Tantangan Perekonomian Indonesia di Era Pemulihan Ekonomi Global1 BUDI MULYA Deputi Gubernur Bank Indonesia 9 Februari 2011
Komunitas Pasar Finansial Indonesia, Perbankan dan hadirin sekalian yang saya hormati, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua, Pertama, saya sampaikan terima kasih kepada ING Securities yang sudah mengundang saya dalam seminar pagi ini. Seminar pagi ini, yang diselenggarakan di awal tahun 2011 sekaligus awal tahun ‘kelinci’, tentunya merupakan momentum yang berharga bagi kita untuk memantapkan strategi bisnis di tahun 2011 dan periode kedepan, yang masih akan semakin dinamis dan penuh tantangan. Strategi bisnis harus tetap dilandasi optimisme, namun penuh kewaspadaan (cautiously optimist) disertai dengan penguatan praktik manajemen risiko bisnis. Secara khusus, saya ingin menekankan pentingnya penguatan praktik manajemen risiko, agar segenap pelaku industri keuangan tidak mudah panik ditengah situasi ke depan yang masih cenderung diliputi volatilitas yang tinggi, khususnya di pasar finansial global. Dalam hal ini, kecenderungan perilaku pelaku pasar finansial global, untuk berubah secara drastis dari waktu ke waktu sebagaimana dapat kita cermati dalam beberapa waktu terakhir, diperkirakan masih akan terjadi. Hal tersebut mengingat kelangsungan pemulihan ekonomi global belum cukup meyakinkan, meskipun indikasi pemulihan ekonomi di negara maju sudah mulai terlihat. Perekonomian global diperkirakan tumbuh 4.5% di tahun 20112, meningkat dari perkiraan sebelumnya sekitar 4.2%. Namun demikian, downside risk, terutama dari perekonomian negara maju masih cukup tinggi. Selain itu, faktor ketidakpastian juga semakin diperbesar oleh berlarutnya perdebatan atas upaya penyelesaian krisis di kawasan Eropa, dan yang
1
Disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan ING Securitas dengan tema ‘Indonesia Economic & Policy Outlook: Slow Growth, Denial and Hot Money’, Hotel Ritz Carlton, Jakarta, 9 Februari 2011.
2
IMF World Economic Outlook Update, 25 Januari 2011.
1
terakhir, gejolak yang melanda beberapa negara di kawasan Timur Tengah (Tunisia, Mesir dan Yaman). Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di China dan negara-negara berkembang (emerging market), khususnya di Asia berjalan lebih cepat dan bahkan kini sudah mulai diwarnai ancaman inflasi yang tinggi. Hal ini sekaligus menjadi refleksi dari perbedaan kecepatan pemulihan ekonomi secara global (two-speed economic recovery). Ancaman inflasi utamanya didorong oleh meningkat-tajamnya harga komoditi pangan dan enerji global, yang antara lain terkait dengan berlangsungnya iklim ekstrim global. Hal ini bila tidak ditangani secara cermat, dikhawatirkan akan menjadi guliran ekspektasi inflasi yang semakin menguat, mengingat faktor persepsi masih mendominasi dewasa ini. Grafik 1: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia % (Qtq - Annualized) 15
World
Adv.
EM and Developing
10 5 0 -5 Sumber: WEO Update Jan'11 (IMF) -10 I
II III IV 2007
I
II III IV 2008
I
II III IV 2009
I
II III IV 2010
I
II III IV 2011
I
II III IV 2012
Perbedaan kecepatan pemulihan ekonomi tersebut membawa implikasi tersendiri bagi negara-negara berkembang, khususnya melalui tekanan capital inflows, termasuk yang sifatnya jangka pendek (hot money) yang cukup besar, dan tentunya menambah kompleksitas kebijakan makroekonomi di emerging market. Capital inflows tersebut bukan saja sebagai implikasi kebijakan moneter yang ekspansif di negara-negara maju melalui quantitative easing dan suku bunga rendah, melainkan juga berasal dari dana-dana dari kawasan Asia yang dialihkan dari semula berupa penempatan di kawasan Eropa dan Amerika ke negara-negara berkembang lainnya, termasuk ke Indonesia untuk mencari tingkat imbal hasil yang lebih tinggi. Insitute of International Finance (IIF) memperkirakan bahwa capital inflows ke emerging market akan meningkat dan melampui 1 triliun US Dollar mulai tahun 2011 ini. 2
Grafik 2: Perkiraan Capital Inflows ke Emerging Market USD Milyar 1,200 1,046 1,008
1,000
800
600
400
200
0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010f 2011f 2012f Sumber: Institute of International Finance (IIF), 24 Januari 2011
Hal lain yang harus dicermati adalah semakin terlihatnya perbedaan kepentingan antar negara, yang diantaranya tercermin dari perbedaan pandangan para pemimpin negara yang mengemuka pada forum G-20 di Seoul 11-12 November 2010 lalu. Di satu sisi, krisis 2008 telah menimbulkan biaya yang luar biasa besar di beberapa negara maju, sehingga campur tangan politik domestik menjadi semakin dalam. Di sisi lain, koordinasi dan harmonisasi kebijakan secara regional dan internasional dalam proses pemulihan ekonomi global semakin disadari arti pentingnya. Hal ini jelas merupakan tantangan tersendiri untuk mewujudkan kesepakatan G-20 sebelumnya, di Pittsburgh 2009 lalu, yaitu ‘strong, sustainable and balance growth’. Memang harus disadari bahwa hal tersebut jelas tidak mudah dan memerlukan waktu mengingat banyak negara harus menjalankan langkah yang tidak popular berupa ‘pengetatan ikat pinggang’ dalam berbagai bentuk kebijakannya di tengah tuntutan ekspansi dari sisi fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Situasi global tersebut merupakan gambaran kondisi yang akan kita hadapi di tahuntahun mendatang. Dalam situasi tersebut, bagi otoritas, utamanya bank sentral, langkah untuk mencegah excessive risk taking di industri keuangan dan upaya menjaga stabilitas makro ekonomi akan menjadi prioritas. Selain itu, langkah kebijakan juga akan dihadapkan pada situasi yang semakin dilematis dan cenderung costly. Ke depan, tantangan kebijakan akan semakin besar mengingat, disatu sisi, transmisi kebijakan, termasuk kebijakan moneter, pasca krisis 2008 cenderung melambat, sementara di sisi lain, pelaku ekonomi dan masyarakat cenderung menuntut hasil yang lebih cepat. Kondisi ini akan membuat kredibilitas otoritas, termasuk Bank Indonesia, menjadi semakin penting mengingat semakin kuatnya peran faktor persepsi dalam menggerakkan pasar finansial dewasa ini. 3
Perekonomian Indonesia : Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Kita harus bersyukur bahwa di tengah dinamika perekonomian dan pasar finansial global yang penuh tantangan dalam beberapa tahun terkahir ini, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 4.5% pada tahun 2009 lalu. Biro Pusat Statistik (BPS) juga baru mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2010 sebesar 6,1%, dengan pertumbuhan di kuartal terakhir sebesar 6.9%3. Hal yang menggembirakan adalah bahwa meskipun faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi domestik, namun kontribusi investasi dan ekspor menunjukkan peningkatan di tahun 2010 ini. Sejalan dengan kinerja ekspor yang positif, neraca transaksi berjalan (current account) juga masih mencatat surplus yang cukup besar, yaitu 6,3 milyar US Dollar. Kuatnya aliran masuk modal asing, baik dalam bentuk investasi langsung (PMA) dan investasi portofolio, berkontribusi terhadap kuatnya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2010, yang mengalami surplus 30,2 milyar US Dollar4. Dengan kinerja NPI yang cukup kuat tersebut, posisi cadangan devisa sampai dengan akhir Desember 2010 tercatat USD 96,2 miliar, setara 7.1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah Hal ini tentu akan menjadi pondasi yang kondusif di tahun-tahun mendatang. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun 2011 akan sedikit lebih tinggi dari 6%, dalam rentang 6%-6.5%. Demikian pula pada beberapa tahun berikutnya. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih relatif lebih rendah dibandingkan beberapa negara tetangga. Hal ini perlu menjadi perhatian dan agenda bersama, agar Indonesia tidak kehilangan momentum. Kapasitas perekonomian domestik harus lebih ditingkatkan agar perekonomian tidak cepat memanas (overheating). Penguatan kapasitas perekonomian harus benar-benar menjadi prioritas bersama untuk mengakomodasi petumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sehat dan berkualitas, sekaligus menjadi kunci bagi upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Terkait hal ini, paling tidak beberapa indikasi positif sudah mulai terlihat dari data realisasi investasi, baik asing (PMA) maupun domestik (PMDN) di tahun 2010 yang cukup tinggi, yaitu Rp 208.5 triliun5 (+/- 23 milyar US Dollar), meningkat hampir 50% dari tahun 2009. Kita semua tentu berharap agar proyek-proyek investasi ini dapat lancar dan segera selesai, sehingga benar-benar dapat meningkatkan kapasitas perekonomian. 3
Biro Pusat Statistik (BPS), 7 Januari 2011. Siaran Pers Bank Indonesia No. 13/4/PSHM/Humas tanggal 8 Februari 2011. 5 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Siaran Pers tanggal 23 Januari 2011. 4
4
Grafik 3 : Perkembangan PDB Indonesia (%, y-o-y) % (y-o-y) 10.0 7.5 5.0 2.5 0.0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
-2.5 -5.0 -7.5 -10.0 -12.5 -15.0 Sumber: Biro Pusat Statistik, Proyeksi Bank Indonesia
Sementara dari sisi harga, sejalan dengan menguatnya kegiatan ekonomi, laju inflasi menunjukkan kecenderungan yang meningkat terutama akibat dorongan kenaikan harga kelompok bahan pangan (volatile foods), terutama akibat perubahan iklim dan gangguan distribusi, sebagaimana juga terjadi di beberapa negara di kawasan. Kondisi ini berpotensi mendorong kenaikan ekspektasi inflasi di tengah dominasi persepsi saat ini, sebagaimana tercermin pada beberapa indikator ekspektasi, baik berdasarkan survey konsumen dan produsen, maupun indikator ekspektasi di pasar keuangan. Grafik 4 : Indikator Inflasi dan Ekspektasi Inflasi Yield SUN
Consensus Forecast
% 11
30 Oktober 2010 30 Nopember 2010
10
31 Desember 2010 9
31 Januari 2011
8 7 6 5 4
30YR
20YR
15YR
10YR
9YR
8YR
7YR
6YR
5YR
4YR
3YR
2YR
1YR
5
Survei Ekspektasi Harga Produsen
Survei Ekspektasi Harga Konsumen
Inflasi tahun 2010 tercatat sebesar 6,96% (yoy), melampaui target inflasi Bank Indonesia sebesar 5% +/- 1% di tahun 2010. Sebagaimana saya singgung sebelumnya, inflasi yang cukup tinggi ini terutama disebabkan oleh komponen volatile foods yang mengalami inflasi sebesar 17,74%. Tekanan inflasi masih berlanjut saat ini, tercermin dari inflasi bulan Januari 2011 sebesar 7,02% (yoy) dan inflasi volatile foods sebesar 18.25% (yoy). Mencermati perkembangan inflasi tersebut, dan untuk memperkuat kebijakan Pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi tekanan harga pangan, khususnya melalui kebijakan pengecualian bea masuk impor beberapa bahan pangan, Bank Indonesia dalam RDG tanggal 4 Februari 2011 lalu mengambil langkah pre-emptive dengan menaikkan BI Rate 25 bps dari 6,50% menjadi 6,75%6. Grafik 5 : Perkembangan Inflasi Indonesia (%, y-o-y) 25.0
IHK 22.5
Inflasi Inti Target Inflasi (batas bawah)
20.0
Target Inflasi (batas atas)
17.5 15.0 12.5 10.0 7.5 5.0 2.5
Oct-12
Jan-12
Apr-11
Jul-10
Oct-09
Jan-09
Apr-08
Jul-07
Oct-06
Jan-06
Apr-05
Jul-04
Oct-03
Apr-02
Jan-03
Jul-01
Oct-00
Apr-99
Jan-00
Jul-98
Oct-97
-2.5
Jan-97
0.0
Pada dasarnya, kenaikan BI Rate tersebut merupakan komitmen Bank Indonesia untuk menjangkar ekspektasi inflasi masyarakat agar tetap sejalan dengan pencapaian 6
Siaran Pers Bank Indonesia No. 13/3/PSHM/Humas tanggal 4 Februari 2011.
6
sasaran inflasi di tahun 2011 sebesar 5%±1%. Bank Indonesia berupaya agar perkembangan inflasi volatile foods tidak memperburuk ekspektasi inflasi pelaku ekonomi. Terlebih bila mengingat bahwa meningkatnya inflasi volatile foods merupakan fenomena yang juga terjadi di negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, langkah kebijakan juga ditujukan untuk mencegah potensi tekanan inflasi dari sisi permintaan, seiring dengan berlanjutnya ekspansi ekonomi di tahun 2011. Salah satu indikasi awal adalah kenaikan laju pertumbuhan uang beredar (M1)7, yang lazimnya menandakan potensi tekanan inflasi ke depan dari sisi permintaan. Perlu juga saya tegaskan bahwa kenaikan BI Rate tersebut juga merupakan langkah Bank Indonesia untuk memperkuat ‘bauran’ kebijakan yang sudah ditempuh sejak tahun 2010 yang lalu8, khususnya melalui langkah pengendalian likuiditas perbankan, baik berupa penyempurnaan strategi operasional manajemen likuiditas (OPT) maupun kenaikan rasio GWM9 Grafik 6 : Uang Beredar (M1) 19
37 YoY, %
31
YoY, %
17 15 13
25
11
19
7.02
13
9 7 5
7
3
1
M1 Nominal-3CMA (+13)
1
Inflasi (RHS)
-1
Sep-11
Feb-11
Jul-10
Dec-09
Oct-08
May-09
Mar-08
Jan-07
Aug-07
Jun-06
Apr-05
Nov-05
Sep-04
Jul-03
Feb-04
Dec-02
May-02
Oct-01
Mar-01
Aug-00
-3
Jan-00
(5)
Dengan langkah kebijakan sebagaimana saya sampaikan, Bank Indonesia optimis bahwa inflasi akan terkendali dan berada dalam kisaran target inflasi yang ditetapkan Pemerintah, yaitu 5% +/- 1% (2011) dan 4,5% +/- 1% (2012)10. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati gejolak tekanan inflasi dan siap mengambil kebijakan yang 7
Lazimnya pertumbuhan M1 (yoy), dikurangi dengan tingkat pertumbuhan M1 rata-rata dalam tiga bulan, mencerminkan tendensi inflasi sekitar 12 bulan ke depan. 8 Siaran Pers Bank Indonesia No. 12/28/PSHM/Humas tanggal 16 Juni 2010 9 Siaran Pers Bank Indonesia No. 12/42/PSHM/Humas tanggal 3 September 2010. 10 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.143/PMK.011/2010 tanggal 24 Agustus 2010.
7
diperlukan secara terukur untuk memastikan agar inflasi sesuai target, mengingat inflasi yang terkendali menjadi prasyarat bagi kesinambungan pembangunan ekonomi dan untuk melindungi daya beli masyarakat luas. Terkait dengan kebijakan nilai tukar, Bank Indonesia akan tetap menempuh langkah untuk mencegah fluktuasi nilai tukar yang berlebihan serta untuk meminimalkan transaksi yang sifatnya spekulatif. Dalam tendensi nilai tukar yang menguat saat ini, Bank Indonesia akan memberikan ruang penguatan yang wajar sejalan dengan fundamental perekonomian dan membaiknya persepsi risiko, untuk mendukung pencapaian target inflasi dan dengan tetap menjaga keseimbangan sisi eksternal perekonomian. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia juga akan menekankan pada langkah pengaturan likuiditas valuta asing, sekaligus untuk mendorong pengelolaan manajemen risiko terkait dengan eksposure nilai tukar, khususnya bagi perbankan. Komitmen untuk menjaga fluktuasi nilai tukar yang wajar, sesuai dengan dinamika dan interaksi di pasar valuta asing, menjadi semakin penting ke depan agar stabilitas di pasar finansial domestik secara umum dapat tetap optimal terjaga, dalam situasi risiko volatilitas pasar finansial global yang diperkirakan masih akan tinggi. Singkatnya, agar tidak menambah ketidakpastian dan agar pelaku ekonomi domestik tidak mudah panik di tengah cukup kuatnya kondisi fundamental ekonomi domestik. Pendalaman Pasar Finansial Sebelum mengakhiri paparan saya pagi ini, saya ingin kembali menekankan perlunya pendalaman pasar finansial domestik. Hal yang harus benar-benar menjadi kepentingan bersama secara konkrit, baik otoritas maupun para pelaku pasar. Upaya ini harus segera terwujud meski harus tetap dilakukan secara bertahap, untuk memberikan kesempatan penyesuaian dan sebagai ‘learning process’. Kita tentu masih ingat, imbas gejolak yang tetap terjadi di pasar finansial domestik ketika krisis global melanda tahun 2008 lalu, meski secara umum perekonomian dan pasar finansial domestik bisa dikatakan relatif dapat bertahan dengan baik. Di pasar uang, persepsi ketatnya likuiditas masih terjadi meskipun stok likuiditas perbankan masih sangat besar. Stok likuiditas memang sangat besar, namun tidak mengalir karena merosotnya kepercayaan antar bank. Hal ini terjadi karena transaksi antar-bank masih didominasi transaksi yang sifatnya ‘un-collateralized’. Kebiasaan seperti ini akan cenderung mengesampingkan pentingnya meningkatkan ke-likuid-an pasar SUN. Dengan kata lain, SUN 8
yang merupakan aset likuid tidak menjadi bagian pengelolaan likuiditas harian perbankan. Saat ini, SUN benar-benar diperlakukan sebatas sebagai risk-free investment, padahal sebagai risk-free asset tentunya return-nya juga yang paling rendah. Dengan demikian, komposisi portfolio perbankan dan institusi keuangan lainnya tentu akan cenderung suboptimal. Selain itu, kecenderungan ini juga menjadikan pelaku pasar cenderung abai terhadap market risk yang melekat dalam SUN sebagai suatu instrumen surat berharga. Akibatnya, pemegang SUN akan cepat panik manakala harga SUN dalam tendensi yang turun karena semua akan bereaksi sama, yaitu menjual SUN. Dengan jumlah SUN yang semakin besar saat ini, maka pendalaman pasar SUN sudah seharusnya menjadi agenda bersama, karena semua pihak jelas memiliki kesamaan kepentingan dengan semakin likuid-nya pasar SUN. Terkait hal ini beberapa inisiatif sudah dilakukan Bank Indonesia, terutama melalui penguatan manajemen likuiditas perbankan dalam pelaksanaan OPT, termasuk menjadikan SUN sebagai eligible asset OPT sejak Februari 2008. Langkah ini dimulai dengan secara bertahap mengurangi kelebihan likuiditas perbankan setiap harinya, melalui penyerapan kelebihan likuiditas ke dalam instrumen SBI dengan tenor yang lebih panjang dan term deposit. Hal ini dimaksudkan agar manakala terjadi kekurangan likuiditas pada saat tertentu, perbankan dapat me-repo-kan SUN-nya untuk memperoleh likuiditas sementara. Bank Indonesia tetap berkomitmen untuk menyediakan likuditas yang cukup setiap harinya, meskipun bukan dengan pendekatan membiarkan likuiditas berlebihan dan baru menyerap sisanya di akhir hari. Secara bertahap, Bank Indonesia akan mengambil pendekatan yang berbeda, yaitu menyerap terlebih dahulu kelebihan likuiditas, baru kemudian menambah secara temporer kekurangannya melalui transaksi pembelian SUN secara repo. Hal ini selain untuk memperkuat manajemen likuiditas harian perbankan, sekaligus agar perbankan terbiasa bertransaksi secara repo,. Terkait dengan upaya pendalaman pasar keuangan, hal yang saat ini sedang dalam tahap penyiapan adalah aktivasi transaksi ‘try-party’ repo dalam OPT Bank Indonesia untuk menyerap kelebihan likuiditas. Dalam hal ini, Bank Indonesia akan meminjam (borrow) SUN dari berbagai institusi keuangan (dana pensiun dan asuransi) untuk selanjutnya menggunakan SUN tersebut dalam transaksi reverse repo kepada perbankan untuk menyerap kelebihan likuiditas.
9
Terkait dengan transaksi ‘try-party’repo tersebut, dana pensiun dan asuransi akan memperoleh fee atas SUN yang dipinjam Bank Indonesia, sehingga dapat memperoleh tambahan income untuk mengkompensasi custodion fee. Dana pensiun dan asuransi tidak akan menghadapi counterparty risk mengingat counterparty transaksi adalah Bank Indonesia. Termasuk terhadap risiko tidak kembalinya SUN yang dipinjamkan (di-lendingkan) ke Bank Indonesia, manakala terdapat bank yang tidak dapat mengembalikan SUN yang dibeli secara repo dari Bank Indonesia, Bank Indonesia yang akan menanggung risiko tersebut dengan mencarikan pengganti SUN dengan seri yang sama.
Penutup Sebagai penutup saya ingin menegaskan komitmen Bank Indonesia untuk menjaga inflasi sesuai dengan sasaran yang sudah ditetapkan, meskipun dalam kondisi yang seringkali semakin dilematis dan pilihan kebijakan yang semakin kompleks. Dengan demikian, akan terwujud kondisi yang diperlukan bagi pembangunan ekonomi yang tidak saja tumbuh lebih tinggi, namun juga yang lebih berkualitas dan berkesinambungan. Dalam posisi dan sudut kepentingan masing-masing, kita semua memiliki tanggung jawab untuk itu. Kita tetap harus optimis, namun senantiasa waspada dan terus meningkatkan kemampuan dalam mengelola risiko mengingat situasi ke depan masih akan sangat dinamis dan penuh tantangan. Terima kasih dan semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan membimbing kita semua. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
10
Referensi: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Siaran Pers, 23 Januari 2011. Bank Indonesia (BI), Siaran Pers. Berbagai edisi. Bank Indonesia (BI), Laporan Kebijakan Moneter (LKM). Berbagai edisi. Biro Pusat Statistik (BPS), Siaran Pers. Berbagai edisi. G20, ‘The G20 Seoul Summit Leaders’ Declaration’, November 11-12, 2010 International Monetary Fund (IMF), ‘World Economic Outlook Update’, January 25, 2011 Institute of International Finance (IIF), ‘Capital Flows to Emerging Market Economies’, January 24, 2011.
11