SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA
Priangan dalam Kehidupan Franz Wilhelm Junghuhn IKHTISAR: Orang Eropa, terutama orang Belanda, pada zaman kolonial menyebut dataran tinggi di belahan barat Pulau Jawa sebagai “Preanger” atau “Prijangan”. Istilah “Preanger” untuk wilayah-wilayah di dataran tinggi Jawa Barat memang berpaling dan merujuk ke masa kolonial. Esai ini membahas beberapa segi sejarah Priangan, dataran tinggi di Jawa Barat, pada abad ke-19 dalam kaitannya dengan sosok, perjalanan hidup, dan karya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Figur tersebut adalah peneliti, penjelajah, dan pejabat kolonial Belanda kelahiran Jerman, yang selama 13 tahun tinggal dan bekerja di Hindia Belanda. Dari penyelidikan keilmuannya dihasilkan karya utamanya mengenai morfologi Pulau Jawa, yang mendapat pengakuan masyarakat ilmiah di tingkat internasional pada masanya. Karya itu bukan hanya berupa tulisan terperinci mengenai bentang alam Pulau Jawa, melainkan juga berupa citraan visual seperti sketsa, peta topografi, dan gambar elok. Priangan merupakan salah satu area penelitian Franz Wilhelm Junghuhn, bahkan menjadi tempat ia tinggal dan bekerja pada tahuntahun terakhir menjelang ia wafat. Tulisan dan gambar karya Franz Wilhelm Junghuhn mengenai Priangan dapat memperkaya historiografi mengenai dataran tinggi tersebut pada abad ke-19. KATA KUNCI: Franz Wilhelm Junghuhn, Priangan abad ke-19, citraan visual, ilustrasi, historiografi, dan bentang alam pulau Jawa. ABSTRACT: “Priangan in the Life of Franz Wilhelm Junghuhn”. Europeans, particularly the Netherlands, in the colonial times call plateau in western Java as “Preanger” or “Prijangan”. The term of “Preanger” to the areas in the highlands of West Java is to turn and refer to the colonial period. This essay discusses some aspects of the history of Priangan, a plateau in West Java, in 19th century in relation to the figure, life journey, and works of Franz Wilhelm Junghuhn (18091864). The figure was German-born Dutch researcher, explorer, and colonial official, who for 13 years had lived and worked in Dutch East Indies. Based on his scientific investigation, he had contributed his major work on morphological aspects of Java’s natural landscapes that had gained the recognition from international scientific communities at the time. His works didn’t only present detailed account of natural landscapes of Java, but also presented several visual images, such as sketches, topographical maps, and picturesque images. Priangan was one of Franz Wilhelm Junghuhn’s areas of research, even a place where he lived and worked during the last years before his death. Franz Wilhelm Junghuhn’s writings and drawings on Priangan can enrich the historiography of the plateau in 19th century. KEY WORD: Franz Wilhelm Junghuhn, 19th century Priangan, visual images, illustrations, historiography, and natural landscapes of Java.
PENDAHULUAN Esai ini akan melihat beberapa segi sejarah Priangan, dataran tinggi di belahan barat Pulau Jawa, pada abad ke-19, sebagaimana yang tercermin
dari sosok, perjalanan, dan karya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Figur tersebut adalah ilmuwan Belanda kelahiran Jerman, yang selama 13 tahun tinggal dan bekerja di Hindia
About the Authors: H.W. Setiawan adalah Mahasiswa Program Doktor di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (Institut Teknologi Bandung) dan Dosen di UNPAS (Universitas Pasundan) Bandung, Jawa Barat, Indonesia; dan Prof. Dr. Setiawan Sabana adalah Guru Besar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Jalan Ganesha No.10 Tamansari, Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Untuk kepentingan akademis, penulis bisa dihubungi dengan alamat emel:
[email protected] and
[email protected] How to cite this article? Setiawan, H.W. & Setiawan Sabana. (2015). “Priangan dalam Kehidupan Franz Wilhelm Junghuhn” in SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Vol.3(1), Maret, pp.31-56. Bandung, Indonesia: Minda Masagi Press and UBD Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, ISSN 2302-5808. Available online also at: http://susurgalur-jksps.com/priangan/ Chronicle of the article: Accepted (September 9, 2014); Revised (December 19, 2014); and Published (March 24, 2015).
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
31
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Belanda, mula-mula di Sumatra kemudian di Jawa. Di Pulau Jawa, ia mengadakan penyelidikan keilmuan mengenai morfologi bentang alam, hingga menghasilkan banyak tulisan dan citraan visual mengenai bentang alam tersebut. Priangan merupakan bagian dari area penelitian Franz Wilhelm Junghuhn, juga tempat dia tinggal dan bekerja pada tahun-tahun menjelang akhir hayatnya. Orang Eropa, terutama orang Belanda, pada zaman kolonial menyebut dataran tinggi di belahan barat Pulau Jawa sebagai Preanger. Isaac Groneman, dokter yang pernah bekerja di Bandung yang juga sahabat karib Franz Wilhelm Junghuhn, menerangkan dalam bukunya, Waar of Onwaar? Nieuwe Indische Schetsen (1879), bahwa Preanger adalah penyimpangan Belanda dari nama Sunda untuk wilayah pegunungan Prijangan. Adapun Jan Breman (2010), dalam karyanya tentang sejarah tanam paksa di Priangan, menjelaskan bahwa: Istilah Preanger, untuk wilayah-wilayah di dataran tinggi Jawa Barat, berpaling ke masa kolonial. Dalam nama itu, yakni keliru ucap untuk Priangan atau Parahyangan, terkandung banyak arti yang berlainan. Salah satu di antaranya menunjuk ke wilayah-wilayah sunyi dan tak berpenghuni. Arti ini mengacu kepada huru-hara yang disusul dengan kemerosotan dan akhirnya kehancuran Kerajaan Hindu Pajajaran. Tentang sejarah, struktur, dan ukuran negara pra-kolonial ini, yang pusatnya telah dipastikan terletak di dekat Bogor sekarang, sedikit yang diketahui. Mengenai keberadaannya pada abad ke-14 dan 15 Masehi, banyak bukti dari temuan arkeologis yang dapat menopang kesimpulan tentang terjadinya pengHindu-an pada masa lalu, tetapi tidak dapat menerangkan keadaan lahan tempat didirikannya sistem pertanian. Sisasisanya dilaporkan oleh De Haan pada awal abad ke-20. Prabu Siliwangi, sebagai keturunan terakhir dari raja di kerajaan yang sedang surut itu, bersusah-payah melawan para penggerak Islamisasi, yang bercokol di kota-kota pelabuhan di pesisir utara. Dia pergi pada pertengahan abad
32
ke-15, setelah wilayahnya menyerah akibat serangan dari Banten dan Cirebon (Breman, 2010:17, terjemahan HWS).
PRIANGAN ATAU PREANGER Wilayah Priangan yang dibicarakan oleh Franz Wilhelm Junghuhn, dalam buku-bukunya, disebut dengan nama Preanger, meskipun dalam peta topografisnya ia memakai sebutan Prijangan. Ia juga memakai istilah administratif yang berlaku pada zamannya, yaitu Preanger Regentschappen atau Keresidenan Priangan (cf De Wilde, 1830; Kern, 1898; dan De Haan, 1910). Selain Preanger Regentschappen, ada beberapa istilah yang berkaitan dengan wilayah Jawa bagian barat dalam buku-buku karya Franz Wilhelm Junghuhn, yaitu Preanger (Priangan), Soenda (Sunda), Soendanezen (masyarakat Sunda), Soenda-landen (tatar Sunda), Soendaeilanden (kepulauan Sunda), dan Soenda-taal (bahasa Sunda). Ada pula dua istilah, yaitu Soendasche dan Soendasch, yang digunakan dalam berbagai acuan, misalnya Soendasch Legend (Legenda Sunda). Secara umum, istilah-istilah tersebut mewartakan adanya gugusan pulau yang bernama Soenda-eilanden, dan salah satu bagiannya adalah Pulau Jawa. Pulau Jawa terbagi tiga, yaitu bagian barat, tengah, dan timur. Jawa bagian barat disebut Soenda-landen, yang masyarakat pribuminya disebut Soendanezen dan bahasa utamanya disebut Soenda-taal (Junghuhn, 1853). Salah satu bagian dari Soendalanden adalah Preanger, yang secara administratif merupakan wilayah Preanger Regentschappen. Sebagaimana Jakarta menjadi Batavia dan Bogor menjadi Buitenzorg, penyimpangan seperti ini kiranya bukan tidak disengaja. Paling tidak, memang terdapat suatu keperluan di kalangan penguasa kolonial untuk menekankan impresi Eropa atas daerah jajahannya di negeri tropis ini (Maronier, 1967; dan
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Gambar 1: Peta Wilayah Pegunungan Prijangan (Priangan) Abad ke-19 dalam Franz Wilhelm Junghuhn (1857).
Protschky, 2008). Di Hindia Belanda, para penguasa kolonial memimpikan apa yang mereka sebut sebagai “Eropa di Negeri Tropis” atau Europa in de Tropen. Wilayah Priangan adalah tempat Franz Wilhelm Junghuhn memulai perjalanan dalam penyelidikan kebumian di Jawa, yang dilakukannya pada 1844. Dia berangkat dari wilayah Bogor, di sekitar Megamendung, menuju ke wilayah Cianjur, dan terus bergerak ke timur hingga dapat menjelajahi seantero Pulau Jawa, dengan menumpang kereta kuda, menunggang kuda, atau berjalan kaki. Itulah yang tercatat dalam bukunya Franz Wilhelm Junghuhn, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw, Vol.1 (1857), yang dijadikan rujukan utama bagi uraian dalam esai ini. Buku ini terdiri atas tiga bagian, yang dituangkan dalam empat jilid. Seluruh uraiannya mencapai ketebalan lebih dari 1,000 halaman. Bagian pertama (eerste afdeeling) membahas “bentuk dan lapisan tanah” (de gedaante en de bekleeding des lands).
Bagian kedua membahas “gunung api dan gejala kegunungapian” (vulkanen en de vulkanische verschijnselen). Bagian ketiga membahas karakteristik gununggunung di Jawa, yang disebut sebagai “pegunungan Neptunian” (Neptunische gebergten). Buku-buku Franz Wilhelm Junghuhn disusun dan disunting di Belanda, berdasarkan catatan lapangannya yang dibuat di Pulau Jawa. Franz Wilhelm Junghuhn kembali ke Belanda pada bulan November 1849 untuk tetirah (pergi ke suatu tempat untuk perawatan). Semula dia berencana cuti di sana selama setahun saja. Namun, masalah kesehatan memperlama masa tinggalnya di Eropa. Hingga November 1851, dia masih harus menggarap pekerjaannya, antara lain menyunting peta Pulau Jawa. Sketsa-sketsa yang ditulisnya, selama mengadakan perjalanan di Jawa, diupayakan terbit sebagaimana keadaan awalnya. Lihat gambar 1. Mengenai Priangan sebagai Wilayah Pegunungan. Dalam bukunya
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
33
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Tabel 1: Wilayah Priangan pada zaman Franz Wilhelm Junghuhn Keresidenan Keresidenan Priangan
Kabupaten Kabupaten Cianjur
Kabupaten Bandung
Kabupaten Sumedang
34
Kecamatan Ciputri. Ciblagung. Cibeureum. Bayabang. Kaliastana. Padakati. Peser. Cikondang. Jampang Wetan. Jampang Tengah. Jampang Koelon. Cibetuk. Maleber. Cikalong. Gandasoli. Cianjur. Gunung Parang. Cimai. Cielan. Cicurug. Sunyawenang. Palabuan. Cikembar. Cidamar. Randung. Ujungberung Kulon. Ujungberung Wetan. Cicalengka. Balubur Limbangan. Timbanganten. Cikembulan. Majalaya. Cipenjen. Banjaran. Kopo. Cisondari. Rongga. Cilokotot. Rajamandala Ciea. Cikao. Tanjungsari. Malandang. Conggeang. Darmawangi. Cibeureum. Ciakar. Sumedang. Cikadu. Darmaraja, Pawenang. Malembong. Ciawi. Indihiang. Tasikmalaya. Singaparna.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Keresidenan Keresidenan Priangan
Kabupaten Kabupaten Sukapura
Kabupaten Limbangan
yang berjudul, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Vol.1 (1857), terdapat tabel wilayah Jawa yang diteliti oleh Franz Wilhelm Junghuhn. Pulau yang dia sebut het geliefde Java (Jawa tercinta) itu terdiri atas Jawa bagian barat, tengah, dan timur. Ketika Franz Wilhelm Junghuhn mengawali kegiatannya, dia mendata sedikitnya 559 wilayah kabupaten dan tanah partikelir di Jawa. Dalam tabel tersebut, wilayah Jawa bagian barat terbagi kedalam beberapa wilayah yang lebih kecil, yaitu Bantam (Banten), Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Krawang (Karawang), Preanger Regentschappen, dan Ceribon (Cirebon). Keresidenan Priangan sendiri terdiri atas lima kabupaten (regentschap), yaitu: Canjur (Cianjur), Bandong (Bandung), Sumedang, Sukapura (Tasikmalaya), dan Limbangan (Garut). Masing-masing kabupaten terdiri atas sejumlah distrik. Rincian wilayah Priangan pada zaman Franz Wilhelm Junghuhn dapat dilihat dalam tabel 1. Dalam peta di gambar 1, Franz Wilhelm Junghuhn mendata gununggunung di Priangan. Di wilayah
Kecamatan Pasirpanjang. Mangunjaya. Janggala. Banjar. Kawasen. Kalipucang. Cikembulan. Parigi. Ciculang atau Ciwaru Mandala. Parung. Karang. Selacau. Pasiredan. Taraju. Ratuwangi. Negara. Kandangwesi Garut. Panimbang. Suci. Pasanggrahan. Wanaraja. Wanakerta.
paling barat terdapat Gunung Gede, sedangkan di wilayah paling timur terdapat Gunung Ciremai. Di wilayah paling utara terdapat Gunung Tangkubanparahu, sedangkan di wilayah paling selatan terdapat Gunung Papandayan. Seluruhnya meliputi 35 gunung, yang terbagi kedalam kelompok gunung yang puncaknya berkawah (gipfel mit einem krater), yaitu Gunung Gede, Patua (Patuha), Tangkubanprau (Tangkubanparahu), Wayang, Kimanuk, Pepandayan (Papandayan), Guntur, Talagabodas, Galunggung, Tampomas, dan Cerimai (Ciremai); dan kelompok gunung yang puncaknya tidak berkawah (gipfel ohne krater), yaitu Burangrang, Bukittunggul, Pulusari (Pulosari?), Bukitjarian, Rekutak, Kimanuk, Puncakcai, Patengteng, Mandalawangi, Agung, Buyung, Keledon, Ruyung, Sembilang, Gerimbi, Koromong, Sidakeling, Cikuray, Kracak, Tilu, Malawar (Malabar), Manglayang, Malembong, dan Sawal. Di wilayah ini terdapat pula daerah pegunungan kars (kalk gebirge). Peta ini juga memperlihatkan bahwa wilayah pegunungan dialiri oleh sungai-sungai
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
35
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
seperti Ci Tarum, Ci Sokan, Ci Manuk, Ci Wulan, dan Ci Tanduy. Di sejumlah tempat aliran sungai menerobos gunung atau celah-celah sempit (quer durchbrüche der flüfse durch bergketten; oderenge klüfte). Terdapat pula sejumlah rawa. Di wilayah pegunungan itu, Franz Wilhelm Junghuhn menemukan masyarakat tersendiri, yang tampaknya sangat dia hargai. Bagi Franz Foto 1: Wilhelm Junghuhn, tinggiBuku Karya Franz Wilhelm Junghuhn, Edisi Jerman, yang Derjemahan oleh J.K. Hasskarl dan Wadah Peta Topografisnya, rendahnya tempat tinggal Koleksi Perpustakaan Badan Geologi di Bandung masyarakat dari permukaan (Sumber: Foto oleh Tatang Sumarsono) laut menentukan tinggirendahnya kedudukan masyarakat yang bersangkutan. Dalam dia mengawali catatannya dengan konteks ini, E.M. Beekman menulis memetik puisi dari Schiller atau Goethe, bahwa dalam persepsi Franz Wilhelm dan ada kalanya petikan puisi Jerman Junghuhn: muncul di tengah permenungannya. Catatan-catatan yang dibuat di Superioritas manusia, tumbuhan, atau lapangan itu juga menyerupai risalah hewan ditentukan oleh elevasi. Masyarakat akademis serta pemerian ensiklopedis. Tengger yang ulung, tinggal dalam Aspek-aspek geologis, palaeontologis, elevasi antara 5,000 dan 7,500 kaki [...], dan kultural wilayah yang dia jelajahi masyarakat Sunda yang unggul, antara 2,000 dan 4,000 kaki [...], masyarakat dikemukakan secara terperinci (cf Batak di Sumatra yang istimewa, antara Berlage, 1931; Wagner, 1988; Berg, 4,000 dan 5,000 kaki [...] — tapi dataran 2001; dan Bloembergen, 2004). Bagiantinggi mereka gersang dan sepenuhnya bagian terakhir buku ini, yang bertajuk gundul — dan masyarakat Jawa yang rendah, hanya antara 200 dan 250 kaki “Terugblik” (Tinjauan), antara lain berisi di atas permukaan laut [...]. Dengan skala kronik peristiwa alam yang berlangsung demikian, tak pelak lagi orang-orang di Hindia Belanda, khususnya di Jawa, Belanda yang menjadi atasan Junghuhn tak terkecuali di Jawa Barat. Misalnya, jarang disebut-sebut (Beekman, 1996a:42, catatan tentang gempa bumi di terjemahan HWS). Pangalengan pada 2 Maret 1848 sekitar Mengenai Priangan sebagai jam 11.30 malam waktu setempat Lapangan Penelitian. Dalam buku (Junghuhn, 1857). Ketiga fungsi itu Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, dipenuhi sekaligus, sehingga tidak en Inwendige Bouw, Vol.3 (derde deel), mudah kita menggolongkan buku Franz Franz Wilhelm Junghuhn menyuguhkan Wilhelm Junghuhn kedalam kategori 20 “sketsa” (schets) mengenai penulisan tertentu. Lihat foto 1. perjalanannya menjelajahi Pulau Sebagaimana pada jilid lainnya, Java, Jawa, tak terkecuali wilayah Priangan. Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Uraiannya dalam buku itu menyerupai Inwendige Bouw, Vol.3 (derde deel), juga catatan harian, yang ditulis dari hari ke disisipi sejumlah sketsa atau gambar. hari, lengkap dengan keterangan tempat Sketsa dalam buku ini memperlihatkan dan waktu penulisannya, dari 7 Agustus rincian topografis kawasan pegunungan. hingga 21 November 1844. Ada kalanya Pembahasan mengenai gambar36
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
gambar itu akan dikemukakan pada bagian berikutnya. Dalam pengantar untuk buku Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Vol.1, Franz Wilhelm Junghuhn menuturkan bahwa: Hanya dengan bertopang pada kekuatan sendiri, saya mengawali penyelidikan kebumian saya di Jawa pada tahun yang sama ketika saya, sebagai perwira Kesehatan untuk Tentara Hindia, menginjakkan kaki di pulau itu untuk pertama kalinya; saya memiliki ilmu pengetahuan, yang dengannya saya berlatih, selama sekitar 12 tahun di sana, sebagai tempat kudus yang saya hargai dan saya hormati, — seiring dengan keheningan di sepanjang jalan yang tiada bandingannya, saya menyusuri gununggunung dan hutan-hutan di Kepulauan Sunda yang elok, tanpa hal lain dalam diri saya, daripada rasa cinta kepada ilmu pengetahuan, dan antusiasme terhadap gejala alam, yang telah membenamkan saya, — maka sudah sepatutnyalah untuk dipertimbangkan, bahwa di sini, di Belanda, saya juga ingin mempertahankan bahan yang saya kumpulkan, bahkan mengarahkan terbitan yang disiapkan untuk pers (Junghuhn, 1857, 1:4, terjemahan oleh HWS).
Sejauh yang berkaitan dengan wilayah Priangan, pembaca mendapatkan lima sketsa dari buku Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Vol.3. Berturut-turut, dia menyuguhkan “sketsa pertama” (eerste schets) mengenai perjalanan dari Buitenzorg (Bogor) ke Bandong (Bandung) dengan tempat dan tanggal penulisan Cianjur, 7 Agustus 1844; dan Bandung, 9 Agustus 1844. “Sketsa kedua” (tweede schets) mengenai observasinya atas gunung ke-13 yang diamatinya, yakni Gunung Guntur, dengan tempat dan tanggal penulisan Garut, 11 dan 12 Agustus 1844. “Sketsa ketiga” (derde schets) mengenai observasinya atas gunung ke-17, yakni Gunung Cikurai, dengan tempat dan tanggal penulisan Cikuwiwi, 12 dan 13 Agustus 1844; dan Garut, 14 Agustus 1844. “Sketsa keempat” (vierde schets)
mengenai perjalanannya dari Garut ke Sumedang, dengan tempat dan tanggal penulisan Pawenang, 15 Agustus 1844; dan Sumedang, 16 Agustus 1844. “Sketsa kelima” (vijfde schets) mengenai observasinya atas gunung ke-20, yakni Gunung Tampomas, dengan tempat dan tanggal penulisan Cirebon, 17 Agustus 1844. Sketsa selanjutnya mengenai perjalanan Franz Wilhelm Junghuhn di wilayah Jawa bagian tengah dan timur, hingga “sketsa kedua puluh” (twintigste schets) yang ditulis di Kediri, Jawa Timur, pada 21 November 1844. Franz Wilhelm Junghuhn mengadakan perjalanan ke pegunungan dengan berjalan kaki, ditemani oleh sejumlah kuli. Ada kalanya, jika melewati jalan besar, dia bersama rombongan memanfaatkan kereta kuda. Ada kalanya pula, seperti ketika dia mengunjungi Jawa Tengah, dia menumpang kereta api. Di wilayah Priangan, Franz Wilhelm Junghuhn antara lain mendaki Gunung Galunggung dan Gunung Wayang pada tahun 1846; Kawah Ciwidey pada tahun 1847 (Dédé, 2013:40); dan Kawah Gunung Tangkubanparahu pada tahun 1848 (Junghuhn, 1857:47). Dalam perjalanannya, Franz Wilhelm Junghuhn tidak hanya mencatat gejala alam, yakni minatnya yang utama, melainkan juga mencatat gejala budaya (cf Ten Kate, 1913; dan Loos-Haaxman, 1968). Contohnya, perjalanan dengan kereta kuda merupakan salah satu gejala budaya yang tampaknya sangat menarik baginya. Ketika dia bersama rombongan mengadakan perjalanan dari Bogor ke Bandung, melewati Cianjur, pada tahun 1844, dia melukiskan sebagai berikut: Tiada yang lebih baik menggugah perasaan daripada kereta di Jawa, yang ditarik dengan kuda Jawa dan dikendalikan oleh kusir Jawa. Dari luar roda berderak dan kuda mendengus, — dari dalam selusin kotak dan tabung timah bergemerincing, — dari depan terdengar lecutan tangan kusir, — dan dari belakang trio pelari memperdengarkan gencarnya konser
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
37
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
vokal mereka: ayo - uh, - ayo - bur – hui - hui, bur! — memang tidak melengking seperti roerende Jenny Lind,1 tapi toh cukup memekakkan telinga (Junghuhn, 1857:512, terjemahan HWS).
Dalam penyelidikan kebumian di kawasan Priangan, Franz Wilhelm Junghuhn sempat melakukan penyelidikan arkeologis. Pada tanggal 18 Agustus 1843, dia menemukan sisa-sisa peradaban Hindu (Hindoe-oudheden) di lereng selatan pegunungan di belahan utara Bandung. Jejak-jejak masa lalu itu terdapat di Pasir Cipansalu dan Pasir Pamoyanan. Berikut ini adalah petikan rincian temuannya, yang ditulis oleh Franz Wilhelm Junghuhn di Nagarawangi, Bandung, pada tanggal 20 Agustus 1843: I. Di Pasir Cipansalu. Punggung gunung ini adalah salah satu kawasan melintang yang terpanjang, yang menurun dari puncak Manglayang di dataran tinggi ini, dan dari lengkungan tanah di sebelah timur terdapat pasanggrahan Nagarawangi, yang terpisah dari Cipansalu hanya dengan sebuah celah. Jejak-jejak masa lalu ini paling hanya 1.5 paal di selatan-selatan-timur dari pasanggrahan itu, dan dengan turun 800 kaki, terdapat kampung Cipansalu, dan terdapat: a. Dua patung Siwa (yaitu Mahadewa), yang satu tingginya satu kaki, yang lain tingginya satu setengah kaki, sangat tua, sudah rusak, dengan kepala (yang kelihatannya dirusak) sudah lapuk sehingga hampir sukar dikenali; b. Sekitar 2,000 langkah ke bawah, ada patung banteng, Nandi, juga tanpa kepala. Punggung gunung ini dilingkupi belantara yang ditumbuhi pohon klaga, scitamineae, akasia, dan emblica. II. Di Pasir Pamoyanan, pada garis lurus sekitar 1.5 paal ke utara, 75 derajat ke barat dari pasanggrahan Nagarawangi, dengan ketinggian yang lebih-kurang sama. Di punggung gunung yang garisnya paling panjang, orang turun dari puncak Palasari (yang juga disebut Kasur) ke dataran tinggi Bandung. Pertama-tama orang menyusuri 1 Jenny Lind, nama panggung Johanna Maria Lind (1820-1887), adalah penyanyi opera terkemuka dari Swedia.
38
jalan raya tempat inspeksi kopi ke arah kampung Pamoyanan, kemudian dari situ naik ke gunung di antara klaga dan jajaran Citayabumi yang tengah tumbuh di punggung gunung yang berdekatan, dan jejak-jejak masa lalu di sini adalah: c. Sebuah altar, yang bentuknya hampir menyerupai kotak, tinggi dan lebar, dan sudut-sudutnya diberi hiasan bagus yang menonjol dan di atasnya terdapat lubang persegi, sedalam 0.5 kaki, tempat air hujan tertampung; d. Dua patung Siwa (juga sebagai Mahadewa), yang satu tingginya 1.5 kaki, yang lain tingginya 2.5 kaki, sangat tua, yang permukaannya sudah lapuk dan tertutup lumut, tapi sebagai citraan Siwa sangat jelas terlihat dari perhiasan tangan, leher, dan telinganya yang lazim, juga dari sabuk yang melilit tubuhnya dengan bentuk menggelembung dan terutama dari selang dan tiara. Juga dari penampilannya tampak bahwa kepalanya pernah mengalami perusakan. Keduanya paling tidak memiliki penampilan, seolah-olah di kemudian hari orang mengakuinya. e. Sebuah patung Durga, atau Parawati, pendamping Siwa, dengan perhiasan serupa, sebagaimana yang dapat dilihat orang di candi Prambanan, yang oleh orang Jawa dewasa ini disebut Lorojonggrang. Sosok ini terbuat dari batu panjang (1.5 kaki) yang dipahat ke atas, dan memperlihatkan sosok wanita yang cantik dengan bentuk raut nan bundar dan lembut, serta dahi yang agung, payudara membusung, dan proporsi anatomis yang sangat sempurna di setiap lekuknya. Dia berdiri di atas banteng Nandi; di sampingnya berlutut Maisasura yang ditundukkannya, dan di belakangnya ada dua lengan ragawi yang merentang ke samping tapi dari tiga lengan simbolis, beserta atribut Siwa yang lazim: cakram, trisula, belati, dll., dalam kuasanya. Sosok ini hampir seluruhnya masih utuh, bahkan perhiasan di lengan dan kakinya masih terlihat jelas. Ketiga sosok ini berdiri di atas tiga pelataran yang berbeda satu dari yang lainnya, yang barangkali merupakan pelataran-seni, yang dibuat dari batubatu persegi, yang sekarang tertimbun di dalam tanah dan mungkin sudah dibuat lagi di bumi. Patung-patung itu
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
niscaya dipahat pada batu yang berasal dari lava trachytisch, yang mengalami dekomposisi, di tempat lava itu ditemukan, lebih tua daripada candi-candi terkenal di pegunungan Dieng, juga lebih tua daripada yang terdapat di Prambanan. Semuanya, dalam citarasa belahan timur Jawa yang indah, hingga simetrinya yang sangat sempurna, ditata sedemikian rupa, adapun benda-benda sejenis yang tidak berarti hingga batu bertapak yang tiada berseni pada Batu Tulis di Bogor atau Arjo di Cikopo, tampaknya bukan berasal dari Hindu. Sebagaimana yang telah dikatakan, tidak ada lagi jalan yang menuju ke sisa-sisa tempat menyembah dewa ini. Kawanan harimau kini berumah di sini, di tempat yang sebelumnya digunakan oleh para rahib untuk mempersembahkan kurban kepada dewa mereka, dan hutan menaunginya, — tenang dan hening, — bahkan tersembunyi di dalam kegelapan. Dan seperti bisikan roh, angin berdesir di pucuk-pucuk akasia dan epicharis, — seakan berbisik lirih kepada kita: bahwa segala sesuatu, segalanya, bahkan yang terindah sekalipun, niscaya bakal binasa! (dalam Indisch Magazijn, 1844:228-231; dan Junghuhn, 1857, terjemahan HWS).
Mengenai Priangan sebagai Tempat Tinggal Franz Wilhelm Junghuhn. Salah satu tempat di Priangan yang hingga kini tidak dapat dilepaskan dari nama Franz Wilhelm Junghuhn adalah Cagar Alam Junghuhn, yang juga biasa disebut Taman Junghuhn. Cagar alam ini dipelihara secara resmi sejak 21 Februari 1919, dengan luas tercatat 2.5 hektare. Pengelolanya adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat I. Balai tersebut berada dibawah kewenangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan RI (Republik Indonesia). Di tempat ini, sejak abad ke-19, berdiri tugu kubur (grafmonument) Franz Wilhelm Junghuhn, yang terletak dibawah naungan keteduhan bayang-bayang pepohonan. Beberapa puluh meter dari tugu itu terdapat pula pusara tempat dipendamnya abu jasad rekan kerjanya, Johan Eliza de Vrij. Pada sebuah papan
peringatan di taman itu, terdapat tulisan sebagai berikut: Franz Wilhelm Junghuhn tergolong peneliti alam yang besar dari abad ke-19. Hasil karyanya berupa penyelidikan tataan alam, gunung api, mintakat iklim, dan geografi pulau Jawa.
Sejak tahun 1856 hingga akhir hayatnya pada tahun 1864, Franz Wilhelm Junghuhn bertugas mengelola perkebunan kina pertama di Jawa Barat. Ia merupakan pelopor budidaya kina, walaupun baru terwujud 50 tahun kemudian, hingga Bandung terkenal di seluruh dunia sebagai “Ibu Kota Kina”. Pada tanggal 15 Desember 2011, suratkabar terkemuka di Jawa Barat, Pikiran Rakyat, memuat feature tentang kurang terawatnya Cagar Alam Junghuhn di Jayagiri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Di bawah tajuk “Selamatkan Taman Junghuhn!”, wartawan suratkabar tersebut mengungkapkan bahwa cagar alam itu telah menyusut dari 2.5 hektare menjadi hanya 0.3 hektare, terdesak oleh kian padatnya permukiman warga setempat, dan dikotori oleh tumpukan sampah rumah tangga.2 Isu seputar keadaan cagar alam itu terus diangkat oleh suratkabar tersebut dalam beberapa edisi berikutnya, tidak terkecuali dalam situs online-nya. Suratkabar lainnya, yang juga terbit di Bandung, Tribun Jabar, kemudian turut mengangkat isu yang sama. Dalam berita berjudul “Daripada Tidak Terawat, Taman Junghuhn Diusulkan Dikelola Desa”, suratkabar tersebut antara lain melaporkan tentang berlangsungungya pertemuan antara kalangan otoritas pemerintahan setempat untuk menjajaki kemungkinan perawatan cagar alam Taman Junghuhn.3 2 Lihat, misalnya, berita “Selamatkan Taman Junghuhn!” dalam suratkabar Pikiran Rakyat. Bandung: Kamis, 15 Desember 2011, hlm.6. 3 Lihat juga, misalnya, berita “Daripada Tidak Terawat, Taman Junghuhn Diusulkan Dikelola Desa” dalam suratkabar Tribun Jabar. Bandung: Rabu, 1 Februari 2012, hlm.9 dan 15.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
39
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Dalam tiga bulan terakhir, pengelola taman tersebut terlihat mengadakan pembenahan. Tugu dibersihkan sehingga warnanya kembali putih, seperti yang dulu dirancang oleh Isaac Groneman, serta sebuah pos jaga dibangun di dekat gerbang. Lihat foto 2. Tempat yang kini dikenal sebagai “Taman Junghuhn” adalah bekas tempat tinggal Franz Wilhelm Foto 2: Junghuhn sekeluarga. Suasana di Taman Junghuhn Sebuah potret hitam(Sumber: Foto oleh Dicky Purnama Fajar) putih dari tahun 1860 memperlihatkan suasana rumah sunyi, dan berjarak 2 mil (15 km) dari keluarga ini di Jayagiri, Lembang, Bandung, tempat hunian terdekat Bandung. Ruangannya cukup besar dan waktu itu. memiliki alat penerangan berupa tabung Jayagiri terletak tidak jauh kaca yang menggantung ke langitdari lereng selatan Gunung langit. Di atas kursi kayu, mengelilingi Tangkubanparahu, yang sangat dicintai sebuah meja bundar, duduk beberapa oleh Franz Wilhelm Junghuhn. Pada nyonya Eropa, diantaranya istri Franz zaman Franz Wilhelm Junghuhn, Wilhelm Junghuhn, Johanna Louisa keadaan di sekeliling tempat itu masih Frederica Koch, yang dinikahinya pada berupa hutan yang hijau dan rimbun, tanggal 23 Januari 1850. Duduk di serta tinggi di atas Bandung. Dengan bawah lantai adalah sejumlah wanita kata lain, Franz Wilhelm Junghuhn pribumi, yang berkain dan berkebaya, memilih tinggal, tidak di pusat sebagai pembantu rumah tangga (cf keramaian modern di Kota Bandung, Protschky, 2008 dan 2009). Salah melainkan di tengah belantara, di dekat seorang diantara wanita-wanita itu gunung. adalah pengasuh anak yang sedang Setelah lebih-kurang 13 tahun dia duduk, sambil memangku anak Franz tinggal dan bekerja di Pulau Jawa, tak Wilhelm Junghuhn satu-satunya, Frans terkecuali di Priangan, Franz Wilhelm Lodewijk Christiaan, yang lahir pada Junghuhn mengalami gangguan tanggal 24 Agustus 1857. Di atas lantai kesehatan. Atas saran teman-temannya, juga tampak berbaring seekor macan dia perlu kembali ke Eropa untuk cuti tutul. Lihat foto 3. dan tetirah (pergi ke suatu tempat Franz Wilhelm Junghuhn tinggal untuk perawatan atau pengobatan). di Jayagiri, Lembang, sejak tanggal Dalam bukunya, Terugreis van Java 15 Juli 1857. Di tempat tempat naar Europa [Perjalanan Kembali dari kerjanya yang baru, ia memilih sebuah Jawa ke Eropa] pada tahun 1851, Franz “rumah kampung” bagi dirinya beserta Wilhelm Junghuhn menuturkan sebagai keluarganya di ketinggian 1,300 meter berikut: di bukit yang ketika itu masih amat 40
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Kesehatan saya terganggu dan tenaga saya melemah, setelah tiga belas tahun saya tinggal di Jawa dan Sumatra. Saya terkena pengaruh dari tiada hentinya hawa yang sangat menerpa, yang saya alami selama bertahuntahun, dan yang menjadikan segelintir orang, yang lahir di wilayah utara, akhirnya tidak tahan. Saya mengadakan perjalanan untuk melakukan penelitian geologis di Karawang, tapi berulang kali saya dipaksa menyadari betapa kekuatan saya untuk meneliti daerah pegunungan yang dingin telah habis, agar tidak menyerah di bawah iklim panas. Puncak gunung terakhir yang, dengan alasan tersebut di atas, saya daki Foto 3: pada 17 Juni 1848, adalah Suasana didalam Rumah Keluarga Tangkubanparahu, dan Franz Wilhelm Junghuhn di Lembang, Bandung pondok saya terletak di titik (Sumber: Repro dari Rob Nieuwenhuys & Frits Jaquet, 1980) tertinggi lereng di sebelah selatan kawah, yang, ketinggian nominalnya 6,030 kaki di atas melemah; di telinga batin saya terdengar permukaan laut, dengan suhu rata-rata gemerisik angin laut melalui lembaran sekitar 56 Fahr., sementara di wilayah daun-daun pisang dan pucuk-pucuk pedalaman, di kaki utara gunung itu, nyiur, — saya mendengar gemuruh panas rata-ratanya adalah 81.5. Dalam percikan air terjun, yang meluncur dari udara sejuk di daerah pegunungan ini, dinding-dinding gunung yang tinggi tubuh saya mendapat kekuatan lagi, yang di pelosok yang paling jauh; rasanya ketika kekuatan tubuh saya berkurang, saya menghirup udara pagi yang sejuk, juga melemah dan terbenam dalam seakan-akan saya berada di dangau ketidakpedulian. ramah penduduk Jawa, selagi masih Peringatan dari teman, yang berkunjung ke tempat tinggal saya, memberi saya tenang istirahatnya hutan perawan, yang saran untuk memulihkan kekuatan, hingga saya lekati dari sekitarnya — tinggi di akhirnya saya putuskan untuk berada di atas saya, di udara, terdengar kawanan wilayah yang sudah berabad-abad lamanya kalong mengepakkan sayap ketika kembali memiliki musim panas dan mengucapkan ke wilayah tersebut, ke tempat tinggal selamat tinggal untuk kembali ke Tanah mereka, — satu demi satu timbul dan Air, yang suhunya lebih dekat dengan bergerak di bawah naungan dedaunan kutub yang tertutup es (Junghuhn, 1851:1, di hutan itu, kawanan merak dengan terjemahan HWS). teriakannya yang melengking, kawanan kera kembali memulai permainan hidup Namun, selama tinggal di Eropa, mereka dan gema nyanyian mereka Franz Wilhelm Junghuhn sepertinya membuat gunung-gunung bangun pagi, — ribuan burung bersenandung tidak dapat melupakan panggilan ketika matahari terbersit di ufuk timur, gunung-gunung di Pulau Jawa. Di menyinari puncak megah gunung di sana Leiden, Belanda, pada bulan November dengan cahaya emas dan ungu, — dari 1851, selagi terus bekerja sambil ketinggian terlihat oleh saya, salah satu mengenang gunung-gunung di pelosok saat yang selalu saya kagumi, — hasrat saya melonjak dan semangat saya timbul Jawa, Franz Wilhelm Junghuhn menulis untuk menyambut hari ketika saya akan sebagai berikut: berseru: sambutlah, oh gunung-gunung! (Junghuhn, 1851:15, terjemahan oleh HWS). Girang hati saya manakala mengingat gambaran hutan, yang terhampar Franz Wilhelm Junghuhn akhirnya dengan kehijauan abadi dihiasi ribuan bunga, yang wangi manisnya tak pernah kembali ke Jawa, menemui lagi © 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
41
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Sosok, Pemikiran, dan Karya Franz Wilhelm Junghuhn tulisan Observasi ilmiah
Deskripsi objektif
Matra batuan gambar
Latar pemikiran
Rincian permukaan bumi: x Gunung x Hutan x Pantai
x Pendekatan sejarah alam x Sikap dan pandangan Romantik
Franz Wilhelm Junghuhn: x Penjelajah x Ilmuwan x Aparatur kolonial
tulisan Spekulasi filosofis-teologis
Matra flora
Matra budaya
Ekspresi imajinatif gambar
Bagan 1: Sosok, Pemikiran, dan Karya Franz Wilhelm Junghuhn
wilayah pegunungan yang senantiasa menggugah hatinya. Bersama keluarganya, dia tinggal di Jayagiri, Lembang, hingga akhir hayatnya. Rob Nieuwenhuys & Frits Jaquet, melukiskan saat-saat penghabisan Franz Wilhelm Junghuhn di Lembang, sebagai berikut: Pada 24 April 1864, Junghuhn wafat. Di dalam ruangan tempat dia menghembuskan nafas yang terakhir itu ada istrinya, saudaranya, Rochussen, dan Groeneman. Sesaat menjelang kematian, kentara sekali dia meminta Groeneman agar membuka lebar-lebar jendela ruang kerjanya. Dia ingin sekali lagi membiarkan pegunungan yang dicintainya dan pemandangan rimba yang dicintainya, sekali lagi dia ingin menghirup udara gunung yang murni. Kemudian turun gerimis. Dia pun tertidur tenang dan tentram (Nieuwenhuys & Jaquet, 1980:143-144, terjemahan HWS).
SOSOK, PEMIKIRAN, KARYA, DAN RIWAYAT HIDUP FRANZ WILHELM JUNGHUHN Dalam bukuya Troubled Pleasures: Dutch Colonial Literature from the East 42
Indies, 1600-1950, E.M. Beekman, antara lain, menggambarkan sosok Franz Wilhelm Junghuhn sebagai berikut: Penglihatan merupakan indra yang sangat menentukan dalam karya Junghuhn. Barangkali lazimnya demikian pada orang yang memetakan pulau-pulau, tetapi hal ini menyiratkan sesuatu yang melampaui batas-batas kegunaan, dalam arti mengacu pada cara mengalami dunia, sebentuk epistemologi, jika bukan filsafat (Beekman, 1996b:157, terjemahan HWS).
Dalam amatan yang menyeluruh, sosok, pemikiran, dan karya Franz Wilhelm Junghuhn dapat dipaparkan dengan bantuan bagan 1. Seperti yang terangkum dalam bagan 1, Franz Wilhelm Junghuhn dapat dilihat sebagai ilmuwan dan aparat kolonial di Hindia Belanda pada abad ke-19, yang mengadakan penjelajahan, mula-mula di Sumatra kemudian di Jawa, untuk keperluan penyelidikan ilmiah di bidang ilmu kebumian. Dalam upayanya mengamati, menuliskan, dan menggambarkan rincian permukaan
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
bumi, dia menekankan pendekatan sejarah alam (natural history) seraya mengungkapkan segi-segi pandangan Romantik yang mempengaruhi dirinya dan turut mewarnai latar pemikirannya (De Wit, 1905; Scalliet et al., 1999; dan Benjamin, 2003). Sebagai ilmuwan, dia mengandalkan observasi ilmiah untuk memahami seluk-beluk keadaan alam yang dijelajahinya, dan pada gilirannya dia juga mengembangkan permenungan filosofis-teologis yang bertolak dari pengalamannya menjelajahi alam. Dari observasi dan permenungannya, dia mengemukakan deskripsi objektif serta ekspresi imajinatif mengenai alam (von Neueck, 1838; Junghuhn, 1850a; dan Beekman, 1988). Kedua hal itu dituangkan, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk gambar. Itulah tulisan dan gambar mengenai rincian permukaan bumi yang, antara lain, meliputi kawasan pegunungan, hutan, dan pantai. Permukaan bumi yang tergambar dalam karya-karyanya meliputi, sedikitnya, empat matra, yaitu: matra batuan, tumbuhan, iklim, dan budaya. Pada tahun 1980, gambar, foto, dan tulisan karya Franz Wilhelm Junghuhn dipamerkan di Museum voor Land- en Volkenkunde di Rotterdam, Belanda. Sebagaimana yang diberitakan dalam harian Het Vrije Volk (19 Juli 1980), pusat perhatian dalam pameran kecil (kleine tentoonstelling) itu adalah sebelas gambar bentang alam nan elok karya Franz Wilhelm Junghuhn, yang dicetak dalam bentuk karya litografi oleh Penerbit C.W. Mieling di s’Gravenhage, Belanda (Van Pers, n.y.; dan Nieuwenhuys, 1981). “Dari gambar-gambar dan deskripsideskripsi lainnya yang disajikan oleh Junghuhn dalam buku-bukunya, pengunjung pameran dihadapkan pada visi seorang pencinta alam Jawa”, demikian komentar penulis berita itu (Het Vrije Volk, 19/7/1980). Warta tersebut merupakan salah satu di antara sejumlah jendela yang dapat
dibuka untuk melihat pentingnya kegiatan menggambar dan memotret selain menulis dalam kehidupan ilmuwan dan peneliti Franz Wilhelm Junghuhn. Catatan perjalanannya sendiri, ilustrasi dalam buku-bukunya, juga biografinya, yang bermunculan setelah dia wafat, mewartakan betapa keterampilan dan kesenangan menggambar turut mewarnai perjalanan hidup dan karier Franz Wilhelm Junghuhn. Kegiatan membuat gambar tidak dapat dilepaskan dari pekerjaan Franz Wilhelm Junghuhn sebagai ilmuwan yang dalam deskripsi surat kabar Het Nieuws van den Dag, Jum’at, 26 November 1909 mengadakan “studi mengenai bentuk permukaan bumi, asal-usulnya, serta hubungannya dengan iklim, tetumbuhan, dan hewan di dalamnya” serta dengan sejarah kebudayaan (Junghuhn, 1850b). Mengenai Garis Besar Riwayat Franz Wilhelm Junghuhn. Jika kita membaca biografi Franz Wilhelm Junghuhn karya wartawan C.W. Wormser, yang berjudul Frans Junghuhn (1943), dapat kita lihat bagian-bagian penting dalam perjalanan hidup tokoh tersebut berdasarkan pembagian bab dalam buku itu, yakni: masa kecilnya di Mansfeld; kuliah di Halle dan Berlin; pengalamannya sebagai tahanan, kemudian sebagai pelarian, dan tugasnya dalam legiun asing; perjalanannya ke Afrika, lalu ke Belanda sebelum ke Jawa; awal kedatangannya ke Jawa; pengalamannya meneliti Tanah Batak di Sumatra dan kembali ke Jawa; pengalamannya kembali ke Eropa dan menikah; serta pengalamannya membudidayakan kina di Jawa Barat sebelum wafat. Franz Wilhelm Junghuhn lahir pada tanggal 26 Oktober 1809 di Mansfeld, Provinsi Saksen, daerah pertambangan di ujung timur Kerajaan Prusia (Wormser, 1943:12; dan Beekman, 1996a:149). Dia adalah anak pertama
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
43
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
dari lima bersaudara, yang dua di antaranya meninggal ketika masih kecil. Ayahnya, Wilhelm Friedrich Junghuhn, adalah dokter bedah dan pemangkas rambut, yang juga pemeluk teguh iman Calvinis. Ibunya, Christine Marie Schiele, adalah ibu rumah tangga (Wormser, 1943:12). Atas kemauan ayahnya, Franz Wilhelm Junghuhn mendapatkan pendidikan tingkat dasar, termasuk di bidang keagamaan, secara privat. Pendidikan itu dia jalani hingga menjelang masa belajar di tingkat universiter. Ayahnya juga menghendaki agar Franz Wilhelm Junghuhn mempelajari ilmu kedokteran. Anak sulung itu pun mengikuti kuliah kedokteran di Halle, kota yang tidak jauh dari tempat kelahirannya, yang dimulai pada bulan September 1825. Namun, berbeda dengan keinginan ayahnya, sejak remaja Franz Wilhelm Junghuhn sendiri sangat tertarik oleh bidang geologi dan botani. Selain menyerap banyak bahan bacaan di bidang ilmu alam, Franz Wilhelm Junghuhn menyerap pula bahan bacaan mengenai mitologi Romawi dan Yunani, serta menggandrungi puisi Goethe dan Schiller (Wormser, 1943:18). Sering kali timbul silang sengketa di antara Franz Wilhelm Junghuhn dan ayahnya. Pada tahun 1830, Franz Wilhelm Junghuhn berupaya melakukan bunuh diri, tapi, untunglah, upayanya gagal. Kejadian itu malah memperkeras sikap ayahnya. Franz Wilhelm Junghuhn kemudian mendapat izin ayahnya untuk pindah ke Berlin, yang jauh dari tempat kelahirannya, dan meneruskan kuliah kedokteran hingga tamat. Sebagaimana yang dipaparkan oleh ahli sejarah sastra, E.M. Beekman, di satu pihak Franz Wilhelm Junghuhn kerap bertentangan dengan ayahnya, sampai-sampai pengalaman tersebut menyebabkan dirinya di kemudian hari menjadi orang yang suka menyendiri, kerap berselisih dengan atasan-atasannya, dan tidak 44
sudi menenggang ketidakadilan. Namun, di pihak lain, Franz Wilhelm Junghuhn juga memenuhi harapan ayahnya, khususnya ketika dia lulus ujian kedokteran dengan nilai baik dan bekerja sebagai perwira kesehatan, berturut-turut dalam dinas ketentaraan Prusia, Prancis, dan Belanda, hingga ayahnya wafat pada tahun 1844 (Beekman, 1996a:150). Dalam bukunya, Troubled Pleasures: Dutch Colonial Literature from the East Indies, 1600-1950, E.M. Beekman juga menuturkan secara panjang-lebar mengenai Franz Wilhelm Junghuhn, sebagai berikut: Sewaktu dia masih menjadi mahasiswa kedokteran di Berlin, Junghuhn, menurut penuturannya sendiri, bertengkar dalam sebuah pesta dan merasa harus menantang lawannya untuk berduel dengan pistol. Meski sumber-sumber belakangan menyanggahnya, Junghuhn menekankan bahwa dia terluka, sedangkan lawannya hanya tergores. Anggap saja demikian, raja melarang duel dan para pelanggar mesti dihukum berat. Junghuhn telah bergabung dengan tentara Prusia sebagai perwira kesehatan pada 1831, tahun yang sama ketika dia melakukan duel, dan selagi dia ditempatkan di dan sekitar Coblenz (di Provinsi Rhine), pelanggaran kriminal itu tampaknya sudah dilupakan. Namun, pada Hari Natal, tiba-tiba dia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara sepuluh tahun, dan pada Hari Tahun Baru 1832, dialihkan ke tahanan militer di Fort Ehrenbreitsein, dekat Coblenz. Pada mulanya, hukuman berat itu membuat dirinya merasa menjadi “korban malang dari tirani yang tidak sensitif”; sedangkan dampaknya membuat dia patuh dan taat. Namun, dalam dua puluh bulan berikutnya, dia terobsesi oleh pikiran untuk melarikan diri, dan Junghuhn mesti mencari jalan keluar. Dia berpurapura mengidap pneumonia dan dialihkan ke rumah sakit di Coblenz pada Januari 1833. Waktu berlalu, dan dia gagal mencari jalan buat kabur. Ketika sudah jelas bahwa mereka hendak mengembalikan dia ke dalam sel, Junghuhn memutuskan untuk berpura-pura gila dan, sejalan dengan dikotomi eksistensial atas hidupnya, dia mengatakan kepada kita bahwa “kegilaan(nya) sangat metodis”. Dia
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
membuat daftar nama musuh-musuhnya, menggambar sosok-sosok jahat di tembok, bergabung dengan mereka di tengah malam dan, dengan sepenuhnya, menyerap semangat dari fiksi Romantik karya Tieck, Chamisso, atau Hoffman, dia berpura-pura bahwa pasien-pasien lainnya adalah para rahib, sedangkan dia sendiri adalah biarawan. Lebih banyak disebabkan oleh kekagumannya terhadap alam, dia berpura-pura mengatakan bahwa gagak-gagak setempat adalah roh jahat, sedangkan burung-burung pipit adalah para putri yang terpesona. Dengan mengelabui sebuah tim dokter tentara, Junghuhn diminta tetap berada di rumah sakit, dan pada suatu malam di bulan September, dia menemukan jalan untuk kabur. Dia berjalan kaki pada malam hari melewati provinsi Rhine, lolos dari para penjaga perbatasan yang tidak ramah, terus ke Belgia (tempat dia mendapatkan simpati atas pelariannya), dan turun menyusuri kawasan Prancis dengan berjalan kaki. Hidup dalam keadaan serba kurang, dengan membuat gambar dan lukisan, dia mendengar bahwa jika dia bisa bergabung dengan Legiun Prancis, masalah yang tengah dihadapinya bakal teratasi. Sewaktu Junghuhn mengikuti penyaringan, petugas yang merekrutnya mengatakan bahwa dia akan ditugaskan sebagai perwira kesehatan, tetapi setibanya di Aljazair, dia malah ditugaskan sebagai prajurit biasa di garnisun. Ironisnya, pra-anggapan romantik tentang Legiun Asing tidak berlaku untuk kasus Junghuhn. Kecuali sempat terlibat dalam serangan balasan terhadap pasukan Arab, prajurit muda ini mendapat izin untuk mengadakan sedikit penelitian lapangan di bidang botani, mengunjungi sejumlah reruntuhan, dan setelah hanya lima bulan bertugas sebagai serdadu, pada Juni 1834, dia dinyatakan “tidak layak tugas” dan dikembalikan ke Prancis. Sebulan kemudian dia menjadi warga sipil di Paris. Cinta pertama Junghuhn tertuju ke mikologi. Tulisan pertamanya yang diumumkan (1830) adalah artikel ilmiah, dalam bahasa Latin, mengenai jamur, sehingga mungkin saja dia tahu bahwa C.H. Person (1761-1836), penemu mikologi, tinggal di Paris sejak 1802. Junghuhn berupaya menelusurinya, hanya untuk mendapatkan orang tua yang mengucilkan diri, yang menyarankan padanya untuk bergabung dengan tentara kolonial Belanda dan berlayar ke Hindia Belanda. Namun, pertama-tama, dia harus memulihkan nama baiknya sendiri
dan, dengan dibantu oleh Alexander von Humboldt, dia menyampaikan petisi berisi permohonan maaf kepada raja Prusia, dan ternyata pemberiaan maaf seperti itu sudah diberikan empat belas bulan sebelumnya. Setelah pulang sebentar ke Jerman, Junghuhn lulus ujian resmi yang diperlukan dan berlayar ke Jawa pada Juni 1835 sebagai “perwira kesehatan kelas tiga”; itulah awal dia tinggal di negeri tropis selama hampir tiga belas tahun (Beekman, 1996b:150-151, terjemahan HWS).
Pada tahun 1843, Franz Wilhelm Junghuhn mengadakan penelitian arkeologis di kawasan Bandung. Di lereng selatan pegunungan di belahan utara Bandung, yakni di Pasir Cipansalu dan Pasir Pamoyanan, pada tanggal 18 Agustus 1843, dia menemukan reruntuhan sisa peradaban Hindu (Hindoe-oudheden) di Priangan. Catatannya mengenai temuannya itu, yang dibuat di Nagarawangi, Bandung, 20 Agustus 1843, kemudian diumumkan dalam Indisch Magazijn pada 1844. Kian hari, Franz Wilhelm Junghuhn tampaknya kian banyak mencurahkan perhatiannya untuk kegiatan penjelajahan dan penelitian, di luar tugas resmi sehari-hari sebagai perwira tentara. Tidaklah mengherankan jika pada tahun 1845, Franz Wilhelm Junghuhn dipensiunkan dari pekerjaannya sebagai “perwira kesehatan kelas dua” (Javasche Courant, 10/5/1845). Mengenai pekerjaan Franz Wilhelm Junghuhn dalam dinas militer itu, E.M. Beekman menuturkan kembali, sebagai berikut: Sebagai petugas kesehatan yang acuh tak acuh, Junghuhn lantas membuat masalah karena mengabaikan tugasnya dan ditolong oleh atasannya, E.A. Fritze, yang menempatkan Junghuhn di bawah wewenangnya dan secara resmi melibatkannya dalam perjalanan inspeksinya. Dua kali lipat lebih tua daripada Junghuhn, Fritze meninggal dua tahun kemudian pada 1839. Pada 1840, Merkus, yang kelak menjadi Gubernur Jendral, menugasi Junghuhn untuk menjelajahi wilayah Batak di Sumatra, yang dilaksanakan selama dua puluh
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
45
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
bulan, dalam keadaan yang amat sulit, dan seringkali mengancam hidupnya. Dia mengumumkan hasil observasinya pada 1847. Pada waktu ayahnya meninggal, dia telah keluar dari dinas ketentaraan, dan ditunjuk sebagai anggota Komisi Ilmu Alam, dan mengumumkan deskripsi mengenai perjalanannya ke Jawa. Setahun kemudian, dia berlayar ke Eropa untuk memulai cuti yang diperpanjang hingga tujuh tahun lamanya. Dia tidak memakai jalur yang lazim, melainkan berlayar ke Suez, naik kareta kuda ke Mesir, kemudian berlayar lagi dari Alexandria ke Trieste, dan masuk ke Belanda. Dia mengumumkan catatan perjalanannya pada 1851. Dia tinggal di Leiden, seraya menulis dan mengumumkan karyanya yang terpenting, yaitu Java sebanyak empat jilid (dimumkan antara 1850 dan 1854); katalog tetumbuhan yang dia temukan dan kumpulkan, baik di Sumatra maupun di Jawa, yang berjudul Enumeratio plantarum, quas in insulis Java et Sumatra, detexit Fr. Junghuhn (diumumkan antara 1851 dan 1856); dan deklarasi filosofisnya Licht en Schaduwbeelden (diumumkan secara anonim pada 1854 dan bukan atas namanya hingga terbit edisi keempat pada 1866). Sebagai kelanjutan logis dari publikasinya yang terakhir, Junghuhn, bersama dengan sembilan rekannya, pada 1855 merintis jurnal bernama De Dageraad (Fajar), yang ditujukan kepada para pemikir bebas. Setelah menikah pada 1850, Junghuhn kembali bersama istrinya ke Jawa, pada 1855. Dia mendapatkan kedudukan sebagai inspektur, dan mendapat tugas untuk merintis budidaya pohon kina. Tugas itu menyita perhatiannya hingga akhir hayatnya, dan menyeret dirinya kedalam adu argumen dan silang sengketa yang lebih akademis dan profesional. Ironisnya, Junghuhn menjadi terkenal, terutama sebagai orang yang membangun produksi kina di Hindia Belanda, sedangkan pencapaiannya sebagai ahli ilmu alam yang jauh lebih mengesankan hanya disadari oleh segelintir kalangan. Dia wafat pada 1864, ketika usianya baru 54 tahun, di Lembang, Jawa Barat. Tempatnya sebagai ahli ilmu alam perintis kini sudah pasti dan, seperti Rumphius, keberhasilan Junghuhn sebagai ahli botani dianggap sepadan dengan kemampuannya di bidang sastra. Ditulis dengan lirisisme pragmatis, karya terbaiknya memberi pembaca apresiasi atas alam tropis yang menakjubkan,
46
tapi terukur (Beekman, 1996b:149-152, terjemahan HWS).
Pada tahun 1856, terbit De Kaart van Het Eiland Java (Peta Pulau Jawa) karya Franz Wilhelm Junghuhn, setebal empat halaman besar, terbitan Koninklijke Steendrukkerij, pimpinan C.W. Mieling (Algemeen Handelsblad, 27/6/1856). Pada tahun 1860, Franz Wilhelm Junghuhn tercatat sebagai anggota Koninklijk Instituut voor de Taal- Land- en Volkenkunde (KITLV) van Nederlandsch-Indië di Keresidenan Priangan.4 Franz Wilhelm Junghuhn wafat di Jayagiri, Lembang, Bandung, pada tanggal 24 April 1864, sekitar jam 3 dinihari. Johanna Louisa Frederica Koch, istrinya; dokter Isaac Groneman, teman dekatnya; serta Henri Rochussen, saudara iparnya, menyaksikan kepergiannya (Nieuwenhuys & Jaquet, 1980:143-144). Dia dikebumikan di kaki Gunung Tangkubanparahu, yang kini tercakup dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat. Di atas kuburannya, berdiri sebuah monumen untuk mengenang sosok dan jasanya. Beberapa meter dari monumen itu terdapat “pusara” koleganya, Dr. Johan Eliza de Vrij, yang wafat di Belanda pada tahun 1889 dan dikremasi di Gotha. Sesuai dengan permintaannya, abunya diboyong ke Hindia Belanda. Kini, tempat tersebut dikenal sebagai “Cagar Alam Junghuhn” atau lebih populer “Taman Junghuhn”. Setelah cukup lama terbengkalai, monumen Franz Wilhelm Junghuhn belakangan mendapatkan perawatan (Indische Courant, 23/3/1922). Seperti yang dicatat oleh F. Günst dalam “Levensschets van Dr. Franz Wilhelm Junghuhn” [Sketsa Kehidupan Dr. Franz Wilhelm Junghuhn], telegram kematian Franz Junghuhn tiba di Eropa pada musim semi 1864, dan 4 Lihat, misalnya, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 7de Deel, [Nieuwe Volgreeks, 3e Deel] (1860), pp.XVII-XX.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
mengagetkan teman-temannya di sana (dalam Junghuhn, 1867:1). “Tuan dr. F. Junghuhn, inspektur komisi ilmu pengetahuan di Hindia Belanda, wafat pada 24 April 1864. Ilmu pengetahuan kehilangan seorang praktisi yang giat”, demikian berita singkat dalam Rotterdamsche Courant, edisi Selasa, 7 Juni 1864, sekitar sebulan setelah kepergian ilmuwan tersebut. Sementara itu, dalam obituari sepanjang dua kolom, surat kabar De Locomotief, edisi Jumat, 13 Januari 1865 — sekitar 8 bulan setelah kepergian Franz Wilhelm Junghuhn — melukiskan kejadian itu sebagai “kepergian yang mendadak dan tak disangka-sangka” (onverwacht en plotseling stierf). Franz Franz Junghuhn memang wafat dalam usia yang dapat dikatakan masih muda, yaitu 54 tahun, setelah kesehatannya terganggu. Foto 4: Papan Informasi di Tempat Wisata Kawah Putih, Bandung, Lihat foto 4. yang Menyebut-nyebut Franz Wilhelm Junghuhn Beberapa bulan setelah (Sumber: Foto oleh H.W. Setiawan) Franz Wilhelm Junghuhn wafat, istrinya, Johanna Louisa Christiaan, anak semata wayang Franz Frederica Koch, bersama anaknya, Wilhelm Junghuhn, wafat pada tahun Frans Lodewijk Christiaan, yang baru 1888 dalam usia 31 tahun. Johanna berusia 7 tahun, kembali ke Belanda Louisa Frederica Koch, istri Franz pada tahun 1864. Berita pelabuhan Wilhelm Junghuhn, wafat di Den Haag, dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, Belanda, pada tahun 1914, dalam usia Senin, 10 Oktober 1864, mengabarkan 87 tahun (Het Nieuws van den Dag voor bahwa di antara para penumpang kapal Nederlandsch-Indie, 8/6/1914). Marie yang tiba di Belanda pada bulan Dalam tulisannya tentang Oktober 1864, ada “janda Junghuhn “Levensschets van Dr. Franz Wilhelm bersama anak laki-lakinya dan Junghuhn” [Sketsa Kehidupan Dr. pembantunya orang Jawa”. Franz Wilhelm Junghuhn], F. Günst, Demikianlah, sehabis mendaki antara lain, berpandangan bahwa: sekitar 42 gunung api di Jawa (De Locomotief, 13/1/1865), Franz Wilhelm Sebagai salah satu di antara banyak Junghuhn berkubur di wilayah orang Jerman, yang semangat kerjanya tidak menemukan lahan subur di tanah pegunungan yang dia cintai, jauh dari airnya, dengan dorongan kekuatan tanah kelahirannya, jauh dari tempat yang tak tertahankan untuk mencari tinggal keluarganya sendiri (Rizal, wilayah asing, tempat kegiatan mereka 2011). Dalam pada itu, Frans Lodewijk dapat dikembangkan, dan dengan upaya © 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
47
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
luar biasa serta ilmu pengetahuan, di tengah masyarakat asing, tempatnya berdiam, Junghuhn telah memperoleh tempat terhormat di jajaran tokoh ilmu pengetahuan yang paling terkemuka pada zamannya. Darinya, orang dapat mengatakan bahwa nama Junghuhn dan Jawa, selama sejarah dan negeri itu masih ada, akan tetap terpaut satu sama lain (dalam Junghuhn, 1867:1-2, terjemahan HWS).
Pada tahun 1909, sebuah komisi yang diberi nama De JunghuhnCommissie, dan beranggotakan para ahli dari Belanda dan Jerman dibentuk serta penggalangan dana melalui JunghuhnFonds diselenggarakan. Tujuannya adalah untuk menerbitkan sebuah bunga-rampai (gedenkboek) sehubungan dengan peringatan atas 100 tahun kelahiran Franz Wilhelm Junghuhn (De Sumatra Post, 1/6/1909; dan Het Nieuws van den Dag, 26/11/1909). Pada tahun yang sama, 1909, berlangsung peringatan 100 tahun kelahiran Franz Wilhelm Junghuhn melalui sebuah upacara sederhana di sekitar pusaranya di Lembang, Bandung. Upacara itu dihadiri oleh dua pejabat dari Batavia, yakni pejabat Departemen Pertambangan, Koimann dan Rouffaer; dan seorang pejabat dari Bandung, yakni kontrolir Pegawai Pemerintahan H. Kern. Ketika itu makam Franz Wilhelm Junghuhn sudah dirapikan, setelah sekian lama tidak terawat dengan baik, sehingga sering dikeluhkan oleh para pengunjung (Utrechtsch Nieuwsblad, 26/11/1909). Setahun kemudian, yakni pada tahun 1910, terbit Gedenkboek Franz Junghuhn: 1809-1909 (Martinus Nijhoff, 1910), yakni bunga-rampai yang disiapkan oleh komisi di atas, yang menghimpun tulisan-tulisan karya ilmuwan Belanda dan Jerman seputar sosok, perjalanan hidup dan karier, serta karya Franz Wilhelm Junghuhn. Buku tersebut disusun dalam dua bahasa, yakni bahasa Belanda dan Jerman. Pada tahun 1934, sebagaimana 48
diberitakan dalam Het Nieuw van den Dag voor Nederlansch-Indië (26/10/1934), berlangsung peringatan 125 tahun kelahiran Franz Wilhelm Junghuhn di monumennya di Jayagiri, Lembang. Dalam berita tersebut disebutkan bahwa upacara, antara lain, ditandai dengan serangkaian pidato di dekat Monumen Junghuhn serta jalan kaki menyusuri berbagai varietas pohon kina yang ditanam di sekitar monumen itu. Pada tahun 1955, di Belanda juga berlangsung perayaan ulang tahun ke-100 jurnal Dageraad [Fajar] yang dirintis oleh Franz Wilhelm Junghuhn, sebelum ia kembali ke Jawa untuk selama-lamanya (De Waarheid, 10/11/1955). Dalam bukunya, Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia (1985), yang didasarkan atas buku Rob Nieuwenhuys, Oost-Indische Spiegel (1972), rohaniwan Katholik Dick Hartoko mengambarkan sosok dan peran Franz Wilhelm Junghuhn, dalam kaitannya dengan keindahan alam Pulau Jawa dahulu dan kerusakan alamnya sekarang (cf Goss, 2011), sebagai berikut: Junghuhn bukan seorang etikus yang memberontak terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlaku seperti Multatuli, maupun seorang renovator yang ingin memperbaharui sesuatu. Kalau ia memberontak, itu terjadi lewat tulisan-tulisannya melawan bentuk agama Kristen, seperti dikenalnya di tanah Jerman, dan khusus lewat ayahnya. Kalau ia membawa sesuatu yang baru ke Pulau Jawa, itu tak lain dari biji-biji kina yang berhasil ditanamnya di Lembang. Dan selaku perintis dalam penanaman kina, ia dikenal oleh bangsa kita. Tetapi sayang sekali, ia tidak dikenal sebagai seorang yang mengabdikan keagungan alam Jawa lewat tulisan-tulisannya, sehingga kita dewasa ini masih mampu membayangkan keadaan di Pulau Jawa satu setengah abad yang lalu. Dan dengan terkejut kita lalu menjadi sadar bahwa keagungan alam di Pulau Jawa, yang dipuja-puja Junghuhn, kini sudah punah, dimusnahkan oleh binatang yang paling buas, yaitu manusia sendiri (Hartoko, 1985:88).
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Franz Wilhelm Junghuhn dan Menggambar Sejak Dini. Sejak masa remaja, Franz Wilhelm Junghuhn suka menggambar. Kebiasaan ini, seperti yang tergambar dalam biografinya yang ditulis oleh C.W. Wormser (1943), berkaitan dengan minatnya terhadap botani dan geologi minat yang tidak sejalan dengan harapan ayahnya, dokter keras hati yang menghendaki anaknya mempelajari ilmu kedokteran. Minat tersebut, antara lain, disalurkan dengan mengunjungi wilayah pegunungan serta mengamati pemandangan alam, serta kegiatan membuat gambar melekat padanya. Perhatikan, misalnya, suasana di kamar Franz Wilhelm Junghuhn muda di Mansfeld, seperti yang digambarkan oleh C.W. Wormser, dalam buku bacaan umum itu: Di bawah jendela berdiri sebuah meja kecil. Di atas meja itu terdapat sebuah kotak kayu kecil dengan bermacammacam batu yang diberi label, sebuah kotak botani dan sebuah buku catatan dengan bunga-bunga dan dedaunan, serta ada pula sebuah gambar potlot tentang pemandangan Mansfeld yang dibuat oleh Franz Junghuhn (Wormser, 1943:16, terjemahan dan cetak tebal oleh HWS).
C.W. Wormser, jurnalis yang pada dasawarsa 1920-an memimpin redaksi surat kabar Algemeen Indisch Dagblad De Preangerbode di Bandung, juga mencatat kebiasaan Franz Wilhelm Junghuhn menggambar lanskap alam pegunungan sewaktu dia belajar di Halle sebagai mahasiswa kedokteran. Pada saat-saat senggang, Franz Wilhelm Junghuhn muda sering pergi ke wilayah pegunungan dengan membawa kotak botani, jaring kupu-kupu, buku catatan, dan buku sketsa. Di Halle, pada tengah hari di bulan September 1820-an, ia duduk di sebuah ruang terbuka seraya membuat gambar lanskap pegunungan. Diam-diam, ada seorang pria lain yang memperhatikan dari dekat apa yang sedang dilakukan oleh mahasiswa itu. Orang itu adalah Hermann Burmeister, ahli zoologi dan entomologi terpandang.
Sang profesor melihat apa yang sedang dikerjakan oleh sang mahasiswa. Pada gilirannya terjalin percakapan di antara mereka berdua. Percakapan itu memperkuat dorongan dalam diri Franz Wilhelm Junghuhn untuk mempelajari alam (Wormser, 1943:26-27). Keterampilan menggambar pulalah yang ikut mewarnai saat-saat sulit dalam pengalaman hidup Franz Wilhelm Junghuhn. Selepas kuliah di Halle, kemudian di Berlin, Franz Wilhelm Junghuhn bergabung dalam dinas ketentaraan. Sekali waktu, ketika ia diharuskan menjalani perawatan di sebuah rumah sakit, ia lari meninggalkan tugas militer dengan melintasi batas-batas negara. Pada saat-saat itulah dia menyambung hidup dengan membuat gambar dan lukisan (Beekman, 1996b:151). Pada zaman Franz Wilhelm Junghuhn, terutama tatkala fotografi belum melekat pada kehidupan seharihari, kegiatan menggambar memang lazim mengisi kehidupan masyarakat. Pada abad ke-19, sebagaimana yang disinggung oleh Mildred Archer & John Bastin dalam The Raffles Drawings in the India Office Library London (1978), keterampilan menggambar tidak hanya dikuasai oleh para seniman atau pelukis, melainkan juga dikuasai oleh masyarakat umum, khususnya kalangan terdidik dari golongan sosial menengah ke atas. Pada masa itu orang mengabadikan penglihatan, mengisi waktu luang yang menyenangkan, dengan membuat gambar. Contohnya adalah Mary Fendall, anak Gubernur Jenderal John Fendall yang menggantikan Thomas Stamford Raffles di Jawa pada tahun 1816, membuat sejumlah drawing dengan potlot, antara lain, mengenai pemandangan Bogor dan sekitarnya, pemandangan Gunung Salak dan sungai Ci Sadane, juga pemandangan Gunung Gede dan sungai Ci Liwung di sekitar tahun 1816 (Archer & Bastin, 1978:8). Bagi orang seperti Franz Wilhelm
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
49
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Junghuhn, yang memiliki minat khusus terhadap bidang keilmuan yang dekat sekali dengan rupa, warna, dan bentuk seperti geologi dan botani, keterampilan menggambar merupakan salah satu prasyarat yang mesti dikuasai untuk mewujudkan minat seperti itu. Bentang alam dan tetumbuhan dilihat, dicatat, dan dituangkan kedalam bidang gambar hingga menghasilkan sketsa (de Bére & der Vlies, 1933; dan Wigan, 2009). Ketika fotografi menawarkan peluang baru untuk mengabadikan citraan visual, Franz Wilhelm Junghuhn juga berupaya memanfaatkan teknologi tersebut pada paruh kedua dasawarsa 1830-an, dan menghasilkan banyak potret hitam putih dari penelitian lapangannya. Namun, jika dibandingkan dengan fotografi, gambar-gambar buatan tangannya sendirilah yang lebih dia andalkan untuk menghasilkan citraancitraan visual dari alam raya (Brommer, 1979; dan Scalliet et al., 1999). Dalam istilah E.M. Beekman, Franz Wilhelm Junghuhn diberkati dengan “mata kognitif” (cognitive eye) dan “bakat luar biasa” (remarkable talent) dalam pembuatan gambar untuk memperkaya “narasi keilmuan” (scientific narrative)nya. E.M. Beekman, kemudian, menguraikan bahwa: Mata kognitif lebih baik dilengkapi dengan kamera; dengan demikian membidik alam menjadi tidak lebih dari perumpamaan. Junghuhn benarbenar menjadi fotografer bergairah, yang menghabiskan banyak biaya untuk peralatan dan pembuatan banyak gambar. Namun, teknologi menggambar dengan cahaya baru diandalkan pada 1839-1840, ketika Junghuhn menyiapkan diri untuk ekspedisinya ke wilayah Batak di Sumatra, dan fotografi masih terlalu merepotkan dan pelik untuk dimanfaatkan dalam masa hidupnya. Junghuhn harus mengandalkan pensil, sketsa, dan pelat untuk menggambarkan narasi keilmuannya, yang memperlihatkan bakat luar biasa, yang menghasilkan citraan-citraan mengenai keindahan yang tak tepermanai, meskipun sangat mungkin kegunaannya meragukan (Beekman, 1996b:160, terjemahan HWS).
50
Franz Wilhelm Junghuhn: Antara Menggambar dan Meneliti. Selama Franz Wilhelm Junghuhn mengadakan penelitian lapangan di Hindia Timur Belanda, mulai dari wilayah Batak di Sumatra hingga ke seantero Jawa, kegiatan menggambar merupakan bagian penting dari penelitiannya. Di luar kelompok fotografi, rekaman visual yang dibuat oleh Franz Wilhelm Junghuhn terdiri atas peta geografis, sketsa lanskap, drawing tetumbuhan dan manusia, dan gambar pemandangan. Jika ahli ilmu alam, Alexander von Humboldt, berkolaborasi dengan pelukis lanskap, Johann Moritzs Rugendas, untuk menangkap rincian fisiognomi bentang alam (von Humboldt, 1858; dan Lubowski-Jahn, 2011), maka Franz Wilhelm Junghuhn justru memenuhi sendiri kebutuhan untuk menyelidiki, menuturkan, dan menggambarkan alam (Sternagel, 2011). Di antara sketsa-sketsa hasil kerja Franz Wilhelm Junghuhn dari lapangan, ada yang kemudian menjadi bahan dasar bagi ilustrator buku-bukunya, ada pula yang kemudian dicetak berupa karya litografi oleh C.W. Mieling, pengelola percetakan dan ahli litografi terkemuka di Den Haag. Ilustrasi dalam buku-buku karya Franz Wilhelm Junghuhn turut menunjukkan disiplin kerjanya di lapangan. Ke manapun dia pergi, dia selalu mencatat dan merekam secara visual pemandangan yang dia saksikan dan menarik hatinya. Sewaktu dia mengadakan kunjungan ke Eropa setelah sekian tahun tinggal di Jawa, karena alasan kesehatan, dia juga membuat sejumlah sketsa mengenai tempat-tempat yang dikunjunginya selama dia mengadakan perjalanan, yang kemudian disajikan dalam bukunya, Terugreis van Java naar Europa, Met de Zoogennamde Engelsche Overlandpost, in de Maanden September en October 1848 atau “Perjalanan Kembali dari Jawa ke Eropa,
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
dengan Apa yang Disebut Engelsche Overlandpost, pada Bulan September dan Oktober 1848” (Junghuhn, 1851). Dalam pengantar buku jilid ketiganya, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw (1857), terdapat pemerian tentang cara kerja Franz Wilhelm Junghuhn di lapangan, yang meliputi kegiatan mencatat dan menggambar. Dia menuturkan: Dalam perjalanan saya di Jawa, saya berupaya memenuhi keniscayaan untuk mengemukakan uraian alam dan pemandangan alam melalui kegiatan membuat rancangan yang lebih ketat, sebelum naik cetak, dari apa yang saya lihat, melemah dan lenyap oleh gambargambar baru. Juga selama berlangsungnya perjalanan saya pada 1844, yang hasilnya dijadikan pokok bahasan dalam bagian kedua ini, setiap malam saya merancang gambar-gambar saya, dan ingatan saya terbantu oleh catatan, yang dibuat dari hari ke hari, dengan pensil pada buku catatan, mengenai apa yang secara jelas saya lihat sendiri. Berbagai alasan, juga dorongan, yang saya dapatkan dari sejumlah teman baik, yang telah membaca tulisan tangan saya, telah membuat saya berniat untuk membiarkan sketsa ini tidak berubah, tetap dalam bentuk aslinya (Junghuhn, 1857, 3:509, cetak tebal dan terjemahan oleh HWS).
Disiplin kerja seperti itu terlihat pula dari perangkat kerja yang kerap digunakannya di lapangan. Dalam bukunya yang kontroversial, Licht- en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java atau “Citraan Cahaya dan Bayang-bayang dari Pelosok Jawa” (1867), ketika menyampaikan permenungannya mengenai masalah spiritual dan religius, Franz Wilhelm Junghuhn menggambarkan bahwa: Di atas bangku saya punya bola dunia, seksta dan cakrawala buatan, teleskop, kronometer, barometer, termometer, psychrometer, kompas, magnet, mikroskop, araeometer Nicholson, prisma, kamera obscura portabel, kamera daguerreotyp, kotak peralatan kimia, dan alat-alat lain dari ilmu pengetahuan terapan, terpajang sebagai sarana pernyataan imanku (Junghuhn, 1867:171, terjemahan HWS).
Pernyataan di atas, tentu saja, terkait pada sikap dan pandangan Franz Wilhelm Junghuhn mengenai realisasi iman. Baginya, keyakinan religius, pengakuan atas kebesaran dan keagungan semesta, direalisasikan melalui cara kerja ilmu alam. Namun, terlepas dari itu, pernyataan di atas juga memperlihatkan apa saja yang secara praktis dilakukan oleh Franz Wilhelm Junghuhn dalam observasinya, tak terkecuali dalam pembuatan citraan visual (Sep, 1987). Kamera obscura, misalnya, adalah salah satu perkakas yang dia gunakan untuk memotret bentang alam yang dia tinjau. Bagi Franz Wilhelm Junghuhn, kiranya, kegiatan menjelajah, mengamati, menulis, dan menggambar bukan sekadar kegiatan teknis yang terpaut pada tugasnya sebagai ilmuwan dan pegawai pemerintahan. Kegiatan tersebut juga merupakan cara merealisasikan keyakinannya sendiri, tak terkecuali dalam hal yang berkaitan dengan bidang spiritual. Franz Wilhelm Junghuhn adalah ahli ilmu alam, yang pada dasarnya jatuh cinta kepada bentang alam yang dia jelajahi. Cara Franz Wilhelm Junghuhn melihat bentang alam dapat diikuti dalam bab pendahuluan bukunya, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Java, jilid pertama (1857). Di situ terlihat bahwa Pulau Jawa yang dijelajahi dan dipelajari oleh Franz Wilhelm Junghuhn meliputi 559 distrik dan lahan partikelir, tidak terkecuali di Keresidenan Priangan. Pertama-tama dia menguraikan tata sosial-politik dan pemerintahan di Pulau Jawa, beserta tabel distrik dan lahan partikelir yang tercakup di dalamnya, secara terperinci. Uraiannya dia sebut sebagai “uraian fisik-geografis” (physico-geographische beschrijving) dalam pengertian yang luas, tidak hanya terdiri atas “fisiognomi di tingkat permukaan” (uiterlijk physiognomie), seperti gunung, lembah, dan dataran di Pulau Jawa. Lebih
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
51
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
lengkapnya, uraiannya mengenai hal ini adalah sebagai berikut: Saya bermaksud menyajikan uraian fisikgeografis, dalam artinya yang lebih luas, dari Pulau Jawa; jadi saya akan berupaya memberi tahu pembaca, tidak hanya tentang fisiognomi pegunungan, lembah, dan dataran di pulau itu pada tingkat permukaan, tidak hanya menekankan karakter lanskap dan tetumbuhannya di beberapa zona, melainkan juga menekankan tatanan kedalaman, konstruksi geologis berbagai wilayah di negeri ini, dan gunung-gunungnya (Junghuhn, 1857, 1:43, terjemahan HWS).
Pada bagian pertama bukunya, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Java, jilid pertama (1857), Franz Wilhelm Junghuhn menggambarkan raut (uiterlijke gestalte) gunung, dataran, dan lereng yang berlainan. Penggambarannya tidak hanya meliputi bentangan horisontal (horizontale uitgestrektheid), melainkan juga ketinggian (hoogte) — sehingga tergambar massa atau volume bentang alam itu. Dengan cara itu, dia menyajikan tampilan ragawi (ligzamelijk gestalte) bentang alam Pulau Jawa beserta berbagai bagiannya. Untuk keperluan ini, dia membuat dua belas peta ketinggian (hoogte-kaarten). Contoh peta ketinggian karya Franz Wilhelm Junghuhn dapat dilihat dalam gambargambar didalam bukunya tersebut (Junghuhn, 1857, 1:44). Pada bagian kedua, Franz Wilhelm Junghuhn membentangkan apa yang disebutnya sebagai fisiognomi alam (physiognomie der natuur), dengan menonjolkan tetumbuhannya. Jika pada bagian sebelumnya dia memberikan perhatian pada bentuk geometris murni (zuiver geometrischen vorm) dari lanskap yang sedang dia teliti, maka pada bagian kedua dia memberikan perhatian kepada semacam busana hayati yang menutupi bentuk fisik itu. Semua itu, dalam pandangannya, membentuk karakter bentang alam (karakter van het landschap). Pada
52
bagian selanjutnya pula, Franz Wilhelm Junghuhn (1857, 1:42-45) memberikan perhatian kepada gunung api dan fenomena-fenomena kegunungapian (vulkanen en vulkanische verschijnselen), baik dalam kerangka alam geologis (geologische natuur) yang sudah terbentuk maupun dalam kerangka sejarah kerucut gunung api yang megah (de geschiedenis der majestueuze kegelbergen). Lebih lanjut, Franz Wilhelm Junghuhn menyatakan bahwa: Selama mengadakan perjalanan ke Jawa dan Sumatra, saya menerapkan cara kerja untuk menulis tentang bendabenda di alam, atau gejala-gejalanya, yang selalu menekankan pentingnya membuat rancangan, mencatat apa-apa yang telah saya lihat, sebelum terhapus oleh banyaknya citraan-citraan baru. Itulah pula sebabnya dalam perjalanan saya pada 1844, yang hasilnya terkandung dalam bagian kedua, setiap malam saya membuat rancangan uraian saya, untuk membantu ingatan saya dengan membuat catatan mengenai apa-apa yang saya lihat sepanjang hari dengan potlot dalam buku catatan saya, manakala mempertimbangkan obyek amatan yang hendak diuraikan. Dengan berbagai pertimbangan, yang antara lain ditopang pula oleh bantuan teman-teman yang baik hati, yang telah membaca naskah, saya terdorong untuk menyajikan “sketsa” ini dalam bentuk aslinya. Mudah-mudahan keserupaan gaya dan isi dalam karya ini akan mencapai taraf tertentu, sehingga saya berharap, bahwa kekurangan ini akan cukup teratasi oleh beberapa gambar yang menyegarkan, dan pelukisan gejalagejala alam yang memberi semangat, yang telah menjadi bagian erat dari karya ini (Junghuhn, 1857, 1:47-48, terjemahan HWS).
Dalam buku Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Java, jilid pertama (1857), Franz Wilhelm Junghuhn juga mengemukakan “Uraian mengenai Peta Ketinggian secara Umum”, dengan penekanan pada apa yang disebutnya sebagai “metode proyeksi”. Dia memaparkan bahwa: Peta geografis dalam proyeksi datar, pada hakikatnya, tidak lain dari cara
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
menunjukkan raut daratan dan pantai, keberadaan serta lokasi daratan dan pegunungan secara umum, bentangan horizontal dan jarak relatif berbagai sudut daratan satu dari yang lainnya, sehingga diperoleh gambaran selengkapnya mengenai ketinggian dan bentuk pegunungan, juga bentuk fisik massa daratan. Atas dasar itu, saya akan berupaya menggambarkan bentuk fisik [bentang alam] dalam peta ketinggian yang saya rancang. Aturan yang telah saya jalankan dalam pembuatan peta ini adalah sebagai berikut: Pertama-tama, saya merancang peta daratan dengan proyeksi datar, atau saya memilih yang terbaik dari peta-peta yang telah tersedia, kemudian saya menarik garis lurus melalui bagian daratan, sehingga cara menariknya terlihat sebagai tipe keseluruhan dan, dengan demikian, saya memperlihatkan raut alam yang paling cocok dan khas. Dengan mengikuti garis ini, saya membuat penampang imajiner, dimana garis vertikal daratan mencapai permukaan lautan, kemudian memerinci lingkungan sekitarnya, sebagai profil penampang [bentang alam itu] pada peta, sehingga skala ketinggian — yang berhubungan dengan bentangan horizontal — dirancang dan digambarkan di atas kertas dari ribuan ke ribuan kaki. Pembaca yang melihat peta ini, dengan demikian, dapat melihat penampang melintang, daratan yang membentang lurus dalam arah berlawanan, tempat raut [bentang alam] ini terhampar. Untuk menentukan ketinggian sudut-sudut yang berlainan, saya terus meneliti [amatan] sebelumnya melalui pengukuran dengan barometer, seraya berupaya keras menggarap bentuk yang diprofilkan, menggambarkan bagian-bagian daratan yang terpisah setepat mungkin, setelah itu, sebagai hasil dari perjalanan kaki ke pegunungan di Kepulauan Sunda selama bertahun-tahun, saya mendapatkan banyak pelajaran. Peta ketinggian, yang disajikan kepada pembaca di sini, dengan demikian, tidak menyuguhkan gambaran figuratif, melainkan mengemukakan kepada pembaca bentuk-bentuk yang senyatanya, dengan perbandingan bagian-bagian [daratan] yang berlainan menyangkut ketinggiannya, yang juga telah saya pelajari dari penarikan bentuk dan pengukuran ketinggian. Untuk menghindari segala gambaran figuratif yang mati, saya menyisihkan bagian terbesar Sumatra dan hanya menekankan bagian yang hendak digambarkan,
yang membentang dari Aik-Daoe hingga Gunung Salasi, tempat pengetahuan bertumpu pada pengukuran dan penggambaran yang nyata. Saya menarik dua profil dalam bidang panjang, satu untuk Pulau Jawa, yang lain untuk Sumatra, seraya menghubungkan titik-titik kecil, dari satu ke lain pantai, untuk daerah-daerah di kedua pulau tersebut, yang memperlihatkan beberapa pembentukan-massa yang unik, dan dengan cara itu tampilan bentuk menyeluruh dari wilayah-wilayah tersebut, serta jenis bentuk-bentuk itu dapat dipelajari, yang dengan cara serupa dan di banyak halaman berbagai wilayah dapat dilihat. Profil Jawa dan profil Sumatra, yang memanjang itu, saya letakkan berdampingan, sehingga perbedaan mencolok dalam cara pembentukan dan dalam bentuk di antara keduanya, serta dengan pulau-pulau lain di sekitarnya dapat digambarkan. Di belahan utara Sumatra, yakni wilayah Batak, karakter wilayah yang lebih kontinental, yakni bentuk plato, tapi juga di belahan barat Jawa, yakni di dataran tinggi Bandung, dengan demikian dapat ditemukan, sementara di belahan timur Jawa, yang paling jauh dari Sumatra, terlihat bentuk wilayah yang sepenuhnya berlainan. Di sana, bentuk puncak gunung-gunung, dengan kerucut-kerucutnya yang berlereng curam terpisah dari dataran rendah, sementara di belahan yang lebih jauh ke timur kerucut-kerucut gunung yang runcing, tanpa dataran di latar depannya, tampak menyembul dari dalam laut. Garis, yang ditarik untuk membuat rancangan peta ketinggian wilayah ini, tidak sampai memotong semua dataran dan pegunungan yang digambarkan di atasnya. Beberapa garis dari bagian [wilayah yang digambarkan] ini terletak di sisinya, pada jarak yang lebih besar daripada garis itu, sementara beberapa lainnya yang terdapat di sisi ini, dengan demikian, lebih dekat ke pengamat; garis yang lebih tipis, yang (lebih dekat) mendapat bayangan yang lebih gelap daripada yang terletak di tengah, tempat garis bagian itu mengarah (Junghuhn, 1857, terjemahan HWS).
Tentang cara Franz Wilhelm Junghuhn melihat lanskap, Rob Nieuwenhuys, antara lain, memaparkan sebagai berikut: Bagi Junghuhn, lanskap yang menarik secara artistik berarti “masalah fantasi,
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
53
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
yang terbuka bagi beragam interpretasi”. “Lanskapku”, tulisnya, “pada hakikatnya sebagaimana adanya”. Lanskaplanskap itu memperlihatkan beraraknya awan-gemawan yang tampak seperti “rangkuman jari-jemari”, penampang samping dari susunan geologis, bentuk cabang pepohonan, dan struktur dedaunan. Digambar secara persis sebagaimana yang dia lihat, baik dengan bantuan kaca pembesar maupun dengan teleskop yang sangat tajam, lanskaplanskap Junghuhn dimaksudkan sebagai ilustrasi bagi maksud-maksudnya yang ilmiah dalam penyelidikan ilmu alam, dan pengantar yang dia kemukakan atas gambar-gambar itu jelas memaparkan metode kerjanya. Contohnya, sebuah litografi yang memperlihatkan Gunung Gede disertai dengan instruksi bahwa pengamat harus membayangkan dirinya berada didalam hutan yang sama, sebagaimana yang dipaparkan dalam jilid pertama Jawa, Bentuknya. Namun, untuk mendapatkan penglihatan yang dimaksudkan, hutan lebat itu dihapuskan dan hanya leptospermum floribundum yang sedang mekarlah yang disisakan, demikian dia katakan kepada kita. Meskipun Junghuhn sendiri menganggap gambar-gambarnya “sebagaimana adanya”, gambar-gambar itu sungguh menarik perhatian kita, justru karena dibuat tidak nyata dalam arti bahwa rinciannya tidak diikutsertakan dalam keseluruhannya. Gambar-gambar itu mirip lanskap dunia asing, dan barangkali itulah sebabnya gambar-gambar itu sangat menakjubkan. Satu-satunya komentar menyeluruh yang ditulis oleh Junghuhn mengenai karya-karya litografisnya dapat ditemukan dalam edisi Jerman bukunya yang terbit pada 1853, berjudul LandschaftsAnsichten von Java (Nieuwenhuys, 1982:7475, terjemahan HWS).
Fotografi juga merupakan bagian dari sarana visualisasi bentang alam yang diandalkan oleh Franz Wilhelm Junghuhn. Hanya sedikit karya visual Franz Wilhelm Junghuhn, dalam golongan ini, hanya yang terselamatkan. Sebagian besar hilang atau rusak. Sejauh yang terlacak dari “Kumpulan Gambar Fotografis untuk Stereoskop” peninggalannya, foto karya Franz Wilhelm Junghuhn, yang semuanya berasal dari tahun 1860 berjumlah 224 lembar, 48 diantaranya dicetak dalam 54
buku kenangan terbitan tahun 1909 (Nieuwenhuys & Jaquet, 1980:14). KESIMPULAN Catatan perjalanan Franz Wilhelm Junghuhn, mengenai hasil penyelidikan kebumian di Pulau Jawa pada abad ke-19, mengandung banyak informasi penting mengenai segi-segi kesejarahan dataran tinggi Priangan di Jawa Barat. Dari peneliti yang sama terdapat pula citraan visual (visual images) mengenai dataran tinggi tersebut, yang antara lain berupa sketsa, peta topografi, dan gambar elok (pittoreske gezichten). Bagi Franz Wilhelm Junghuhn sendiri, Priangan terbilang sangat penting dalam perjalanan hidupnya. Wilayah ini turut menyediakan latar bagi pelaksanaan peran Franz Wilhelm Junghuhn sebagai peneliti, pejabat kolonial, dan penjelajah. Di wilayah inilah, ia memulai perjalanannya menjelajahi Pulau Jawa. Di wilayah yang sama, ia juga melaksanakan tugas kolonialnya dalam perintisan budi daya kina. Di Priangan pula, Franz Wilhelm Junghuhn tinggal bersama keluarganya hingga ia wafat dan berkubur di Jayagiri, Lembang, Bandung. Tak pelak lagi, catatan dan gambar peninggalan Franz Wilhelm Junghuhn dapat memperkaya historiografi mengenai Priangan abad ke-19.5
Bibliografi Algemeen Handelsblad [suratkabar]. Belanda: Jum’at, 27 Juni 1856. Archer, Mildred & John Bastin. (1978). The Raffles Drawings in the India Office Library London. London: Oxford University Press. Beekman, E.M. (1988). Fugitive Dreams: An 5 Pernyataan: Dengan ini kami menyatakan bahwa artikel ini bukanlah hasil plagiat, karena sumbersumber yang kami rujuk sangat jelas dinyatakan dalam Daftar Pustaka. Artikel ini juga belum direviu dan tidak dikirimkan kepada jurnal lain untuk diterbitkan. Kami bersedia menerima hukuman secara akademik apabila di kemudian hari ternyata pernyataan yang kami buat ini tidak sesuai dengan kenyataan.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Anthology of Dutch Colonial Literature. Amherst: University of Massachusetts Press. Beekman, E.M. (1996a). “Junghuhn’s Perception of Javanese Nature” dalam Canadian Journal of Netherlandic Studies, No.XVII [Spring]. Beekman, E.M. (1996b). Troubled Pleasures: Dutch Colonial Literature from the East Indies, 1600-1950. Oxford: Clarendon Press. Benjamin, Roger. (2003). Orientalist Aesthetics. Berkley, Los Angeles, and London: University of California Press. Berg, Bruce Lawrence. (2001). Qualitative Research Method for Social Science. Boston: Allyn & Bacon. Berita “Daripada Tidak Terawat, Taman Junghuhn Diusulkan Dikelola Desa” dalam suratkabar Tribun Jabar. Bandung: Rabu, 1 Februari 2012, hlm.9 dan 15. Berita “Selamatkan Taman Junghuhn!” dalam suratkabar Pikiran Rakyat. Bandung: Kamis, 15 Desember 2011, hlm.6. Berlage, H.P. (1931). Mijn Indische Reis: Gedachten over Cultuur en Kunst. Rotterdam: W.L. & J. Brusse’s. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 7de Deel, [Nieuwe Volgreeks, 3e Deel] (1860), pp.XVII-XX. Bloembergen, Marieke. (2004). Koloniale Inspiratie: Frankrijk, Nederland, Indië, en de Wereldtentoonstellingen, 1883-1931. Leiden: KITLV Press. Breman, Jan. (2010). Koloniaal Profijt van Onvrije Arbeid: Het Preanger Stelsel van Gedwongen Koffiesteelt op Java, 1720-1870. Amsterdam: Amsterdam University Press. Brommer, B.E.A. (1979). Reizend door Oost-Indie: Prenten en Verhalen uit de 19e Eeuw. Utrecht: Het Spectrum BV. de Bére, T. Lach & Van der Vlies. (1933). “Junghuhn (1809-1864): Een Kijkje in Zijn Eerste Zone” dalam Tropisch Nederland, Thn. VI, No.12 [2 Oktober], hlm.179-185. Dédé. (2013). “Kawah Putih: Tapak Lacak Junghuhn” dalam majalah Manglé, No.2412 [14 – 20 Februari] hlm.40. De Haan, F. (1910). Priangan: De PreangerRegentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811. Batavia: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. De Locomotief [suratkabar]. Batavia: Jumat, 13 Januari 1865. De Sumatra Post [suratkabar]. Hindia Belanda: Selasa, 1 Juni 1909. De Waarheid [suratkabar]. Belanda: Kamis, 10 November 1955. De Wilde, Andries. (1830). De Preanger Regentschappen op Java Gelegen. Amsterdam: Westerman. De Wit, Augusta. (1905). Java: Facts and Fancies. London: Chapman & Hall. Gedenkboek Franz Junghuhn: 1809-1909.
Netherlands: Martinus Nijhoff, 1910. Goss, Andrew. (2011). The Floracrats: StateSponsored Science and the Failures of the Enlightenments in Indonesia. London: The University of Wisconsin Press. Groneman, Isaac. (1879). Waar of Onwaar? Nieuwe Indische Schetsen. Amsterdam: P.N. Van Kampen. Hartoko, Dick. (1985). Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan, cetakan ke-2. Het Nieuws van den Dag [suratkabar]. Rotterdam, Belanda: Jum’at, 26 November 1909. Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie [suratkabar]. Belanda: 8 Juni 1914; dan 26 Oktober 1934. Het Vrije Volk [suratkabar]. Rotterdam, Belanda: 19 Juli 1980. Indische Courant [suratkabar]. Batavia: 23 Maret 1922. Indisch Magazijn [majalah]. Batavia: LandsDrukkerij, 1844. Javasche Courant [suratkabar]. Batavia: Sabtu, 10 Mei 1845. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1850a). Atlas van Platen: Bevattende Elf Pittoreske Gezichten. Amsterdam: P.N. Van Kampen. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1850b). Java, Deszelfs Gedaante, Bekleeding, en Inwendige Struktuur. Amsterdam: P.N. Van Kampen. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1851). Terugreis van Java naar Europa, met de Zoogennamde Engelsche Overlandpost, in de Maanden September en October 1848. Amsterdam: Joh. Noman en Zoon. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1853). Landschafts Ansichten von Java. Amsterdam: Joh. Noman en Zoon. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1857). Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Vol.1-4. Leipzig: Arnoldische Buchhandlung, terjemahan J.K. Hasskarl dari Java, Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1867). Licht- en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java. Amsterdam: F. Gunst. Kern, R.A. (1898). Geschiedenis der Preanger Regentschappen: Kort Overzicht. Bandung: De Vries en Fabricius. Loos-Haaxman, J. (1968). Verlaat Rapport Indië: Drie Eeuwen Westerse Schilders, Tekenaars, Grafici, Zilversmeden, en Kunstnijveren in Nederlands-Indië. ‘s-Gravenhage: Mouton & Co. Lubowski-Jahn, Alicia. (2011). “A Comparative Analysis of the Landscape Aesthetics of Alexander von Humboldt and John Ruskin” dalam British Journal of Aesthetics, Vol.51, No.3 [Juli], hlm.321-333. Maronier, J.H. (1967). Pictures of the Tropics: A
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
55
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Catalog. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Nieuwe Rotterdamsche Courant [suratkabar]. Rotterdam, Belanda: Senin, 10 Oktober 1864. Nieuwenhuys, Rob. (1972). Oost-Indische Spiegel: Wat Nederlandse Schrijvers en Dichters over Indonesië Hebben Gerschreven, vanaf de Eerste Jaren der Compagnie tot op Heden. Amsterdam: E.M. Querido’s Uitgeverij, B.V. Nieuwenhuys, Rob & Frits Jaquet. (1980). Java’s Onuitputtelijke Natuur: Reisverhalen, Tekeningen, en Fotografieën van Franz Wilhelm Junghuhn. A.W. Sijthoff: Alphen aan den Rijn, 7. Nieuwenhuys, Rob. (1981). Baren en Oudgasten, Tempo Doeloe — Een Verzonken Wereld: Fotografische Documenten uit Het Oude Indië, 1870-1920. Amsterdam: E.M. Querido’s Uitgeverij B.V. Nieuwenhuys, Rob. (1982). Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature Library of the Indies. Amherst: University of Massachusetts Press, terjemahan Frans van Rosevelt. Pikiran Rakyat [suratkabar]. Bandung: Kamis, 15 Desember 2011. Protschky, Susie. (2008). “Seductive Landscapes: Gender, Race, and European Representations of Nature in Dutch East Indies during the Late Colonial Period” dalam Gender & History, Vol.20, No.20 [August], hlm.372-398. Protschky, Susie. (2009). “The Flavour of History: Food, Family, and Subjectivity in Two IndoEuropean Women’s Memoirs” dalam History of the Family, No.14, hlm.369-385. Rizal, J.J. (2011). “Dia yang Pamit kepada Gunung” dalam National Geographic Indonesia. Tersedia [online] juga di: http:// nationalgeographic.co.id/featurepage/180/ dia-yang-pamit-kepada-gu-nung/1 [diakses di Bandung, Indonesia: 7 Januari 2015].
56
Rotterdamsche Courant [suratkabar]. Rotterdam, Belanda: Selasa, 7 Juni 1864. Scalliet, Marie-Odette et al. (1999). Pictures from the Tropics: Paintings by Western Artists during the Dutch Colonial Period in Indonesia. Amsterdam: Koninklijk Instituut voor de Tropen. Sep, Peter. (1987). “De Receptie van ‘Licht- en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java’ van F.W. Junghuhn” dalam Indische Letteren, No.2 [Juni], hlm.53-64. Sternagel, Renate. (2011). Der Humboldt von Java: Leben und Werk des Naturforschers Franz Wilhelm Junghuhn, 1809-1864. Halle: Mitteldeutscher Verlag. Ten Kate, Herman F.C. (1913). “SchildersTeekenaars in Nederlansch Oost- en WestIndie en Hun Beteekenis voor de Land- en Volkenkunde” dalam Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde, Thn.IV, No.67, hlm.441-515. Utrechtsch Nieuwsblad [suratkabar]. Utrecht, Belanda: Jum’at, 26 November 1909. Van Pers, A. (n.y.). Nederlandsch Oost-Indische Typen. s’Gravenhage: C.W. Mieling. von Humboldt, Alexander. (1858). Cosmos: Sketch of Physical Description of the Universe. London: John Murray, Albemarley Street, terjemahan Major-General R.A. Edward Sabine et al. von Neueck, Pfijffer. (1838). Schetsen van het Eiland Java en Deszelfs Onderscheidene Bewoners. Amsterdam: J.C. van Kesteren. Wagner, Virginia L. (1988). “John Ruskin and Artistical Geology in America” dalam Winterthur Portfolio, Vol.23, No.2/3 [SummerAutumn], hlm.151-167. Wigan, Mark. (2009). The Visual Dictionary of Illustration. Switzerland: AVA Publishing SA. Wormser, C.W. (1943). Frans Junghuhn. W. Van Hoeve: Deventer.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com