DEGRADASI FUNGSIONAL NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO (SEBAGAI IMPLIKASI DARI PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN DARI USAHA WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU) YANG BERDAMPAK PADA KETIDAKADILAN PAJAK Chairil Anwar Pohan Abstract. Government Regulation No. 46/2013 as the legal basis for the imposition of final income tax for corporate taxpayers and individual, and determining the amount of the tax rate on business income received or accrued by the taxpayer has a certain gross turnover. The final Income Tax set based on a consideration of the need for simplicity in tax collection, reduced administrative burden for taxpayers and the Directorate General of Taxation, as well as attention to the economic and monetary developments. The purpose of this arrangement is intended to provide convenience to the taxpayer who derives income from a business that has a certain gross circulation, to perform the counting, depositing, and reporting of income tax payable. However, on the other hand although it is not explicitly stated by the government, but implicitly or indirectly Government Regulation No. 46/2013, this has degraded the functional and practical or "degraded" the right of the taxpayer to choose to use accounting or bookkeeping related to the enforcement of deemed profit in calculating Income Tax Individual taxpayer that positive law or legal material provided for in Article 14 UU PPh 1984 as last amended by (abbreviated stdtd ) UU PPh No. 36 of 2008 and its formal law provided for in Article 28 paragraph (2) of the UU KUP No. 16 1984 STTD, which of course these policies will have an impact on tax inequality, even for small businesses (SMEs taxpayer) tax burden even greater. Keywords : functional degradation , income tax , tax fairness Abstrak. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 diberlakukan sebagai dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi wajib pajak badan dan orang pribadi, dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut ditetapkan dengan berdasarkan pada pertimbangan perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Tujuan pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang. Namun, di sisi lain meskipun tidak dieksplisitkan oleh pemerintah, namun secara implisit atau secara tidak langsung Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 ini telah mendegradasi secara fungsional dan praktikal alias “mengkebiri” hak wajib pajak untuk memilih untuk menggunakan pembukuan atau pencatatan terkait dengan pemberlakuan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang hukum positif atau hukum materialnya diatur dalam Pasal 14 UU PPh 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan (disingkat stdtd) UU PPh No. 36 Tahun 2008 dan hukum formalnya diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP 1984 stdtd UU KUP No. 16 Tahun 2009, yang tentu saja kebijakan ini akan berdampak pada ketidakadilan pajak, bahkan untuk pengusaha kecil (Wajib Pajak UMKM) beban pajaknya malah semakin besar. Kata kunci: degradasi fungsional, pajak penghasilan, keadilan pajak Undang-Undang Pajak harus dapat menjamin bahwa pengenaan pajak harus didasarkan kepada prinsip keadilan, kepastian, dan kemampuan membayar (ability to pay), serta mengacu kepada prinsip-prinsip ajaran
Adam Smith, yakni equality (dikenakan sesuai dengan kemampuan membayar), certainty (harus mempunyai kepastian hukum), convenience (memberi kemudahan dan dikenakan pada saat yang tidak menyulitkan),
dan economy (biaya pemungutan pajak dan pemenuhan kewajiban pajak seminimal mungkin). Tidak adanya pembatasan kekuasaan dan pendelegasian wewenang yang jelas dan ketat seperti yang termaktub dalam Pasal 23A UUD 1945 kepada Pemerintah, membuat Pemerintah menjadi pemegang kekuasaan besar yang powerful dalam mengenakan pajak dan bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Salah satu masalah pendelegasian kekuasaan untuk mengenakan pajak di Indonesia adalah tentang masalah pendelegasian kekuasaan yang diatur dalam Pasal 4 ayat(2) Undang-Undang PPh Tahun 2000. Maksud dari Pasal 4 ayat(2) ini adalah untuk mengenakan pajak atas jenis-jenis penghasilan tertentu secara berbeda dengan jenis-jenis penghasilan tertentu secara berbeda dengan jenis-jenis penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1), yakni: Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: (1). Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi. (2). Penghasilan berupa hadiah undian.(3). Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura. (4). Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan. (5). Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) diuraikan bahwa sesuai dengan ketentuan pada pasal 4 ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) ini merupakan objek pajak. Dibuat berdasarkan pertimbanganpertimbangan antara lain: (1) perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; kesederhanaan dalam pemungutan pajak; (2) berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak; (3) pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan (4) memerhatikan perkembangan ekonomi dan
moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jadi berdasarkan kuasa Pasal 4 ayat (2) di atas, selain pemerintah diberi kekuasaan oleh DPR untuk mengatur pengenaan pajak atas empat jenis penghasilan (a,b,c,d) yang telah ditentukan oleh undang-undang, Pemerintah juga diberikan kekuasaan untuk mengatur tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan (termasuk tax base maupun tax rate) pajak atas “penghasilan tertentu lainnya”(e) di luar penghasilan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan. Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Bagi sebagian orang pribadi yang memiliki usaha, kewajiban membuat pembukuan merupakan suatu hal yang sangat merepotkan selain karena kurangnya pengetahuan mengenai Akuntansi dan biayanya mahal atau mungkin dipandangnya tidak efisien bila harus mempekerjakan karyawan hanya untuk membuat pembukuan. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak orang pribadi boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sehingga tidak perlu membuat pembukuan tetapi cukup hanya membuat pencatatan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan, yang payung hukumnya diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP 1984 stdtd UU KUP No. 16 Tahun 2009. Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Timbulnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto Salah satu kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh setiap wajib pajak, baik badan orang pribadi maupun bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah keharusan menyelenggarakan pembukuan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP 1984 stdtd UU KUP No. 16 Tahun 2009. Untuk memudahkan pelaksanaan self assessment system dan pembuktian apabila terjadi pemeriksaan atau penyidikan pajak, bahkan untuk kepentingan pengajuan keberatan ke Dirjen Pajak dan pengajuan banding ke Pengadilan Pajak sekalipun tetap saja semua argumentasi advokasi pembelaan pajak dari wajib pajak harus dapat dibuktikan dengan kelengkapan pembukuan beserta bukti-bukti pendukung pembukuan yang memadai. Dari pembukuan tersebut, wajib pajak dapat menyusun laporan keuangannya berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap tahun pajak berakhir. Laporan keuangan (bulanan) kemudian dapat menjadi sumber data dalam penyusunan SPT Masa PPN, sedangkan dari laporan keuangan tahunan wajib pajak dapat menghitung pajak penghasilan wajib pajak yang terutang Ketentuan perpajakan tidak hanya menjangkau perusahaan besar, tetapi juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat termasuk perusahaan kecil dan menengah, namun tidak dapat dielakkan bahwa kewajiban penyelenggaraan pembukuan membutuhkan sumber daya dan dana. Pada awalnya (1984) untuk tidak memperberat biaya ekonomi (administrasi) masyarakat kecil dan menengah, pengusaha yang mencapai peredaran usaha kurang dari Rp,60.000.000,00 setahun dikecualikan dari kewajiban penyelenggaraan pembukuan. Apakah berarti mereka bebas dari
pembukuan atau pencatatan? Tentu saja tidak, karena bagi wajib pajak semacam itu tetap saja wajib melakukan pencatatan terhadap peredaran bruto dan penerimaan penghasilan lainnya. Penghasilan netto wajib pajak demikian selanjutnya akan dihitung dengan norma penghitungan (standard assessment guide system), dengan syarat Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto tersebut harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan, mereka wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, mengenai peredaran brutonya. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto. Norma Penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan besarnya peredaran atau penerimaan bruto dan untuk menentukan besarnya penghasilan neto berdasarkan jenis usaha perusahaan atau jenis pekerjaan bebas, yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan norma penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal: (1). tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan atau catatan peredaran bruto yang lengkap, atau (2). pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar. Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. Namun sebaliknya, apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Rambu-Rambu Perpajakan
Regulasi yang mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Netto terhadap Wajib Pajak yang peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui, dikondisikan sebagai berikut: (1). Wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau catatan peredaran bruto atau bukti-bukti pembukuan atau bukti-bukti pencatatan peredaran bruto, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui; (2). Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan; (3). Dianggap menyelenggarakan pembukuan karena tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak tentang keinginannya untuk menghitung penghasilan netto dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, namun ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui; (4). Telah menyatakan keinginannya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, namun ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan mengenai peredaran brutonya, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui; (5). Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; (6). Penerapan Norma Penghitungan Penghasilan Netto terhadap Wajib Pajak dilakukan dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak yang sebenarnya dapat diketahui namun penghasilan nettonya tidak dapat dihitung, yaitu bagi mereka yang: (6a). wajib menyelenggarakan pembukuan
tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan atau buktibuktinya, namun peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui; (6b). dianggap menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-buktinya, namun peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui. (7). Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah: (7a). Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; (7b). Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Penyesuaian Batas Norma Penghitungan Genap sudah 20 tahun kurva belajar (learning curve) Norma Penghitungan Penghasilan Netto dalam sejarah perpajakan di Indonesia sejak dikumandangkannya reformasi perpajakan awal tahun 1984 hingga akhir tahun 2013 ini. Mari kita lihat lebih lanjut secara singkat bagaimana perkembangan historis dari penetapan Norma Penghitungan Penghasilan Netto ini perubahannya dari tahun ke tahun: (1). Pada awalnya di tahun 1984, untuk tidak memperberat biaya ekonomi (administrasi) masyarakat kecil dan menengah, pengusaha yang mencapai peredaran usaha kurang dari Rp60.000.000,00 setahun dikecualikan dari kewajiban penyelenggaraan pembukuan. Lahirnya Keputusan Menkeu No. 962/KMK.04/1983 menindaklanjuti pelaksanaan Pasal 14 UU PPh No. 7 Tahun 1984 yang disusul dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 02/PJ.05/1984 yang kemudian direvisi dengan Kep. 07/PJ.05/1984; (2). Selanjutnya, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menkeu No. 759/KMK.04/1986, yang menetapkan besarnya peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak yang dapat menggunakan Norma Penghitungan untuk menghitung penghasilan netto sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal
14 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 ditetapkan sebesar Rp120.000.000,setahun, diberlakukan untuk tahun pajak 1986; (3). Setelah itu, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Dirjen Pajak No. 01/PJ.7/1991 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Tata Cara Pembuatan Catatan bagi Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 02/PJ.7/1991 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak menyelenggarakan sebagaimana mestinya; (4).Langkah berikutnya, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Dirjen Pajak No. 218/PJ/1998 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 01/PJ.7/1991 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Tata Cara Pembuatan Catatan bagi Wajib Pajak yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto dengan Menggunakan Norma Penghitungan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 02/PJ.7/1991 tentang Petunjuk Pemakaian Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan tetapi Tidak Menyelenggarakan sebagaimana Mestinya; (5). Penyesuaian besarnya batas peredaran bruto dilakukan dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan. Dan untuk menjaring wajib pajak yang lebih luas, dalam UU PPh No. 10 Tahun 1994, dilakukan penyesuaian dengan ditetapkannya ketentuan baru tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang batasannya hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp600.000.000,00. Selanjutnya, untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan, dengan KEP-536/PJ/2000 tertanggal 29 Desember 2000 (menggantikan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP 01/PJ.7/1991 tertanggal 9 Januari 1991 dan KEP02/PJ.7/1991 tertanggal 9 Januari 1991 yang dinyatakan tidak berlaku lagi), yang mulai berlaku untuk Tahun Pajak 2001 dan
seterusnya, dengan menetapkan faktor penyesuaian sebagai berikut: (5a). Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp600.000.000,00 atau lebih dalam satu tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; (5b). Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp600.000.000,00 dalam satu tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan; (5c). Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; (6). Dalam perkembangan selanjutnya, dengan mempertimbangkan bahwa besarnya peredaran bruto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi, sehingga batasan Norma Penghitungan tersebut disesuaikan/diubah. Dengan Peraturan Menkeu No. 01/PMK.03/2007, besarnya peredaran bruto dalam satu tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, diubah menjadi kurang dari Rp1.800.000.000,00 setahun. Ketetapan ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2007; (7). Dengan diterbitkannya UU PPh yang baru yaitu UU Nomor 36 tahun 2008, maka sejak 1 Januari 2009 batasan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan berubah dengan peredaran bruto di bawah Rp1.800.000.000,00 menjadi Rp4.800.000.000,00 setahun dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan
penerapan norma penghasilan neto.
dalam
menghitung
Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) NPPN dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut: (1) sepuluh ibukota provinsi, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak; (2) Ibukota propinsi lainnya; (3) Daerah lainnya. Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto ditetapkan sebagaimana terdapat dalam lampiran KEP-536/PJ./2000, yang memuat sebanyak 183 jenis usaha, di antaranya sebagai berikut (Lihat Tabel 1): Sebagai contoh : Norma Petugas Dinas Luar Asuransi = norma untuk pekerjaan bebas bidang profesi lainnya (kode jenis usaha No. 180) : i. 10 ibukota propinsi = 50%, ii. Kota propinsi lainnya = 47,5 %, dan iii. Daerah lainnya = 45%. Menghitung Penghasilan Kena Pajak Dengan Norma Dimulai dari menghitung Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu tahun. Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan, dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Kewajiban Bagi Pengguna Norma Penghitungan Penghasilan Neto Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak
paling lama tiga bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan. Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (UU PPh Pasal 14 ayat 4). Menyelenggarakan pencatatan Peredaran Usaha sesuai format Lampiran I PER4/PJ/2009. Implikasi Hukum PP 46/2013 Bagi Wajib Pajak UMKM Dengan mempertimbangkan untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi (WPOP) dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, dipandang perlu memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan atas Secara definitif, menurut Pasal 28 ayat (9) UU KUP: Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. (-) Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. (-) Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Tabel 1. Besar NPPN Pada Lampiran KEP-536/PJ./2000 NO. URUT
KODE 10000
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
11000 12111 12113 12131 12132 12141 12161 12200
9.
13000
10.
14000
11.
15000
12.
16000
180. 181.
00000 00000
182. 183.
00000 00000
JENIS USAHA
WAJIB PAJAK PERSEORANGAN 10 IBU KOTA DAERAH KOTA PROP LAINNYA PROP LAINNYA
PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN, PERBURUAN DAN PERIKANAN Pertanian tanaman pangan Kelapa dan kelapa sawit Kopi Tembakau Teh Pertanian tanaman karet Tebu Pertanian tanaman lainnya - Meliputi usaha pertanian atau perkebunan dalam penyiapan/ pelaksanaan penanaman,pembibitan, persemaian, pemeliharaan dan pemanenan hasil tanaman Peternakan. - Meliputi usaha peternakan untuk mengambil daging, kulit, tulang, bulu, telur, susu, madu dan kepompong/ sarangnya baik yang dilakukan oleh usaha perorangan ataupun suatu badan usaha. Jasa pertanian dan Peternakan. - Meliputi usaha jasa dibidang pertanian dan , baik yang dilakukan oleh perorangan, usaha atas dasar balas jasa atau kontrak. Kehutanan dan penebangan hutan. - Meliputi usaha penanaman, pemeliharaan maupun pemindahan jenis tanaman/kayu, penebangan/pemotongan kayu pengumpulan hasil hutan lainnya, dan semua usaha yang melayani kebutuhan kehutanan yang dilakukan atas dasar balas jasa atau kontrak. Perburuan/ penangkapan dan pembiakan binatang liar. - Meliputi usaha perburuan/ penangkapan binatang liar dengan jerat atau perangkap dan pembiakan marga satwa liar kecuali untuk sekedar hoby atau olahraga. Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya. Pemborong bukan bangunan/ konstruksi, termasuk leveransir dan lain-lain. Pedagangan perantara/ komisioner. Kegiatan lain yang tidak jelas batasannya dankegiatan yang belum terliput dalam salah satu golongan tersebut diatas.
“Penghasilan dari U saha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu”, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 (untuk selanjutnya disebut PP 46/2013). PP 46/2013 ini memberi wewenang penuh kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana
15 11.5 11.5 11.5 11.5 11.5 11.5
15 11 11 11 11 11 11
15 10 10 10 10 10 10
11.5
11
10
11
10
9
25
25
24
16
16
16
18 50
17 47.5
16 45
20 40
19 35
18 35
40
35
35
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada pasal 17 ayat (1). Materi pokok yang diatur dalam PP 46/2013 mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut
ditetapkan dengan berdasarkan pada pertimbangan perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. PP 46/2013 ini mengatur pengenaan pajak penghasilan final atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,- (WP UMKM). Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 tersebut termasuk dalam kategori di Pasal 6 UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di Indonesia, UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Potensi pendapatan pajak dari UMKM memang lumayan, kontribusi sektor usaha ini terhadap total produk domestik bruto (PDB) diperkirakan mencapai 61,9 %. Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil ini perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat (Keputusan Presiden RI No. 99 Tahun 1998). UMKM dinilai mampu berkontribusi hingga 99% bagi perkembangan ekonomi Indonesia yang pada tahun lalu memampu mencatat pertumbuhan sebesar 6,2 %, sebagaimana diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo (13/9/2013 dalam pidatonya di acara Talkshow Klaster Unggulan dan Diseminasi Pola Pembiayaan UMKM di Gedung Bank Indonesia, Jakarta. “Saat ini hampir 99 % UMKM mendominasi pertumbuhan ekonomi Indonesia, hanya 1 % dalam bentuk usaha besar.” Sebelum kita menganalisis lebih lanjut tentang Implikasi Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 terhadap Degradasi Fungsional “Norma Penghitungan Penghasilan Neto” yang Berdampak pada Ketidakadilan Pajak, akan lebih terang nuansanya bila kita mengetahui seperti apa sebenarnya konten dari PP 46/2013 tersebut, dengan mengikuti uraian pada executive summary berikut ini. Executive Summary PP 46/2013 Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (a). Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; (b). dan menerima penghasilan dari usaha; (c). tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; (d). dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu Tahun Pajak. Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: (a). penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; (b). penghasilan dari usaha dan kegiatan; (c). penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; (d). penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi: (a). tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; (b). pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari; (c). olahragawan; (d). penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; (e). pengarang, peneliti, dan penerjemah; (f). agen iklan; (g). pengawas atau pengelola proyek; (h). perantara; (i). petugas penjaja barang dagangan; (j). agen asuransi; (k). distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya. (Catatan penulis: ada sekitar 20 jenis usaha dalam daftar norma penghitungan penghasilan
netto yang terdapat dalam lampiran Kep. 536/PJ/2000 jo. Pasal 14 ayat(2) UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang merupakan “jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas”, sehingga sisanya sekita 163 jenis usaha merupakan jenis usaha selain itu). Pengecualian WPOP Tidak termasuk penghasilan wpop dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. (1). Yang tidak termasuk wpop sebagaimana dimaksud pada butir 2 adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya: (1). menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; (2). menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Pengecualian Wajib Pajak Badan Yang tidak termasuk Wajib Pajak Badan adalah: (a). Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; (b). Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4,8 miliar; (c). Tidak termasuk penghasilan badan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Tarif dan DPP PPh Final: (a). Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1%. Contoh: CV Andik memiliki usaha penjualan gerabah yang berdasarkan pembukuan atau catatan pada Tahun Pajak 2013, memiliki peredaran bruto sebesar Rp4 miliar. Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik pada tahun
2014 dikenai PPh final sebesar 1 %, karena peredaran bruto CV Andik pada Tahun Pajak 2013 tidak melebihi Rp4,8 miliar; (b). Pengenaan Pajak Penghasilan final didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam satu tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan; (c). Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4,8 miliar dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1 sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada butir 1 di atas pada Januari sampai dengan Oktober 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp5 miliar, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik sampai dengan Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014) tetap dikenai tarif PPh final sebesar 1 %; (d). Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4,8 miliar pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan UU Pajak Penghasilan. Contoh: Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada butir 3, pada Januari sampai dengan Desember 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp6 miliar, maka penghasilan yang diperoleh CV Andik pada tahun 2015 (tahun berikutnya), dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan UU Pajak Penghasilan; (e). Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1 % dikalikan dengan jumlah peredaran bruto setiap bulan. Contoh: Jika CV Andik (dalam contoh 1 dan 4 di atas) pada Agustus 2014 memperoleh penghasilan dari usaha penjualan gerabah sebesar Rp50 juta, maka PPh final bl. Agt 2014 = 1% x Rp50.000.000,00 = Rp500.000,00 Penghasilan yang telah dikenai Penghasilan yang bersifat final
Pajak
Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri, misalnya penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang pengenaan
pajaknya diatur dengan PP 51/2008 jo PP 40/2009, meskipun peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi Rp4,8 miliar, tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46/2013, tetapi mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur mengenai pengenaan pajak atas penghasilan tersebut. Penghasilan lainnya di luar Pasal 2(1) PP 46/2013 Atas penghasilan selain dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan UU Pajak Penghasilan. Kredit Pajak Luar Negeri Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan UU Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya. Kompensasi Kerugian Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan PP 46/2013 dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut: (a). Kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima Tahun Pajak; (b). Tahun Pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP 46/2013 tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas; (c). Kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP 46/2013 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya. Contoh perlakuan kompensasi kerugian: (1). Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami kerugian pada Tahun Pajak 2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011 sampai dengan Tahun Pajak 2015; (2). Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan PP 46/2013 maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan Tahun Pajak 2015; (3). Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan PP 46/2013 dan mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan Tahun Pajak berikutnya. Peredaran Bruto Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PP PPh Final Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final diatur sebagai berikut: (1). Didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya PP 46/2013 yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya PP 46/2013 meliputi kurang dari jangka waktu 12 bulan; (2). Didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PP 46/2013 yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya PP 46/2013 di bulan sebelum PP 46/2013 berlaku; (3). Didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya PP 46/2013. Contoh penentuan peredaran bruto sebagai dasar dikenainya Pajak Penghasilan dengan Peraturan Pemerintah ini, dalam hal: (1). Tahun Pajak sebelumnya kurang dari 12 bulan: PT Maju Jaya menggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp150.000.000,00. Peredaran bruto tahun 2013 disetahunkan adalah: Rp150.000.000,00 x 12/5 = Rp360.000.000,00 Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp 4,8 miliar, maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai PPh final sesuai PP 46/2013; (2). Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun
berlakunya PP 46/2013 pada bulan sebelum bulan berlakunya PP 46/2013: PT Daya Tangkap terdaftar 3 bulan sebelum berlakunya PP 46/2013 pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya PP 46/2013. Jumlah peredaran bruto selama 3 bulan tersebut adalah Rp150.000.000,00. Peredaran bruto selama 3 bulan yang disetahunkan adalah: Rp150.000.000,00 x 12/3 = Rp600.000.000,00 Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 bulan tersebut tidak melebihi Rp4,8 miliar maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya PP 46/2013 sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan, dikenai PPh final sesuai PP 46/2013; (3). Wajib Pajak baru terdaftar setelah berlakunya PP 46/2013, untuk Tahun Pajak pertama: Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014. Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah: 12/1 x Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00. Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp4,8 miliar, maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai PPh final sesuai PP 46/2013. Berdasarkan contoh-contoh dan uraianuraian yang menguraikan mekanisme dari konsep tersebut diatas (Norma Penghitungan dan PPh Final), selanjutnya mari kita perhatikan bagaimana hasil analisa secara komparatif Beban Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi antara pilihan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan Tarif PPh Final 1 %, seperti terlihat dalam tabel di bawah ini (Lihat Tabel 2). ULASAN Komentar penulis sementara ini yang dapat ditarik dari pembahasan pada contoh di tabel 2 tersebut di atas, adalah sebagai berikut: (1). Pemberlakuan PPh Final 1 % mengakibatkan beban tambahan (tax burden) bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang penghasilannya bukan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas) yang penghasilan kena pajaknya berada di lapisan pertama (s.d. Rp50 juta) yang notabene adalah pengusaha kecil UMKM, dengan kedua contoh
no. 1 & 2 tersebut di atas bisa terdapat kenaikan sekitar di atas 100 % hingga di atas 200 %; (2). Pemberlakuan PPh Final 1 % memberikan penghematan pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang penghasilannya bukan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas) yang penghasilan kena pajaknya berada di lapisan kedua (Rp50 juta s.d. Rp250 juta), dengan kedua contoh no. 3 & 4 tersebut di atas bisa terdapat penurunan pajak sekitar 68 %.Baik untuk butir a dan butir b, angka yang lebih akurat untuk kenaikan/ penurunan beban pajak secara rata-rata, baru dapat diperoleh dengan memperluas cakupan analisis data dengan riset yang lebih mendalam terhadap semua wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagai populasi penelitian; (3). Penghematan yang lebih besar akan diperoleh WPOP yang penghasilan kena pajaknya berada di lapisan ketiga dan keempat (yang nota bene adalah pengusaha menengah UMKM); (4). Tax threshold (PTKP) yang merefleksikan perwujudan ability to pay principle bagi wajib pajak orang pribadi, dengan penerapan PPh Final 1 % ditiadakan; (5). Pemberlakuan kenaikan PTKP 2013 sebagai wahana menegakkan keadilan vertikal perpajakan tidak memberikan arti atau manfaat bahkan tidak ada pengaruh positif sama sekali bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha UMKM yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang omzetnya dibawah Rp4,8 miliar). Komentar lebih lanjut tentang PP 46/2013 Pasal 17 ayat (7) adalah “mandat kosong” yang didelegasikan oleh Undang-Undang Pajak kepada pemerintah, yang dengan Peraturan Pemerintah memberikan wewenang atau otorisasi penuh kepada Pemerintah untuk “menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e, sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi pada Pasal 17 ayat 1”. Permasalahannya adalah bila memang diinginkan PP. 46 Tahun 2013 tersebut menonaktifkan/membekukan “Pasal 14 UU PPh 1984 stdtd UU PPh No. 36 Yahun 2008 sebagai dasar hukum bagi pemberlakuan Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dan memilih menggunakan pencatatan”: Menurut pendapat penulis, bila memang yang dibidik itu adalah prinsip kesederhanaan (ease of administration principle) dalam pengenaan pajak, maka konsiderasi dalam pemberlakuan PP 46/2013 tersebut masih justifiable. Tetapi apakah perumusan kebijakan perpajakan tersebut hanya dilihat dari sisi ease of administration principle (hukum formal) nya saja sementara dari sisi keadilan pajak seperti diuraikan dibawah ini justru terabaikan, padahal yang namanya “hukum” harus berkiblat pada keadilan. Hukum pajak harus berkiblat pada keadilan pajak yang dalam negara demokratis dan berdasarkan hukum dikembalikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan perubahan dalam Undang-Undang tersebut. Namun jika yang dibidik itu adalah prinsip keadilan (ability to pay principle) dan pemerataan (equality principle) dalam pengenaan pajak, maka pertimbangan dalam pemberlakuan PP 46/2013 tersebut kurang memenuhi sasaran, karena: Dihilangkannya Tax Threshold dan Pelanggaran Ability to Pay Principle Dihilangkannya faktor batas jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak yang disebut dengan ambang batas jumlah penghasilan yang dikenakan pajak (tax threshold) dalam menghitung penghasilan kena pajak. Pengeliminasian tax threshold tersebut justru melanggar ability to pay principle. Seperti terlihat dalam tabel 2, dengan
pemberlakuan PP46/2013 tersebut, wajib pajak orang pribadi harus mengeluarkan uang tambahan pembayaran pajak yang disebabkan PPh Final Pasal 4 (2) lebih besar dari PPh yang dihitung menggunakan Norma. Bukankah ini tidak adil bagi pengusaha-pengusaha yang notabene mereka itu adalah pengusahapengusaha UMKM yang justru mendominasi penerimaan nasional negara dari sektor nonmigas yang seyogiayanya mendapat support yang besar dari pemerintah? Aspek Keadilan Pajak (equity dan equality principle) terabaikan Menurut Harvey S.Rosen (Mansury, 1996:10: “It is widely agreed that tax system should have vertical equity: it should distribute burdens fairly accross people with different abilities to pay.” Mansury (1996: 10) dalam bukunya Pajak Penghasilan Lanjutan lebih lanjut merumuskan keadilan horizontal dan keadilan vertikal sebagai berikut: “Pemungutan pajak adalah adil, apabila orang-orang yang berada dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, sedang orangorang yang keadaan ekonomisnya tidak sama harus diperlakukan tidak sama setara dengan ketidaksamaannya itu.” Apabila rumusan tersebut diterapkan untuk pajak penghasilan, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut: Pajak Penghasilan itu sesuai dengan azas keadilan apabila semua orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang sama
Tabel 1 Analisis Komparatif Beban Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi antara Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Vs Menggunakan Tarif PPh Final 1%. Uraian Kasus
Kasus-1 Tahun 2013, Wajib Pajak Tuan Badu kawin dan mempunyai 2(dua) orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon. - Peredaran Usaha dari Industri Rotan (setahun) di Cirebon Sebesar Rp 40.000.000,00 - Penerimaan bruto sebagai dokter (setahun) di Jakarta Rp.72.000.000
Beban PPh WPOP Bila Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)
Tarif PPh Final 1% (PP No. 46/2013
Bila menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Bila menggunakan Tarif PPh Final 1%
PPh Final =1% x Rp.112.000.000 = Rp. 1.120.000,00
Persentase penghasilan dari Industri Rotan menurut norma Kode usaha 33100 = 12,5% Persentase penghasilan Dokter menurut Norma, Kode usaha 93213 = 45% Penghasilan neto dihitung sebagai berikut : - Dari industri rotan : 12,5% X = 40.000.000 = Rp. 5.000.000 5% X Rp. 16.280.000,00 - Sebagai dokter : 45% X 72.000.000 5% X Rp. 16.280.000,00 = Rp. 32.400.000 Rp. 814.000,00 Total Penghasilan Netto = Rp. 37.400.000 Jumlah Rp. 814.000,00 Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto dikurangi PTKP = 37.400.000 - 30.375.000= Rp. 7.025.000
Rp. 814.000,00
Pajak penghasilan yang terutang : 5% X Rp. 7.025.000 = Rp. 351.250,00. Rp. 814.000,00 Kasus-2 Th. 2013, Tuan Amir Seorang Wajib Pajak baru memiliki usaha sebagai pedagang eceran bahan makanan di Jakarta. Penjualan dalam satu bulan diperkirakan sebesar Rp. 15.000.000. Ia kawin dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar dalam tahun berjalan dihitung sebagai berikut :
Kode usaha pedagang eceran : Jumlah peredaran setahun = 12 X Rp. 15.000.000,00 = Rp. 180 juta. Persentase penghasilan menurut norma Kode usaha 62320 = 25%
PPh Final =1% x Rp.180.000.000 = Rp. 1.800.000,00
Penghasilan neto setahun = 25% X Rp. 180.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan neto dikurangi PTKP = Rp. 45.000.000,00 - Rp. 30.375.000 = Rp 14.625.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang = 5% X 14.625.000,00= Rp. 731.250
Kasus-3 Tahun 2013, Pak Budi, status kawin mempunyai 2(dua) orang anak adalah Pedagang eceran kertas, barang-barang dari kertas, alat tulis (kantor) dan barang cetakan. Peredaran Usaha dari Perdagangan eceran kertas, barang-barang dari kertas, alat tulis (kantor) dan barang cetakan (setahun) di Jakarta Sebesar Rp 150.000.000,00
Kasus-4 Tahun 2013, Raden di Jakarta, status kawin mempunyai 2(dua) orang anak adalah pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui rincian peredaran usaha adalah sbb : Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00; Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00; Pasar C sebesar Rp 400.000.000,00. Dengan demikian peredaran bruto usaha perdagangan tekstil Raden sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar Rp730.000.000,00 (80.000.000,00+ 250.000.000,00+ 400.000.000,00).
Persentase penghasilan Perdagangan eceran kertas, barang-barang dari kertas, alat tulis (kantor) dan barang cetakan menurut norma Kode usaha 62461 = 30%. Penghasilan neto dihitung sebagai berikut : 30% X 150.000.000 = Rp. 45.000.000
PPh Final =1% x Rp.150.000.000 = Rp. 1.500.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan neto dikurangi PTKP = Rp. 100.000.000,00 - Rp. 45.000.000 = Rp 65.000.000,00 Pajak penghasilan yang terutang : 5% X Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000 15% X Rp. 15.000.000 = Rp. 2.250.000 Total PPh = Rp. 4.750.000
Jumlah peredaran setahun = Rp. 730.000.000,00. Persentase penghasilan menurut norma Kode usaha 62410 = 30% Penghasilan neto setahun = 30% X Rp. 730.000.000,00 = Rp. 219.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan neto dikurangi PTKP = Rp. 219.000.000,00 - Rp. 30.375.000 = Rp 188.625.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang = 5% X 50.000.000 = Rp. 2.500.000 15% X 138.625.000 = Rp 20.793.750 PPh yang terutang = Rp 23.293.750
PPh Final =1% x Rp.730.000.000 = Rp. 7.300.000,00
Rekapitulasi: Dari empat contoh kasus di atas, dapat ditabulasikan sebagai berikut: PPh Kenaikan/ Penghasilan Penghasilan PPh Final WPOP Omzet menurut (Penuruna Norma Kena Pajak 1% Norma n) PPh 1. Amir 112.000.000 37.400.000 7.025.000 351.250 1.120.000 218.86% 2. Badu 180.000.000 45.000.000 14.625.000 731.250 1.800.000 146.15% 3. Budi 150.000.000 45.000.000 65.000.000 4.750.000 1.500.000 (68.42%) 4. Raden 730.000.000 219.000.000 188.625.000 23.293.750 7.300.000 (68.66%) namun jika yang dibidik itu adalah prinsip keadilan (ability to pay principle) dan pemerataan (equality principle) dalam pengenaan pajak, maka pertimbangan dalam pemberlakuan PP 46/2013 tersebut kurang memenuhi sasaran, karena : Dihilangkannya Tax Threshold dan Pelanggaran Ability to Pay Principle Dihilangkannya faktor batas jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak yang disebut dengan ambang batas jumlah penghasilan yang dikenakan pajak (tax threshold) dalam menghitung penghasilan kena pajak. Pengeliminasian tax threshold tersebut justru melanggar ability to pay principle. Seperti terlihat dalam tabel 2, dengan pemberlakuan PP46/2013 tersebut, wajib pajak orang pribadi harus mengeluarkan uang tambahan pembayaran pajak yang disebabkan PPh Final Pasal 4 (2) lebih besar dari PPh yang dihitung menggunakan Norma. Bukankah ini tidak adil bagi pengusaha-pengusaha yang notabene mereka itu adalah pengusahapengusaha UMKM yang justru mendominasi penerimaan nasional negara dari sektor nonmigas yang seyogiayanya mendapat support yang besar dari pemerintah? Aspek Keadilan Pajak (equity dan equality principle) terabaikan Menurut Harvey S.Rosen (Mansury, 1996:10: “It is widely agreed that tax system should have vertical equity: it should distribute burdens fairly accross people with different abilities to pay.” Mansury (1996: 10) dalam bukunya Pajak Penghasilan Lanjutan lebih lanjut merumuskan keadilan horizontal dan keadilan vertikal sebagai berikut: “Pemungutan pajak adalah adil, apabila orang-orang yang berada dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, sedang orang-orang yang keadaan ekonomisnya tidak sama harus diperlakukan tidak sama setara dengan
ketidaksamaannya itu.” Apabila rumusan tersebut diterapkan untuk pajak penghasilan, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut: Pajak Penghasilan itu sesuai dengan azas keadilan apabila semua orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang sama tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan tanpa membedakan jenis-jenis penghasilannya dikenakan pajak yang sama, sedangkan orangorang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda dikenakan PPh yang berbeda setara dengan perbedaannya: Wajib Pajak yang menerima tambahan kemampuan ekonomis lebih besar harus dikenakan PPh dengan prosentase tarif yang lebih besar”. Jadi apabila azas keadilan ingin diterapkan dalam sistem pajak penghasilan itu harus dipenuhi baik syarat keadilan horizontal maupun syarat keadilan vertikal. Bukankah pajak atas penghasilan itu sudah sebagai “the fairest of the major taxes” seperti yang dikemukakan oleh Richard Goode dalam bukunya The Individual Income Tax, revised edition (1978)?. Lalu mau dibawa kemana arah konsep pajak penghasilan Indonesia sekarang ini dengan pemberlakuan PP. 46/2013 tersebut? Delegation of Authority yang Unlimited Pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah untuk mengenakan pajak atas “penghasilan tertentu lainnya” seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat(2) Undang-Undang PPh tersebut menunjukkan bahwa objek pajak yang dapat dikenakan pajak dengan Peraturan Pemerintah menjadi “tidak terbatas” (Nuryadi, 2005). Menurut Buchanan dan Milton Friedman sebagaimana dikutip oleh Philippe Vitu, bahwa dalam suatu negara yang demokratis dan berasaskan hukum, kekuasaan untuk mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas, atau dengan kata lain kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi (limit on taxing power) melalui undang-undang. Apalagi
kalau dalam praktiknya seperti yang terjadi selama ini, pengenaan pajak yang diatur melalui Peraturan Pemerintah tersebut telah menimbulkan “diskriminasi” beban pajak antara wajib pajak yang satu dengan wajib pajak lainnya karena perbedaan “jenis penghasilan” yang mereka peroleh. Padahal menurut teori keadilan vertikal, besar kecilnya beban pajak bukan ditentukan oleh jenis penghasilannya, tetapi oleh besar kecilnya “jumlah penghasilan”(Mansury dikutip oleh Danny Septriadi, 2006: 2-8): (1). Sehubungan dengan pembahasan pada ulasan penulis yang dikemukakan pada butir 1a,1b,1c di atas, nyatanyata pengusaha kecil UMKM yang berada dalam posisi di lapisan penghasilan satu dan dua dengan tax rate 5 % dan marginal tax rate 15 % mengalami penambahan beban pajak (tax burden) dengan kelipatan kenaikan 100 % hingga 200 % (mungkin bisa lebih besar lagi, tergantung luasnya cakupan data yang dianalisis); (2). Namun, sebaliknya bagi pengusaha menengah UMKM- wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu yang berada dalam posisi di lapisan penghasilan dua dan empat dengan marginal tax rate 25 % dan 30 % mengalami pengurangan beban pajak (tax burden) dengan penurunan pajak sekitar 68 % (mungkin bisa lebih besar lagi, tergantung luasnya cakupan data yang dianalisis). Certainty Principle terganggu Pembekuan/penonaktifan Pasal 14 UU PPh 1984 stdtd UU PPh No. 36 Tahun 2008 sebagaimana dimaksudkan diatas akan mengganggu tegaknya prinsip kepastian hukum (certainty) perpajakan di Indonesia. Menegaskan kembali prinsip certainty yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam Four Canon/Principle of Taxation-nya, menurut Mansury (1996: 5), pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, yang dimaksudkan supaya pajak itu harus jelas bagi semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Kepastian hukum tersebut berarti: (1) Harus pasti-pasti, siapasiapa yang harus dikenakan pajak (Subjek Pajak), (2) Harus pasti, apa yang menjadi dasar untuk mengenakan pajak kepada subjek pajak (Objek pajak), (3) Harus pasti berapa jumlah yang harus dibayar berdasarkan ketentuan tarif pajak (Tarif Pajak), (4) Harus pasti, bagaimana
jumlah pajak yang terhutang tersebut harus dibayar (Prosedur Pajak). Apabila tidak ada kepastian kepada wajib pajak tentang kewajiban pajaknya, maka pajak yang terutang tergantung kepada “kebijaksanaan” petugas pajak yang dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan dirinya. Karena Peraturan Pemerintah sebagai wahana perubahan dalam regulasi perpajakan yang diinginkan dalam pasal 17 ayat (7) dan Pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh tersebut memiliki kekuatan hukum (legal power) yang sangat besar sehingga mampu merubah dan membekukan/me-nonaktifkan konten yang ada di dua sumber hukum pajak (yakni UU PPh dan UU KUP), dari yang tadinya secara opsional diperbolehkan menggunakan norma dalam menghitung pajak penghasilan orang pribadi yang memilih menggunakan norma (omzet kurang dari Rp4,8 miliar setahun), akhirnya tanpa opsi menjadi pembayar pajak penghasilan final pasal 4(2). PP 42/2013 yang kapasitasnya memuat “jenis penghasilan tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e ternyata mampu “mengambil alih” pemajakan atas sekitar 160 jenis usaha dari 183 jenis usaha (tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas) sebagaimana termaktub dalam lampiran Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-07/PJ.5/1984 stdtd KEP-536/PJ./2000 yang semenjak tahun 1984 di cover oleh Norma Penghitungan Penghasilan Netto, namun akhirnya tunduk pada instruksi PP 42/2013? Menghilangkan sebagian isi pasal materi hukum formal pajak yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP (khususnya terkait dengan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto), yakni: Bagaimana bisa terjadi Peraturan Pemerintah (PP 42/2013) dapat “membekukan” dua Pasal yang ada di dua sumber hukum pajak (UU PPh dan UU PPN) dalam arti PP 42/2013 seakan-akan memiliki legal power setingkat Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu)? Kalau dulu pernah terjadi dalam Pasal 36 Ayat 4 UU Pengadilan Pajak No. 14 Tahun 2002 yang menyatakan “Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50 % dengan sendirinya tidak akan pernah
diberlakukan dengan lahirnya UU KUP No. 28 Tahun 2007 pada Pasal 27 ayat 5a UU KUP yang menyatakan bahwa “Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan”, sehingga sejak saat itu Persyaratan Banding Harus Membayar 50 % dari Pajak Yang Terutang “Di non-aktifkan/dibekukan” Dengan Pasal 27 ayat 5a UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dengan demikian wajib pajak yang melakukan banding tidak perlu lagi harus membayar 50% pajak yang terutang sebagaimana diputuskan oleh Keputusan Keberatan Dirjen Pajak. Dalam kasus ini satu pasal di UU Pengadilan Pajak No. 14 /2002 dibekukan/dinon aktifkan oleh Pasal lain di UU KUP 2007 masih memiliki legal power yang sah, tetapi hal ini menjadi berbeda legitimasinya bila membandingkannya dengan PP 46/2013, apakah legal power PP 46/2013 secara konstitusional memiliki landasan hukum yang kuat untuk menon aktifkan/membekukan Pasal 14 UU PPh 1984 stdtd UU PPh No. 36 tahun 2008 dan menghilangkan sebagian isi pasal materi hukum formal pajak yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP? Semoga issu ini bisa menjadi pemikiran para pemerhati dalam hukum perpajakan. SIMPULAN DAN SARAN Setelah berhasil memfinalkan penghasilanpenghasilan yang dikenakan withholding tax berdasarkan pendelegasian oleh UndangUndang Pajak Penghasilan kepada pemerintah melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak, pemerintah kali ini memperluas lagi kekuasaannya seperti yang terjadi di masa-masa terdahulu sebelum diberlakukannya UndangUndang PPh No. 36 Tahun 2008, kejadian ini merupakan preseden (yang mungkin buruk?) bagi pemerintah yang tidak segan-segan lagi melangkahkan kebijakan serupa dengan memfinalkan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 31A bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, melalui penerbitan PP 46/2013. Kebijakan ini bagi sebagian wajib pajak yang memilih menggunakan norma yang memiliki peredaran bruto tertentu khususnya yang penghasilan kena pajaknya berada di
lapisan pertama (s.d. Rp50 juta) dalam struktur tarif pajak progresif Pasal 17 UU PPh akan mengakibatkan tambahan kenaikan pajak yang cukup besar, namun sebaliknya bagi mereka yang memilih menggunakan norma yang penghasilan kena pajaknya berada di lapisan kedua, ketiga dan keempat, malah terdapat penurunan pajak yang lumayan banyak. Ini jelas-jelas tidak mencerminkan keadilan pajak, bagi warga pengusaha kecil UMKM kelas terbawah (yang tadinya memilih menggunakan norma) semakin tercepit usahanya dan pendapatannya. Sebagai negara konstitusional pengemban amanat Pasal 23A UUD 1945 dan yang berkeadilan sosial (sila kelima Pancasila), seyogianyalah DPR sebagai wakil rakyat serta para petinggi dan penegak hukum di negara hukum ini me-review (kaji ulang) pendelegasian wewenang yang telah diberikan kepada pemerintah untuk mengenakan pajak (dalam hal menetapkan tax base dan tax rate) selain yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang, secara selektif dan diawasi secara ketat, sehingga kebijakan-kebijakan perpajakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dan disetujui oleh DPR) mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia khususnya bagi wajib pajak yang menjadi partner pembangunan negara yang kita cintai ini. Sepatutnya tidak semua jenis usaha diperlakukan sama karena pada dasarnya profit margin dari setiap jenis usaha berbeda, sehingga agar tercipta keadilan maka perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan lebih cermat implikasi atau efek kebijakan tersebut pada penerimaan negara dari sektor pajak (fungsi budgetair) dengan efek pada perkembangan usaha UMKM, mengingat selama ini UMKM sangat berperan dalam perekonomian nasional dan dalam penyediaan lapangan kerja, dimana pajak juga berperan aktif dalam menjalankan fungsi regulerend-nya. Sebagai negara konstitusional pengemban amanat Pasal 23A UUD 1945 dan yang berkeadilan sosial (sila kelima Pancasila), seyogianyalah DPR sebagai wakil rakyat serta para petinggi dan penegak hukum di negara hukum ini me-review (kaji ulang) pendelegasian wewenang yang telah diberikan kepada pemerintah untuk mengenakan pajak (dalam hal menetapkan tax base dan tax rate) selain yang
Pasal 28 Ayat (2) UU KUP “Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan...., adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, ..........” sudah ditetapkan dalam Undang-Undang, secara selektif dan diawasi secara ketat, sehingga kebijakan-kebijakan perpajakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dan disetujui oleh DPR) mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia khususnya bagi wajib pajak yang menjadi partner pembangunan negara yang kita cintai ini.
_______. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 1-III : PT. Bina Rena Pariwara, 1994 & 1996
DAFTAR PUSTAKA
Michael P.Devereux. The Economic’s of Tax policy : Oxford University Press, Inc. New York, New York, 1996.
Adam, Smith An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Indianapolis : Liberty Classics, 1981. Bird Richard M. Tax Policy and Economic Development :The John Hopkins University Press, Baltimore, 1992. Brotodihardjo, R. Santoso. Pengantar Hukum Pajak, Bandung : Eresco, N.V. 1958 Darussalam, Danny Seprtriadi. Membatasi kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak : Grasindo, Jakarta, 2006 Dora Hancock. Taxation Policy and Practice 1997/1998 edition: International Thomson Business Press, 1997. Gerald E.Whittenburg&Marthe Altus-Buller. Income Tax Fundamentals: West Publishing Coy, 1996 John F Due dan Ann F Friedlaender. Government Finance, 7th edition, RichardD. Irwin., Inc. 1981 : Terjemahan Ellen Gunawan dan Rudi Sitompul (dengan judul Buku terjemahan “Keuangan Penerbit Erlangga, 1984.
Negara”)
:
Mansury, R. Kebijakan Perpajakan : YP4, 2000. _______. Pajak Penghasilan Lanjutan : Ind Hill Co, 1996.
_______. Pajak Penghasilan atas Transaksitransaksi Khusus. Jakarta: YP4. _______. Pajak Penghasilan Lanjutan : Pasca Reformasi 2000, YP4, 2000.
Musgrave, Richard A. And Peggy B Musgrave. Public Finance in Theory and Practice: McGraw Hill Book Coy., Int’l Student Edition, Edisi IV, 1984 Myron S.Scholes&Mark A Wolfson. Taxes and Business Strategy : A Planning Approach : Prentice Hall, New Jersey, 1992. Norman D. Nowak. Tax Administration in Theory and Practice : New York, Washington, Praeger Publisher, 1970 Pohan, Chairil Anwar. Optimizing Corporate Tax Management-Kajian Perpajakan dan Tax Planning-nya Terkini : Bumi Aksara, Jakarta, 2012. _______. Manajemen Perpajakan- Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012 Richard Goode, The Individual Income Tax, revised edition : The Brookings Institution, Washington D.C,1978 Safri Nurmantu. Pengantar Perpajakan, edisi 3 : Granit, 2005 Suparmoko. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik, edisi 4 :BPFE Yogyakarta 1987 Jakarta, 19 November 2013.