samarinda. 194 hal. Sudibyaningsih T. 1983. Pengaruh penggunaan pestisida terhadap bentos di daerah intensifikasi pertanian karawang. [tesis].Bogor : Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian. Sugama, K . 2002. Status budidaya udang introduksi Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris serta prospek pengembangannya dalam tambak air tawar. Disampaikan dalam Temu Bisnis Udang . Makassar, 19 Oktober 2002. 7 hal. Sulaiman W. 2004. Analisis Regresi Menggunakan SPSS, Contoh Kasus dan Pemecahannya. Penerbit Andi. Jawa Barat. 138 hal. Sumawidjaya K. 1997. Dasar-Dasar Limnologi. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.
103
Sunarto. 2003. Peranan Dekomposisi dalam Produksi pada Ekosistem di Laut. Tugas Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. 17 hal. Suplee MW, Cotner JB. 1996. Temporal change in oxygen demand and bacterial sulfat reduction in inland shrimp pond. Aquaculture, 145; 141 – 158. Suprapto. 2005. Petunjuk teknis budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei). CV Biotirta. Bandar Lampung. 25 hal. Sutanto, I. 2005 . Kesuksesan budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di Lampung. dalam A.Sudrajat, Z.I.Azwar, L.E.Hadi. Haryanti. N.A.Giri dan G.Sumiarsa. 2005. Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 67 – 72. Sutikno. 1984. Pengantar Petrologi. Fakultas Geografi. Mada. Yogyakarta.
Universitas Gajah
Suwoyo HS, Hendrajat EA. 2006. Pemeliharaan udang vaname (Litopenaeus vannamei) pada substrat yang berbeda. Prosiding Seminar Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta. Suwoyo HS, Mangampa M, Rachmansyah, Tonnek S. 2005. Optimalisasi penggunaan kincir pada buddidaya udang vaname di lahan bekas tambak udang windu intensf. Laporan Hasil Penelitian. Balai Reset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. 19 hal Suyanto SR , Mujiman A. 2002. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya . Jakarta. 211 hal. Tahe S. 2008. Pengaruh pengurangan ransum pakan terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) dalam wadah terkontrol. Laporan Hasil Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. 16 hlm. Taurusman AA. 1999. Model sedimentasi dan daya dukung lingkungan Segara Anakan untuk kegiatan budidaya.[tesis].Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Teichert-Coddington DR, Martinez D, Ramirez E. 1996. Characterization of shrimp farm effluents in Honduras and chemical budgets of selected nutrients. pp:136-146. In: Egna, H., Goetze, B., Burke, D., McNamara, M., and Clair, D. (Editors). Thirteenth Annual Technical Report. Pond Dynamic/Aquaculture Collaborative Research Program, International Research and Development, Oregon State University, Covallis, OR, USA. [http://pdacrsp.oregonstate.edu/pubs/technical/13tchhtml/2.b.1/2.b.1.html. 6-07-2004].
104
Tracee G. 2002. Inland shrimp farming in West Texas. Global Aquaculture Advocate 5 (3) 46 – 47. Trenggono E. 2003. Timbang lagi keputusan anda bertambak vannamei. Trobos.Edisi Mei 2003. Vol 44 : 61-63. Tricahyo. 1995. Biologi dan Kultur Udang Windu (Penaeus monodon Fabr). Penerbit CV. Akademika Pressindo. Jakarta 211 hal. Wardoyo STH. 1994. Pengelolaan Kualitas Air Wilayah Pesisir. ICZPM. PPLHIPB dan Bakosurtanal. Bogor. Wetzel RG, Likens GE. 1991.Limnological Analysis. Philadelphia. W.B.Saunders. Widiasa IK. 2005. Shrimp Harvest Report In Barru. CP. Prima. Makassar. 3 hal Widigdo B, Soewardi K. 1999. Standard Operasional Prosedure (SOP) Budidaya Udang Windu di Proyek Pandu TIR (PPTIR) Karawang. Kerjasama Proyek Pandu Tambak Inti Rakyat (PPTIR) dengan FPIK Iinstitut Pertanian Bogor.16 hlm Wikipedia. 2007. Heterotrof. http://e.wikipedia.org/wiki/Heterotrof (12 Juli 2007). Wood MS. 1987. Autralia.
Subtidal Ecology. Edward Arnold Pty. Limited. Sydney
Wyban JA, Sweeny JN. 1991 Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute Makapuu Point. Honolulu, Hawai USA. 158 p Wyk VP, Hodgkins MD, Laramore R, Main KL, Mountain J, Scarpa J. 1999. Farming marine shrimp in recirculating freshwater system. http://www.hboi.edu/aquq/tarining_pubs.html ( 10 Agustus 2007). Zweig RD, Morton JD, Stewart MM. 1999. Source water quality for aquaculture. A Guide for Assessment. Enviromentally and Socially Sustainable Development. The World Bank Washington DC. U.S.A. 62 p
105
LAMPIRAN
106
Lampiran 1. Peta lokasi penelitian.
Lokasi Penelitian
107
Lampiran 2. Hasil analisis regresi pada 5 variabel yang berhubungan dengan konsumsi oksigen sedimen tambak menggunakan metode Backward (SPSS Versi 14.00) Model
Variabel yang dimasukkan dalam persamaan
Variabel yang dikeluarkan dalam persamaan
Metode
1
Umur, B.Organik, Bakteri, pH, Redoks (a)
.
Enter
2
.
pH
Backward (Kriteria: Probabilitas dari F untuk dikeluarkan ≥ 0,100).
3
.
Umur
Backward (Kriteria: Probabilitas dari F untuk dikeluarkan ≥ 0,100).
4
.
B.Organik
5
.
Bakteri
Backward (Kriteria: Probabilitas dari F untuk dikeluarkan ≥ 0,100). Backward (Kriteria: Probabilitas dari F untuk dikeluarkan ≥ 0,100).
a Semua variable dimasukkan dalam persamaan. b Variabel terikat/tergantung : SOD (Sediment Oksigen Demand/ Konsumsi oksigen sedimen) Lampiran 3. Ringkasan persamaan regresi dalam menentukan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi oksigen sedimen
Model
R
R2
R2 yang dikoreksi
Standar galat estimasi
1 2 3 4 5
0,943(a) 0,941(b) 0,937(c) 0,929(d) 0,914(e)
0,889 0,878 0,878 0,862 0,836
0,834 0,834 0,847 0,841 0,824
5,17468 5,16508 4,95690 5,06071 5,32451
Keterangan : a Prediktor : (Konstanta), umur, Bahan Organik, Total Bakteri, pH, Redoks b Prediktor: (Konstanta) , umur, Bahan Organik, Total Bakteri, Redoks c Prediktor: (Konstanta), Bahan Organik, Total Bakteri, Redoks d Prediktor: (Konstanta), Total Bakteri, Redoks e Prediktor: (Konstanta) , Redoks
108
Lampiran 4. Analisis ragam atau Uji F dari variabel-variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi oksigen sedimen tambak
Persamaan 1 2 3 4 5
Regresi Sisa Total Regresi Sisa Total Regresi Sisa Total Regresi Sisa Total Regresi Sisa Total
Jumlah Derajat Kuadrat bebas Tengah 2147,10 5 267,77 10 2414,87 15 2121,41 4 293,46 11 2414,87 15 2120,02 3 294,85 12 2414,87 15 2081,9 2 332,9 13 2414,87 15 2018,0 1 396,9 14 2414,9 15
Kuadrat Tengah
F
P
429,42 26,78
16,04
0,000(a)
530,35 26,68
19,88
0,000(b)
706,67 24,57
28,76
0,000(c)
1041,0 25,6
40,65
0,000(d)
2018,0 28,4
71,18
0,000(e)
Keterangan : a Prediktor : (Konstanta), umur, Bahan Organik, Total Bakteri, pH, Redoks b Prediktor: (Konstanta) , umur, Bahan Organik, Total Bakteri, Redoks c Prediktor: (Konstanta), Bahan Organik, Total Bakteri, Redoks d Prediktor: (Konstanta), Total Bakteri, Redoks e Prediktor: (Konstanta) , Redoks
Lampiran 5. Konstanta dan koefisien regresi pada persamaan 3 dari variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi oksigen sedimen tambak Model Konstanta Bahan Organik Total Bakteri Potensial Redoks
B /Koefisien 0,496 2,56 3,71 -0,09489
t 0,031 -1,249 1,785 -6,847
P 0,975 0,237 0,099 0,000
109
Lampiran 6. Rata-rata dan standard deviasi beberapa variabel kualitas sedimen tambak udang vaname Variabel
Kisaran
Rerata
Kons.o ks.sedimen (mg O2/m2/jam) Bahan organik total (%) Total bakteri (Log cfu/g) Potensial redoks (mV) pH
3,4 – 48 0,90616 – 2,9578 5,8403 – 9,0463 - 157 - +146 6,9 – 7,7
23,5 1,8217 7,7549 11,6875 7,2887
Standar Deviasi 12,8 0,6731 0,7413 112,9446 0,2612
Lampiran 7. Matriks korelasi hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas serta antar variabel – variabel bebas. SOD
SOD
B.Organik
Bakteri
Redoks
pH
Umur
Korelasi Pearson Probabilitas N Korelasi Pearson Probabilitas N Korelasi Pearson Probabilitas N Korelasi Pearson Probabilitas N Korelasi Pearson Probabilitas N Korelasi Pearson Probabilitas N
1
BOT ,228
Bakteri ,632(**)
Redoks -,914(**)
pH -,744(**)
umur ,823(**)
,395
,009
,000
,001
,000
16
16
16
16
16
16
,228
1
,311
-,351
-,585(*)
,453 ,078
,395
,241
,183
,017
16
16
16
16
16
16
,632(**)
,311
1
-,541(*)
-,525(*)
,575(*)
,009
,241
,030
,037
,020
16
16
16
16
16
16
-,914(**)
-,351
-,541(*)
1
,827(**)
-,932(**)
,000
,183
,030
,000
,000
16
16
16
16
16
16
-,744(**)
-,585(*)
-,525(*)
,827(**)
1
-,883(**)
,001
,017
,037
,000
,000
16
16
16
16
16
16
,823(**)
,453
,575(*)
-,932(**)
-,883(**)
1
,000
,078
,020
,000
,000
16
16
16
16
16
Keterangan : ** Korelasi nyata pada level 0,01 . * Korelasi nyata pada level 0,05. SOD = Sediment Oxygen Demand
16
110
Lampiran 8. Hasil pengukuran konsumsi oksigen sedimen, bahan organik total, total populasi bakteri, potensial redoks, pH dan umur pemeliharaan Lama Pemeliharaan
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke- 8
SOD
B.Organik
Tot. Bakteri
Redoks
pH
8 0,6 16,5 25 18 9,5 10,8 20,8 5,6 28 16,5 12,5 11,6 23,4 15,9 29,4 22,1 16,8 11 4,3 23,1 7,9 28,4 7,9 16,8 21,8 14,5 20,8 35,7 8,6
2,0300 0,7612 1,2687 1,7762 1,3956 1,2687 1,7762 1,1356 1,1762 1,5225 1,1419 0,1269 1,4303 1,86 0,2862 0,7154 1,1446 5,2018 1,4308 0,7154 0,5723 1,4308 1,1446 5,2018 1,7169 1,86 1,2677 1,5739 0,8585 5,2018
6,5328 6,699 6,3892 6,4871 5,3054 5,7284 7,8751 7,4314 8,3784 7,9912 7,4771 7,8129 8,4028 8,9058 8,017 8,3075 8,1644 7,959 7,2672 7,4624 7,4361 7,7959 6,3979 8,3404 6,9542 6,9191 11 7,243 8,6721 7,3617
126 153 101 158 117 164 67 124 129 -19 105 163 106 127 53 56 104 77 91 142 56 67 119 85 -93 103 18 84 95 68
7,48 7,75 7,51 7,45 7,76 7,62 7,75 7,67 7,68 7,73 7,38 7,47 7,54 7,55 7,17 7,5 7,71 7,33 7,42 7,62 7,56 7,38 7,06 7,36 7,02 7,31 7,14 7,16 7 7,15
111
Lanjutan ..... Lama Pemeliharaan
Minggu ke-10
Minggu ke-12
Minggu ke-14
SOD
B.Organik
Tot. Bakteri
Redoks
pH
15 28 20 33 37 22 49,8 47,5 41,3 47 46 51 49,8 25,1 28,4 34 25 60
1,7169 2,7185 1,4308 1,1446 1,86 4,9481 0,4292 1,86 1,4308 1,4308 1,86 5,5825 1,86 1,4308 1,4308 1,7169 1,2877 4,3137
7,3979 7,7404 7,6107 7,1303 8,3617 7,6484 8,5798 6,9294 8,8007 9,3075 9,3617 8,4698 7,6989 8,7924 7,4183 10 8,2718 6
-78 -108 -87 -97 -15 -9 -184 -118 -116 -180 -124 -135 -172 -127 -160 -156 -164 -152
7,15 6,83 7 7,06 7,15 7 6,84 7,05 7,09 7,09 6,74 6,87 7,23 7,13 7,15 7,2 7,05 7,01
112
Lampiran 9. Analisis ragam bagi persamaan regresi berat rata-rata udang vaname dengan umur/waktu pemeliharaan. Persamaan Regresi :
Y = - 1,673 + 0,1568 X
Y = Berat rata-rata (g) X = Waktu/umur (hari) Koefisien
Standar Galat Koefisien
Konstanta
-1,6728
0,4164
Umur/hari
0,1567
0,007110
R2
t- hitung
-4,02
0,001
22,05
R2 yang dikoreksi
0,972
Probabilitas
0,000
Standar galat estimasi
0,970
0,90688
Analisis Ragam : Sumber Keragaman Regresi Sisa Total
Derajat bebas 1 14 15
Jumlah Kuadrat Tengah 399,77 11,51 411,29
Kuadrat Tengah 399,77 0,82
F
P
486,08
0,000
Lampiran 10. Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen dengan beberapa parameter kualitas air Hubungan SOD dengan oksigen terlarut SOD dengan BOD5 SOD dengan TSS SOD dengan amoniak
Persamaan Regresi Y = 74,87 - 12,33 X1 Y = -3,86 + 5,86 X2 Y = 10,37 + 0,18 X3 Y = 14,83 + 26,36 X4
Keterangan : SOD = Konsumsi oksigen sedimen (sedimen oxygen demand) X1 = Oksigen terlarut X2 = BOD5 X3 = Padatan tersuspensi total X4 = Amoniak
R2 0,621 0,545 0,430 0,334
113
Lampiran 11. Analisis ragam bagi persamaan regresi konsumsi oksigen sedimen dengan laju sedimentasi Persamaan Regresi : Y = 16,41 + 0,1909 X Y = Konsumsi Oksigen Sedimen (mg O2/m2/jam) X = Laju sedimentasi (g/m2/hari) Koefisien 16,408
Konstanta Lj. Sedimentasi
Standar Galat Koefisien 2,818
0,19095 R2 0,544
0,04670 R2 yang dikoreksi 0,512
t- hitung 5,82
Probabilitas 0,000
4,09
0,001
Standar galat estimasi 8,86635
Analisis Ragam : Sumber Keragaman
Derajat bebas 1 14 15
Regresi Sisa Total
Jumlah Kuadrat Tengah 1314,30 1100,57 2414,87
Kuadrat Tengah 1314,30 78,61
F
P
16,72
0,001
Lampiran 12. Analisis ragam bagi persamaan regresi konsumsi oksigen sedimen dengan berat rata-rata udang vaname. Persamaan Regresi : Y = 11,2 + 2,04 X Y = Konsumsi Oksigen Sedimen (mg O2/m2/jam) X = Berat rata-rata (g) Koefisien 11,221
Konstanta Berat (g)
Standar Galat Koefisien 2,750
t- hitung 4,08
Probabilitas 0,001
0,3491
5,85
0,000
2,0409 R2 0,709
R2 yang dikoreksi 0,689
Standar galat estimasi 7,07985
Analisis Ragam : Sumber Keragaman Regresi Sisa Total
Derajat bebas 1 14 15
Jumlah Kuadrat Tengah 1713,1 701,7 2414,9
Kuadrat Tengah 1713,1 50,1
F
P
34,18
0,000
114
Lampiran 13. Analisis ragam bagi persamaan regresi konsumsi oksigen sedimen dengan berat biomassa udang vaname. Persamaan Regresi : Y = 11,0 + 0,01247 X Y = Konsumsi Oksigen Sedimen (mg O2/m2/jam) X = Berat biomassa udang (kg) Koefisien 11,003
Konstanta Biomassa (kg)
0,012465 R2 0,756
Standar Galat Koefisien 2,496 0,001890 R2 yang dikoreksi 0,739
t- hitung 4,41 6,59
Probabilitas 0,001 0,000
Standar galat estimasi 6,48164
Analisis Ragam : Sumber Keragaman Regresi Sisa Total
Derajat bebas 1 14 15
Jumlah Kuadrat Tengah 1826,7 588,2 2414,9
Kuadrat Tengah 1826,7 42,0
F
P
43,48
0,000
115
Lampiran 14. Perhitungan jumlah sedimen (limbah organik) yang terakumulasi dalam tambak dan beberapa pendekatan pustaka yang lain. 1). Jumlah sedimen yang terakumulasi dalam tambak hingga akhir pemeliharaan sekitar 245,53 g/m2/hari x 4.000 m2 (luas tambak) = 982,12 kg/petak/siklus pemeliharaan. 2). Jumlah sedimen /padatan tersuspensi dengan pendekatan selisih jumlah pakan yang diberikan untuk menghasilkan daging atau produksi udang adalah: Jumlah limbah organik = Σ pakan yang diberikan – Σ produksi udang = 3.246,6 kg - 2.319 kg = 927,6 kg 3). Jumlah sedimen /padatan tersuspensi dengan pendekatan menurut Primavera dan Apud (1994) adalah : Dalam proses budidaya intensif 35 % dari input pakan akan menjadi limbah berupa padatan tersuspensi. Jika FCR 1 : 1,4, maka jumlah pakan yang digunakan sebesar 3.246,6 kg, sehingga jumlah padatan tersuspensi yang dihasilkan sebesar 1.136,3 kg. 4). Jumlah sedimen /padatan tersuspensi dengan pendekatan kecernaan protein (Digestibility protein) sebesar 60 – 70 % adalah : Dengan pendekatan kecernaan protein sekitar 60-70 %, maka protein yang tidak tercerna dari pakan sekitar 40 % akan menjadi limbah organik dalam tambak sebesar 40 % x 3.246,6 (jumlah pakan) sehingga diperoleh limbah organik sebesar 1.298,64 kg. 5). Jumlah sedimen /padatan tersuspensi dengan pendekatan menurut Huisman (1987) adalah : Untuk konversi 1 : 1,4, maka setiap 1 kg pakan menghasilkan 514 g padatan tersuspensi. Jika produksi udang 2.319 kg, maka pakan yang digunakan sebesar 3.246,6 kg, sehingga akan menghasilkan limbah organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 1.668,7 kg.