EKSISTENSI PEREMPUAN PEKERJA RUMAHAN DALAM KONSTELASI RELASI GENDER Triana Sofiani*
Abstrac: The contribution given by the real of Ho‘me Women Workers, though it seemed almost in the whole scope of life, but their presence does not count, either by families, communities, institutions and state support. This happens because they are women, which of course in the constellation of gender relations, any work undertaken by women’s reproductive work considered the economic and of course it doesn’t need to get respect like that done by men. As a result, the work done by home women workers work only as a shadow or work under the surface. So in the informal sector are not monitored and there are no statistics report on the state, even in the free area legal protection. Kata Kunci: Perempuan, Sektor Informal, Relasi Gender
PENDAHULUAN Berangkat dari anggapan bahwa, sejak dini perempuan telah disosialisasikan mempunyai sifat memelihara, rajin dan telaten atau biasa disebut dengan sifat feminim, sebaliknya kaum laki-laki menyandang sifat kuat, perkasa dan berbagai sifat maskulin lainnya. Akhirnya membawa implikasi pada dikhotomi peran gender, yaitu urusan domestik (rumah tangga) menjadi tanggungjawab perempuan dan urusan publik menjadi tanggungjawab laki-laki. Dikhotomi domestik –publik ini, linier dengan pembagian kerja produktif – reproduktif. Kegiatan produksi selalu dikaitkan dengan kerja upahan di sektor publik dan ini menjadi bagian laki-laki. Sedangkan kegiatan reproduksi selalu dikaitkan dengan kerja tanpa upah dan berada di sektor domestik serta menjadi bagian dari perempuan. Pemahaman semacam inilah yang sesungguhnya ikut memproduksi realitas tentang stratifikasi bidang kegiatan, dimana bidang publik mempunyai nilai lebih tinggi dari sudut sosial maupun ekonomi daripada bidang domestik (Mansour Fakih, 1999: 22-23). Di sisi lain, pembagian peran tersebut juga menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap sumberdaya sosial maupun ekonomi. Secara sosial perempuan dipandang sebagai warga kelas dua, inferior yang berada di bawah dominasi laki-laki. Sedangkan secara ekonomi perempuan menjadi sangat tergantung pada suami dan kalaupun bekerja, ia ( baca: perempuan) tidak dipandang sebagai manusia yang utuh, karena hanya dianggab sebagai pencari uang tambahan bagi penghasilan keluarga. Sehingga, ketika perempuan melakukan pekerjaan yang bersifat publik (produksi), tetap saja pekerjaan perempuan dinilai sebagai kegiatan yang bersifat domestik (reproduksi). Lebih lanjut dalam konteks pasar kerja, perempuan juga menjadi korban struktur ekonomi, bahkan pengingkaran sosial (social ekslusion) baik yang dilakukan oleh laki-laki, institusi pendukung maupun negara. Aturan kerja yang tidak jelas; sistem penggajian yang tidak proporsional; jaminan sosial dan kesehatan yang tidak memadahi adalah realitas adanya pengingkaran sosial terhadap perempua. Bahkan yang lebih tragis hukumpun “enggan” melindungi kaum perempuan. Berangkat dari kenyataan tersebut, akhirnya perempuan tersegmentasi pada sektor – sektor informal, sektor sekunder yang berupah rendah yang tentunya juga tidak ada jaminan sosialnya. Kondisi tersebut, akan menjadi semakin sulit ketika pemahaman dan idiologi yang dibangun mengarah pada upaya permarginalisasian perempuan. Perempuan, *. Dosen STAIN Pekalongan Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan dalam Konstelasi Relasi Gender (Triana Sofiani)
197
dengan berbagai keterbatasannya sebagai individu yang memiliki human capital rendah dalam hal, pendidikan; pengalaman kerja dan; ketrampilan, akhirnya hanya bisa memasuki lapangan kerja yang berupah murah dan tentunya rentan dengan eksploitasi. Lapangan pekerjaan kalaupun ada, tergolong dalam lapangan kerja pinggiran dan tentunya tidak menguntungkan. Misalnya sebagaimana yang terjadi dalam realitas perempuan pekerja rumahan. Pekerja rumahan atau home based workers, yang menjadi kajian ini adalah mereka yang mengambil pekerjaan dari para jurangan untuk di bawa pulang ke rumah. Ada dua jenis pekerjaan rumahan yaitu Putting Out System (POS) dan Self Employed (SE). Model POS adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cara mengambil pekerjaan dari Juragan dan langsung dibawa kerumah untuk dikerjakan sendiri. Sedangkan model SE dilakukan dengan cara mendapatkan order yang dibawa dari Juragan untuk dibagi-bagikan kepada POS. Ciri pekerjaan rumahan, home based production antara lain: (1) tidak memerlukan skill yang tinggi; (2) bisa dikerjakan di rumah tanpa harus meninggalkan tugas sehari-hari sebagai Ibu Rumah Tangga; (3) bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat (harian-mingguan); (4). modal tidak besar dan; (5). Dilakukan oleh kaum perempuan. Sistem kerja dengan membawa pekerjaan ke rumah dengan model Putting Out System ( POS), biasanya berlaku di daerah-daerah yang mempunyai potensi tenaga kerja terutama perempuan kurang mampu dan tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan. Kondisi tekanan ekonomi mengharuskan mereka untuk melakukan kerja sambilan, yaitu melakukan pekerjaan reproduktif sekaligus produktif. Pekerja rumahan masuk dalam sektor informal, yaitu pekerja yang bekerja dengan cara tidak tetap; sistem pengupahan borongan; merupakan pekerjaan-pekerjaan pinggiran, sehingga kebanyakan dilakukan oleh perempuan (Keith Hart, 1989:2). Kapitalisme yang hegemonik dan nilai feodalisme yang menganggab perempuan lebih rendah, tenaganya lebih lemah daripada laki-laki seakan menjadi penguat bagi pengusaha kapital untuk membayar upah perempuan pekerja rumahan dengan sangat murah. Kondisi tersebut dipertegas oleh Zaretsky, bahwa pekerja rumahan tidak dinilai (materi) karena semua ada di luar wilayah pasar moneneter (The Economist, 1997:4). Idiologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial, yang kemudian menjadi fakta sosial tentang status dan peran yang harus dimainkan oleh perempuan. Kultur perempuan akhirnya dihadapkan pada budaya “bisu” yang menjadi pembenar bagi para pengusaha notabene kaum kapital dengan pola pikir yang tentunya kurang humanistik. Inilah realitas dalam kehidupan perempuan pekerja rumahan. PEMBAHASAN A. Perempuan Pekerja Rumahan: Realitas yang Terabaikan Berbicara Perempuan Pekerja Rumahan, menjadi suatu yang khas dalam kehidupan masyarakat maupun dalam konteks kenegaraan. Meskipun kontribusi yang telah diberikan secara riil bisa dirasakan hampir diseluruh lingkup kehidupan sehari-hari, namun keberadaannya tetap tidak diperhitungkan. Kekhasan dari Perempuan Pekerja Rumahan, lebih dikarenakan mereka adalah perempuan dan tentunya sangat terkait dengan posisi relasi gender yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Implikasi pemosisian relasi gender yang tidak seimbang, telah menjadi kekuatan pemisah dalam sektor kehidupan —domestik dan publik——, dimana perempuan dianggab harus berkiprah di sektor domestik dan lakilaki yang berhak mengisi sektor publik. Akibat selanjutnya adalah, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan pekerja rumahan hanya sebagai kerja bayangan, shadow work atau meminjam bahasa Ivan Illih sebagai kerja “bawah permukaan” (Ivan Illich, 1998: 166-167). Sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh mereka tidak dihargai sebagai pekerjaan dan dianggab tidak perlu mendapat penghargaan secara ekonomis sebagaimana yang dikerjakan oleh laki-laki dan tentunya masuk dalam sektor informal yang tidak terpantau dan tidak terlaporkan dalam statistik negara statistically unreported, bahkan masuk dalam wilayah bebas perlindungan hukum.
198
MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010
Hal tersebut dipertegas oleh Gunder Frank bahwa, ketertindasan kaum perempuan yang dalam konteks ini adalah perempuan pekerja rumahan, lebih disebabkan karena adanya nilai dan kepentingan yang sama antara negara dan laki-laki. Dengan center of hegemoni negara, rumah tangga dan masyarakat yang masih didominasi oleh laki-laki, maka perempuan akan semakin tertindas (Mansur Fakih,1999 :36-37).Idiologi patriakhi yang dibangun dalam relasi gender yang berbasis kepentingan dan kekuasaan kaum laki-laki berpengaruh kental dalam melanggengkan ketidakadilan gender. Ketika perempuan dikaitkan dengan dunia kerja, konotasinya adalah di luar rumah ( publik, sektor formal ) dan menghasilkan uang ( monetized) sama seperti laki-laki. Jadi bekerja di rumah ( informal) adalah bukan bekerja, dan penghargaannyapun lebih rendah dari perempuan yang berkerja di luar rumah. Hal tersebut terjadi karena, berdasarkan kenyataan objektif pekerja/ buruh perempuan menggemgam status subordinasi berganda. Di satu pihak mereka bersama pekerja laki-laki adalah bagian dari alat produksi yang berfungsi sebagai penghasil produk. Sedangkan dilain pihak pekerja perempuan mengalami penindasan berganda akibat status gender yang diembannya. Misalnya, dengan adanya mitos dan stereotype yang diciptakan untuk mereka, pekerja perempuan dicitrakan sebagai pekerja ideal yang trampil, rajin, ulet teliti patuh dan murah. Pekerja perempuan juga dianggab bahagia dengan kesempatan kerja yang diperolehnya, sehingga mereka manjadi mudah diatur dan tidak banyak menuntut. Crita semacam itu sudah menjadi mitos dan dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam mengakumulasi modal, yaitu kaum kapitalis. Dalam kerangka kapitalisme realitas Perempuan Pekerja Rumahan memusatkan diri pada upaya pemupukan modal, sehingga segala macam strategi yang digunakan diarahkan pada ekstrasi nilai surplus untuk akumulasi modal. Strategi tersebut menyebabkan kehidupan perempuan pekerja dus Perempuan Pekerja Rumahan menjadi rentan dan tertinggal. Timbulnya preferensi terhadap buruh perempuan, dikarenakan mereka memenuhi syarat strategis untuk penekanan biaya produksi. Preferensi tersebut terbentuk akibat pencitraan perempuan hasil dari sosialisasi idiologi gender. Kapitalisme telah mereduksi peran perempuan menjadi hanya pemegang dan pelaksana fungsi reproduksi belaka. Fungsi ekonomi perempuan dihapuskan dengan hanya meonjolkan fungsi reproduktif dan karena itu mereka kehilangan berbagai kesempatan terhadap akses dan kepemilikan alat-alat produksi serta menafikan nilai-nilai ekonomis dari kegiatan mereka. Aggapan tersebut didukung oleh citra dan stereotype bahwa perempuan bukan pencari nafkah dan apabila mereka bekerja yang dilakukan hanyalah sebagai kerja sambilan. Ada dua pemikiran yang menyebabkan terbentuknya anggapan bahwa kaum perempuan hanya sebagai pemegang dan pelaksana fungsi reproduksi. Pertama, family wage, suatu keyakinan bahwa lelaki penghasil nafkah keluarga dan sebagai kepala keluarga. Kedua, continuity of work (keberlangsungan kerja) yang mengasumsikan bahwa perempuan selalu akan mengundurkan diri dari dunia kerja ketika melahirkan dan merawat anak, sehingga tidak menjamin kontinuitas kerja. Reduksi peran perempuan itu oleh Mies, disebut dengan istilah “ housewifization”, mistifikasi perempuan. Mistifikasi tersebut menjadi pembenar atas kondisi dan karateristik buruh perempuan serta perlakuan terhadap mereka (N.Heyzer dan Tan Boon Kean, 1998 :45). Peran perempuan yang dalam struktur ekonomi menunjuk pada kecenderungan “pejajahan” lakilaki atas perempuan, akhirnya mengarah pada dua implikasi (Irwan Abdullah, 1997: 10). Pertama, pergeseran struktur ekonomi makro secara langsung menggeser kaum perempuan. Ketika kesempatan kerja kaum laki-laki berkurang, mereka mengambil alih dan melakukan ekspansi ke sektor yang semula dikuasai perempuan. Di sini perempuan dikalahkan dan/atau bahkan mengalah. Kedua, perubahan struktur ekonomi secara langsung membatasi keterlibatan perempuan dalam berbagai kegiatan ekonomi karena segmentasi pasar yang semakin rumit, jika ada peluang maka laki-laki adalah prioritas dan jika peluang terbatas, mereka mendesak dan melakukan marginalisasi terhadap perempuan. Kalaupun perempuan dipekerjakan, biasanya lebih didasari kebutuhan “tangan perempuan” dengan alasan memaksimalkan keuntungan, karena memperkerjakan perempuan sama dengan mendapatkan tenaga berupah murah.
Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan dalam Konstelasi Relasi Gender (Triana Sofiani)
199
Keterbatasan perempuan sebagai individu ( human capital) dalam hal pendidikan, pengalaman dan ketrampilan kerja, kesempatan kerja serta faktor biologis menyebabkan perempuan hanya bisa memasuki lapangan pekerjaan yang berupah murah, sehingga kemungkinan besar mengalami eksploitasi. Faktorfaktor tersebut saling berkaitan dan merupakan lingkaran yang tidak pernah terselesaikan. Keterkaitan perempuan dengan pekerjaan rumah tangga menyebabkan perempuan lebih memilih pekerjaan yang bisa mendukung kegiatan kerumahtanggaan dengan cara memilih pekerjaan yang dekat dengan rumah walau dengan upah yang rendah dan tentunya sedikit bersaiang dengan laki-laki. Gejala ini menyebabkan perempuan tersekmentasi pada sektor pinggiran yang bersifat sekunder dan informal, peluang terbatas, upah kecil, jamian sosial juga tidak ada. Industrialisasi juga semakin menyeret pekerja perempuan masuk ke dalam kubang keterpurukan karena pria menguasai basis material seakan menjadi penguat relasi gender yang dibangun dengan basis kekuatan laki-laki. Pemikiran Marx, mengenai pola relasi superstruktural bisa dijadikan sebagai acuan untuk melihat pola relasi sosial masyarakat. Menurut Marx pola relasi suatu masyarakat disebabkan oleh: pertama, kondisi produksi masyarakat; kedua, alat yang dipakai masyarakat untuk memproduksi dan; ketiga, pola relasi produksi dalam masyarakat berdasarkan pemilikan alat-alat produksi. Status kepemilikan alat-alat produksi tersebut akhirnya menciptakan terbentuknya kelas-kelas sosial dalam masyarakat (Marx dan Fedrich Engels, 1884: 65). Logika yang dibangun oleh masyarakat industri ala Marx adalah kelas kapitalis yang memiliki pabrik atau industri membuat keuntungan dengan cara menjual hasil produksinya. Berhubung para kapitalis harus bersaing dengan kapitalis lainya, mereka cenderung ingin menjual barangnya dengan harga murah. Sehingga dalam memproduksi barang/ jasa dilakukan dengan cara menekan biaya produksi, termasuk memberi upah murah kepada buruh. Pola relasi tersebut, menyebar bagaikan virus kesemua sektor kehidupan baik sosial-ekonomi, politik dan budaya, sehingga semakin meminggirkan perempuan terutama dalam dunia kerja. Pekerja Rumahan (home based workers) menjadi salah satu contoh kongkrit adanya pola relasi yang dibangun di bawah naungan kaum kapitalis yang notabene beridiologi patrirkhi dengan segala atributnya. Rata-rata pekerja rumahan adalah perempuan. Dengan membawa pulang ke rumah pekerjaan yang diberikan oleh juragannya, menjadikan apa yang dikerjakan oleh mereka bukan dianggab pekerjaan. Karena bisa dilakukan dengan “nyambi” tanpa harus mengganggu pekerjaan rumahtangga lainnya. Model pekerjaan ini memiliki ciri : tidak memerlukan skill yang tinggi; bisa dikerjakan dirumah tanpa harus meningalkan pekerjaan kerumahtanggan mereka; menghasilkan uang dalam waktu singkat (mingguan, harian) dan ; modal tidak besar. Sektor ini dalam prakteknya lebih merupakan instrumen kekuasaan dalam ekstraksi politik perusahaan atau pengusaha, bukan merupakan bentuk kemitraan yang memungkinkan yang kecil harus berkembang. Sebenarnya kontribusi yang disumbangkan Perempuan Pekerja Rumahan di dunia kerja, kalau diperhitungkan dengan uang lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang bekerja dalam sektor yang sama. Perhitungan System of National Acounts, mencoba memasukan semua barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi dalam suatu keluarga yang antara laki-laki dan perempuannya bekerja di sektor rumahan. Hasilnya menunjukan bahwa hampir disetiap negara, kontribusi ekonomi perempuan di dunia kerja tidak kalah dengan laki-laki bahkan lebih tinggi (UNDP, 1995, hlm. 87-98).Namun sekali lagi, yang menjadi masalah di dunia kerja ( di luar rumah atau di dalam rumah) maupun di sektor lainnya, perempuan masih dianggap sebagai the second sex, sehingga apa yang dikerjakannya tetap dinilai (ekonomis) lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. B. Perempuan Pekerja Rumahan: Overview dalam Hukum Ketenagakerjaan Bekerja adalah aktivitas yang menjadi hak semua orang ( laki-laki- perempuan) ketika hidup. Dalam pasal 27(2) UUD 1945 ditetapkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Walaupun di dunia kerja, persoalan perempuan masih menjadi tema utama 200
MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010
untuk mendapatkan perhatian, akan tetapi yang paling rentan dan belum mendapatkan pengakuan dan jaminan perlindungan hukum adalah kelompok pekerja informal yang dalam konteks ini diwakili oleh perempuan pekerja rumahan. Perbedaaan dan pembagian gender mengakibatkan tersubordinasinya peran perempuan, yang akhirnya mempengaruhi politik pengambilan keputusan. Hukum Ketenagakerjaan, sebagai payung hukum bagi pekerja/ buruh seharusnya memberikan perlindungan yang sama antara perempuan pekerja rumahan yang notabene masuk dalam sektor informal dengan perempuan pekerja formal. Hal tersebut terjadi karena antara keduanya, baik perempuan pekerja sektor informal maupun formal mempunyai kontribusi yang sama di perusahaan maupun dalam peningkatan devisa negara. Industrialisasi yang berkembang di negara dunia ketiga belum bisa mengatasi masalah ketenagakerjaan, bahkan cenderung mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian, yang lebih mengedepankan sektor formal. Sektor Informal — —Perempuan Pekerja Rumahan (home based workers)——yang mampu menampung banyak tenaga kerja, justru terabaikan bahkan menjadi sektor tidak tidak terpantau dan tidak terlaporkan, unreported statistically, karena hanya dianggab sebagai kerja bayangan, bawah permukaan. Pasal 1 Undang-undang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Kerja menyatakan: “ Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”. Selanjutnya pasal 9 menyatakan : “Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan dan kesusilaan”. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut alasan pemberi kerja tidak memberikan hak-hak pada perempuan pekerja rumahan sama dengan “buruh” (pekerja formal) di perusahaannya menjadi tidak relevan. Pasal 3 angka 1 Undang-undang Ketenagakerjaan No. 25 tahun 1997 menyebutkan bahwa: “ Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di luar maupun di dalam hubungan kerja”. Sedang pasal 158 menyebutkan bahwa : “ Setiap tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja yang bersifat informal berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja dan keselamatan kerja”. Pasal 1 angka 31, menyebutkan bahwa: “ Sektor informal adalah kegiatan orang perorang atau kelompok yang melaksanakan kegiatan ekonomi atasa dasar kepercayaan dan kesepakatan.”. Dalam undang-undang ini disebutkan tentang sektor informal, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap belum menyentuh sektor rumahan dan undang-undang tersebut diganti dengan undang-undang ketenagakerjaan yang baru yaitu UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1 (2) UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 menyatakan bahwa: “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat”. Pasal 1 (3) menyebutkan bahwa: “Pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pasal 1 angka (30 ) : “ Upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang telah dilakukannya”. Dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan yang baru ini, memang tidak disebutkan pekerja informal, akan tetapi kata “setiap orang” tentu berlaku juga bagi tenaga kerja informal baik lakilaki maupun perempuan. Jadi seharusnya UU No.13 tahun 2003 juga bisa dijadikan sebagai payung hukum bagi Perempuan Pekerja Rumahan. Akan tetapi ketentuan-ketentuan tersebut tidak memberi efek bagi perempuan pekerja rumahan untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan yang lebih baik sebagaimana pekerja formal. Hak dan kewajiban pekerja formal, yang tercantum dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tenatang Ketenagakerjaan, antara lain : hak pekerja: mendapatkan upah layak, hak jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, hak jaminan kesejahteraan dan, hak untuk tidak diputus sepihak. Kewajiban pekerja,antara lain: melakukan pekerjaan, mentaati peraturan yang telah disepakati, membayar ganti rugi yang merugikan perusahaan karena kelalaian atau kesengajaan yang dilakukannya. Sedangkan hak Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan dalam Konstelasi Relasi Gender (Triana Sofiani)
201
dan kewajiban pengusaha adalah : hak pengusaha adalah mendapatkan hasil pekerjaan dan ganti rugi apabila perusahaan dirugikan karena kelalaian atau kesengajaan pekerja sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kewajiban pengusaha adalah : kewajiban membayar upah yang layak; menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja; kesejahteraan pekerja dan kewajiban tidak memutuskan hubungan kerja secara sepihak. Konvensi Homework (pekerja rumahan) di Genewa tahun 1999 silam, seharusnya menjadi perhatian pemerintah Indonesia sebagai peserta dalam konvensi untuk memasukan sektor informal dalam Undangundang Ketenagakerjaan atau paling tidak meratifikasi peraturan khusus yang mengatur sektor pekerja informal yang dalam konteks ini adalah pekerja rumahan, untuk memberikan perlindungan atas upah yang layak serta jaminan sosial sebagaimana pekerja formal. Akan tetapi sampai sekarang hal tersebut belum dilakukan, dan pemerintah lebih tertarik memberikan jaminan pada pekerja urban dibandingkan pekerja rumahan. Indonesia juga telah meratifikasi beberapa Piagam dan Konvensi Internasional terkait dengan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja, melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Deklarasi tersebut, seharusnya menjadi “angin segar” bagi perempuan pekerja rumahan untuk memperoleh hak dan perlindungan hukumnya. Karena dalam deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Negara peserta deklarasi wajib memberikan kepada perempuan hak yang sama untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak dan kebebasan asazi yang sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya serta bidang-bidang lainnya, termasuk hak atas pekerjaan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, pelaksanaan konvensi ini menghadapi kendala kultural maupun stuktural. Kendala kultural menyangkut sikap masyarakat yang masih enggan mengakui persamaan antara laki-laki dan perempuan yang sering dikuatkan oleh ajaran agama, adat dan budaya yang dianut. Kendala struktural terkait dengan berbagai kebijakan yang ditujukan kepada kaum perempuan yang secara prinsipil justru bertentangan dengan Konvensi ini. Sikap yang diadopsi oleh negara sebagaimana terdapat dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, mengindikasikan adanya inkonsistensi dalam pelaksanaan konvensi ini, akibatnya ditingkat peraturan pelaksanaan justru terjadi penguatan asusmsi-asumsi gender dan nilai-nilai stereotype yang menghasilkan hukum yang seksis. Hal ini terlihat jelas dalam penjelasan dari Undang-undang tersebut, yaitu:” Dalam pelaksanaannya ketentuan konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat-istiadat dan norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia”. Oleh karena itu, dalam konteks ini perlu adanya keberanian untuk merombak tatanan sosial, baik kultur maupun struktur yang lebih berpihak pada perempuan. Lebih jauh, hukum yang berpihak pada perempuan pekerja rumahan, yang notabene adalah sektor informal tentunya juga akan terwujud, sehingga secara tidak langsung juga membawa dampak terhadap eksistensi mereka dalam konstelasi relasi gender. PENUTUP Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan merupakan realitas yang terbaikan. Hal tersebut terjadi karena dalam konstelasi relasi gender perempuan masih dianggab warga kelas dua, inferior dari kaum laki-laki. Anggapan ini terjadi karena kultur dan struktur yang dibangun dalam realitas sosial kita masih bersifat patriarkhis. Sehingga ketika perempuan memasuki dunia kerja, mereka tersekmentasi disektorsektor informal dan tentunya berupah rendah dan tidak bernilai ekonomis. Dalam konteks kenegaraan, karena center of hegemoni negara juga masih dalam kekuasan dan dominasi laki-laki, maka hukumpun juga enggan berpihak pada perempuan pekerja rumahan. Pengingkaran sosial baik oleh masyarakat, institusi pendukung maupun negara terhadap perempuan pekerja rumahan, merupakan salah satu bukti bahwa dalam eksistensi mereka dalam konstelasi relasi gender masih pada posisi semula. 202
MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA Collins Randall, Sosiologiy of Marriage and the family: Gender, love and Property, Chicago: Nelson Hall, 1987 D. Kelly Weisberg, Feminist Legal Theory: Philadelphia, Temple University Press, 1993 Indrasari Tjandraningsih, dalam “ Sangkan Paran Gender” Buruh Perempuan Menguak Mitos, Yogyakarata: Pusat Penelitain Kerpendudukan UGM, 1997. Irwan Abdullah “ Dari Domestik Ke Publik : Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan” dalam Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Julia Cleves Mosse, Gender Dan Pembangunan (trj), Yogyakarta: Rifka Anissa WCC dan Pustaka Pelajar, 2007. Katharine T. Barlet, Feminist Legal Methods, dalam FLT Foundation, Edited by D. Kelly Weisberg Temple University Press, 1993. Keith Hart, Informal Workers in Development, London : University Prees, 1989. Ken Surtiyah “ Pengorbanan Wanita Pekerja Industri” dalam Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Marx dan Fedrich Engels, Origin of the Famili, Private Property an The State, New York: International, 1884. N.Heyzer dan Tan Boon Kean, Doughter in Industry, Kuala Lumpur: APDC, 1998. Patricia Cain, Feminism and the limits of Equality, dalam D. Kelly Weisberg (ed), Philadelphia, temple University Press, 1993.
Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan dalam Konstelasi Relasi Gender (Triana Sofiani)
203
204
MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010