Meninjau Ulang Teori Qiyas
MENINJAU ULANG TEORI QIYAS (Kajian Terhadap Illat Dalam Qiyas Dan Upaya Pengembangan Teori Hukum Islam) Oleh: Ali Muhtarom Dosen STAIN Pekalongan Jawa Tengah
[email protected] Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer menuntut dikembangkannya struktur deduktif tradisional ke arah bentuk abduktif. Dengan cara seperti itu, maka apa yang disebut dengan qiyas dalam struktur pemikiran Hukum Islam Klasik perlu diperluas menjadi Wide Analogy (al-Qiyas al-Wasi’) dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Qiyas yang pada awalnya merupakan perangkat teoritis yang digunakan oleh para ahli hukum, dalam perkembangan selanjutnya dijadikan sebagai sumber hukum menyisakan satu pertanyaan mendasar. Apakah mungkin jika qiyas dengan format klasiknya yang sederhana dan tidak pernah berubah harus dipaksa untuk menangani masalahmasalah kontemporer yang muncul, maka di sinilah perlu pengembangan dan peng-update-an qiyas perlu dilakukan. Salah satu cara yang mungkin bisa dilakukan adalah memperluas konsep illat dalam struktur teori qiyas. Qiyas bukan hanya terbatas pada sifat atau tanda material, konkrit dan tekstual saja, akan tetapi juga illat dalam pengertian yang lebih luas yaitu illat yang rasional, abstrak dan dapat ditransformasikan ke dalam persolan hukum yang semakin kompleks. Kata kunci: Qiyas, Illat, Hukum Islam Pengantar Upaya mengkontekstualisasikan hukum Islam dalam rangka menjawab berbagai problematika yang menghadang seakan tidak pernah surut. Hal ini dilakukan untuk mengakomodir persoalan-persoalan kontemporer yang belum tercakup oleh nash atau teks keagamaan. Upaya para ulama dalam menggali hukum dari sumber utama yaitu al-Qur’an dan Sunnah
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
1
Ali Muhtarom
inilah yang biasa dikenal dengan ijtihad. Ijtihad adalah isu sentral dalam disiplin Usul al-Fiqh yang mempunyai konsentrasi pada metode implementasi spirit teks keagamaan dalam berbagai lingkungan sosial budaya. Akan tetapi persoalannya, seperti dilansir oleh al-Na’im, ijtihad dalam kerangka usul al-fiqh konvensional mempunyai kelemahankelemahan metodologis yang fundamental, sehingga apapun yang dilakukan bagi pembaharuan hukum Islam tanpa merekontruksi struktur Ushul al-Fiqh klasik tidak akan menghasilkan sesuatu yang signifikan.1 Karenanya Upaya-upaya kontekstualisasi dan reinterpretasi materi hukum hendaknya dibarengi dengan sentuhan kritis terhadap aspek metodologinya. Bagian dari perangkat metodologis yang mendesak untuk ditinjau kembali adalah teori qiyas (analogical reasoning), karena teori ini dalam kerangka Ushul al-Fiqh merupakan teori yang paling produktif dalam perumusan hukum Islam. Persoalan inilah yang akan disoroti dalam tulisan yang singkat ini terlebih masalah ‘illat. Kajian diawali dari pembahasan tentang qiyas dan kedudukannya dalam hukum Islam, sejarah pertumbuhannya, dan kontroversi qiyas, serta ‘illat hukum hubungannya dengan hikmah dan sebab. Qiyas dalam Hukum Islam Qiyas merupakan titik pertama pintu ijtihad, hal ini diungkapkan oleh Abdul Karim al-Khatib, ia mengatakan, alMazini, rekan Imam al-Syafi’i menyatakan: Para ahli fikih sejak masa Rasulullah sampai masa kita sekarang dan sampai seterusnya sama-sama menggunakan qiyas.2 Qiyas dalam hukum Islam mempunyai kedudukan sebagai salah satu sumber dan dalil
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, ter. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. 97. 2 Abdul Karim al-Khatib, Saddu Bab al-Ijtihad wa ma Tarattaba, (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1984)., terj. Ach. Maimun Syamsuddin dan Abdul Wahid Hasan, Ijtihad Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 75. 1
2 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
hukum yang disepakati sekaligus diperdebatkan oleh Ulama.3 Dari segi teknisnya, qiyas merupakan perluasan nilai syari’at yang terdapat dalam kasus asal (al-Ashl), kepada kasus baru yang mempunyai kausa (‘illat) yang sama dengan asal. Kasus asal ditentukan oleh nash, dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesamaan kausa (‘illat) yang sama antara kasus asal dengan kasus baru, maka penerapan qiyas mendapat justifikasi.4 Sehingga dapat dikatakan bahwa qiyas merupakan upaya atau barangkali menemukan dan juga mengembangkan hukum yang telah ada. Namun demikian pemakaian analogi (qiyas) hanya dapat dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus yang baru tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’yang tergolong qath’i. Akan menjadi sia-sia menggunakan qiyas jika kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang telah ada. Jadi hukum dapat dideduksikan melalui penerapan qiyas dari salah satu sumber (Al-Qur’an, sunnah, Ijma’) jika persoalan baru belum terjawab hukumnya.5 Deduksi analogis dalam penggalian hukum Sumber atau dalil fikih yang disepakati menurut Abdul Majid Muhammad al-Khafrawi, ada emat yaitu; Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, dan qiyas. Adapun dalil hukum yang diperdebatkan ulama yang terpenting diantaranya adalah istihsan, maslahah mursalah, urf, istishab, syar’u man qablana, madzhab sahabat,dan sad al-zari’ah. Baca Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, cet. Ke-3 (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 78. dan hlm. 142. Adapun dasar penggunaan qiyas yang umum dipegangi adalah Q.S anNisa ayat 59 dan Hadis dialog antara Rasullah dan Muadz bin Jabal ketika akan dikirim menjadi hakim di Yaman. 4 Muhammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge, 1991)., terj. Noorhaidi, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 255. Sebetulnya banyak definisi mengenai qiyas namun jika dirinci titik temunya sama yaitu menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada hukumnya karena adanya persamaan ‘illat antara keduanya: demikian yang di definisikan oleh Wahbah az-Zuhaili: الحاق امر غير منصوص على حكمه الشرعى بامر منصوص على حكمه الشتراكهما فى علة الحكم Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr, t,t), hlm. 56. Dari definisi ini juga melahirkan rukun atau ketentuan qiyas yaitu: Ashl, Hukmu al-ashl, Far’u dan ‘‘illat. 5 Ibid., 3
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
3
Ali Muhtarom
berbeda dengan interpretasi, sebab deduksi analogis terutama berkait dengan perluasan makna suatu nash kepada kasus-kasus yang tidak disinggung dalam makna lughawi-nya. Oleh karena itu, qiyas merupakan metode yang berada di luar lingkup interpretasi,6 sehingga dengan demikian para ahli hukum yang mengkritik keberadaan qiyas tidak mengakui dan meragukan qiyas sebagai proses pembentukan hukum baru, seperi yang akan dijelaskan dalam makalh ini. Sejarah Pertumbuhan Qiyas Qiyas sebagai salah satu metode penetapan hukum, secara kronologis historis dipetakan menjadi dua kelompok, pertama, qiyas sebelum masa al-Syafi’i, yaitu formulasi qiyas yang belum baku, ia masih dalam bentuknya yang bebas sebagai suatu penalaran liberal dalam menentukan suatu hukum (reasoning). Qiyas ini tidak terpaku pada syarat-syarat yang ketat yang membatasinya dari berfikir liberal, spekulatif, dan dinamis dalam menentukan masalah.7 Qiyas sebagai penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim juga disebut dengan Istilah penalaran (ra’y). Ia berlaku mulai pada masa Rasullah sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abu Hanifah sebagai panglima aliran ahl al-ra’y. Dalam periode awal, ra’y merupakan alat pokok ijtihad, yang mendahului pertumbuhan prinsip qiyas. Pengguanaan ra’y untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diungkap oleh nash merupakan hal yang tidak dapat dielakkan pada masa pembentukan Islam. Selama masa tersebut, orang-orang mengambil jalan ra’y atas masalah-masalah yang baru timbul dalam masyarakat. Penggunaan ra’y sebagai alat qiyas pada masa-masa sebelum al-Syafi’i, sesungguhnya sangat sederhana dan digunakan dalam bentuk yang sangat dasar. Ia tidak dibatasi dengan syarat-syarat yang begitu ketat, sehingga tidak semua 6 7
Ibid., hlm. 256 Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm. 35.
4 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
orang dapat mengqiyaskan dan semua kasus dapat diqiyaskan.8 Dalam perjalanannya di masa awal, qiyas dalam bentul ra’y telah digunakan baik dalam al-Qur’an, Sunnah maupun para sahabat Nabi saw. Dalam al-Qur’an sendiri misalnya, penalaran yang didasarkan pada kesamaan kasus-kasus yang serupa, sering dilakukan hanya dengan menggunakan kata-kata matsal, mitsl, dan ka9 untuk menunjukan persamaan antara berbagai hal tanpa persayaratan yang begitu ketat. Penalaran al-Qur’an ini pada akhirnya mempunyai andil bagi lahirnya gagasan tentang qiyas. Qiyas dalam bentuk ra’y yang sederhana juga berlaku pada Sunnah. Hal ini bisa dilacak dari hadis Rasulullah yang pernah mengqiyaskan hukum mencium isteri saat berpuasa dengan berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur tidak membatalkan puasa maka mencium isteri saat sedang berpuasa juga tidak membatalkan.10 Sedangkan penggunaan ra’y pada masa sahabat dapat dilihat dalam sejarah saat Umar bin Khattab menetapkan berbagai kasus hukum, bahkan ra’y digunakan oleh Umar dalam masalah yang sudah tegas dijelaskan oleh nash, misalnya tentang pentasarufan zakat pada muallaf,11 pembatalan Ibid., hlm. 36 Sebagaimana firman Allah, Q.S al-Jumah:5 االية.....مثل الذين حملوا التوراة ثم لم يحملوها كمثل الحمار يحمل اسفارا 10 Diriwayatkan dari Umar bahwa Raslullah SAW: صنعت اليوم:صلّى هللا َعلَيْه َو َسلّم فقلت َ هششت يوما فقبلت وأنا صائم فأتيت النبي:عمر بن الخطاب قال أرأيت لو تمضمضت بماء وأنت:صلّى هللا َعلَيْه َو َسلّم َ فقبلت وأنا صائم فقال رسول هللا،أمرا عظيما ففيم:صلّى هللا َعلَيْه َو َسلّم َ فقال رسول هللا، ال بأس بذلك:صائم؟ قلت Dari Umar bin Al-Khatab ra. berkata, "Suatu hari aku beristirahat dan mencium isteriku sedangkan aku berpuasa. Lalu aku datangi nabi SAW dan bertanya, "Aku telah melakukan sesuatu yang fatal hari ini. Aku telah mencium dalam keadaan berpuasa." Rasulullah SAW menjawab, "Tidakkah kamu tahu hukumnya bila kamu berkumur dalam keadaan berpuasa?" Aku menjawab, "Tidak membatalkan puasa." Rasulullah SAW menjawab, "Maka mencium itu pun tidak membatalkan puasa." (HR Ahmad dan Abu Daud). 11 Ijtihad Umar bin Khattab ini dikaji secara jelas oleh beberapa tokoh pemikir Hukum Islam yang mengkaji tentang upaya reaktualisasi hukum Islam, hal ini dapat dilihat dalam berbagi tulisan misalnya; Munawir Sjadzali, Islam Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 37-41; Muhammad Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 45-49; Muhammad 8 9
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
5
Ali Muhtarom
rampasan perang, tidak dipotongnya tangan seorang pencuri, melakukan ta’zir dengan seratus kali cambukan, pengucapan talak tiga sekaligus dihitung tiga. Hal yang sama juga dilakukan oleh penerusnya yaitu sahabat Ali bin Abi Thalib yang melakukan ijtihad dengan metode qiyas, yaitu dengan mengqiyaskan hukuman orang yang meminum khamr dengan hukuman orang yang melakukan tuduhan zina.12 Penggunaan ra’y atau penalaran sebagai pengamalan qiyas semakin memasyarakat pada masa tabi’in, yang dalam hal ini dapat dikategorikan menjadi dua yaitu; madzhab Iraq dan Madinah. Dimana madzhab Iraq diwakili oleh Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan al-Syaibani, banyak mengeluarkan fatwa-fatwa berdasarkan otoritas ra’y. Adapun madzhab Madinah yang dirujuk adalam Imam Malik yang dalam berbagai kesempatan sering menggunakan kata-kata seperti matsal, ka dan bi manzilah.13 Perbedaan qiyas antara kedua kelompok di atas hanyalah sedikit, jika pada madzhab Irak lebih menuntut konsistensi penalaran, maka pada madzhab Madinah lebih menekankan praktek yang telah diterima secara luas oleh masyarakat.14 Berangkat dari berbagai contoh qiyas di atas yang berkembang pada madzhab hukum awal, menunjukkan bahwa qiyas mengandung aturan kesepadanan, preseden, akal dan ketetapan hukum yang telah ada, kesamaan sedikit saja dianggap cukup melakukan qiyas bagi mujtahid awal dan tidak ada aturanaturan yang susah. Implikasi dari pemberlakuan qiyas semacam Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 157-158 12 Muhammad Salam Madzkur, Mabahits al-Hukm’ inda al-Ushuliyyun, (Mesir: Dar al-Nahdlah al-Arabiyyah, 1972), hlm. 42 13 Muhammad Roy, Ushul Fiqih Mzdhab, hlm. 39. Contoh qiyas yang dilakukan oleh fuqaha Madinah adalah tidak boleh melakukan ibadah haji atas nama seseorang, sementara orang tersebut masih hidup. Ini diqiyaskan dengan tidak bolehnya melaksanakan puasa dan shalat atas nama orang lain. 14 Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publishers, 1994), hlm. 140
6 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
ini menimbulkan hukum Islam yang dinamis dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Kedua, qiyas pada masa al-Syafi’i dan setelahnya, yaitu qiyas yang sudah terkodifikasi dan terformulasikan dengan baku dalam al-Risalah. Qiyas model ini mempunyai syarat-syarat yang ketat, baku dan kaku, sehingga sudah tidak menjadi penalaran hukum yang bebas dan aktual, melainkan ’tunduk’ di bawah bayangbayang teks-teks agama, yakni al-Qur’an, Sunnah, dan ijmak.15 Qiyas model ini dimulai pada masa al-Syafi’i, yang diformulasikan pertama kali dalam al-Risalah hingga ulama ushul sekarang. Upaya menciptakan kesatuan hukum dan membatasi penggunaan ra’y yang dilakukan oleh para Ulama di masa awal termasuk al-Syafi’i, di latar belakangi sebuah kenyataan bahwa adanya penggunaan ra’y yang liberal memberikan lahan subur bagi berkembangnya beraneka ragam hukum dalam masyarakat, sehingga tidak jarang satu permasalahan hukum mendapat jawaban yang berbeda di tempat yang berbeda. Al-Syafi’i memformulasikan qiyas dengan syarat yang ketat16 dalam rangka membendung penggunaan ra’y yang sewenang-wenang sebagaimana madzhab hukum awal. Lebih dari itu, metode qiyas yang dimaksudkan oleh al-Syafi’i terbatas hanya untuk menyingkap hukum yang secara praktis ada di dalam teks-teks keagamaan (nushus) meskipun keberadaannya samar dan tersembunyi.17 Ibid., hlm. 137 Syarat ketat yang dimaksudkan adalah syarat-syarat seseorang yang dibolehkan melakukan qiyas; menguasai bahasa Arab dan unsurunsurnya, seperti nahwu, shorof dan balaghoh, mengetahui ajaran-ajaran al-Qur’an, seperti etika Qur’ani, nasikh mansukh, lafal ‘am dan khas, mendalami sunnah, permasalahan-permasalahan sunnah, menguasai logika yang benar atau akal sehat. Persayaratan ini diramu apik oleh alSyafi’i dalam karyanya al-Risalah. Baca Muhammad bin Idris al-Syafi’i, alRisalah, (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-halabi, t.t), hlm. 70 17 Terkait hal ini bisa di simak dalam kajian yang disajikan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, al Imam as-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, (Kairo: Sina li an-Nasr), Bagian II, Imam Syafi’i: Moderatisme Eklektisime Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. 77-98 15 16
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
7
Ali Muhtarom
Dalam periode awal, qiyas difahami sebagai penalaran bebas mencari hukum (ra’y), dilajutkan pada periode berikutnya pada masa al-Syafi’i menjadi sangat sempit, yaitu perbandingan dua hal yang sejajar karena keserupaannya, yang secara teknis dikenal dengan nama sebab hukum (‘illat al-Hukm), lebih dari itu qiyas ini harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini menunjukkan tidak adanya idependensi qiyas karena qiyas harus ’tunduk’ mengikuti kemauan teks keagamaan.18 Setelah melihat sejarah qiyas dari masa awal sebelum alSyafi’i hingga masa al-Syafi’i dan setelahnya, dapat dikatakan bahwa adanya sistematisasi qiyas dan sederet perangkatnya yang ketat, maka di satu sisi ruang lingkup penggunaan ra’y secara bebas dapat dipersempit karena orang tidak boleh sembarangan menganalogikan sesuatu tanpa ada syarat yang dipenuhi, namun di sisi lain menjadikan hukum bersifat kaku, statis, dan kurang kreatif. Bahkan menurut Nashr Hamid Abu Zayd, kalau dibaca lebih dalam, akan tersingkap bahwa sebenarnya al-Syafi’i bermaksud ingin menegakkan otoritas teks agar mencakup setiap bidang persoalan kehidupan sosial dan pengetahuan. Nampak pula, seolah-olah ia memperluas bidang kerja qiyas, sementara ia membatasi wilayah teks, dan tidak berani melampuinya.19 Hingga pada akhirnya ia menghimbau meninjau ulang dan mengadakan transformasi ke fase pembebasan, bukan otoritas teks semata, tapi juga dari semua otoritas yang menghadang perjalanan manusia di
Bagi al-Syafi’i nash adalah teks yang hanya mengadung satu arti atau teks yang penafsirannya adalah teks itu sendiri, maka di sini nampak jelas tidak adanya peran ra’y dalam menafsirkannya. Pembenturan ra’y dengan nash dan anggapan ra’y harus tunduk di bawah hegemoni nash ini berarti tindakan pereduksian terhadap makna nash. Hal ini dapat difahami karena pada masa sebelum al-Syafi’i istilah nash diartikan sebagai tekstualitas kalimat (haqiqah al-Lafdzi) sehingga mungkin sekali tidak mengikutinya, karena berdasarkan ra’y tidak membawa keadilan, seperti pada kasus ijtihad Umar yang tidak mengikuti tekstualitas al-Qur’an. Ahmad Hasan, Analogical Reasoning.. dalam Muhammad Roy, Ushul Fiqih, hlm. 43 19 Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, hlm. 96 18
8 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
dunia ini.20 Kontroversi Qiyas dalam Istinbath Hukum Jika ditelusuri memang tidak ada dalil secara jelas yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, terdapat perbedaan penadapat tentang qiyas dalam pembentukan hukum. Terkait perbedaan ini Abu Zahrah21 membagi menjadi tiga kelompok: 1. Kelompok jumhur ulama’ yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah dan dalam ijma’ qiyas, mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran. 2. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imammiyah yang menolak menggunakan qiyas secara mutlak. Zahiriyah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’. 3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illat di antara keduanya, kadang-kadang memberi kekuatan lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau Sunnah. Perbedaan ketiga kelompok tersebut di atas tidak lepas dari pemahaman masing-masing terkait dalil yang mereka ajukan sebagai argumentasinya.22
Ibid., hlm. 98 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (t.t.p: Dar al-Fikr ‘Arabi), hlm. 220221 22 Perdebatan masing-masing argumentasi dari ketiga kelompok tersebut bisa dibaca lebih lanjut dalam, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, cet. Ke-4 (Jakarta: Kencana, 2009), Jilid I, hlm. 178-194. 20 21
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
9
Ali Muhtarom
Gambaran Umum Tentang ‘illat 1. Definisi ‘illat Kajian tentang teori logika penetapan hukum (‘‘illat), merupakan suatu lapangan pembahasan yang amat menarik di kalangan ulama Ahli ushul. Hal ini disebabkan bahwa kajian tentang ‘illat selain sebagai sesuatu yang mesti terkait dalam persoalan qiyas, selain itu, juga mengajarkan seni berfikir yang komprehensif dengan menggunakan ra’y (reasoning) ketika merekayasa suatu ketetapan hukum yang tidak tertera secara jelas di dalam nash. Ketika ulama merumuskan suatu format hukum dengan menggunakan qiyas, maka ‘illat merupakan salah satu kata kunci (key word) sekaligus merupakan perangkat mutlak yang harus ada, yang dalam kajian ushul fiqh biasa disebut dengan arkan al-qiyas. Oleh sebab itu ‘‘illat, yang terkadang difahami sebagai alasan logika penetapan hukum, merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaan qiyas. Dengan kata lain qiyas tidak akan pernah terlaksana tanpa dibarengi adanya ‘illat. Landasan fikir ini berdasarkan atas grand hipotesis bahwa segala ketentuan hukum yang diturunkan Allah memiliki alasan logis (legal reasoning) dan hikmah (wisdom) yang akan memayungi pelaksanaan dan penerapan peraturan hukum tersebut. Secara bahasa ‘illat ( )علةbisa berarti alasan ()حجة, sebab ( )سببataupun sakit ( )مرضsebagai penyakit, aib atau cacat;23 nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain.24 Adapun definisi ‘illat secara istilah para ulama ushul nampak berbeda pendapat. Secara umum memberikan definisi ‘illat sebagai: 25 ما شرع الحكم عنده تحقيقا للمصلحة اوهي الوصف المعرف للحكم:العلة هى Suatu sifat yang konkrit dan dapat dipastikan keberadaannya Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 965 24 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz I., hal, 646. 25 Ibid., 23
10 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu meraih kemaslahatan. Kata-kata ( )الوصفdi sini adalah berarti sesuatu yang berdiri bersama yang lain. Sedangkan kata-kata المعرف للحكمberarti berfungsi sebagai indikator yang menjelaskan hukum. Bila dikatakan bahwa sifat memabukkan menjadi ‘illat bagi haramnya khamar, berarti memabukkan merupakan sifat yang menjadi indikator yang menjelaskan bagi haramnya suatu minuman. Jadi, bila dibandingkan dengan rukun qiyas yang lain, maka yang dimaksud dengan ‘illat adalah: suatu sifat yang terdapat pada asal ( )أصلyang dijadikan dasar hukum dan dengan sifat itu maka diketahui hukum tersebut pada cabang ()فرع. 2. Posisi ‘Illat dalam Hukum Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam merumuskan hakikat suatu ‘illat ketika melihat hubungannya dengan hukum. Pertama, ‘illat diposisikan sebagai ( المعرفpemberi tahu) bagi hukum, misalnya jika yang menjadi ‘illat keharaman khamr adalah memabukkan, berarti sifat tersebut memberi tahu atau pertanda bagi haramanya minuman yang memabukkan. Kedua, ‘illat sebagai sesuatu yang mempengaruhi terhadap hukum yang didasarkan pandangan bahwa hukum itu mengikuti maslahat dan mafsadat; jadi menurut pandangan kelompok ini, jika sesuatu mengandung maslahah muncullah keharusan berbuat; dan bila sesuatu mengandung mafsadat, muncullah keharusan untuk menjahuinya. Ketiga, ‘illat sebagai pendorong hukum, maksudnya ‘illat itu mengandung hikmah yang pantas menjadi tujuan bagi pembuat hukum dalam menetapkan hukum.26 3. Penentuan ‘Illat dalam Hukum Ada beberapa cara untuk mengetahui ‘illat, yang dalam kajian ushul fiqh dikenal dengan masalik al-‘illat atau cara, metode 26
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, hlm. 204
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
11
Ali Muhtarom
untuk mengetahui ‘illat dalam suatu hukum.27 Cara tersebut ada yang berupa petunjuk yang jelas dan ada yang kurang jelas, ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Cara penentuan ini secara garis besar dapat dilakukan melalui tiga tahapan:28 a) Melalui nash, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah saw. Adakalanya ‘illat yang terdapat dalam nash itu bersifat pasti dan adakalanya ‘illat itu jelas, tetapi mengandung kemungkinan yang lain. b) Melalui ijma, diketahui sifat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’ yang menjadi ‘illat hukum itu. Misalnya, yang menjadi ‘illat perwalian terhadap anak kecil dalam masalah harta adalah karena “masih kecil”.’illat ini diqiyaskan kepada perwalian dalam masalah nikah. Jika ‘illat tidak diperoleh dengan salah satu dari cara di atas, para mujtahid boleh meneliti dan dan menggunakan penalaran logis untuk menetapkan apa yang bisa dijadikan alasan kuat pensyariatan (tasyri’) suatu ketentuan. Penentuan ‘illat dengan cara ini sering disebut dengan al-munasabah, al-sibru wa al-taqsim, dan tahqiq al-manath.29 Peluang semacam ini merupakan bidang ijtihad yang luas dan menjadi salah satu sumber kesuburan dan kekayaan pendapat di dalam fikih Islam. Dalam konteks sekarang ini saat persoalan semakin kompleks dan banyak tantangan bagi hukum Islam untuk menjawabnya perangkat semacam ini sangat penting sekali. Terkait hal ini Imam Syatibi30 membagi perangkat ini menjadi beberapa bagian penting yaitu: Tahqiqu al-manath al-Khas, dimaksudkan sebagai pengerahan upaya untuk menguji keberadaan ‘illat dalam sebuah obyek (manath) yang sangat Ibid., hlm. 225 Saif al-Din al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Bairut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1983), Jil. I, hlm. 59. Berbeda dengan Amir Syarifuddin yang merinci menjadi 10. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, hlm. 225-237 29 Tahqiqul Manath adalah upaya seorang mujtahid untuk mengidentifikasi subtansi obyak hukum, untuk menghindari terjadinya kesalahan teknis penyesuaian antara satu hukum dengan obyeknya. 30 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm 64 27 28
12 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
spesifik. Dan Tahqiqul manath al-‘Amm, dimaksudkan untuk memverifikasi jenis-jenis kasus yang dapat dimasukkan dalam sebuah kategori hukum. Kemudian dilanjutkan dengan Takhrij alManath (eksplorasi ‘illat) yaitu mengerahkan kemampuan untuk mengeluarkan ‘illat yang belum mejadi ketetapan melalui proses penelitian. Dan yang terakhir adalah Tanqih al-manath (inventarisasi ‘illat) proses ini dilakukan dengan cara menginventarisir beberapa hal yang mungkin menjadi kata kunci dalam menentukan suatu ‘illat dari berbagai sifat yang dijadikan ‘illat oleh Syari. 4. ‘Illat, Hikmah dan Sabab Dalam penalaran fikih perbedaan antara hikmah dan ‘illat serta sebab perlu dipahami secara proporsional. Secara sederhana, hikmah adalah dorongan atau tujuan yang dimaksudkan oleh syara’ untuk mencari kemanfaatan yang harus didayagunakan dan kemafsadatan yang harus dihindari atau dikurangi. Sedang ‘illat hukum adalah perkara yang jelas lagi pasti yang dijadikan dasar pembinaan dan penetapan ada atau tidaknya suatu hukum. Allah SWT tidak menetapkan sesuatu hukum, kecuali untuk kemaslahatan hamba-Nya. Dari sisi filosofinya, kemaslahatan pada dasarnya ada dua macam yaitu manfaat bagi manusia dan terhindarnya manusia dari kemudharatan atau kesengsaraan. Dengan demikian yang menjadi motivasi untuk menetapkan sesuatu hukum syara’ adalah mencari kemanfaatan bagi manusia dan menolak kemudharatan, dan sekaligus ini pulalah yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dengan menetapkan suatu hukum. Hal ini juga biasa disebut hikmah suatu hukum. Untuk lebih memahami tentang ‘illat, maka berikut ini dapat dikemukakan contoh berikut; Musafir atau orang yang sakit diberi keringanan atau rukhsah boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, hikmahnya adalah menghindari kesukaran baginya. Sedangkan ‘illat-nya adalah karena musafir atau sakit; Hukum qishash atas orang yang melakukan pembunuhan secara
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
13
Ali Muhtarom
sengaja, hikmahnya adalah untuk memelihara jiwa manusia pada umumnya. Pada contoh-contoh di atas, terlihat bahwa hikmah suatu hukum syara’ adalah untuk mewujudkan maslahat dan menolak kemudharatan. Dengan kata lain bahwa pada dasarnya setiap hukum di bangun atas sesuatu hikmah, dan terwujud-tidaknya suatu hukum sangat tergantung pada hikmah itu. Namun di kalangan para ulama setelah diadakan penelusuran secara mendalam, ternyata hikmah itu pada beberapa hukum adalah perkara yang samar, yang tidak dapat di saksikan oleh pancaindra. Karenanya tidak mungkin untuk menetapkan adanya hikmah atau ketiadaannya, dan tidak mungkin pula untuk menetapkan ada atau tidaknya suatu hukum dengan ada atau tidaknya hikmah. Dan kadang-kadang hikmah merupakan perkara yang dikira-kirakan atau bukan merupakan perkara yang pasti. Karena itu juga tidak dapat untuk membina hukum dan mengaitkan ada atau tidaknya hukum. Contoh diperbolehkan tidak berpuasa bagi orang sakit, hikmahnya ialah untuk menghilangkan masyaqqah. Masyaqah itu merupakan perkara/perkataan yang dikira-kirakan saja yang berbeda-beda mengingat situasi dan kondisi masing-masing manusia. Oleh karena itu seandainya kata hukum di bangun atas dasar ini, maka hukum taklif tidak akan sempurna.31 Selain hikmah yang sifatnya samar-samar atau diperkirakan pada hukum, juga terdapat sebagian hukum yang mengandung perkara-perkara yang sudah jelas yang dapat dijadikan dasar pembinaan hukum dan dapat dijadikan menentukan ada atau tidaknya hukum. Hal terakhir inilah, oleh para ahli ushul dinamakan ‘illat. Dengan demikian, dapat difahami bahwa semua hukum Islam dibangun atas ‘illat, bukan dibangun atas hikmah. Ini berarti bahwa syari’at itu berujud bila ada ‘illat-nya, walaupun hikmahnya berbeda-beda dan tidak berujud, bila ‘illat-nya 31
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Cet. 3; (Bandung : Al-Ma’arif, 1993), hlm. 83
14 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
sudah tidak ada, biarpun hikmah masih ada. Inilah yang dimaksudkan mayoritas pakar ushul fikih dengan ungkapan الحكم “ يدور مع علته وجودا وعدماada atau tidak adanya suatu sesuai dengan ada atau tidak adanya ‘illah” dan bukan tergantung dengan hikmahnya."32 Maksudnya, hukum itu ada berdasarkan ‘‘illat, sekalipun hikmahnya tidak ada, dan hukum itu juga tidak akan ada karena ‘‘illat-nya hilang, sekalipun hikmahnya masih ada. Sebagai melakukan perjalanan (safar) dalam bulan Ramadhan merupakan ‘illat dibolehkannya berbuka puasa atau mengqasar salat, sekalipun masyaqqah (yang menjadi hikmah boleh berbuka puasa dan mengqasar salat) tidak ditemui dalam perjalanan tersebut. Selama hukum syari’at itu dibangun di atas ‘illa-t-nya, bukan atas hikmahnya, maka seorang mujtahid dikala menqiyaskan hukum hendaklah selalu mencari persamaan ‘illat yang terdapat pada ashal, bukan mencari persamaan hikmahnya. Pandangan di atas mengundang suatu pertanyaan, yaitu apakah setiap penetapan hukum oleh Allah terpaut dan tunduk kepada ‘illat-nya dan bagaimana hal tersebut dapat dipahami? Ternyata, dalam prakteknya, menimbulkan perdebatan33 di kalangan ulama kalam yang kemudian diikuti ulama ushul, karena tidak semua ketentuan hukum dapat dipahami dan Abdul Wahhab Khallaf menyebutkan: تدور االحكام وجودا وعدما مع عللها ال مع حكمها Maksudnya bahwa hukum-hukum syara‘ itu dilatarbelakangi oleh ada dan tidak adanya ‘‘illat, bukan oleh hikmahnya. Baca Abdul Wahab Khallf, Mashadir al-Tasyri‘ al-Islami fi Ma La Nashkh Fih (Kuwait: Dar al-Qolam, 1972), hlm. 50 33 Perdebatan tersebut melahirkan beberapa pendapat. Asy‘ariyah dan Zhahiriyah mengatakan bahwa tidak boleh menta‘lilkan (mengaitkan) ketetapan hukum syara’ dengan ‘‘illat. Sementara golongan Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa ‘illat itu merupakan suatu tanda bagi ketentuan hukum. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Mu‘tazilah dan Maturidiyah yang mengatakan bahwa andaikata hukum-hukum Allah tidak di‘illat-kan (berdasarkan ‘‘illat), tentu perintah Allah sia-sia dan Allah suci atau terbebas dari segala sesuatu yang sia-sia tersebut. Lihat dalam M. Hasbi as-Shidieqy, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 181-183. 32
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
15
Ali Muhtarom
ditangkap oleh akal manusia apa yang menjadi ‘illat pensyari‘atannya. Banyak ketentuan hukum syara‘ tidak dapat dipahami secara rasional apa yang menjadi ‘illat penetapannya. Aspek inilah yang kemudian oleh Ulama Ushul dikategori-kan kepada persoalan ta‘abbudi. Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya setiap ketentuan hukum ada ‘illat-nya. Tegasnya setiap perintah dan larangan syara‘ mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum), dan alasanalasan logis itu sebagian ada yang disebutkan secara jelas dan sebahagian lain diisyaratkan saja, serta ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu. Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini, para ulama Ushul menyatakan bahwa ‘illat hukum itu selalu ada, hanya saja sebagian dari ‘illat itu tetap saja tidak dapat dijangkau oleh akal atau nalar manusia hingga sekarang, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan ibadah. Selain itu, kaidah di atas memberikan pemahaman bahwa lahirnya hukum yang tidak ada nashnya adalah wujudnya kesamaan kausa/’illat hukum cabang dengan hukum asal, tentunya menimbulkan pertanyaan besar, lalu bagaimana keberadaan hikmah atau tujuan hukum, karena dalam term ushul, Syari’ mensyari’atkan hukum ada tujuannya atau hikmah yang dibaliknya. Sebagaimana bunyi dalam qaidah:34 ان المقصد العام للشارع من تشريع االحكام هو تحقيق المصالح الناس في هذه الحياتhal inilah yang mestinya diperhatikan, dan berdasarkan argumen tujuan atau hikmah hukumlah Umar memutuskan perkara sebagaimana dicontohkan di atas, yang dianggap sebagian orang bertentangan dengan nash. Selain istilah ‘illat dan hikmah, juga dikenal adanya istilah sebab. Sebagian ahli ushul mengatakan bahwa ‘illat dan sebab itu sama maksudnya. Masing-masing dari ‘illat dan sebab itu adalah sebagai dasar untuk membina hukum dan tempat menggantungkan ada atau tidaknya hukum. Akan jika 34
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh, (t.t.p: Maktabah Da’wah, 1978), hlm. 198
16 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
hubungannya dengan hukum dapat dipikirkan oleh akal, maka dinamakan ‘illat dan juga sebab, dan jika tidak dapat dipikirkan oleh akal dinamai sebab.35 Sebagai contoh sebab; peristiwa tenggelamnya matahari di ufuk barat menjadi sebab kewajiban menjalankan shalat Magrib, demikian pula menyaksikan bulan menjadi sebab menjalankan puasa pada bulan Ramadhan. Sementara melakukan perjalanan menyebabkan diperbolehkan menqashar shalat. Hal ini dapat di namakan ‘illat dan sebab. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap ‘illat boleh dinamakan sebab, tetapi bukanlah tiap-tiap sebab dapat dinamakan ‘illat. 5. Hikmah Sebagai ‘illat Adanya perbedaan antara hikmah dan ‘illat, dimana ‘illat bersifat tetap, pasti dan jelas, sedangkan hikmah ada kalanya bersifat tidak pasti (sebatas prediksi belaka), maka timbulah pertanyaan tentang kebolehan ‘illat dengan hikmah. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: Pertama, kelompok yang membolehkan secara mutlak baik hikmah yang jelas maupun yang tersembunyi ()خفى. Di antara mereka adalah Imam al-Razi, Baidawi dan Ibnu Hajib.36 Alasan yang mereka gunakan adalah bahwa sesungguhnya ‘illat dianggap tidak mu’tabar kecuali bila ‘illat meliputi atau mencakup hikmah dari pada hukum. Bila hikmahnya tidak diketahui maka salah satu sifatnya telah batal untuk menjadi ‘‘illat. Karena itu hikmah hukum (dampak praktispsikologis penetapan suatu hukum) adalah merupakan suatu ‘illat yang ‘illiyah (diakui). Kedua, Tidak membolehkan ta’lil dengan hikmah secara mutlak baik hikmah yang jelas maupun hikmah yang samar sebagai mana yang telah dikemukakan oleh sebahagian besar ulama ushul fiqh.37 Alasan yang mereka Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan., hlm. 86. Sya’ban Muhammad Ismail, Dirasat baina al-Ijma’na wal-Qur’an, (Kairo: Maktabah Syakhsiyah al-Misriyah, t.t.),hal, 166, Sebagaimana dijelaskan dalam makalah Nurul Huda Prasetya, M.A.,‘illat Dan Rasionalitas Penetapan Hukum. (makalah tidak diterbitkan) 37 Muhammad Faraz Salmi, Mabahis al-Qisas wal-Ushul, (Kairo: Dar alTaba’ah al-Muhammadiyah, 1973), hal, 111. dalam Ibid. 35 36
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
17
Ali Muhtarom
gunakan adalah: a. Bahwa hikmah hukum itu adalah sesuatu yang mengikuti ( )تابعhukum dan ia datang belakangan sesudah ketetapan hukum terlaksana secara praktis. Meng-’illat-kan sesuatu itu tidak sah dengan menempatkannya di belakang dari sesuatu yang di’illat-kan ()المعلول. b. Hikmah hukum itu bersifat tidak pasti, karena bisa saja berbeda pada satu pribadi (kondisi) dengan pribadi yang lain berdasarkan keadaan dan adat kebiasaan yang berbeda pula. Seperti ketika seorang musafir dalam perjalanannya tidak menggunakan kendaraan, maka akan berbeda tingkat kesulitannya ( )مشقةdengan musafir yang berkendaraan. Oleh sebab itu, meong-’illat-kan sesuatu dengan sifat pasti dan jelas adalah lebih utama (lebih dapat diterima). Ketiga, Membolehkan ta’lil dengan hikmah bila hikmahnya itu jelas dengan sendirinya dan pasti, namun bila hikmahnya itu bersifat tersembunyi/samar ( )خفىmaka tidak boleh ber’illat dengannya. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Amidy, Ibnu Subki dan ulama lainnya.38 Pendapat yang ketiga ini tampaknya berusaha mencari jalan tengah antara pendapat yang pertama dan yang kedua. Lebih lanjut al-Amidy menyebutkan dalam kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam: فاذا كانت الحكمة هى مقصود من شرع الحكم مساوية للوصف فى الظهور واال نضباط كانت . واما اذا كانت الحكمة حقيقة مضطربة غير منضبطة فيمتع التعليل بها.اول با التعليل بما Alasan yang mereka kembangkan adalah sesungguhnya hikmah hukum adalah tujuan atau maksud dari penetapan (pensosialisasian) syari’at oleh Allah SWT. Maka ber’illat dengan menggunakan hikmah, bila ia jelas dan pasti, menjadi lebih utama dari ber’illat dengan sifat yang zhahir. Karena ber’illat dengan sifat yang zhahir itu hanya terbatas pada pengetahuan mukallaf saja. Adapun bila hikmah itu tidak jelas dan tidak pasti, maka ber’illat dengan sifat zhahir adalah lebih utama. 38
Ibid., hal, 167
18 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
Di tempat lain, Syamsul Anwar menjelaskan bahwa metode kausasi (mencari kausa/’illat hukum dalam menemukan keputusan hukum) pada dasarnya bertujuan untuk menyelidiki fondasi yang menjadi dasar tegaknya hukum dalam konsepsi hukum Islam. Fondasi hukum ini merupakan alasan keberadaan hukum, yaitu kausa yang mendasari adanya hukum, baik berupa kausa efisien (‘illat hukum) maupun causa finalis yang berupa tujuan hukum (maslahat dan hikmah hukum). Di sini tidak terdapat nash (teks) hukum yang terkait langsung dengan kasus yang dihadapi. Langkah yang harus ditempuh oleh seorang pencari hukum (hakim) jika proses membangun hukum berdasarkan causa legis (bina’ al-hukm ‘ala al-‘illah) tidak bisa dilakukan karena tidak ada kasus yang pararel (maksudnya tidak ada kesamaan ‘illat), maka penemuan hukum didasarkan atas causa finalis hukum, yaitu maqashid al-Syari’ah (tujuan hukum), dengan kata lain ta’lil al-ahkam bimaqashid al-syari’ah.39 Sehingga dengan demikian jika ada sebuah persoalan yang diajukan kepada hakim dan persoalan tersebut belum ada undang-undang yang mengatur atau kalaupun ada belum mencakup hukum atas perkara yang diajukan, maka hakim tidak boleh menolak dengan dalih di atas, hakim dalam hal ini wajib menjatuhkan putusan, konsekuensi dari kewajiban ini adalah melakukan penemuan hukum. Kesimpulan Dari pembahasan di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: 1. Qiyas adalah salah satu metode dalam istinbath hukum yang sudah mengakar sejak zaman Rasulullah SAW. Meskipun pada awalnya merupakan metode yang bebas dari syarat-syarat yang ketat, namun harus diakui keberadaanya di masa-masa awal sangat membantu bagi perkembangan hukum, mengingat bahwa teks keagamaan (nash al-Qur’an dan Sunnah) telah 39
Syamsul Anwar, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UIN SUKA, 2010), hlm. 56
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
19
Ali Muhtarom
berhenti sedangkan kasus-kasus hukum baru terus berdatangan. 2. Penetapan hukum melalui metode qiyas merupakan metode yang bertumpu pada ‘illat hukum, dan ‘illat ini tentunya punya konsekuensi dengaan maqashid al-Syari’ah. Adanya hukum lahir tidak lain tujuannya adalah menjadikan kemaslahatan atau hikmah bagi umat manusia. 3. Seorang Mujtahid/Hakim dalam mengambil keputusan hukum di samping menggunakan pertimbangan hukum/kausa hukum juga seharusnya perlu mempertimbangkan hikmah atau tujuan hukum. Karena tidak selamanya kausa hukum itu nampak jelas dan bahkan tidak ada, sehingga dengan demikian diperlukan cara yang kreatif dalam mengambil sebuah keputusan hukum.
20 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Meninjau Ulang Teori Qiyas
Daftar Pustaka Abu Zayd, Nasr Hamid, al Imam as-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, Kairo: Sina li an-Nasr, Bagian II, Imam Syafi’i: Moderatisme Eklektisime Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 1997). al-Amidi, Saif al-Din, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Bairut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 1983). Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). al-Khatib, Abdul Karim, 1984, Saddu Bab al-Ijtihad wa ma Tarattaba, Bairut: Muassasah al-Risalah, terj. Ach. Maimun Syamsuddin dan Abdul Wahid Hasan, Ijtihad Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005). al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. al-Risalah, (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-halabi, t.t). Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t). al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989). ----------------------, Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr, t,t). An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, ter. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani; (Yogyakarta: LKiS, 1997). Anwar, Syamsul, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UIN SUKA, 2010). as-Shidieqy, M. Hasbi, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). Effendi, Satria, M. Zein, Ushul Fiqih, cet. Ke-3. (Jakarta: Kencana, 2009). Hasan, Ahmad, The early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publishers, 1994). Kamali, Muhammad Hashim. 1991. Principles of Islamic Jurisprudence, Cambridge, terj. Noorhaidi Hasan, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Yogyakarta:
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
21
Ali Muhtarom
Pustaka Pelajar, 1996). Khallaf, Abdul Wahab, Mashadir al-Tasyri‘ al-Islami fi Ma La Nashkh Fih, (Kuwait: Dar al-Qolam, 1972). -----------------, Ilm al-Ushul al-Fiqh, (t.t.p: Maktabah Da’wah, 1978). Madzkur, Muhammad Salam, Mabahits al-Hukm’ inda alUshuliyyun, (Mesir: Dar al-Nahdlah al-Arabiyyah, 1972). Mudzhar, Muhammad Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998). Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. Ke-14. (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Roy, Muhammad, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004). Sjadzali, Munawir, Islam Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997). Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih, cet. Ke-4, (Jakarta: Kencana, 2009). Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Cet. 3; (Bandung : Al-Ma’arif, 1993). Zahra, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh, (t.t.p: Dar al-Fikr ‘Arabi).
22 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015