PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERSANGKA / TERDAKWA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH : NAMA NIM
: PRAMONO HADI ISMANTO : 26120053
FAKULTAS HUKUM UNIVERSTAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERSANGKA / TERDAKWA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Sya
OLEH : NAMA NIM
: PRAMONO HADI ISMANTO : 26120053
FAKULTAS HUKUM UNIVERSTAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERSANGKA / TERDAKWA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA
NAMA
:
PRAMONO HADI ISMANTO
FAKULTAS
:
HUKUM
PROGRAM STUDI
:
ILMU HUKUM
NPM
:
26120053
DISETUJUI DAN DITERIMA OLEH PEMBIMBING
(ANDY USMINA WIJAYA, S.H., M.H.)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang………………………………………………………….. .....
1
1.2. Rumusan Masalah ...............................................................................
3
1.3. Penjelasan Judul..................................................................................
4
1.4. Alasan Pemilihan Judul ........................................................................
6
1.5. Tujuan Penelitian ................................................................................
7
1.6. Manfaat Penelitian………………………………………………………... ..
7
1.7. Metode Penulisan ................................................................................
8
1.8. Pertanggungjawaban Sistematika ........................................................
10
BAB II PERKEMBANGAN DAN PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA 2.1. Sejarah Lahirnya HAM ...........................................................................
11
2.2. Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 .......................
26
2.3. Perlindungan Korban Pada Peradilan di Indonesia ................................
30
BAB III HAK DAN DAN KEDUDUKAN TERSANGKA ATAU TERDAKWA DALAM PENGADILAN
3.1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ...........................
31
3.2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ....................
34
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan ...........................................................................................
47
4.2. Saran-Saran ..........................................................................................
47
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Walaupun pengakuan umum tentang praduga tidak bersalah itu sudah
tersebar luas, belum ada kesepakatan mengenai pengertiannya, sebagai contoh di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, pada saat sekarang perlu dilakukan inventarisasi dan analisis asas-asas hukum Indonesia, bukan saja asas yang merupakan landasan pokok, yakni Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, tetapi juga perlu melakukan kajian terhadapasas dalam bidang hukum tertentu, umpamanya asas dalam Hukum Pidana/Hukum Acara Pidana, asas di dalam Hukum Administrasi dan lainsebagainya. Selanjutnya, mengenai hal itu harus dilakukan pengkajian apakah asas-asas dalam hukum pidana tersebut masih harus dipertahankan atau sudah seharusnya dilakukan penggantian, sehubungan dengan berkembangnya nilai hukum di dalam masyarakat. Di samping itu, juga dilakukan pengkajian apakah asas tersebut masih sesuai dengan landasan hidup Bangsa Indonesia. Sehubungan dengan masalah tersebut, unsur mutlak dalam hukum adalah asas dan kaidah; kekuatan jiwa hukum terletak pada dua unsur tersebut, bahwa unsur asas hukum merupakan jantung pertahanan hidup hukum dalam masyarakat Semakin dipertahankan asas hukum, semakin kuat dan bermakna kehidupan dan pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Sebaliknya, semakin diingkari penegakan asas hukum pidana terhadap perbuatan yang
merugikan
atau
membahayakan
anggota
masyarakat,
dan
semakin
ditinggalkan atau diabaikan asas hukum pidana dalam praktik, hukum pidana
2
seakan hidup takmau, matipun enggan. Sebagai penjelasan bahwa di dalam hukum pidana materiel ada asas legalitas (Pasal 1 ayat (1 ) KUHP) dan di dalam hukum pidana formil (hukum acara pidana) ada asas legalitas dan asas oportunitas, serta asas ne bis in idem. Asas-asas tersebut baik pengaturannya maupun penerapannya memerlukan pengkajian karena masih banyak permasalahan. 1 Apabila, sungguh-sungguh berlandaskan pada asas praduga tidak bersalah dan asas persamaan kedudukan di dalam hukum, kendala dimaksud seharusnya tidak ada, sebab jelas bahwa setiap tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana, wajib mendapatkan hak-haknya tanpa kecuali dan tanpa perbedaan. Sebagai
searang
yang
belum
dinyatakan
bersalah,
ia
seharusnya
mendapatkan hak-haknya seperti hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan pengadilan dan mendapatkan putusan seadil-adilnya. Selain itu, juga mereka mempunyai hak untuk diberitahu tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya serta hak-hak yang lainnya sesuai dengan tujuan Undang-Undang No.8 T ahun 1981,13) yaitu memberi perltndungan hak-hak asasi kepada setiap individu, sesuai dengan persamaan kedudukan di dalam hukum sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Fenomena menunjukkan bahwa hak-hak tersangka- dan terdakwa sering terabaikan, karena pasa\. pasal dalam KUHAP (UU No.8 Thn 1981) belurn dapat m'engakomodasi, perlindungan HAM mereka. Artinya, pasal-pasal di dalam KUHAP masih banyak yang mandul dan tidak 1
Loebby Loqman, Prespektif Pembangunan Hukum, Pelita, Jakarta, 1977, h.3
3
efektif untuk mencapai tujuannya, yaitu menjunjung tinggi HAM, sesuai dengan tujuan Negara Hukum, terutama mengimplementasikan asas-asas hukum pidana yang pokok, antara lain asas persamaan kedudukan di dalam hukum dan asas praduga tidak bersalah.2 Selama ini, banyak kasus di Indonesia yang merupakan pelanggaran terhadap
asas
praduga
tidak
bersalah,
sehingga
mengundang
perhatian
masyarakat, baik nasional maupun internasional. Seperti kasus salah menangkap, salah menahan, perlakuan tindakan kekerasan dan penyiksaan (violence and torture) oleh penegak hukum. Di antaranya kasus-kasus yang menonjol dan terkenal pada zaman H.I.R. (Het Herziene Inlandsch Reglement) iatah kasus Sengkon dan Karta; setelah KUHAP (UU NO.8 Thn 1981) kasus Marsinah, kasus penyiksaan Tjetje Tadjudin, rekayasa dalam penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Udin (kasus Iwik), serta beberapa kasus yang berakhir dengan putusan bebas dari pengadilan Negeri.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan
uraian
latar
belakang
diatas,
maka
sebagai
rumusan
permasalahannya adalah:
1. Bagaimanakah perkembangan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) ? 2. Bagaimana proses perlindungan HAM tersangka/terdakwa dari proses peradilan tersebut?
2
Romli Atmasasmita, Artikel Terobosan Hukum, Pikiran Rakyat, 1977, h.2
4
1.3.
Penjelasan Judul Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah “Perlindungan Hak Asasi
Manusia Tersangka/Terdakwa Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia”. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Suatu negara hukum menurut Sri Soemantri, harus memenuhi beberapa unsur, yaitu: 3 a. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; b. Adanya jaminan terhadap HAM (warga negara); c. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; d. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, khusus mengenai butir 2, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara). Hal ini juga terdapat Undang Undang Dasar 1945, melalui beberapa pasalpasalnya yang mengatur mengenai HAM. Salah satunya ialah Pasal 27 ayat (1) tentang Asas Persamaan Kedudukan di Dalam Hukum. Pasal 27 ayat (1) tersebut diimplementasikan dalam proses peradilan pidana sebagai asas praduga tidak bersalah yang diatur dalam Pasal 8 UU No. 14 Thn 1970 jo Pasal 18 UU No. 35 Thn 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni bahwa: 3
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, h.29
5
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dipersidangan wajib dianggap tidak bersalah sebelum kesalahannya dinyatakan dalam putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.” Berkenaan dengan hal tersebut, perlu menjelaskan bahwa yang menjadi objek penelitian adalah sistem peradilan pidana tanpa membahas tentang sistem pembinaan pada tahap purnajudikasi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman di Lembaga pemasyarakatan. Pengaturan dan penegakan HAM di dalam negara hukum mutlak diperlukan khususnya di Indonesia. Selain itu, perlu pula ditingkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat,
sehingga
masingmasing
anggotanya
menghayati
hak
dan
kewajibannya, serta secara taklangsung meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai Undang Undang Dasar 1945. Salah satu implementasi HAM sebagaimana diatur UUD 1945 antara lain terdapat dalam Undang Undang No. 8 Thn 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di dalam UU tersebut diatur mengenai proses peradilan pidana sejak dari penyidikan, penuntutan dan persidangan. Pada hakikatnya, upaya mengimplementasikan HAM ke dalam Undang-undang tersebut adalah berusaha menempatkan keadilan dan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi sesuai dengan martabat bangsa yang merdeka, untuk itu harus dijamin pelaksanaannya. Dalam kaitan itu, keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung kepada penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan yang bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penegakan
hukum
merupakan
dinamisator
peraturan
perundang-undangan.
6
Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan utama bukan pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsipprinsip keadilan dan kebenaran. Sehubungan dengan hal tersebut, selain diberlakukannya UU No.8 Thn 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang merupakan aturan dalam proses peradilan pidana atau proses penegakan hukum pidana, ternyata masih banyak terjadi kekurangan-kekurangan. Undang-undang tersebut dirasakan belum dapat mengakomodasikan harapan para pencari keadilan, terutama mengenai penerapan asas praduga tidak bersalah yang merupakan asas hukum yang penting dalam proses peradilan pidana. Dalam hal ini asas yang paling pokok dari prosedur peradilan pidana modern adalah asas praduga tidak bersalah.
1.4.
Alasan pemilihan Judul Seringkali dalam proses penyelesaian hukum di peradilan kita mendengar
banyaknya hak dari tersangka yang dilanggar dan tidak sesuai dengan pelaksanaan hak asasi manusia. Kejadian ini terjadi dikarenakan kurang pahamnya para tersangka
dalam
mengetahui
hak-hak
yang
didapatkannya
pada
proses
penyelesaian hukum di peradilan. Untuk itu maka pada penelitian kali ini mengambil judul “Perlindungan Hak Asasi Manusia Tersangka/Terdakwa Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia.”
7
1.5.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam lingkup masalah
yang diajukan dalam
skripsi ini adalah:
1. Memahami dan mengetahui tentang perlindungan HAM pada proses peradilan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Memahami dan mengerti tentang tata cara perlindungan HAM pada proses pra peradilan di Indonesia.
1.6.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagi masyarakat luas, skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan / pedoman untuk mengetahui tentang perlindungan HAM pada proses peradilan di Indonesia.
2. Bagi ilmu pengetahuan hukum terutama hukum pidana, skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan informasi tentang bagaimana proses perlindungan HAM di pra peradilan.
3. Bagi penulis sendiri, penelitian ini menyumbang informasi dan data untuk penulisan skripsi guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
8
1.7.
Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian Pemilihan metode penelitian disesuaikan dengan batasan isu hukum yang akan dicari jawabannya yaitu tentang “Perlindungan Hak Asasi Manusia Tersangka/Terdakwa Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia.” Untuk memberikan jawaban atas isu hokum diatas tersebut digunakanlah tipe penelitian hokum normative, yaitu suatu penelitian yang bertumpu pada telaah peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. Dalam penelitian hukum tidak dikenal variable bebas dan veriabel terikat, hipotesis, populasi dan sampling, data dan teknik pengumpulan data, analisis data baik kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian hokum normative yang akan memberikan jawaban bagaimana hokum yang seharusnya dan seyogyanya, bukan hokum yang senyatanya, dengan sumber penelitian berupa bahan hokum primer dan bahan hokum sekunder, yang kemudian dianalisa.
b. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum normative adalah pendekatan
hukum
perundang-undangan
(statute
approach).
Pendekatan
perundang-undangan yaitu melakukan kajian terhadap peraturan perundangundangan dan peraturan lainya yang berlaku, yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas.
c. Bahan Hukum
9
Objek penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berbentuk perturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum perlindungan hak asasi manusia dalam pemerikasaan perkara pidana di Indonesia. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah bahan literature berbentuk buku dan diktat-diktat yang membahas masalah hukum perlindungan hak asasi manusia dalam pemeriksaan perkara pidana di Indonesia.
d. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Adapun langkah yang digunakan adalah pertama, melakukan pengumpulan dan menginventarisir bahan-bahan hokum dengan menggunakan studi kepustakaan. Dengan bantuan daftar katalog dapat diketahui bahan-bahan hokum yang pembahasannya menyangkut dengan pokok masalah yang dibahas ini. Langkah kedua adalah bahan-bahan yang sudah dikumpulkan diklarifikasi dengan cara memilah-milah bahan hokum dan kemudian disusun secara sistematis agar mudah dipelajari dan dipahami. Langkah ketiga, dalam menganalisa bahan-bahan hokum digunakan metode deduktif, yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan ketentuanketentuan yang bersifat umum dan kemudian diterapkan pada pokok masalah yang akan dibahas serta bersifat khusus. Langkah keempat, untuk sampai pada jawaban permasalahan yang akan dibahas, digunakan penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang berdasarkan pada hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya, antara pasal yang satu dengan lainnya.
10
1.8.
Sistematika Penulisan Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penulisan ini maka penulisan
dibagi dalam 4 (empat) Bab, sebagai tersebut di bawah ini. Bab I Pendahuluan, yang mendeskripsikan latar belakang masalah yang menjadi alasan penting mengapa kajian hukum ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, serta tujuan dan manfaat penelitian. Uraian tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkah-langkah kajian dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bab II Perkembangan dan Pelaksanaan Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pembahasan meliputi sejarah lahirnya hak asasi manusia di dunia. Selain itu juga dibahas mengenai pengaturan dan pelaksanaan hak asasi manusia di Indoneisa yang tersebar dalam ketentuan hukum yang ada. Bab III Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa di Pengadilan. Pembahasan meliputi apakah hak-hak yang didapatkan oleh tersangka dan terdakwa ddalam proses penyelesaian hukum di pengadilan di Indonesia. Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah dan bagian saran sebagai sumbangan pemikiran masukan dalam khasanah hukum.
11
B A B II PERKEMBANGAN DAN PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
2.1.
Sejarah Lahirnya HAM Kesadaran manusia terhadap hak asasi berasal dari keinsyafannya terhadap
harga diri, harkat, dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, sesungguhnya hak HAM itu sudah ada sejak manusia dikodratkan lahir di dunia ini, dengan demikian HAM bukan merupakan hal yang baru lagi. Sejak Nabi Musa as dibangkitkan untuk memerdekakan umat Yahudi dari perbudakan di Mesir, manusia telah menyadari tentang pentingnya penegakan hak-haknya dalam membela kemerdekaan, kebenaran dan keadilan. Di Babylonia dikenal Hukum Hammurabi yang merupakan hukum untuk menjamin keadilan bagi warga negaranya. Hukum Hammurabi yang telah dikenal sejak 2000 tahun Sebelum Masehi tersebut merupakan perlindungan terhadap HAM.4 Filsuf Yunani, baik Socrates (470-399 Sebelum Masehi) maupun Plato meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya HAM. Plato, yang lahir di Athena pada tahun 429 Sebelum Masehi dan meninggal pada tahun 347 Sebelum Masehi, dikagumi von Schmid sebagai pemikir besar tentang negara dan hukum. Karya ilmiah Plato antara lain, Politeia (the Republica) yang ditulisnya ketika ia masih muda, Politicos (the Stateman), dan Nomoi (the Law). Buku Politeia ditulis Plato yang sangat prihatin melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang yang haus harta, kekuasaan dan gila hormat. Pemerintah berlaku sewenang-
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak HAM di Indonesia, Lembaga Kriminologi Program Penunjang Bantuan Hukum Univ. Indonesia, Jakarta, h.8 4
12
wenang dan tidak memperhatikan penderitaan rakyatnya, sehingga Plato mencitacitakan suatu bentuk negara yang ideal sekali, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, serta tempat keadilan dijunjung tinggi Pemimpin negara harus diserahkan kepada filosof, agar negara menjadi baik, karena filsuf (filosof) adalah manusia yang arif bijaksana, yang menghargai kesusilaan, maupun berpengetahuan tinggi. Cita negara idealnya Plato tersebut tidak pernah dapat dilaksanakan, karena hampir tidak mungkin mencari manusia yang sempurna, bebas dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi, sehingga didalam karya ilmiahnya yang kedua (politicos), Plato sudah menganggap adanya hukum untuk mengatur warga negara saja. Hukum yang dibuat manusia tentunya tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri, karena penguasa disamping memiliki pengetahuan untuk memerintah juga memiliki pengetahuan untuk membuat hukum. Akan tetapi, di dalam karya ilmiahnya yang ketiga (Nomoi), Plato mulai mengubah pendiriannya dengan memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum. Penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum.5 Cita Plato dalam Nomoi tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Aristoteles yang lahir di Macedonia pada tahun 384 Sebelum Masehi, karya ilmiahnya berjudul Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyarakat. Konstitusi merupakan aturan-aturan, dan penguasa harus mengatur negara menurut
5
Ibid, h.20
13
aturan-aturan.6 Sejarah Barat mencatat ada tiga negara sebagai peletak dasar HAM, yakni Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Inggris adalah negara perintis pertama di dunia yang memperjuangkan HAM yang dimulai semasa raja Inggris, Jhon Iacland (1192-1216). la memerintah secara sewenang-wenang, sehingga menimbulkan protes di kalangan bangsawan. Reaksi terhadap kesewenangwenangan dan kekuasaan lacland melahirkan sebuah piagam monumental yang terkenal dengan nama Magna Charta (1215). Piagam ini memunculkan pengertian HAM walaupun dalam bentuk yang amat sederhana, bahkan dapat dikatakan hanya merupakan hak dari kaum bangsawan. Menurut Moh. Mahfud MD., gagasan HAM dan instrumennya di dalam kehidupan bernegara sebenarnya telah berlangsung selama berabad-abad. Di Eropa paling tidak mulai dikenal dari Dictatus Papae pad a abad ke-2 yang kemudian menyusul Magna Charta 1215, sementara di Timur sebenarnya tercatat telah ada Piagam Madinah yang disusun negara Islam awal yang juga memuat perlindungan HAM seperti yang dikenal pada zaman modern ini. Pada umumnya, para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum) menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sementara Magna Charta (1215) sering keliru dianggap sebagai cikal bakal kebebasan warga negara Inggris. Piagam ini 6
Ibid, h.21
14
sesungguhnya hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dan para bangsawannya, dan baru belakangan kata-kata dalam piagam ini memperoleh makna yang lebih luas seperti sekarang ini.7 Pada masa pemerintahan Raja Edward I (1272-1307) lahir The Great Charta of Liberties. Isinya antara lain adalah penetapan apa yang tercantum dalam piagam Magna Charta, kebebasan bertindak bagi kota-kota dan kebebasan perdagangan semakin parah ketika Raja Edward I ini meminta bantuan keuangan sebesar 400.000 poundsterling dari para bangsawan. Hal ini sama artinya raja menciptakan badan perwakilan (parlemen).8 Kemudian pada masa pemerintahan Raja Edward III (1327-377) lahirlah parlemen di Inggris yang ditandai dengan adanya House of Lord sebagai wakil raja dan House of Commons sebagai wakil rakyat,83 Anggota House of Lord terdiri atas kaum bangsawan dan House of Commons terdiri atas rakyat jelata, fungsi HouseofLord sebagai penyaring/pembatas dari kehendak dan kebijakan yang disampaikan oleh HouseofCommons. Khususnya kebijakan yang dianggap berlawanan dengan kebijakan raja. Jadi, House of Lord merupakan pelindung bagi kebijakan raja, agar kedudukan mahkota tidak terganggu.9 Ketika William III menjadi wali negara Belanda (1672-1702) dan raja Inggris (1689-1702), lahirlah Bill of Rights pada tanggal 16 Desember 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium "equality before the law~ yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum. Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM
Baharudin Lopa, Al Quran dan Hak Asasi Manusis, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, h.79 8 A. Hadyana Pudjaatmika, Hak Asasi Manusia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, h.2 9 Ibid, h.3 7
15
dahulu sudah berketetapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya risiko yang dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.10 Perkembangan inipun harus dalam konteksnya. Bill of Rights, sebagaimana diberikan dalam judulnya yang panjang, yaitu An Act Declararing the Rights and Liberties of The Subject and Setting The Succession of The Crown (Peraturan yang menyatakan Hak-Hak dan Kebebasan Rakyat dan Tata Cara Suksesi Raja) merupakan hasil perjuangan parlemen melawan pemerintahan raja-raja bangsa Stuart yang sewenang-wenang pada abad ke-17. Bill of Rights disahkan setelah Raja James" dipaksa turun tahta dan William" serta Mery" naik ke singgasana menyusul Revolusi Gemilang (Glorious Revolution) pada tahun 1688. Bill of Rights yang menyatakan dirinya sebagai deklarasi undang-undang baru, menundukkan monarki di bawah kekuasaan parlemen dengan menyatakan bahwa kekuasaan raja untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang diklaim oleh raja adalah i1egal. Undang-undang ini juga melarang pemungutan pajak dan pemeliharaan pasukan tetap pada masa damai oleh raja tanpa persetujuan parlemen.11 Perkembangan hak asasi dan demokrasi di Inggris sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para tokoh, yaitu Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Pemikir kekuasaan absolut dari negara Inggris, yaitu Thomas Hobbes, lahir di Malmesbury pada tahun 1588 dan meninggal pada tahun 1679. Dua buah karya ilmiahnya yang termasyhur adalah De Cive dan Leviathan. Pemikirannya merupakan dukungan bagi kekuasaan absolut raja-raja Inggris. Pangkal tolak pemikirannya tentang negara ialah manusia dalam keadaan alami, 10 11
Baharudin Lopa, Ibid, h.2 A. Hadyana Pudjaatmika, Hak Asasi Manusia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, h.4
16
dan kehidupan manusia dalam keadaan bebas tanpa batas membuat manusia mengikuti semua hawa nafsunya, sehingga kebebasan manusia yang satu melanggar kebebasan manusia yang lainnya dan hak manusia yang satu melanggar hak manusia yang lain. Keadaan itu dilukiskan Hobbes sebagai keadaan yang kacau. Manusia yang satu merupakan serigala bagi yang lain (homo homini lupus). Jadi, di dalam yang bebas itu tidak ada ketenteraman hidup dan rasa takut menghantui lapisan masyarakat. Inilah yang disebut peran antara manusia yang satu dengan yang lain (bellum omnium contra omnes).Teori Hobbes ini pada nantinya melahirkan sistem kekuasaan absolut. John Locke lahir diWrington pad a tahun 1632 dan meninggal pada tahun 1704, karya ilmiahnya yang termashur adalah Two Treaties on Civil Government yang diterbitkan pada tahun 1690. Pemikiran John Locke ini menyebabkan ia mendapatkan
penghargaan
sebagai
Bapak
Hak-hak
Asasi.
John
Locke
mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling berhubungan antara sesamanya. Manusia mempunyai hak-hak yang bersifat kodrati/alamiah. Hak-hak ini tidak dapat dicabut oleh siapapun juga dan tak dapat dipindahtangankan dari manusia yang satu ke manusia yang lain, kecuali atas persetujuan pemiliknya. Hak-hak itu ialah hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan hak atas milik. John Locke menentang teori Hobbes dan menyatakan bahwa tidak secara absolut manusia harus menyerahkan hak-hak individunya, yang diserahkan hanyalah hakhaknya yang berkaitan dengan perjanjian negara, sedangkan sisanya yang tetap berada pada diri masing-masing warga negara (individu). Sebab, dalam instansi yang pertama terdapat suatu perjanjian antar individu dengan individu lainnya untuk
17
membentuk masyarakat politik dan Negara.12 Pengaruh John Locke tampak sekali di dalam karya ilmiah Charles Secondat Baron labrd et de Montesquieu yang termashur, yaitu Lettres Persanes (1714) dan /'Esprit de Louis (1748). Montesquieu ini adalah sarjana hukum berbangsa Perancis yang lahir pad a tahun 1689. Setelah tidak lagi menjabat hakim tinggi di negaranya, ia pergi merantau ke beberapa negara Eropa Barat dan menetap di Inggris. Menurutnya, fungsi negara hukum harus dipisahkan dalam tiga kekuasaan lembaga negara yaitu, legislatif, yudikatif dan eksekutif. Kedudukan ketiga kekuasaan tersebut hendaklah seimbang, yang satu tidak lebih tinggi daripada kekuasaan yang lain. Pemikiran tiga kekuasaan ini terkenal di seluruh dunia dengan nama Trias Politica. Namun, orang lebih mengenal Montesquieu dari pada John Locke, orang pertama yang mencetuskan pemikiran ini.13 Sumbangan pemikiran Montesquieu terhadap cita negara hukum ialah pemikirannya tentang pemisahan kekuasaan negara atas tiga kekuasaan atau lembaga, dengan tujuan menjamin kebebasan warga dan mencegah adanya pemerintah absolut. Hanya saja perlu diingat, bahwa pemisahan secara murni dari ketiga bentuk kekuasaan negara tidaklah mung kin diterapkan dalam praktek. Negara Amerika Serikat yang dianggap mewujudkan pemikiran Montesquieu ini bahkan tidak bisa melaksanakannya murni 100%. John Locke merupakan tokoh pertama yang melahirkan teori HAM, sehingga revolusi yang berhasil di Inggris tersebut bergema dan bertiup kencang dengan membawa ide-ide pembaharuan ke koloninya di seberang lautan di benua Amerika. Akhirnya meledak dengan Revolusi Amerika Serikat yang ditandai dengan Deklarasi Eggy Sudjana, Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Lingkungan HIdup, Bogor, As-Syafidah, PY Liberty, 1988, h.7 13 Ibid, h.8 12
18
Kemerdekaan Amerika (The American Declaration of Independence). Deklarasi itu disetujui kongres pada tanggal 4 Juli 1776 dan mengikat 13 negara bagian yang akhirnya bersatu dalam Amerika Serikat. Setelah mendapat ilham dari Deklarasi Kemerdekaan di Amerika, Perancis menyusun pemerintahan baru dan mengumumkan Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warganegara (Deklaration des droits de(Homme et du Citoyen) pad a tanggal 27 Agustus 1789. Isinya antara lain:
1. Manusia dilahirkan bebas dan mempunyai hak yang sama, serta perbedaan di masyarakat hanya didasarkan atas kepentingan umum (Pasal 1 );
2. Hak-hak ini adalah hak atas kebebasan (liberty), milik (property), keamanan (safety) dan menentang penindasan (resistance to oppression) (Pasal 2);
3. Rakyat adalah sumber dari segala kedaulatan (Pasal 3); 4. Kebebasan berarti dapat melakukan apa saja yang tidak merugikan orang lain (Pasal 4); dan
5. Hak atas milik adalah suci dan tidak boleh dilanggar (Pasal 17).14 Hak-hak dalam Deklarasi Perancis (French Declaration) 1789 itu melahirkan dasar The Rule of Law. Pada abad ke-19 dan 20 munculah konstitusi-konstitusi yang mencantumkan hak-hak asasi dan kebebasan individu, dimulai oleh Amerika Serikat, lalu ditiru di seluruh daratan Eropa dan pada abad ke-20 ini sampai ke Asia, Afrika, Amerika dan Karibia, sedangkan Inggris tetap meneruskan konstitusi yang tidak tertulis.15 Perancis sendiri telah menjabarkan Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warganegara 1789 itu ke dalam konstitusi Republik Perancis tahun 1946 dan 14 15
Eggy Sudjana, Op. Cit, h.8 Baharudin Lopa, Op.Cit, h.4
19
kemudian diperkuat dan dilengkapi lagi dalam Konstitusi 4 Oktober 1958. Pembukaan Oeklarasi Perancis tersebut mencantumkan kata-kata sebagai berikut: Lepeuple Francis proclaime solennellement son attachement aux Droits de 'homme .... Qu 'ils ont ete definis par la Declarationde 1789, confir mee et com pIe tee par Ie preambule de la Constitution de 1946.
(Rakyat Perancis menyatakan dengan khidmat pengakuannya atas hakhak manusia .... Sebagaimana telah digariskan oleh Deklarasi tahun 1789, yang telah diperkuat dan dilengkapi oleh Mukaddimah Konstitusi 1946)16
Kalau di Amerika dan Perancis ditekankan pada kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan media massa serta kebebasan politik, maka di Rusia dengan konstitusi 1918, ditujukan untuk menjaga kemerdekaan massa dari pemerasan kaum borjuis. Semua media massa harus dibebaskan dari pemegang modal dan dialihkan kepada kaum pekerja dan petani miskin. Kalau konstitusi Amerika Serikat dan Perancis ditujukan untuk mencegah gangguan terhadap hakhak dasar, termasuk pula dari penguasa sendiri, maka konstitusi Rusia mengingkari segi-segi ini dan berusaha menyediakan fasilitas-fasilitas tanpa menghiraukan kebebasan untuk maksud tersebut. Akhirnya pada tahun 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin D.Roosevelt, menyatakan the Four Freedom di depan kongres Amerika Serikat. Isinya adalah kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of fear), dan kebebasan dari kekurangan dan kemelaratan (freedom of want). 16
Sarwoto, Administrasi Pemerintahan Perancis, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h.20
20
Atas
nama
masyarakat
Internasional,
Eropa
dan
Amerika
Serikat
mendeklarasikan HAM untuk dunia. Nampak disini adalah tidak adanya para filsuf dari peradaban kuno Asia serta nampak juga disini adalah tidak adanya pesanpesan perjuangan liberalis kemanusiaan melawan superioritas Eropa dan Amerika Serikat. Tradisi-tradisi kemanusiaan, konsep-konsep filosofi dan pengalamanpengalaman Asia ditiadakan dari HAM, nilai-nilai Asia di dalam tradisi-tradisi kemanusiaan, tradisi-tradisi filosofi dan pengalaman-pengalaman hidupnya adalah dinamisme dalam berbicara (berdialog). Di sinilah kelebihan sistem yang berakar di dalam masyarakat Indonesia, yaitu tidak berartinya individu, kecuali ia berada dalam masyarakat. Asas gotong royong dan susunan ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan lebih menjamin tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Andi Hamzah menyatakan bahwa asas tersebut harus dapat diterapkan dan dilaksanakan secara konsekuen, bukan dalam teori-teori saja. Semua hak yang ada tersebut sesudah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal dengan nama Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Universal Declaration of Human Rights ini disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 217 A (III) pada tanggal 10 Desember1948. Deklarasi ini diikuti dua kovenan pada tahun 1966, yaitu International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights,. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights disetujui Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 16 Desember 1966 dan mulai berlaku 3 Januari 1976, sedangkan International Covenant on Civil and Political Rights
21
disetujui dan terbuka untuk ditanda tangani, pengesahan dan pernyataan dengan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2200 A (XX) 16 Desember 1966 dan mulai berlaku sejak 23 Maret 1976.17 Kelemahan-kelemahan cara Deklarasi Universal menangani sumber daya, antara lain:
1. Pertama, karena tidak mengarahkan isu HAM pada negara-negara terbelakang sekaligus tidak memberikan peringkat hak, Deklarasi Universal ini kabur sama sekali. Dengan demikian Deklarasi Universal ini gagal memberikan pedoman baku tentang kelayakan jaminan bagi hak;
2. Kedua, Deklarasi Universal ini mengambil negara-negara kaya sebagai polanya dan juga menyediakan pedoman bakunya bagi mereka, walau sebagian besar pelanggaran berat terhadap HAM sebetulnya terjadi di negara-negara yang miskin dan tercekam ketegangan politik yang dahsyat. Jadi Deklarasi Universal ini gagal menyediakan pedoman bagi tempattempat yang paling memerlukan. Sedangkan Robert Haas melihat ide HAM itu dengan penglihatan yang sama, yaitu jika anda tidak menerima penjelasan adi kodrati atau metafisik dengan segala kekurangannya, maka tidak ada yang abadi, misalnya suatu jenis hukum alam yang harus dicari di balik HAM itu.Tidak, HAM itu merupakan suatu perjanjian yang
sangat
kuat.
Kemudian
alasan
bagi
berlakunya
HAM
ialah
kita
menganggapnya begitu penting dan hal ini secara lazim dihormati oleh hukum nasional dan internasional. Pada sebagian warga masyarakat masih terdapat salah atau kurang pengertian menyangkut HAM, bahkan tidak jarang terjebak ke dalam Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunis, Terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, h.1 17
22
pandangan yang ekstrim, yang disebut universalistik dan partikularistik. Karena kurang atau tidak memahami konsep HAM sehingga menjadi salah satu faktor terjadinya pelanggaran HAM. Pengertian HAM sebenarnya mencakup spektrum yang cukup luas yang bergulat secara dinamis dari HAM individual ke HAM komunal, bahkan terakhir muncul HAM kolektif. Pertentangan dalam penerapan HAM biasanya disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang HAM yang diinginkan. Kalangan diluar terjemahan dari istilah pemerintahan menuntut pada penekanan HAM individual, sedangkan pihak pemerintah, atas nama pembangunan dan kesatuan, memilih penegakan HAM yang komunal yang cenderung otoritarian.18 Konsep HAM telah dikenal beberapa abad silam, seperti pada tulisan-tulisan Socrates, Plato, Aristoteles, dan Cicero. Istilah HAM merupakan droits de i'homme dalam bahasa Perancis, yang berarti hak-hak manusia, atau dalam bahasa Inggrisnya
disebut
human
rights,
yang
dalam
bahasa
Belanda
disebut
mensenrechten. Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah hak-HAM yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan gronrechten dalam bahasa Belanda.19 Sebagian orang menyebutkan dengan istilah hak-hak fundamental, sebagai terjemahan dari fundamental right dalam bahasa Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa Belanda. Di Amerika Serikat, di samping dipergunakan istilah human right, dipakai juga istilah civil rights. Menurut Andi Zainal Abidin Farid sebagaimana dikutip oleh Wibowo Alamsyah, bahwa istilah HAM di atas lebih tepat diganti dengan istilah HAM sebagai terjemahan dari social right, karena ia sesuai dengan arti dan Moh. Mahfud. MD, Pergulatan Politik dan Hukum-Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, h.177 19 Ibid, h.123 18
23
maksud Sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dari Pancasila. Mengenai ruang Iingkup atau batasannya, beberapa teoritisi HAM menyatakan bahwa HAM seharusnya dibatasi hanya pada hak-hak politik (political rights) dan sipil (civil rights) saja. Sementara yang lain berpendapat bahwa HAM juga harus mencakup hak-hak ekonomi.20 Dalam Black's Law Dictionary oleh H.Campbell Black,bahwa HAM disebut natural rights atau hak-hak alamiah, dijelaskan: "Natural rights are those which grow out of the nature of man and depend on upon personality, as distinguished from such as are created by law and depend upon civilized society; or they are those which are plainly assured by natural law; or those which, by fair deducation from the present phisical, moral, social and religius characteristics of man, he must be invested with, and which he ought to have realized for him in jural society, in order to fulfill the ends to which his nature calls him. Such as rights of live, liberty, privacy and god reputation.” Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM merumuskan definisi HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Jadi HAM adalah hak kodrati yang berasal dari Allah, sehingga tidak seorang atau kekuasaan apapun didunia ini boleh merampas hak-hak dasar yang melekat
Wibowo Alamsyah, Perlindungan HA< dalam Penangkapan dan Penahanan dalam Proses Penyidikan, Hasanusin Press, 2004, h.14 20
24
pada
manusia
dari
sejak
lahir.
HAM
bukan
pemberian
manusia
lain,
pemerintah,ataupun Undang-Undang Dasar. Hanya dengan penghargaan dan tegaknya hak kodrat itu pula, manusia dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya. Kodrat manusia itu diciptakan Tuhan sebagai pribadi dengan akal dan kehendak bebas, nilainya sedemikian rupa sehingga manusia tak pernah boleh dipakai semata-mata sebagai sarana atau dipaksa bertindak berlawanan dengan suara hatinya. Hak asasi setiap orang harus diakui oleh semua orang, golongan, lembaga, pemerintah dan agama. Hak tersebut tidak tergantung kepada perlindungan undang-undang, dan boleh kapan saja dibela oleh siapapun juga. Instrumen-instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa lain yang menunjangnya dapat ditemui dalam kovenan (perjanjian) internasional, yaitu pengakuan atas marta bat alamiah dan atas hak-hak yang sama serta tidak dapat dicabut dari semua anggota umat manusia merupakan dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, sebagaimana pertimbangan dalam alinea pertama Pembukaan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) maupun Pembukaan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). "Considering that, in accordance with the principles proclaimed in the Charter of the United Nations, recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable right of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.”
25
Dalam mekanisme universal, HAM dapat dikelompokan sebagai berikut:21 Hak sipil (civil rights) yang terdiri atas: a.
Integrity rights, mliputi:
1.
rights to life;
2.
no death penalty;
3.
no torture;
4.
no slavery;
5.
freedom of residence;
6.
freedom of movement;
7.
rights to leave any country, return;
8.
protection of privacy, honour and reputation;
9.
protection of property;
10. freedom of thought, concience and religion; 11. right to seek asylum from persecution; 12. right to nationality; 13. right to family life. b.
Due process rights, meliputi: 1 ) no arbitrary arrest, detention or exile; 2)
right to effective remedy;
3)
right to fair trial;
4)
equlity before the courts
5)
right to the accused;
6)
nulla poena sine lege.
Beriansyah, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi manusia, Terjemahan, UI Press, 2000, 156. 21
26
2.
3.
4.
2.2.
Hak politik (political right), terdiri atas: a.
opinion and expression;
b.
assembly and association;
c.
take part in government;
d.
equal access to public service; e. elect and be elected.
Hak sosial ekonomi (socioeconomic rights), meliputi: a.
right to work;
b.
equal pay for equal work;
c.
no forced;
d.
trade union;
e.
organize;
f.
restand leisure;
g.
adequate standard of living;
h.
right to food;
i.
right to health;
j.
right to housing;
k.
right to education.
Hak Budaya (cultural rights), meliputi: a.
take part in cultural life;
b.
to benefit from scientific progress;
c.
protection of authorship and copyright;
d.
freedom in scientific research and creative activity.
Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Ada tiga periode sejarah dalam kurun waktu kemerdekaan ini, dimana terjadi
27
perdebatan intens mengenai HAM (Human Rights Discours), yaitu pada tahun 1945, tahun-tahun Konstituante khususnya tahun 1957-1959 dan diawal bangkitnya Orde Baru tahun 1966-1968. Di dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi sebagai sentral dari kehidupan kit a berbangsa dan bernegara. Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar tertulis, sedangkan hukum dasartidaktertulisadalah kaidah-kaidah dasar yang melengkapi hukum dasar tertulis yang timbul dalam praktek penyelenggaraan negara. Pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 sarat dengan pernyataan (deklarasi) dan pengakuan yang menjunjung tinggi harkat, martabat, serta nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur dan sangat asasi, sehingga hukum dasar tertulis ini bersifat falsafati, antara lain ditegaskan bahwa hak setiap bangsa mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, berkedaulatan, bermusyawarah/berperwakilan, berkebangsaan, berperikemanusiaan, berkeadilan, dan berkeyakinan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembukaan UUD 1945 mengakui adanya rahmat Tuhan, sehingga hak asasi tidak lepas dari pemberian Tuhan. Sebaliknya, dalam beberapa Pembukaan Deklarasi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, HAM Eropa, dan Amerika, faktor Tuhan tidak disebut secara langsung, melainkan hanya dimuat di dalam pasalpasalnya saja. Menurut John P. Humphrey bahwa Universal Declaration of Human Rights telah meresap ke dalam hukum konstitusional dunia, sehingga di banyak negara hukum hak-hak asasi (Bill of Rights) itu telah tertanam dalam konstitusi mereka. Dengan demikian, Deklarasi Universal telah menjadi Magna Charta dunia.22 Jaminan penegakan dan perlindungan terhadap HAM di Indonesia lebih kokoh dibanding dengan negara-negara modern lainnya, karena dalam struktur Todung Mulya Lubis, Dilema Pencarian Hak Asasi Manusia dalam Sejarah Indonesia Merdeka, Dept. Luar Negeri, Jakarta, 1992, h.35 22
28
hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang rumusannya termuat dalam pembukaan UUD 1945 itu sendiri sudah bersifat kekal dan abadi, yang tidak dapat diubah oleh siapapun dan badan apapun juga. Merubah Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan negara Proklamasi. Persamaan di dalam Pembukaan UUD 1945 dengan Universal Declaration of Human Rights 1948, antara lain: 23 a.
Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Hal ini identik dengan: 1) Alinea pertama Mukaddimah Universal Declaration of Human Rights, yaitu: Recognition of inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace of the world. (pengakuan atas marta bat yang luhur (alamiah) dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia merupakan dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia.) 2)
Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights, yaitu: All human beings are born free and equal in dignity and rights. They endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood. (Semua orang dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat hakhaknya. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan hendaknya bertindak terhadap sesamanya dalam semangat persaudaraan)17S
23
Ibid, h.37
29
b.
Pernyataan alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 yang dihubungkan dengan pernyataan
atau
proklamasi
kemerdekaan dan
keinginan
luhur
untuk
berkehidupan kebangsaan yang bebas di dalam alinea Ketiga pembukaan UUD 1945, identik pula dengan pernyataan di dalam Pasal 15 ayat 1 Universal Declaration of Human Rights, bahwa everyone has the right to a nationality (setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan). c.
Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan berbagai tujuan dibentuknya negara Indonesia, yaitu: 1)
Untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2)
Untuk memajukan kesejahteraan umum;
3)
Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
4)
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pernyataan tujuan-tujuan tersebut identik dengan Universal Declaration of Human Rights, yaitu: 1) Pasal 22, bahwa: Everyone, as a member of society, has the right to social security and is entitled to realization, through national effort and international cooperation and in accordance with the organization and resources of each State, of the economic, social and cultural rights indespensable for his dignity and the free development of his personality,
2) Pasal 25 ayat (1), bahwa: Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-
30
being of himself and of his family, including food,clothing, housing and medical care and necessary social services and the right to security in the eve of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.
31
B A B III
HAK DAN DAN KEDUDUKAN TERSANGKA ATAU TERDAKWA DALAM PENGADILAN
3.1.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Sebenarnya secara sepintas di sana-sini, sudah sering dibicarakan
mengenai kedudukan tersangka dan terdakwa dalam KUHAP. Tersangka dan terdakwa mengambil tempat yang dibicarakan secara khusus dalam satu bab yakni Bab VI yang terdiri dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. Untuk mengingat arti daripada tersangka dan terdakwa, perlu diperhatikan kembali pengertian yang dirumuskan pada Pasal 1 butir 14 dan 15, yang menjelaskan:
tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana,
terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. Dari penjelasan di atas, baik tersangka maupun terdakwa adalah orang yang
diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti dan keadaan yang nyata atau fakta. Oleh karena itu orang tersebut:
harus diselidiki, disidik, dan diperiksa oleh penyidik,
harus dituntut dan diperiksa di muka sidang pengadilan oleh penuntut umum dan hakim,
32
jika perlu terhadap tersangka atau terdakwa dapat dilakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan benda sesuai dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang. Akan tetapi, apakah seorang tersangka atau terdakwa dianggap apriori
sebagai
orang
jahat,
dan
dapat
diperlakukan sebagai
objek
pemerasan,
penganiayaan dan pembalasan dendam? Apakah dalam kedudukan sebagai tersangka atau terdakwa, seseorang harus dicopoti dan ditanggali hak asasi dan harkat martabat kemanusiaannnya, seperti yang kita lihat pada masa-masa yang lalu dalam sistem hukum yang mempergunakan pendekatan “inkuisitur”, yang melihat tersangka dan terdakwa tiada lebih daripada objek pemeriksaan yang dapat diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum. Hak asasi dan harkat martabat mereka dilemparkan, dan jadilah tersangka atau terdakwa tiada lain daripada seonggok kotoran yang jijik dan sampah masyarakat yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. KUHAP telah meletakkan landasan prinsip “legalitas” dan pendekatan pemeriksaan dalam semua tingkat, dengan sistem “akuisatur”. Menempatkan tersangka dan terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai manusia yang mempunyai hak asasi dan harkat martabat harga diri. Sebagai perisai untuk membela dan mempertahankan hak asasi dan harkat martabat kemanusiaan tersangka atau terdakwa, KUHAP meletakkan landasan, sebagaimana yang diatur dalam Bab VI. Isi dan ketentuan-ketentuan Bab VI inilah yang hendak dibicarakan secara keseluruhan dalam uraian ini. Namun sebelum sampai kepada penguraian dimaksud, perlu diketahui, isi Bab VI adalah penjabaran atau aturan pelaksana dari
33
ketentuan prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14 Thn 1970 yaitu : a. Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2)). b. Larangan campur tangan oleh siapa pun dalam urusan peradilan di luar kekuasaan peradilan atau fair trial (Pasal 4 ayat (3)). c. Persamaan derajat dan kedudukan di muka hukum, dalam arti peradilan dilakukan menurut hukum tanpa membedakan orang (equality on the law and before the law) (Pasal 5). d. Seorang yang dihadapkan ke muka pengadilan, harus berdasar undang-undang yang telah ditentukan (Pasal 6 ayat (1)). e. Tiada seorang jua pun yang dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2)). f.
Setiap penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus berdasar atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 7).
g. Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, atau dihadapkan ke muka sidang
pengadilan,
wajib
dianggap
tidak
bersalah
(praduga
tak
bersalah/presumption of innocent) sebelum ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. h. Tersangka atau terdakwa yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
34
orangnya atau kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
3.2.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Hal-hal di ataslah beberapa landasan prinsip yang diberikan hukum untuk
melindungi hak dan martabat seorang tersangka atau terdakwa. Kemudian landasan prinsip-prinsip itulah yang dijabarkan pada Bab VI KUHAP, sebagai pelaksanaan apa yang diatur dalam pasal-pasal UU No. 14 Thn 1970. Dan sebagai peraturan pelaksana, apa yang diatur dalam Bab VI KUHAP lebih luas, dengan apa yang dijumpai pada pasal-pasal UU No. 14 Thn 1970. Membicarakan hak dan kedudukan tersangka atau terdakwa yang diatur dalam Bab VI KUHAP, dapat dikelompokkan sebagai berikut. 3.2.1. Hak Tersangka atau Terdakwa Segera Mendapat Pemeriksaan Penjabaran prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dipertegas dalam Pasal 50 KUHAP, yang memberi hak yang sah menurut hukum dan undangundang kepada tersangka/terdakwa: a. berhak segera untuk diperiksa oleh penyidik, b. berhak segera diajukan ke sidang pengadilan, c. berhak segera diadili dan mendapat putusan pengadilan (speedy trial right). Akan tetapi, seperti yang telah pernah dipertanyakan sebelumnya, apakah hal ini tidak akan menjadi rumusan mati, dan apa jaminan segera mendapat pemeriksaan benar-benar terlaksana dalam kenyataan? Sebab tidak ada sanksi
35
hukum
yang
bias
ditimpakan
kepada
pejabat
yang
menyia-nyiakan
hak
tersangka/terdakwa tersebut. 3.2.2. Hak untuk Melakukan Pembelaan Untuk
kepentingan
mempersiapkan
hak
pembelaan
tersangka
atau
terdakwa, undang-undang menentukan beberapa pasal (Pasal 51 sampai dengan Pasal 57), yang dapat dirinci: a. Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan padanya. b. Hak pemberitahuan yang demikian dilakukan pada waktu pemeriksaan mulai dilakukan terhadap tersangka. c. Terdakwa juga berhak untuk diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dapat dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya. d. Berhak memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat pemeriksaan penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan. Hak kebebasan memberi keterangan, dapat diartikan memberi keterangan yang dianggap tersangka atau terdakwa paling menguntungkan baginya. Kalau kita bertanya, apakah dengan adanya ketentuan Pasal 52 yang memberi kebebasan kepada tersangka menjawab pertanyaan yang diajukan penyidik kepadanya telah dapat menjamin hilangnya praktek pemerasan pengakuan yang terjadi selama ini? Apakah akan terulang lagi pencabutan keterangan terdakwa di muka persidangan atas alasan keterangan yang diberikan dalam berita acara pemeriksaan penyidikan oleh karena tidak mampu menahan penderitaan penyiksaan? Sulit bagi kita untuk memberikan jaminan. Ketentuan Pasal 52
36
tersebut pasti akan tetap merupakan rumusan semu selama mentalitas aparat penegak hukum tidak menyesuaikan diri dengan semangat dan jiwa yang dikehendaki KUHAP. Oleh karena itu, jaminan utama tentang hak kebebasan memberikan keterangan yang dijamin oleh hukum, titik beratnya tergantung pada mentalitas para pejabat yang bersangkutan. e. Berhak mendapat juru bahasa. Hak mendapat juru bahasa berlaku dalam setiap tingkat pemeriksaan baik pada pemeriksa penyidikan maupun dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Adalah suatu hal yang tak mungkin bagi seseorang tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya, jika terhadap dirinya diajukan dan dituduhkan sangkaan dan dakwaan yang tak dimengerti olehnya. f.
Berhak mendapat bantuan hukum. Guna kepentingan pembelaan diri, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum oleh seseorang atau beberapa orang penasihat hukum, pada:
setiap tingkat pemeriksaan, dan
dalam setiap waktu yang diperlukan.
Ketentuan Pasal 54 memberi hak kepada tersangka atau terdakwa mendapat bantuan hukum sejak taraf pemeriksaan penyidikan dimulai. Memperhatikan ketentuan Pasal 54, KUHAP pada dasarnya baru pada taraf pemeriksaan penyidikan memberi hak untuk mendapat bantuan hukum. Oleh karena itu, kalau dikaji lebih dalam, ketentuan ini masih mengandung kelemahan. Apalagi jika ketentuan Pasal 54 dikaitkan dengan Pasal 115, kelemahan ini dapat dilihat dari dua segi. Dari segi kualitas, bantuan penasihat hukum baru merupakan hak,
37
akan tetapi belum sampai ke tingkat “wajib”. Ini berarti, oleh karena mendapatkan bantuan hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan hanya merupakan hak, mendapatkan bantuan hukum masih tergantung kepada kemauan tersangka atau terdakwa untuk didampingi oleh penasihat hukum. Dia dapat mempergunakan hak tersebut, tapi bisa juga tidak mempergunakan. Konsekuensinya, tanpa didampingi penasihat hukum, tidak menghalangi jalannya peemriksaan terhadap tersangka atau terdakwa. Lain halnya jika kualitas mendapatkan bantuan hukum
itu bersifat
“wajib”.
Sifat
wajib
mendapatkan bantuan hukum akan menempatkan setiap tingkat pemeriksaan tidak bisa dilaksanakan apabila tersangka atau terdakwa tidak didampingi penasihat hukum. Wajib mendapatkan bantuan hukum pada setiap pemeriksaan merupakan tingkat bantuan hukum yang paling sempurna, sehingga persidangan dan putusan pengadilan yang diambil tanpa mendapat bantuan penasihat hukum, dianggap batal. Pembuat undang-undang belum berani membuat ketentuan pemberian dan mendapatkan bantuan hukum bersifat wajib. Keberanian mereka baru sampai pada taraf bersifat pemberian hak. Yang paling tragis, hak mendapatkan dan didampingi penasihat hukum pada tingkat penyidikan, dianulir oleh ketentuan Pasal 115. Karena keikutsertaan pendampingan seorang penasihat hukum dalam pemeriksaan penyidikan hanya bersifat “fakultatif dan pasif”. Berarti keikutsertaan penasihat
hokum mengikuti jalannya pemeriksaan
penyidikan, dibatasi oleh kata “dapat”. Tidak ada suatu kemestian bagi penyidik untuk memperbolehkan seorang penasihat hukum hadir mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan. Semata-mata tergantung kepada kehendak penyidik
38
apakah dia memperbolehkan atau tidak hadirnya penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan. Tidak ada alasan dan daya tersangka atau penasihat hukum supaya pejabat penyidik mesti memperbolehkan penasihat hokum mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan. Itu sebabnya jika ketentuan Pasal 54 diakitkan dengan Pasal 115, ketentuan Pasal 54 menjadi hambar dan kabur kembali. Kualitasnya baru bersifat hak mendapatkan dan didampingi penasihat hukum, dan belum bersifat wajib mendapatkan bantuan. Dengan demikian hak itu hanya disejajarkan dengan sifat yang fakultatif. Di samping itu, hak mendapatkan bantuan hukum dalam pemeriksaan penyidikan adalah pasif. Berarti seandainya pun penasihat hukum diperkenankan oleh pejabat penyidik mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan, kedudukan, dan kehadirannya hanya terbatas “melihat atau menyaksikan” dan “mendengarkan” jalannya pemeriksaan (within sight and within earing). Bahkan kedudukan yang bersifat pasif dan fakultatif tersebut dalam pemeriksaan penyidikan yang bersangkut-paut dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dikurangi lagi, penasihat hukum dapat dan boleh mengikuti jalannya pemeriksaan, tapi tiada lebih daripada hanya “melihat” saja jalannya pemeriksaan. Mereka tidak boleh mendengar isi dan jalannya pemeriksaan (within sight and within hearing). g. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum. Ketentuan Pasal 55 ini pun bisa menimbulkan cacat dalam praktek penegakan hukum, karena kebebasan dan hak memilih penasihat hukum pasti akan menimbulkan praktek diskriminatif. Tegasnya, ketentuan Pasal 55 ini hanya komoditi bagi orang kaya yang punya duit. Dengan kekayaan yang dimilikinya, tersangka yang hartawan dapat membiayai penasihat hukum yang diingininya.
39
Tetapi hal ini tidak bisa dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang miskin. Sedang untuk membiayai penasihat hukum yang paling murah pun dia tidak mampu, apalagi memilih penasihat hukum yang mahal. Atau, sekiranya kepada tersangka atau terdakwa yang miskin telah ditunjuk penasihat hukum yang akan memberikan bantuan kepadanya oleh pejabat yang bersangkutan, apakah dia dapat menolaknya serta meminta kepada pejabat tersebut untuk menunjuk penasihat hokum lain yang diingininya di luar penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat tadi? Sulit bagi pejabat yang bersangkutan untuk mengabulkan permintaan yang seperti itu. Kalau begitu kebebasan dan hak untuk memilih penasihat hukum yang dikehendaki oleh tersangka atau terdakwa yang ditentukan Pasal 55, lebih mirip memberi keuntungan kepada orang kaya, tetapi bagi orang yang tak punya, ketentuan ini hanya slogan yang terlampau jauh untuk dijangkaunya. Pasal 55 hanya dekat bagi orang yang kaya, tetapi sangat jauh jaraknya bagi orang yang miskin dan yang tak berpunya. h. Dalam tindak pidana tertentu, hak mendapatkan bantuan hukum berubah sifatnya menjadi “wajib”. Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan diatur dalam Pasal 56: 1) Jika sangkaan atau dakwaan yang disangkakan atau didakwakan diancam dengan tindak pidana:
hukuman mati:
hukuman lima belas tahun atau lebih.
Dalam kedua kategori ancaman hukuman ini, tidak dipersoalkan apakah mereka mampu atau tidak. Jika mereka mampu boleh memilih dan
40
membiayai sendiri penasihat hukum yang dikehendakinya. Jika tidak mampu menyediakan dan membiayai sendiri, pada saat itu timbul “kewajiban” bagi pejabat yang bersangkutan untuk “menunjuk” penasihat hukum bagi tersangka
atau
menyediakan
terdakwa.
penasihat
Kalau
hukumnya,
tersangka hapus
atau
terdakwa
kewajiban
pejabat
sendiri yang
bersangkutan menunjuk penasihat hukum. Apabila tersangka atau terdakwa tidak mampu atau tidak ada menunjuk penasihat hukum, dengan sendirinya terpikul kewajiban bagi pejabat untuk menunjuk penasihat hukum. 2) Kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa, digantungkan pada dua keadaan:
tersangka tau terdakwa “tidak mampu” menyediakan sendiri penasihat hukumnya, dan
ancaman hukuman pidana yang bersangkutan atau didakwakan lima tahun atau lebih.
Kita lihat, pada kewajiban yang pertama tidak digantungkan pada ketidakmampuan tersangka atau terdakwa mendapatkan penasihat hukum. Semata-mata kewajiban menunjuk penasihat hukum digantungkan pada beratnya ancaman hukuman. Pokoknya jika tindak pidana yang diancamkan kepadanya hukuman mati atau hukuman penjara lima belas tahun atau lebih, tersangka atau terdakwa wajib mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum, baik atas usahanya sendiri maupun atas penunjukan pejabat yang bersangkutan. Lain halnya pada sifat kewajiban yang kedua, kewajiban bagi pejabat yang bersanhkutan untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa, digantungkan pada dua syarat. Syarat pertama digantungkan
41
kepada keadaan “ketidakmampuan” tersangka atau terdakwa menyediakan penasihat hukum. Kalau tersangka dianggap mampu, tidak ada kewajiban bagi pejabat untuk menunjuk penasihat hukum. Syarat kedua, digantungkan kepada beratnya ancaman hukuman, lima tahun atau lebih. Kalau ancaman hukuman pidana yang disangkakan atau didakwakan kepadanya lima tahun atau lebih, dan dia tidak mampu menyediakan penasihat hukum, pejabat yang bersangkutan “wajib” menunjuk penasihat hukum baginya. Timbul masalah. Bagaimana jika seorang tersangka dianggap mampu tetapi tidak mau atau tidak menyediakan penasihat hukum. Apakah dalam hal ini dibebani kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum baginya? Tidak! Beban kewajiban penunjukkan itu oleh Pasal 56, digantungkan pada syarat ketidakmampuan. Kalau tersangka atau terdakwa memang mampu, tetapi tidak mau mendapatkan dan menyiapkan bantuan penasihat hukum, oleh undang-undang dianggap resiko dia sendiri. Ketentuan ini menurut hemat kami ada unsur ketidakadilan. Ketentuan ini lebih mendekatkan bantuan penasihat hukum bagi mereka yang miskin. Sedang bagi mereka yang kaya dan mampu, disuruh sendiri menyediakan bantuan penasihat hukum baginya. Cuma yang jadi pertanyaan adalah batas kemampuan dan ketidakmampuan ini kadang-kadang sifatnya nisbi. Namun barangkali, ukurannya dapat ditentukan berdasar surat keterangan dari lurah atau pejabat pamong di tempat tinggal tersangka atau terdakwa.
42
3) Penasihat hukum yang ditunjuk pejabat memberi bantuan hukum adalah cuma-cuma. Dengan ketentuan ini, baik tersangka atau terdakwa maupun negara tidak dibebani untuk membayar jasa bantuan yang diberikan penasihat hukum yang ditunjuk. Sampai di mana idealisme cara pemberian bantuan hukum yang cuma-cuma, belum dapat digambarkan. Barangkali secara jujur, tidak berlebihan untuk mengungkapkan pengalaman dan kenyataan yang kita lihat. Apa yang terkandung dalam pemberian jasa bantuan hukum yang cuma-cuma, sering mengecewakan. Tidak jarang pengadilan memintakan bantuan hukum kepada suatu lembaga bantuan hukum baik yang bergerak sebagai profesi maupun dari kalangan perguruan tinggi. Yang mereka tampilkan pada umumnya hanya tenaga yang baru memulai pratek. Seolaholah penilaian bantuan hukum yang cuma-cuma ini bagi sebagian kalangan lembaga bantuan hukum, tiada lain tempat belajar dan kurang sungguhsungguh. Lebih mirip hanya untuk memenuhi permintaan pejabat saja tanpa dibarengi
motivasi
kesadaran
idealisme.
Mungkin
dalam
pemberian
pelayanan hukum oleh sebagian kalangan, terlampau diperhitungkan dengan imbalan jasa. Apa yang kita saksikan, pada umumnya bantuan pelayanan hukum yang diberikan kepada yang miskin jarang terjadi karena tidak komersial, dalam arti klien yang tidak punya duit. Tetapi coba kalau klien itu hartawan, semua persiapan diatur rapi oleh pemberi bantuan hukum.
3.2.3. Hak Tersangka atau Terdakwa yang Berada dalam Penahanan
43
Hak-hak terdakwa yang telah dibicarakan adalah hak yang berlaku pada umumnya terhadap tersangka atau terdakwa baik yang berada dalam penahanan atau di luar penahanan. Di samping hak-hak tersangka atau terdakwa yang umum tersebut, undang-undang masih memberi lagi hak yang melindungi tersangka atau terdakwa yang berada dalam penahanan. a. Berhak menghubungi penasihat hukum. Jika tersangka atau terdakwa orang asing, berhak menghubungi dan bebicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi jalannya proses pemeriksaan. b. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak. c. Tersangka atau terdakwa berhak untuk diberitahukan penahanannya kepada:
keluarganya,
atau kepada orang yang serumah dengannya,
terhadap orang yang hendak memberi bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhan penahanannya.
d. Selama tersangka berada dalam penahanan berhak:
menghubungi pihak keluarga, dan
mendapat kunjungan dari pihak keluarga.
e. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukum melakukan hubungan:
Menghubungi dan menerima sanak keluarganya,
Baik hal itu untuk kepentingan perkaranya,
Atau untuk kepentingan keluarga, dan
Maupun untuk kepentingan pekerjaannya.
44
f.
Berhak atas surat-menyurat. Hal ini diatur dalam Pasal 62, yang memberi hak sepenuhnya kepada tersangka atau terdakwa yang berada dalam penahanan:
mengirim dan menerima surat kepada dan dari penasihat hukumnya,
mengirim dan menerima surat kepada dan dari sanak keluarganya,
Kebebasan hak surat-menyurat, tidak terbatas, tergantung kepada kehendak tersangka atau terdakwa kapan saja yang disukainya. Pejabat Rutan harus menyediakan alat-alat tulis yang diperlukan untuk terlaksananya surat-menyurat tersebut. g. Berhak atas kebebasan rahasia surat:
tidak boleh diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim, atau pejabat rumah tahanan negara,
kecuali cukup alasan untuk menduga bahwa surat-menyurat tersebut disalahgunakan.
Dengan adanya kecurigaan penyalahgunaan surat-menyurat, menjadi penyebab hapusnya larangan bagi para pejabat yang berwenang untuk membuka dan memeriksa hubungan surat-menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan keluarga atau dengan penasihat hukumnya. Kalau suatu surat yang diduga berisi penyalahgunaan, dan kemudian surat tersebut “ditilik” atau diperiksa oleh pejabat yang bersangkutan (penyidik atau penuntut umum, hakim maupun pejabat rumah tahanan negara) maka pembukaan, pemeriksaan atau pemilikan surat itu:
harus diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa,
45
kemudian surat yang telah ditilik tadi dikirimkan kembali kepada alamat si pengirim setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah ditilik”.
h. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
3.2.4. Hak Terdakwa di Muka Persidangan Pengadilan Di samping hak yang diberikan pada tersangka dan terdakwa selama dalam tingkat proses penyidikan dan penuntutan, KUHAP juga memberi hak kepada terdakwa selama proses pemeriksaan persidangan pengadilan. a. Berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. b. Berhak mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli: c. yang
memberi
keterangan
kesaksian
atau
keterangan
keahlian
yang
menguntungkan bagi terdakwa atau a de charge, d. apabila terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang akan memberi keterangan yang menguntungkan baginya, persidangan “wajib” memanggil dan memeriksa saksi atau ahli tersebut. Kesimpulan yang mewajibkan persidangan harus memeriksa saksi atau ahli a de charge yang diajukan terdakwa, ditafsirkan secara “konsisten” dari ketentuan Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 160 ayat (1) huruf e KUHAP. Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dalam pemeriksaan sidang yang dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum.
3.2.5. Hak Terdakwa Memanfaatkan Upaya Hukum
46
Seperti yang diketahui, undang-undang memberi kemungkinan bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman untuk menolak atau tidak menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan. Ketidakpuasan atas putusan, memberi kesempatan bagi terdakwa
berhak
pemeriksaan
memanfaatkan
tingkat
banding
upaya
kepada
hukum
biasa,
Pengadilan
berupa
Tinggi
atau
permintaan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung serta berhak memanfaatkan upaya hukum luar biasa, berupa permintaan pemeriksaan “peninjauan kembali” putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.2.6. Berhak Menuntut Ganti Rugi dan Rehabilitasi KUHAP memberi hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi, apabila: e. penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dilakukan tanpa alasan hukum yang sah, atau f.
apabila putusan pengadilan menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Demikianlah sekadar gambaran hak-hak yang diberikan undang-undang
kepada tersangka atau terdakwa sejak mulainya berlangsung pemeriksaan penyidikan sampai pada tingkat pemeriksaan pengadilan. Dan seperti yang sering kita katakan, tujuan pemberian hak-hak tersebut di samping untuk tegaknya kepastian hukum, dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap hak asasi dan harkat martabatnya.
47
B A B IV PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
a. Dikemukakan suatu pandangan yang bersifat kesimpulan sederhana. Bahwa kita menyadari betapa rapuh, tipis, dan lemahnya keseimbangan antara keadilan dengan nilai perlindungan HAM dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Sehubungan dengan itu, dalam melaksanakan fungsi peradilan, para Hakim atau pengadilan harus sekaligus menghormati kebenaran dan keadilan maupun hak asasi, meskipun batas keseimbangan penghormatan antara kebenaran dan keadilan serta penghargaaan dan menjunjung tinggi nilai HAM dalam menyelesaikan peristiwa pidana sangat sulit dan rapuh. Namun di atas kesulitan dan kerapuhan keseimbangan itu, jangan sampai alasan teknis yang sangat sempit dan kaku memberi kebebasan bagi pelaku tindak pidana leluasa berkeliaran di tengah-tengah kehidupan masyarakat. b. Pelindungan Hak Asasi Manusia pada proses perkara pidana di Indonesia telah diatur secara baik dan tegas dalam ketentuan hukum yang berlaku.
4.2.
Saran
a. Berdasar uraian kesimpulan di atas, acuan penerapan yang lentur seperti pasal 56 ayat (1) KUHAP sebaiknya pada proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia jangan diterapkan secara strict law dan formalistic legal thinking. Hal ini dikarenakan pasal tersebut tidak diterapkan secara kaku tapi harus
48
“dilenturkan”, sehingga tidak menimbulkan akibat yang jelek dan ketidakadilan (poerly and injustice). b. Apabila pada pemeriksaan penyidikan tersangka tidak didampingi penasihat hukum, baik disebabkan dia sendiri tidak menunjuk maupun disebabkan pejabat penyidik tidak menyediakan (menunjuk), sebaiknya tidak mengakibatkan pemeriksaan penyidikan batal demi hukum (null and void). Sehingga pemeriksaan perkara pidana di Indonesia tetap berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunis, Terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994 Eggy Sudjana, Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Lingkungan HIdup, Bogor, As-Syafidah, PY Liberty, 1988 Hadyana Pudjaatmika, Hak Asasi Manusia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994 Loebby Loqman, Prespektif Pembangunan Hukum, Pelita, Jakarta, 1977 Moh. Mahfud. MD, Pergulatan Politik dan Hukum-Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999 Romli Atmasasmita, Artikel Terobosan Hukum, Pikiran Rakyat, 1977 Todung Mulya Lubis, Dilema Pencarian Hak Asasi Manusia dalam Sejarah Indonesia Merdeka, Dept. Luar Negeri, Jakarta, 1992 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992 Sarwoto, Administrasi Pemerintahan Perancis, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981 Wibowo Alamsyah, Perlindungan Hak dalam Penangkapan dan Penahanan dalam Proses Penyidikan, Hasanusin Press, 2004