Sub Modul 7: Dalil Keempat - Qiyas Definisi Qiyas adalah menyamakan hukum sebuah perkara yang belum memiliki hukum dengan perkara lain yang sudah memiliki hukum disebabkan kesamaan dalam illat hukumnya (Khallaf, 2003). Illat adalah sesuatu yang karena keberadaannya maka hukum menjadi ada (Khalil, 2010). Artinya yang menjadi penghubung proses penyamaan atau analogi dua perkara ini adalah kesamaan illat.
Argumentasi Penggunaan Qiyas Qiyas tentu mesti disandarkan pada illat yang terdapat pada dalil yang tercantum di dalam Al Quran, Sunnah dan Ijma Sahabat. Arahan Rasulullah saw untuk menggunakan qiyas misalnya terdapat pada hadits riwayat Abu Daud no 2037 yang juga terdapat pada Ahmad, Darimi dan Baihaqi yang artinya: Dari Umar bin Khathab, ia berkata: “Suatu hari gairahku terbangkitkan, sehingga aku mencium istriku dalam keadaan shaum. Kemudian aku datang kepada Nabi saw dan berkata, ‘Hari ini aku telah melakukan perkara yang besar. Aku telah mencium istriku dalam keadaan shaum.’ Kemudian Rasulullah berkata, ‘Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur-kumur dengan air dalam keadaan shaum?’ Aku berkata, ‘Tidak apa-apa’. Kemudian Rasul saw berkata: ‘Kalau begitu mengapa (mencium istri dalam keadaan shaum) tidak boleh?’
Juga dalam dialog antara Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib saat penetapan qishash bagi pembunuh. Qishash adalah hukum berupa balasan setimpal bagi orang yang melakukan pembunuhan disengaja. Umar pernah ragu dalam memutuskan qishash bagi tujuh orang pembunuh yang menghilangkan nyawa satu orang. Saat itu Ali memberikan pandangan: “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu apabila ada sekelompok manusia yang berserikat melakukan pencurian, apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?” Umar menjawab, “Benar”. Lalu Ali berkata, “Begitu juga dengan qishash.”
Rukun Qiyas Ada empat rukun qiyas. Rukun artinya, bila tidak terpenuhi salah satunya saja, maka qiyas menjadi tidak sah. Keempat rukun tersebut adalah: 1. Al Ashlu, yakni perkara yang hukumnya disebutkan dalam nash dan menjadi sumber qiyas. 2. Al Far’u, yakni peristiwa yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash yang akan diqiyaskan kepada al ashlu. 3. Al Hukmul Ashliy, yaitu hukum syara yang terdapat pada nash dalam perkara asal, sebagai dasar hukum bagi perkara yang akan diqiyaskan. 4. Al Illat, yaitu sebab hukum al ashlu yang akan menjadi penghubung antara perkara asal dengan perkara yang diqiyaskan.
Contoh qiyas misalnya adalah penganalogian jual beli dengan aktivias lain yang melalaikan shalat Jumat. Dengan bersandar kepada nash yang terdapat dalam Al-Quran surat Al Jumuah ayat 9 dan 10 diperoleh al ashlu atau perkara pokoknya adalah ketidak bolehan jual beli saat dikumandangkan adzan Jumat.
َ َ َٰٓ َ ُّ َ ذ َ َ َ ُ ٓ ْ َ ُ َ ذ َ ۡ ِ ُۡ ُ َ َ ۡ َ ۡ ْ َٰ ۡ ذ َٱّللِ َو َذ ُروا ْ ۡٱۡلَ ۡيع ٰ يأيها ٱَّلِين ءامنوا إِذا نودِي ل ِلصلوة ِ مِن يوم ٱۡلمعةِ فٱسعوا إَِل ذِك ِر َۡ ْ ُ َ َ ِ ِشوا ِِف ٱۡل ۡرض ِ فٱنت
َ ََُۡ ُۡ ُ ُ ذٞ ۡ َ ۡ ُ َٰ ُٱلصلَ ٰوة فَإ َذا قُض َيت ذ٩ ون ۡك م ل ع ت م نت ك ن إ م ذل ِكم خۡي ل ِ ِ ِ ِ ْ َُۡ ُۡ ُ ذ َ ۡ ُُ ْ ذَ َ ٗ ذ ذ َ ۡ َ ١٠ ۡيا ل َعلك ۡم تفل ِ ُحون ِ َوٱبتغوا مِن فض ِل ٱّللِ وٱذكروا ٱّلل كث
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum´at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. 10. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (TQS Al Jumuah, 62: 9-10).
Al Far’u atau perkara cabang misalnya adalah menyelenggarakan seminar saat shalat Jumat. Al hukmul ashliy atau hukum asal jual beli saat adzan Jumat adalah tidak boleh. Illat pada penganalogian ini adalah melalaikan shalat Jumat. Mengingat keempat rukun telah terpenuhi maka qiyas pada penganalogian kedua perkara ini berfungsi. Hasilnya adalah bahwa menyelenggarakan seminar atau yang semisal dengan itu adalah tidak boleh.
Jenis-Jenis Illat Diskusi paling menarik dan mendasar dalam qiyas adalah mengenai illat. Mengapa? Karena illat adalah penentu qiyas dalam dilakukan ataukah tidak. Illat inilah yang menjadi rantai penghubung antara perkara asal atau perkara pokok, dengan perkara cabang atau perkara yang diqiyaskan.
Qiyas adalah area mujtahid. Artinya, qiyas hanya valid dilakukan oleh seseorang yang berkapasitas sebagai mujtahid. Syarat-syarat mujtahid akan dijelaskan pada penjelasan berikutnya. Pembahasan tentang qiyas adalah pembahasan yang sangat mendalam. Pada bagian ini dijelaskan dasar pengetahuan mengenai illat. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, illat adalah sebab hukum yang menjadi penghubung antara perkara asal dengan perkara yang diqiyaskan.
Illat ada dua jenis yakni,
Pertama, dikenal sebagai illat syar’iyyah atau illat yang berdasar kepada nash yaitu illat yang terdapat di dalam nash Al Quran, As Sunnah dan atau Ijma Sahabat. Ketika melakukan analisis terhadap nash, Illat di dalam nash bisa didapatkan melalui salah satu dari keempat cara berikut: secara jelas (shurarah), penunjukkan (dilalah), penggalian (istinbath), dan diqiyaskan.
Kedua, dikenal sebagai illat aqliyah yaitu illat yang didapatkan dengan menggunakan logika semata tanpa berdasar kepada keterangan tercantum di dalam nash. Illat aqliyah atau illat rasional adalah mengqiyaskan sebuah perkara dengan perkara lain sekedar adanya kemiripan menurut akal, bukan disandarkan kepada dalil syara.
Sub Modul 8: Dalil yang Diperselisihkan Bila sebelumnya kita telah membahas dalil yang disepakati, ada pula dalil yang diperselisihkan atau sebagian menyebutnya sebagai bukan dalil, meliputi: istihsan, al mashlahah al mursalah, urf, istishaab, syar’u man qablana dan madzhab sahabat.
Istihsan Istihsan menurut bahasa adalah mengganggap baik sesuatu. Istihsan menurut ulama ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari qiyas yang nyata kepada qiyas yang samar atau dari hukum umum ke hukum perkecualian (Khallaf, 2003). Pergeseran ini bisa dilakukan dengan qiyas, dengan keharusan, dengan sunnah dan dengan ijma sahabat.
Misalnya hasil qiyas menunjukkan bahwa kesaksian hukum adalah sah bila dilakukan dua orang. Kemudian terdapat hadits Rasulullah saw, “Barangsiapa menjadikan Khuzaimah sebagai saksi maka cukuplah baginya.”. Hadits ini menggeser hukum kesaksian dua orang, khusus bagi pribadi Khuzaimah bila ia yan gmenjadi saksi, cukup kesaksian seorang dirinya senilai dengan kesaksian dua orang. Ini adalah contoh istihsan melalui pergeseran qiyas dengan sunnah.
Istihsan dengan sunnah dan dengan Ijma sahabat lebih tepatnya adalah bukan istihsan. Keduanya adalah berlandaskan kepada sunnah dan ijma sahabat sebagai dalil syara yang diterima. Adapun istihsan melalui pergeseran qiyas dengan qiyas dan dengan keharusan tidak bersandar kepada dalil. Oleh karenanya penggunaan Istihsan termasuk diperselisihkan termasuk oleh Imam syafii yang menyatakan dalam Ar Risalah bahwa mereka yang melakukan istihsan pada hakikatnya adalah pembuat hukum, dan apabila istihsan diperbolehkan dalam agama maka konsekuensinya setiap orang yang berakal diperbolehkan untuk menentukan hukum bagi dirinya.
Al mashlahah al mursalah Al mashlahah al mursalah adalah pengambilan hukum berdasarkan kemaslahatan umum. Ini disebabkan persoalan di dunia ini senantiasa berkembang. Bagi yang berargumentasi dengan al mashlahah al mursalah mereka mensyaratkan bahwa kemaslahatan yang diambil adalah kemaslahatan hakiki bukan semu, umum bukan pribadi, dn tidak boleh bertentangan dengan hukum yang ada dalam nash. Beberapa contoh yang dianggap al mashlahah al mursalah misalnya tidak berlakunya hukum potong tangan di masa Umar saat paceklik tiba dan pengumpulan Al Quran dalam satu mushaf di masa Utsman.
Dalam perjalanannya, al mashahah al mursalah memberi kesempatan kepada manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya untuk menetapkan hukum sebuah perkara. Dengan alasan kemaslahatan umum, maka sebuah perkara bisa menjadi boleh dan tidak boleh. Mengenai pengecualian Umar dengan tidak memberlakukan hukuman potong tangan saat paceklik tiba lebih tepatnya bukan dilakukan atas dasar kemaslahatan umum, tetapi karena adanya sebuah hadits dari Rasulullah saw yang berbunyi, “Tidak ada potong tangan dalam masa kelaparan”. Adapun mengenai pengumpulan mushaf Al Quran juga bukan didasarkan kemaslahatan umum tetapi didasarkan kepada Al Quran surat Al Hijr 15: 9 tentang pemeliharaan quran dan hadits riwayat Bukhari Muslim dari Rasulullah saw yang menyatakan, “Tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan.” Hadits ini memerintahkan untuk menghilangkan berbagai hal yang membahayakan. Hilangnya Al Quran adalah salah satu hal yang sangat membahayakan dalam kehidupan.
Urf Urf adalah adat. Urf ada dua, aday yang benar dan adat yang rusak (Khallaf, 2003). Adat yang benar tidak bertentangan dengan dalil syara. Sebaliknya adat yang rusak bertentangan dengan dalil syara. Urf lebih tepatnya bukan sebagai sumber hukum. Pertimbangan urf berkenaan dengan penetapan
hukum adalah sederhana sebagaimana pembagian dua jenis urf di atas. Bila sesuai dalil syara maka adat bisa digunakan. Bila tidak sesuai syara maka adat tidak boleh digunakan.
Istishaab Istishaab adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumya sampai ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan (Khallaf, 2003). Di dalam istishaab hakikatnya dalillah yang menetapkan hukum tersebut.
Syar’u man qablana Syar’u man qablana adalah syariat umat terdahulu. Rasulullah tidak pernah merujuk kepada injil dan taurat. Ketika suatu hari Rasulullah menemukan Umar sedang membaca sebagaian taurat, Rasulullah memerintahkan Umar untuk menghentikan perbuatannya. Sesungguhnya syariat yang diturunkan kepada umat sebelum Islam tidak berlaku bagi kaum muslim. Di dalam surat Al-Maidah 48 Allah swt menjelaskan yang artinya, “Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Quran yag membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” Yang dimaksud batu ujian adalah penghapus kitabkitab sebelumnya.
Madzhab sahabat Madzhab sahabat adalah sekumpulan fatwa dan ketetapan hukum yang dikeluarkan para sahabat sepeninggal Rasulullah. Sebagaimana dimafhumi bahwa para sahabat adalah bagaikan bintangbintang yang memancarkan cahaya bagi umat. Mereka lama bergaul dengan Rasulullah, memahami hukum-hukum Islam, menguasai bahasa Arab dan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang
melekat pada diri mereka. Meski demikian, pendapat para sahabat secara individual yang kemudian dikenal sebagai madzhab sahabat tepatnya adalah bukan dalil syara. Pendapat yang menjadi dalil syara adalah pendapat yang berupa kesepakatan para sahabat (ijma sahabat). Dalam An Nisa 59 Allah swt berfirman,
ۡ َ َ ُۡ ُ ُ َ ذ َ ۡ َ ُّ َ ذ َشءٖ ف ُردوهُ إَِل ٱّللِ َوٱ ذلر ُسو ِل إِن ك … فإِن ت َنٰ َزع ُت ۡم ِِف ِنت ۡم تؤم ُِنون ب ِٱّلل ۡ َ َ ۡ َ ُ َ ۡ اٞ ۡ َ َ َٰ ٥٩ خ ِر ذل ِك خۡي وأحسن تأوِيًل ِ َوٱۡلَ ۡو ِم ٱٓأۡل “… jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dalam berpendapat, terkadang para sahabat berbeda pendapat mengenai suatu perkara. Para sahabat telah bersepakat bahwa boleh berbeda pendapat di antara mereka secara perorangan. Allah memerintahkan kepada manusia sebagaimana dalam ayat di atas untuk mengembalikan seluruh perkara yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sub Modul 9: Ijtihad dan Taklid Definisi Secara bahasa Ijtihad artinya bersungguh-sungguh atau pencurahan tenaga dan pengerahan kemampuan dalam suatu pekerjaan. Secara syariat pengertian Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam menggali pengetahuan yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat (Biek, 2007). Ijtihad hanya bisa dilakukan oleh mujtahid. Mujtahid adalah sebutan bagi orang yang melakukan ijtihad. Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan dalam menggali sesuatu hingga merasa dirinya tidak mampu lagi menambah kemampuannya.
Hukum Ijtihad Hukum ijtihad adalah fardhu kifayah. Tidak boleh suatu masa terlewat dan vakum dari keberadaan mujtahid. Mengapa? Karena kehidupan senantiasa berkembang, banyak masalah-masalah baru yang tidak tercantum dalam Al-Quran sehingga memerlukan penggalian dengan analisis yang cermat. Padahal di sisi lain, manusia diseru Allah swt untuk selalu terikat dengan hukum syara dalam seluruh perbuatannya. Menjadi wajib sebab tanpa ijtihad tidak mungkin manusia dalam terikat pada hukum syara termasuk pada perkara-perkara baru yang mengiringi perkembangan kehidupan.
Terdapat tiga hal yang mesti terkandung dalam ijtihad, meliputi: a) Upaya mengerahkan segenap kemampuan hingga batas maksimal. b) Obyek ijtihad adalah hukum syara yang tidak memiliki dalil qath’i atau pasti. c) Sumber ijtihad adalah dalil syara. Sehingga ijtihad tidak dapat dilakukan pada obyek hukum yang telah pasti, misalnya kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Sesuatu yang telah pasti hukumnya bukan menjadi area ijtihad. Selain itu ijtihad juga berada pada area hukum. Area selain hukum tidak termasuk ijtihad.
Syarat Mujtahid Seorang mujtahid memiliki kapasitas tinggi dengan penguasaannya pada berbagai bidang ilmu secara mendalam. Syarat mujtahid adalah, a. Muslim, laki-laki atau perempuan, berakal sehat dan berkemampuan pikir mendalam. b. Menguasai ilmu Bahasa Arab. c. Menguasai ilmu tentang Al-Quran atau ulumul quran, termasuk ilmu tafsir dan asbabun nuzul (sebab turunnya wahyu). d. Menguasai ilmu tentang Hadits atau ulumul hadits, termasuk asbabul wurud (latar belakang hadits). e. Menguasai ilmu ushul fiqih. f.
Mengetahui dan menyegarkan pengetahuan (upadate) hasil ijtihad para mujtahid lain.
g. Mengetahui mengenai perkara yang hendak dihukumi.
Terdapat beberapa jenis mujtahid yakni mujtahid mutlak, mujtahid madzhab dan mujtahid mas’alah (Hilal, 2005). Mujtahid mutlak adalah mujtahid yang tidak hanya menarik hukum dari dalil syara tetapi juga memiliki konsep ushul fiqih tersendiri yang unik. Misalnya adalah Imam Syafii dan imam madzhab lain. Mujtahid madzhab adalah mujtahid yang mengikuti konsep atau metode ushul fiqih imam madzhab tetapi memiliki kemandirian dalam menentukan suatu hukum. Misalnya Imam Abu Yusuf yang mengikuti metode ushul fiqih Imam Abu Hanifah. Mujtahid mas’alah adalah mujtahid yang mampu menghukumi masalah pada area tertentu secara spesifik.
Mengapa Hasil Ijtihad Bisa Berbeda dan Cara Menyikapinya Pada sebuah objek ijtihad, bisa dihasilkan ketetapan yang berbeda. Hal ini dimungkinkan dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yakni: a) Perbedaan dalil.
Pada Al-Quran, biasanya tidak terdapat perbedaan.
Pada Al Hadits, dapat berbeda dalam menilai kualitas hadits. Perbedaan ini muncul karena perbedaan kriteria kualitas hadits.
Pada Ijma, bisa dimungkinkan terjadi perbedaan ijma siapa yang dapat dijadikan dalil. Hal ini telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Pada Qiyas, mungkin berbeda dalam proses teknisnya, sebagian bisa jadi mengkombinasi dengan istihsan.
Penggunaan dalil yang diperselisihkan. Sebagian menerima sebagian tidak menerima sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
b) Perbedaan penafsiran dalil. c) Perbedaan metodologi ushul fiqih. d) Perbedaan pemahaman terhadap teks. e) Perbedaan keadalaman pemikiran setiap mujtahid.
Terdapat banyak pintu kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat. Para sahabat ketika Rasulullah hidup bersama mereka pun pernah mengalami perbedaan pendapat mengenai suatu perkara. Misalnya ketika berakhirnya perang Khandaq. Rasulullah memerintahkan kepada kaum muslim dengan instruksi sebagai berikut, “Barangsiapa yang mendengar dan taat kepada Rasul maka hendaklah dia tidak shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Para sahabat berbeda pendapat dalam memahami perkataan Rasulullah. Sebagian sahabat berpendapat bahwa mereka tidak boleh shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah meskipun ketika di sana telah lewat waktu maghrib. Sebagian sahabat berpendapat bahwa mereka mesti bergegas dan shalat ashar terlebih dahulu di lokasi keberangkatan atau di perjalanan. Ketika Rasulullah mengetahui kedua pendapat ini beliau mengakui atau mendiamkan keduanya.
Menyikapi perbedaan hasil ijtihad, penghargaan dan penghormatan mesti diberikan bila pendapat yang berbeda merupakan hasil ijtihad yang didasarkan pada dalil syara. Adapun bila pendapat yang berbeda tidak didasarkan pada dalil syara maka pendapat tersebut tertolak dan tidak dapat diterima.
Taklid Taklid secara bahasa artinya mengikuti orang lain tanpa berpikir. Secara syara taklid berarti melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah mengikat. Misalnya orang awam yang mengikuti pendapat mujtahid (Atha, 2010). Orang yang melakukan taklid disebut sebagai muqallid.
Hukum taklid adalah sebagai berikut, 1) Dalam masalah akidah, tidak boleh. Allah swt telah berfirman dalam surat Al Baqarah 170,
َََٓٓ َ َۡ َ َۡ ََۡ ٓ َ ُ َ َ َُ ُ ذ ُ ْ َ ٓ َ ََ ذُ َ ُ ْ َۡ َذ ِإَوذا قِيل لهم ٱتبِعوا ما أنزل ٱّلل قالوا بل نتبِع ما ألفينا عليهِ ءاباءنا َ ُ َ ۡ َ َ َ ٗ ۡ َ َ ُ ۡ َ َ ۡ ُ َُٓ َ َ َ َۡ ََ ١٧٠ أولو َكن ءاباؤهم َل يعقِلون شيا وَليهتوون “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"
2) Dalam masalah hukum syara, boleh. Allah swt telah berfirman dalam surat Al Anbiya 7,
ۡ َ َ ٓ َ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ َ ذ َ ٗ ُّ ٓ َ ۡ ۡ َ ۡ َ ُ ٓ ْ َ ۡ َ ذ َ ََُۡ َ ُۡ ُ ِ وما أرسلنا قبلك إَِل رِجاَل ن وِح إِۡل ِهمۖۡ فسلوا أهل ٱَّلِكرِ إ ِن كنتم َل تعلمون
“Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa oranglaki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orangorang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
Muqallid terbagi dua yakni muqallid muttabi’ dan muqallid ‘aam (Hilal, 2005). Muqallid muttabi’ adalah muqallid yang mengetahui dalil tetapi tidak mengetahui alasan dalil tersebut digunakan atau bagaimana dalil itu digali hingga menghasilkan sebuah hukum. Muqallid ‘aam adalah muqallid yang mengikuti ijtihad seorang mujtahid tanpa mengetahui atau memahami dalil-dalilnya.
Meski taklid dalam hukum syara diperbolehkan, perlu diperhatikan hal-hal penting meliputi: taklid terhadap sebuah madzhab tidak boleh dilakukan membabi buta seraya merendahkan madzhab lain, obyek taklid adalah hukum syara bukan pribadi mujtahid dan seorang muslim senantiasa didorong untuk menguasai segala persyaratan yang diperlukan untuk mempelajari dalil-dalil yang berkenaan dengan suatu perkara.