SUTARDJI CALZOUM BACHRI DALAM KONSTELASI TANGGAPAN APRESIATOR

-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

SUTARDJI CALZOUM BACHRI DALAM KONSTELASI TANGGAPAN APRESIATOR Suyitno Universitas Sebelas Maret

Abstrak Sebagai gejala komunikasi khas puisi bertalian dengan: penyair, teks puisi, unsur semantis, unsur artistik, dan persepsi puisi. Landasan iloso is fenomenalogi dan neopositivisme digunakan secara saling melengkapi dalam penelitian kon irnatorik-diskriptif ini. Penelitian ini bersifat reinterpretasi historis. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan sample tulisan para apresiator kreatif. Data analisis secara low model of analisis yang ketika sampai di tahapan conclution drawing pun berlabel tentatif dan senantiasa diver ikasi saat penelitian ini masih berlangsung Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tanggapan para apresiator kreatif terhadap puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri bersifat dikhotomatik pro dan kontra seperti tercermin dalam ekserpsi ini Kata kunci: apresiatif kreatif, fenomelogi, neopositivisme, kon irmatorik-deskriptif, reinterpretasi historis

Pendahuluan Tercatat dalam sejarah sastra Indonesia, pada tanggal 30 Maret 1973, di taman Ismail Marzuki-Jakarta dunia perpuisian Indonesia dikejutkan oleh kemunculan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri bersama Kredo puisinya yang mengembalikan kata kepada mantra. Wawasan Teoretik Sutardji Calzoum Bachri dalam menciptakan puisi berasaskan konsep kekonkretan pengertian, kekonkretan otonomi sebuah kata sebagai pengertian itu sendiri yang bebas menegakkan kedaulatan secara mandiri dan bukan sebagai alat fungsional seperti halnya pipa yang mengalirkan air. Peradilan waktu dan proses dunia kreativitas melahirkan beragam pembelaan dan gugatan sebaliknya Dami N Toda (1984: 77) dalam “Tahap perkembangan wawasan estetika perpuisian Indonesia” menyatakan bahwa dilihat dari bentuk dan corak puisi-puisinya Sutardji Calzoum Bachri dengan konsep kredonya terang-terangan menolak prinsip yang dikeluarkan oleh Chairil Anwar sebagai seorang pelopor angkatan 45. ..........Estetika Chairil Anwar bertolak dari etosnya kata/bahasa, sedangkan estetika Sutardji Calzoum Bachri bertolak dari pathosnya kata/bahasa sebagai makhluk perpuisian dan didasarkan kembali kepada kebaharian fantasi yang menjadi induk atau moyang dari pada lahirnya puisi. Jadi jelasnya kalau dianggap beda maka terletak bedanya hanya dalam melihat esensi kata/bahasa itu. Perbedaan konsep dalam penggunaan kata/bahasa yang dianggap melahirkan bentuk baru terhadap perkembangan perpuisian Indonesia mutakhir. Pernyataan ini diucapkan pula oleh Herman J. Waluyo dalam “Beberapa kecenderungan Mutakhir Puisi Indonesia” bahwa munculnya Sutardji Calzoum Bachri dalam dunia perpuisian Indonesia dipandang sebagai warna kuat untuk munculnya wajah baru puisi Indonesia. Hal itu mengingat Sutardji telah mendobrak konvensi yaitu menolak penjajahan makna. Selanjutnya pernyataan Dami N. Toda yang menempatkan Sutardji Calzoum Bachri sejajar dengan Chairil Anwar lebih banyak dikutip penanggapan-penanggapan lain di antaranya: Ray Rizal, Herman J. Waluyo, Damiri Mahmud, dan masih banyak lagi Abdul Hadi M.W menganggap Sutardji Calzoum Bachri sebagai pembaharu “estetika” perpuisian Indonesia setelah Chairil Anwar, juga sebagai pelopor kesadaran dalam berpuisi. 322


Dikatakan Subagio Sastro Wardoyo, bahwa Sutardji Calzoum Bachri merintis genre baru di Indonesia dan Sutardji Calzoum Bacri memiliki orisinalitas dan bagi penyair itulah justru yang penting. Menurut perkembangan sajak modern Indonesia yang pernah dikuasai oleh sajak naratif sebangsa Rendra, oleh Sutardji Calzoum Bachri dikembalikan kepada rel Chairil Anwar yang bertolak dari sikap dan pandangan ilsafat Sutardji telah membebaskan sajak dari cerita cerita, dari situasi manusia yang aksidental Rendra dalam tanggapannya mengatakan bahwa Sutardji Calzoum Bachri adalah salah satu penyair besar yang dimiliki Indonesia. Sutardji Calzoum Bachri sesungguhnya tidak mencari kepuasan pengucapan sendiri karena bertolak dari pendapat yang mengatakan bahwa seni sastra mempunyai kedudukan yang istimewa karena dinyatakan melalui kata-kata yang mengemukakan konsep yang menjelma ide. Selanjutnya menurut Rendra, Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya melakukan pendalaman isi. Sedangkan bagi Saini K.M, Sutardji Calzoum Bachri adalah salah seorang penyair terbaik saat ini. Hal ini diungkapkan dalam tanggapan bersama “Sutardji adalah penyair besar” dikatakan dalam tanggapan bahwa pilihan kata dalam sajak Sutardji Calzoum Bahri terasa pekat dan spiritual. Sedangkan bagi Budi Darma Sutardji diibaratkan Affandi. Ketiganya menanggapi dan con idential sepakat berpendapat bahwa ide atau opini dalam sajak tidak hanya berupa isi, pikiran, melainkan menyangkut suasana batin, naluri serta apa yang dapat ditangkap panca indera. Wawasan teoretis penyair terhadap kata dan dunia penciptaan puisi tercakup dalam kredo puisi Sutardji, yang berisi wawasan kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dan beban ide. Pendapat ide ini ditulis dalam tanggapan Dami N Tado “ puisi-puisi luka Sutardji Calzoum Bachri “Dami N Tado juga membahas realisasi puisi Sutardji atas konsep kepuitisan dan kredo puisi Sutardji dalam kumpulan puisi berjudul O (1973), Amuk (1977), Kapak (1979) secara lengkap dan cukup mewakili. Dr A Teuw dalam tanggapannya mengatakan bahwa kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri, yang berisikan wawasan teoritis tentang kata dan penciptaan puisi menyebabkan pembaca mengalami kesulitan memahaminya. Selain Teeuw menganggap bahwa keterangan Sutardji Calzoum Bachri memang mengandung ketakjelasan. Menurutnya, walaupun bagaimanapun juga kata adalah alat, yang juga oleh Sutardji Calzoum Bachri sendiri dipergunakan, dipermainkan untuk menguasai realitas dalam situasi komunikasi secara puisi, kata tidak menjadi alat menjadi tidak berfungsi, kehilangan relevansinya. Dalam komunikasi, kata khususnya dan bahasa pada umumnya dengan sendirinya kata dijadikan alat. Kata tanpa pengertian tidak mungkin, dalam arti kata yang tidak berpengertian akan kehilangan cirinya yang khas sebagai bahasa, kata akan jatuh sebagai bunyi saja Tanggapan Teeuw yang diberi judul “Terikat dalam pembebasan kata”dengan tendesius menampik konsep kepenulisan puisi Sutardji Calzoum Bachri. Teeuw berpegang pada prinsip konvensional yang telah kita kenal bahwa sajak per de inisi adalah bahasa. Sedangkan bahasa tiap de inisi adalah makna penyair manapun juga tidak pernah dapat melepaskan diri dari konvesi bahasa utama, yaitu konvensi bermakna. Mengenai kekuatan dan ke orisinalan pendekatan Sutardji, Teeuw menyangkal. Selanjutnya Teeuw mengatakan untuk konvensi pribadi Sutardji Calzoum Bachri prinsipnya hanya dua kemungkinan nantinya: kalau puisinya ternyata mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia konvensi tersebut akan ditelan dan dicernakan bahasa Indonesia menjadi unsur bahasa Indonesia tersebut, atau puisinya akan tinggal sebuah fashion sastra, gejala dalam masyarakat bahasa Indonesia, yang dengan sendirinya akan menghilang dengan potensi bahasa itu lebih kuat dari potensi seorang penyair individual. Waktu besar dan perjalanan proses akan membuktikan. Damiri Mahmud dalam “Kredo dan Kreatif Keberanian” mengungkapkan bahwa sajak Sutardji Calzoum Bachri mengumumkan kredonya banyak sekali pengamat dan kritikus terkecoh oleh kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri senantiasa dikaitkan dengan kredonya 323


dan terus dituntut supaya ia tetap konsisten dengan kredonya. Gunawan Muhammad pernah mengatakan di Horison bahwa Sutardji Calzoum Bachri dengan kredonya menjadi pemikir yang telah kuat ketimbang Chairil Anwar. Pengamat pada umumnya apabila membicarakan dan membongkar sajak-sajak Sutardji senantiasa sesuai dengan kredonya dan jika ditemui ada yang menyimpang, maka Sutardji akan dinilai tidak konsisten lagi. Pada hal menurut Mahmud sebenarnya kredo digunakan, dipakai sebagai salah satu tanda untuk menguatkan kedekatan kita dalam mendekati sajak sajak Sutardji Calzoum Bachri selanjutnya dengan kenyataan tanggapan-tanggapan yang ada itu, maka dalam tanggapan Damiri Mahmud menampik pendapat-pendapat pengamat yang mengatakan mengharuskan kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri relevan dengan kredonya dan dapat diingkari dalam puisi-puisi. Karya Sutardji selepas “O Umuk Kapak” memang sudah tidak tampak lagi sebagai suatu misal, pendapat Teeuw yang ikut mempertaruhkan perkembangan kepenyairannya dan Damiri berpendapat dan memperlihatkan contoh dalam kumpulan Kampak, ternyata Sutardji Calzoum Bachri telah kembali membuat kredo baru yang telah memperlihatkan wawasan kepenyairannya yang baru itu tidak lagi :” Kata” tetapi “bahasa” . Sebagai penyair ia tidak lagi membiarkan kata-kata menari dan meloncat di atas kereta supaya bebas dari penjajahan pengertian, tapi sekarang malah berperan untuk menemukan bahasa. Sutardji dalam pengatar Kapak mengungkapkan “.....yang tidak menemukan bahasa tak pernah tersebut sebagai penyair. Saya menyair karena itu saya menemukan bahasa saya “. Dengan demikian Damiri Mahmud mengakui bahwa Sutardji Calzoum Bachri belum selesei dan belum berhenti kreativitasnya sebagaimana telah dibuktikannya masih berkembang dalam sajaksajaknya dan seorang penyair tidak harus konsisten dan senantiasa punya hubungan dengan kredo atau konsep kepenyairannya. Selanjutnya tanpa menyangkal dan mempertentangkan pendapat yang dilontarkan Dami N Toda dengan pendapat A Teeuw. Mirmo Saptono menanggapi puisi Sutardji Calzoum Bachri selepas kumpulan O Amuk Kapak. Jika tema-tema dengan kumpulan O Amuk Kapak nya berkutat pencarian, kematian, keterpencilan, luka kegagapan, dan kekosongan manusia. Menurut Mirmo Saptono, puisi puisi baru Sutardji Calzoum Bachri menunjukkan perubahan dan perkembangan kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri. Dia melihat dalam puisi puisi terbaru itu sifat religius dan sosial telah terlepas dari estetikanya sendiri yaitu kekhasan pola puisi Sutardji Calzoum Bachri pola mantra menuju puisi-puisi baru seperti ”cermin” dan “David Compper ield, realitas 90”. Kata berfungsi sebagai alat untuk mengantarkan pengertian (makna), bukan sebagai lambang seperti dalam kredonya. Mirmo Saptono menganggap di situlah letak inkonsistensi Sutadji Calzoum Bachri dan dia menyodorkan alternatif bagi Sutardji Calzoum Bachri untuk membunuh kredonya. Menurut Mirmo Saptono perubahan rohani Sutardji Calzoum Bachri semenjak naik haji menjadikan Sutardji menganggap mantra tak lagi mampu menuangkan realitas sosial yang ada. Dengan sudut pandang yang demikian, Mirmo Saptono kembali beranggapan bahwa ramalan Teeuw apakah nantinya hanya tinggal fashion saja karena sudah mulai menghilang kredonya telah terbukti dan dia menganggap Sutardji Calzoum Bachri telah menggeser konsep estetisnya dalam puisi-puisi barunya. Nyoman Tusty Eddy, melontarkan tanggapan bahwa apabila menyimak dan diamati dalam, ternyata puisi dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri masih kita dapati unsur-unsur konvensional. Sesungguhnya merupakan konsekuensi yang tidak disadari dari olah kreativitas seniman sifat dasar dari karya seni. Karya seni bersifat ahli kemutlakan. Betapapun diciptakan dari gagasan pembaharuan unsur-unsur konvensional di dalam karya seni tersirat di dalamnya secara lugas atau samar-samar. Menurutnya, pengingkaran konvensi dari seorang penyair merupakan kodrat eksistensi seorang penyair sebagai seniman. Dalam

324


realisasi karyanya Sutardji Calzoum Bachri melakukan eksperimen paling spektakuler dalam sejarah sastra Indonesia, ia menolak prinsip umum tentang makna kata. Dilihat dari sudut konsep dan prinsip kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, pengamat akan menyangka puisi-puisi Sutardji benar-benar terbebas dari unsur konvensional. Pembebasan makna dari maknanya menerjemahkan akan membebaskan puisi sebagai seni bahasa yang bermakna. Puisi hanyalah suara dalam jalinan irama. Pola larik telah lenyap dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri karena biogra inya sangat bebas dengan variasi yang sangat kompleks. Rima tidak lagi menjadi idaman penyair. Dari kenyataan faktual seluruh karya-karya Sutardji Calzoum Bachri menggambarkan apa yang tertuang dalam konsep kepenyairannya. Dalam beberapa bagian pada kkumpulan puisinya masih dijumpai unsur-unsur konvensional. Dengan demikian menurut I Nyoman Thusti Eddy, ditinjau dari segi kepenyaira Sutardji Calzoum Bachri puisi-puisi kumpulan O Amuk Kapak dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu yang selaras dengan kredonya dan yang tidak selaras dengan kredonya. Pada sebagian besar puisi Sutardji Calzoum Bachri larik-lariknya melahirkan makna kias atau simbolik dan menggambarkan situasi tertentu yang khas pula. Hal inilah yang menutup unsur konvensional di dalamnya, sehingga segala tampak baru. Sebagian contoh adalah puisi “Ah” yang judulnya lebih mengacu ucapan rasa. Lariknya menunjukkan perumusan ide secara verbal, bahasa melalui kata bermakna memegang peranan, gaya ungkapan menurut tradisi. Namun pengingkaran konvensi dapat dilihat dari penempatan kata-kata yang menyimpang dari kata sintaksis. Kata-kata yang disusun menimbulkan makna yang khas sekedar suara belaka yang memang merupakan salah satu aspek kredo kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri bahwa kata adalah makna itu sendiri selain itu banyak tipuan tipogra i dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri sebagai contoh Nyoman memperlihatkan puisi Sutardji berjudul “Mari”. Pada akhirnya Nyoman Thusthi Eddy menanggapi bahwa dengan kenyataan kodrat kepenyairan seorang tidak mungkin dan menolak kehadiran pengalaman tradisinya dalam karya-karya ciptaannya maka unsur konvensional yang muncul dalam puisinya bukanlah pengkhianatan. Walaupun Sutardji Calzoum Bachri menjadi pemberontak konvensi yang tangguh. Sikap Sutardji Calzoum Bachri atas kredonya menurut Korrie Layun Rampan dalam esainya “Amuk” tidak konsisten walau tidak bebas, tidak konsisten walau tidak bebas dalam kata-katanya tetap bersemayam ide? Efek magis dan beberapa perulangan mengingatkan pada mantra masih bertahan pada pengertian diskursif, sehingga tetap dalam panduan yang utuh dalam berbagai nuansanya. Tanggapan Korrie ini mengungkapkan kekuatan Sutardji Colzuom Bachri menampilkan nilai religius dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak dengan contoh puisinya “ah” pengarah su isme dirasa masih dominan, kemudian mengungkapkan suatu gambaran asosiasi dan imajinasi yang komplit dalam gambaran asosiasi dan imajinasi yang komplit dalam gambaran batin sang “aku” penyair yang telah terjun ke lubuk dunia su i. Kegelisahan menjadikan Sutardji Calzoum Bacnri selalu berinovasi. Sutardji Calzoum Bachri melahirkan karya-karyanya dengan menggunakan pola mantra karena Sutardji Calzoum Bachri menciptakan puisi adalah mengembalikan kata kepada mantra. Namun perlu diingat bahwa puisi-puisi Calzoum Bachri bukan alat untuk memanggil makhluk gaib tetapi dia hanya menggunakan pola mantra sebagai ekspresinya Selanjutnya di ungkapkan Kazzani dalam tanggapan “sedikit tentang penggambaran Sutardji Calzoum Bachri bahwa untuk memahami sajak sajak Sutardji Calzoum Bachri apabila dihadapi sepintas kilas terasa membingungkan. Tanggapan ini hanya membahas ciri khas dalam puisi Sutardji menyangkut tema dalam puisi O dan Amuk. Kazzani mencoba memaparkan gambaran singkat pengembangan Sutardji Calzoum Bachri lewat sajaknya yang ditanggapi bahwa Sutardji Calzoum Bchri mengalami keresahan jiwa dalam mencapai tujuannya.

325


Saini K.M yang menanggapi sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan bahwa sifat religius dan gaya mantra menjadi ciri khas puisi Sutardji Calzoum Bachri sebagai contoh sajak “kucing”, yang menyiratkan betapa otentik kerinduan penyair kepada Tuhan. Penggunaan bahasanya yang seperti dalam mantra berhasil mengungkapkan pengalaman manusia mutakhir, sehingga Sutardji Calzoum Bachri berhasil pula mendobrak situasi Epigoisme pada saat itu Dody Mardanus cenderung tertarik menanggapi puisi berjudul kalian sebagai puisi terakhir kumpulan puisi Amuk Karya Sutardji Calzoum Bachri pemilihan puisi ini atas dasar pertimbangan bahwa kesajakan puisi itu cukup membutuhkan penjelasan. Selain itu puisi tersebut dianggap merupakan semacam pernyataan pengunci dari kumpulan Amuk puisi “Kalian” yang berisi kata “pun” merupakan puisi terpendek menantang dan memancing. Bahkan pernah disinggung sebagai suatu pertanyaan buntu, frustasi, selesai, dan habis Menurut Dody untuk mengetahui dan menafsirkan puisi “Kalian” harus mengaitkan seluruh isi puisi yang berkumpul dalam Amuk, berjumlah empat belas sajak yang mendahului hal tersebut dimaksudkan supaya kepadatan dan kekentalan makna yang terkandung puisi kalian dapat diungkap puisi kalian menurut Dody merupakan miniatur secara hierarkis mendeteksi seluruh sajak yang ada dalam kumpulan Amu. Fase pun telah cukup mengimplisitkan kehendak kesamarataan manusia di tangan kegiatan kemanusiaan atau ketakmanusiaan itu sendiri Kehadiran puisi-puisi Calzoum Bachri menjadikan banyak pengamat mencoba mengamati Abdul Hadi W.M menyatakan bahwa Sutardji Calzoum Bacri adalah penyair selalu berpegang teguh pada inovasi dan kedalaman, selalu berangkat dari penghayatan penuh terhadap kehidupan ‘akunya” sehingga mencapai mengucapkan yang maksimal yang jarang sekali di capai penyair Indonesia lain. Sutardji Calzoum Bachri sebagai pelopor kesadaran baru dalam Sastra Indonesia Modern. Sutardji Calzoum Bacri sebagai pelopor puisi mantra berhasil karena sanggup memberikan di dalamnya jiwa dan spirit manusia masa kini. Kedalaman Sajaknya terjaga baik pembaharuan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri termasuk ciri khas penulisan puisinya. Bahasa-bahasa yang dipakainya adalah bahasa mantra, yang cirinya sulit dipahami tetapi sangat indah didengar. Diungkapkan oleh Widjaya dalam tanggapannya berjudul “Puisipuisi Sutardji Calzoum Bachri berbau mantra”. Selain itu penyimpangan pola penggunaan bahasa justru merupakan ciri orisinalitas Sutardji Calzoum Bachri dibanding dengan penyair lainnya. Pola penyimpangan dalam penggunaan bahasa yang terdapat dalam puisi Sutadji Calzoum Bachri pada dasarnya merupakan perubahan prilaku sintaksis kata. Dalam puisi berjudul “Solitude”, misalnya, terjadi pergeseran kelas kata sekitar kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata tugas. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai kejelasan citraan dengan makna menghujam tanggapan ini dilontarkan oleh Abdul Rozak Zaidan dalam tanggapannya berjudul “Banyak pergeseran kata pada Puisi Sutardji”. Dalam perkembangan puisi modern Indonesia, suatu hal yang penting yaitu bahwa puisi adalah amanat dan pemikiran. Umar Yunus dalam Tokoh Sutardji Calzoumm Bachri Indonesia dan Melayu” Mengungkapkan bahwa banyak penyair setelah Chairil Anwar tidak melakukan perubahan yang berarti. Sutardji Calzoum Bachri telah memberikan suatu perubahan yang berarti. Dia tidak memberikan tekanan kepada penyampaian amanat. Puisi baginya adalah puisi, dan ia tunduk kepada hukumnya sendiri, tidak kepada pemikiran yang ingin disampaikan. Puisi bagi Sutardji Calzoum Bachri adalah permainan yang didasarkan asosiasi dengan asosiasi bunyi utama. Dengan sifat mantra, Sutardji Calzoum Bachri berhasil menciptakan keduniaan sendiri, yang dapat dicapai dengan perulangan dengan asosiasi. Sajak Sajak Sutardji Calzoum Bachri termasuk Ovant Grade yang memiliki ciri khas sulit masuk dalam konvensi persajakan yang ada. Bertolak dari persepsi takdir yang menganggap bahwa Sutardji Calzoum Bachri tidak bermakna dalam bahasa manusia, menunjukkan bahwa 326


takdir yang menganggap Sutardji Calzoum Bachri tidak bermakna dalam bahasa manusia, menunjukkan bahwa takdir memiliki konsep estetika yang bertolak belakang pada kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri sehingga pemunculan apresiasi yang tidak akurat selalu terjadi. Ray Rizal dalam tanggapannya berusaha menyimak persepsi takdir dalam kaitan konteks nya dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri terutama pada kumpulan “O dan Amuk”, harus menyimak konsep estetis penyair, agar dalam menyelami kreativitas penyair, Ray Rizal menyatakan bahwa setelah O Amuk Kapak di dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri suatu kecenderungan baru. Hal tersebut terlihat pada kemunculan kemunculan sajak-sajak baru Sutardji berjudul “tanah Airmata”, “cermin”, David Copper ield, realitas “90”, “pemulung”,, “Idul iri” dan berdepan depan dengan kabah. Puisi-puisi baru tersebut memperlihatkan kesungguhan Sutardji Calzoum Bachri menciptakan karya-karya puncak Sutardji Calzoum Bachri mampu menghadirkan sesuatu yang dekat dengan diri kita, tentang persoalan yang sering kita rasakan. Selanjutnya tentang puisi puisi Sutardji Calzoum Bachri, apabila tidak dibaca di panggung, menurut Rendra, maka golongan awam akan menganggap sajak itu tidak memiliki ide atau sulit dipahami, karena unsur tipogra inya yang berbeda pada umumnya. Pilihan kata-katanya menurut Budi Darma, kaya akan nuansa perasaan, idenya telah membau dan seimbang dengan estetika Menurut Leon Agusta, ke dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri terletak pada ekspresi pendalaman jiwa penyairnya. Lewat sajak-sajaknya Sutardji Calzoum Bachri seperti seseorang yang memiliki rasa ke-Tuhan-an yang sangat dalam lewat “kapak Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan soal maut. Hal ini dicontohkan dalam puisi yang berjudul “hemat”, “tulisan pada makam” selain itu, ekspresi Sutardji Calzoum Bachri dalam membacakan sajaknya selalu total dengan gaya yang khas. Kandungan unsur Ekstra Estetika dan unsur estetika lebih banyak ditanggapi Dami N Toda secara intens dalam puisi. “puisi-puisi luka Sutardji Calzoum Bachri” Dami N Toda menyebutkan bahwa tanda gamblang pada sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri tercermin misalnya pada penulisan larik yang di jajar-jajar, keagungan bahkan kemacetan akar-akar kata tanpa a iksasi, dan penggunaan metafora dan simile yang langsung. Penampilan seperti tersebut di atas merupakan keberanian tersendiri. Menurut Herman J. Waluyo dalam tanggapannya berjudul “beberapa kecenderungan mutakhir puisi Indonesia”, Sutardji Calzoum Bachri “meteor “ yang muncul dalam khasanah sastra Indonesia, selanjutnya diungkapkan pula bahwa Sutardji Calzoum Bachri menghidupkan kembali mantra ujud pengucapan yang khas. Struktur estetik maupun ekstra estetik puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri sangat memukau. Pengungkapan tanggapan yang cukup memperjelas keberadaan Sutardji Calzoum Bachri sebagai pelopor penyair generasi mutakhir mengenai kehadiran Sutardji dengan puisi-puisi baru kumpulan “O Amuk Kapak”, ternyata cukup banyak mendapat tanggapan antara lain “Sutardji dan Sulapan”oleh Eko Tunas, yang menanggapi puisi “David Copper ield, Realitas “90”, dari segi penulisannya mengalami perkembangan mengarah pada realitas kata yang sederhana, sebagai penyair ternyata Sutardji Calzoum Bachri pantas memperoleh sebutan sebagai penyair su i modern, yang mula-mula ditegaskan oleh Aly Hasmy lalu dikuatkan oleh Abdul adi W.M. Tanggapan ini diungkapkan oleh Rosihan Anwar dalam tulisannya berjudul “Sutardji menjerit depan Daud Beurereh”, yang isinya tentang penyebutan Sutardji memperoleh pengalaman mistik saat berhadapan dengan Tengku Muhammad Daud Beureh, seorang ulama Aceh. Penutup Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “para penyair, “sampai”, dan “Idul itri” isinya menunjukkan kematangan pribadi dalam perenungan yang su istik, bersifat edukatif, dan penuh kearifan. Hal ini ditanggapi oleh Yant Mujiyanto dalam tanggapannya “para penyair sampai idul itri”, dengan pokok pembahasan mengenai unsur ekstra estetik dilihat dari kedalaman isinya. 327


Secara dalam puisi-puisi tersebut ditanggapi dan ternyata menurut Yant Mujiyanto, puisipuisi tersebut mengungkapkan kearifan yang menunjukkan kematangan penyair yang sanggup menaklukkan luka dan tragedi hidup. Puisi-puisi tersebut juga menghadirkan rendah hati penyairnya selanjutnya disinggung mengenai struktur lahir dan batin, ternyata mengedepankan nilai kreativitas tinggi karena inovasi, orisinalitas, otentik, dan unik. Mengenai tipogra inya, ternyata puisi “para penyair sama dengan kumpulan “O Amuk Kapak” yaitu yang berjudul “Hujan”, “Bayangkan”, “Mari”, “Biarkan”. Unsur estetik dan unsur ekstra estetik puisi puisi Sutardji Calzoum Bachri ternyata selain membuahkan pembaharuan pengisi sejarah perpuisian Indonesia juga menambahkan konstelasi pendapat pro dan kontra.

Daftar Pustaka Abdul Hadi, W.M 1977. Juli. “Amuk, Sutardji Calzoum Bachri: Sebuah Penjelajah Estetika & Metalistik”. Berita Buana. H. 6 ---------.1979, Juli. Sutardji tentang puisinya dan Puisi Kita Kini.”Makalah, 19 Abdul Razak Zaidan. 1983. Maret. “Banyak pergeseran Kata pada Puisi-puisi Sutardji”. Kompas,12.H.6 Aminudi. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang Sinar Baru --------- 1990. Sikitar Masalah Sastra. Malang: Sinar Baru ---------1990 Pengembangan penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan Asih Asuh Dami N Toda. 1984. “Tahap Perkembangan Estetika Perpuisian Indonesia”. Dalam Hambahamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan. ---1984. “Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri”. Dalam Hamba-hamba Kebudayaan, Jakarta: Sinar Harapan ---1984. “Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri”. Dalam Hamba-hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan Damiri Mahmud.1985, Agustus. “kredo dan Kreatif Keberanian “. Berita Buanana, 13.h.4,8. Dody Mardanus.1981. Februari. “Ngiru Mencari Tuhan”. A-B,28.h.5 Eko Tunas.1992, Maret. “Sutardji dan Sulapan. Suara Merdeka Herman.J. Waluyo.1987.Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga ----1987. “ Beberapa Kecenderungan Puisi Indonesia Mutakhir”. Dalam Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga ---1991. Kritik Sastra Surakarta. Sebelas Maret University Press. ---1991. Penelitian Kualitatif Surakarta: Sebelas Maret University Press Kazzaini.1990. Januari.”Sedikit tentang pengembaraan Sutardji Calzoum Bachri. Berita Buana, 26.h.6. Korrie Layun Rampan. 1978. Januari. “Amuk Sutardji Calzoum Bachri”. Suara Karya 6.h.6 Leon Agusta.1979. Juni. “Sutardji Calzoum Bachri Baca Sajak dengan Kapak”. Majalah Horison Lexy J. Moleong. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja Rosdakarya

328


Mirmo Saptono.1991, Maret. “ Presiden penyair Membunuh Kredo: Menggeserkan Konsep Estetis”. Bernas Noeng Muhadjir. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Raka Sorasin Nyoman Tuthi Eddy.1987, September. “ Unsur-unsur Konvensi dalam Puisi Sutardji Calzoum Bachri”. Berita Buana, 1h.4. Attention: Pradopo Rachmat Djoko. 1985. Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya, dalam Sulastin dkk. Bahasa dan Budaya Yogyakarta: Gajah Mada University Press ----1987. Pengkajian Puisi Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ray Rizal.1992, Febuari. “Ersepsi Takdir Tentang Sajak-sajak Sutardji”. Suara Pembaharuan.7.h.12. Rendra, Saini KM, Budi darma (Rangkuman).1992, Januari. “Sutardji adalah Penyair Besar. Rosihan Anwar.1996. Nopember. Sutardji menjerit depan Daud Beure eh. Majalah Pertiwi, h.15. Sain. Km. 1974. September. “Sajak berjudul “batu” oleh Sutardji Calzoum Bachri” Suara Rakyat. 18h.5 Subagio Sastrawardojo, 1998, Juli. “Yang mencurigai Kata”. Tempo, no. 50. Sutardji Calzoum Bachri. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar harapan. Sutardji Calzoum Bachri. 1984. Juli. Generasi 1970-an dan kesadaran Baru dalam Sastra Indonesia. Berita Buana, 31.h.4 Suyitno.1986. Satra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata.. Jakarta: Pustaka Jaya -------1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia -------1983. Terikat dalam pembebasan kata”. Alam tergantung pada Kata Jakarta: Pustaka Jaya Umar Yunus. 1981. “ Puisi Melayu dan Puisi Indonesia Kini”. Jakarta: Bhrata Karya Aksara Wawan Hamzah Arfan.1989. April. Sutardji dalam ajak Idul Fitri Berita Buana, 25.h.4 Widjaya.1987, Maret. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri berbau Mantra”.Terbit, 21.h.6 Yant Mujiyanto.1989,Oktober. Para Penyair sampai “idul itri”. Makalah PIBSI XIII.IKIP Veteran, Sukoharjo. Zaenudin,H.M.1980. Januari. Sutardji merambah Shirotol Mustaqim”. Berita Buana, 26.h.7

329

SUTARDJI CALZOUM BACHRI DALAM KONSTELASI TANGGAPAN APRESIATOR

Recommend Documents