Jurnal HIKAMUNA
SILANG SENGKARUT QIYAS DALAM METODOLOGI HUKUM ISLAM Mahfudh Fauzi Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama Nusantara STISNU NUSANTARA TANGERANG Email :
[email protected]
Abstrak Artikel ini membahas tentang metodologi istinbat hukum Islam memalui metode Qiyas, dimana Qiyas merupakan akumulasi berbagai problem yang tidak terakomodasi oleh Al Quran, Sunnah dan Ijma’ akhirnya bisa ditemukan solusinya yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, ketika ada pendapat yang mengatakan bahwa Qiyas merupakan teori yang justru membatasi tidaklah tepat. Upaya para ulama dalam menggali hukum dari sumber utama yaitu al-Qur’an dan Sunnah inilah yang biasa dikenal dengan ijtihad. Ijtihad adalah isu sentral dalam disiplin Usul al-Fiqh yang mempunyai konsentrasi pada metode implementasi spirit teks keagamaan dalam berbagai lingkungan sosial budaya. Akan tetapi persoalannya adalah, seperti halnya dilansir oleh al-Na’im, ijtihad dalam kerangka usul al-fiqh konvensional sangat memiliki kelemahan-kelemahan serta kekurangan metodologis yang sangat fundamental, sehingga apapun yang dilakukan bagi pembaharuan hukum Islam tanpa kemudian merekontruksi struktur Ushul al-Fiqh klasik maka belum akan menghasilkan sesuatu apa-apa yang signifikan. Oleh sebab itu, usaha-usaha kontekstualisasi dan reinterpretasi materi hukum seharusnya dibarengi dengan sentuhan sebuah kritisisme terhadap aspek metodologisnya. Bagian dari perangkat metodologis yang mendesak untuk ditinjau kembali adalah teori qiyas (analogical
80
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
reasoning), maka dari itu teori ini dalam kerangka Ushul alFiqh merupakan teori yang paling produktif dalam perumusan hukum Islam. Persoalan inilah yang kemudian akan disoroti dalam tulisan yang singkat ini terlebih lagi masalah ‘illat. Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari kita, sering ditemukan permasalahan-permasalahan yang belum tersentuh oleh nash (teks) Al-Qur’an maupun As-Sunnah, sehingga mengharuskan para ulama untuk mencari kejelasannya dengan cara mencari persamaan ‘illat antara persoalan hukum yang belum tersentuh oleh Nash dan hukum yang sudah tersentuh oleh Nash. Dengan ditemukannya kesamaan ‘illat antara keduanya dapat disimpulkan kesamaan (status) hukumnya, begitu pula sebaliknya (ketidaksamaan ‘illat keduanya, dapat disimpulkan bahwa (status) hukum keduanya tidak sama). Maka, Pengukuran satu ‘illat dengan ‘illat yang lain ini disebut dengan qiyas. Kata Kunci : Qiyas, Fiqih, Metodologi, Illat, Ijtihad, Nash, Qura’an, Sunnah A. Pengertian Qiyas Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata Arab ‚qasa‛ artinya mengukur.1 Secara singkat dalam 1
Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam (Beirut: Dar alMasriq, 1986), Hal. 665. secara luas Sya`ban Muhammad Ismail mendeskripsikan pengertian Qiyas secara bahasa. Menurut beliau, kata Qiyas merupakan derivasi (bentuk) dari qasa, yaqisa, qaisan, wa qiasan. Atau mungkin juga menurut sebagaian pendapat berasal dari kata qasa, yaqusu, qausan, wa qiasan. Qiyas secara bahasa memiliki dua pengertian . pertama, at-taqdir (mengukur) . misalnya, qasa al saub bi al mitr atau qasa al ard bi al-qasabah. Kata at taqdir juga bisa di pahami dalam pengertian almuqaranah (analogi atau membandingkan)antara dua hal. Misalnya, qoyastu baina al-`amudain. Kedua, al-musawat baina syaiain (mencari persamaan antara dua hal), baik persamaan itu dilakukan secara hissiyah (inderawi atau empiris), maupun ma`nawiyah (guessing atau non-empiris). Lebih lanjut lihat Sya`ban Muhammad Isma’il, Dirasah Hawla al-Ijma wa al-Qiyas (Mesir: Maktabah an-Nahdah, 1988), hal.153.
81
Jurnal HIKAMUNA
pengertian etimologis, qiyas berarti mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya. Misalnya, Fulan tidak diqiyaskan dengan si Fulan lain dan juga tidak disamakan. Dan secara terminologis, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya, baik dalam al-Qur’an maupun hadis, baik dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. 2 Sementara, Al-qiyas merupakan salah satu dalil atau prinsip metodologis dalam kajian ushul-fiqh, yang kemudian diadopsi dan diaplikasikan dalam kajian ilmu bahasa Arab dikarenakan kesamaan sumber otentik khususnya Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga kedua kajian ini satu sama lain saling melengkapi dalam pembentukan kaidah baik di bidang ilmu fiqh (ilmu syariat Islam) maupun di bidang ilmu bahasa Arab. 3 Maka dari itu, definisi al-Qiyas secara terminologi berasal dari huruf Qa-Ya-Sa ( ) yang didalam kamus alMunawwir diartikan mem-bandingkan atau ukuran, kaidah atau aturan dan analogi atau qiyas. 4 Sementara secara etimologi, Baalbaki5 memberikan definisi sebagai berikut ini:
Senada dengan definisi diatas, juga Ali Al-Khuli6 juga 2
Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tasyri (Kuwait: Dar al-Qalam, 1987), Hal. 22 3
Muhammad Al-Hadar Husain, 1934.Al-Qiyas fi Al-Lughah Al-‘Arabiyah. Mesir: Darul Kutub Al-Misriyah. P. 160. 4 Al-Munawwir, Ahmad Warsan. 1997. Al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progressif.P.1178 5 Baalbaki, Ramzi Munir. 1990. Dictionary of Linguistic TermsArabic-English. Beirut: Dar El ‘Ilm Lil Malayin. P.44 6 Al-Khuli, Muhammad Ali. 1982. A Dictionary of Theoretical Linguistic. Lebanon: Lebanon Library. Hal 14
82
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
memberikan definisinya seperti berikut:
Dalam paparannya menurut Muhammad Hasan Abdul Aziz, konsep analogi merupakan cara termudah untuk mengembangkan bahasa, yaitu dengan menyesuaikan kalimat atau kata yang baru dengan kalimat atau kata bahasa arab lama yang dianggap benar dan dipercaya validitas nya untuk membentuk suatu kaidah bahasa baik dalam pembentukan kata atau pun kalimat dengan cara ta’bir atau pengungkapan makna7. Mengutip pendapat Dr. Doukoure Massire bahwa analogi itu merupakan suatu kegiatan pikiran jernih manusia dalam usahanya untuk mengungkapkan segala hal yang terbersit dalam benak dan perasaannya mengenai sesuatu makna yang baru dan terus berkembang sejalan dengan waktu sehingga semakin membuat sulit akal pikiran manusia untuk memberikan nama baru pada makna-makna tersebut. Pada akhirnya intuisi manusia mengambil jalan mudah dalam upaya penamaan makna-makna tersebut dengan cara membentuk suatu kata ataupun kalimat dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang pernah diketahui dan didengar sebelumnya. Maka kegiatan inilah yang dimaksud dengan analogi, sehingga menjadikan analogi sebuah metode atau konsep yang sangat
7
Abdul Aziz, Muhammad Hasan. 1995. Al-Qiyas fi Al-Lughah Al-‘Arabiyah. Cairo: Dar Al-Fikr Al-‘Araby. P. 11
83
Jurnal HIKAMUNA
penting dalam penelitian bahasa dan perkembangannya8. Konsep analogi ini kemudian banyak membantu pengembangan kata dalam suatu bahasa sehingga pengguna bahasa tersebut mampu mengucapkan kata ataupun kalimat yang belum diketahui dan juga belum di dengar sebelumnya. B. Sejarah Pertumbuhan Qiyas Qiyas sebagai salah satu metode penetapan hukum, secara kronologis historis dipetakan menjadi dua kelompok, pertama, qiyas sebelum masa al-Syafi’i, yaitu sebuah formulasi qiyas yang belum baku, dan ia masih dalam bentuknya yang bebas sebagai suatu penalaran liberal dalam menentukan suatu hukum (reasoning). Qiyas ini tidak terpaku pada syarat-syarat yang ketat yang membatasinya dari berfikir liberal, spekulatif, dan dinamis dalam menentukan masalah.9 Qiyas sebagai penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim juga disebut dengan Istilah penalaran (ra’y). Ia berlaku mulai pada masa Rasulallah dan sebagai embrionya kemudian semakin matang pada masa Abu Hanifah sebagai panglima aliran ahl al-ra’y. Dalam periode awal ini, ra’y merupakan alat pokok ijtihad, yang mendahului pertumbuhan prinsip qiyas. Pengguanaan ra’y untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diungkap oleh nash merupakan hal yang tidak dapat dielakkan pada masa pembentukan Islam. Sejak selama masa tersebut, orang-orang mengambil jalan ra’y atas masalah-masalah yang baru timbul dalam masyarakat. Penggunaan ra’y sebagai alat qiyas pada masa-masa 8
Massire, Doukoure. 2012. Al-Qiyas fi Al-Lughah Baina ‘Ulamail-‘Arabiyah wa De Saussure: Mafaahim wa Tahtbiiqaat. In International Journal of Al-Madinah International University (Majma).2nd Edition. Malaysia: Al-Madinah International University Press. P. 3 9 Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm. 35.
84
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
sebelum al-Syafi’i, sesungguhnya sangat sederhana dan digunakan dalam bentuk yang sangat dasar. Ia tidak dibatasi dengan syarat-syarat yang begitu ketat, sehingga tidak semua orang dapat mengqiyaskan dan semua kasus dapat diqiyaskan begitu saja.10 Dalam perjalanannya di masa awal, qiyas dalam bentul ra’y telah digunakan baik dalam al-Qur’an, Sunnah maupun para sahabat Nabi saw. Dalam al-Qur’an sendiri misalnya, penalaran yang didasarkan pada kesamaan kasuskasus yang serupa, sering dilakukan hanya dengan menggunakan kata-kata matsal, mitsl, dan ka 11 dan untuk menunjukan persamaan antara berbagai hal tanpa persayaratan yang sangat begitu ketat. Penalaran al-Qur’an ini pada akhirnya mempunyai andil bagi lahirnya gagasan tentang qiyas. Qiyas dalam bentuk ra’y yang sederhana juga berlaku pada Sunnah. Hal ini bisa dilacak dari hadis Rasulullah yang pernah mengqiyaskan hukum mencium isteri saat berpuasa dengan berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur tidak membatalkan puasa maka dari itu mencium isteri saat sedang berpuasa juga tidak membatalkan. 12 10
Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm. 36. 11 Sebagaimana firman Allah, Q.S al-Jumah:5
Terjemahnya: ‚Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim‛. 12
Diriwayatkan dari Umar bahwa Raslullah SAW: Dari Umar bin Al-Khatab ra. berkata, "Suatu hari aku beristirahat dan mencium isteriku
sedangkan aku berpuasa. Lalu aku datangi nabi SAW dan bertanya, "Aku telah melakukan sesuatu yang fatal hari ini. Aku telah mencium dalam keadaan berpuasa." Rasulullah SAW menjawab, "Tidakkah kamu tahu hukumnya bila kamu berkumur dalam keadaan berpuasa?" Aku menjawab,
85
Jurnal HIKAMUNA
Sedangkan penggunaan ra’y pada masa sahabat dapat dilihat dalam sejarah saat Umar bin Khattab menetapkan berbagai kasus hukum, bahkan ra’y digunakan oleh Umar dalam masalah yang sudah tegas dijelaskan oleh nash, misalnya saja tentang pentasarufan zakat pada muallaf,13 pembatalan tentang rampasan perang, tidak dipotongnya tangan seorang pencuri, melakukan ta’zir dengan seratus kali cambukan, pengucapan talak tiga sekaligus dihitung tiga. Hal yang sama juga dilakukan oleh penerusnya yaitu sahabat Ali bin Abi Thalib yang melakukan ijtihad dengan metode qiyas, yaitu dengan mengqiyaskan hukuman orang yang meminum khamr dengan qiyas hukuman orang yang melakukan tuduhan zina.14 Penggunaan ra’y atau penalaran sebagai pengamalan qiyas semakin memasyarakat pada masa tabi’in, yang dalam hal ini dapat dikategorikan menjadi dua yaitu; madzhab Iraq dan Madinah. Dimana madzhab Iraq diwakili oleh Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan al-Syaibani, banyak mengeluarkan fatwa-fatwa berdasarkan sebuah otoritas ra’y. Dan adapun madzhab Madinah yang dirujuk adalam Imam Malik yang dalam berbagai kesempatan sering menggunakan kata-kata seperti matsal, ka dan bi manzilah.15 Perbedaan "Tidak membatalkan puasa." Rasulullah SAW menjawab, "Maka mencium itu pun tidak membatalkan puasa." (HR Ahmad dan Abu Daud). 13
Ijtihad Umar bin Khattab ini dikaji secara jelas oleh beberapa tokoh pemikir Hukum Islam yang mengkaji tentang upaya reaktualisasi hukum Islam, hal ini dapat dilihat dalam berbagi tulisan misalnya; Munawir Sjadzali, Islam Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 37-41; Muhammad Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 45-49; Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 157-158 14 Muhammad Salam Madzkur, Mabahits al-Hukm’ inda alUshuliyyun, (Mesir: Dar al-Nahdlah al-Arabiyyah, 1972), hlm. 42 15 Muhammad Roy, Ushul Fiqih Mzdhab, hlm. 39. Contoh qiyas yang dilakukan oleh fuqaha Madinah adalah tidak boleh melakukan ibadah haji atas nama seseorang, sementara orang tersebut masih hidup. Ini
86
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
tentang qiyas antara kedua kelompok di atas hanyalah sedikit, jika pada madzhab Irak lebih menuntut konsistensi penalaran, maka pada madzhab Madinah lebih menekankan praktek yang telah diterima secara luas oleh masyarakat.16 Berangkat dari berbagai contoh qiyas di atas yang berkembang dan menyejarah pada madzhab hukum awal, menunjukkan bahwa qiyas mengandung aturan kesepadanan, preseden, akal dan ketetapan hukum yang telah ada, kesamaan sedikit saja dianggap cukup melakukan qiyas bagi mujtahid awal dan tidak ada aturan-aturan yang susah. Implikasi dari pemberlakuan qiyas semacam ini menimbulkan hukum Islam yang dinamis dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Kedua, qiyas pada masa al-Syafi’i dan setelahnya, yaitu qiyas yang sudah terkodifikasi dan terformulasikan dengan baku dalam al-Risalah. Qiyas model ini mempunyai syarat-syarat yang ketat, baku dan kaku, sehingga sudah tidak menjadi penalaran hukum yang bebas dan aktual, melainkan ’tunduk’ di bawah bayang-bayang teks-teks agama, yakni alQur’an, Sunnah, dan ijmak.17 Qiyas model ini dimulai pada masa al-Syafi’i, yang diformulasikan pertama kali dalam alRisalah hingga ulama ushul sekarang. Upaya menciptakan kesatuan hukum dan membatasi penggunaan ra’yu yang dilakukan oleh para Ulama di masa awal termasuk al-Syafi’i, di latar belakangi sebuah kenyataan bahwa adanya penggunaan ra’y yang liberal memberikan lahan subur bagi berkembangnya beraneka ragam hukum dalam masyarakat, sehingga tidak jarang satu permasalahan hukum mendapat jawaban yang berbeda di tempat yang berbeda. Maka diqiyaskan dengan tidak bolehnya melaksanakan puasa dan shalat atas nama orang lain. 16 Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Jurisprudence , (New Delhi: Adam Publishers, 1994), hlm. 140 17 Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Jurisprudence , (New Delhi: Adam Publishers, 1994), hlm. 137
87
Jurnal HIKAMUNA
daripada itu, Al-Syafi’i memformulasikan qiyas dengan syarat yang ketat18 dalam rangka membendung penggunaan ra’y yang sewenang-wenang sebagaimana madzhab hukum awal. Lebih dari itu, metode qiyas yang dimaksudkan oleh al-Syafi’i terbatas hanya untuk menyingkap hukum yang secara praktis ada di dalam teks-teks keagamaan saja (nushus) meskipun keberadaannya samar dan tersembunyi.19 Dalam periode awal, qiyas difahami sebagai penalaran bebas mencari hukum (ra’y), dilajutkan pada periode berikutnya pada masa al-Syafi’i menjadi sangat sempit, yaitu perbandingan dua hal yang sejajar karena keserupaannya, yang secara teknis dikenal dengan nama sebab hukum (‘illat al-Hukm), lebih dari itu qiyas ini harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini menunjukkan tidak adanya unsur independensi qiyas karena qiyas harus ’tunduk’ mengikuti kemauan teks keagamaan.20 18
Syarat ketat yang dimaksudkan adalah syarat-syarat seseorang yang dibolehkan melakukan qiyas; menguasai bahasa Arab dan unsurunsurnya, seperti nahwu, shorof dan balaghoh, mengetahui ajaran-ajaran alQur’an, seperti etika Qur’ani, nasikh mansukh, lafal ‘am dan khas, mendalami sunnah, permasalahan-permasalahan sunnah, menguasai logika yang benar atau akal sehat. Persayaratan ini diramu apik oleh al-Syafi’i dalam karyanya al-Risalah. Baca Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-halabi, t.t), hlm. 70 19 Terkait hal ini bisa di simak dalam kajian yang disajikan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, al Imam as-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah alWasathiyah, (Kairo: Sina li an-Nasr), Bagian II, Imam Syafi’i: Moderatisme Eklektisime Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. 77-98 20 Bagi al-Syafi’i nash adalah teks yang hanya mengadung satu arti atau teks yang penafsirannya adalah teks itu sendiri, maka di sini nampak jelas tidak adanya peran ra’y dalam menafsirkannya. Pembenturan ra’y dengan nash dan anggapan ra’y harus tunduk di bawah hegemoni nash ini berarti tindakan pereduksian terhadap makna nash. Hal ini dapat difahami karena pada masa sebelum al-Syafi’i istilah nash diartikan sebagai tekstualitas kalimat (haqiqah al-Lafdzi) sehingga mungkin sekali tidak mengikutinya, karena berdasarkan ra’y tidak membawa keadilan, seperti pada kasus ijtihad Umar yang tidak mengikuti tekstualitas al-Qur’an.
88
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
Setelah melihat sejarah qiyas dari masa awal sebelum al-Syafi’i hingga masa al-Syafi’i dan setelahnya, maka dapat dikatakan bahwa adanya sistematisasi qiyas dan sederet perangkatnya yang ketat, maka di satu sisi ruang lingkup penggunaan ra’y secara bebas dapat dipersempit karena orang tidak boleh sembarangan menganalogikan sesuatu tanpa ada syarat yang dipenuhi, namun di sisi lain menjadikan hukum bersifat kaku, statis, dan kurang kreatif dan kemudian ini menjadi semakin nyata. Namun demikian, bahkan menurut Nashr Hamid Abu Zayd, kalau dibaca lebih dalam, akan tersingkap bahwa sebenarnya al-Syafi’i bermaksud sangat ingin menegakkan otoritas teks agar kemudian mencakup setiap bidang berbagai persoalan kehidupan sosial dan pengetahuan. Nampaknya pula, seolah-olah ia memperluas bidang kerja qiyas, namun sementara ia membatasi wilayah teks, dan tidak berani melampuinya.21 Hingga pada akhirnya ia harus menghimbau untuk meninjau kemudian ulang dan mengadakan transformasi menuju fase pembebasan, bukan otoritas teks semata, tapi juga dari semua bentuk otoritas yang menghadang perjalanan manusia di dunia ini. Memang terasa ambigu, satu sisi menuntut kreatifitas namun disisi yang lain membatasi arah gerak dengan teks-teks agama. Hemat pemakalah, dinamika itu bisa melahirkan sintesa bahwa teks keagamaan itu sangat pnting dan tidak boleh ditinggalkan, sementara kreatifitas untuk menetapkan hokum sesuai dengan perkembangan zaman harus tetap bersifat inklusif, terbuka. Bisa saja, benar apa yang ditetapkan Assyafi’I pada zamannya, namun belum tentu pas pada zaman saat ini. Inilah yang dimaksud benar pada masanya.
Ahmad Hasan, Analogical Reasoning.. dalam Muhammad Roy, Ushul Fiqih, hlm. 43 21 Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, hlm. 96
89
Jurnal HIKAMUNA
C. Kedudukan Qiyas Para jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas adalah sebuah hujjah syar’iah terhadap berbagai hukum-hukum syara’ yang berkaitan tentang seluruh tindakan manusia. Al-qiyas kemudian menempati urutan ke empat diantara beberapa hujjah syar’iyyah yang ada dengan beberapa catatan, maka tidak heran, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasar nash atau ijma. Di samping itu harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nashnya. Oleh karenanya, kejadian pertama (yang tak ada nash) di qiyaskan dengan kejadian kedua yang ada nashnya. Kemudian daripada itu, dihukumi seperti hukum yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut syara’. Ulama tersebut dikenal sebagai Mutsbitu’l Qiyas (orang yang menyertakan qiyas). Oleh sebab itu ‘‘illat, yang terkadang difahami sebagai alasan logika penetapan hukum, merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaan qiyas. Dengan kata lain qiyas tidak akan pernah terlaksana tanpa kemudian dibarengi dengan adanya ‘illat. Landasan fikir ini berdasarkan atas grand hipotesis yang menyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang diturunkan Allah memiliki alasan logis (legal reasoning) dan hikmah (wisdom) yang akan memayungi pelaksanaan dan penerapan peraturan hukum tersebut. Secara bahasa ‘illat bisa berarti alasan, sebab, ataupun sakit sebagai penyakit, aib atau cacat 22 nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain.23 Adapun definisi ‘illat secara istilah para jumhur ulama ushul nampak 22
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir ArabIndonesia Terlengkap, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 965
23
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz I., hal, 646.
90
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
berbeda pendapat. Dengan demikian, secara umum memberikan definisi ‘illat sebagai suatu sifat yang konkrit dan dapat
dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu meraih kemaslahatan.24 Dalam hal ini, madzhab Nazhamiyah Zhahariyah dan sebagian kaum syi’ah kemudian mengajukan pendapat bahwa qiyas itu tidak bisa dipakai sebagai suatu hujjah syariat di dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, mereka ini disebut sebagai kaum atau golongan nafatul qiyas (yang menafikan atau meniadakan qiyas). 25 Kemudian dari pada itu, pertanyaan yang segera akan muncul adalah bagaimana kedudukan qiyas sebagai dalil hukum? Pertanyaan ini memang menimbulkan perdebatan dikalangan uluwiyyun. Di satu golongan sebagian ulama mengatakan, bahwa qiyas adalah dalil dan bahkan sumber hukum yang harus dan wajib diikuti. Namun, pada golongan lain, sebagian ulama usul yang memandang qiyas bukan dalil dan sumber hukum. Sementara itu, pandangan lainnya yang menyebutkan bahwa qiyas itu bukan dalil dan sumber hukum, namun ia hanyalah sebuah metode (manhaj) saja dalam menggali ketentuan hukum dari sumbernya. 26 Sama halnya seperti ijma’, tapi pasti tidak sama dengan al-Qur’an dan Sunnah, qiyas tidak dipahami sebagai sebuah sumber hukum yang diwahyukan, sebagai sebuah derivasi dari sumber-sumber utama, qiyas meminta pembenarannya di dasarkan atas ke dua sumber di atas. Persoalan mendasar yang 24
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz I., hal, 646. 25 Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina Utama. hal. 68-69 26
Romli. SA. Muqaramah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gya Media Pratama, 1999. hal. 131-132.
91
Jurnal HIKAMUNA
muncul dalam hal ini berkaitan dengan berbagai sumber-sumber otoritas di balik qiyas, juga status epistemologi dari metode penyimpulan ini. Pertanyaan apakah metode ini bisa dibenarkan atau kemudian tidak boleh akal dan argumen rasional?, bebas dari pewahyuankah?, atau benar-benar kehilangan signifikansinya. Sebagai konsekuensinya, maka qiyas harus dibenarkan oleh sumber-sumber yang diwahyukan (al-Qur’an dan Sunnah) dan produk langsungnya, yakni konsensus atau kesepakatan (ijma’), yang keotoritasannya (hujjiyatuh), seperti yang terlihat, terkena argumen yang sama. 27
Sementara sebagian kecil fuqaha mengemukakan pandangan mereka, bahwa otoritas qiyas tidak dapat dibenarkan dengan kepastian, sebagian besar fuqaha Sunni berpendapat bahwa bukti dalam dua sumber utama (al-Qur’an dan Sunnah), ditambah dengan konsesnsus (ijma’), membuktikan bahwa metode ini otoritatif yang mempunyai nilai pasti. Bahkan sebagian dari mereka yang berada di pinggiran, di luar kalangan Sunni sana, dan yang menolak qiyas secara prinsipil, mengakui qiyas yang jelas (al-qiyas al-jaliy) dan penyimpulan linguistik (misalnya, pengucapan ‚uh‛ di hadapan orang tua) mewakili dua bentuk qiyas yang otoritatif dan valid. 28 Kemudian daripada itu, Romli SA mencatat, dari sejumlah literatur yang ada, ditemukan bahwa paling tidak, terdapat tiga kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang keberadaan qiyas dan kehujjahan sebagai dalil hukum. Kelompok Pertama, mengatakan bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum. Kelompok pertama ini menyatakan 27
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E. KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000. hal . 154 28 Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E. KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000. hal . 155
92
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
bahwa para jumhur fuqaha telah sepakat tentang posisi qiyas sebagai salah satu pokok atau dasar tasyri’ dan dalil hukum syariah. Pandangan kelompok pertama ini melahirkan beberapa sikap dan ini kemudian dianut oleh mayoritas ulama bahwa qiyas adalah dalil hukum dan karenanya itu, ia menjadi hujjah syar’iyyah. Kelompok pertama ini kemudian dengan sebutan musbit al-qiyas, yaitu kelompok pendukung qiyas (pro-qiyas). 29 Adapun alasan kelompok pertama ini, bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum di antaranya adalah Alquran QS.Al-Nisa (4): 59.
Artinya: ‚Wahai orang-orang yang beriman!Taatlah kamu kepada Allah, taatlah kamu pada Rasul, serta ulul amri (pemimpin) di antara kamu, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Hadist) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.‛ a. Menurut jumhur fuqaha, kata-kata ‚fa ruddu‚ mengandung arti mengembalikan segala peristiwa yang muncul kepada alQur’an dan hadis yang meliputi berbagai cara, termasuk dengan menghubungkan suatu peristiwa yang tidak ada nass, hukumnya, hanya saja karena ada kesamaan ‘illat. Maka hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya al-Qur’an maupun hadis kemudian telah menjawab segala persoalan yang muncul, baik secara tekstual maupun isyarat. Dengan kata lain, pengembalian kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (hadis) itu mencakup seluruh persoalan kehidupan, baik yang mengandung isyarat untuk mengembalikan kepada qaidah syar’iyah yang umum, maupun yang tidak ada nassnya dengan cara menetapkan hukum yang sama atas dasar kesamaan ‘illat nya. Dengan kata lain, menetapkan hukum berdasarkan kesamaan ‘illat itu tidak hanya berdasarkan akal semata, melainkan ada 29
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E. KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000. hal . 155
93
Jurnal HIKAMUNA
sandarannya, yakni nass. Dan qiyas pun didasarkan pada ‘illat ini. Oleh karena itu, keberadaan qiyas sangat memiliki otoritas dalam menetapkan hukum sangat tidak bisa diingkari. b. Berpijak pada sebuah hadis nabi yang memuatkan dialog antara Nabi dengan Muaz bin Jabal. 30 Maka, atas dasar hadis ini, menurut kalangan jumhur ulama bahwa Rasulullah telah menunjukkan cara untuk mengetahui serta menetapkan bahwa syara’ yang di dalamnya mencakup ijtihad dengan ra’yu. Jika tidak ditemukan dalil nass al-Qur’an dan Sunnah haruslah menggunakan ijtihad, dan qiyas jelas merupakan bagian dari ijtihad dengan ra’yu. Sehingga pada akhirnya, qiyas menjadi hujjah syar’iyah. Berdasarkan praktek para sahabat. Kelompok pertama dari kalangan jumhur ulama ini berpendapat, bahwa para sahabat telah sepakat menggunakan sebuah qiyas sebagai suatu hujjah. Proses pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah adalah berdasarkan hasil qiyas yang didasarkan pada sebuah pertimbangan, bahwa Abu Bakar selalu menjadi imam dalam salat ketika nabi tidak ada. 31 c. Kelompok ini juga beralasan bahwa nass al-Qur’an dan hadis terbatas, sementara persoalan-persoalan baru yang tidak ada nassnya akan terus bermunculan setiap waktu, unutk menjawab persoalan tersebut, tidak ada jalan lain kecuali dengan meneliti ‘illat hukum yang ada dalam nass dan atas dasar ‘illat itulah kemudian diterapkan suatu hukum bagi segala persoalan baru tersebut. Dengan terbatasnya nass, namun sementara persoalan 30
Arti hadis ini adalah: ‚ Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara jika diajukan orang kepadamu? Muaz menjawab, aku akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya lagi jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Muaz menjawab, aku akan putuskan dengan Sunnah Rasulullah. Kemudian Nabi kembali bertanya, jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasul dan tidak pula dalam kitab Allah? Muaz menjawab, aku akan melakukan ijtihad dengan pemikiran akalku dan aku tidak akan berlebihlebihan‛. Teks hadis itu dapat dilihat dalam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Indonesia:Maktabah Dahlan, tt), III: 303 31 Muhammad Abu Zahrah. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th. hal 223-224
94
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
baru terus bermunculan, maka pada akhirnya ijtihad dengan menggunakan qiyas adalah wajib. Kelompok Kedua, yaitu kelompok yang menolak keberadaan qiyas sebagai dalil dan hujjah syar’iyah. Kelompok ini dikenal dengan sebutan nufat al-qiyas. Kelompok ini terdiri dari alNazzam32 dan beberapa pengikutnya dari kalangan Mu’tazilah, Daud Zahiri, Ibn Hazm dan sebagian kaum Syi’ah.33 , seperti Syi’ah Imamiyah. Dalil yang digunakan oleh kelompok yang tidak menggunakan qiyas adalah: Firman Allah:
Terjemahnya : Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Israa:17:36) Ayat ini 34 menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti dan qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak pasti. Sya’ban Muhammad Isma’il sendiri mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa tidak sah hukumnya sesuatu itu yang berdasarkan dugaan semata, dan qiyas adalah salah satu hasil dugaan (zanny) semata. 32
Dia bernama Ibrahim binSiyar al-Nazzam Syaikh al-Jahiz. Dia merupakan orang yang paling menonjol dari kalangan anti-qiyas, disamping yang paling keras yaitu Ibn Hazm al-Andalusi. Baca kembali Abu Zahrah,Usul al-Fiqh, hal. 224 33 Golongan Syi’ah umpamanya, menentang penggunaan qiyas karena ia berdasarkan akal semata dan penggunaan akal itu dilarang dan bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, Muhammad Abu Zahrah. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th. hal 223-224 34 QS.Al-Isra’ (25): 36. Artinya: ‚ Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya‛.
95
Jurnal HIKAMUNA
a.
Alasan selanjutnya adalah mereka berpegang kepada para sahabat, seperti Abu Bakar dan Ibnu Mas’ud yang mengingkari qiyas, serta mengingatkan agar berhati-hati terhadap ra’yu. Umar Bin Khattab juga mengingatkan dengan pernyataannya: ‚hendaklah kalian berhati-hati terhadap ahl al-ra’yi yang menentang sunnah Nabi.‛
Kelompok Ketiga, yakni kelompok yang berlawanan dengan dua kelompok di atas (musbit al-qiyas dan nufat alqiyas). Kelompok ketiga ini nampak kelihatannya ingin mendudukkan keberadaan qiyas pada posisinya dalam hukum Islam. Seperti Al-Ghazali misalnya, sebagaimana dikutip oleh Romli SA, mengatakan bahwa qiyas adalah sebagai sebuah cara dalam rangka menghasilakan hukum dari penalaran nass, melalui analogi. 35 C. Unsur-unsur Qiyas Al-Ashl (dasar atau pokok) adalah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash, biasa disebut sebagai suatu Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran), atau Mahmul ‘Alaih (yang dipakai sebagai sebuah tanggungan), atau Musyabbah Bih (yang dipakai sebagai sebuah penyerupaan).36 Mengenai unsur yang pertama ini, beberapa jumhur ulama menetapkan pula beberapa persyaratan sebagai berikut: a. A-ashl tidak mansukh. Artinya bahwa hukum syara’ yang akan menjadi sumber peng-qiyas-an itu masih tetap berlaku pada masa-masa hidup Rasulullah. Dengan kata lain, apabila telah dihapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl. b. Hukum syara’. persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, 35
Muhammad Abu Zahrah. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th. hal 223-224
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina Utama. hal. 106 36
96
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
sebab yang hendak ditemukan dalam ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’, bukan ketentuan hukum yang lain. Oleh karenanya, ia mestilah yang serupa hukum syara’. c. Bukan hukum yang dikecualiakan. Jika al-ashl tersebut nerupakan pengecualian, maka mau tidak mau, tidak dapat menjadi wadah qiyas. Misalnya saja, ketetapan sunnah bahwa puasa karena lupa tidak batal. Ketentuan ini tidak dapat menjadi ashl al-qiyas untuk menetapakan tidak batalnya puasa orang yang berbuka karena terpaksa. Sebagai missal dari unsur pertama ini ialah, haramnya khamr. Khamr diharamkan berdasarkan firman Allah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Ma’idah: 90, yang artinya bahwa: ‚Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan‛. Keharaman khamr itu dapat menjadi unsur alashl untuk menetapkan hukum haram minuman memabukkan lainnya, sebab syarat-syarat al-ashl telah terpenuhi, yang mana ketentuan haramnya khamr adalah berdasarkan nashsh Alqur’an, tidak mansukh, ayat tersebut sangat jelas berbicara tentang hukum syara’, dan tidak termasuk hukum yang dikecualikan . 37 1. Al-far’u (cabang) adalah sebagai sesuatu yang hukumnya tidak terdapat didalam nash, dan hukumnya disamakan kepada al-Ashl. Al-Far’u ini kemudian biasa disebut sebagai Al-Maqis (yang diukur) atau Al-Mahmul (yang dibawa) atau Musyabbah (yang disamakan).38 Terhadap 37
Dahlan Abd. Rahman, Ushul fiqih, hal 163-164. Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina Utama. hal. 106 38
97
Jurnal HIKAMUNA
2.
unsur ini, para jumhur ulama menyebutkan beberapa syarat sebagai berikut: a. Sebelum di-qiyas-kan tidak pernah ada nash lain yang kemudian menentukan hukumnya. Jika kemudan lebih dahulu telah ada nash yang menentukan hukumnya, maka tentu tidak perlu dan tidak boleh dilakukan qiyas terhadapnya. b. Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far’u. c. Tidak terdapat dalil qat’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u. d. Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat dalam alfar’u. Contohnya saja, al-far’u dalam kaitannya dengan contoh unsur pertama ialah, minuman keras selain khamr, misalnya arak yang terbuat dari nira. Hukum -Ashl adalah hukum syara’ yang terdapat nashnya menurut dalil al-ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (al-far’u). 39 Terhadap unsur ketiga ini, para jumhur ulama mengatakan, bahwa syarat-syaratnya ialah sebagai berikut: a. Hukum tersebut adalah hukum syara’, bukan yang berkaitan dengan hukum aqiliyyat atau adiyyat dan atau lughawiyat. Syarat ini sebenarnya hampir tidak perlu disebutkan, karenanya yang hendak diketahui hukumnya adalah hukum syara’. b. ’illah hukum tersebut dapat ditemukan; bukan saja hukum yang tidak dapat dipahami ‘illah-Nya 39
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina Utama. hal. 106
98
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
3.
(ghair ma’qulah al-ma’na). c. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushushiyyah Rasulullah. d. Hukum ashl tetap saja berlaku setelah wafatnya Rasulullah; bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan (mansukh). Contoh unsur ketiga ini, dikaitkan dengan unsur pertama dan kedua ialah, hukum haramnya khamr.40 Al-illat adalah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl (asal), lalu kemudian cabang (alfar’u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.41 Adapun syarat-syarat ‘illat itu sendiri terperini sebagai berikut : a. Hendaknya ‘illat itu berturut-turut, artinya jika ‘illat itu ada maka dengan sendirinya hukumpun ada. b. Dan sebaliknya apabila hukum ada, maka ‘illat pun ada. c. ‘illat itu jangan menyalahi nash, karena ‘illat itu tidak dapat mengalahkannya, maka dengan demikian tentu nash lebih dahulu mengalahkan ‘illat.42 contohnya saja jika dikaitkan dengan unsur-unsur qiyas sebelumnya ialah, sifat memabukkan yang terdapat pada khamr. Sifat ini bersifat nyata, dapat diukur, pantas sebagai sifat yang menjadi hikmah dilarangnya untuk meminum khamr, dan terdapat beberapa pada minuman memabukkan lainnya.43 40
Dahlan Abd. Rahman, Ushul fiqih, hal 164. Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina Utama. hal. 106 42 Riva’i Muhammad. 1983. Ushul fiqih. Bandung: Alma’arif. hal. 119 43 Dahlan Abd. Rahman, Ushul fiqih, hal 165. 41
99
Jurnal HIKAMUNA
D. Kontroversi Qiyas Jika terus ditelusuri memang tidak ada dalil secara jelas yang menyatakan bahwa qiyas itu dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat tentang qiyas dalam pembentukan hukum. Terkait perbedaan ini Abu Zahrah44 membagi menjadi tiga kelompok: 1. Kelompok jumhur ulama’ yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal yang tidak terdapat hukumnya dalam nash alQur’an atau Sunnah dan dalam ijma’ qiyas, mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran. 2. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imammiyah yang menolak menggunakan qiyas secara mutlak. Zahiriyah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’. 3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas serta mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illat di antara keduanya, kadang-kadang memang memberi kekuatan lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga akhirnya qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau Sunnah.
44
Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (t.t.p: Dar al-Fikr ‘Arabi), hlm. 220-221
100
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
E. Kesimpulan Dari berbagai deskripsi serta paparan di atas, pemakalah menyimpulkan beberapa hal bahwa : 1. Qiyas secara sederhana adalah ‚seni mengambil kesimpulan secara logis dengan model analogi deduktif.‛ Generasi yang muncul kemudian, menurut orang yang berpendapat bahwa otoritas qiyas adalah pasti,pada akhirnya telah mencapai kesepakatan, bukan saja atas keabsahan qiyas, tapi juga atas kenyataan bahwa para mufti dan faqih disepanjang abad dan di seluruh wilayah Muslim telah menggunakannya, tanpa ada suara yang menolak di kalangan mereka. Ini menjadi satu kesimpulan, bahwa akibat kumulatif dari konsensus berbagai generasi membuktikan bahwa otoritas qiyas bersifat pasti. 2. Qiyas adalah sebagai salah satu metode dalam istinbath hukum yang sudah mengakar sejak zaman Rasulullah SAW. Walaupun pada awalnya merupakan metode yang bebas dari syarat-syarat yang ketat, namun patut diakui bahwa keberadaanya di masa-masa awal sangat membantu bagi perkembangan hukum, dengan kata lain mengingat bahwa teks keagamaan (nash al-Qur’an dan Sunnah) telah berhenti sedangkan kasus-kasus hukum baru terus berdatangan silih berganti. 3. Penetapan hukum atau istanbath hukum melalui metode qiyas merupakan metode yang bertumpu pada ‘illat hukum, dan ‘illat ini tentunya punya konsekuensi logis dengaan maqashid al-Syari’ah. Adanya hukum lahir tidak lain tujuannya adalah menjadikan kemaslahatan atau hikmah bagi umat manusia. Maka dari itu, illat sangat penting sekali untuk dilibatkan. 4. Seorang Mujtahid/Hakim dalam mengambil keputusan
101
Jurnal HIKAMUNA
hukum di samping menggunakan pertimbangan hukum/kausa hukum juga sudah sepatutnya perlu mempertimbangkan hikmah atau tujuan hukum. Karena tidak selamanya kausa hukum itu nampak jelas dan bahkan tidak ada, sehingga dengan demikian pada akhirnya diperlukan cara yang kreatif dalam mengambil sebuah keputusan hukum.
102
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
DAFTAR PUSTAKA Muhammad Abu Zahrah. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 2000. Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E. KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000. Romli. SA. Muqaramah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gya Media Pratama, 1999. Massire, Doukoure. 2012. Al-Qiyas fi Al-Lughah Baina
‘Ulamai-l-‘Arabiyah wa De Saussure: Mafaahim wa Tahtbiiqaat. In International Journal of Al-Madinah International University (Majma).2nd Edition. Malaysia: Al-Madinah International University Press. Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina Utama. Baalbaki, Ramzi Munir. 1990. Dictionary of Linguistic TermsArabic-English. Beirut: Dar El ‘Ilm Lil Malayin. Al-Khuli, Muhammad Ali. 1982. A Dictionary of Theoretical Linguistic. Lebanon: Lebanon Library. Abdul Aziz, Muhammad Hasan. 1995. Al-Qiyas fi Al-Lughah Al-‘Arabiyah. Cairo: Dar Al-Fikr Al-‘Araby. Arifana Nur Kholiq, Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer, ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2014. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, ter. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997), Massire, Doukoure. 2012. Al-Qiyas fi Al-Lughah Baina
‘Ulamai-l-‘Arabiyah wa De Saussure: Mafaahim wa Tahtbiiqaat. In International Journal of Al-Madinah
103
Jurnal HIKAMUNA
International University (Majma).2nd Edition. Malaysia: Al-Madinah International University Press. Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina Utama. Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam (Beirut: Dar al-Masriq, 1986). Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tasyri (Kuwait: Dar alQalam, 1987). Muhammad Al-Hadar Husain, 1934.Al-Qiyas fi Al-Lughah Al‘Arabiyah. Mesir: Darul Kutub Al-Misriyah. Al-Munawwir, Ahmad Warsan. 1997. Al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progressif. Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar alFikr, 1989), Juz I
104