1
THE ACTIVITY LEXICON OF EYES IN THE SUNDANESSE LANGUAGE IN THE WEST JAVANESSE: CONSIDERABLE OF ETHNOSEMANTICS Nani Darheni Balai Bahasa Bandung ABSTRACT The language is a produced of the culture and can define the culture product from some speech community. An equity and special characteristics of the culture will reflect in them lexicons. Therefore, the language lexicons can be reflect from the speech community.The study of the language and its meaning will make possible to know the manner of opinion about/ as things have panned out in the many circle or user of language. The language is too a product of development a culture which have been power and uniqueness in the form of the lexicons.In the lexicons of Sundanesse of language and uniqueness has been to know a variety of lexicons, for example the activity lexicon which has related to eyesight. The period of amendment and the situational of community in the West Javanesse have the impacted to lexicon development of West Javanese. It has appeared on the naming of place, some streets which associated with The factor of social, history, and the geography which were use the activity lexicon, especially the activity of verbs which has done by the eyesight. In the Sundanese of language has 32 the eyesight activity of verbs and in the form of the lexicon as tenjo/nenjo, tempo/nempo,sawang/ nyawang, pelong/melong, neuleu, ningal, ngintip, noong, what not with a variation scope of them application, whereas in the Indonesian language the activity melihat found expression with lexeme lihat which have the component intip, intai, pandang). This article purposes to describe the activity lexicon which have been the eyesight in the Sundanesse language and the thoponym in district West Javanesse.Else, this research had purposed to know the relation of meaning from building on its compound of meaning and a relationship of thoponym which contains some activity verbs of eyesight and the factor social and the society culture in the West Javanesse. The method which has used to analysis of the data were thedescriptive and qualitative methods. Then, that data were borrowed by from these write and word of mouth. These words of mouth had been recoverable from more respondents which had known thethoponym of naming and meaning, some books from mail post and giro therewith them vcd, some Sundanesse dictionary, some tabloids, magazines, internet, and the monograph of Bandung city (contains information which by need)
Keywords:
The Eyesight Activity Lexicon, Sundanesse Language, Thoponym in West of Javanesse, Ethnosemantics Study
2
ABSTRAK (BAHASA INDONESIA) LEKSIKON AKTIVITAS MATA DALAM TOPONIM DI JAWA BARAT: KAJIAN ETNOSEMANTIK Nani Darheni Balai Bahasa Bandung ABSTRAK Bahasa merupakan hasil kebudayaan dan dapat menggambarkan hasil kebudayaan masyarakat tuturnya. Kekayaan dan kekhasan kebudayaan akan tercermin di dalam leksikonnya. Oleh karena itu, leksikon suatu bahasa dapat mencerminkan masyarakatnya. Kajian suatu bahasa dan maknanya akan memungkinkan diketahuinya cara pandang terhadap kenyataan yang ada di kalangan pendukung atau pemakai suatu bahasa. Bahasa juga merupakan produk perkembangan sebuah budaya yang memiliki kekuatan dan keunikan yang diwujudkan di dalam leksikon. Dalam khazanah kosakata bahasa Sunda dikenal berbagai leksikon, contohnya leksikon aktivitas yang berhubungan dengan penglihatan/mata. Perkembangan zaman dan situasi sosial masyarakat di Jawa Barat berdampak pada perkembangan leksikon bahasa Sunda. Hal ini tampak pada penamaan tempat-tempat, jalan-jalan yang berhubungan dengan faktor sosial, historis, dan geografis yang menggunakan leksikon aktivitas, terutama laksikon verba aktivitas yang dilakukan oleh indera mata manusia. Bahasa Sunda memiliki 32 verba aktivitas mata manusia dan diwujudkan dalam leksikon tenjo/nenjo, tempo/nempo,sawang/ nyawang, pelong/melong, neuleu, ningal, ngintip, noong,dan lain-lain serta dengan variasi lingkup pemakaiannya, sedangkan dalam bahasa Indonesia (kemungkinan bahasa Melayu) aktivitas melihat dinyatakan dengan leksem lihat (yang memiliki anggota intip, intai, pandang). Etnosemantik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat (Lauder va Kushartanti, dkk., 2005). Dalam hal ini telaah bahasa tidak hanya dilihat dari strukturnya semata, tetapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Makalah ini bertujuan mendeskripsikan leksikon aktivitas yang dilakukan indera mata manusia yang terdapat di dalam toponim di wilayah Jawa Barat. Di samping itu, penelitian ini bertujuan mengetahui relasi makna berdasarkan komponen maknanya dan hubungan toponim yang mengandung verba aktivitas mata dengan faktor sosial budaya masyarakat di Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penganalisisan data adalah metode deskriptif kualitatif. Kemudian, Data diambil dari sumber tulis dan lisan. Data lisan diperoleh dari informan-informan yang mengetahui nama dan makna toponim, buku kantor pos dan giro serta vcdnya, kamus-kamus bahasa Sunda, surat kabar, tabloid, majalah, internet, dan juga monografi Kota Bandung yang memuat informasi yang diperlukan. Kata Kunci: Leksikon Aktivitas Mata, Bahasa Sunda, Toponim Jawa Barat, Etnosemantik
3
DAFTAR PUSTAKA Cruse, D. Alan. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford: New York. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Published. Halliday, M.A.K. 1978. Language and Social Semiotics: The Social Interpretation of Language and Meaning. London:Edward Arnold. Palmer, F.R. 1989. Semantik. Diterjemahkan oleh Abdullah Hasan. Kuala Lumpur: Malaysia. Pateda, Mansyur. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Riana, I Ketut. 2003. Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya , dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana. Sibarani, Robert dan Henry Guntur Tarigan (Penyunting). 1993. Makna Nama dalam Bahasa Nusantara: Sebuah Kajian Antropolinguistik. Bandung: Bumi Siliwangi. Sibarani, Robert. 2006. Antropolinguistik dan Semiotika , dalam Teuku Kemal Fasya dkk (ed.). Kata dan Luka kebudayaan. Medan: Usupress. Kamus Acuan Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1995. Kamus Umum Bahasa Sunda. Bandung: Tarate. Rosidi, Ajip dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugono, Dendy, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka. Surjadi, A. 2006. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni. Suryani, Elis N.S. dan Undang Ahmad Darsa. 2003. Kamus Bahasa Sunda Kuno Indonesia. Jatinangor: Alqaprint. Suryani, Elis N.S. dan A. Marzuki. 2005. Kamus Bahasa Sunda Buhun. Jatinangor: Alqaprint. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Umsari, Oyon Sofyan, et al. 1993. Kamus Bahasa Indonesia-Bahasa Sunda I dan II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Umsari, Oyon Sofyan. 2001. Kamus Dwibahasa Indonesia-Sunda. Bandung: Geger Sunten.
4
ABSTRAK LEKSIKON AKTIVITAS MATA DALAM TOPONIM DI JAWA BARAT: KAJIAN ETNOSEMANTIK Nani Darheni Balai Bahasa Bandung ABSTRAK Bahasa merupakan produk perkembangan sebuah budaya yang memiliki kekuatan dan keunikan yang diwujudkan di dalam leksikon. Dalam khazanah kosakata bahasa Sunda dikenal berbagai leksikon, contohnya leksikon aktivitas yang berhubungan dengan penglihatan/mata. Perkembangan zaman dan situasi sosial masyarakat di Jawa Barat berdampak pada perkembangan leksikon bahasa Sunda. Hal ini tampak pada penamaan tempat-tempat, jalan-jalan yang berhubungan dengan faktor sosial, historis, dan geografis yang menggunakan leksikon aktivitas, terutama laksikon verba aktivitas yang dilakukan oleh indera penglihatan/mata manusia. Analisis semantik merupakan hal penting untuk dilakukan karena dapat menyumbangkan hal-hal yang menarik, khususnya dilihat dalam kaitannya dengan aspek kultural masyarakat pemakainya. Pada kesempatan ini akan dibahas leksikon yang menyatakan aktivitas panca indera mata dalam bahasa Sunda. Leksikon pengungkap aktivitas pancaindera itu berkategori verba, yang tercakupi dalam sebuah medan makna (semantic field). Kridalaksana (2001) mengatakan bahwa medan makna merupakan bagian dari bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Sebagai gambaran tentang verba aktivitas yang dilakukan organ mata/indera penglihatan manusia, dalam bahasa Sunda diwujudkan dalam leksikon nenjo, nempo, nyawang, melong, neuleu, ningal, ngintip, noong,dan lain-lain serta dengan variasi lingkup pemakaiannya, sedangkan dalam bahasa Indonesia (kemungkinan bahasa Melayu) aktivitas melihat dinyatakan dengan leksem lihat (yang memiliki anggota intip, intai, pandang). Etnosemantik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat (Lauder va Kushartanti, dkk., 2005). Dalam hal ini telaah bahasa tidak hanya dilihat dari strukturnya semata, tetapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Kajian suatu bahasa dan maknanya akan memungkinkan diketahuinya cara pandang terhadap kenyataan yang ada di kalangan pendukung atau pemakai suatu bahasa. Begitu pula halnya dengan cara pandang masyarakat di Jawa Barat, melalui budaya yang tercermin dalam pemakaian bahasanya. Makalah ini bertujuan mendeskripsikan leksikon aktivitas yang dilakukan indera mata manusia yang terdapat di dalam toponim di wilayah Jawa Barat. Di samping itu, penelitian ini bertujuan mengetahui relasi makna berdasarkan komponen maknanya dan hubungan toponim yang mengandung verba aktivitas mata dengan faktor sosial budaya masyarakat di Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif, yaitu metode berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada pengguna-penggunanya. Metode deskriptif ini dipakai untuk memaparkan hasil temuan yang diperoleh dalam penelitian berupa penggambaran nama tempat secara sistematik dan faktual berdasarkan data yang dikumpulkan. Kemudian, penganalisisannya dilakukan secara semantis berdasarkan komponen makna dan leksikalnya.
5
Data yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari sumber data tulis dan lisan. Data lisan diperoleh dari informan-informan yang mengetahui nama dan makna toponim, tokoh masyarakat yang mengetahui asal usul toponim daerahnya. Data tulis diperoleh dari buku kantor pos dan giro serta vcdnya, kamus-kamus bahasa Sunda, surat kabar, tabloid, majalah, internet, dan juga monografi Kota Bandung yang memuat informasi yang diperlukan. Kata Kunci: Leksikon, Verba Aktivitas Mata, Bahasa Sunda, Toponim Jawa Barat, Etnosemantik
DAFTAR PUSTAKA Cruse, D. Alan. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford: New York. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Published. Halliday, M.A.K. 1978. Language and Social Semiotics: The Social Interpretation of Language and Meaning. London:Edward Arnold. Palmer, F.R. 1989. Semantik. Diterjemahkan oleh Abdullah Hasan. Kuala Lumpur: Malaysia. Pateda, Mansyur. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Riana, I Ketut. 2003. Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya , dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana. Sibarani, Robert dan Henry Guntur Tarigan (Penyunting). 1993. Makna Nama dalam Bahasa Nusantara: Sebuah Kajian Antropolinguistik. Bandung: Bumi Siliwangi. Sibarani, Robert. 2006. Antropolinguistik dan Semiotika , dalam Teuku Kemal Fasya dkk (ed.). Kata dan Luka kebudayaan. Medan: Usupress. Kamus Acuan Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1995. Kamus Umum Bahasa Sunda. Bandung: Tarate. Rosidi, Ajip dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugono, Dendy, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka. Surjadi, A. 2006. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni. Suryani, Elis N.S. dan Undang Ahmad Darsa. 2003. Kamus Bahasa Sunda Kuno Indonesia. Jatinangor: Alqaprint. Suryani, Elis N.S. dan A. Marzuki. 2005. Kamus Bahasa Sunda Buhun. Jatinangor: Alqaprint. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Umsari, Oyon Sofyan, et al. 1993. Kamus Bahasa Indonesia-Bahasa Sunda I dan II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Umsari, Oyon Sofyan. 2001. Kamus Dwibahasa Indonesia-Sunda. Bandung: Geger Sunten.
6
MR LEKSIKON AKTIVITAS MATA DALAM TOPONIM DI JAWA BARAT: KAJIAN ETNOSEMANTIK Nani Darheni Balai Bahasa Bandung
1. Pendahuluan Bahasa merupakan produk perkembangan sebuah budaya yang memiliki kekuatan dan keunikan yang diwujudkan di dalam leksikon. Dalam khazanah kosakata bahasa Sunda dikenal berbagai leksikon, contohnya leksikon aktivitas yang berhubungan dengan penglihatan (mata). Perkembangan zaman dan situasi sosial masyarakat di Jawa Barat berdampak pada perkembangan leksikon bahasa Sunda. Hal ini tampak pada penamaan tempat-tempat, jalan-jalan yang berhubungan dengan faktor sosial, historis, dan geografis yang menggunakan leksikon aktivitas, terutama laksikon verba aktivitas yang dilakukan oleh indera penglihatan/mata manusia. Toponim di wilayah Jawa Barat yang dominan berbahasa Sunda belum banyak diungkapkan oleh para ahli, apalagi kajian etnosemantik yang berkaitan dengan leksikon aktivitas indera mata bahasa Sunda, sepengetahuan penulis, belum ada yang melakukannya. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan mendeskripsikan leksikon aktivitas yang dilakukan indera mata manusia yang terdapat di dalam toponim di wilayah Jawa Barat. Di samping itu, penelitian ini bertujuan mengetahui relasi makna berdasarkan komponen maknanya dan hubungan toponim yang mengandung verba aktivitas mata dengan faktor sosial budaya masyarakat di Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif, yaitu metode berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada pengguna-penggunanya. Metode deskriptif ini dipakai untuk memaparkan hasil temuan yang diperoleh dalam penelitian berupa penggambaran nama tempat secara sistematik dan faktual berdasarkan data yang dikumpulkan. Kemudian, penganalisisannya dilakukan secara semantis berdasarkan komponen makna dan leksikalnya. Data yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari sumber data tulis dan lisan. Data lisan diperoleh dari informan-informan yang mengetahui nama dan makna toponim, tokoh masyarakat yang mengetahui asal usul toponim daerahnya. Data tulis diperoleh dari buku kantor pos dan giro serta vcdnya, dari surat kabar, tabloid, majalah, internet, dan juga monografi Kota Bandung yang memuat informasi yang diperlukan. 2. Kerangka Teori Etnosemantik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat (Lauder va Kushartanti, dkk., 2005). Dalam hal ini telaah bahasa tidak hanya dilihat dari strukturnya semata, tetapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Analisis semantik merupakan hal penting untuk dilakukan karena dapat menyumbangkan hal-hal yang menarik, khususnya dilihat dalam kaitannya dengan aspek kultural masyarakat pemakainya. Pada kesempatan ini akan dibahas leksikon yang menyatakan aktivitas panca indera mata dalam bahasa Sunda. Leksikon pengungkap aktivitas pancaindera itu berkategori verba, yang tercakupi dalam sebuah medan makna (semantic field). Kridalaksana (2001) mengatakan bahwa medan makna merupakan bagian dari bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang
7
direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Sebagai contoh kata tempo lihat memiliki anggota leksem sawang pandang , ngintip intip , noong intai dengan makna variasi lingkup pemakaiannya; sedangkan dalam bahasa Indonesia (kemungkinan juga Melayu) aktivitas melihat dinyatakan dengan leksem lihat (yang memiliki anggota intip, intai, pandang). Penelitian ini merupakan kajian bidang semantik (linguistik) dan etnologi sehingga dimasukkan ke dalam penelitian etnolinguistik. Sebagai landasan kerja digunakan teori yang berkaitan dengan analisis komponen leksikal seperti yang dikemukakan oleh Nida (1975) dalam Componential Analysis of Meaning. Selain itu, digunakan dengan beberapa teori pelengkap dari Lehrer (1974), Kridalaksana (2001), Tampubolon (1979), dan Aminuddin (1988). Menurut Nida (1975:32), makna sebuah kata dapat diidentifikasi berdasar kontras dengan makna kata yang lain. Larson (1984) terjemahan Kancanawati (1989:83) bahwa makna sebuah unsur leksikal dapat ditemukan dengan mempelajari unsur itu dalam kontras dengan unsur yang lain yang mempunyai hubungan dekat, isalnya dengan mengelompokkan unsur-unsur itu. Dengan itu, dapat digambarkan komponen makna bersama (shared meaning) dan komponen makna kontrastifnya. Seperti dikatakan Leech (1974:8) bahwa makna dapat ditemukan melalui pengelompokkan dan kontras. 3. Hasil Analisis Leksikon Aktivitas Mata dalam Toponim Sunda Kajian suatu bahasa dan maknanya akan memungkinkan diketahuinya cara pandang terhadap kenyataan yang ada di kalangan pendukung atau pemakai suatu bahasa. Begitu pula halnya dengan cara pandang masyarakat di Jawa Barat, melalui budaya yang tercermin dalam pemakaian bahasanya.
Verba aktivitas mata dalam bahasa Sunda meliputi: tenjo,nenjo melihat , sawang, nyawang mandang ke/dari kejauhan , pelong, melong bermakna melihat lama ke orang lain agar memperoleh kejelasan senang atau merasa kenal , tonton, nonton, titen, niten, intip/ngintip, polotot/molotot, pariksa, mariksa, taliti, naliti, awas, ngawas, ngawaskeun, cilek, nyilek, kicep, ngicep, ilik, ngilikan, telek, nelek melihat dengan teliti , peleng, meleng, keker, ngeker, impleng, ngimpleng, longok, ngalongok, kedip, ngedip, kedap-kedip, kiceup, ngiceup, kicap-kicep, saksi, nyaksi, nyaksian, incer, ngincer, timu, nimu, tempo, nempo menunjukan atau mengarahkan penglihatan dari tempat yang dibatasi, dari dalam ke luar ; pencerong, mencerong; teang, neangan; paluruh, maluruh; panggih, manggih, manggihan; layad, ngalayad; reret, dan dilak. Relasi makna berdasarkan komponen makna aktivitas mata dalam bahasa Sunda dapat diklasifikasikan menjadi: (1) Aktivitas Makna yang Bersasaran, meliputi (a) Aktivitas Mata Berkomponen Makna Bersasaran + Disengaja dan (b) Aktivitas Mata Berkomponen Makna bersasaran+ Takdisengaja ; (2) Aktivitas Mata yang berkomponen Makna Takbersasaran Aktivitas mata bermakna bersasaran disengaja dicontohkan dengan leksikon tonton, tempo, tenjo, sawang, taliti/titen, telek, awas, pelong, pariksa, incer, meleng, longok, tenjo, layad, dan intip. Kemudian, aktivitas mata bermakna bersasaran tak disengaja dicontohkan dengan leksikon timu, kanyahoan,dan kapergok.
Aktivitas mata yang berkomponen makna takbersasaran dicontohkan oleh leksikon mendelik, puncereng, polotot, culak-cilek, gurulang-gorolong, puncerang-pencerong, dan pulutat-polotot. Leksikon aktivitas mata yang diperoleh dari toponim Jawa Barat sangat terbatas, meliputi leksikon (1) sawangnyawang mandang ke/dari kejauhan , (2) pelong/melong melihat lama ke orang lain agar memperoleh kejelasan karena senang atau merasa kenal , (3) tenjo/nenjo lihat dan bentuk halusnya leksikon tingal/ningal (paningal penglihatan ).
8
Leksikon ini untuk penamaan tempat-tempat di Jawa Barat bervariasi dengan leksikon [Verba + (Adjektiva, Adverbia, Nomina)], sebagaimana terdapat di bawah ini. V + Adjektiva Melong Asih Melong Dalam Melong Green
= pelong + = pelong + dalam = pelong + green
Tenjo Tenjoayu Tenjojaya Tenjomaya
= tenjo = tenjo = tenjo = tenjo
melihat + ayu cantik + jaya menang + maya (B Kawi)
V + Nomina Tenjonagara Tenjowaringin Tenjolaut Tenjolayar
= tenjo = tenjo = tenjo = tenjo
+ nagara negara + waringin beringin + laut laut + layar layar
V + Adverbia Melong Kaler Melong Kidul Melong Tengah
= pelong + kaler utara = pelong + kidul selatan = pelong + tengah tengah
Telek
= telek melihat dengan teliti
Gelap Nyawang Karangpaningal Melong Cijerah
= sawang = tingal = pelong
4. Penutup Nama-nama aktivitas mata sudah banyak yang tidak dikenal oleh generasi muda atau bahkan memberi nama yang sama untuk jenis aktivitas yang berbeda jika dibandingkan dengan penamaan aktivitas mata oleh generasi tua. Komponen makna yang menarik dianalisis adalah komponen makna leksem-leksem yang meliputi medan makna akivitas mata untuk melihat karena komponen makna masing-masing leksem ini sangat membutuhkan kecermatan peneliti dalam menerapkan pendekatan intensinal yang mendasarkan analisis pada prosedur kontras dan komparasi. Dengan analisis makna aktivitas mata ini pernyataan Sapir Whorf bahwa cara pandang penutur (dalam hal ini bahasa Sunda) terekam dalam struktur bahasanya. Berdasarkan pengamatan melalui analisis komponen dan relasi hiponimik, dapat ditemukan 29 leksem berkonsep aktivitas mata dengan komponen bersama MELIHAT. Leksem-leksem tersebut masih dapat dikelompokkan dan dirinci lagi berdasarkan komponen makna bersama dan komponen makna spesifiknya. Kata Kunci: Leksikon, Verba Aktivitas Mata, Bahasa Sunda, Toponim Jawa Barat, Etnosemantik
9
DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Corbeil, Jean-Claude, et.al. 2004. Kamus Visual Indonesia-Inggris. Canada: QA International. Cruse, D. Alan. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford: New York. Crystal, David.1985. A Dictionary of Linguistics and Phonetics (ed.). Oxford Basil, Blackwell, London: Andre Deutch. Dinas Informasi dan Komunikasi, Pemerintah Kota Bandung. 2000. Selayang Pandang Kota Bandung. Bandung. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Published. Halliday, M.A.K. 1978. Language and Social Semiotics: The Social Interpretation of Language and Meaning. London:Edward Arnold. Hardjasaputra, A. Sobana (ed.) 2002. Sejarah Kota Bandung 1810--1945. Bandung: Pemerintah Kota Bandung. Kunto, Haryono. 1985. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: PT. Granesia. Neufeldt, Victoria, et.al. 1993. Webter s New World Dictionary. Jakarta: Modern Press. Palmer, F.R. 1989. Semantik. Diterjemahkan oleh Abdullah Hasan. Kuala Lumpur: Malaysia. Pateda, Mansyur. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Riana, I Ketut. 2003. Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya , dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana. Sibarani, Robert dan Henry Guntur Tarigan (Penyunting). 1993. Makna Nama dalam Bahasa Nusantara: Sebuah Kajian Antropolinguistik. Bandung: Bumi Siliwangi. Sibarani, Robert. 2006. Antropolinguistik dan Semiotika , dalam Teuku Kemal Fasya dkk (ed.). Kata dan Luka kebudayaan. Medan: Usupress. Kamus Acuan Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1976. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate. Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1995. Kamus Umum Bahasa Sunda. Bandung: Tarate. Rosidi, Ajip dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugono, Dendy, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka. Sumantri, Maman. 1985. Kamus Sunda-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Surjadi, A. 2006. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni. Suryani, Elis N.S. dan Undang Ahmad Darsa. 2003. Kamus Bahasa Sunda Kuno Indonesia. Jatinangor: Alqaprint. Suryani, Elis N.S. dan A. Marzuki. 2005. Kamus Bahasa Sunda Buhun. Jatinangor: Alqaprint. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Umsari, Oyon Sofyan. 2001. Kamus Dwibahasa Indonesia-Sunda. Bandung: Geger Sunten.