PENETAPAN KADAR HISTAMIN DALAM PRODUK PANGAN IKAN KALENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) DAN ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung
Oleh
SITI AMINAH NIM : 20712319 (Program Studi Magister Farmasi)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015
PENETAPAN KADAR HISTAMIN DALAM PRODUK PANGAN IKAN KALENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) DAN ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Oleh SITI AMINAH NIM : 20712319 (Program Studi Magister Farmasi)
Institut Teknologi Bandung
Menyetujui
Tanggal Maret 2015
Pembimbing
(Dr.rer.nat. Sophi Damayanti)
ABSTRAK PENETAPAN KADAR HISTAMIN DALAM PRODUK PANGAN IKAN KALENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) DAN ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) Oleh Siti Aminah NIM : 20712319 (Program Studi Magister Farmasi) Latar belakang: Ikan penyebab keracunan karena pelepasan histamin umumnya berasal dari famili ikan scombroidae seperti ikan tuna (Thunnus spp) dan mackerel (Scomber spp) sehingga sering disebut Scombrotoxin Fish Poisoning (SFP). Selain itu, famili nonscombroidae seperti sardine (Sardinella spp), salmon (Arripis truttaceus), tongkol, cakalang, dan kembung juga menjadi penyebab SFP. Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan histamin akan timbul jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 g. Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20 mg/100 g tidak boleh dikonsumsi. Penentuan konsentrasi histamin dalam produk pangan memerlukan adanya suatu metoda analisa atau metoda uji yang terpercaya sesuai yang dipersyaratkan dalam standar atau regulasi. Penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi metode dan menetapkan kadar histamin dalam produk pangan secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode: Metode analisis histamin dalam sampel ikan kalengan menggunakan KCKT Agilent Infinity VWD 1260 series yang dilengkapi dengan kolom C18 Zorbax Eclipse Plus (4,6 x 100 mm, 5µm) dan detektor ultraviolet 254 nm. Fase gerak merupakan campuran ammonium asetat 0,01 M asetonitril (6:4). Laju alir diatur pada 0,6 ml/menit dan suhu kolom 30 ºC. Sampel dipreparasi dengan cara diderivatisasi terlebih dahulu dengan larutan benzoil klorida 2% dalam asetonitril. Metode analisis dengan ELISA menggunakan kit Ridascreen® Histamin RBiopharm Art No. R1604 Lot. 12404. Hasil: Persamaan linier kurva kalibrasi untuk derivat histamin dengan menggunakan metode KCKT adalah y = 284,9204 x + 673,5903, koefisien korelasi r = 0,9961, batas deteksi 7,62 µg/g dan batas kuantisasi 23,09 µg/g. Presisi metode diperoleh dengan nilai koefisien variansi adalah 1,62% sedangkan akurasi dilihat dari perolehan kembali sebesar 86,26 – 92,39%. Kurva kalibrasi linier untuk metode ELISA adalah y = -1,7269 x + 1,6450, koefisien korelasi r = -0,9927, batas deteksi 2,61 µg/g dan batas kuantisasi 7,91 µg/g. Presisi metode ditunjukkan dengan nilai koefisien variansi 5,33% dan akurasi dilihat dari perolehan kembali sebesar 81,32%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kedua metode dapat digunakan untuk penetapan kadar histamin dalam sampel ikan kalengan. Kadar histamin dalam sampel menggunakan metode KCKT sebesar 95,65±1,55 µg/g dan kadar histamin menggunakan metode ELISA sebesar 80,32±4,28 µg/g. Kata kunci : Scombrotoxin Fish Poisoning (SFP), histamin, KCKT, ELISA, ikan kalengan.
i
ABSTRACT DETERMINATION OF HISTAMINE IN CANNED FISH PRODUCTS USING HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC) AND ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) METHOD by Siti Aminah NIM : 20712319 (Master Program of Pharmacy) Background: Fish poisoning due to the release of histamine generally come from families scombroidae fish such as tuna (Thunnus spp) and mackerel (Scomber spp), so called Scombrotoxin Fish Poisoning (SFP). In addition, families of non-scombroidae such as sardine (Sardinella spp), salmon (Arripis truttaceus), skipjack, and „kembung‟ also commonly known as a cause of SFP. According to the United States of Food and Drug Administration (FDA), consumption of histamine in 50 mg/100 g fish will cause poisoning. Therefore, level of histamine more than 20 mg/100 g has forbidden to be consumed. Determination of histamine in food products requires a methods in accordance to the regulation. This study was aimed to verify and determine histamine in canned fish products by High Performance Liquid Chromatography (HPLC) and Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) methods. Method: Histamine in canned fish samples were analyzed using HPLC Agilent 1260 Infinity Series VWD with Zorbax Eclipse Plus C18 column (4.6 x 100 mm, 5μm) and ultraviolet detector of 254 nm. Mobile phase was consisted of mixture of 0,01 M ammonium acetateacetonitrile (6:4). Flow rate was adjusted at 0.6 mL min-1 and column temperature was maintained at 30 ºC. Samples were prepared using derivatization with 2% solution of benzoyl chloride in acetonitrile. ELISA analysis was carried out using instrument Histamine Ridascreen® R-Biopharm Art No. R1604. Lot.12404. Result: Calibration curve of histamine using HPLC method showed the regression equation of y = 284.9204 x + 673.5903 and correlation coefficient of r = 0.9961. The limits of detection and limit of quantitation, were 7.62 and 23.09 µg g-1, respectively. The precision of the method was shown in coefficient of variance value of 1.62% whereas accuracy was in value of recoveries of histamine standard addition from canned fish samples of 86.26 to 92.39%. Calibration curve for determination of histamine using ELISA method showed the regression equation of y = -1.7269 x + 1.6450 and correlation coefficient of r = -0.9927. The limits of detection and limit of quantitation, were 2.61 and 7.91 µg g-1, respectively. The precision of the method was in coefficient of variance value of 5.33% whereas it‟s accuracy was 81.32% of recovery. Based on the results, it was concluded that the proposed method can be applied for determination of histamine in canned fish samples. Concentration of histamine in sample using HPLC and ELISA method was 95.65±1,55 µg/g and 80.32±4,28 µg/g respectively. Keywords : Scombrotoxin Fish Poisoning (SFP), histamine, High Performance Liquid Chromatography, Enzyme Linked Immunosorbent Assay, canned fish.
ii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS
Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
iii
Dipersembahkan untuk ibundaku tercinta Djedje Sangkidjenab, suamiku tersayang Yana Supriatna, serta kedua putraku Canra Aliffian dan Thoriq Maulana Adzra
iv
KATA PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim.. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang Maha luas ilmu-Nya, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga buku tesis yang berjudul “Penetapan Kadar Histamin dalam Produk Pangan Ikan Kalengan menggunakan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Master Sains dari Program Studi Magister Farmasi, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Ibu Dr.rer.nat. Sophi Damayanti, selaku pembimbing
utama yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis ini. 2. Pimpinan dan seluruh staf Balai Besar POM di Bandung, khususnya staf Laboratorium Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya BBPOM Bandung. 3. Suamiku tercinta Yana Supriatna serta kedua anakku Canra Aliffian dan Thoriq Maulana Adzra atas dukungan dan doanya. 4. Yang tercinta ibunda Djedje Sangkidjenab dan keluarga besar yang telah memberikan bantuan moril, doa, dan juga dorongan selama melakukan penelitian ini. 5. Teman-teman seperjuangan Kelompok Keilmuan Farmakokimia-Badan POM RI Tahun 2013 atas segala bantuan, dukungan dan kerjasamanya. 6. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini. Dengan segala kerendahan hati dan keterbatasan penulis, penulis mengharapkan tesis ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Februari, 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI ABSTRAK .....................................................................................................
i
ABSTRACT ...................................................................................................
ii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS ...........................................................
iii
LEMBAR PERSEMBAHAN ........................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................
v
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ix
Bab I Pendahuluan ......................................................................................
1
I.1 Latar Belakang ...............................................................................
1
I.2 Tujuan Penelitian ...........................................................................
3
I.3 Manfaat Penelitian .........................................................................
4
Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................
5
II.1 Definisi Pangan .............................................................................
5
II.2 Definisi Ikan Kalengan .................................................................
5
II.3 Skombrotoksin ............................................................................
5
II.4 Histamin .......................................................................................
8
II.4.1 Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi ................
9
II.4.2 Mekanisme Kerja dan Toksisitas ........................................
10
II.4.3 Intoleransi Histamin ............................................................
11
II.5 Metode Analisis Histamin ............................................................
12
II.5.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ........................
12
II.5.2 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) .................
13
II.6 Verifikasi Metode Analisis ...........................................................
14
II.6.1 Linieritas .............................................................................
14
II.6.2 Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi ....................................
15
II.6.3 Akurasi ................................................................................
16
II.6.7 Presisi ..................................................................................
16
vi
Bab III Metodologi Penelitian .....................................................................
18
III.1 Penetapan dengan Metode KCKT ..................................................
18
III.2 Penetapan dengan Metode ELISA .................................................
18
III.3 Verifikasi Metode Analisis .............................................................
18
Bab IV Percobaan ........................................................................................
19
IV.1 Bahan ...........................................................................................
19
IV.2 Alat .............................................................................................
19
IV.3 Tahapan Penelitian .......................................................................
19
IV.3.1 Penetapan dengan Metode KCKT ........................................
19
IV.3.2 Penetapan dengan Metode ELISA .......................................
21
IV.3.3 Verifikasi Metode Analisis ..................................................
22
Bab V Hasil dan Pembahasan ......................................................................
24
V.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ....................................
24
V.2 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ...........................
31
Bab VI Kesimpulan dan Saran ......................................................................
36
VI.1 Kesimpulan ....................................................................................
36
VI.2 Saran ...............................................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
37
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar II.1
Sintesis Histamin ...........................................................
8
Gambar II.2
Struktur Molekul Histamin ............................................
9
Gambar II.3
Prinsip Reaksi Enzim Immunoassay Kompetitif ...........
14
Gambar V.1
Reaksi Asil Klorida dengan Amina Primer...................... 24
Gambar V.2
Kromatogram Derivat Histamin.....................................
27
Gambar V.3
Kurva Kalibrasi Derivat Histamin .................................
29
Gambar V.4
Kurva Baku Seri Histamin Hasil Percobaan .................
32
Gambar V.5
Kurva Baku Seri Histamin dari Quality Assurance Certificate (QAC)......................................................... ...
33
Gambar V.6
Kurva Kalibrasi Histamin ................................................ 33
viii
DAFTAR TABEL Tabel V.1
Kondisi Sistem KCKT............................................................ 26
Tabel V.2
Data Hasil Uji Kesesuaian Sistem Larutan Derivat Histamin Konsentrasi 14,31 ppm........................................................... 28
Tabel V.3
Konsentrasi dan Luas Area Baku Seri Derivat Histamin........ 29
Tabel V.4
Presisi Derivat Histamin dalam Produk Ikan Kalengan ........
30
Tabel V.5
Akurasi Derivat Histamin dalam Produk Ikan Kalengan ......
31
Tabel V.6
Konsentrasi dan Absorbansi Baku Seri N-Asil Histamin....... 32
Tabel V.7
Presisi Metode Penetapan Kadar Histamin dalam Produk Ikan Kalengan ........................................................................ 34
Tabel V.8
Akurasi Metode Penetapan Kadar Histamin dalam Produk Ikan Kalengan......................................................................... 35
ix
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Scombrotoxin Fish Poisoning (SFP) sering disebut keracunan histamin yang berasal dari famili ikan scombroidae seperti ikan tuna (Thunnus spp), bonito (Sarda spp), mackerel (Scomber spp), skipjack (Katsuwonus polamis), dan mahimahi (varietas ikan lumba-lumba). Tetapi famili non-scombroidae seperti sardine (Sardinella spp), ikan herring (Clupea spp) salmon (Arripis truttaceus), tongkol, cakalang, kuwik dan kembung juga menjadi penyebab SFP. Jenis ikan ini mengandung sejumlah histidin bebas yang tinggi dalam jaringannya, sementara bakteri tertentu mempunyai enzim histidine decarboxylase, yaitu enzim yang mampu memecah histidin menjadi histamin. Enzim histidine decarboxylase dapat ditemukan pada bakteri Enterobacteriaceae, Clostridium, Lactobacillus, Vibrio, Pseudomonas dan Photobacterium. Pembentukan zat beracun ini dapat terjadi baik pada ikan yang sudah dimasak termasuk ikan yang diawetkan dengan cara pengasapan dan pengalengan maupun ikan yang masih mentah karena tidak segera ditangani, misalnya ikan sudah terlalu lama ditangkap dan tidak segera dibekukan atau ikan yang tidak segera diolah (Arisman, 2009).
Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan histamin akan timbul jika seseorang mengonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 g ikan. Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20 mg/100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi.
Histamin [2-(1 H -imidazol-4-yl)ethanamine]
merupakan zat endogen yang
terjadi secara alami dalam tubuh manusia yang berperan sebagai mediator reaksireaksi alergi dan reaksi inflamasi, serta sekresi asam lambung. Histamin adalah neurotransmitter yang terlibat dalam respon imun lokal, disintesis dari histidin dengan adanya enzim histidine decarboxylase, bisa diinaktifkan secara cepat oleh enzim histamine N-methyltransferase dan diamine oxidase (Maintz, dkk., 2007). Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel. Histamin dilepaskan dari sel mast 1
sebagai hasil reaksi antigen-antibodi IgE yang merupakan hasil respon terhadap senyawa asing dalam tubuh. Senyawa allergen dapat berupa spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun, tripsin, dan enzim proteolitik lain, deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan amina (Joint FAO/WHO, 2012).
Histamin endogen diperlukan untuk fungsi fisiologis normal, tetapi histamin dengan dosis besar beracun karena masuk ke sistem peredaran darah. Hal ini sering menyebabkan gejala keracunan, yang melibatkan berbagai organ. Dampak histamin melalui aktivasi dari empat jenis reseptor histamin (H1, H2, H3 dan H4) dalam membran sel. Reseptor histamin ini diekspresikan pada tipe sel yang berbeda dan bekerja melalui jalur sinyal yang berbeda, sehingga dalam beberapa respons
biologis.
Histamin
dapat
meningkatkan
vasopermeabilitas
dan
vasodilatasi sehingga menyebabkan urtikaria, flushing, hipotensi dan sakit kepala. Histamin juga menginduksi kontraksi otot polos usus, menyebabkan kram perut, diare dan muntah (Joint FAO/WHO, 2012).
Berbagai metode pengujian yang ada untuk penentuan kadar histamin pada ikan, termasuk metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) telah diusulkan. Setelah ekstraksi amina langkah derivatisasi diperlukan, dapat dilakukan sebelum atau sesudah pemisahan kolom, derivatif utama yang digunakan adalah ophthaldialdehyde (OPA), dansil klorida, dan benzoil klorida. Metode derivatisasi dengan agen fluorogenik memiliki beberapa keterbatasan, yaitu memerlukan pemisahan amina sebelum derivatisasi karena derivatif fluorogenik yang tidak selektif. Oleh karena itu, reagen asil klorida, seperti tosyl-dansil, atau benzoil klorida, lebih disukai untuk derivatisasi amina biogenik. Di antara reagen ini, benzoil klorida memiliki keuntungan, karena derivatisasi dan waktu elusi yang pendek, struktur kimia yang sederhana, dan relatif murah (Ozogul, dkk., 2002, Ozdestan, dkk., 2009).
Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) juga dapat dikembangkan untuk pengukuran histamin dalam makanan. Prinsipnya berdasarkan kompetisi antara antigen yang terdapat dalam sampel dengan enzim berlabel kemudian
2
enzim dan antigen bersaing dengan binding-site antibodi yang dilapisi ke dalam well. Setelah inkubasi, well dicuci untuk menghentikan reaksi kompetisi. Setelah substrat bereaksi, intensitas warna diukur dimana intensitasnya berbanding terbalik dengan jumlah antigen dalam sampel. Hasil dapat ditentukan langsung menggunakan kurva kalibrasi standar (Muscarella, dkk., 2005, Muscarella, dkk., 2013).
Badan POM mempunyai visi menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat, serta salah satu misinya yaitu memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, Badan POM melakukan pengawasan Pre Market dan Post Market secara internasional. Salah satu perangkat pendukung pengawasan tersebut adalah adanya suatu metoda analisa atau metoda uji yang valid dan handal sesuai yang dipersyaratkan dalam standar atau regulasi sehingga dapat menentukan konsentrasi suatu zat atau racun dalam produk pangan.
Hingga saat ini metoda analisa penetapan kadar histamin dalam produk pangan hanya menggunakan metode ELISA. Metode ini merupakan salah satu metode skrining yang cepat namun memiliki kendala antara lain ketersediaan alat ini di sebagian besar Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia yang masih sedikit sehingga diperlukan suatu metoda analisa lain yang kuantitatif, mudah, dan dapat diaplikasikan di Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia, sementara itu, instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) tersedia di Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia. Hasil penelitian dengan melakukan metoda analisa ELISA dan KCKT diharapkan memiliki tingkat validitas dengan presisi dan akurasi yang baik.
I.2 Tujuan Penelitan Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar histamin dalam produk pangan secara ELISA dan KCKT. Dengan terujinya metode analisa penetapan kadar histamin dalam produk pangan secara ELISA dan KCKT maka diharapkan
3
metode yang valid diantara kedua metode tersebut dapat diterapkan dalam pemeriksaan terhadap berbagai jenis sampel pangan untuk pengujian rutin di Laboratorium Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia.
I.3 Manfaat Penelitian Metode ELISA merupakan salah satu metode skrining yang cepat namun memiliki kendala antara lain ketersediaan alat ini di sebagian besar Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia yang masih sedikit sedangkan metode KCKT bisa dijadikan metode analisa alternatif yang kuantitatif, mudah, dan dapat diaplikasikan di Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia. Dengan diketahuinya metode analisa penetapan kadar histamin dalam produk pangan secara ELISA dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) maka diharapkan metode yang valid di antara kedua metode tersebut dapat diterapkan dalam pemeriksaan terhadap berbagai jenis sampel pangan untuk pengujian rutin di Laboratorium Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi Pangan Pangan menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan pangan olahan menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
II.2 Definisi Ikan Kalengan Yang dimaksud dengan ikan kalengan menurut Kategori Pangan Badan POM RI Tahun 2006 adalah produk yang diperoleh dari ikan segar atau potongan ikan segar dan dihilangkan isi perutnya, dicuci dengan air bersih, disusun dalam kaleng, dengan atau tanpa diberi media, dengan atau tanpa bumbu-bumbu atau bahan lainnya, kemudian dikemas secara kedap (hermetis) dan disterilisasi atau dipasteurisasi dengan cara pemanasan.
II.3 Skombrotoksin Scombrotoxin Fish Poisoning (SFP) sering disebut keracunan histamin yang berasal dari famili ikan scombroidae seperti ikan tuna (Thunnus spp), bonito (Sarda spp), mackerel (Scomber spp), skipjack (Katsuwonus polamis), dan mahimahi (varietas ikan lumba-lumba). Tetapi famili non-scombroidae seperti sardine (Sardinella spp), ikan herring (Clupea spp) salmon (Arripis truttaceus), tongkol, cakalang, kuwik dan kembung juga menjadi penyebab SFP. Jenis ikan ini mengandung sejumlah histidin bebas yang tinggi dalam jaringannya, sementara bakteri tertentu mempunyai enzim histidine decarboxylase, yaitu enzim yang mampu memecah histidin menjadi histamin. Enzim histidine decarboxylase dapat ditemukan pada bakteri Enterobacteriaceae, Clostridium, Lactobacillus, Vibrio, Pseudomonas dan Photobacterium (Joint FAO/WHO, 2012). SFP merupakan
5
masalah keamanan pangan di seluruh dunia dan menjadi penyebab umum dari keracunan ikan yang terjadi pada manusia. Keracunan makanan disebabkan scombrotoksin yang stabil terhadap panas, timbul dari kerja bakteri pada ikan. Meskipun komponen skombrotoksin belum teridentifikasi, umumnya terdapat amina biogenik, terutama histamin, memainkan peran penting dalam patogenesis SFP. Ikan yang dicurigai mengandung histamin tingkat tinggi akibat dari aktivitas bakteri karena kondisi penanganan, pengolahan atau penyimpanan yang tidak layak.
Berbagai gejala SFP telah diamati di antara manusia, seperti urtikaria, hipotensi, sakit kepala, diare, muntah, dan lain-lain. Keracunan individu mungkin menunjukkan satu atau lebih dari gejala-gejala ini, dan tingkat keparahan respon terhadap ikan yang terkontaminasi dapat bervariasi. Rasa mual dengan atau tanpa muntah/diare, rasa terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, muka dan leher kemerah-merahan, kulit gatal dan badan lemas adalah gejala yang timbul akibat keracunan histamin. Gejala biasanya berkembang cepat (dari 5 menit sampai 2 jam setelah konsumsi ikan), dengan durasi 8-12 jam dan dengan gejala biasanya tidak lagi diamati setelah 24 jam.
Diagnosis SFP sebagian besar tergantung pada gejala, waktu onset, riwayat alergi makanan
dan
konsumsi
ikan
yang
terkontaminasi.
Diagnosis
dapat
dikonfirmasikan dengan mendeteksi tingkat histamin yang tinggi dalam makanan, sisa-sisa makanan atau produk serupa yang diperoleh dari sumber yang sama (Joint FAO/WHO, 2012).
Pengobatan antihistamin adalah terapi optimal untuk SFP. Gejala biasanya mereda dengan cepat setelah pengobatan tersebut. Kedua antagonis H1 (misalnya diphenhydramine) dan antagonis H2 (misalnya simetidin) telah digunakan untuk pengobatan keracunan histamin. Mengingat bahwa gejala dapat sembuh dalam waktu yang cukup singkat, intervensi farmakologis mungkin tidak diperlukan dalam kasus ringan dan pasien hanya memerlukan dukungan pemeliharaan (misalnya penggantian cairan) (Joint FAO/WHO, 2012).
6
Histamin adalah penyebab signifikan dari SFP. Hal ini dibuktikan pada pasien keracunan histamin terdapat tingkat histamin yang tinggi dalam darah atau urin, dan obat antihistamin dapat efektif mengurangi gejala. Histamin ternyata bukan merupakan faktor tunggal penyebab keracunan. Biogenik amin lain, misal kadaverina dan putresin dalam daging ikan dapat memperkuat efek toksik histamin. Penguatan efek ini terjadi karena adanya hambatan kerja enzim yang memetabolisme histamin, yaitu enzim diamine oxidase atau histaminase dan histamine N-methyltransferase (Joint FAO/WHO, 2012, Maintz, dkk., 2007).
Ikan penyebab keracunan histamin biasanya mengandung histidin bebas dalam jumlah tinggi (kadar histidin bebas lebih dari 1%). Kandungan histamin pada ikan segar/sehat adalah kurang dari 0,1 mg/gram ikan, sedangkan bila ikan diletakkan pada suhu kamar, histamin akan meningkat dengan cepat mencapai 1 mg/gram ikan dalam waktu 24 jam. Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/100 g ikan. Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan histamin akan timbul jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 g ikan. Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20 mg/100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi. Gejala keracunan akan terjadi jika mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin tinggi (lebih dari 70 mg/100 gr ikan). Tampilan ikan yang telah mengandung racun biasanya tidak berubah dan tidak menunjukan tanda pembusukan.
Histamin bersifat stabil selama pemanasan dan pembekuan. Sehingga, jika ikan yang mengandung histamin dalam jumlah tinggi diolah lebih lanjut menjadi produk olahan ikan, baik dalam bentuk ikan beku, ikan yang telah dimasak, dikuring atau dikalengkan maka produk akhir yang dihasilkan akan tetap mengandung histamin dalam jumlah tinggi. Kadar histamin dalam ikan kaleng bisa sebesar 68 sampai 280 mg/100 g. Karena itu tidak mengherankan jika keracunan histamin bisa tetap terjadi padahal ikan telah dimasak dengan sempurna (Arisman, 2009).
7
II.4 Histamin Histamin merupakan zat endogen yang terjadi secara alami dalam tubuh manusia yang berperan sebagai mediator reaksi-reaksi alergi dan reaksi inflamasi, serta sekresi asam lambung. Histamin adalah neurotransmitter yang terlibat dalam respon imun lokal, disintesis dari histidin dengan adanya enzim histidine decarboxylase, bisa diinaktifkan secara cepat oleh enzim histamine Nmethyltransferase dan diamine oxidase (Maintz, dkk., 2007).
L-histidine decarboxylase
HOOC
Histidin
Histamin Gambar II.1 Sintesis Histamin
Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel. Histamin dilepaskan dari sel mast sebagai hasil reaksi antigen-antibodi IgE yang merupakan hasil respon terhadap senyawa asing/allergen dalam tubuh. Senyawa allergen dapat berupa spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun, tripsin, dan enzim proteolitik lain, deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan amina.
Histamin terdapat dalam makanan tertentu yang mengandung histidin bebas dan dihasilkan oleh bakteri tertentu selama pembusukan dan fermentasi ikan. Makanan kaya histamin dapat menyebabkan intoleransi pada individu yang sensitif dan kontaminasi histamin pada ikan dan produk ikan dapat menyebabkan keracunan makanan (Joint FAO/WHO, 2012).
Histamin
dapat
menimbulkan
efek
bila
berinteraksi
dengan
reseptor
histaminergik, yaitu reseptor histamin 1 (H1), histamin 2 (H2), histamin 3 (H3) dan histamin 4 (H4). Interaksi histamin dengan reseptor H1 menyebabkan interaksi otot polos usus dan bronki, meningkatkan permeabilitas vaskular dan meningkatkan sekresi usus, yang dihubungkan dengan peningkatan cGMP dalam
8
sel. Interaksi dengan reseptor H1 juga menyebabkan vasodilatasi arteri sehingga permeabel terhadap cairan dan plasma protein yang menyebabkan sembab, pruritik, dermatitis dan urtikaria. Efek ini di blok oleh antagonis H-1. Interaksi histamin dengan reseptor H2 dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan kecepatan kerja jantung. Produksi asam lambung di sebabkan penurunan cGMP dalam sel dan peningkatan cAMP. Peningkatan sekresi asam lambung dapat menyebabkan tukak lambung. Efek ini di blok oleh antagonis H2. Reseptor H3 adalah reseptor histamin yang terletak pada ujung syaraf jaringan otak dan jaringan perifer yang mengontrol sintesis dan pelepasan histamin, mediator alergi lain dan peradangan. Efek ini di blok antagonis H3. Reseptor H4 banyak terdapat pada sel basofil dan sumsum tulang. Juga ditemukan pada kelenjar timus, usus halus, limfa dan usus besar.
Gambar II.2 Struktur Molekul Histamin (Chemdraw 8.0)
Histamin dengan rumus kimia C5H9N3 atau 2-(1 H -imidazol-4-yl)ethanamine berbentuk higroskopis, kristal berwarna, yang mencair pada 84°C, dan mudah larut dalam air atau etanol, tetapi tidak dalam eter.
Histamin memiliki dua dasar pusat, yaitu alifatik gugus amino dan atom nitrogen dari cincin imidazol yang sudah memiliki proton. Dalam kondisi fisiologis, gugus amino alifatik (memiliki pKa sekitar 9,4) akan terprotonasi, sedangkan nitrogen kedua cincin imidazol (pKa sekitar 5,8) tidak akan terprotonasi. Dengan demikian, histamin biasanya terprotonasi sebagai kation tunggal (Paiva, dkk., 1970).
II.4.1 Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi Subyek manusia dapat mentolerir hingga 180 mg histamin murni tanpa harus ada efek nyata, sedangkan pemberian intravena 0,007 mg histamin menghasilkan vasodilatasi dan peningkatan denyut jantung. Perbedaan ini menunjukkan bahwa histamin tidak efisien diserap oleh tubuh karena adanya enzim dalam saluran usus
9
yang mencegah penyerapan histamin ke dalam sistem peredaran darah (Joint FAO/WHO, 2012).
Pada manusia dan hewan percobaan, histamin terutama dimetabolisme oleh enzim diamin oksidase (DAO) dan histamin-N-methyltransferase (HMT). DAO mengkonversi histamin menjadi asam asetat imidazol, yang dapat terkonjugasi dengan ribosa sebelum diekskresikan. HMT mengkonversi histamin ke methylhistamine, yang kemudian diubah oleh monoamine oxidase (MAO) menjadi asam asetat N-imidazol. Produk akhir utama metabolisme histamin diekskresikan dalam urin (Maintz, dkk., 2007).
II.4.2 Mekanisme Kerja dan Toksisitas Dampak histamin melalui aktivasi dari empat jenis reseptor histamin (H1, H2, H3 dan H4) dan/atau dalam membran sel. Reseptor histamin ini diekspresikan pada tipe sel yang berbeda dan bekerja melalui jalur sinyal yang berbeda, sehingga dalam
beberapa
respons
biologis.
Misalnya,
histamin
meningkatkan
vasopermeabilitas dan vasodilatasi, menyebabkan urtikaria, flushing, hipotensi dan sakit kepala. Histamin juga menginduksi kontraksi otot polos usus, menyebabkan kram perut, diare dan muntah.
Histamin endogen diperlukan untuk fungsi fisiologis normal, tetapi histamin dengan dosis besar beracun karena masuk ke sistem peredaran darah. Hal ini sering menyebabkan gejala keracunan, yang melibatkan berbagai organ. Efek toksikologi histamin adalah berkaitan dengan tindakan fisiologis normal dalam tubuh dan meliputi berikut ini : Dilatasi pembuluh darah perifer, terutama arteri, mengakibatkan hipotensi, flushing dan sakit kepala. Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga gejala seperti edema, urtikaria, haemoconcentration dan peningkatan viskositas darah. Syok dapat terjadi akibat dari pemberian histamin dengan dosis yang sangat tinggi. Efek pada permeabilitas kapiler dimediasi oleh reseptor H1 dan H2 (Joint FAO/WHO, 2012).
10
Histamin
menstimulasi langsung pada jantung.
Histamin
meningkatkan
kontraktilitas jantung dan meningkatkan laju dan kekuatan kontraksi. Efek histamin pada jantung menjelaskan palpitasi oleh beberapa orang yang mengalami keracunan histamin. Histamin dapat menyebabkan kontraksi atau relaksasi otot polos ekstravaskuler. Kontraksi dimediasi oleh reseptor H1, sedangkan relaksasi dikaitkan dengan reseptor H2 (Shahid, dkk., 2009).
Pada manusia, histamin dapat menyebabkan kontraksi pada otot polos ekstravaskular. Kontraksi otot polos ini paling sering terjadi dalam bronkus dan usus. Pada keracunan histamin, kontraksi otot polos usus sangat jelas, karena awalnya histamin memasuki saluran pencernaan. Kontraksi otot polos usus menyebabkan kram perut, diare dan muntah yang sering dicatat dalam kasus keracunan histamin.
Histamin juga merupakan stimulan yang kuat dari kedua neuron sensorik dan motorik. Stimulasi ini mungkin penting dalam memproduksi rasa sakit dan gatal yang sering menyertai lesi urtikaria akibat keracunan histamin. Stimulasi saraf ini dimediasi oleh reseptor H1 (Joint FAO/WHO, 2012, Nuutinen, dkk., 2010).
II.4.3 Intoleransi Histamin Intoleransi Histamin adalah jenis intoleransi makanan dengan gejala seperti alergi. Hal ini terjadi ketika makanan kaya histamin, seperti keju dan anggur, yang dikonsumsi oleh individu yang rentan. Histamin yang tertelan tidak dapat terdegradasi secara efisien dalam saluran gastrointestinal. Menghasilkan pembentukan histamin yang menyebabkan serangkaian sistem efek racun yang mirip dengan alergi terhadap makanan yang umum, seperti pembengkakan, ruam, gatal-gatal, dan gejala asma seperti kesulitan dalam bernapas, mengi dan kontraksi otot polos. Makanan kaya histamin yang sama tidak akan menyebabkan reaksireaksi ini untuk individu yang tidak rentan. Kondisi ini bisa menjelaskan variasi antara kerentanan individu untuk diet histamin akibat dekomposisi ikan. Individu dengan intoleransi histamin disarankan untuk diet bebas histamin (Joint FAO/WHO, 2012).
11
II.5 Metode Analisis Histamin Berbagai metode pengujian yang ada untuk penentuan kadar histamin pada ikan, termasuk Association of Analytical Communities (AOAC) metode fluorometri (AOAC
977,13),
metode
spektrofluorometri,
metode
enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), tes kolorimetri enzim dan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) yang dapat mengukur beberapa amina biogenik (Etienne, dkk., 2006). Sementara masing-masing metode memiliki kelebihan dan keterbatasan dari segi biaya, keahlian operator, waktu untuk memperoleh hasil, dan lain-lain. Metode yang paling baik dan handal dalam mengukur histamin dalam makanan laut menurut Standar Codex adalah metode fluorometri (AOAC 977,13) atau metode ilmiah lainnya yang setara dan divalidasi.
II.5.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatografi merupakan teknik pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu sampel yang dibawa fase gerak melewati fase diam (dapat berbentuk padat atau cairan). Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) adalah kromatografi cair kolom modern, dimana teori dasarnya bukan baru tapi hasil pengembangan dari kromatografi cair kolom klasik. Kemajuan dalam teknologi kolom, pompa tekanan tinggi dan detektor yang peka telah menyebabkan perubahan kromatografi cair kolom menjadi suatu sistem pemisahan yang cepat dan efisien. Pada KCKT diperkenalkan penggunaan fase diam yang berdiameter kecil dalam kolom yang efisien. Teknologi kolom partikel kecil (3-5 µm) ini memerlukan sistem pompa bertekanan tinggi yang mampu mengalirkan fase gerak dengan tekanan tinggi agar tercapai laju aliran 1-2 ml/menit. Oleh karena sampel yang digunakan sangat kecil (< 20µg) maka diperlukan detektor yang sangat. Dengan teknologi ini, pemisahan berlangsung sangat cepat dengan daya pisah sangat tinggi.
Selama bertahun-tahun sejumlah metode KCKT yang berbeda telah diusulkan. Setelah ekstraksi amina langkah derivatisasi diperlukan, dapat dilakukan sebelum atau sesudah pemisahan kolom, derivatif utama yang digunakan adalah ophthaldialdehyde (OPA), dansil klorida dan benzoil klorida. Metode derivatisasi 12
dengan agen fluorogenik memiliki beberapa keterbatasan, yaitu memerlukan pemisahan amina sebelum derivatisasi karena derivatif fluorogenik menghasilkan resolusi yang kurang bagus. Oleh karena itu, reagen asil klorida, seperti tosyldansil, atau benzoil klorida, lebih disukai untuk derivatisasi amina biogenik (Etienne, dkk., 2006). Di antara reagen ini, benzoil klorida memiliki keuntungan, karena derivatisasi dan waktu elusi yang pendek, struktur kimia yang sederhana, dan relatif murah (Zogul, dkk., 2002, Ozdestan, dkk., 2009). Beberapa prosedur menggunakan dansil klorida untuk derivatisasi telah diterbitkan (Widjaya, dkk., 2001, Lubis, dkk., 2008). Metode dengan pra atau pasca kolom derivatisasi dengan orthophthalaldehyde digambarkan Solano, dkk., 2012, Muscarella, dkk., 2013. Beberapa prosedur menggunakan benzoil klorida untuk derivatisasi juga telah diterbitkan antara lain oleh Hwang, dkk., 1997, Zogul, dkk., 2002, 2004, Tsai, dkk., 2005, Yegin, dkk., 2008, Anderson, 2008, Chang, dkk., 2008, Ozdestan, dkk., 2009, Tahmouzi, dkk., 2011, Naila, dkk., 2011, Chong, dkk.,2012, Zare, dkk., 2013 dan Gezginc, dkk., 2013.
Metode KCKT lain tidak melibatkan derivatisasi, tetapi menggunakan kromatografi ion diikuti oleh deteksi elektrokimia atau detektor diode array.
II.5.2 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ELISA adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang berlabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif atau kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader (Thompson, 2010).
Metode ELISA dikembangkan untuk pengukuran histamin dalam makanan. Prinsipnya berdasarkan kompetisi antara antigen yang terdapat dalam sampel
13
dengan enzim berlabel kemudian enzim dan antigen bersaing dengan binding-site antibodi yang dilapisi ke dalam well. Setelah inkubasi, well dicuci untuk menghentikan reaksi kompetisi. Setelah substrat bereaksi, intensitas warna diukur dimana intensitasnya berbanding terbalik dengan jumlah antigen dalam sampel. Hasil dapat ditentukan langsung menggunakan kurva kalibrasi standar (Muscarella, dkk., 2005, 2013).
Enzim Immunoassay Kompetitif Fase padat dilapisi dengan antibodi Tambahkan antigen free dan antigen berlabel Antigen free dan antigen berlabel ditangkap Pembentukan warna dengan oksidasi substrat menjadi senyawa berwarna
Gambar II.3 Prinsip Reaksi Enzim Immunoassay Kompetitif
II.6 Verifikasi Metode Analisis Verifikasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Verifikasi dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang dilakukan akurat, spesifik, reprodusibel. Parameter analisis yang ditentukan pada verifikasi pada kedua metode adalah linieritas, limit deteksi, limit kuantisasi, akurasi, dan presisi.
II.6.1 Linearitas Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Pengujian kelinieran dilakukan untuk membuktikan bahwa larutan sampel memberikan respon analit yang berbanding lurus dengan konsentrasi (Ibrahim, 2005).
14
Parameter linearitas ini diuji dengan membuat kurva baku. Persamaan umum kurva baku menunjukkan hubungan yang linier, yang diberikan oleh persamaan garis regresi y = bx + a, di mana y adalah nilai respon instrumen, x adalah konsentrasi analit, b adalah tetapan proporsionalitas atau kemiringan garis dan a adalah tetapan empirik yang menggambarkan titik potong sumbu y (Ibrahim, 2005).
II.6.2 Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Ibrahim, 2004).
Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaangaris linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x). ………………. (1) Dengan yi adalah sinyal hasil pengukuran, yi^ adalah semua titik pada garis yang berpadanan dengan Xi (i = 1,2,3,…n) yang dihitung dari persamaan regresinya, dan n adalah jumlah pengukuran a. Batas deteksi (Q) Karena k = 3 atau 10, Simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka ………………. (2) b. Batas kuantitasi (Q)
………………. (3) (Miller, dkk, 2000).
15
II.6.3 Akurasi Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali pada saat analisis, menggunakan prosedur analisis yang tepat, dengan cara penambahan sejumlah analit yang telah diketahui kadarnya terhadap sampel. Akurasi ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode penambahan baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni (senyawa pembanding kimia CRM atau SRM) ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang diharapkan). Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya (AOAC, 2012).
Perhitungan persen perolehan kembali dinyatakan dengan rumus : ………………. (4) CF
= konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pengukuran
CA
= konsentrasi sampel sebenarnya
C*A
= konsentrasi analit yang ditambahkan (AOAC, 2012).
II.6.4 Presisi Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen.
16
Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang (ICH, 1994).
Presisi diukur sebagai simpangan baku (SB) atau simpangan baku relatif (SBR) atau Koefisien Variasi (KV)
………………. (5) Dari nilai KV yang diperoleh dibandingkan dengan KV Horwitz, yaitu suatu kurva berbentuk terompet yang menghubungkan ketertiruan (reproducibility) (presisi yang dinyatakan sebagai % KV) dengan konsentrasi analit. Presisi metode analisis dinyatakan sebagai fungsi dari konsentrasi melalui persamaan : KV Horwitz = 2 1-0,5 log C
………………. (6)
Dengan C adalah konsentrasi yang dinyatakan dengan sebagai fraksi desimal. Dengan menggunakan pembanding KV Horwitz nilai yang dapat diterima untuk keterulangan (repeatability) adalah : SBR < 0,67 x 2 1-0,5 log C ………………. (7) Jika nilai simpangan baku relatif dari percobaan dibandingkan terhadap simpangan baku relatif yang dihitung berdasarkan persamaan terompet Horwitz akan diperoleh Horwitz Ratio atau HorRat. HorRat ≤ 2 menandakan metode analisis mempunyai presisi yang memadai (AOAC, 2012).
17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Penetapan dengan Metode KCKT Penentuan histamin dalam produk pangan ikan kalengan dengan metode KCKT diawali dengan proses ekstraksi dengan larutan asam trikloroasetat 6% kemudian diderivatisasi menggunakan larutan benzoil klorida 2% dalam asetonitril yang sebelumnya telah dibasakan dengan NaOH 5N. Kemudian campuran diinkubasi pada suhu kamar selama 15 menit, ditambahkan larutan NaCl jenuh kemudian diekstraksi dengan pelarut organik dietil eter. Pelarut organik diuapkan dan residu dilarutkan dengan asetonitril. Sistem KCKT yang digunakan adalah kolom Zorbax C18 (4,6 x 100 mm), dengan fase gerak campuran ammonium asetat 0,01 M: asetonitril (40:60). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan detektor UV pada panjang gelombang 254 nm.
III.2 Penetapan dengan Metode ELISA Penentuan histamin dalam produk pangan ikan kalengan dengan metode ELISA menggunakan kit Ridascreen® Histamin R-Biopharm Art No. R1604 Lot. 12404. Larutan baku dan sampel diderivatisasi dengan Acylation Reagen dan Acylation Buffer kemudian ditambahkan Anti-Histamin Antibody, dan dicuci dengan Washing Buffer. Kemudian Conjugate ditambahkan dan dicuci dengan Washing Buffer kembali. Substrate/Chromogen dan Stop Solution ditambahkan kemudian diukur serapannya pada 450 nm.
III.3 Verifikasi Metode Analisis Verifikasi metode analisis metode KCKT dan ELISA meliputi linearitas, presisi, akurasi, batas deteksi dan batas kuantisasi. Tahapan dalam linearitas meliputi pembuatan kurva larutan baku yang diderivatisasi sehingga diperoleh kurva kalibrasi derivat histamin. Batas deteksi dan batas kuantisasi ditentukan secara statistik dari persamaan regresi linier yang diperoleh dari kurva kalibrasi. Presisi dan akurasi dilakukan dengan menggunakan produk ikan kalengan.
18
BAB IV PERCOBAAN IV.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah sampel ikan kalengan yang ada di pasaran, baku histamin bersertifikat (PPOMN), air pro KCKT, asetonitril pro KCKT, natrium klorida, natrium hidroksida, asam trikloroasetat, benzoil klorida, dietil eter, Kit ELISA Ridascreen®Histamine Competitive Enzyme Immunoassay.
IV.2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain labu ukur, gelas ukur, pipet ukur, erlenmeyer, timbangan analitik, tabung sentrifugasi, sentrifugasi Kubota 2420, vortex Barnstead Thermolyne 37600, KCKT Agilent Infinity VWD 1260 series detektor UV, Kolom Agilent Zorbax C18 (3.5µm; 4.6 x 100 mm), penyaring membrane 0,45 µm, dan ELISA Reader Manual Chromate.
IV.3. Tahapan Penelitian IV.3.1. Penetapan dengan metode KCKT a. Penyiapan larutan baku induk Larutan baku induk histamin dibuat dengan melarutkan senyawa baku histamin dalam asam klorida 0,1 N sehingga diperoleh larutan baku induk dengan konsentrasi 10 mg/mL.
b. Penyiapan larutan baku intermediet Larutan baku intermediet histamin dibuat dengan melarutkan senyawa baku induk histamin dalam asam klorida 0,1 N sehingga diperoleh larutan baku intermediet dengan konsentrasi 200 µg/mL.
c. Penyiapan larutan baku kerja Larutan baku intermediet yang telah dibuat dengan konsentrasi 200 µg/mL, kemudian diencerkan hingga diperoleh baku seri dengan konsentrasi 0, 4, 8, 12, 16, 20, 24, dan 28 µg/ mL. Masing-masing baku histamin dilarutkan dengan menggunakan asam klorida 0,1 N hingga tanda.
19
d. Tahapan asilasi dengan larutan benzoil klorida Dua mL benzoil klorida dilarutkan dalam 100 mL asetonitril (benzoil klorida 2%). Derivatisasi dilakukan dengan menambahkan larutan baku kerja dan sampel dengan 1 mL benzoil klorida 2% dan 2 mL NaOH 2 M, vortex selama 1 menit. Diamkan dalam temperatur ruang selama 5 menit dan di sentrifugasi selama 10 menit 25000 rpm. Reaksi asilasi dihentikan dengan penambahan 2 mL NaCl jenuh. Hasil derivatisasi diekstraksi tiga kali dengan 3 mL dietil eter. Lapisan organik dievaporasi, residu yang diperoleh dilarutkan dengan 2 mL asetonitril. Alikuot 20 uL diinjeksikan ke sistem KCKT.
e. Penyiapan Fase gerak 0,7708 gram ammonium asetat ditimbang dan dilarutkan dalam air pro KCKT sampai 1000 mL sehingga diperoleh ammonium asetat 0,01 M. Fase gerak merupakan campuran ammonium asetat 0,01 M:asetonitril dengan perbandingan 40:60.
f. Pembuatan Kurva kalibrasi Kurva kalibrasi dibuat dengan menghubungkan antara konsentrasi dengan luas puncak larutan derivat histamin. Konsentrasi derivat histamin yang digunakan antara 0, 4, 8, 12, 16, 20, 24, dan 28 µg/ mL. Dari hubungan konsentrasi larutan derivat histamin terhadap luas kromatogram yang terukur diperoleh persamaan regresi linier.
g. Sistem KCKT Fase gerak sistem gradien campuran ammonium asetat 0,01 M: asetonitril dengan perbandingan 40:60. Disaring dengan penyaring membran 0,45 µm dan diawaudarakan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan detektor UV pada panjang gelombang 254 nm. Uji kesesuaian sistem dilakukan terhadap salah satu konsentrasi larutan derivat histamin Nilai simpangan baku relatif dari luas area dan waktu retensi <
2,0 %. Kondisi optimum untuk pengukuran dicari dengan
mengubah parameter perbandingan fase gerak dan laju alir.
20
h. Penetapan kadar histamin dalam sampel ikan kalengan Sejumlah lebih kurang 5 gram sampel ikan ditimbang seksama kemudian ditambahkan 20 mL asam trikloroasetat dan dikocok selama 3 menit kemudian disentrifugasi 2500 rpm selama 10 menit dan disaring dengan kertas Whatman No.1. Alikuot dilarutkan dengan 50 mL asam trikloroasetat kemudian disimpan di refrigerator sebelum dianalisis. Tahapan asilasi dilakukan seperti larutan baku dan disaring dengan penyaring membran 0,45 µm dan diawaudarakan, kemudian dianalisis dengan KCKT detektor UV pada panjang gelombang 254 nm.
IV.3.2. Penetapan dengan metode ELISA a. Persiapan Semua reagen didiamkan kurang lebih 1 jam termasuk reagen asilasi pada suhu kamar (20-25 °C) sebelum digunakan, kemudian dilarutkan 1 bagian washing buffer ke dalam 24 bagian aquadest.
b. Tahapan Asilasi Setiap larutan standar dan sampel dipipet 100 μl ke dalam masing-masing tabung asilasi. Kemudian ditambahkan 25 μl reagen asilasi ke dalam masing-masing tabung dan 200 μl buffer asilasi ke dalam masing-masing tabung. Campuran dalam plate mikrowell digoyangkan dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu kamar (20-25 °C) kemudian alikuot 25 μl larutan digunakan untuk tahap ELISA.
c. Penetapan kadar histamin dalam sampel ikan kalengan Sejumlah lebih kurang 1 gram sampel ikan ditimbang seksama, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan ditambahkan 9 ml aquadest. Divortex selama 3 menit dan disentrifus selama 5 menit pada 2500 g pada suhu kamar (2025 °C). Cairan supernatan dipipet langsung sebanyak 1 ml dan dipindahkan ke dalam vial/tabung bertutup ukuran 10 ml. Kemudian ditambahkan 9 ml aquadest divortex selama 30 detik. Larutan tersebut dipipet 200 μl ke dalam vial/tabung baru dan ditambahkan 9.8 ml aquadest, kemudian divortex kembali selama 30 detik dan 100 μl larutan digunakan untuk tahap asilasi.
21
d. Tahapan ELISA Setiap larutan standar dan sampel dipipet 25 μl dari tabung asilasi ke dalam masing-masing mikrowell. Kemudian ditambahkan 100 μl Anti-Histamin Antibody dan di campur plate mikrowell dengan cara menggoyangkannya, kemudian diiinkubasi selama 40 menit pada suhu kamar (20-25 °C). Cairan dari dalam mikrowell dibuang dan ditambahkan 250 μl Washing Buffer, plate digoyangkan kemudian cairan dibuang lagi dari dalam mikrowell. Pencucian dilakukan 3 kali, kemudian ditambahkan 100 μl Conjugate ke dalam masingmasing mikrowell, dan plate mikrowell digoyangkan dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu kamar (20-25 °C). Kemudian ditambahkan 250 μl washing buffer, plate digoyangkan kemudian cairan dibuang lagi dari dalam mikrowell. Pencucian dilakukan 3 kali, kemudian ditambahkan 100 μl Substrate/Chromogen ke dalam masing-masing mikrowell. Plate mikrowell digoyangkan dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu kamar (20-25 °C) di tempat gelap. Kemudian ditambahkan 100 μl Stop Solution ke dalam masing-masing mikrowell, dicampur dengan cara menggoyangkan plate mikrowell dan absorbansi diukur pada 450 nm.
IV.3.3 Verifikasi Metode Analisis Verifikasi metode ELISA dan KCKT meliputi linieritas, batas deteksi dan batas kuantisasi, kecermatan dan keseksamaan.
a. Linieritas Uji linieritas metode analisis dilakukan dengan menggunakan satu seri larutan baku histamin dengan konsentrasi yang berbeda. Kemudian dihitung lineritasnya menggunakan koefisien korelasi (r).
b. Batas deteksi dan batas kuantisasi Penentuan batas deteksi dan batas kuantisasi dilakukan dengan menggunakan data dari penentuan linieritas. Perhitungan didasarkan pada nilai simpangan baku residual (Sy/x).
22
c. Kecermatan Parameter kecermatan ditentukan dengan menghitung persen perolehan kembali melalui metode penambahan baku (standard addition method). Sampel ditambah standar histamin dengan tiga rentang konsentrasi. Masing-masing konsentrasi dianalisis 3 kali pengulangan dan dihitung persen perolehan kembali.
d. Keseksamaan Keseksamaan diukur dengan mengulang pengukuran suatu konsentrasi senyawa baku histamin sebanyak 6 kali. Hasil pengukuran keseksamaan dinyatakan sebagai simpangan baku relative, SBR.
23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Ada sekitar 10 famili ikan yang memiliki kadar histidin bebas yang sangat tinggi, diantaranya adalah famili ikan Clupeidae dengan salah satu spesiesnya ikan sarden. Ikan sarden umumnya memiliki kadar histidin sekitar 1500-7500 mg/kg (Joint FAO/WHO, 2012). Di Indonesia banyak ikan sarden diolah menjadi ikan kalengan. Ikan kalengan merupakan produk yang diperoleh dari ikan segar atau potongan ikan segar dan dihilangkan isi perutnya, dicuci dengan air bersih, disusun dalam kaleng, dengan atau tanpa diberi media, dengan atau tanpa bumbubumbu atau bahan lainnya, kemudian dikemas secara kedap (hermetis) dan disterilisasi atau dipasteurisasi dengan cara pemanasan (BPOM RI, 2006).
Metode analisis histamin dalam ikan kalengan dengan menggunakan KCKT detektor UV memerlukan proses ekstraksi padat cair dengan menggunakan pelarut asam trikloroasetat (TCA) untuk mengendapkan protein dalam ikan yang akan mengganggu proses pengukuran histamin. Kemudian baik larutan standar maupun larutan sampel diderivatisasi dengan reagen penderivat asil klorida. Proses derivatisasi dilakukan karena histamin tidak memiliki kromofor. Pada penelitian ini dilakukan derivatisasi pre kolom, yaitu derivatisasi dilakukan sebelum proses kromatografi. Derivatisasi prekolom lebih dipilih karena tidak memerlukan peralatan khusus.
Metode KCKT dengan derivatisasi prekolom oleh fluorogenik menggunakan orthophthalaldehyde atau reagen asil klorida. Metode derivatisasi dengan agen fluorogenik memiliki beberapa keterbatasan, yaitu memerlukan pemisahan amina sebelum derivatisasi karena derivatif fluorogenik menghasilkan resolusi yang kurang bagus. Oleh karena itu, reagen asil klorida, seperti tosil klorida, dansil klorida, atau benzoil klorida, lebih disukai untuk derivatisasi amina biogenik (Etienne, dkk., 2006). Beberapa prosedur menggunakan dansil klorida untuk derivatisasi telah diterbitkan (Widjaya, dkk., 2001, Lubis, dkk., 2008). Metode dengan pra atau pasca kolom derivatisasi dengan orthophthalaldehyde
24
digambarkan Solano, dkk., 2012 dan Muscarella, dkk., 2013. Di antara reagen ini, benzoil klorida memiliki keuntungan, karena derivatisasi dan waktu elusi yang pendek, struktur kimia yang sederhana, dan relatif murah (Zogul, dkk., 2002, Ozdestan, dkk., 2009).
Reagen asil klorida seperti benzoil klorida dikenal dapat bereaksi dengan beberapa gugus fungsi, seperti amin primer, amin sekunder dan alkohol melalui substitusi nukleofilik (Solomon, 2004). Reaksi suatu asil klorida dengan gugus amina menghasilkan suatu senyawa amida ditunjukkan dengan gambar berikut :
Asil klorida
Amina primer
Amida
Gambar V.1. Reaksi Asil Klorida dengan Amina Primer
Derivatisasi histamin dilakukan dengan penambahan larutan NaOH 5N dan larutan benzoil klorida 2% dalam asetonitril. Benzoil klorida 2% dalam asetonitril berfungsi sebagai agen penderivat dan penambahan NaOH bertujuan untuk memberikan kondisi pH basa yang merupakan kondisi pH optimum reaksi derivatisasi. Proses reaksi derivatisasi optimum pada suhu kamar selama 15 menit. Penambahan larutan natrium klorida jenuh bertujuan untuk menghentikan reaksi derivatisasi (Ozogul, dkk., 2002). Reagen asil klorida seperti benzoil klorida memiliki karakteristik sangat reaktif, bahkan dengan air pun akan bereaksi. Sehingga untuk memperkecil reaksi samping dilakukan tahap pemurnian melalui ekstraksi dengan pelarut organik dietil eter. Kemudian hasil reaksi diuapkan dan residu dilarutkan dengan asetonitril. Larutan histamin hasil derivat inilah yang kemudian disuntikkan ke sistem kromatografi (Ozogul, dkk., 2002, Ozogul, 2004, Ozdestan, dkk., 2009, dan Zare, dkk., 2013).
25
Penentuan sistem KCKT dilakukan terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi pemisahan antara lain pemilihan kolom, komposisi fase gerak dan laju alir. Hasil kondisi sistem KCKT dijabarkan pada tabel V.1.
Tabel V.1. Kondisi Sistem KCKT Parameter Alat Detektor Kolom Fase Gerak Laju Alir Temperatur Kolom Waktu Retensi Resolusi
Deskripsi Agilent Infinity VWD 1260 series UV ʎ=254 nm Zorbax C 18; 3,5 µm; 4.6 mm x 100 mm Ammonium asetat : Asetonitril (6:4) 0,6 mL/min 30˚C Derivat Histamin (senyawa amida) = 4,889 menit 4,800
Detektor yang digunakan untuk analisis histamin adalah detektor ultraviolet karena penderivat yang digunakan merupakan pereaksi asil klorida untuk menambahkan gugus kromofor. Benzoil klorida suatu asil klorida dapat digunakan sebagai agen penderivat berbagai senyawa seperti senyawa amina pada panjang gelombang 254 nm.
Pemilihan kolom pada proses KCKT merupakan hal yang penting karena proses pemisahan yang dikendalikan oleh interaksi antara solut, fasa gerak dan fasa diam yang terdapat dalam kolom. Pemilihan kolom dapat dilakukan berdasarkan jenis fase kolom (polar atau nonpolar), diameter internal, ketebalan film dan panjang kolom. Kolom yang digunakan adalah kolom Zorbax® C18, 4,6 x 100 mm, ukuran partikel 3,5 µm. Derivat histamin menghasilkan suatu senyawa amida yang merupakan senyawa yang bersifat polar. Dengan menggunakan kolom C18 yang bersifat non polar, diharapkan pemisahan terjadi dengan baik dengan waktu retensi yang lebih cepat.
Laju alir yang digunakan adalah 0,6 mL/menit untuk meningkatkan resolusi karena panjang kolom hanya 100 mm. Waktu retensi derivat histamin 4,889 menit. Benzoil klorida bereaksi dengan gugus amina menghasilkan suatu senyawa amida.
26
Selanjutnya dilakukan pemilihan perbandingan komposisi fase gerak dan pemilihan laju alir. Dengan mengubah perbandingan komposisi asetonitril dan ammonium asetat didapat perbandingan asetonitril:ammonium asetat (60:40) yang memberikan profil puncak derivat histamin yang terpisah satu sama lain dengan resolusi yang baik serta terpisah dari puncak-puncak pengganggu.
Dengan kondisi sistem KCKT yang ditampilkan pada Tabel V.1. maka diperoleh kromatogram derivat histamin seperti berikut :
Waktu retensi (menit)
Gambar V.2. Kromatogram Derivat Histamin
Uji
kesesuaian
sistem
dilakukan
untuk
memastikan
efektivitas
sistem
kromatografi yang digunakan. Hasil penentuan UKS dapat dilihat pada tabel berikut.
27
Tabel V.2. Data Hasil Uji Kesesuaian Sistem Larutan Derivat Histamin Konsentrasi 14,31 ppm
Rata SD SBR(%)
Derivat Histamin (senyawa amida) Luas Area Waktu Retensi 4807,240 4,882 4813,894 4,895 4801,571 4,891 4814,941 4,885 4822,197 4,891 4808,577 4,892 4811,403 4,889 7,172 0,005 0,149 0,099
Tabel V.2. menunjukkan hasil keberulangan penyuntikan larutan derivat histamin konsentrasi 14,3136 ppm sebanyak 6 kali. Nilai SBR dari waktu retensi dan luas area untuk derivat histamin adalah 0,149%. Hal ini memenuhi persyaratan keberulangan penyuntikan yaitu maksimal SBR 2%.
Setelah memenuhi persyaratan uji kesesuaian sistem kemudian dilakukan verifikasi metode meliputi parameter linearitas, presisi, akurasi, batas deteksi, dan batas kuantisasi.
Kurva kalibrasi diperoleh dengan memplot hubungan antara konsentrasi dengan luas area derivat histamin. Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi (r) dan koefisien variansi fungsi regresi pada analisis regresi linier y = bx + a (Tabel V.3 dan Gambar V.3).
Penentuan kelinieran dilakukan dengan memplot respon instrumen yang dinyatakan dengan luas area, dengan konsentrasi larutan derivat histamin yang terdiri dari 7 level konsentrasi. Kemudian diperoleh kurva kalibrasi dan ditentukan parameter korelasi (r) dan koefisien fungsi regresi.
28
Tabel V. 3. Konsentrasi dan Luas Area Baku Seri Derivat Histamin Konsentrasi (µg/mL) 3,5784 7,1568 10,7352 14,3136 17,8920 21,4704 25,0488
Luas Area 1862,9200 2509,1252 3823,7500 4822,1968 5583,5300 6588,9200 8072,3500
9000 8000 7000
y = 284,92x + 673,59
Luas Area
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 0
5
10
15
20
25
30
Konsentrasi (ug/mL)
Gambar V.3. Kurva Kalibrasi Derivat Histamin
Persamaan regresi linier yang diperoleh adalah y = 284,9204x + 673,5903 dengan koefisien korelasi r = 0,996101794. Batas deteksi (BD) dan batas kuantisasi (BK) dihitung secara statistik dari kurva kalibrasi, yaitu 7,62 µg/g dan 23,09 µg/g.
Presisi atau presisi adalah ukuran keterulangan metode analisis dan dinyatakan sebagai simpangan baku relatif (SBR) atau koefisien variasi (KV). Uji presisi dilakukan pada produk nyata dengan matriks ikan kalengan untuk melihat pengaruh matriks pembawa terhadap hasil presisi. Presisi dilakukan pada 6 produk dengan konsentrasi 100% (Tabel V.4).
29
Tabel V.4. Presisi Derivat Histamin dalam Produk Ikan Kalengan Waktu Retensi 4,882 4,885 4,869 4,871 4,864 4,859
Luas Area 3476,8820 3423,4528 3436,8110 3529,7388 3430,0038 3504,8370
Rata-rata SD %SBR KV Horwitz 0,67 KV Horwitz HORRAT
Kadar Histamin (ug/g) 93,7828 94,3518 95,6470 97,7650 95,2216 97,1481 95,6527 1,5539 1,6245 8,0537 5,3960 0,2017
Kadar histamin dalam sampel ikan kalengan adalah sebesar 95,65 µg/g. Untuk syarat keberterimaan presisi adalah SBR < 0,67 KV Horwitz, dari seluruh hasil presisi diatas diperoleh % SBR adalah sebesar 1,62%, lebih kecil dari 0,67 KV Horwitz. Berdasarkan teori terompet Horwitz, simpangan baku relatif dari suatu metode akan meningkat dengan menurunnya konsentrasi. Persamaan Horwitz yang menggambarkan peningkatan simpangan baku relatif dengan menurunnya konsentrasi adalah SBR = 2(1-0,5
Log C)
. Jika nilai simpangan baku relatif dari
percobaan dibandingkan terhadap simpangan baku relatif yang dihitung berdasarkan persamaan terompet Horwitz akan diperoleh HORWITZ RATIO atau HORRAT. HORRAT ≤ 2 menandakan metode analisis mempunyai presisi yang memadai. Dari hasil uji presisi dapat dilihat bahwa nilai koefisien variasi yang dihasilkan memenuhi syarat KV teori terompet Horwitz dan memiliki HORRAT ≤ 2 yaitu sebesar 0,20 sehingga dikatakan bahwa metode yang digunakan memenuhi syarat presisi.
Selanjutnya dilakukan uji akurasi menggunakan metode standar adisi yang ditambahkan baku dengan tiga rentang konsentrasi. Hasil akurasi bisa di lihat dalam tabel V.5.
30
Tabel V.5. Akurasi Derivat Histamin dalam Produk Ikan Kalengan
Konsentrasi Teoritis (ug/g)
Luas Area
Konsentrasi yang diperoleh (ug/g)
72,6859 72,6859 72,6859 106,0958 106,0958 106,0958 121,9181 121,9181 121,9181
5197,774 5157,698 5188,959 6312,252 6312,930 6315,309 6652,020 6582,908 6597,223
64,6490 63,2205 64,3348 97,9787 98,0020 98,0836 106,5607 104,2230 104,7072
Perolehan Kembali (%) 88,94 86,98 88,51 92,35 92,37 92,45 87,40 85,49 85,88
Rata-rata Perolehan Kembali (%) 87,26
92,39
86,26
Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai persen perolehan kembali berkisar antara 86,26 – 92,39%, sementara syarat persen perolehan kembali untuk analit adalah 80 - 110%. Hasil ini menunjukkan bahwa metode analisis yang digunakan memenuhi syarat akurasi.
Dari gambar kromatogram derivat histamin dalam produk ikan kalengan diatas dapat dilihat bahwa puncak tidak terganggu oleh puncak dari matriks yang dihasilkan. Nilai resolusi untuk derivat histamin adalah 4,80. Dengan demikian parameter spesifisitas memenuhi syarat keberterimaan yaitu nilai resolusi lebih dari 1,5.
II. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Analisis Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) berdasarkan
reaksi
antara antigen dan antibodi. Standar dan sampel diderivatisasi dengan reagen asilasi menjadi
N-asil-histamin. Well yang dilapisi dengan antibodi spesifik
terhadap N-asil-histamin. Standar dan sampel histamin terasilasi ditambahkan enzim berlabel N-asil-histamin (enzim konjugat). N-asil-histamin bebas dan enzim konjugat bersaing untuk berikatan dengan antibodi. Enzim konjugat yang tidak terikat kemudian dihilangkan dengan langkah pencucian. Tambahkan substrat enzim, hidrogen peroksida dan kromogen, tetramethylbenzidine ke dalam
31
well. Enzim konjugat yang terikat antibodi akan mengubah kromogen menjadi larutan berwarna biru. Tambahkan pereaksi stop solution, asam sulfat untuk menghentikan reaksi sehingga menyebabkan perubahan warna dari biru menjadi kuning. Intensitas warna yang timbul ditentukan secara kuantitatif dengan membaca Optical Density (OD) pada 450 nm. Nilai OD yang dihasilkan berbanding terbalik dengan konsentrasi N-asil histamin sampel. Semakin kuning warna yang dihasilkan semakin kecil N-asil histamin yang terdapat pada sampel.
Kurva baku dibuat dengan memplot antara nilai OD dan konsentrasi baku histamin. Kemudian digunakan untuk menghitung kadar histamin pada sampel (Tabel V.6). Tabel V.6. Konsentrasi dan Absorbansi Baku Seri N-Asil Histamin Konsentrasi (ng/mL) 0 0,5 1,5 5 15 50
Nilai OD 1,6105 1,4605 1,2770 0,9295 0,5785 0,4080
Gambar V.4.. Kurva Baku Seri Histamin Hasil Percobaan 32
Gambar V.5. Kurva Baku Seri Histamin dari Quality Assurance Certificate 2,5 2 1,5
Log It
1
y = -1,7269x + 1,645
0,5 0 -0,5
0
0,5
1
-0,5 -1 -1,5
Log Konsentrasi
Gambar V.6. Kurva Kalibrasi Histamin
33
1,5
2
Persamaan regresi diperoleh dengan memplot log konsentrasi terhadap log it yaitu y = -1,7269x + 1,6450 dengan koefisien korelasi r = -0,9927689.
Batas deteksi (BD) dan batas kuantisasi (BK) dihitung secara statistik dari kurva kalibrasi untuk derivat histamin yaitu 2,61 µg/g dan 7,91 µg/g.
Presisi adalah ukuran keterulangan metode analisis dan dinyatakan sebagai simpangan baku relatif (SBR) atau koefisien variasi (KV). Uji presisi dilakukan pada produk nyata dengan matriks ikan kalengan untuk melihat pengaruh matriks pembawa terhadap hasil presisi. Presisi dilakukan pada 6 produk dengan konsentrasi 100% (Tabel V.7).
Tabel V.7. Presisi Metode Penetapan Kadar Histamin dalam Produk Ikan Kalengan Penimbangan (g) 1,0329 1,0641 1,0423 1,0265 1,0313 1,0258 Rata-rata SD %SBR KV Horwitz 0,67 KV Horwitz HORRAT
Nilai OD 0,556 0,561 0,564 0,551 0,541 0,568
Pengenceran 5000 5000 5000 5000 5000 5000
Kadar Histamin (µg/g) 80,7855 76,5883 77,1133 83,2823 87,1857 76,9430 80,3163 4,2835 5,3333 8,2683 5,5398 0,6450
Kadar histamin dalam sampel ikan kalengan adalah sebesar 80,32 µg/g. Untuk syarat keberterimaan presisi adalah SBR < 0,67 KV Horwitz, dari seluruh hasil presisi diatas diperoleh % SBR sebesar 5,33%, lebih kecil dari 0,67 KV Horwitz. Berdasarkan teori terompet Horwitz, simpangan baku relatif dari suatu metode akan meningkat dengan menurunnya konsentrasi. Persamaan Horwitz yang menggambarkan peningkatan simpangan baku relatif
34
dengan menurunnya
konsentrasi adalah SBR = 2(1-0,5
Log C)
. Jika nilai simpangan baku relatif dari
percobaan dibandingkan terhadap simpangan baku relatif yang dihitung berdasarkan persamaan terompet Horwitz akan diperoleh HORWITZ RATIO atau HORRAT. HORRAT ≤ 2 menandakan metode analisis mempunyai presisi yang memadai. Dari hasil uji presisi dapat dilihat bahwa nilai koefisien variasi yang dihasilkan memenuhi syarat KV teori terompet Horwitz dan memiliki HORRAT ≤ 2 yaitu sebesar 0,65 sehingga dikatakan bahwa metode yang digunakan memenuhi syarat presisi.
Selanjutnya dilakukan uji akurasi menggunakan metode standar adisi yang ditambahkan baku dengan konsentrasi yaitu 101,48 µg/mL. Hasil akurasi bisa di lihat dalam tabel V.8.
Tabel V.8. Akurasi Metode Penetapan Kadar Histamin dalam Produk Ikan Kalengan Konsentrasi Teoritis (ug/g) 507,4000 507,4000 507,4000 507,4000 507,4000 507,4000 Rata-rata SD %SBR
Nilai OD
Konsentrasi yang diperoleh (ug/g)
0,319 0,314 0,316 0,303 0,301 0,305
456,3468 486,3750 468,9760 514,8225 527,3583 503,8348
Perolehan Kembali (%) 74,11 80,03 76,60 85,63 88,10 83,47 81,32 5,38 6,63
Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai persen perolehan kembali untuk histamin sebesar 81,32% ± 6,63, sementara syarat persen perolehan kembali untuk analit adalah
80 - 110%. Hasil ini menunjukkan bahwa metode analisis yang
digunakan memenuhi syarat akurasi.
35
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 KESIMPULAN Metode analisis histamin dalam sampel ikan kalengan ditentukan dengan menggunakan metode KCKT dan ELISA.
Hasil metode KCKT diperoleh persamaan linier kurva kalibrasi untuk derivat histamin adalah y = 284,9204 x + 673,5903 dengan koefisien korelasi r = 0,9961. Batas deteksi dan batas kuantisasi metode ini sebesar 7,62 µg/g dan 23,09 µg/g. Presisi metode diperoleh dengan nilai koefisien variansi adalah 1,62%. Akurasi dilihat dari perolehan kembali dalam produk ikan kalengan adalah sebesar 86,26 – 92,39%.
Hasil metode ELISA diperoleh kurva kalibrasi linier y = -1,7269 x + 1,6450 dengan koefisien korelasi r = -0,9927. Batas deteksi dan batas kuantisasi metode ini sebesar 2,61 µg/g dan 7,91 µg/g. Presisi metode ditunjukkan dengan nilai koefisien variansi 5,33%. Akurasi dilihat dari perolehan kembali histamin dalam produk ikan kalengan adalah sebesar 81,32%.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kedua metode dapat digunakan untuk penetapan kadar histamin dalam sampel ikan kalengan. Kadar histamin dalam sampel menggunakan metode KCKT sebesar 95,65±1,55 µg/g dan kadar histamin menggunakan metode ELISA sebesar 80,32±4,28 µg/g. VI.2 SARAN Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penentuan kadar histamin dalam jenis produk pangan lainnya seperti udang, keju, dan anggur.
36
DAFTAR PUSTAKA Anderson, A.K. (2008) : Biogenic and Volatile Amine-related Qualities of Three Popular Fish Spesies Sold at Kuwait Fish Market, Food Chemistry, 107, 761767. Anonim Ridascreen® Histamin Instruction Manual, Enzyme Immunoassay for the Quantitative Analysis of Histamine, R-Biopharm AG, Germany. Arisman, (2009) : Keracunan Makanan : Buku Ajar Ilmu Gizi, Buku Kedokteran Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta. Badan POM RI (2006) : Kategori Pangan, Jakarta. Chang, S.C., Kung, H.F., Chen, H.C., Lin, C.S., Tsai, Y.H. (2008) : Determination of Histamine and Bacterial Isolation in Swordfish Fillets (Xiphias gladius) implicated in a Food Borne Poisoning, Food Control, 19, 16-21. Chong, C.Y., Bakar, F.A, Rahman, R.A., Bakar, J., Zaman, M.Z. (2014) : Biogenic Amines, Amino Acids and Microflora Changes in Indian Mackerel Stored at Ambient (25-29˚C) and Ice Temperature, J. Food Sci.Technology, 51 (6), 1118-1125. Codex-Adopted AOAC Method (2012) : AOAC Official Methods Histamine in Seafood. Etienne, M.. Ifremer, Nantes. (2006) : Methodology for Histamine and Biogenic Amines Analysis, Methods for Chemical Quality Assesment, France. Food and Drug Administration (2011) : Fish and Fishery Products Hazards and Control Guidance, U.S. Department of Health and Human Services, Centre for Food Safety and Applied Nutrition. Gezginc, Y., Akyol, I., Kuley, E., Ozogul, F. (2013) : Biogenic Amines Formation in Streptococcus thermophilus Isolated from Home-made Natural Yoghurt, Food Chemistry, 138 (1), 655-662. Hwang, D.F., Chang, S.H., Shiua, C.Y., Chai, T. (1997) : High Performance Liquid Chromatographic Determination of Biogenic Amines in Fish implicated in Food Poisoning, Journal of Chromatography, 693, 23-30.
37
Ibrahim, S. (2004) : Berbagai Pendekatan pada Penaksiran Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi Suatu Metode Analisis Instrumental, Acta Pharm. Ind, Vol.29 (4). Ibrahim, S. (2005) : Berbagai Pendekatan Pengujian Kelinieran Kurva Baku pada Metode Analisis Instrumental. Acta Pharm. Ind, Vol.30 (1). ICH Harmonized Tripartit Guideline (1994) : Text On Validation Of Analytical
Procedure ICH Harmonized Tripartit Guideline (1997) : ICH Q2B, Validation of Analytical Procedures : Methodology Joint FAO/WHO (2012) : Public Health Risks of Histamine and Other Biogenic Amines from Fish and Fishery Products, Italy. Lubis, N., Kartasasmita, R.E. (2008) : Pemantauan pembentukan Histamin dan Cemaran Mikroba pada Tepung Ikan Patin, Tesis Sekolah Farmasi ITB, Bandung. Maintz, L. dan Novak, N. (2007) : Histamine and Histamine Intolerance, American Journal of Clinical Nutrition, 85, 1185 – 1196. Miller, J.C. dan Miller, J.N. (2000) : Statistic and Chemometrics for Analytical Chemistry, 4th ed, Prentice Hall, Harlow Essex. Muscarella, M., Iammarino, M., Centonze, D., Pallermo, C. (2005) : Measurement of Histamine in Seafood by HPLC, CE, and ELISA: Comparison of Three Techniques, Veterinary Research Communications, 29 (Suppl. 2), 343 – 346. Muscarella, M., Magro, S.L., Companiello, M., Armentano, A. (2013) : Survey of Histamine Levels in Fresh Fish and Fish Products collected in Puglia (Italy) by ELISA and HPLC with Fluorimetric Detection, Journal Food Control, 31, 211 – 217. Naila, A., Flint, S., Fletcher, G.C., Bremer, P.J., Meerdink, G. (2011) : Biogenic Amines and Potential Histamine-forming Bacteria in Rihaakuru (A Cooked Fish Paste), Food Chemistry, 128, 479-484. Nuutinen, S., dan Panula, P. (2010) : Histamine in Neurotransmission and Brain Diseases, Histamine in Inflammation, Advances in Experimental Medicine and Biology, 709, 95-107.
38
Ozdestan, Z., dan Uren, A. (2009) : A Method for Benzoyl Chloride Derivatization of Biogenic Amines for High Performance Liquid Chromatography, Talanta, 78, 1321 – 1326. Ozogul, F., Taylor, K.D.A., Quantick, P., Ozogul, Y. (2002) : Biogenic Amines Formation in Atlantic herring (Clupea harengus) Stored under Modified Atmosphere Packaging using a Rapid HPLC Method, International Journal of Food Science and Technology, 37, 515 – 522. Ozogul, F. (2004) : Production of Biogenic Amines by Morganella morganii, Klebsiella pneumoniae and Hafnia alvei using Rapid HPLC Method, European Food Research and Technology, 219, 465 – 469. Paiva, T.B., Tominaga, M., Paiva, A.C.M. (1970) : Ionization of Histamine, Nacetylhistamine and their Iodinates Derivatives, Journal of Medicinal Chemistry, 13 (4), 689-692. Presiden RI (1996) : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Jakarta. Shahid, M., Tripathi, T., Sobia, F., Moin, S., Siddiqui, M., Khan, R.A. (2009) : Histamine, Histamine Receptors, and Their Role in Immunomodulation : an updated Systematic Review. Open Immunol. J., 2: 9–41. Solano, C.B., Cervantes, J.L., Machado, D.S., Baypoli, O.C. (2012) : HPLC Determination of Histamine, Tyramine and Amino Acids in Shrimp ByProducts, J. Braz. Chem. Soc., 23 (I), 96-102. Solomon dan Fryhle (2004) : Amines, Organic Chemistry II, 8th Edition, Wiley. Tahmouzi, S., Khaksar, R., Ghasemlou, M. (2011) : Development and Validation of an HPLC-FLD Method for Rapid Determination in Skipjack Tuna Fish (Katsuwonus pelamis), Food Chemistry, 126, 756-761. Thompson, M. (2010) : Immunoanalysis, Basic Principles of ELISA, Analytical Method Commitee. Tsai, Y.H., Kung, H.F., Lee, T.M., Chen, H.C., Chou, S.S., Wei, C.I., Hwang, D.F. (2005) : Determination of Histamine in Canned Mackerel implicated in a Food Borne Poisoning, Food Control, 16, 579-585. United State Pharmacopeia 36 - National Formulary 31 Volume 2 : Validation of Compendial Procedures (1225), USA.
39
Widjaya, W.P., Ibrahim, S., Kartadarma, E., Kisman S. (2001) : Penentuan Beberapa Senyawa Amina dalam Produk Ikan secara KCKT, Tesis Sekolah Farmasi ITB, Bandung. Yegin, S., dan Uren, A. (2008) : Biogenic Amine Content of Boza : A Traditional Cereal based, Fermented Turkish Beverage, Food Chemistry, 111, 983987. Zare, D., Muhammad, K., Bejo, M.H., Ghazali, H.M. (2013) : Changes in Urocanic Acid, Histamine, Putrescine and Cadaverine Levels in Indian Mackerel
(Rastrelliger
kanagurta)
during
Temperature, Food Chemistry, 139, 320-325.
40
Storage
at
Different