Tulisan ini sudah dimuat dalam Jurnal Pendidikan Seni KAGUNAN Vol. 4 Nomor 2 Desember 2010 Terbitan Asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI)
BATIK PRIANGAN MODERN DALAM KONSTELASI ESTETIK DAN IDENTITAS Oleh: Yan Yan Sunarya Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung
Abstract Recently, batik is in need to be studied deeply especially from the aspect of identity in the modern aesthetic domain. The study basically problemize the aspect of identity in the aesthetic domain of Modern Batik Priangan, that began from the old Batik Priangan to the present (modern) that occurred within the constellation change with its aesthetic elements. Considering various modernity impacts that flood the world of batik from its ornaments, themes, colors, composition, techniques, naming and labeling to the characteristics of each of the batik production areas. Modern Batik Priangan has also been mixed with other cultures – especially due to the influence of modernity – which when its local wisdom is being traced back in its various forms and dimensions, and then there should an evidence of the reflection of aesthetical cultural identity of the Priangan society (Ciamis, Tasikmalaya, Garut, and Sumedang). The development of Modern Batik Priangan, in this writing has been widening not only for development but also its dimension of meaning, principles, goals and designs, and to the peak of that enriching the cultural influence in the heterogeneity of Indonesian culture in general. Basically, the term of Modern Batik Priangan should be investigated further due to the history of its birth, background, designs. This investigation is hopefully results on the characteristics in the dictums of aesthetics and identity that have embedded within the values and local content of the Sundanese culture. Key words: Modern Batik Priangan, Aesthetics, Identity
A. Pendahuluan Batik, akhir-akhir ini perlu diteliti lebih mendalam terutama dari aspek identitas dalam ranah estetik modern. Tulisan ini pada dasarnya mempermasalahkan aspek identitas dalam ranah estetik dari Batik Priangan, yang bertolak dari berbagai bentuk perjalanan perkembangan sejak Batik Priangan dulu (lama) hingga kini (modern) yang terjadi dalam konstelasi estetik dan identitasnya. Mengingat berbagai pengaruh kemodernan yang melanda dunia perbatikan, baik terhadap ragam hias, tema, warna, komposisi, teknik, penamaan, hingga karakteristik daerah produksi batik masing-masing daerah. Batik Priangan juga telah bercampur-baur dengan berbagai kebudayaan –terutama pengaruh kemodernan– yang apabila ditelusuri bentuk kearifan lokal dengan berbagai bentuk dimensinya yang terdapat dalam batik tersebut, seharusnya merupakan bukti adanya refleksi estetik dan identitas budaya pada masyarakat Priangan, yang telah mengalami transformasi budaya secara diakronik-sinkronik, bertumpang-tindih dalam proses asimilasi, akulturasi, enkulturasi, negasi sekaligus adopsi dengan berbagai kebudayaan baru yang dianggap modern. Paradigma modern, berisi konsep rasionalisme yang mendukung proses produksi industri, terkait dengan konsep objektivitas, kolektivitas, universalitas, dan utilitas, serta budaya komersial. Pada abad ke-20, kegiatan membatik berkembang di wilayah Priangan: Ciamis (Cikoneng), Tasikmalaya (Sukaraja, 1
Cihideung, Cipedes), Garut (Tarogong), dan Sumedang. Akan tetapi dalam perkembangannya, batik-batik ini pun telah meluas dan mewahana ke berbagai bentuk pengertian dalam dimensi pemaknaan, prinsip tujuan, hingga pengaruh kebhinekaan budaya Indonesia dalam konstelasi estetik modern dan identitas, yang pada akhirnya melahirkan konsep dan objek Batik Priangan Modern. Berdasarkan hal di atas, berkaitan dengan Batik Priangan Modern dalam konstelasi dunia perbatikan sebagai konsekuensi logis dari persinggungan antarbudaya dalam ranah kesenian, maka “kesenian dalam hal ini dipandang sebagai bagian yang terintegrasi secara fungsional dan kejiwaan dalam kebudayaan yang didukung oleh masyarakat tertentu (masyarakat Sunda, pen.) (Rohidi, 2000 : 2)”, “dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar, mengembangkan kesenian sebagai ungkapan dan pernyataan rasa estetik yang merangsangnya sejalan dengan pandangan, aspirasi, kebutuhan, dan gagasan-gagasan yang mendominasinya. Cara-cara pemuasan terhadap kebutuhan estetik itu ditentukan secara budaya –seperti aspek-aspek kebudayaan lainnya–, serta terintegrasi pula dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya itu. Proses pemuasan kebutuhan estetik berlangsung dan diatur oleh seperangkat nilai dan azas yang berlaku dalam masyarakat, dan oleh karena itu cenderung untuk direalisasikan dan diwariskan pada generasi berikutnya (Rohidi, 2000 : 4 – 5)”. Oleh karena itu, aspek estetik dan identitas perlu diteliti guna memposisikan keberadaan budaya Sunda di dalam historiografi kebudayaan, khususnya dalam konstelasi dunia perbatikan. Identitas kesundaan, apabila ditinjau dari terminologi dan estetik, diharapkan ditemui dalam Batik Priangan Modern sebagai adanya konstelasi estetik dan identitas budaya masyarakat Priangan. B. Permasalahan Merunut kronologi kesejarahan dari perkembangan Batik Priangan dulu (lama) hingga kini (modern) amat diperlukan, khususnya yang membahas ragam rupa. Sementara ini perolehan data-data, masih berupa potongan pernyataan yang kadang belum lengkap –masih harus ditelusuri keakuratannya–. Namun di dalamnya terdapat pemaparan berbagai peristilahan estetik dalam bahasa Sunda yang belum menunjukkan secara jelas bentuk visualnya. Dalam hal ini disinyalir terdapat konsep estetika Sunda dalam berbagai peristilahan yang mesti dibuktikan keselarasannya atas istilah-istilah estetik tersebut dengan visualisasinya. Mengingat berbagai pengaruh kemodernan yang melanda dunia perbatikan, baik terhadap ragam hias, tema, warna, komposisi, teknik, penamaan, hingga karakteristik daerah produksi batik masing-masing daerah; Batik Priangan juga telah bercampur-baur dengan berbagai kebudayaan –terutama pengaruh kemodernan– yang pada intinya bisa meniadakan bentuk asal atau keasliannya. Tetapi apabila ditelusuri bentuk kearifan lokal dengan berbagai bentuk dimensinya yang terdapat dalam Batik Priangan Modern, seharusnya merupakan bukti adanya konstelasi estetik dan identitas budaya pada masyarakat Priangan. C. Metode Penelitian Dalam membahas objek penelitian berupa Batik Priangan Modern, digunakan metode etnografi (visual etnografi) dan metode estetik, sebagai pendekatan dalam mengupas nilai kesundaan dalam berbagai dimensi di dalam ragam rupa Batik Priangan Modern –baik dalam ragam hias, tema, pola, komposisi, penamaan, dan 2
warna– yang dapat mewakilinya, lalu diarahkan pada konstelasi estetik dan identitas budaya pada masyarakat Priangan. Di dalam mengkaji objek desain Batik Priangan Modern tersebut terbagi atas dua kelompok metode penelitian, yang dapat diadopsi sebagai rujukan utama untuk menyusun ‘peta’ perkembangan Batik Priangan Modern ini dalam satu kurun waktu tertentu, beserta perubahannya serta unsur-unsur ‘luar’ yang mempengaruhi, untuk kemudian menggagas proyeksinya ke depan. Pertama, adalah metode etnografi (visual etnografi) “mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat, . . . yang secara lebih spesifik mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekelilingnya (Spradley, 2006 : xii)”. Kedua, ialah metode estetik, “mengkaji sampai sejauh mana nilai-nilai estetik memiliki peran dalam upaya pemberdayaan budaya visual pada suatu masyarakat. Meliputi pengamatan karya untuk memperoleh kejelasan mengenai perkembangan gaya desain dan latar belakang pemikirannya. . . . Dalam membaca objek visual dalam bingkai pemaknaan pada hakikatnya merupakan pengamatan secara interdisipliner dan perlu dituntun oleh pemikiran teoritis dan tinjauan estetik. Upaya ini perlu ditempuh, terutama untuk objek visual yang bervariasi, serta kerapkali bertumpang-tindih dengan sejarah politik, situasi sosial, ekonomi, perubahan gaya hidup, dinamika budaya, dan juga selera pemegang kebijakan yang mempengaruhinya. Pengamatan ini, perlu didampingi dengan kajian historis (sinkronik, pen.), terutama untuk meruntut perkembangan sebuah objek visual dalam skala waktu tertentu. Dalam membaca raut kesejarahan, umumnya dilakukan telaah terhadap dokumen tertulis, dokumen foto/gambar, analisis karya, dan wawancara dengan beberapa pelaku/informan. Selain itu, dikaji pula berbagai fenomena perkembangan intelektualitas yang melatarbelakangi kehadiran sebuah objek visual dalam masyarakat (Sachari, 2007)”. Strategi Adaptasi Kebudayaan Kebutuhan: Ekspresi Estetik Identitas
Sosio-BudayaHistoris Alam-Fisik Priangan dan Perubahannya
Pranata Perbatikan
Batik Priangan Modern Ekspresi
Estetik Identitas
Gambar 1. Bagan kerangka berpikir saduran Rohidi (2000 : 18) disesuaikan dalam Sunarya (2010).
D. Pemahaman Terhadap Estetik dan Identitas Di satu sisi terdapat istilah estetika dan estetik beserta variannya yang mesti dijelaskan secara tepat. Pada bagian istilah estetika, adalah “ilmu yang mempelajari segala sesuatu atau semua aspek yang berkaitan dengan keindahan (Djelantik, 3
1999)”. “Estetika, merupakan filsafat yang membahas esensi dari totalitas kehidupan estetik dan artistik yang sejalan dengan zaman (Sachari, 1989)”. Estetika, “mengacu pada wacana hal yang ‘baik’ dan ‘indah’ dalam seni. Wacana ini dianggap ‘universal’ adalah yang berangkat dari kebudayaan Barat. Namun demikian, sebenarnya terdapat relatifitas yang terkait dengan kekhasan budaya bangsa (Sedyawati, 2006 : 364 – 365)”. Estetika (Aesthetica, Aesthetic), “berasal dari kata Yunani yang berarti: sesuatu yang dapat dicerap oleh indera, kemudian berkembang menjadi filsafat keindahan atau ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang berhubungan dengan keindahan termasuk konsep berpikir yang menyertai karya seni ataupun karya budaya lainnya. Nilai estetik (aesthetics), ialah nilai keindahan yang menyertai suatu karya seni atau karya desain. Nilai-nilai estetik (aesthetic values), adalah sejumlah nilai keindahan yang menyertai suatu karya seni/desain. Makna nilai estetik (the meaning of aesthetics), yakni suatu objek yang memproduksi, mendistribusi nilai estetik dan merupakan bentuk pembenaran kebudayaan di dalam masyarakatnya (Sachari, 2004 : 15)”. Kemudian estetik, “adalah kualitas rupa suatu objek yang membuat objek ini disebut cantik. Aesthetic bisa diartikan ‘hiasan’; dan aesthetics adalah ‘ragam hias’ (Supangkat, dkk., 2006 : xiv)”. Di sisi lain, pemahaman atas identitas di sini, berkaitan “tentang cara materi dirancang menjadi objek budaya, yang bisa dimanipulasi dan digunakan oleh kelompok, lembaga, dan negara dalam membentuk identitas, lantas mengkomunikasikannya ke khalayak (Sparke, 2004 : 84 – 95)”. Identitas, adalah “ciri khas dari kepribadian. Seseorang (sesuatu, pen.) dilihat sebagai wujud sekumpulan kualitas. Kualitas yang memancar dari seseorang (sesuatu, pen.) itu ialah eksistensi kepribadian atau identitas (Sadali, 2000 : 13)”. Selanjutnya, peran “benda atau lingkungan digunakan pula untuk mengungkapkan identitas; baik ia disengaja untuk dibentuk oleh individu, organisasi, dan negara, agar tercipta gambaran dan makna tertentu (Heskett, 2002 : 125)”. “Identitas secara konseptual, yaitu bagaimana menentukan apa dan siapa yang menjadi identitas; bisa berupa ciri fisik, keyakinan, silsilah, serta preferensi budaya (During, 2005)”. Dengan demikian, identitas pada unsur-unsur estetik Batik Priangan Modern mengacu pada teori di atas, sehingga dijadikan panduan untuk menelusuri, menggali, dan kemudian memformulasikan identitas budaya Sunda dalam ranah estetik. E. Batasan Wilayah Priangan “Priangan, pa-rahyang-an, para-hyang-an. Rahyang, hyang identik dengan dewa; awalan pa dan akhiran an, menunjukkan tempat. Priangan kini meliputi: Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan (Garut), Sukapura (Tasikmalaya), dan Galuh (Ciamis). Sesudah Kerajaan Sunda runtuh (1579), terbagi atas: Sumedanglarang, Banten, Cirebon, Galuh. Sumedanglarang dan Galuh lalu jadi satu wilayah bernama Priangan (Haan, 1910, 1912). Bekas wilayah Kerajaan Sunda itu disebut Tanah Sunda atau Tatar Sunda atau Pasundan (Walbeehm, 1857; Hageman, 1867, 1869, 1870; Chijs, 1886). Dalam perkembangan berikutnya, Priangan dipandang sebagai pusat Tanah Sunda (Pasoendan, 1925). Batas wilayah Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah sama seperti yang ditetapkan oleh Mataram dan Kompeni (1706), dengan perubahan dari Daendels. Propinsi Jawa Barat meliputi Banten, Batavia (Jakarta), Priangan (Preanger-regentschappen), dan Cirebon (Staatsblad no. 235 dan 378 tahun 1925) (Ekadjati, 2005)”. 4
Gambar 2. Wilayah Priangan (Rosidi, dkk., 2000 : 618).
“Pada awal pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels, daerah Priangan (Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang) digabungkan dengan daerah Batavia dan disebut Jacatrasche en Preanger-Regentschappen. Daerah Priangan lainnya, yaitu Limbangan, Sukapura, dan Galuh dimasukkan ke wilayah Cirebon. Dasar utama pembagian daerah Priangan itu adalah dipertahankannya Preangerstelsel warisan Kompeni, khususnya penanaman wajib kopi yang sangat menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Daendels memisahkan daerah surplus kopi (Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang) dengan daerah minus kopi (Limbangan, Sukapura, dan Galuh). Tiga daerah yang disebut terakhir digabungkan dengan Cirebon. Pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Raffles berdasarkan ketentuan tertanggal 10 Agustus 1815 (1811-1816), daerah tersebut dijadikan satu keresidenan yang disebut Preangerlanden, kemudian tahun berikutnya menjadi Preanger-Regentschappen. Jumlah kabupaten di Priangan menjadi berkurang karena Raffles dengan surat keputusan tanggal 16 Februari 1813 telah menghapuskan Kabupaten Sukapura. Pada masa kekuasaan Komisaris Jenderal (1816-1830), di Tatar Sunda terjadi lagi perubahan dalam pemerintahan. Priangan dikukuhkan statusnya sebagai keresidenan. Dalam hal ini, Limbangan dan Sukapura dikembalikan statusnya sebagai kabupaten. Dengan demikian sejak waktu itu Keresidenan Priangan terdiri atas empat kabupaten, yaitu Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Limbangan. Sejak tahun 1829 ditetapkan bahwa Residen Priangan berkedudukan di Cianjur. Pada tahun 1852 Residen Priangan Van Steinmetz menyatakan bahwa wilayah Priangan terbuka untuk orang asing. Kebijakan ini rupanya dimaksudkan untuk mengembangkan kehidupan di wilayah Priangan yang menunjang kepentingan pemerintah kolonial, antara lain perkembangan fisik dan kehidupan kota-kota kabupaten. Salah satu ibu kota kabupaten yang menunjukkan perkembangan sejak pertengahan abad ke-19 ialah Kota Bandung sehingga Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud mengajukan usul kepada Pemerintah Kerajaan Belanda agar ibu kota Keresidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung (Lubis, dkk., 2003)”.
5
F. Batik Priangan (Sunda=Lama) Di dalam naskah buhun Sunda –“Siksa Kanda ng Karesian” awal abad ke-16– yang berkenaan dengan artefak batik, terdapat fakta bahwa “disebut bermacammacam corak lukisan (tulis): pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alasalasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate, disebut juga beragam kain (boeh): kembang mu(n)cang, gagang senggang, anyam cayut, poleng re(ng)ganis, cecempaan, mangin haris, surat awi, parigi nyengsoh, hujan riris; yang menunjukkan bahwa pada masa naskah itu ditulis, orang Sunda telah mengenal berbagai corak kain (samping) dan batik. Walaupun tidak ada peninggalan dari Kerajaan Sunda, namun ditemukan beberapa helai kain berusia 200-300 tahun (Rosidi, dkk., 2000 : 107)”. Ditemukan juga dalam kosakata bahasa Sunda, berdasarkan “sumber teks tertulis berupa naskah Sunda buhun dan prasasti Sunda yang ditulis di Tatar Sunda (Jawa Barat) abad ke-11 s.d. ke-18 M, dibuat di masa Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh sejak prasasti Bantarmuncang (abad ke-11) melalui prasasti Kawali (abad ke-14) hingga prasasti Batu Tulis (abad ke-16). Bahan naskah itu terbuat dari lontar, nipah, saeh, daluang, dan kertas (Suryani NS., dkk., 2005 : xv)”; yang menerangkan tentang kosakata batik: “euyeuk (batik) dan pangeuyeuk (ahli batik) (Suryani NS., dkk., 2005)”. Tetapi sampai saat ini, khususnya peristilahan euyeuk (batik) dan pangeuyeuk (ahli batik), belum dapat ditemukan secara jelas ragam rupanya, apakah ia berbentuk seperti batik pada umumnya yang selama ini diketahui secara luas? Apakah ia mempunyai kesamaan dalam proses dan teknik produksinya dengan batik? Apakah ia berupa kain batik? Apakah ia memiliki ragam hias asli Sunda? Walaupun secara simbolis dan makna dari dua buah kata tersebut dapat dijelaskan dengan singkat oleh Hidayat Suryalaga (2010), “Euyeuk memiliki makna nilai yang terbaik, nilai yang dikandung di dalam benda berupa motif yang mencerminkan kreatifitas”. Di satu sisi, temuan-temuan penting tentang peristilahan batik dalam budaya Sunda yang diuraikan di atas menunjukkan data-data mengenai artefak Sunda dalam bentuk Batik Priangan, perlu disusun kembali, sehingga tindak lanjut atas pemahaman artefak Sunda –dalam hal ini Batik Priangan– menjadi utuh. Namun di sinilah letak permasalahannya, bahwa kepustakaan budaya Sunda –jika diamati pada bagian artefak Sunda– jarang membahas lebih mendalam tentang ragam rupa, terutama jika ditinjau dari aspek estetik dan aspek identitas. Di sisi lain, batik telah dikaji dalam berbagai aspek, namun dalam konteks Batik Priangan (lama dan modern), kini perlu diteliti lebih mendalam terutama dari aspek identitas dalam ranah estetik, yang merupakan upaya awal dalam melengkapi penelitian sebelumnya. Berkenaan dengan bahasan batik, selain fakta dalam naskah Siksa Kanda ng Karesian, pun dalam kosakata bahasa Sunda, yang telah diuraikan, juga dijelaskan “menurut Tome Pires (1513-1515), orang Sunda sudah mengenal berbagai jenis kain impor. Sementara itu menurut naskah lokal, di dalam negeri juga dikenal kainkain lokal, yaitu jenis-jenis batik (tulis) disebut lukis, antara lain: pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisiringan, taruk hata, kembang tarate, sedangkan macam-macam ukiran seperti dinanagakon, dibarongkon, ditirupaksi, ditiruwere, dan ditirusingha (Lubis, dkk., 2003 : 107)”. “Masyarakat Sunda telah mengenal batik pada abad ke-12, saat zaman 6
Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, . . . sampai zaman Prabu Siliwangi (1482 – 1521 M). Dari begitu banyaknya jenis motif batik yang ada, 33 di antaranya dibuat sebelum zaman Pakuan Padjadjaran. Nama-nama motifnya: (1) Kembang Muncang; (2) Gagang Senggang; (3) Samele; (4) Seumat Saruhun; (5) Anyam Cayut; (6) Sigeji; (7) Pasi-pasi; (8) Kalangkang Ayakan; (9) Poleng Rengganis; (10) Jayanti; (11) Cecempaan; (12) Paparanakan; (13) Mangin Haris Sili Ganti; (14) Boeh Siang; (15) Bebernatan; (16) Papakanan; (17) Surat Awi; (18) Parigi Nyesoh; (19) Gaganjar; (20) Lusian Besar; (21) Kampuh Jayanti; (22) Hujan Riris; (23) Boeh Alus; (24) Ragen Panganten; (25) Hihinggulan Rama; (26) Hihinggulan Resi; (27) Hihinggulan Ratu Binokasih; (28) Hihinggulan Nanoman; dan (29) Kembang Wijayakusuma. Sedangkan sisanya 4 motif batik lainnya dibuat pada masa Prabu Siliwangi. Sebuah sumber menyatakan bahwa pada masa kerajaan Pakuan Padjadjaran sudah banyak yang pandai membuat batik, yang dikenal amat terampil kala itu antara lain: Rei Sutan Pamangku dan istrinya Dasimah Arthi Pahrih, Ambhir serta karibnya Silihandju dan anak perempuannya Suranti Palihwarthi (Wiranatakusumah, 2006)”.
Gambar 3. Motif Ragen Panganten, Banyak Ngantrang, Gaganjar 1, Gaganjar 2, dan Wijaya Kusumah (Wiranatakusumah, 2006).
G. Batik Priangan Modern “Pada abad ke-20, kegiatan membatik berkembang di Cirebon (Trusmi), Indramayu (Paoman), Ciamis (Cikoneng), Tasikmalaya (Sukaraja, Cihideung, Cipedes), dan Garut (Tarogong); yang masing-masing tempat memiliki corak khas, sehingga timbul sebutan Dermayon, Trusmian, Garutan, dll. (Rosidi, dkk., 2000 : 107)”. Tetapi dalam perkembangannya, batik-batik ini pun “telah meluas dan mewahana ke berbagai bentuk pengertian dalam dimensi pemaknaan, prinsip tujuan, hingga pengaruh kebhinekaan budaya Indonesia (Anas, dkk., 1997 : 14)”. Lalu “batik dibangun dengan pandangan dasar artistik yang berkembang sesuai tuntutan zaman (Hasanudin, 2001 : 9)”. Batik, adalah “proses menghias tekstil dengan memakai lilin/malam sebagai penahan zat warna. Proses ini menggunakan teknik celup dingin dengan penerapan lilin/malam memakai teknik canting tulis/cap tembaga. Di masa lalu batik cap tidak dipandang sebagai batik dalam arti sebenarnya, namun hal ini sudah berubah; walaupun ia muncul awalnya semata-mata atas dasar pertimbangan komersial (Tirta, 2005 : 2)”. Namun begitu, secara mendasar istilah Batik Priangan Modern harus dikembalikan ke arah maksud awal kelahirannya, agar bisa dikaji lalu dipahami karakteristiknya secara jelas dalam aspek estetik dan 7
aspek identitas. Pemahaman karya batik pada masa lampau, kini dikaitkan dengan tuntutan masa datang sebagai wujud pengaruh kemodernan. Dalam membahas hal makna kemodernan, “di Indonesia, nilai estetik modern tumbuh pada awal abad ke-20 dan mengalami proses “tekstualitas” kedua – di tanah airnya sendiri– oleh kebudayaan Barat. Sejak mengalami tekstualitas pertama melalui kehadiran nilai estetik modern, dan upaya besar untuk “menggeser” kebudayaan Timur; Bangsa Indonesia telah menjelang menjadi bangsa transisi ke arah bangsa modern seperti halnya bangsa Barat (Sachari, 2006 : 67)”. Secara substansial, “paradigma budaya modern adalah ilmu pengetahuan yang rasionalistik, objektif, dan sistematik (Sumardjo, 2003 : 3)”, dengan kata lain, paradigma ini berisi konsep “rasionalisme yang diyakini mendukung proses produksi industri, dan yang terkait dengan konsep objektivitas, kolektivitas, universalitas dan utilitas, serta budaya komersial (Sparke, 2004)”. Demikian pula, kemodernan menerpa “kebudayaan Sunda yang telah mengalami perubahan besar sejak pengaruh Hindu-Budha, Islam, Jawa, Barat, nasional, bahkan global (Ekadjati, 2005)”, hingga lahir sebutan “Sunda Modern” (Teeuw, 2006 : 5) (Mustappa, 2006 : 157), yakni Sunda yang telah mengalami transformasi budaya secara diakronik-sinkronik, bertumpang-tindih dalam proses asimilasi, akulturasi, enkulturasi, negasi, adopsi dengan aneka kebudayaan baru yang dianggap modern.
Gambar 4. Batik modern (ABS, 2008 : 88. Hamy, dkk., 2009 : 63. Nurhasim, 2009 : 84).
Pada kenyataannya, telah “terjadi bauran nilai estetik antara busana bergaya modern dan tradisional. Awal abad ke-20, saat zat warna dan teknik produksi tekstil berkembang, kain batik cap pun tumbuh pesat. Di masa pasca kemerdekaan busana batik bergaya modern makin meluas akibat batik cap dan mesin tekstil untuk memproduksi kain bermotif batik (Sachari, 2007 : 196)”. “Ragam hias batik telah mengalami pertumbuhan, yakni batik sebagai dagangan dan kebutuhan desain dalam konstelasi konsep kontemporer (modern, pen.) (Hasanudin, 2001 : 16)”. Maka bila sebelumnya batik “dibuat untuk keperluan adat dan budaya internal, lalu juga diproduksi guna pasar eksternal, menjadikannya sebagai komoditas (Anas, 2010 : 9)”. “Perhatian diberikan pada mereka yang berkiprah dalam perspektif pembaruan penerobos kemapanan. Menjelajahi wilayah pendekatan baru di luar konteksnya sebagai warisan budaya yang harus serba pakem (Anas, dkk., 1997 : xv)”. Batik modern sebagai batik dengan “paduan ragam hias asing dengan pola wastra tradisional (Soemantri, dkk., 2002)”. Aktualisasi terhadap Batik Priangan Modern, adalah “bila kita mampu mempelajari latar belakang sejarah, filsafat, simbol, teknik, ekspresi dan segala aspek penciptaan lainnya untuk mendapatkan secercah wisdom yang dimanfaatkan untuk pengembangan kreatifitas manusia kini, dalam menciptakan bentuk artikulasi simbol baru yang sesuai dengan waktunya (Widagdo, 1999 : 1)”. Dalam kerangka pikir modern, “bila berbicara soal tekstil 8
maka pengertiannya berkisar tentang hubungannya dengan fungsi tekstil sebagai sandang, pelengkap rumah, atau komoditas. Sejarah menunjukkan, selalu ada tarikmenarik antara tradisi dan modernisasi. Dinamika dua kutub ini akan menghasilkan sintesa yang harus kita buat sendiri, sesuai dengan kebutuhan kini (Widagdo, 1997 : 1, 5)”. Walaupun, “dewasa ini kita berhadapan dengan fenomena batik tulis dan cap terdesak oleh cara menghias tekstil yang lain. Dalam banyak hal tekstil yang ‘modern’ ini berlindung di bawah ‘bendera’ batik (Tirta, 2005 : 3)”. Beberapa contoh Batik Priangan yang mengalami perkembangan estetik modern, a.l. : (1) Batik Garut; (2) Batik Tasik; (3) Batik Ciamis; (4) Batik Sumedang. No 1.
BATIK SIDOMUKTI PAYUNG
WARNA
IDENTITAS BATIK pola: geometris (ceplok) ragam hias utama: sido dan payung ragam hias tambahan: daun latar: polos
TEKNIK Bahan Katun, naftol Teknik Tulis, celup Babaran muda tua
(Sartika, 1988) Ragam hias sido yang biasa berisi sawat sebagai perlambang dunia atas (kebahagiaan) diubah menjadi payung yang merupakan potensi kerajinan utama daerah Tasik (Payung Tasik). 2 pola: non geometris Bahan MERAK NGIBING (hewan) katun, naftol ragam hias utama: burung Teknik merak tulis, celup latar: polos Babaran muda tua
(Sartika, 1988) Gemulai dan keindahan warna merak sedang menari adalah ragam hias dipengaruhi dermayon.
Gambar 5. Batik Garutan (Sunarya, dkk., 2009 : 36). No 1.
BATIK DAUN SAMPEU CIKUR
WARNA
IDENTITAS BATIK pola: non geometris (buket) ragam hias utama: flora ragam hias tambahan: flora latar: flora desain: Batik Komar
TEKNIK Bahan Katun, naftol Teknik cap, celup Babaran tua muda
(Kudiya, 2005) Ragam hias ini terinspirasi dari tumbuhan yang tumbuh di Priangan, yaitu daun ketela dan buku-buku kencur. Cikur, rempah-rempah berbentuk umbi sejenis dengan jahe memiliki daun lebar dan membulat. 2 pola: geometris (ceplok) Bahan KAWUNG PEUTEUY ragam hias utama: kawung katun, naftol bentuk biji petai Teknik ragam hias tambahan: cap, celup lingkaran Babaran latar: polos tua muda desain: Batik Komar 2005 (Kudiya, 2005) Dipengaruhi dari ragam hias geometris ceplok kawung pada Batik Keraton. Biji peuteuy (parkia speciosa) digunakan sebagai penyusun pengganti buah kawung.
Gambar 6. Batik Tasikan (Sunarya, dkk., 2009 : 38). 9
No 1.
BATIK KERATON GALUH PAKUAN
WARNA
IDENTITAS BATIK pola: non geometris (semen) ragam hias utama: bangunan ragam hias tambahan: flora latar: flora desain: Batik Komar, 2005
TEKNIK Bahan Katun, naftol Teknik cap, celup Babaran tua muda
(Kudiya, 2005) Diilhami oleh kain pengantin yang dahulu dipakai kalangan Bupati Ciamis yang mempunyai hubungan perkawinan dengan Keraton Kasepuhan Cirebon. 2 pola: geometris (liriis) Bahan RERENG CERUTU ragam hias utama: cerutu katun, naftol ragam hias tambahan: border Teknik latar: polos cap, celup desain: Batik Komar, 2005 Babaran tua muda
(Kudiya, 2005) Ragam hias yang dipengaruhi oleh Batik Keraton Jawa, dengan mengubah unsur utama parang (senjata) menjadi stilasi bentuk cerutu atau rokok.
Gambar 7. Batik Ciamisan (Sunarya, dkk., 2009 : 38). No 1.
BATIK HANJUANG
WARNA
IDENTITAS BATIK pola: geometris (ceplok) ragam hias utama: hanjuang ragam hias tambahan: flora latar: flora desain: Batik Komar tahun: 2005
TEKNIK Bahan Katun, naftol Teknik cap, celup Babaran tua muda
(Kudiya, 2005) Motif batik dari tumbuhan yang banyak tumbuh dan menjadi ciri khas di Priangan yaitu hanjuang. Tumbuhan ini sering dipakai sebagai tanaman pelindung dan pembatas blok pada sawah, ladang, serta perkebunan teh atau kina di Indonesia. Hanjuang C. fruticosa, populer sebagai tanaman hias, daun pembungkus makanan. 2 pola: non geometris (semen Bahan DRINTIN fauna) katun, naftol ragam hias utama: rusa Teknik ragam hias tambahan: flora tulis, celup latar: flora Babaran desain: Batik Komar, 2005 tua muda (Kudiya, 2005) Drintin (dieren tuin) berarti kebun binatang yang berada di Bandung untuk pertamakalinya.
Gambar 8. Batik Sumedangan (Sunarya, dkk., 2009 : 34).
H. Simpulan Atas dasar uraian lengkap di atas, maka simpulan yang didapat, sbb.: (a) Nilai kesundaan di dalam ragam rupa Batik Priangan Modern –ragam hias, tema, pola, penamaan, warna– yang dapat mewakilinya, kemudian bisa dijadikan refleksi dalam konstelasi estetik dan identitas masyarakat Priangan. (b) Perkembangan Batik Priangan yang telah meluas ke berbagai bentuk dimensi pemaknaan, tujuan, hingga pengaruh keragaman budaya modern, dapat diklasifikasikan ke dalam ranah estetik. 10
Daftar Pustaka ABS (2008) : Enung NH Kamaludin Penyelamat Batik Sukapura, Majalah Kriya Indonesian Craft, 11. Anas, B., Hasanudin, Panggabean, R., dan Sunarya, Y. (1997) : Indonesia Indah Buku ke-8, Batik, Jakarta : Yayasan Harapan Kita – BP3 Taman Mini Indonesia Indah, Perum Percetakan Negara RI, cetakan I. Anas, B. (2010) : Serat dan Kain Dalam Ranah Kriya Tradisi Kebanggaan Bangsa, Pidato Ilmiah Guru Besar ITB di Balai Pertemuan Ilmiah ITB 20 Februari 2010, Bandung : Majelis Guru Besar ITB. During, S. (2005) : Cultural Studies, A Critical Introduction, New York: Routledge London & New York, 1st Published. Ekadjati, E.S. (2005) : Kebudayaan Sunda : Suatu Pendekatan Sejarah, Jilid 1, Cetakan kedua, Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya. Ekadjati, E.S. (2005) : Kebudayaan Sunda : Zaman Pajajaran, Jilid 2, Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya. 12. Hamy, S., dan Suryawan, D.S. (2009) : Batik Jawa Barat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hasanudin, Drs., M.Sn. (2001) : Batik Pesisiran : Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik, Cetakan I, Bandung : PT Kiblat Buku Utama. Heskett, J. (2002) : Toothpicks and Logos, Design in Everyday Life, New York : Oxford University Press, 1st Published. Kudiya, H.K., M.Ds., Sunarya, Y., dan Chandra T. (2005) : Motif Batik, Batik dan Tenun, Perspektif Industri dan Dagang, Bandung : DEPPERIN RI. Kudiya, H.K., M.Ds. (2005) : Gelar Batik Terpanjang di Dunia 465,5 Meter, Jakarta : Yayasan Batik Indonesia. Lubis, N.H., Nugraha, A., Wildan, D., Dyanti, E.S., Sofianto, K., Falah, M., Dienaputra, R.D., dan Djubiantono, T. (2003) : Sejarah Tatar Sunda, Jilid 1, Bandung : PPKK Lembaga Penelitian UNPAD dan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cab. Jawa Barat. Mustappa, A. (2006) : Mh. Rustandi Kartakusuma : ke Arah Pendekatan Kritik Sastera Sunda, 157 dalam Rosidi, A., Ekadjati, H.E.S., dan Alwasilah, A.C., Ed., Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS), Jilid 1, Bandung : Yayasan Kebudayaan Rancage dan PT Dunia Pustaka Jaya. Nurhasim, A. (2009) : Corak Kebangsaan Batik Mutakhir, Majalah Arti Seni untuk Kehidupan, 019. Rohidi, T. R., Prof., Dr., M.A., (2000) : Kesenian, Tinjauan dalam Perspektif Kebudayaan, Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan, Cetakan I, Bandung : STISI Press. Rosidi, A., Ekadjati, E.S., Djiwapradja, D., Suherman, E., Ayatrohaedi, Abdurrachman, Nano, S., Soepandi, A., dan Sasteradipoera, K. (2000) : Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, Jakarta : Pustaka Jaya, cetakan I. Sachari, A. (2004) : Peran Nilai Estetis Modern Dalam Perkembangan Desain Abad ke-20 di Indonesia, Disertasi Doktor, Bandung : Institut Teknologi Bandung. Sachari, A. (2006) : Estetika : Makna, Simbol dan Daya, Cetakan ke-3, Bandung : Penerbit ITB, 67. Sachari, A. (2007) : Budaya Visual Indonesia, Jakarta : Penerbit Erlangga. Sadali, A. (2000) : Asas-Asas Identitas Seni Rupa Nasional, 13 dalam Anas, B., Sabana, S., Yustiono, Widihardjo, Piliang, Y.A., dan Mamannoor, Ed., Refleksi Seni Rupa Indonesia Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta : PT Balai Pustaka. Sartika, A. (1988) : Tinjauan Desain Batik Garut, Skripsi Program Sarjana, Bandung : FSRD ITB. Sedyawati, E. (2006) : Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sparke, P. (2004) : An Introduction to Design and Culture (1900 to The Present), Edition 2.0, London : Routledge. Spradley, J. P. (2006) : Metode Etnografi, Terjemahan, edisi II cetakan ke-1, Yogyakarta : Tiara Wacana. Sumardjo, J. (2003) : Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda : Tafsir-Tafsir Pantun Sunda, Bandung : Penerbit Kelir. Sunarya, Y. (2004) : Titian Batik Kontemporer: Wacana Citra Eklektik, Budaya, dan Komersial, Kurasi dalam Gelar Karya Eksplorasi Batik Terpanjang di Dunia 2004, Bandung: Rumah Batik Komar. Sunarya, Y., Syarief, A., Joyodihardjo, B.J. (2007) : Telaah Semantika Kain Batik Tasik : Identifikasi Persepsi Subjek Terhadap Makna Tampilan Warna, Corak, dan Tekstur Kain Batik Tasik, Program Riset Unggulan ITB 2007, Bandung : LPPM ITB. Sunarya, Y., Anas, B., Piliang, Y.A., Santosa, I., dan Syarief, A. (2009) : Pemetaan dan Inventarisasi Desain Batik Tradisional sebagai Langkah Cultural Herritage Dalam Upaya Pengembangan Artefak Berbasis Local Genius Sentra Industri UKM dalam Era Industri Kreatif, Program Riset Kompetitif HPSN Batch II, Bandung : LPPM ITB. Supangkat, J., dan Zaelani, R.A. (2006) : Ikatan Silang Budaya : Seni Serat Biranul Anas, Bandung: Art Fabrics dan KPG. Suryani NS., E., dan Marzuki, A. (2005) : Kamus Bahasa Sunda Buhun, Sumedang : Alqaprint Jatinangor, cetakan I. Teeuw, A. (2006) : Old Sundanese Poetry, 5 dalam Rosidi, A., Ekadjati, H.E.S., dan Alwasilah, A.C., Ed., Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS), Jilid 1, Bandung : Yayasan Kebudayaan Rancage dan PT Dunia Pustaka Jaya. Tirta, I. (2005) : Quo Vadis Batik Indonesia, Makalah dalam Seminar Sehari Temu Usaha Terpadu IKM Batik Nusantara 22 November 2005, Cirebon : Direktorat Industri Sandang Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. Widagdo, Drs., Dipl. Inn. Arch. (1997) : Sekilas Tentang Tekstil Indonesia, Makalah dalam Seminar Desain Tekstil Indonesia 2000 : Tantangan dan Peluang Pendidikan, Profesi, Apresiasi, 15 November 1997, Bandung : Program Studi Desain Tekstil FSRD ITB. Widagdo, Drs., Dipl. Inn. Arch. (1999) : Pengembangan Desain Bagi Peningkatan Kriya, Makalah dalam Konferensi Tahun Kriya dan Rekayasa 26 November 1999, Bandung : ITB. Wiranatakusumah, R. L. (2006) : Batik Pakuan Padjadjaran Wawancara : Hidayat Suryalaga (budayawan Sunda) (2010) dalam Festival Batik dan Bordir Jawa Barat 2010, Bandung 14 Agustus 2010, Gedung Graha Manggala Siliwangi, Pemprov Jawa Barat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
11