215
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
STUDI PERBAIKAN PEMATANG TERHADAP KUALITAS AIR DAN PRODUKSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SEMI INTENSIF PADA TAMBAK ALUVIAL DI KABUPATEN BARRU Andi Sahrijanna dan Brata Pantjara Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Udang vaname merupakan salah satu komoditas utama di sektor perikanan yang diandalkan dalam peningkatan produksi udang secara nasional. Dalam pengembangannya, budidaya udang vaname tidak hanya dikelola secara intensif, namun juga ekstensif yang umumnya dilakukan di tambak idle maupun marginal seperti tambak tanah aluvial. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbaikan pematang dengan pelapisan plastik terhadap kualitas air dan produksi udang vaname semi intensif di tambak aluvial. Penelitian menggunakan dua petak tambak ukuran 3000 m2 yang pematangnya di lapisi dengan plastik mulsa sebagai pelakuan (A) dan ukuran 4000 m2 pematangnya tanpa plastik mulsa sebagai perlakuan (B), kemudian ditebari benur vaname PL-10 masing-masing dengan padat penebaran 75 ekor/m 2. Sebelum penebaran terlebih dahulu dilakukan perbaikan dasar tambak sesuai dengan sistem operasional tambak.Kualitas air tambak (salinitas, pH, suhu dan oksigen terlarut) dimonitor secara insitu dan bahan organik total, amonia, nitrit, nitrat, fosfat, TSS dianalisis dilaboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan plastik mulsa untuk perbaikan pematang dapat memperbaiki kualitas air. Rata-rata konsentrasi nitrit lebih rendah di tambak pematang mulsa (0,094±0,175 mg/L) daripada tambak pematang tanah (0,139±0,172 mg/L). Bahan organik total tampak lebih rendah di tambak pematang mulsa (59,83±9,24 mg/L) dan TSS lebih tinggi di tambak mulsa (116,0±82,1 mg/L) dari pada di tambak pematang tanah. Produksi udang vaname pada petak tanah adalah 9750 kg/ha dan FCR 1,2 sedangkan pada tambak pematang yang di lapisi mulsa produksinya adalah 9000 kg/ha, dan FCR 1,18. Penggunaan plastik mulsa di tambak sebaiknya menyeluruh sampai kedasar tambak agar tidak terjadi deplesi dalam tambak. KATA KUNCI:
pematang; tambak aluvial; kualitas air; budidaya; udang vaname
PENDAHULUAN Kawasan pesisir di Kabupaten Barru mempunyai peran yang penting dan diperkirakan menjadi tumpuan bagi pembangunan di masa depan. Sekitar kurang lebih 40% dari potensi wilayah pesisir tersebut dimanfaatkan untuk pertambakan udang dan ikan. Kawasan pantainya sangat mendukung usaha pengembangan budidaya udang dan ikan dalam jangka panjang. Kabupaten Barru, memiliki panjang pantai 78 km dengan potensi tambak mencapai 1.400 ha dan dari potensi lahan untuk tambak tersebut, yang sudah digunakan untuk tambak adalah 2.593,8 ha (Anonim, 2013). Sekitar 20-40% dari potensi lahan tersebut dimanfaatkan untuk tambak udang dan ikan. Sebagian besar tambak yang dibangun adalah tanah alluvial. Tanah aluvial dibentuk dari lumpur yang terbawa sungai atau saat terjadi banjir dan mengendap di dataran rendah. Tekstur tanahnya liat atau liat berpasir dan tanahnya berstruktur granular. Tanah ini belum mempunyai perkembangan profil karena tanahnya masih muda yang berasal dari hasil pengendapan ataupun cekungan yang memungkinkan terjadinya endapan. Karakteristik tanahnya cenderung bertekstur kasar yang dekat aliran air dan bertekstur lebih halus di dekat pinggiran luar paparan banjir. Proses pembentukan tanah aluvial sangat tergantung dari bahan induk asal tanah dan topografi. Tingkat kesuburan tanah bervariasi dari rendah sampai tinggi, tekstur dari sedang hingga kasar, serta kandungan bahan organik dari rendah sampai tinggi dan pH tanah berkisar masam, netral, sampai alkalin, kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation juga bervariasi karena tergantung dari bahan induknya.
Studi perbaikan pematang terhadap kualitas air ..... (Andi Sahrijanna)
216
Tanah aluvial memiliki kadar pH yang sangat rendah yaitu kurang dari 4, sehingga untuk budidaya tambak sering mengalami permasalahan terutama kualitas tanahnya dan dalam pembuatan pematang tambak yang pengaruhnya terhadap kualitas air pada saat budidaya.Upaya untuk mengantisipasi permasalahan pada pematang tambak tersebut adalah dengan melakukan perbaikan pematang. Perbaikan pematang dengan menggunakan pelapisan plastik untuk budidaya udang windu ekstensif di tambak tanah sulfat masam telah dilaporkan oleh Pantjara et al. (2007), dan perbaikan pematang dengan menggunakan anyaman bambu yang dilapisi plastik dan pengisian tanah liat pada bagian tengah pematang tambak tanah gambut juga telah dilaporkan Mustafa et al. (1995). Namun untuk budidaya udang semi-intensif belum banyak informasinya, sehingga perlu studi lebih lanjut untuk budidaya udang vaname yang dikelola secara semi-intensif pada tambak aluvial. Udang vaname (Litopenaeus vaname) merupakan salah satu jenis udang introduksi dan keunggulannya adalah lebih tahan terhadap kondisi lingkungan dibandingkan udang windu, memiliki pertumbuhan yang cepat 2-3 bulan sudah bisa dipanen. Berbeda dengan jenis udang windu yang 35 bulan baru bisa dipanen. Permintaan udang jenis ini sangat besar baik di pasaran lokal maupun untuk ekspor. Kondisi lingkungan sangat berpengaruh dalam keberhasilan udang di tambak, dengan penggunakan plastik mulsa pada tambak, dapat mengurangi kemungkinan bocornya air tambak mencegah terjadinya pengadukan lumpur pada dasar tambak oleh arus kincir, Erfan et al. (2015), sehingga penggunaan air lebih hemat dan kualitas air bisa terjaga secara stabil. Selain daripada itu, pengikisan tanah dan tanggul karena air bisa diminimalisirkan.Tujuan ini adalah untuk mengetahui perbaikan pematang dengan pelapisan plastik mulsa terhadap kualitas air dan produksi udang vaname semi-intensif di tambak aluvial. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Desain Penelitian Penelitian dilaksanakan di tambak rakyat yang berlokasi di Kecamatan Takkalasi Kabupaten Barru selama tiga bulan dengan menggunakan dua petak tambak yaitu A. 3000 m2 dan B. 4000 m 2. Perlakuan yang dilakukan yaitu A adalah pematang yang dilapisi dengan mulsa dan B adalah pematang tanpa dilapis mulsa (Gambar 1 dan 2) dan di lengkapi dengan empat kincir. Persiapan petakan mengikuti SOP budidaya udang di tambak meliputi: pengeringan, pengolahan tanah dasar, pengapuran, pemupukan dan pemberantasan hama menggunakan saponin (Mustafa & Mangampa, 1990). Hewan uji berupa benih udang vaname dengan kepadatan masing-masing 75 ekor/m 2. Udang diberi pakan komersial yang pemberian pakan pada pagi dan sore hari, sampling rutin setiap dua minggu sekali. Tinggi air dalam tambak diusahakan pada kedalaman 90 cm dengan penambahan air menggunakan pompa. Pengumpulan Data Pengamatan kualitas air meliputi: salinitas, suhu, oksigen dan pH, diamati selama enam minggu dan NH3-N, NO3-N, NO2-N, PO4-P, TSS, BOT, dan alkalinitas dilakukan setiap dua minggu sekali dan untuk pH, salinitas,oksigen dan suhu di amati secara insitu di tambak penelitian dengan menggunakan DO meter SY 55 sedangkan NH3-N, NO3-N, NO2-N, PO4-P, TSS, BOT, dan alkalinitasdiamati/dianalis di Laboratorim BPPBAP Maros dengan mengambil sampel sebanyak 500 mL kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan disimpan ke dalam cool box yang telah berisi es batu sebagai pengawet untuk mempertahankan kestabilan sampel. Prosedur analisis sampel ditampilkan pada Tabel 1. Hasil produktivitas dilakukan dengan pencatatan data setelah dilakukan pemanenan udang. Penentuan dosis pakan dilakukan setiap dua minggu. Produksi udang vaname dilakukan setelah panen total dan rasio konversi pakan dilakukan pada akhir penelitian. Analisis Data Data yang diperoleh selanjutnyadianalisis secara deskriftif dan ditampikan dalam bentuk grafik.Produksi udang sintasan dan rasio konfersi pakan dilakukan pada akhir penelitian.
217
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Table 1. Prosedur analisis sampel
Parameter
Metode/instruments Biru indofenol/ spectrophotometer uv-vis, Shimadzu, UV-2401 PC Sulfanilamid/spectrophotometer uv-vis, Shimadzu, UV-2401 PC Reduksi kadmium/spectrophotometer uv-vis, Shimadzu, UV-2401 PC Asam askorbat /spectrophotometer uv-vis, Shimadzu, UV-2401 PC
Amonia (NH 3) Nitrit (NO2) Nitrat (NO3) Posfat (PO4) Bahan organik total (BOT) Total Suspended Solid (TSS) Alkalinitas
Reference SNI 19-6964.3-2003 SNI 19-6964.1-2003 SNI 19-6964.1-2003 SNI 06-6989.31-2005
Titrimetri
SNI 06-6989.22-2004
Graphimetric/vacum pamp
SNI 06-6989.31-2005
Titrimetri
LIMNOLOGI. Sigit Haryadi. 1992
HASIL DAN BAHASAN Kondisi Kualitas Perairan Dari hasil penelitian produksi budidaya udang vaname (Litopenaeus vaname) secara semi-intensif yang dilakukan selama tiga bulan memperlihatkan bahwa kandungan oksigen bervariasi (Gambar 1A), pada minggu ke-2 kandungan oksigen menurun pada setiap perlakuan dan minggu ke-4 pada pematang tanah kembali naik yaitu 6,1 mg/L sedangkan pada petak pematang mulsa menurun hingga
7
5
Suhu (mg/L)
Oksigen (mg/L)
6
4 3 Pematang mulsa
2
Pematang tanah
1 0
1
2
3
4
5
6
32,5 32 31,5 31 30,5 30 29,5 29 28,5 28 27,5 27
Pematang mulsa Pematang tanah
1
2
3
9
50
8,8
45
8,6
40
8,4
35
8,2 8 7,8
5
6
5
6
30 25 20
7,6
Pematang mulsa
15
Pematang mulsa
7,4
Pematang tanah
10
Pematang tanah
5
7,2 7
4
Minggu ke-
Salinitas (%)
pH
Minggu ke-
0 1
2
3
4
Minggu ke-
5
6
1
2
3
4
Minggu ke-
Gambar 1. Peubah kualitas air fisika: A (Oksigen), B (Suhu), C (pH) D (Salinitas) pada budidaya udang vaname (litopenaeus vaname) secara semi-intensif di tambak aluvial
Studi perbaikan pematang terhadap kualitas air ..... (Andi Sahrijanna)
218
4,2 mg/L. Tinggi rendahya oksigen dalam tambak karena adanya kebutuhan oksigen yang meningkat dengan bertambahnya ukuran pertumbuhan udang dalam budi daya (Gunarto & Erfan,2008) Hasil pengukuran suhu pada tiap petakan tambak ditampilkan pada Gambar 1B. Pada Gambar 3 tersebut terlihat bahwa suhu dari awal hingga minggu ke-3 mengalami peningkatan kecuali pada pematang tanah pada minggu ke-3 menurun dan kembali naik sampai pada minggu ke-6 sedangkan pada pematang mulsa minggu ke-4 menurun tetapi minggu ke-5 kembali naik yaitu 31,8 OC dan setelah minggu ke-6 (akhir penelitian) menurun yaitu 30,8 OC. Kisaran suhu yang diperoleh selama pengamatan merupakan kisaran suhu yang baik untuk budidaya tambak udang. Hal ini didukung oleh suhu perairan yang baik untuk tambak udang berkisar 26 OC hingga 30OC karena pada kisaran suhu tersebut udang dapat melakukan proses pencernaan makanan dengan baik sehingga memacu pertumbuhan udang yang baik pula. Hasil pengukuran pH pada pematang tanah lebih tinggi daripada pematang mulsa (Gambar 1C). Pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 kandungan konsentrasi pH stabil pada pematang tanah kemudian menurun sampai akhir penelitian. Konsentrasi pH pada pematang mulsa pada minggu pertama sampai minggu ke-3 lebih rendah dari pematang tanah ini disebabkan karena adanya perbaikan pematang (lapisan mulsa) yang melindungi tambak dari longsoran tanah. Apabila longsoran pematang masuk ke dalam tambak akan mempengaruhi keasaman atau pH air pada petakan tambak (Anonim, 2016). Hasil yang didapatkan pada setiap perlakuan rata 8,26-8,46. Menurut Poernomo (1992), kisaran pH yang baik untuk budidaya udang yaitu 8-8,5 karena pada kisaran tersebut udang dapat mengalami pertumbuhan optimal. Perairan asam (pH kurang dari 7) akan kurang produktif dan dapat membunuh udang dalam air. Kondisi ini akan menyebabkan oksigen terlarut berkurang dan sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas pernafasan naik serta nafsu makan akan berkurang (Buwono, 1993). Salinitas yang baik untuk budidaya tambak udang adalah 12-20 ppt, sedangkan udang akan mengalami kematian pada salinitas lebih besar dari 50 ppt. Metabolisme pigmen udang tidak sempurna dan mudah terserang penyakit apabila salinitas air tambak kurang dari 12. (Hamid, 2002). Selama penelitian salinitas yang didapatkan rata-rata 36-44 ppt. Hasil analisis nitrit pada ke dua perlakuan mengalami peningkatan pada minggu ke-2 yaitu pada tambak pematang mulsa 0,4845 mg/L dan pada tambak pematang tanah 0,4507 mg/L. Pengamatan pada minggu ke 3pada perlakuan pematang tanah tampak menurun hingga 0.0125 mg/L (Gambar 2.A), setelah minggu ke-7 kembali mengalami peningkatan pada petak tambak pematang tanah yaitu 0.2965m/L. Peningkatan nitrit ini karena diduga adanya aktivitas bakteri nitrifikasiseperti nitrosomonas, nitrosococcus,nitrosospira, nitrosolobus dan nitrosovibrio (Ebeling et al.,2006). Walaupun terdapat fluktuasi nitrit dengan pola yang sama, namun konsentrasi rata-rata nitrit lebih rendah pada tambak pematang mulsa (0,094 ±0,175 mg/L) daripada tambak pematang tanah (0,139 ±0,172 mg/L). Menurut Poernomo (1992) kadar nitrit yang baik untuk budidaya tambak adalah 0,25 mg/L. Kandungan amonia yang diperoleh selama penelitian rata-rata 0,3953 mg/L pada tambak yang pematangnya dilapisi dengan mulsa dan 0,2881 mg/L pada petak pematang tanah. Di dalam air amonia berada dalam dua bentuk, yaitu amonia tidak terionisasi yang bersifat racun dan amonia terionisasi yang daya racunnya lebih rendah, daya racun amonia dalam air akan meningkat saat kelarutan oksigen rendah (Boyd.,1990) dalam proses nitrifikasi bakteri aerobik dapat merubah amonia sebagai sumber energi oleh senyawa anorganik. Pada Gambar 2B dapat diamati bahwa konsentrasi amonia cenderung lebih tinggi pada pematang tambak tanpa lapisan mulsa dibandingkan dengan pematang yang dilapisi dengan mulsa.Namun kualitas air sangat perlu di perhatikan terutama konsentrasi oksigen karena apabila konsentrasi oksigen menurun (Gambar 1A) maka konsentrasi amonia akan naik. Kandungan nitrat yang diperoleh dalam penelitian berkisar antara 0,1104-1,5314 mg/L pada pematang mulsa, dan 0,1211-1,3690 mg/L pada pematang tanah. Pada Gambar 2. kandungan nitrat pada pematang tanah lebih tinggi dari pada pematang mulsa dan menurun setelah minggu ke-3. Menurunnya kandungan nitrat pada pematang mulsa kemungkinan disebabkan oleh adanya proses nitrat dari nitrit oleh nitrit oxidising bakteri seperti nitrobakter, nitrococcus, nitrospira dan nitrospina
219
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016 0,6
1,2
Konsentrasi amonia (mg/L)
Konsentrasi nitrit (mg/L)
0,5 Pematang mulsa
0,4
Pematang tanah
0,3 0,2 0,1 0
1
2
3
4
5
6
1 Pematang mulsa
0,8
Pematang tanah
0,6 0,4 0,2 0
7
1
2
3
4
Minggu ke-
5
6
7
Minggu ke-
2,5
1,8 1,4
Konsentrasi nitrat (mg/L)
Konsentrasi fosfat (mg/L)
1,6 Pematang mulsa
1,2
Pematang tanah
1 0,8 0,6 0,4
2
Pematang mulsa Pematang tanah
1,5 1 0,5
0,2 0
0 1
2
3
4 Minggu ke-
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
Minggu ke-
Gambar 2. Peubah kualitas air kimia A (Nitrit), B (Amonia), C (Nitrat) dan D(fosfat) pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vaname) secara semi intensif di tambak aluvial yang terjadi sangat lambat atau nitrat yang terbentuk di manfaatkan sebagai sumber nutrien untuk pertumbuhan. Kandungan fosfat merupakan sumber nutrien untuk pertumbuhan pakan alami didalam tambak, yang dapat dimanfaatkan oleh lumut, kelekap, tanaman air dan plankton (Utojo, 2010). Kandungan fosfat selama penelitian rata-rata 0,8358-1,0965 mg/L. Boyd (1999), menyatakan bahwa sisa feses udang, pakan dan bahan organik lainnya akan didekomposisis oleh mikroorganisme menjadi nutrien anorganik seperti fosfat, karbondioksida dan amonia. Peningkatan fosfat pada setiap pengamatan menunjukkan pada tingkat kesuburan tinggi. Yoshimura & Liaw (1969 dalam Rachmansyah, 2010), menyatakan konsentrasi fosfat air berada dalam kisaran 0,021-0,1 mg/L tergolong dalam tingkat kesuburan menengah sampai tinggi. Hasil pengamatan terhadap BOT (Bahan Organik Total) (Gambar 3A) pada keduaperlakuan berkisar 40.880-64.400 mg/L. Pada minggu ke-3 kandungan bahan organik total turun hingga 20 % dan kembali naik sampai akhir penelitian. Tinggi rendahnya bahan organik total dalam tambak budidaya di pengaruhi oleh banyak sedikitnya sisa pakan dan kotoran udang sehingga dapat mempengaruhi tingkat populsi bakteri. Konsentrasi bahan organik yang layak untuk kegiatan budidaya udang vaname adalah <55 mg/L Adiwijaya et al. (2003) Umumnya senyawa organik sederhana yang mudah larut lebih mudah didekomposisi seperti pati, hemiselulosa, selulosa, protein dan bahan-bahan yang larut dalam air. Pairunan al. (1997) dan Tate (1987) menyatakan bahwa pengaruh limbah organik terhadap sifat fisik tanah adalah kemampuan menahan air meningkat, merangsang granulasi agregat tanah dari memantapkannya dan menurunkan plastisitas, kohesi dan sifat buruk lainnya dari liat. Selain itu, bahan organik juga merupakan faktor pendukung akan timbulnya jamur dan bakteri yang bersifat patogen. Rendahnya konsentarsi bahan organik pada minggu ke-1 sampai minggu ke-5 diduga karena kurangnya rembesan yang bersifat patogen yang masuk kedalam petak tambak yang di lapisi mulsa. Menurut Adiwijaya et al. (2003) Konsentrasi bahan organik yang layak untuk kegiatan budidaya udang vaname adalah <55 mg/L.
70
350
60
300
Konsentrasi TSS (mg/L)
Konsentrasi BOT (mg/L)
Studi perbaikan pematang terhadap kualitas air ..... (Andi Sahrijanna)
50 40 30
Pematang mulsa
20
Pematang tanah
Pematang mulsa Pematang tanah
250 200 150 100 50
10 0
220
0
1
2
3
4
5
6
1
7
2
3
4
5
6
7
Minggu ke-
Minggu ke-
Konsentrasi alkalinitas (mg/L)
300 Pematang mulsa
250
Pematang tanah
200 150 100 50 0
1
2
3
4
5
6
7
Minggu ke-
Gambar 3. Peubah kualitas air kimia A (BOT), B (TSS) dan C (Alkalinitas) pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vaname) secara semi intensif di tambak aluvial Total suspensi solid merupakan padatan yang tidak larut dalam air. Kandungan TSS yang tertinggi pada pengamatan ke-4 yaitu 293 mg/L diperoleh dari perlakuan pematang tanah. Dalam peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan tahun 2014 tentang baku mutu efluen tambak untuk TSS adalah <200. Kandungan alkalinitas selama penelitian berkisar 125-241 mg/L yang disajikan pada Gambar. 3C. Sesuai dengan peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan tahun 2014 tentang pedoman umum pembudidayaan udang windu dan vaname untuk kualitas air pemeliharan berkisar 120-160 mg/L. Alkalinitas merupakan kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa menurunkan pH larutan. Peranan penting alkalinitas dalam tambak udang antara lain menekanfluktuasi pH pagi dan siang dan penentu kesuburan alami perairan. Tambak dengan alkalinitas tinggi akan mengalami fluktuasi pH harian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tambak dengan nilai alkalinitas rendah (Boyd, 2002). Produksi Tambak Udang Produktivias yang diperoleh pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vaname) dengan kepadatan penebaran 75 ekor/m2 pada masing-masing perlakuan menghasilkan 9750 kg/ha pada tambak petak tanah sedangkan pada tambak pematang yang dilapisi mulsa produksinya adalah 9000 kg/ha (Gambar 4). Tanah yang masih kurang produktif untuk kegiatan budidaya, penggunaan plastik mulsa tidak hanya pematang tetapi juga pada dasar tambak. Menurut Erfan et al. (2015 dalam Atmomarsono et al., 2014) pada tambak yang dilapisi plastik tidak tambak klekap pada permukaan tambak dimana klekap tersebut apabila tenggelam kedalam tambak akan membusuk dan menjadi H 2S sehingga dapat membuat udang menjadi stres dan menyebabkan kematian yang dapat mengurangi produksi udang. Pada tambak petak tanah FCR nya 1,2 sedangkan pada pematang mulsa FCR nya 1,18. Produksi udang vananme (Litopenaeus vaname) selama penelitian cukup baik apabila pengelolaan kualitas air baik dan pemberian pakan yang teratur akan mengurangi risiko kematian.
221
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016 12000 Pematang tanah
Produksi (kg)
10000
9750
Pematang mulsa
9000
8000 6000 4000
3900 2700
2000 0 Petak
Perlakuan pematang
Hektar
Gambar 4. Hasil produksi budidaya udang vaname (Litopenaeus vaname) Analisis Ekonomi Budidaya udang vaname semi-intensif produksinya mencapai 3900 kg/petak (9750 kg/ha) pada petak pematang tanah dan 2700 kg/petak (9000 kg/ha) pada petak pematang mulsa. Perbaikan pematang dengan pelapisan plastik mulsa pada budidaya udang vaname semi-intensif di tambak aluvial memerlukan biaya operasional lebih tinggi disebabkan adanya tambahan pembelian plastik mulsa. Hasil analisis ekonomi budidaya udang vaname semi-intensif pada petak pematang plastik mulsa memerlukan biaya operasional sebesar Rp 105,697,500,-; penerimaan Rp 135,000,000,keuntungan per musim tanam sebesar Rp 29,302,500 per petak dengan B/C rasio 1,28 rentabilitas ekonomi 27,72% periode pengembalian 1,80 bulan dan titik impas Rp 39,147,22,-. Sedangkan pada petak pematang tanah memerlukan biaya operasional Rp 151.762,500-; penerimaan Rp 185,250,000,keuntungan Rp 33,487,500,- per petak, B/C rasio 1,22 rentabilitas ekonomi 22,07%, periode pengembalian 2,27 bulan. KESIMPULAN 1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada perbaikan pematang tambak dapat mempertahankan kualitas air, menekan terjadinya rembesan air dan terjadinya longsoran yang dimungkinkan dapat mengganggu perkembangan kehidupan udang dalam tambak. 2. Penggunaan plastik mulsa untuk perbaikan pematang dapat mempertahankan sintasan udang dalam tambak . 3. Berdasarkan potensi lahan yang ada budidaya udang pada tanah yang masih kurang produktif masih dapat dilakukan dengan cara perbaikan petang dengan menggunakan plastik mulsa sehingga dapat mempertahankan kualitas air selama pemeliharaan. Penggunaan plastik mulsa sebaiknya tidak hanya di bagian pematang, tetapi menyeluruh sampai permukaan dasar tambak guna menghindari deplesi dalam tambak yang dapat mengancam kehidupan udang dan menurunkan kualitas air dalam tambak. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ibu Hajja Rohani, Ibu Kurniah, Abd. Gaffar, Laode Muh. Hafiz, Debora, Sitti Saleha dan Akbar yang senantiasa membantu dalam kegaiatan di lapangan maupun dalam analisis kualitas air di laboratorium selama penelitian. DAFTAR ACUAN Adiwijaya. D,. Raharjo, S,P.,. Sutikno, E.,. & Subiyanto, S. (2003). Petunjuk teknis budidaya udang vanamei system tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara. 29 hlm.
Studi perbaikan pematang terhadap kualitas air ..... (Andi Sahrijanna)
222
Anonim. (2013). Informasi Perikanan Kabupaten Barru, diakses tanggal Kamis, 23 Mei 2013,http:// kelompoksipt18.blogspot.co.id/2013/05/informasi-perikanan kabupaten-barru.html Anonim. (2016). Agrobisnis Usaha Budidaya bisa maksimal melalui kolam terpal (2) diakses 2 Maret 2016 http://peluangusaha.kontan.co.id/news/budidaya-bisa-maksimal-melalui-kolam-terpal-2 Atmomarsono, M., Muliani, Nurbaya, Susianingsih, E., & Nurhidayah. (2016) Petunjuk teknis. Aplikasi probiotik RICA pada budidaya udang windu di tambak. Balitbang Kelautan dan Perikanan Puslitbang Perikanan Budidaya. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. 30 hlm. Banun,S., Arthana, W., & Suarna, W. (2008). Kajian Ekologis Pengelolaan Tambak Udang Di Dusun Dangin Marga Desa Delodbraah Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana Bali. ECOTTROPHIC. 3(1) : 10-15 Buwono, I.D. (1993). Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. PT. Kanisius, Yogyakarta: 151 hlm. Boyd, C.E. (1990). Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural. Auburn University. Alabama. 482 p Boyd, (1999). Management of shrimp ponds to reduce the euthrophication potential of effluents. The Advocate, December, 1999 p : 12-14. Boyd, C.E. 2002. Understanding Pond pH. Global Aquaculture Advocate. June. 27 Ebeling, J.M.,Timmons, M.B., & Bisogni, J.J. (2006). Engineering analysis of the stoichiometry of photoautrophic, autotrophic and heterotrophicremoval of ammonia nitrogen in aquculture systems. Aquaculture, 257 Hendrajat, E.A., Mangampa, M., & Burhanuddin. (2015). Tambak Plastik Mulsa Untuk Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vanamei) Semi-Intensif. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. 1108 hal Gunarto & Hendrajat, E.A. (2008). Budidaya Udang vanamei Litopenaeus vanamei Pola Semi-intensif Dengan Aplikasi Beberapa Jenis Probiotik Komersial. Jurnal Ris. Akuakultur vol.3. 339-349 hal Harris, E. (2000). Shrimp culture health management (SCHM) management operasional tambak udang untuk pencapaian target PROTEKAN 2003. Makalah disampaikan pada sarasehan akuakultur Nasional 2000, IPB Bogor, 5-6 Oktober. 10 hal : 346-358. Liaw, W.K. (1969). Chemical and Biological Studies of Fishponds and Reservoirs in Taiwan. 43 p Mustafa, A., & Mangampa, M. (1990). Usaha budidaya udang tambak menggunakan benur windu, Penaeus monodonyang berbeda lama pembantutannya. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 6 (2): 35–48 Mustafa, A., Hanafi, A., & Pantjara, B. (1995). Kontruksi pematang tambak tanah gambut untuk pendederan benih udang windu (Penaeus monodon) dan nener ikan bandeng (Chanos chanos) . Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 1(2) : 48-64 Poernomo, A. (1992). Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan, seri Pengembangan Hasil Penelitian No. PHP/KAN/PATEK/004/1992. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta 2004. 24 hal Pramono, G.H., Ambarwulan, W., & Cornelia, M.I. (2005). Prosedur dan Spesifikasi Teknis Analisis Kesesuaian Budidaya Tambak Udang.Bakorsurtanal, Jakarta: 21-25 Rukyani, A. (2000). Masalah penyakit udang dan harapan solusinya. Makalah disampaikan pada Sarasehan Akuakultur Nasional 2000, IPB Bogor, 5-6 Oktober 2000. 7 hal. Rachmansyah, Mustafa, A., & Paena, M. (2010). Karakteristik, Kesesuaian dan Pengelolaan Lahan Tambak di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Riset Akuakultur. 5(3):505-521. Salmin. (2005). “Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan”. Jurnal Oseana, 30. 21-26. Sutriati, A. (2011). “Penilaian Kualitas Air Sungai dan Potensi Pemanfaatannya (Studi Kasus Sungai Cimanuk)”. Jurnal Sumber Daya Air, 7. 61-76. Utojo, Mustafa, A. & Hasnawi. (2010). Model Kesesuaian Lokasi Pengembangan Budidaya Tambak di Kawasan Pesisir Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Jurnal Riset Akuakultur. 5(3):465-479.