STUDI PUSTAKA HAMA SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
NUR TRIANNA APRILIA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
NUR TRIANNA APRILIA. E44062841. Studi Pustaka Hama Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Dibimbing oleh: ENDANG AHMAD HUSAENI dan CORRYANTI. RINGKASAN Pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) tergolong jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) sehingga dapat dipanen dalam waktu 5 – 8 tahun. Pengusahaan hutan sengon, baik berupa hutan milik atau hutan negara, tidak terlepas dari gangguan berbagai jenis hama. Karena itu diperlukan pengetahuan mengenai hama-hama tersebut. Pengentahuan tersebut dapat diperoleh melalui penelusuran pustaka (studi pustaka). Studi pustaka tentang hama sengon ini dilakukan di berbagai perpustakaan selama tiga bulan, mulai dari Mei - Juli 2010. Sumber-sumber pustaka yang dipelajari di tiap perpustakaan di Bogor, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo dan Malang, berupa majalah ilmiah, jurnal, laporan penelitian, skripsi, tesis dan desertasi tentang hama sengon. Jenis-jenis hama yang menyerang tanaman sengon (selanjutnya disebut hama sengon) cukup banyak. Hama yang menyerang daun sengon adalah Eurema blanda, Eurema hecabe, Pteroma plagiophleps, dan Ferrisia virgata. Indarbella acutistriata merupakan hama yang menyerang kulit batang dan cabang pohon sengon. Hama yang menyerang batang sengon terdiri dari Xystrocera festiva dan Xystrocera globosa. Endoclita sericeus dan hama uret menyerang akar sengon. Dari hama-hama yang telah disebutkan, Xystrocera festiva merupakan hama yang dianggap paling penting karena dapat menyebabkan penurunan nilai tegakan, secara kuantitas maupun ekonomis. Pengendalian terhadap hama yang telah disebutkan diatas dapat dilakukan secara biologi, fisik dan kimiawi. Pengendalian hama yang menyerang daun dapat dilakukan dengan menggunakan parasitoid, pemberian kurungan kawat kasa di persemaian, injeksi pohon dengan insektisida sistemik, dan penggunaan Bacillus thuringiensis. Pengendalian hama kulit dapat dilakukan dengan menggunakan jamur Beuveria bassiana. Efektifitas dari cara-cara pengendalian dengan menggunakan B. bassiana dan B. thuringiensis tersebut tidak dikemukakan dalam sumber pustaka. Pengendalian hama yang menyerang batang adalah kombinasi antara penyesetan bagian kulit batang yang terserang dengan penjarangan, penggunaan parasitoid telur dapat dilakukan sebagai supelemen pengendalian. Pengendalian hama yang menyerang akar dapat dilakukan dengan cara memasukkan cairan atau butiran insektisida ke dalam liang gerek E. sericeus yang mengarah ke akar tunggang, serta penggunaan insektisida butiran untuk uret.
Kata kunci: Paraserianthes falcataria, hama sengon, pengendalian hama.
NUR TRIANNA APRILIA. E44062841. Literature Study of Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Pests. Guided by: ENDANG AHMAD HUSAENI dan CORRYANTI. SUMMARY Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) is classified as a fastgrowing tree species, so the tree can be harvested within 5 – 8 years. Sengon forest exerting sengon plantation, either in the form of private or state enterprice forest, can not escipe from attack tree various types of pests. So that it is needed to know about these pests, and it can be obtained from literature study. The literature study has been conducted in various libraries in Bogor, Jakarta, bandung, Yogyakarta, Solo dan malang, for three months, from May to July 2010. The literatures study in each library are scientific magazines, journals, research reports, theses, and dissertations about sengon pests. The pests that attack sengon (referred to as sengon pests) are quite a lot. These pests are exist attack the leaves, bark, stems and roots. Pests that attack sengon leaves are Eurema blanda, Eurema hecabe, Pteroma plagiophleps, and Ferrisia virgata. Indarbella acutistriata is a pest that attacks the bark of the trunk and branches of sengon trees. Pests that attack the stem consists of Xystrocera festiva and Xystrocera globosa. Endoclita sericeus and white grabs pests that attack sengon roots. The most important sengon pest is Xystrocofera festiva, because it can kill the trees and reduce wood production. The control of the pests mentioned can be done either in biological, physical or chemical means. Pests that attack the leaves can be control using parasitoids, provision of wire mesh cages in the nursery, injection of tree with systemic insecticides and using Bacillus thuringiensis. The bark feeding insect can be done by using Beauveria bassiana. But the effectiveness of control methods using B. bassiana and B. thuringiensis is not mentioned in the literature studied. The affective control of pests that attack the stem is combination removing of the attack bark (disecting) and thinning operation, release of egg parasitoids can be done as a supelemen control. Control of E. sericeus can be done by inserting a liquid of granular insecticide into the boring hole that leads to the tap root and using of granular insecticide to control white grabs.
Keywords: Paraserianthes falcataria, sengon pests, pest control.
STUDI PUSTAKA HAMA SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
NUR TRIANNA APRILIA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pustaka Hama Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan kedalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
Nur Trianna Aprilia NRP E44062841
Judul Penelitian
: Studi Pustaka Hama Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
Nama
: Nur Trianna Aprilia
NRP
: E44062841
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Ir. Endang Ahmad Husaeni
Dr. Corryanti
NIP. 19450608 196804 1 001
NIP. 19600103 198603 2 004
Mengetahui, Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr NIP. 19641110 199002 1 001
Tanggal :
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 22 April 1988 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Ir. H. Taane La Ola, MP dan Hj. Halis Wiati, SE, MS. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 1 Kendari dan pada tahun 2006 Mahasiswa
Baru
masuk IPB
(SPMB)
melalui jalur Seleksi
Penerimaan
dan mendapatkan kesempatan untuk menekuni
mayor Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan. Pada tingkat tiga, penulis memilih untuk menekuni bidang Perlindungan Hutan. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur Cilacap-Baturaden, melakukan kegiatan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di KPH Pasuruan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Pustaka Hama Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Perpustakaan yang berada di Manggala Wanabakti, Puslitbang Kehutanan Bogor, LIPI Cibinong, Perpustakaan ITB, Perpustakaan UNWIM, Perpustakaan UGM, Perpustakaan UNS dan Perpustakaan UNBRAW di bawah bimbingan Ir. Endang Ahmad Husaeni dan Dr. Corryanti.
ii
KATA PENGANTAR
Pengusahaan hutan sengon, baik berupa hutan milik atau hutan negara, tidak terlepas dari gangguan berbagai jenis hama. Karena itu diperlukan pengetahuan mengenai hama-hama tersebut. Pengentahuan tersebut dapat diperoleh melalui penelusuran pustaka (studi pustaka).
Dalam skripsi ini
dikemukakan hasil-hasil studi pustaka tentang hama sengon tersebut. Dengan selesainya skripsi ini, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dinilai sebagai ibadah oleh Allah SWT dengan pahala yang selalu mengalir dari setiap orang yang membacanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran membangun penulis harapkan untuk kebaikan penulis di masa yang akan datang.
Bogor, Januari 2011
Penulis
iii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah serta karunia-Nya, penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1.
Keluarga tercinta di Kendari, Mama, Bapak, Kak Yanti, Kak Sari, Kak Muslim, Kak Hafis, Ulil serta keponakanku Nashwa dan Nayla atas perhatian, kasih sayang, dukungan, kesabaran, semangat, pengorbanan dan doanya selama ini.
2.
Bapak Ir. Endang Ahmad Husaeni dan Ibu Dr. Corryanti sebagai Dosen Pebimbing atas bimbingan, arahan, ilmu dan wejangan-wejangannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Puslitbang Perhutani Cepu atas bantuan dana dan dukungannya selama penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.
4.
Seluruh staf Laboratorium Entomologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
5.
Seluruh karyawan yang berada di Perpustakaan Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas Kehutanan UNWIM, Fakultas Kehutanan UGM, Fakultas MIPA ITB, Fakultas Pertanian UNS, Fakultas Pertanian UNBRAW, Perpustakaan Manggala Wanabakti dan Perpustakaan dilingkup Badan Litbang Kehutanan.
6.
Keluarga besar Silvikultur 43, Dini, Dita, Ghidut, Anin, Enyit dan Riri, atas bantuan, perhatian, semangat, doa dan kebersamaannya selama ini.
7.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mencurahkan segala tenaga, waktu maupun pemikirannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan, Amin. Besar harapan
penulis, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
iv
DAFTAR ISI Halaman RIWAYAT HIDUP........................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2 Tujuan ............................................................................................
3
1.3 Manfaat ..........................................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
4
2.1 Sejarah Sengon di Indonesia..........................................................
4
2.2 Hutan Tanaman Industri Sengon ...................................................
5
2.3 Keterangan Botani Sengon ............................................................
8
2.4 Peranan Sengon dalam Perbaikan Kualitas Lingkungan ............... 10 2.5 Pengelolaan Sengon ....................................................................... 12 2.6 Sifat dan Kualitas Kayu Sengon .................................................... 14 2.6.1 Sifat fisik kayu sengon ........................................................... 14 2.6.2 Sifat mekanik kayu sengon .................................................... 17 2.6.3 Sifat kimia kayu sengon ......................................................... 17 2.6.4 Kelas awet serta kelas kualitas kayu sengon.......................... 18 2.7 Penggunaan Kayu Sengon ............................................................. 20 2.7.1 Kayu olahan ........................................................................... 22 2.7.2 Bahan baku peti...................................................................... 23 2.7.3 Pulp kertas .............................................................................. 23 2.7.4 Kayu lapis (plywood) ............................................................. 24 2.7.5 Kayu pertukangan .................................................................. 25 2.7.6 Kayu bakar ............................................................................. 25 2.8 Daerah yang Sesuai Untuk Penanaman Sengon ............................ 26
v
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 29 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian........................................................ 29 3.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 29 3.3 Pelaksanaan Penelitian .................................................................. 29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 31 4.1 Hasil Penelitian .............................................................................. 31 4.1.1 Hama Daun ............................................................................ 31 4.1.1.1 Eurema blanda ............................................................... 31 4.1.1.2 Eurema hecabe ............................................................... 37 4.1.1.3 Pteroma plagiophleps .................................................... 41 4.1.1.4 Ferrisia virgata .............................................................. 45 4.1.1.5 Hama daun lainnya ......................................................... 48 4.1.2 Hama Kulit ............................................................................. 49 4.1.2.1 Indarbella acustriata ...................................................... 49 4.1.3 Hama Batang .......................................................................... 59 4.1.3.1 Xystrocera festiva ........................................................... 59 4.1.3.2 Xystrocera globosa......................................................... 74 4.1.4 Hama Akar ............................................................................. 76 4.1.4.1 Endoclita sericea ............................................................ 76 4.1.4.2 Uret ................................................................................. 80 4.2 Pembahasan ................................................................................... 85 4.2.1 Hama Daun ................................................................................. 85 4.2.1.1 Eurema blanda ............................................................... 85 4.2.1.2 Eurema hecabe ............................................................... 86 4.2.1.3 Pteroma plagiophleps .................................................... 86 4.2.1.4 Ferrisia virgata .............................................................. 87 4.2.2 Hama Kulit ............................................................................. 88 4.2.2.1 Indarbella acustriata ...................................................... 88 4.2.3 Hama Batang .......................................................................... 88 4.2.3.1 Xystrocera festiva ........................................................... 88 4.2.3.2 Xystrocera globosa......................................................... 90 4.2.4 Hama Akar ............................................................................. 90
vi
4.2.4.1 Endoclita sericea ............................................................ 90 4.2.4.2 Uret ................................................................................. 91 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 92 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 92 5.2 Saran .............................................................................................. 93 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 94
vii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Berat jenis, kelas kuat, kelas awet dan kelas kualitas kayu sengon dibandingkan dengan jenis kayu lain ...................................................... 2. Sifat kayu lapis sengon............................................................................ 3. Perkembangan serangan I. acustistriata pada tegakan sengon berukur 3 tahun di Kampus IPB Darmaga, Bogor ............................................... 4. Perkembangan serangan I. acutistriata pada berbagai umur tegakan sengon di KPH Kediri tahun 1997 .......................................................... 5. Sebaran letak serangan I. acutistriata pada berbagai umur tegakan sengon di KPH Kediri 1997 .................................................................... 6. Volume kayu pertukangan yang rusak oleh serangan I. acutistriata di KPH Kediri ............................................................................................. 7. Hasil tangkapan ngengat I. acutistriata dengan lampu perangkap ......... 8. Kerugian finansial akibat serangan X. festiva pada berbagai umur hutan tanaman sengon di daerah Gerbo .................................................. 9. Kerugian finansial akibat serangan X. festiva pada berbagai umur hutan tanaman sengon di daerah Ngancar............................................... 10. Persen serangan X. festiva pada tegakan sengon murni dan campuran... 11. Efikasi Dimethoate 400 EC pada beberapa tingkat konsentrasi terhadap larva X. festiva .......................................................................... 12. Berbagai kombinasi cara pengendalian hama X. festiva .........................
20 24 54 55 56 57 59 66 66 69 72 73
viii
DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Pohon sengon (Paraserianthes falcataria) yang sudah tumbuh besar ... 9 2. Anakan sengon, terlihat berdaunmajemuk ganda ................................... 10 3. Dolak kayu sengon yang sedang mengalami proses pengelolaan ........... 23 4. Stadia telur dan larva Eurema blanda ..................................................... 31 5. Stadia pupa Eurema blanda pada daun sengon....................................... 32 6. Stadia imago Eurema blanda .................................................................. 32 7. Ulat Eurema blanda yang menyerang daun sengon ............................... 34 8. Stadia telur Eurema hecabe .................................................................... 37 9. Ulat Eurema hecabe ................................................................................ 38 10. Ulat E. hecabe yang menyerang daun jayanti ........................................ 39 11. Dampak serangan larva E. hecabe .......................................................... 40 12. Pteroma plagiophleps. a, ulat yang terbungkus dalam kantong; b, pupa; c, daun yang dimakan ulat kantong, d, kumpulan pupa pada batang sengon.......................................................................................... 42 13. Stadia pupa Pteroma plagiophleps ....................................................... 43 14. Ferrisia virgata ....................................................................................... 46 15. Tanaman lamtoro terinfeksi oleh Ferrisia virgata .................................. 47 16. Ulat hama I. acutistriata ......................................................................... 49 17. Ngengat I. acutistriata ............................................................................ 50 18. Indarbela acutistriata. a, gejala serangan pada kulit; b, larva; c, pupa; dan d, ngengat ............................................................................... 51 19. Gejala serangan oleh ulat I. acutistriata pada permukaan batang sengon ..................................................................................................... 53 20. Gejala serangan dan bentuk kerusakan oleh larva I. acutistriata di dalam batang sengon ............................................................................... 53 21. Kelompok telur Xystrocera festiva.......................................................... 60 22. Larva Xystrocera festiva dilihat dari atas ................................................ 60 23. Pupa X. festiva dilihat dari arah bawah (kiri) dan arah atas (kanan) ....... 61 24. Kumbang betina Xystrocera festiva ........................................................ 61 25. Serangan larva Xystocera festiva ............................................................ 64 26. Endoclita sericeus yang menyerang pangkal batang pohon kina dengan membentuk gelang pada leher akar ................................................ 78 27. Bentuk tubuh uret Leucopholis rorida .................................................... 81 28. Bentuk tubuh uret Lopidiota stigma........................................................ 81
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dalam literaturliteratur lama diberi nama ilmiah Albizzia falcata Backer, Albizzia moluccana Miq., Moluccana albizzia, dan Adenanthera falcata Linn. dan yang terakhir adalah Albizia falcataria (L) Fosberg. Pohon sengon tergolong jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) sehingga dapat dipanen dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 5 – 8 tahun. Bila ditanam pada tanah yang subur dan iklim yang sesuai, pada umur 1 tahun pohon sengon dapat mencapai tinggi 7 m, umur 3 tahun mencapai tinggi 18 m dan umur 9 – 10 tahun mencapai tinggi 30 m. Tinggi maksimum mencapai 45 m. Pada kondisi optimum riap diameter mencapai 5 – 7 cm per tahun (Satjapraja dan Tim Perhimpi, 1989). Karena tumbuh cepat pohon sengon banyak ditanam oleh petani di pedesaan di P. Jawa, bahkan sekarang banyak pengusaha yang menanam jenis pohon ini baik sebagai hutan tanaman industri (HTI) maupun sebagai hutan rakyat. Menurut informasi dari Direktorat Pengembangan Hutan Tanaman, Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Departemen Kehutanan, sampai tahun 2010 di Pulau Kalimantan saja telah ada 15 perusahaan Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu di Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) yang mengusahankan sengon dengan luas areal sekitar 366.000 ha. Di KPH Kediri, dengan jarak tanam awal 3 x 1 m, hasil kayu pertukangan dari hutan tanaman sengon yang dipanen pada umur 8 tahun bisa mencapai lebih dari 200 m3 per ha. Bila ke dalam hasil itu ditambahkan kayu pertukangan dari hasil beberapa kali penjarangan sebelum dipanen, hasil kayu pertukangan per ha bisa lebih dari 300 m3 per ha. Kayu sengon tergolong ringan (berat jenis 0,33), mempunyai kelas awet IV/V dan kelas kuat IV – V. Kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan rumah, peti kemas, kayu lapis, papan partikel, papan serat, papan semen wol kayu, korek api, bahan bubur kayu (pulp), bahan kelom, korek api (tangkai dan kotak) dan kayu bakar (Martawijaya et al., 1989). Akhir-akhir ini peranan pohon sengon semakin meningkat sejak kayunya banyak digunakan untuk pembuatan papan
2
laminasi, papan sambung (joint board), dasar lantai kayu (floor base) dan komponen pembuatan piano. Prospek penggunaan kayu sengon dilukiskan oleh Kasmudjo (1992). Kayu sengon dari hasil tebangan pohon yang berumur 6 – 7 tahun dapat digunakan untuk papan sambung dan papan partikel, kayu sengon dari hasil tebangan pohon berumur 8 – 9 tahun digunakan untuk moulding sederhana, mebel sederhana dan kayu lapis, dan kayu sengon dari hasil tebangan pohon berumur 10 tahun dapat digunakan untuk bahan bangunan ringan. Kayu sengon yang berasal dari tebangan pohon yang berumur 6 sampai 10 tahun dapat digunakan untuk kerajinan kayu (ringan). Pengusahaan hutan sengon, baik berupa hutan milik atau hutan negara, tidak terlepas dari gangguan berbagai jenis hama. Beberapa jenis hama sengon yang telah diketahui adalah ulat daun Eurema blanda dan E. hecabe (famili Pieridae, ordo Lepidoptera),
ulat kantong Pteroma plagiophleps (famili
Psychidae, ordo Lepidoptera), ulat Indarbella acutistriata (famili Indarbelidae, ordo Lepidoptera) yang merusak bagian kulit luar dari batang dan dahan pohon sengon, uret (larva famili Scarabaeidae, ordo Coleoptera), yang yang menyerang akar tanaman sengon yang masih muda (umur 1 tahun), Xystrocera festiva dan X. globosa dan Horia sp. (famili Cerambycidae, ordo Coleoptera) yang menyerang bagian batang pohon sengon. Selain hama-hama tersebut mungkin saja masih ada jenis-jenis hama lain yang telah diketahui menyerang sengon, namun tersebar pada berbagai sumber pustaka, termasuk skripsi, tesis dan desertasi. Untuk keperluan pengendalian hama-hama sengon tersebut diperlukan pengetahuan mengenai biologi hama, daerah penyebaran, jenis-jenis pohon yang diserangnya, cara penyerangan, berbagai aspek serangan dan cara-cara pengendaliannya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui penelusuran pustaka (studi pustaka). Dewasa ini diperkirakan berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi baik yang ada di Indonesia maupun luar negeri telah melakukan penelitian tentang hama-hama sengon tersebut. Informasi yang terpencar tersebut perlu dihimpun dalam suatu tulisan ilmiah sehingga dapat memberi kemudahan bagi yang memerlukannya, antara lain adalah Perum Perhutani dan para pemegang IUPHHK-HTI sengon.
3
1.2 Tujuan Studi pustaka ini bertujuan untuk menghimpun data dan informasi tentang hama pada sengon dan cara pengendalian hama sengon, baik yang menyerang daun, pucuk, cabang, kulit, batang, dan akar serta bunga dan buah. 1.3 Manfaat Hasil studi pustaka ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang ragam hama sengon dan cara pengendaliannya.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Sengon di Indonesia Menurut Atmosuseno (1994), berdasarkan catatan sejarah, sengon merupakan spesies asli dari kepulauan di sebelah timur Indonesia yakni Maluku dan Papua. Pada tahun 1870-an pohon ini disebarkan ke seluruh kawasan Asia Tenggara mulai dari Myanmar sampai Filipina. Habitat alami pohon sengon ditemukan di Kepulauan Maluku. Pada tahun 1871 pohon sengon mulai ditaman di Kebun Raya Bogor. Dari Kebun Raya Bogor pohon sengon disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk
Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Penyebaran pohon sengon secara luas disebabkan karena mudahnya pohon ini tumbuh dan menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Tidak mengherankan kalau pohon sengon saat ini sudah tersebar luas sampai ke Sri Lanka, India, Malaysia, Filipina dan Samoa. Pada awalnya pohon sengon hanyalah pohon biasa yang tumbuh secara bebas di kebun-kebun rakyat, terutama di P. Jawa, yang penanamannya belum memperhatikan kaidah-kaidah pembudidayaan tanaman. Saat itu masyarakat mengenal pohon sengon tidak lebih dari sekedar pohon yang kayunya dapat dijadikan kayu bakar, daunnya untuk pakan ternak dan pohonnya dapat dijadikan peneduh di perkebunan-perkebunan teh, kopi atau vanili. Dengan adanya perkembangan dalam bidang perkayuan yang sangat pesat dan semakin menipisnya pasokan kayu dari hutan alam, saat ini pohon sengon merupakan jenis pohon yang cukup potensial untuk dikembangkan. Karena kegunaannya yang banyak, saat ini pohon sengon sudah tidak asing lagi bagi kalangan pengusaha perkayuan di Indonesia. Demikian pula para petani pemilik kebun yang berminat menangguk keuntungan dalam waktu relatif singkat telah mengenal tanaman ini dengan baik. Selain itu, dengan kemampuan memperbaiki struktur tanah di sekitarnya maka dalam upaya merehabilitasi lahan kritis pemerintah telah mencanangkan program sengonisasi secara massal di beberapa daerah yang potensial terkena bahaya erosi.
5
2.2 Hutan Tanaman Industri Sengon Dalam skala industri pemilihan sengon sebagai salah satu jenis pohon yang diprioritaskan untuk pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) merupakan suatu pilihan yang tepat. Pada tahun 1989 Balai Besar Selulosa (BBS) di Bandung telah meneliti pulp yang terbuat dari kayu sengon untuk bahan baku kertas koran dan kertas cetak lainnya seperti kertas fotokopi. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pulp yang berasal dari kayu sengon dapat menghasilkan kertas cetakan yang lebih bagus. Hal ini berbeda dengan pulp dari bagase yang umumnya menghasilkan kertas cetakan yang kaku, kasar dan berdebu sehingga menyulitkan dalam proses pencetakannya (Atmasuseno, 1994). Sengon dapat dipanen pada umur yang relatif singkat yaitu 5 – 7 tahun setelah tanam sehingga sangat menguntungkan untuk diusahakan dalam skala besar, seperti pengusahaan HTI. Dengan masa pengusahaan 35 tahun ditambah satu kali masa rotasi, pengusahaan HTI sengon akan bisa menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pulp dan kertas. Sengon sendiri akan menjadi bahan baku pulp yang sangat kompetitif dibandingkan dengan kayu dari jenis pohon lainnya (Atmasuseno, 1994). HTI yang pembangunannya dimaksudkan untuk menyediakan bahan baku bagi industri perkayuan di Indonesia, tampaknya akan memperoleh banyak keuntungan dengan menanam sengon dibandingkan dengan menanam jenis lainnya. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menanam sengon antara lain sebagai berikut: 1.
Masa masak tebang relatif pendek.
2.
Pengelolaan relatif murah.
3.
Persyaratan tempat tumbuh tidak rumit.
4.
Kayunya serbaguna.
5.
Permintaan pasar terus meningkat.
6.
Membantu menyuburkan tanah dan memperbaiki kualitas lahan. Dengan masa masak tebang yang relatif pendek pada tahun ke enam
pengusaha HTI sengon sudah dapat menangguk bahan baku berupa kayu sengon untuk keperluan industri terkait. Dengan demikian, selain dapat menghemat waktu, pengusahaan HTI sengon juga dapat menghemat biaya dan tenaga.
6
Biaya pembangunan akan lebih ringan pada jenis pohon yang tumbuh cepat atau berotasi pendek seperti sengon ini. Hal ini disebabkan adanya cash flow masuk dari awal penebangan yang segera dapat mengurangi biaya yang telah dikeluarkan. Pada anggaran biaya pembangunan hutan tanaman, pos biaya terbesar terletak pada biaya penanaman, pemeliharaan, pemangunan prasarana dan sarana yang mendukungnya. Dengan melihat beberapa kelebihan sengon dibandingkan jenis pohon lainnya maka pengusahaan HTI sengon merupakan suatu pilihan yang sangat rasional. Apabila dikaitkan dengan struktur permodalan pengusahaan HTI, pengusaha hanya menyediakan 21 % dari modal keseluruhan. Dalam skala kecil sengon sangat cocok dikembangkan dengan sistem hutan rakyat atau hutan tanaman rakyat (HTR), yang mengusahakan sengon sebagai tanaman pokok. Hal ini banyak dirintis di P. Jawa. Di Jawa Barat terdapat banyak hutan sengon rakyat, misalnya di Kabupaten Ciamis. Di kabupaten ini hampir seluruh petaninya menanam sengon baik untuk diambil hasilnya atau sekedar sebagai pohon peneduh di kebun yang dimilikinya. Di Jawa Tengah pohon sengon banyak ditanam oleh masyarakat Kecamatan Kokap yang rata-rata pemilikan lahannya 0,78 ha per kepala keluarga. Penanaman sengon di kecamatan ini banyak dibantu oleh beberapa kelompok tani dan Petugas Lapangan Penghiajauan (PLP) yang bekerja sama dengan Departemen Kehutanan dalam rangka menggalakkan program sengonisasi. Di Jawa Timur penanaman sengon telah dirintis oleh Perum Perhutani di BKPH Pare, KPH Kediri, yang menanam sengon sebagai tanaman pokok dalam sistem penanaman tumpang sari dengan tanaman nanas, jagung dan cabai. Banyaknya masyarakat yang menanam sengon tidak terlepas dari banyaknya keuntungan yang diperoleh sehingga para petani atau pemilik lahan berpikir dua kali untuk menanam jenis pohon lainnya. Selain itu peran pemerintah melalui
program
sengonisasi
juga
sangat
mendukung
dalam
upaya
memsyarakatkan pohon sengon ini (Atmasuseno, 1994). Taksiran konsumsi kayu di P. Jawa pada tahun 1995 sebesar 0,15 m3/ kapita/tahun. Kira-kira 30 % diantaranya berupa kayu sengon sehingga menjelang tahun 1995 di P. Jawa diperlukan kurang lebih 5 juta m3 per tahun kayu sengon
7
siap pakai atau setara dengan 10 juta m3 log/tahun. Kebutuhan kayu sebanyak ini tidak dapat dipenuhi oleh Perum Perhutani saja karena sampai saat ini hanya mampu melayani 5 % dari seluruh kebutuhan kayu di P. Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut hutan rakyat merupakan salah satu alternatif pemecahannya. Konsumsi kayu sengon rata-rata sebanyak 10 juta m3 log/tahun adalah setara dengan 24.417.000 pohon sengon yang harus ditebang per tahun. Dengan umur tebang rata-rata 5 tahun pengusahaan tanaman sengon secara lestari akan membutuhkan pohon sebanyak 5 x 24.417.000 pohon = 122.085.000 pohon. Dengan demikian jumlah pohon yang diharapkan dapat ditanam oleh para petani adalah sebanyak 122.085.000 pohon dibagi jumlah keluarga petani di Pulau Jawa yang ditaksir sebanyak 60 % dari total jumlah penduduk P. Jawa. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1985, proyeksi jumlah penduduk P. Jawa hingga tahun 1990 adalah 109.235.000 jiwa. Apabila rata-rata pertambahan jumlah penduduk di P. Jawa 1,2 % per tahun, pada tahun 1995 penduduk P. Jawa akan mencapai 114.920.979 jiwa. Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga petani yang telah masuk daftar sensus sebanyak 5 orang/KK maka pada tahun 1995 di P. Jawa terdapat keluarga tani sebanyak 114.920.979 x 60 % : 5 = 13.790.495 KK. Dari kebutuhan pohon sengon sebanyak 24.417.000 pohon/tahun, pengadaannya dapat dipenuhi apabila tiap keluarga petani menanam sengon sebanyak. 24.417.000 13.790.495
= 1,77 pohon atau dibulatkan menjadi 2 pohon/KK/tahun.
Dengan penanaman sebanyak 2 pohon/KK/tahun oleh para petani tersebut, maka diharapkan konsumsi kayu sebanyak 10 juta m3 kayu bulat sengon siap pakai dapat terpenuhi. Pengusahaan hutan rakyat sengon tampaknya mempunai prospek yang cerah sebab penanaman 2 pohon/KK/tahun dapat dilakukan tanpa menyita lahan petani yang produktif. Dengan sistem hutan rakyat ini konsep jarak tanam dan penjarangan tidak diperlukan lagi sebab penanaman dapat dilakukan dengan jarak tanam yang lebar. Sementara itu di bawah tegakan sengon masih dapat ditanami jenis tanaman lainnya yang menguntungkan (Atmasuseno, 1994).
8
2.3 Keterangan Botanis Sengon Paraserianthes falcataria yang sering disebut pohon sengon mempunyai nama daerah yang bermacam-macam. Di P. Jawa saja sengon mempunyai ± 7 nama panggilan, yaitu albisia, albiso, jeunjing (Jawa Barat), sengon laut, mbesiah (Jawa Tengah), sengon sebrang (Jawa Timur dan Jawa Tengah) dan jing laut (Madura). Di luar P. Jawa sengon dikenal dengan nama tedehu pute (Sulawesi), di Maluku dikenal dengan nama rawe, selowaku merah, seka, sika, sika bot, sikahm atau tawasela. Di Papua sengon dikenal dengan nama bae, bai wagohon, wai atau wikie (Atmasuseno, 1994). Di Malaysia dan Brunei pohon ini dikenal dengan nama puak, batai atau kayu macis. Orang Melayu banyak menyebut sengon ini dengan nama salawaku putih. Nama salawaku putih ini tampaknya berkaitan dengan adanya serat kayu yang membujur dan berwarna putih atau kulit luar batangnya yang licin dan berwarna kelabu keputih-putihan (Atmasuseno, 1994). Meskipun memiliki nama yang banyak, tetapi yang terasa paling akrab untuk pohon ini adalah nama sengon itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya program pemerintah berupa proyek “sengonisasi” di daerah-daerah kritis yang rawan bencana erosi. Sengon merupakan pohon yang termasuk anggota famili Fabaceae (dulu Mimosaceae) dan merupakan salah satu jenis pohon yang pertumbuhannya sangat cepat. Pertumbuhannya selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Mengingat pertumbuhannya yang cepat sengon dijuluki sebagai pohon ajaib (the miracle tree). Pada umur 6 tahun pohon sengon sudah dapat menghasilkan kayu bulat sebanyak 372 m3/ha (Atmasuseno, 1994). Pohon sengon berbatang lurus, tidak berbanir, kulit berwarna kelabu keputih-putihan, licin, tidak mengelupas dan memiliki batang bebas cabang mencapi 20 m. Tajuk berbentuk perisai, agak jarang dan selalu hijau. Tajuk yang agak jarang ini memungkinkan beberapa jenis tanaman lain tumbuh baik di bawahnya.
9
Gambar 1 Pohon sengon (Paraserianthes falcataria) yang sudah tumbuh besar (Anonim, 2010e). Sengon berdaun majemuk ganda. Jenis daun seperti ini merupakan ciri famili Fabaceae seperti halnya pohon turi (Sesbania grandiflora), putri malu (Mimosa pudica) dan petai cina (Leucaena glauca). Pada intensitas cahaya rendah, khususnya pada sore hari menjelang malam, anak daun mudah terkulai. Pohon ini berbunga sepanjang tahun dan berbuah pada bulan Juni – November (umumnya pada akhir musim kemarau). Jumlah benih/kg dapat mencapai 40.000 - 55.000 biji atau 36.000 biji per 1iter dengan daya kecambah rata-rata 80 %. Bunga pohon sengon tersusun dalam bentuk malai dengan ukuran daun mahkota yang kecil, sekitar 0,5 – 1 cm. Benang sari menonjol lebih panjang dari daun mahkota. Warna bunga putih kekuningan. Kuntum bunga yang mekar berisi bunga jantan dan bunga betina. Cara penyerbukan bunga yang sedikit berbulu ini dibantu oleh serangga dan angin (Atmasuseno, 1994).
10
Gambar 2 Anakan sengon, terlihat berdaun majemuk ganda (Anonim, 2010e). Diantara keseluruhan bagian pohon, bagian terpenting dan bernilai ekonomis paling tinggi adalah batang atau kayunya. Pohon sengon berbatang lurus, panjang dan diameter batangnya dapat mencapai 100 cm. Perakaran sengon terbentang melebar. Selain susunan akar yang agak dangkal, terdapat pula susunan akar yang berkembang menghunjam ke dalam tanah. Semakin besar pohon, semakin kuat perakaran serabutnya sehingga mengurangi resiko terputusnya perakaran anakan saat akan dipindahkan dari polibag ke lapangan. Selain itu perakaran sengon, sebagaimana legum lainnya, mengandung bintil akar atau nodul akar. Bintil akar ini dapat mengikat nitrogen bebas dari udara dan mengubahnya menjadi amonia yang dapat dimanfaatkan oleh pohon inang untuk pertumbuhan. Dengan sistem perakaran seperti ini sengon menjadi pohon yang cocok untuk dijadikan pohon utama dalam program penghijauan dan rehabilitasi lahan kritis (Atmasuseno, 1994). Buah sengon berbentuk polong dan tipis, berwarna hijau sampai cokelat jika sudah masak. Panjang buah sekitar 6-12 cm. Setiap polong buah berisi 15-30 biji. Bila sudah masak biasanya biji tersebut terlepas dari polongnya. Biji berbentuk ellips seperti perisai kecil. Ketika masih muda berwarna hijau muda. Apabila sudah masak berwarna cokelat kehitam-hitaman, agak keras dan licin.
2.4 Peranan Sengon dalam Perbaikan Kualitas Lingkungan Setiap menanam satu pohon sengon sebenarnya kita telah ikut andil dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan. Upaya perbaikan di sini terutama dalam hal kesuburan tanah, tata air dan iklim mikro setempat. Tajuk sengon yang berbentuk
11
perisai merupakan bentuk yang ideal sebagai pohon peneduh. Daunnya yang kecil menyebabkan sebagian sinar matahari tetap mengenai permukaan tanah sehingga memberikan kesempatan tumbuh bagi rumput-rumputan serta tanaman bawah lainnya. Dengan demikian tanah-tanah di bawah tegakan sengon senantiasa hijau dan berpeluang untuk ditumbuhi tanaman bawah lainnya. Seandainya diambil jarijari tajuk sengon rata-rata 3 m, dapat dihitung luasan tanah yang ternaungi (dianggap berupa lingkaran) seluas 3,14 x r² = 3,14 x 9 m² = 28,26 m². Kerusakan lahan karena erosi di Indonesia (khususnya di P. Jawa) sudah cukup kritis. Tidak kurang dari 42 juta ha lahan gundul, kosong atau mempunyai tumbuhan kurang, 20 juta ha diantaranya dalam keadaan kritis. Di Pantai Utara P. Jawa erosi melebar sekitar 10 – 50 m per tahun dan di muara Kali Bodri rata-rata volume tanah tererosi mencapai 250 m3 per tahunnya sehingga menimbulkan pendangkalan ke arah hilir sungainya. Oleh karena usaha pencegahan belum dapat mengimbangi laju perluasan lahan kritis maka diperkirakan luas lahan kritis ini akan meningkat terus sekitar 1 – 2 % tiap tahunnya (Atmasuseno, 1994). Peranan sengon dalam melindungi tanah sekitar tempat tumbuhnya sangat potensial mengingat daun-daun sengon yang jatuh akan dapat berperan sebagai pupuk hijau. Dengan demikian tanah-tanah yang ditanami akan lebih tahan terhadap erosi dan mempunyai kemampuan menyerap air aliran permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan di tanah gundul. Hal ini dapat dipahami karena tanah-tanah yang tertutup oleh tanaman mempunyai rongga-rongga atau jalurjalur yang lebar sehingga air mudah masuk dan udara mudah keluar. Ronggarongga itu terbentuk karena adanya jasad-jasad hidup, pembusukan akar tanaman dan sebagainya. Lubang cacing dengan lingkaran selebar 2,5 mm dapat mengalirkan air atau udara yang setara besarnya dengan air yang diserap oleh jutaan pori tanah. Dengan demikian penanaman sengon selain dapat mengurangi bahaya erosi juga dapat berfungsi untuk memperbaiki tata air dalam tanah. Upaya pemerintah dalam merehabilitasi lahan kritis akan sangat tertolong dengan penanaman sengon ini. Rehabilitasi lahan kritis yang meliputi rehabilitasi lahan pertanian dan rehabilitasi lahan hutan, akan dapat diatasi dengan penanaman sengon di lahan milik atau dalam skala besar sebagai HTI.
12
Dalam skala kecil di lahan milik rakyat, penanaman pohon sengon telah dirintis oleh masyarakat Kabupaten Ciamis. Dalam beberapa tahun mendatang setiap daerah perbukitan yang selama ini dianggap kritis serta kurang produktif kelak akan hijau dan rimbun oleh pohon sengon. Karena akar pohon sengon mampu menfiksasi N₂ bebas dari udara, penanaman sengon akan dapat menyuburkan tanah-tanah yang ada di sekitarnya. Penyuburan tanah ini ditunjukkan oleh adanya perubahan kandungan nitrogen akibat adanya penanaman legum termasuk di dalamnya sengon. Kelebihan lain dari sengon yang berkaitan dengan lingkungan adalah kemampuannya untuk tumbuh pada tanah yang berkadar garam tinggi. Kelebihan ini akan semakin prospektif di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan jumlah tanah yang berkadar garam tinggi kian hari semakin bertambah. Hal ini disebabkan penghisapan air yang semakin meningkat terutama oleh dunia usaha dan industri di daerah pesisir. Kemampuan sengon untuk tumbuh di tanah yang berkadar garam tinggi memungkinkan tetap tersedianya kawasan hijau sebagai daerah tangkapan air di tanah yang sudah terpengaruh oleh intrusi air laut. Dengan demikian diharapkan suplai air tanah tetap tersedia sehingga laju penurunan permukaan air tanah dapat dikurangi (Atmasuseno, 1994). Keuntungan lain dari kemampuan sengon tersebut adalah tersedianya peluang membangun hutan kota di wilayah yang telah terintrusi dengan menggunakan pohon sengon. Hutan kota ini akan sangat memberi banyak manfaat bagi kawasan tersebut karena dapat memperbaiki iklim mikro setempat, memberi rasa sejuk bagi kawasan industri yang biasanya terletak di tepi pantai dan tentu saja akan lebih sedap dipandang mata dari segi keindahan.
2.5 Pengelolaan Sengon Sengon sangat mudah dikelola dan tidak memerlukan perawatan yang intensif. Beberapa petani di Ciamis bahkan menyatakan bahwa tanaman sengon miliknya hanya ditanam seadanya tanpa menerapkan teknik budi daya yang rumit. Saat ini hasilnya sudah tampak berupa kebun sengon yang cukup luas. Jika ketersediaan airnya mencukupi setelah berumur 3 tahun pohon sengon akan
13
mencapai tinggi 14,5 m dengan diameter batang 13 cm. Selama persyaratan tumbuh yang uatam telah terpenuhi maka sengon akan dapat tumbuh dengan baik. Untuk mendapatkan pohon yang lebih baik dan cepat pertumbuhannya maka sengon akan lebih baik lagi jika dikelola intensif. Selain itu, pengetahuan dasar mengenai “kemauan” pohon sengon sangat menentukan keberhasilan penanamannya. Sebagai contoh, sengon termasuk jenis yang menyukai sinar matahari secara langsung sehingga penanaman sebaiknya dilakukan di tempat yang tidak ternaungi. Kemudahan pengelolaan sengon terlihat pada saat masih berupa bibit di dalam polybag. Dengan hanya diadakan penyiraman pada pagi hari saja, bibit sengon dapat tumbuh dengan baik. Bahkan jika karena suatu hal petugas lupa untuk menyiramnya, bibit sengon masih mampu bertahan sampai dua hari. Dalam pengelolaan sengon perlu diperhatikan adanya gangguan dari binatang ternak dan hama lain yang mudah menyerang tanaman sengon selagi masih muda. Daun sengon yang masih muda sangat disukai oleh kerbau, sapi dan kambing. Demikian juga dengan serangga Eurema (Eurema blanda dan E. hecabe) yang merupakan hama pemakan daun baik di tingkat semai maupun tanaman tua di lapangan. Sebagai upaya penjagaan/pencegahan dari gangguan ternak, petani cukup membuat pagar semipermanen di sekeliling kebun sengon yang masih muda tersebut. Hama Eurema dapat diatasi dengan menanam pohon sengon secara tumpang sari dengan tanaman cabai tidak disukai oleh jenis serangga ini. Pada skala yang lebih besar lagi yakni pada pengusahaan HTI, pengelolaan hutan sengon dapat disesuaikan dengan tujuan pengusahaannya. Untuk HTI kayu pertukangan diperlukan pengelolaan yang lebih intensif dibandingkan dengan HTI pulp. Hal ini disebabkan pada HTI kayu pertukangan bentuk, kualitas, keindahan dan kekuatan kayu menjadi bahan pertimbangan yang utama. Pada HTI pulp, sejauh kayu yang ditanam mempunyai kualitas serat yang sesuai dengan yang disyaratkan dan tidak terlalu banyak mengandung lignin maka batang/kayu pohon tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pulp maupun papan serat (fiber board).
14
Secara umum pengelolaan hutan sengon tidak memerlukan persyaratan khusus yang rumit. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Webb (1984) bahwa sengon memerlukan tanah yang berkelas tekstur sedang berupa lempung berpasir hingga lempung berdebu. Tanah berwarna cerah dan bertekstur padat. Tanah seperti ini banyak terdapat di Indonesia khususnya di P. Jawa dan daerahdaerah tertentu di luar P. Jawa. Drainase tanah yang diperlukan cepat sampai sedang. Tanaman ini memerlukan cahaya penuh. Sebelum dikecambahkan benih sengon direndam dalam air mendidih dan didiamkan hingga airnya dingin kembali. Sementara itu bahan tanamannya dapat diperoleh dengan beberapa cara, antara lain dengan stump dan penaburan benih dalam bak kecambah atau pot.
2.6 Sifat dan Kualitas Kayu Sengon Beberapa sifat dan kualitas kayu yang perlu diketahui oleh para konsumen antara lain: 1) Sifat fisik, 2) Sifat mekanik, 3) Sifat kimia, dan 4) Kelas awet serta kelas kuat. 2.6.1 Sifat fisik kayu sengon Sifat fisik penting yang perlu diketahui dari setiap kayu meliputi berat jenis (BJ), kadar air (KA), kerapatan dan persen penyusutan. a.
Berat jenis (BJ) Kayu sengon mempunyai BJ rata-rata 0,33. Untuk bahan baku pulp, makin
tinggi BJ kayu maka rendemen pulp akan semakin besar. Selain itu, BJ yang besar akan memperbesar pula kekuatan kayu tersebut. Kalau dikaitkan dengan BJ-nya sebesar 0,33, kayu sengon memang kurang menguntungkan sebagai bahan baku pulp karena risiko rendemen yang dikhawatirkan rendah. Namun, jika dikaitkan dengan kualitas serat sengon yang tergolong berserat panjang, maka kayu sengon akan menghasilkan kertas dengan kekuatan tarik dan sobek yang memadai. Dengan perlakuan silvikultur yang bagus BJ kayu sengon akan dapat dipertahankan senantiasa dalam keadaan maksimal.
15
Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan tinggi rata-rata 100 pohon tertinggi (peninggi) per ha jika ditanam pada kelas kualitas lahan (bonita) yang baik. Dengan BJ rata-rata kayu sengon yang 0,33 tersebut, kayu sengon mempunyai kekuatan yang relatif kurang. Oleh karena itu pemanfaatannya dalam bidang konstruksi pun hanya terbatas pada konstruksi ringan di bawah atap. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tua pohon (sampai tahun ke9), BJ kayu sengon akan semakin besar. Untuk pemanfaatan yang memerlukan sedikit kekuatan dapat dipilih kayu sengon yang berumur lebih tua. Namun demikian, untuk keperluan kerajinan tangan kayu sengon sangat ideal karena mudah diproses, ringan dan tidak kaku. Dengan BJ-nya yang tergolong rendah kayu sengon dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan tangan berupa topeng kayu, wayang klitik, patung, dekorasi ruang tamu seperti pohon pisang tiruan, buah-buahan tiruan dan lain-lain. b. Kadar air (KA) Setelah ditebang kayu sengon tidak dapat langsung dipergunakan untuk kayu olahan. Hal ini disebabkan karena kayu kayu masih dalam keadaan basah sehingga sangat mudah terkena jamur ataupun serangga perusak kayu. Kayu yang masih basah juga akan menyulitkan dalam pengerjaan khususnya dalam hal penyerutan dan pengergajian. Kayu dari pohon sengon yang berumur 7 – 9 tahun mempunyai KA sekitar 12 – 15 %. Seperti halnya KA pada kayu lainnya, kayu sengon pun mempunyai variasi KA antar bagian-bagian dalam kayunya. Dalam satu pohon sengon kadar air yang dikandung oleh kayu gubal atau kayu teras akan berbeda. Kayu gubal adalah kayu yang terletak pada bagian batang sebelah luar yang merupakan bagian batang yang masih hidup. Kayu teras adalah kayu yang terletak pada bagian sebelah dalam dari batang dan merupakan bagian yang sudah mati. Kayu gubal berwarna lebih terang dari pada kayu teras. Perbedaan-perbedaan antara kayu gubal dan kayu teras merupakan salah satu sumber variasi KA dalam suatu kayu. Dari suatu penelitian diperoleh rata-rata KA kayu sengon umur 7 – 9 tahun adalah 13,075 %. Dengan rata-rata KA tersebut kayu sengon memerlukan perlakuan khusus untuk berbagai keperluan penggunaannya.
16
Mengingat kayu sengon bersifat multiguna maka penggunaannya memerlukan KA yang sesuai dengan lingkungannya. Untuk barang-barang kayu dalam ruangan yang mempunyai pemanas, KA kayu yang dianjurkan adalah 12 %. Untuk ruangan yang selalu berpemanas, KA kayunya 11 %. Untuk ruangan yang berpemanas tinggi, KA kayunya 10 %, sedangkan barang kayu yang diletakkan dekat dengan sumber panas KA kayunya sekitar 9 %. c.
Kerapatan Kayu sengon mempunyai kerapatan sedang. Seperti halnya BJ, kerapatan
kayu akan sangat berpengaruh terhadap sifat mekanis kayu. Kayu yang berkerapatan tinggi cenderung lebih kuat dan lebih kaku dibandingkan kayu yang mempunyai kerapatan rendah. Dalam penggunaannya sebagai bahan baku papan partikel dan papan semen, kayu sengon menghasilkan produk berkualitas baik. Persentase kerapatan yang diperlukan adalah 0,37 - 0,55 untuk papan partikel dan 0,45 - 0,78 g/cm3 untuk papan serat (fiber board). Kerapatan papan serat yang dihasilkan dari pohon sengon berumur 4 – 7 tahun termasuk kelas kerapatan sedang (medium density fiber board). Mengacu kepada standar dari FAO kekuatan fisik-mekanik serta daya absorpsi dari papan partikel kayu sengon termasuk kelas sedang-tinggi. d. Persen penyusutan Nilai penyusutan kayu sengon dari pohon berumur 7 – 9 tahun dapat digolongkan sedang, yaitu sebesar 4,57 % pada arah tangensial dan 2,715 % pada arah radial. Penyusutan arah tangensial adalah penyusutan kayu yang searah dengan panjang batang, sedangkan penyusutan arah radial adalah penyusutan ke arah pusat batang dan memotong jari-jari batang. Perbandingan persen penyusutan arah tangensial dengan persen penyusutan arah radial akan menghasilkan sebuah nilai yang disebut nilai T/R. Nilai T/R yang mendekati angka 1 menunjukkan bahwa kayu tersebut akan semakin stabil. Kalau dikaitkan dengan nilai T/R-nya, sengon termasuk kayu dalam kategori agak stabil karena mempunyai nilai T/R sebesar 1,68. Keuntungan dari kategori agak stabil ini adalah kayu sengon tidak terlalu retak, pecah-pecah atau melengkung akibat pengeringan. Dengan demikian proses pengeringan pada kayu sengon dapat dilakukan dengan lebih mudah dan sederhana, tidak memerlukan
17
perlakuan yang terlalu rumit dan teliti. Keuntungan lainnya adalah kayu sengon menghasilkan produk yang lebih baik dan stabil untuk kerajinan kayu, papan tiruan dan mainan anak-anak. 2.6.2 Sifat mekanik kayu sengon Sifat mekanik yang penting diketahui dari kayu sengon adalah keteguhan lengkung statik dan keteguhan tekan sejajar serat. Keteguhan lengkung statik adalah keteguhan lengkung kayu yang dapat diketahui dengan cara pemberian beban tertentu di tengah-tengah (centre point loading) dari contoh kayu uji yang beru-kuran 5 cm x 5 cm x 76 cm, atau 5 cm x 5 cm x 90 cm dengan jarak sangga 70 cm. Keteguhan tekan sejajar serat adalah keteguhan tahan dari kayu yang dapat diketahui dari pemberian tegangan maksimum (kg/cm²) sejajar dengan arah serat kayu dari contoh kayu uji berukuran 5 cm x 5 cm x 20 cm. Kayu sengon dengan BJ rata-rata 0.33 termasuk ke dalam kayu dengan kelas kuat IV. Dengan sifat mekanik yang cukup baik, para konsumen akan semakin leluasa memanfaatkan kayu sengon untuk keperluan yang memerlukan sedikit kekuatan. Dengan keteguhan lengkung statik yang diatas nilai 500 kg/cm² kayu sengon dapat digolongkan ke dalam kelas kuat III. Masih ada beberapa sifat mekanis kayu lapis, misalnya kekenyalan, kekerasan sisi, keuletan, modulus elastisitas dan lain-lain. Namun demikian, keteguhan lengkung statis dan keteguhan tekan sejajar serat sudah dapat memberikan gambaran yang dapat digunakan untuk menilai sifat mekanis dari kayu sengon. 2.6.3 Sifat kimia kayu sengon Sifat kimia bagi kayu sengon penting artinya. Dengan mengetahui sifat kimia kayu dapat diketahui penggunaan yang sesuai dari suatu jenis kayu. Selain itu dapat digunakan untuk membedakan sesuatu jenis kayu yang secara anatomis sukar untuk dibedakan. Persentase komponen kimia kayu sengon adalah sebagai berikut : 1) Selulosa
: tinggi
2) Lignin
: rendah
3) Pentosan
: rendah
4) Zat ekstraktif
: tinggi
18
Persentase selulosa yang tinggi dari kayu sengon menyebabkan kayu ini cukup potensial untuk dijadikan bahan baku pulp dan kertas, dan produk selulosa lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena selulosa yang merupakan konstiten pokok dari dinding sel merupakan bahan dasar pembuatan pulp, kertas dan derivat selulosa lainnya, misalnya nitro selulosa, selulosa asetat, selulosa alkali dan etil selulosa. Persentase lignin kayu sengon yang rendah menunjukkan bahwa kayu sengon merupakan kayu yang tidak terlalu kuat dan tidak terlalu kaku. Lignin berfungsi sebagai zat perekat dari serat-serat kayu sehingga bertindak sebagai penguat ikatan antar serat tersebut. Perpaduannya dengan selulosa akan menghasilkan sebuah senyawa bernama lignoselulosa. Senyawa ini yang membuat kayu menjadi kuat dan kaku. Dalam
industri
pulp-kertas,
peranan
lignin
yang
rendah
akan
menguntungkan dalam proses pengelantangan. Dalam industri kayu lapis adanya persentase selulosa yang tinggi dan persentase lignin yang rendah membuat kayu sengon cocok dijadikan core (lapisan inti) dalam lapisan kayu lapis. Persentase pentosan kayu sengon dikategorikan rendah. Persentase pentosan yang rendah akan mengurangi kekuatan kayu karena selain sebagai cadangan makanan bagi sel, pentosan juga berfungsi sebagai penguat dinding sel kayu. 2.6.4 Kelas awet serta kelas kualitas kayu sengon a.
Kelas awet Kelas awet adalah pengkelasan panjang pendeknya masa pakai kayu
dikaitkan dengan kondisi penggunaan tertentu (seperti dipendam dalam tanah, kondisi cuaca, terendam air dan pengecatan) dan mudah tidaknya terkena serangan rayap tanah serta serangan perusak kayu lainnya. Kayu dengan kelas awet I lebih awet dibandingkan dengan akyu dengan kelas awet IV. Persentase zat ekstraktif sengon dikategorikan tinggi. Zat ekstraktif yang tinggi memberikan keuntungan khususnya pada keawetan alami kayu. Faktor utama yang menentukan keawetan alami kayu adalah zat ekstraktif, khususnya zat ekstraktif yang bersifat fungisida atau insektisida.
19
Sengon mengandung zat ekstraktif saponin yang membuat ketahanan alami kayu sengon terhadap rayap kayu kering Cryptotermes sp. terletak antara kayu jati dan kayu karet. Tampaknya ketahanan terhadap hama tersebut lebih mendekati ketahanan kayu jati. Atas dasar itu kayu sengon banyak digunakan untuk papan penyekat, meja, kursi dan rak dapur. Dengan adanya zat ekstraktif saponin daya tahan kayu sengon terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III, sedangkan ketahanan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Keawetan kayu sengon termasuk kelas sedang (kelas awet IV). b. Kelas kualitas Kelas kualitas ini menyatakan kualitas kayu sebagai bahan baku produk tertentu. Untuk industri pulp, kertas dan papan serat (fiber board), serat kayu sengon termasuk ke dalam kelas kualitas II. Kelas kualitas II dicirikan dengan adanya ukuran serat kayu yang sedang hingga panjang, mempunyai dinding sel tipis dan lumen agak lebar. Serat akan mudah menggepeng waktu dinding dan ikatan seratnya baik. Serat jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik cukup tinggi. Untuk industri venir dan kayu lapis, kayu sengon menghasilkan kayu lapis dengan keteguhan lentur sejajar serat yang memenuhi persyaratan standar industri Jerman. Untuk industri papan semen, sengon menghasilkan papan dengan kualitas yang baik. Hal ini dicirikan dengan kerapatan 0,45-0,78 g/cm3, kadar air 9,3-13,3 %, keteguhan lentur 18,3-80,4 kg/cm² dan pengurangan tebal 3,2-5,1 %. Untuk industri papan partikel (particle board), kayu sengon menghasilkan papan partikel berkualitas baik yang ditunujkkan dengan kadar air 10-11 %, persentase kerapatan 0,37 - 0,55, pengembangan tebal 20,6-31 % dan keteguhan lentur 33,8 - 67,6 kg/cm². Kayu sengon juga dapat menghasilkan arang aktif dengan kualitas baik karena selain mempunyai kemampuan menyerap Iodium yang tinggi (1000 - 1100 mg/g) juga mempunyai kadar abu yang rendah yakni kurang dari 1 %. Kelas kuat adalah pengkelasan kekuatan kayu yang didasarkan atas hubungan antara berat jenis, keteguhan tekan dan keteguhan lentur dari kayu. Kayu dengan kelas kuat I lebih kuat dibandingkan dengan kayu dengan kelas kuat IV.
20
Dalam Tabel 1 disajikan perbandingan antara berat jenis, kelas kuat, kelas awet dan kelas kualitas kayu sengon pada umur tertentu dibandingkan dengan tujuh jenis kayu lainnya. Tabel 1 Berat jenis, kelas kuat, kelas awet dan kelas kualitas kayu sengon dibandingkan dengan jenia kayu lain No
Umur
Jenis pohon
Riap 3
(m /ha/th)
.
Berat jenis
Kelas kuat
Kelas awet
Kegunaan
1.
Albizia falcataria
10
38,0
0,33
IV
IV
1,2,5,8,12,14, 15
2.
Acacia mangium
10
43,9
0,63
II-III
IV
1,2,3,15,20
3.
Agathis lorantifolia
30
26,0
0,49
III
IV
1,2,3,7,8,9,14 ,15,17
4.
Anthocephalus cabanda
10
24,0
0,42
III-IV
V
2,8,14,15
5.
Eucalyptus deglupta
10
34,0
0,89
I-II
II-III
1,4,5,6,10,11
6.
Gmelina arborea
7
21,0
0,44
III
II
1,2,3,11,13,1 5,18,19,20
7.
Peronema canescens
15
11,5
0,83
II-III
III
1,3,4,5,12,13
8.
Sosbania grandifolia
8
25.0
0,42
III-IV
V
1,3,8,12,14,1 8,20
Sumber
: dari berbagai sumber, dikumpulkan oleh Atmasuseno (1994).
Keterangan
:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
= = = = = = = = = = =
12 = patung, ukiran dan kerajianan tangan 13 = venir mewah 14 = korek api 15 = pulp 16 = alat gambar 17 = potlot 18 = arang 19 = obat-obatan 20 = moulding
bangunan kayu lapis meubel lantai papan dinding bantalan rangka pintu/jendela bahan pembungkus alat olah raga dan musik tiang listrik dan telepon perkapalan
2.7 Penggunaan Kayu Sengon Pohon sengon merupakan pohon yang serba guna. Dari mulai daun hingga akarnya
dapat
dimanfaatkan
untuk
beragam
keperluan.
Daun
sengon,
22
sebagaimana daun-daun dari famili Fabaceae lainnya merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein yang tinggi. Jenis ternak seperti sapi, kerbau dan kambing menyukai daun pohon sengon ini. Tidak mengherankan kalau beberapa padang pengembalaan (grazing area) selain rumput-rumputan, disediakan pula dedaunan dari pohon anggota famili Fabaceae, misalnya pohon sengon. Selain sebagai pakan ternak, daun sengon yang berguguran akan dapat bertindak sebagai pupuk hijau yang baik bagi tanah dan tanaman di sekitarnya. Sementara itu tajuk pohonnya berbentuk perisai serta pohonnya yang besar berperan sebagai pohon peneduh di beberapa areal perkebunan. Sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil sim-biosis dengan bakteri Rhizobium. Hal ini sangat mengutungkan bagi tanah dan sekitarnya. Adanya nodul akar dapat membantu porositas tanah dan penyediaan unsur nitrogen dalam tanah. Dengan demikian pohon sengon dapat menyebabkan tanah-tanah di sekitarnya menjadi lebih subur. Selanjutnya tanah ini dapat ditanami dengan tanaman palawija sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani penggarapnya. Hal seperti ini telah dilakukan oleh Perum Perhutani, antara lain di BKPH Pare, KPH Kediri yang menumpangsarikan tanaman nanas diantara larikan tanaman sengon. Dalam tumpang sari disarankan tidak menanam pohon pisang dan ketela rambat karena dikhawatirkan akan bersaing dengan tanaman pokok dalam pemanfaatan hara. Bagian yang memberikan manfaat ekonomi paling besar pada pohon sengon adalah kayunya. Tidak mengherankan jika saat ini banyak kalangan pengusaha atau pengrajin yang bergerak dalam bidang perkayuan beramai-ramai mengusahakan sengon sebagai bahan baku industrinya. Dengan harga yang cukup menggiurkan saat ini sengon banyak diusahakan untuk berbagai keperluan dalam bentuk kayu olahan berupa papan dengan ukuran tertentu. Selain itu kayu sengon banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan peti, papan penyekat, pengecoran beton dalam konstruksi, industri korek api, pensil, papan partikel dan bahan baku industri pulp-kertas. 2.7.1 Kayu olahan Kayu sengon dalam bentuk kayu olahan banyak diminati oleh para importir dari negara Jepang, Korea, Amerika Serikat dan negara-negara anggota
23
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Kayu sengon olahan diekspor dalam bentuk potongan-potongan kayu dengan ketebalan yang bervariasi antara 6 – 13 mm dan ukuran standar 3 m x 56 mm (panjang x lebar). Kayu sengon yang sangat tipis banyak digunakan di Jepang sebagai bahan pembungkus tanaman, souvenir dan lain-lain. Pada tahun 1992 harga kayu sengon dengan ketebalan 13 mm mencapai US$ 480/m3, sedangkan untuk ketebalan 6 mm harganya mencapai US$ 650/m3.
Gambar 3
Dolok kayu sengon yang sedang mengalami proses pengolahan (Anonim, 2010f). 2.7.2 Bahan baku peti Penggunaan kayu sengon sebagai bahan baku pembuatan peti sudah tidak asing lagi. Sejak dahulu para pengusaha perkebunan teh telah memanfaatkan peti yang terbuat dari kayu sengon untuk mengemas teh hasil perkebunannya. Saat ini perusahaan minuman, misalnya PT Multi Bintang, tiap tahun memerlukan tidak kurang dari 200.000 peti kosong untuk mengepak produksinya. Demikian pula beberapa industri lain seperti pabrik sabun, garam, mesin, oli pelumas, semen, kaca, sayuran, buah-buahan dan lain-lain. Bahkan Perum Peruri (Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia) pun tidak ketinggalan menggunakan peti dari kayu sengon untuk mengemas uang recehnya. Tahun 1988 Perum Peruri memesan peti kosong sebanyak 120.000 buah kepada beberapa perusahaan pembuat peti kosong kayu sengon. 2.7.3 Pulp-kertas Pemanfaatan kayu sengon untuk bahan baku pulp-kertas dengan cara pengolahan kimia (kraft process) ternyata menguntungkan. Hal ini disebabkan kayu sengon memiliki warna yang terang sehingga dalam proses pemutihannya tidak memerlukan bahan pemutih yang banyak. Berdasarkan sifat anatomi, fisik
24
dan kimia kayu sengon, pembuatan pulp dengan proses mekanis, baik sejenis maupun campuran dengan serat panjang dapat menghasilkan kertas koran bermutu tinggi. Kenyataan ini didukung oleh pengamatan sifat kayu sengon berumur 5 – 7 tahun yang mempunyi sifat serat yang baik untuk bahan baku kertas. Namun demikian, kayu sengon dari pohon berumur tahun 6 – 7 tahun mempunyai sifat lebih baik lagi. Keterangan mengenal sifat ini sangat penting karena panjang pendeknya serat akan mempengaruhi kualitas kertas yang dihasilkan. Serat yang panjang mempunyai titik tangkap yang lebih luas terhadap gaya-gaya yang mengenainya. Dengan demikian serat yang panjang akan menghasilkan kertas dengan ikatan serat yang kuat sehingga nilai kekuatan sobek kertas menjadi sangat tinggi serta kekuatan tarik, lipat dan jebol yang masih memadai. Kayu sengon mempunyai panjang serat rata-rata 1,12 mm. Hal ini sudah tergolong cukup panjang untuk jenis kayu daun lebar sehingga menguntungkan sebagai bahan pulp. 2.7.4 Kayu lapis (plywood) Struktur kayu sengon tidak memiliki batasan yang jelas antara kayu awal dan kayu akhir pada lingkaran tumbuhnya. Bahkan garis-garis lingkaran tumbuh pada kayu sengon umumnya tidak kelihatan dengan mata telanjang. Dengan sifat tersebut ditambah bentuk batangnya yang bulat memanjang menyebabkan kayu sengon mudah dikupas untuk dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan. Venir adalah lembaran kayu tipis yang dihasilkan dengan cara mengupas atau menyayat kayu. Pembuatan kayu lapis dengan cara menggabungkan beberapa venir yang berasal dari kayu sengon menghasilkan kayu lapis dengan keteguhan lentur dan keteguhan tarik di atas persyaratan standar Jerman, seperti terlihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Sifat kayu lapis sengon (Paribotro, 1991 dalam Atmosuseno,1994)
No macam kayu lapis
Kerapatan (g/cm)
Keteguhan lentur (kg/cm³) Sejajar Tegak serat lurus serat
Keteguhan tarik (kg/cm³) Sejajar Tegak serat lurus serat
1. Tripleks (3 lapis)
0,43
650,3
401,5
433,5
266,4
2. Multipleks (5 lapis)
0,45
610,9
335,2
518,4
484,1
25
Keteguhan lentur kayu lapis sejajar serat permukaan yang disyaratkan oleh standar Jerman adalah 400 kg/cm², sedangkan yang tegak lurus serat permukaan adalah 150 kg/cm². Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa keteguhan lentur kayu lapis sengon telah memenuhi persyaratan standar tersebut. Angka dalam tabel menunjukkan bahwa kualitas kayu lapis sengon cukup baik dan bermutu. 2.7.5 Kayu pertukangan Kelebihan lain dari sifat kayu sengon adalah kemudahan dalam pengawetan, pengeringan dan penggergajian. Kemudahan dalam ketiga hal tersebut sangat menguntungkan dalam pemanfaatannya untuk kayu pertukangan. Selain itu, warna kayu yang putih dan bobotnya yang ringan memberi nilai tambah pada keindahan dan kemudahan pengerjaan. Untuk kayu pertukangan, kayu sengon dimanfaatkan untuk membuat perabotan rumah tangga dan aksesoris dinding berupa rak buku, kotak obat, kotak perkakas, gantungan baju dan lain-lain. Dengan teknik pengawetan yang memadai dapat dibuat lemari, bufet, maupun mapping cabinet yang cukup menawan. Untuk para pelajar dan mahasiswa yang tinggal di rumah kost, kayu sengon tidak asing lagi untuk meja dan kursi belajar. Demikian pula untuk membuat rumah, kayu sengon cukup memadai sebagai bahan konstruksi ringan di bawah atap. Kegunaan kayu sengon juga sebagai papan penyekat dalam pengecoran beton. Untuk keperluan papan penyekat ini kelebihan kayu sengon terletak pada bobotnya yang ringan, mudah dipaku dan harganya relatif murah. 2.7.6 Kayu bakar Pada awalnya selain sebagai pohon peneduh di perkebunan-perkebunan teh, kayu sengon dikenal sebagai kayu energi/kayu bakar yang cukup potensial. Karena masih sering dimanfaatkan sebagai kayu bakar, beberapa anggota masyarakat masih menyebut sengon dengan nama kayu api. Sebagai kayu energi sengon mempunyai nilai kalori yang cukup tinggi yaitu 19.525-20.585 KJ/kg. Tingginya nilai kalori sengon menyebabkan sisa-sisa potongan kayu sengon dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit uap dan pembangkit listrik di industri-industri kayu lapis. Di Jawa Barat, dalam skala rumah tangga penggunaan kayu sengon untuk kayu energi tidak asing lagi. Pohon sengon ditebang, batangnya dipotong-potong
26
sesuai ukuran yang diinginkan kemudian dibelah-balah dan diangin-anginkan sampai kering. Setelah kering kayu sengon siap dijadikan kayu bakar.
2.8 Daerah yang Sesuai untuk Penanaman Sengon Populasi alami kayu sengon terdapat di daerah Kepulauan Maluku Utara, Kepulauan Timur dan daerah yang terletak pada garis lintang 10 ºLS – 3 ºLU. Selain itu sengon hidup pada berketinggian tempat 0 – 2000 m dpl dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.000 - 4.000 mm, jadwal curah hujan merata, musim kemarau 0 - 2 bulan, suhu bulan terpanas rata-rata 30-34ºC dan suhu bulan terdingin rata-rata 20 – 29 ºC. Tanah yang dikehendaki adalah tanah bertekstur ringan, menengah atau padat yang bereaksi netral. Pada toleransi tertentu masih dapat tumbuh pada tanah dengan reaksi asam dan basa. Drainase tanah sedang sampai lembab. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sengon mempunyai daerah penyebaran dengan selang yang lebar, mulai dari ketinggian tempat tumbuh sampai jenis tanah, bahkan iklim yang dikehendaki pun merupakan iklim yang banyak terdapat di beberapa wilayah di Indonesia. Dengan demikian boleh dikatakan hampir semua daerah di Indonesia dapat ditanami sengon. Daerah Jawa Barat merupakan daerah penanaman sengon yang sangat potensial mengingat solum tanahnya yang relatif tebal, udaranya sejuk dan relatif lembab sementara kebutuhan sinar matahari cukup terpenuhi. Di Jawa Timur daerah penanaman sengon terdapat di Kediri, Lamongan, Bondowoso dan daerah sekitarnya. Pertumbuhan sengon di Kabupaten Bondowoso cukup bagus dan pohon intinya cukup potensial dijadikan sumber benih yang baik. Benih sengon dari Kabupaten Bondowoso (daerah sekitar DAS Sampeyan) sudah mampu berkecambah dalam waktu 3 – 4 hari dengan persentase perkecambahan mencapai 80 %. Di Jawa Tengah, percobaan penanaman di Kabupaten Gunung Kidul menemui kendala khususnya dari segi ketebalan solum tanah dan ketersediaan air namun di daerah ini banyak dijumpai juga tanaman sengon yang cukup bagus, seperti di Kecamatan Kokap, khususnya di Dusun Plampang I, Plampang II dan Plampang III. Di daerah ini hampir setiap pekarangan telah memiliki 5 – 10 pohon sengon yang cukup besar.
27
Mencari daerah yang sesuai untuk penanaman sengon tidak sulit. Selagi petani memiliki tanah kosong yang cukup luas dengan kesuburan tanah yang memadai maka sengon mudah tumbuh di tempat tersebut. Apalagi kalau usaha budi dayanya dilakukan di Pulau Jawa. Lokasi penanaman dapat disesuaikan dengan tujuan penanamannya. Lokasi tersebut sebaiknya mempunyai karateristik sebagai berikut : 1.
Lokasi relatif datar dengan kemiringan maksimum 25 % dan ketinggian tempat antara 10 – 800 m dpl.
2.
Lapisan solum tanah cukup tebal.
3.
Ketersediaan air tercukupi dengan maksimal 15 hari hujan dalam 4 bulan kering.
4.
Lokasi mudah dijangkau dan akan lebih baik kalau terletak di tepi jalan utama.
5.
Kalau areal penanaman berupa tanah miring harus diusahakan agar daerah sekitarnya ditanami dengan pohon lain yang mempunyai kemampuan menahan tiupan angin kencang (wind break). Untuk tujuan rehabilitasi lahan kritis dan konservasi tanah, sengon dapat
ditanam di daerah-daerah yang rawan erosi. Untuk itu sengon ditanam di dalam DAS seperti yang telah dilakukan di DAS Sampeyan, Bondowoso dan daerahdaerah yang dianggap sebagai daerah tangkapan air bagi kepentingan pengairan. Penanaman sengon di areal yang mempunyai kemiringan curam (30 – 50 %) dapat dilakukan setelah di areal itu dibuat teras gulud (contour terrace). Teras dapat dibuat beberapa jenis antara lain teras datar untuk kemiringan 3%, teras kredit untuk kemiringan 3 – 10 %, teras bangku untuk kemiringan 10 – 30 % dan teras gulud untuk kemiringan antara 30 – 50 %. Tanah kritis merupakan tanah-tanah yang tidak sesuai antara penggunaan dengan kemampuannya, telah mengalami, atau dalam proses kerusakan fisik/ kimia/biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya. Penanaman sengon di tanah-tanah kritis dapat membantu upaya rehabilitasi karena sengon cocok sekali dengan kriteria pohon-pohon prioritas dalam rehabilitasi lahan kritis antara lain sebagai berikut :
28
1.
Mampu tumbuh di tempat-tempat terbuka, di bawah sinar matahari penuh. Jadi termasuk pohon-pohon dari jenis intoleran dan pionir.
2.
Mampu bersaing dengan alang-alang dan gulma lainnya. Jadi, dipilih yang cepat tumbuh, pertumbuhan tingginya dan agresif (sengon merupakan salah satu pohon yang memiliki pertumbuhan tercepat di dunia).
3.
Mudah bertunas lagi bila terbakar atau dipangkas.
4.
Sesuai dengan keadaan tanah yang kurus dan miskin hara serta tahan kekeringan.
5.
Biji atau bagian untuk pembiakannya mudah diperoleh dan mudah disimpan.
6.
Disenangi oleh masyarakat dan bernilai ekonomis sehingga merangsang mereka untuk menanam dan memeliharanya. Dengan makin meluasnya lahan kritis khususnya di P. Jawa maka daerah
penanaman sengon pun tampaknya tersedia lebih luas lagi. Selain itu dengan lebarnya kisaran persyaratan tumbuh bagi pohon sengon maka untuk mencari daerah penanaman bagi keperluan budi daya sengon tidak akan sesulit seperti yang dibayangkan.
29
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Studi pustaka tentang hama sengon ini dilakukan di berbagai perpustakaan yang ada di Bogor, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo dan Malang. Di Bogor dikumpulkan sumber pustaka dari perpustakaan di lingkup IPB, perpustakaan Badan Litbang Kehutanan, dan perpustakaan Pusat Litbang Biologi LIPI. Di Jakarta dikunpulkan sumber pustaka dari perpustakaan Manggala Wanabakti. Di Bandung dikumpulkan sumber pustaka dari perpustakaan Fahutan UNWIM dan perpustakaan FMIPA ITB. Di Yogyakarta dan Solo dikumpulkan sumber pustaka dari perpustakaan Fahutan dan perpustakaan Faperta UGM, perpustakaan Faperta UNS. Terakhir di Malang dikumpulkan sumber pustaka dari perpustakaan Faperta UNIBRAW. Studi pustaka ini dilakukan selama tiga bulan, termasuk penyusunan skripsi, mulai dari bulan Mei - Juli 2010. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber-sumber pustaka yang ada di tiap perpustakaan tersebut di atas berupa majalah ilmiah, jurnal, laporan penelitian, skripsi, tesis dan desertasi tentang sengon dan hama sengon. Di tiap perpustakaan sumber pustka tersebut dicari pada katalog dalam kartu dan atau dalam komputer yang ada di tiap-tiap perpustakaan tersebut. Selain sumber pustaka yang ada di perpustakaan, dikumpulkan pula informasi tentang hama sengon ini melalui internet, terutama dari negara tetangga yang juga menanam atau mengusahakan sengon, misalnya Thailand, Malaysia dan Filipina. 3.3 Metode Penelitian Di tiap perpustakaan sumber pustka tersebut ditelusuri pada katalog dalam kartu dan atau dalam komputer yang ada di tiap-tiap perpustakaan tersebut. Bila sudah ditemukan bahan-bahan tersebut dipelajari secara singkat di ruang perpustakaan dan selanjutnya bagian-bagian atau seluruh naskahnya difotocopy, bila diijinkan oleh petugas perpustakaan yang bersangkutan. Bila tidak diijinkan,
30
bagian-bagian yang diperlukan disalin melalui tulisan tangan. Selain itu ditanyakan pula ke petugas perpustakaan setempat tentang sumber pustaka yang belum/tidak tercantum dalam katalog, misalnya skripsi mahasiswa dan laporan penelitian dosen. Setelah terkumpul bahan-bahan pustaka tentang hama sengon, selanjutnya bahan-bahan pustaka itu dipilah-pilah menjadi hama yang meyerang daun, pucuk/ cabang, kulit, batang, akar, dan bunga serta buah. Dan juga informasi tentang hama pada sengon yang mencakup morfologi, siklus hidup, pohon inang, daerah penyebaran, cara penyerangan, dampak serangan dan cara-cara pengendalian hama sengon. Setiap sumber pustaka tentang suatu jenis hama yang menyerang bagian pohon tertentu, dipilah-pilah lagi berdasarkan morfologi, daerah penyebaran, jenis-jenis pohon inang, cara penyerangan, dampak serangan dan cara-cara atau metode pengendaliannya. Pemilahan ini dilakukan untuk memudahkan dalam penyusunan skripsi.
31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Jenis-jenis hama yang menyerang tanaman sengon (selanjutnya disebut hama sengon) cukup banyak. Hama-hama tersebut ada yang menyerang daun, kulit, batang dan akar. Sementara dari penelusuran pustaka di beberapa perpustakaan yang dikunjungi peneliti tidak ditemukan informasi tentang hama bunga dan buah sengon tersebut. Jenis-jenis hama sengon yang sudah diketahui diuraikan di bawah ini. 4.1.1 Hama Daun 4.1.1.1 Eurema blanda a. Morfologi serangga Eurema blanda termasuk famili Pieridae, ordo Lepidoptera. Telur E. blanda berwarna putih, berbentuk lonjong, berukuran 1 - 1,5 mm. Telurnya diletakkan berkelompok pada permukaan daun tumbuhan inangnya (Gambar 4). Satu kelompok telur mengandung sekitar 50 telur (Saketi, 1989).
Gambar 4 Stadia telur dan larva E. blanda (Saketi, 1989 dan Anonim, 2010b). Larvanya (ulat) berwarna hijau muda, kepalanya berwarna hitam (Gambar 4). Pada sisi lateral tubuhnya terdapat garis berwarna putih, memanjang dari bagian dada sampai dengan abdomen. Menjelang stadium pupa, panjang tubuh larva adalah 2,5 cm dan tebalnya sekitar 4 mm. Pupa (kepompong) yang baru terbentuk, berwarna hijau kehitaman, yang lama-kelamaan
berubah
menjadi
kuning;
panjang
tubuhnya
1,5
cm.
Kepompongnya terlihat menggantung membentuk sudut sekitar 45º (Gambar 5).
32
Gambar 5 Stadia pupa E. blanda pada daun sengon ( koleksi pribadi Husaeni). Seluruh tubuh kupu-kupu warnanya kuning dan pada pinggir-pinggir sayapnya terdapat warna hitam (Gambar 6). Rentang sayapnya adalah 4,5 cm (Suratmo, 1962). Kupu-kupu betina mempunyai ciri-ciri yaitu pita hitam pada sayap-sayapnya lebih lebar dari pada yang jantan, dan terdapat bintik-bintik yang terang pada pita ini terutama pada sayap depan (Borror et al., 1992).
Gambar 6 Stadia imago Eurema blanda (Anonim, 2010a). b. Siklus hidup Eurema blanda berkembang melalui beberapa stadia mulai dari telur (3 - 4 hari), larva (ulat) 17 hari, kepompong 5 - 6 hari dan stadia dewasa atau kupu-kupu 10 hari. Siklus hidup serangga ini sekitar 36 hari (Suratmo, 1974, Natawiria, 1988). c. Daerah penyebaran Eurema blanda tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Asia Tenggara (Intari et al., 1990; Kalshoven, 1981). Penyebaran E. blanda sangat luas mulai dari Afrika, Tiongkok, Jepang, Korea, Asia Tenggara, Australia, Asia Selatan sampai Kepulauan Pasifik, dan di Indonesia banyak tersebar di Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan (Suratmo, 1962).
33
d. Pohon inang Selain menyerang Paraserianthes falcataria, E. blanda juga menyerang Dadap (Erythrina sp), Johar (Cassia siamea), Turi (Sesbania grandifora), Jengkol (Pithecelobium lobatum) dan Petai (Parkia speciosa) (Suratmo, 1974). Larva E. blanda pada umumnya menyerang tanaman Leguminosae (sekarang famili Fabacecae) (Kalsoven, 1981). Saketi (1989) mengadaan percobaan tentang jenis pohon inang yang paling disukai oleh E. blanda.
Pada percobaan tersebut
diberikan daun dari 10 jenis ;pohon yang tergolong famili Fabaceae pada ulat E. blanda, yaitu Paraserianthes falcataria, Cassia siamea, Pithecelobium lobatum, Calliandra callothyrsus, C. tetragona, Acacia mangium, Bauhinia purpurea, Gliricidia maculata, Caesalpinia pulcherima dan Pterocarpus indicus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa daun P. falcataria adalah yang paling disukai oleh ulat E. blanda. Daun jenis pohon lain yang diuskai berikutnya berturutturut adalah Cassia siamea, P. lobatum, C. callothysrsus dan C. tetragona. Jenis pohon lainnya tidak disukai E. blanda. Ada dua pendapat mengenai pemilihan tanaman inang oleh serangga yaitu : 1) Nutrisi bukan merupakan faktor yang menyebabkan serangga menyukai suatu jenis tanaman karena secara umum daun-daun tanaman cukup mengandung nutrisi (Detheir, 1974; Lipke dan Frankel, 1956 dalam Wulandari, 2003), namun faktor yang menyebabkan suatu serangga menyukai jenis tanaman adalah faktor fisik (bentuk daun, halus, lunak dan tidak berbulu) dan faktor kimia (glukosa, alkaloid dan minyak-minyak esensial); 2) Nutrisi merupakan faktor yang menyebabkan suatu serangga menyukai jenis tanaman tertentu (Kennedy dan Both, 1981 dalam Wulandari, 2003). Komposisi zat-zat nutrisi pada daun sengon adalah protein 19,84 %, lemak 6,02 %, serat kasar 28,28 %, kalsium (Ca) 1,68 % dan posfor (P) 0,29 % (Yulifah, 1991 dalam Nasution, 1994), sehingga pohon sengon sangat disukai oleh E. blanda. e. Cara penyerangan Eurema blanda aktif terbang pada siang hari, menyenangi tempat-tempat yang terang dan lembab. Eurema blanda meletakkan telurnya pada permukaan atas daun sengon atau pohon inang lainnya. Telur E. blanda diletakkan secara berkelompok pada permukaan atas daun. Ulat-ulat yang keluar dari kelompok
34
telur akan segera memakan daun-daun muda dari tumbuhan inangnya. Ulat yang lebih tua mampu memakan daun yang lebih tua pula. Ulat memakan daun sengon secara berkelompok pada daun dan seluruh helaian daun kecuali tulang daun primer (Gambar 7). Sewaktu akan menjadi pupa, ulat turun untuk berkepompong pada tumbuhan lain atau pada ranting-ranting pohon inangnya (Suratmo, 1974).
Gambar 7
Ulat E. blanda yang menyerang daun sengon (koleksi pribadi Husaeni).
f. Dampak serangan Populasi E. blanda berfluktuasi secara tajam. Populasi E. blanda menurun pada musim kemarau dan meningkat pada musim hujan, kadang-kadang sampai terjadi ledakan populasi. (Irianto et al., 1997). Oleh karena itu serangan hama ini akan meningkat pada musim hujan. Serangan yang hebat oleh E. blanda pada tegakan sengon akan menyebabkan terjadinya penggundulan tanaman dan penggundulan ini akan menyebabkan pertumbuhan pohon terganggu sehingga riap tegakan akan berkurang. Namun sampai sekarang belum ada penelitian tentang pengaruh serangan E. blanda pada penurunan riap tersebut.
35
g. Cara pengendalian a. Pengendalian hayati (biologi) Di areal HTI PT Kiani Lestari di Batu Ampar, Kalimantan Timur, serangan E. blanda pada tegakan sengon terjadi 1 – 2 kali dalam setahun, menyerang semua umur tanaman (Suhendi dan Sembiring, 1998). Pengendalian yang dilakukan di areal HTI itu adalah dengan menggunakan parasitoid, yaitu Brachimeria femorata (Chalcididae, Hymenoptera) yang memarasit kepompong, Apanteles javensis yang memarasit telur dan
A. tabrobanae (Braconidae,
Hymenoptera) yang memarasit ulat. Apanteles spp ini mampu membunuh telur dan ulat sampai sebesar 24 % dan B. femorata mematikan kepompong sampai sebesar 75 %. Cara pengendalian biologi lainnya adalah dengan menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis Berliner (Bt) (Hardi, 1996). Bacillus thuringiensis mempunyai ciri khas, yaitu mampu memproduksi tubuh paraspora yang disebut kristal. Kristal tersebut merupakan kompleks protein yang mengandung toksin dengan asam amino terbanyak, terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, dan 5 % terdiri dari karbohidrat yaitu dan glukosa. Infeksi Bt pada serangga hama dimulai saat kristal protein bakteri termakan oleh larva serangga. Kristal akan terurai oleh enzim protease menjadi molekul-molekul kecil yang toksik. Cairan pencernaan dalam usus tengah serangga akan mengalami hidrolisis. Hasil hidrolisis ini menghasilkan fraksifraksi yang lebih kecil dan bersifat toksik pada dinding usus serangga sehingga serangga menjadi sakit. Gejala awal serangan Bt pada larva serangga adalah menurunnya aktivitas makan, kemudian berhenti, gejala muntah (keluar cairan dari mulut serangga) dan diare (kotoran serangga tidak padat). Pada usus serangga terjadi paralisis kemudian aktivitas gerakannya menurun, lemah dan kurang peka terhadap sentuhan. Pada infeksi lebih lanjut paralisis dapat terjadi pada seluruh tubuh dan akhirnya serangga mati. Larva yang mati terlihat berwarna coklat tua atau hitam. Perubahan warna ini dimulai dari bagian depan tubuh, terus ke bagian belakang tubuh. Tubuh serangga kemudian mengering dan mengkerut dengan integumen yang ma-sih utuh. Kadang-kadang Bt tidak mematikan larva dan larva dapat berkembang menjadi imago. Imago
yang terbentuk biasanya
36
berukuran kecil, cacat, umur hidupnya pendek dan kemampuan bertelurnya menurun atau mandul. Keunggulan Bt adalah mampu menginfeksi serangga yang spesifik, mampu mengendalikan hama dari ordo Lepidoptera, Diptera, Coleoptera dan juga ada yang efektif terhadap nematoda fitofag. Kelemahan Bt adalah bersifat labil di ba-wah sinar ultra violet maupun suhu tinggi. Hal ini menyebabkan stabilitas dan persistensi Bt di lapangan tidak lama. Selain keragaman varietas dan stabilitas kristal protein di lapangan, faktor pembatas lain penggunaan Bt adalah pH permukaan daun yang tinggi sehingga pada daun sudah terjadi hidrolisis kristal sehingga daya racun bakteri menurun dan pada tanaman tertentu ada yang mengandung anti bakteri. Aplikasi Bt di lapangan sebaiknya pada waktu sore hari untuk menghindari pengaruh sinar ultra violet pada bakteri. b. Penggunaan insektisida botani Narulita (2003) mencoba mengadakan percobaan pengendalian E. blanda dengan menggunakan ekstrak biji pucung.
Sebanyak 132 gram daging biji
pucung dicampur dengan pelarut air dan NaOH 0,1 N Campuran tersebut diblender kemudian disaring.
sebanyak 200 ml.
Konsentrasi ekstrak yang
digunakan yaitu 0 % (kontrol), 5 %, 10 %, 15 %, 20 % dan 25 %. Ekstrak biji pucung tersebut dioleskan ke tubuh ulat E. blanda. Ekstrak biji pucung dengan pelarut air menimbulkan kematian 80 % pada ulat E. blanda pada konsentrasi 15 %. Pada ekstrak biji pucung dengan menggunakan pelarut NaOH 0,1 N kematian 100 % ulat E. blanda terjadi pada konsentrasi 5 %. Dengan metoda pengolesan ini terbukti bahwa ekstrak biji pucung dapat bekerja sebagai insektisida kontak. Nikotin yang diekstrak dari daun tembakau telah diuji cobakan umtuk pengendalian ulat instar 3 dari E. blanda. Kosentrasi yang digunakan adalah 0 % (kontrol), 0,5 %, 1 % dan 2 % dengan menggunakan 2 macam perlakuan, yaitu dengan cara menyemprotkan langsung pada ulat yang ada di pohon sengon dan menyemprotkan pada daun tanaman sengon yang berumur 1 tahun sebelum ditulari ulat. Ternyata nikoton ini bersifat sebagai racun kontak dan racun perut. Pada konsentrasi 0,5 % kematian ulat karena racun kontak sebesar 74,4 % dan karena racun perut sebssar 87,2 % (Hardi dan Anggraeni, 2003).
37
Suharti (2002) menggunakan insektisida botani yang diekstrak dari berbagai jenis tanaman, yaitu: 1) Rebusan kulit buah mahoni dengan takaran 200 gram/liter air atau 4 buah kulit buah mahoni dalam 2 liter air (direbus sampia menjadi 1 liter), atau rendaman kulit buah mahoni yang telah ditumbuk dalam air dingin atau air panas, disemprotkan pada ulat pada saat aktif makan. 2) Perasan umbi gadung yang telah diparut dengan takaran 200 gram/liter air langsung disemprotkan pada ulat. 3) Campuran 50 gram buah maja (berenuk) dengan 25 gram tembakau dalam 1 liter air, langsung disemprotkan pada ulat uyang sedang aktif makan. 4) Larutan daun kenikir (Tagetes spatula) atau daun babadotan (Ageratum conyzoides) dengan konsentarsi laturan 1 : 10 (berat/volume). 4.1.1.2 Eurema hecabe a. Morfologi serangga Eurema hecabe termasuk famili Pieridae, ordo Lepidoptera. Telur E. hecabe berwarna putih, berbentuk lonjong, ukurannya adalah 1- 1,5 mm. Telur tersebut diletakkan oleh imagonya satu per satu pada daun pohon inangnya (Gambar 8).
Gambar 8 Stadia telur E. hecabe (Anonim, 2010c). Ulatnya berwarna hijau dengan garis putih memanjang pada sisi badan, kepalanya juga berwarna hijau. (Gambar 9). Menjelang stadium pupa, panjang tubuh ulat adalah 2,5 cm dan tebalnya sekitar 4 mm. Pupa yang baru terbentuk berwarna hijau kehitaman, yang lama-kelamaan warnanya berubah menjadi kuning; panjang tubuhnya 1,5 cm. Kupu-kupunya bersayap kuning dengan garis hitam di tepinya. Rentang sayap mencapai 4,5 cm.
38
Gambar 9 Ulat Eurema hecabe (Anonim, 2010d). b. Siklus hidup Sama seperti E. blanda, E. hecabe berkembang melalui beberapa stadia yaitu stadium telur 3 - 4 hari, stadium larva (ulat) 17 hari, stadium kepompong 5 6 hari dan stadium dewasa atau kupu-kupu 10 hari. (Suratmo, 1974; Natawiria, 1988). Siklus hidup serangga ini sekitar 36 hari. c. Daerah penyebaran Penyebaran E. hecabe sangat luas, mulai dari Afrika, Cina, Jepang, Korea, Asia Tenggara, Australia, Asia Selatan sampai Kepulauan Pasifik. Di Indonesia, E. hecabe terdapat di Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan (Suratmo, 1962). d. Pohon inang Pohon inang E. hecabe adalah sengon (Paraserianthes falcataria), dadap (Erythrina sp), johar (Cassia siamea), turi (Sesbania grandifora), jengkol (Pithecelobium lobatum) dan petai (Parkia speciosa) (Suratmo, 1974). Wulandari (2000) mencoba meneliti jenis pohon inang yang paling disukai oleh ulat E. hecabe dengan cara memberikan daun dari 5 jenis pohon, yaitu sengon, johar, turi dan jayanti (Sesbania sesban) dan kaliandra bunga merah putih. Ternyata daun jayanti adalah yang paling disukai oleh ulat E. hecabe, diikuti oleh daun johar dan sengon. e. Cara penyerangan Hama ini menyerang daun sengon, makan secara sendirian (soliter) pada daun dan seluruh helaian daun sengon kecuali tulang daun primer (Gambar 10). Waktu serangan terjadi pada musim kemarau dan musim hujan. Serangan hama ini cukup berarti apabila menyerang di persemaian atau tanaman muda karena
39
dapat menggunduli daunnya, akibatnya pertumbuhan tanaman terganggu (Intari et al., 1990; Suratmo, 1974).
Gambar 10 Ulat E. hecabe yang menyerang daun jayanti (Husaeni, 1987). f. Dampak serangan Serangan hama ini cukup berarti apabila menyerang anakan sengon di persemaian atau tanaman muda karena dapat menggunduli daunnya, akibatnya pertumbuhan tanaman terganggu (Intari et al., 1990; Suratmo, 1974). Serangan pada pohon sengon yang sudah besar jarang terjadi, kecuali pada tajuk bagian bawah (Gambar 11). Pengaruh serangan E. hecabe pada anakan sengon di persemaian telah diteliti oleh Efendi (2001). Sebanyak 500 anakan yang baru disapih dalam kantong plastik (baru mempunyai 2 – 4 daun majemuk) dipelihara di persemaian dan dibiarkan agar diserang E. hecabe secara alami. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 2 bulan (April – Mei 2001). Anakan dianggap telah diserang bila pada daun sengon telah terdapat telur E. hecabe. Selama periode sebulan terjadi 2 periode serangan. Periode pertama terjadi 3 hari setelah penyapihan dan periode kedua 3 minggu kemudian. Pada periode pertama persentase serangan mencapai 8,1 %, persentase anakan yang mati 1,2 % dan yang sembuh (tumbuh kembali) sebesar 12,24 % dari total anakan. Pada periode kedua persentase serangan mencapai 3,45 %, presentase anakan yang mati sebesar 0,2 % dan yang pulih 0,8 % dari total anakan. Serangan yang berulang-ulang pada anakan di persemaian dapat mematikan bibit.
40
Gambar 11 Dampak serangan larva E. hecabe (Anonim, 2010b). g. Cara pengendalian Penelitian tentang pengendalian E. hecabe dengan menggunakan insektisida botani telah dilakukan oleh Winata (2001) dengan menggunakan ekstrak daun pucung atau pakem (Pangium edule). Winata menyemprot ulat E. blanda yang sengaja ditularkan pada bibit sengon menggunakan ekstrak daun pucung dengan konsentrasi 2 x103 ppm, 3 x103 ppm, 5 x 103 ppm, 8 x 103 ppm dan 104 ppm (b/v). Penggunaan ekstrak daun pucung pada konsentrasi 2 x103 ppm, menghasilkan persentase kematian ulat sebesar 13 %, kemudian persentase kematian ini meningkat pada konsentrasi 3 x103 ppm (30 %), konsentrasi 5 x 103 ppm, (53 %), konsentrasi 8 x 103 ppm (80 %), dan konsentrasi 104 ppm (100 %). Insektisida botani yang disarankan oleh Suharti (2002) dan Hardi dan Anggareani (2003) untuk pengendalian E. blanda, dapat pula digunakan untuk pengendalian E. hecabe. Bacillus thuringiensis merupakan biopestisida yang efektif untuk disemprotkan pada saat ulat berada pada fase awal atau pada saat aktif makan (Hutacharern, 1993). Pengendalian E. hecabe secara mekanik dapat dilakukan di persemaian dengan membuat kurungan dari kawat kasa yang dipasang pada bedeng sapih. Ukuran kurungan disesuaikan dengan ukuran bedeng sapih, misalnya 5 m x 1 m.
41
Pemasangan kurungan pada bedeng sapih bertujuan untuk mencegah kupu-kupu kuning hinggap pada daun anakan sengon. 4.1.1.3 Pteroma plagiophleps a. Morfologi serangga Pteroma
plagiophleps
tergolong
dalam
famili
Psychidae,
ordo
Lepidoptera. Famili Psychidae disebut sebagai famili ulat kantong karena ulatnya selalu berada dalam suatu kantong (Gambar 12). Sesuai dengan namanya ulat hidup di dalam kantong dengan ukuran dan bentuk yang bermacam-macam. Kantong yang dibuat oleh ulat P. plagiophleps berbentuk kerucut, terbuat dari serpih-serpih daun. Kantongnya diperbesar bila ukuran ulatnya membesar. Ukuran panjang kantong tidak lebih dari 16 mm (Hutacharern, 1993). Yang unik dari P. plagiophleps adalah serangga betinanya tidak bersayap, ngengat jantan berukuran kecil dengan sayap yang berkembang baik. Rentang sayap 1,3 - 1,4 cm, warna tubuhnya coklat muda. Ngengat betina tidak bersayap dan tidak berkaki dan bentuknya seperti ulatnya. Telur berwarna putih krem berbentuk elips, berukuran 0,8 x 0,75 mm. Ulatnya berwarna putih krem dengan bintik-bintik coklat pada kepala dan toraks. Ulat yang telah berkembang penuh berukuran panjang 1 cm melebar di bagian depan dan mengecil di bagian belakang (Nair dan Mathew, 1988, dalam Hutacharern, 1993). Pupanya dimorfis (dua bentuk), pupa jantan mempunyai tipe eksarata (tidak diselubungi selaput), berukuran 2 x 4 mm berwarna coklat dan warna abdomen lebih pucat dan mesotoraxnya jelas (Gambar 13). Bentuk pupa betina menyerupai ulatnya, berukuran 2 x 10 mm, abdomen mampu melakukan gerakan meloncat. Ovipositor (alat peletak telur) berwarna coklat tua seperti sendok (Nair dan Mathew, 1988, dalam Hutacharern, 1993). b. Siklus hidup Fase telur berlangsung selama 10 hari, larva 49 – 62 hari dan pupa 14 hari. Serangga dewasa hidup sekitar 4 hari. Masa perkembangan total serangga jantan 2 bulan dan yang betinanya 2,5 bulan (Nair dan Mathew, 1988, dalam Hutacharern, 1993).
42
a
b
c
d
Gambar 12 Pteroma plagiophleps. a, ulat yang terbungkus dalam kantong; b, pupa; c, daun yang dimakan ulat kantong, d, kumpulan pupa pada batang sengon (Kalshoven, 1981). c. Daerah penyebaran Pteroma plagiophleps tersebar mulai dari Sri Lanka, India, Bangladesh, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. d. Pohon inang Pteroma plagiophleps tergolong serangga polifagus (memakan berbagai jenis tumbuhan dari famili dan ordo yang berbeda). Tanaman inangnya sangat bervariasi mulai dari tumbuhan bawah, perdu, sampai pohon seperti P. falcataria (Sengon), A. mangium (Akasia), A. auliculiformis (Akor), Rhyzophora (Bakau), Eucalyptus spp., Pinus merkusii, Hevea brasiliensis, Shorea spp., Terminalia, tanaman Palmae dan lain-lain (Suharti et al., 2000). e. Cara penyerangan Biasanya hama ulat kantong ini mewabah pada saat musim kering yang berkepanjangan. Pada tahun 2001, serangan hebat pada pohon sengon di Bogor terjadi menjelang musim kemarau (April - Juni).
43
Karena tidak bersayap, serangga betina P. plagiophleps tetap hidup di dalam kantong. Serangga jantan yang bersayap medatangi serangga betinanya dan melakukan perkawinan di dalam kantong. Telur-telurnya juga diletakkan di dalam kantong. Setelah menetas, ulat-ulat mudanya akan keluar dari kantong, bergelantungan dengan menggunakan benang sutera yang dikeluarkannya. Bila ada tiupan angin agak kencang, benang-benang sutera ini akan putus dan ulatulatnya akan tersebar sesuai dengan arah angin. Bila kebetulan ulat itu terbawa ke daun sengon, ulat itu akan mulai memakan daun sengon yang cocok. Ulatnya memakan dari arah bawah daun, mengonsumsi lapisan epidermis sisi bawah dan jaringan mesopil, dan meninggalkan lapisan epidermis sisi atas daun. Kemudian ulat biasanya pindah ke cabang-cabang pohon dan sering juga ke batang pohon utama untuk memakan lapisan permukaan kulit yang hidup sehingga meninggalkan luka pada batang. Menjelang menjadi pupa, kantong itu berubah bentuk menjadi bentuk elips (Gambar 13) dan menggantung dengan menggu-nakan benang sutera pada dahan. Pada serangan yang hebat, ribuan kantong terlihat menggantung pada dahan (Kalshoven, 1981).
Gambar 13 Stadia pupa Pteroma plagiophleps (Hutacharern, 1993). f. Dampak serangan Sampai tahun 1970-an, ulat kantong P. plagiophleps hanya dikenal sebagai pemakan daun yang tidak berarti pada pohon asam (Tamarindus indica) di India dan Sri Lanka (Speight dan Wylie, 2000). Serangga ini menimbulkan penggundulan hebat pada tanaman muda sengon di Kerala, India (Nair et al.,
44
dalam Speight dan Wylie, 2000), dan sejak itu menjadi hama penting di beberapa Negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Peledakan populasi P. plagiophleps yang menimbulkan penggundulan daun umumnya hanya terjadi 1 – 2 kali setahun, biasanya hanya terjadi pada bagian-bagian kecil dalam hutan tanaman sengon. Beberapa perusahaan HTI di Sumatera telah melaporkan adanya serangan hebat pada hutan tanaman sengon. Ulat kantong ini memakan daun dan kulit pohon dalam jumah yang banyak. Serangan hama ini biasanya terjadi secara berulang pada bidang-bidang tanaman kecil secara endemik (Nair dan Sumardi, 2000). Serangan hebat secara berulang dapat menyebabkan terjadinya die back pada pohon. Suatu tanaman sengon yang berumur 5 tahun di Sumatera Selatan telah menderita serangan hebat antara tahun 1994 – 1997 (Zulfiah, 1998 dalam Nair dan Sumardi, 2000). Sampai saat ini di Indonesia belum ada penelitian tentang pengaruh serangan hama ini baik terhadap kematian pohon maupun riap tegkan sengon. Di Kerala, India, pada hutan tanaman sengon seluas 20 ha, dalam periode 3 tahun P. plagiophleps mematikan 22 % tanaman sengon yang berumur 3 – 6 tahun dan merusak pohon sengon lain sebesar 17 % (Nair dan Mathew, 1992, dalam Nair, 2001). g. Cara pengendalian Secara umum, hama ulat kantong dapat dikendalikan dengan dua cara, yakni cara kimiawi dan cara hayati dengan menggunakan musuh alami. Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida sistemik dengan cara diinfus atau disuntikkan pada batang tanaman. Hutacharern (1993) menyarankan untuk menggunakna insektisida trichlorfos (95 % WP 15 g) atau carbaryl (85 % WP 60 g dalam 20 liter air) dan disemprotkan ke daun. Nair dan Mathew (1988, dalam Hutacharerrn.1993) menganjurkan untuk menggunakan methyl parathion 0,5 - 1,0 %, tetapi methyl parathion sudah dilarang untuk digunakan di Indonesia (Da-dang, 2010). Ulat kantong
P. plagiophleps dapat pula dikendalikan dengan
menggunakan biopestisida berupa jamur Beauveria bassiana, yang merupakan salah satu jenis jamur yang bersifat patogenik terhadap serangga. Jamur B. bassiana dapat membunuh ulat kantong dengan cara menginfeksi langsung
45
melalui kutikula serangga. Spora jamur yang jatuh pada permukaan kutikula berkecambah dan untuk menembus lapisan kutikula digunakan benang hifanya. Setelah mencapai saluran pembuluh darah, jamur tumbuh dengan pesat sehingga nutrisi di dalam tubuh serangga terkuras, darah menjadi kental, dan akhirnya mati (BP2TP, 2007). Pengendalian hama ulat kantong menggunakan insektisida botani, berupa
juga dapat dilakukan dengan campuran 1 kg daun dan batang
tembakau yang dihancurkan, ditambah 1 sendok teh sabun colek dan 15 liter air. Campuran tersebut direndam selama 24 jam. Setelah itu campuran disaring dan siap untuk disem-protkan (Speight dan Wylie, 2001). Insektisida botani yang disarankan Suharti (2002) untuk pengendlian E. blanda, dapat pula digunakan untuk pengendalian ulat kantong ini. Hama ulat kantung ini memiliki musuh alami yang dapat digunakan untuk usaha pengendalian populasinya, yaitu Nealsomyia rufella, Exorista psychidarum, Thyrsocnema caudagalli, dan beberapa nematoda Entomophagus (Kalshoven, 1981). 4.1.1.4 Ferrisia virgata a. Morfologi serangga Ferrisia
virgata
atau
Pseudococcus
virgatus
tergolong
famili
Pseudococcidae, ordo Homoptera. Serangga ini sering disebut sebagai kutu dompol. Bagian tubuh kutu dompol, terutama punggungnya tertutup oleh lapisan lilin berwarna putih dan tebal.
Pada bagian ruas-ruas tubuhnya yang masih
terlihat jelas hanya batas kepala; batas dada dan perut tidak jelas lagi. Bentuk tubuh serangga betina oval memanjang dengan sepasang garis submedian memanjang yang jelas dan semacam benang tipis yang berlilin, dan membentuk ekor yang jelas (Kalshoven, 1981, Gambar 14).
46
Gambar 14 Kutu dompol (Ferrisia virgata) (Kalsoven, 1981). b. Siklus hidup Data tentang siklus hidup F. virgata kadang-kadang saling bertolak belakang, mungkin karena tumbuhan inang yang digunakan untuk penelitiannya berbeda. Pada tanaman Solanum melongena, stadium nimfa jantan antara 20 – 60 hari dan nimfa betina 20 – 45 hari. Pada tanaman jute rata-rata stadium telur 4 – 9 hari, dan perkembangan nimfa lebih cepat dari pada di S. melongena. Serangga betina hidup selama 1 – 2 bulan dan yang jantan hanya 1 – 3 hari (Kalshoven, 1981). Serangga betina mampu bertelur 200 - 450 butir. Reproduksi dapat terjadi secara seksual tetapi yang umum adalah dengan cara partenogenesis. Sekitar 10 hari setelah ganti kulit terakhir, serangga betina mulai meletakkan telur dan terrus berlangsung sampai 1 bulan. c. Daerah penyebaran Daerah penyebaran kutu dompol adalah di seluruh daerah pantropika, termasuk Indonesia, dan juga terdapat juga di Australia dan Amerika Serikat. d. Pohon inang Ferrisia virgata tergolong serangga polifag dan tidak didatangi semut. Pohon inang utama di Indonesia adalah lamtoro (Leucaena glauca) dan dari pohon ini kemudian menyebar untuk menyerang pohon kopi, coklat, jeruk dan
47
lain-lain (Kalshoven, 1981). Serangga ini juga merupakan hama pada beberapa jenis tanaman sayuran dan tanaman hias dan di Bangladesh menjadi hama penting pada tanaman jute (Hibiscus cannabinus). Menurut Suharti (2002), jenis-jenis pohon inang serangga ini adalah sengon, Anacardium occidentale (jambu mente), Casu-arina equisetifolia (cemara), Ficus elastica (karet hutan), Hevea brasiliensis (karet), L. glauca (lamtoro), L. leucocephala (lamtorogung), Samanea saman (ki hujan) dan Terminalia catapa (ketapang). e. Cara penyerangan Nimfa muda F. virgata (crawler) dapat bergerak dengan cepat pada saat mencari tunas dan daun muda untuk didiami. Cairan pohon di tempat itu dihisapnya. Kutu dompol ini mengeluarkan embun madu yang banyak tetapi embun madu ini tidak didatangi semut, mungkin karena tertutup rapat oleh lapisan lilin yang dikeluarkan serangga ini (Kalshoven, 1981). Pohon yang terserang hama ini tampak memutih karena tertutup oleh lapisan lilin seperti salju atau butir-butir putih hampir pada seluruh bagian pucuk dan menutupi seluruh daun (Gambar 15). Populasi hama ini mencapai puncaknya pada musim kemarau.
Gambar 15 Tanaman lamtoro terinfeksi oleh Ferrisia virgata (Kalshoven, 1981).
48
f. Dampak serangan Kutu dompol menyerang bibit sengon di persemaian dan tanaman muda dengan cara mengisap cairan pucuk sehingga bibit atau tanaman muda tajuknya kering. Jika populasi kutu sangat tinggi dapat menyerang bagian tangkai daun atau cabang dan pangkal buah sehingga buah mengerut, kering dan gugur (Suharti, 2002). g. Cara pengendalian Pengendalian kutu dompol akak sulit terutama jika serangannya sudah menyeluruh pada sutau pohon. Suharti (2002) menyarankan untuk menebang atau memotong bagian tanaman yang terserang. Suharti juga menyarankan untuk menggunakan rebusan atau rendaman kulit buah mahoni yang ditumbuk, ditambah 1 sendok sabun colek dan diaduk secara merata, kemudian disemprotkan pada tanaman yang terserang kutu dompol. 4.1.1.5 Hama daun lainnya Pada tanaman sengon masih terdapat serangga hama lain yang menyerang daun, namun uraian tentang hama-hama tersebut dalam kepustakaan hampir tidak ada. Hama-hama lain itu semuanya tergolong famili Psychidae, ordo Lepidoptera, yang merupakan famili ulat kantong. Beberapa hama lain yang menyerang daun sengon tersebut adalah (Suharti, 2002): 1. Psyche sp. : Hampir mirip dengan Pteroma tetapi ukuran kantongnya lebih kecil, bentuk kantongnya juga juga seperti kerucut. 2. Amatissa sp. : hampir mirip dengan Acanthopsiche. Ulat hidup dalam kantong ukuran 6 x 36 mm, bentuk seperti kerucut terbuka pada kedua ujungnya. Kulit kantong halus. Ulat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan cara berjalan menggunakan 3 pasang kaki torax sambil membawa kantongnya dalam posisi menggantung atau tegak ke arah atas. Pada waktu berjalan biasanya mengeluarkan kepala, dada dan sebagian ruas perutnya keluar dari kantong. 3. Cryptothelea spp. : Ulat terbungkus dalam kantong yang berukuran agak besar, sekitar 5 – 6 cm, permukaan kulit kantongnya kasar. Bentuk kantong seperti peluru, mengecil di bagian ujung-ujungnya. Kulit kantong terdiri dari anyaman serpih-serpih daun, kotoran, ranting atau cabang kecil (Suharti et al., 2000a).
49
4.2 Hama Kulit 4.2.1 Indarbella acutistriata a. Morfologi serangga Indarbela
acutistriata
tergolong
famili
Indarbelidae
(sinonim
Metarbelidae, Arbelidae, Squamuridae), ordo Lepidoptera. Famili ini tergolong serangga nokturnal (aktif pada malam hari). Telur I. acutistriata berbentuk lonjong, berwarna putih, panjangnya 1 mm. Telurnya terdapat dalam kelompok pada kulit pohon sengon (Suharti et al., 2000). Ulat dewasa mempunyai panjang tubuh 5 – 6 cm dan terdapat belangbelang yang melintang pada setiap ruas tubuhnya, berwarna coklat kehitaman atau coklat tua (Suharti et al., 2000). Menurut Hill (1983, dalam Husaeni et al., 1998), warna tubuhnya abu-abu tua, dengan panjang tubuh 4 – 4,5 cm, kepalanya berwarna hitam, dengan mandibel (rahang) yang kuat. Pada setiap ruas tubuhnya terdapat bercak-bercak berwarna lebih gelap, pada bagian atas ruas pertama dada (thorax) terdapat pelat berwarna hitam Kulit tubuh ulat halus, pada segmen tubuhnya terdapat selaput berwarna belang-belang, melingkari tubuh, berwarna coklat kehitaman (Hutacharern, 1993, Suharti et al., 2000) (Gambar 16).
Gambar 16 Ulat hama I. acutistriata (Suharti, 2002). Pupa berwarna coklat dengan panjang tubuh 2 cm. Ngengat I. acutistriata mempunyai rentang sayap 4 – 5 cm (Hill, 1983, dalam Husaeni et al., 1998). Menurut Suharti et al., 2000, rentang sayapnya hanya 3 cm, berwarna putih kecoklatan. Pada seluruh sayapnya terdapat bintik-bintik berwarna abu-abu tua sampai hitam. Bercak-bercak ini lebih banyak terdapat di pangkal sayap. Sayap
50
depan lebih panjang dari pada sayap belakang. Jika direntangkan maka sebagian abdomen akan memanjang melebihi garis dasar sayap bagian bawah (Hill, 1983 dalam Husaeni et al., 1998, Hutacharern, 1993) (Gambar 17).
Gambar 17 Ngengat I. acutistriata (Suharti, 2002). b. Siklus hidup Rata-rata stadium telur 2 bulan, ulat 8 bulan, pupa 3 minggu dan serangga dewasa 10 hari (Suharti et al., 2000). Selama hidupnya pada siang hari ulat berada di dalam liang gerek yang panjangnya 10 – 15 cm dan pada malam hari keluar untuk makan (Gambar 18). Pupanya berada di liang gerek.
Gambar 18 Indarbela acutistriata. a, gejala serangan pada kulit; b, larva; c, pupa; dan d, ngengat (Tjoa Tjien Mo, 1956).
51
Menurur Beeson (1961), siklus hidup I. acutistriata bersifat tahunan dan ngengat muncul pada bulan Mei – Juli, sedangkan di Myanmar ngengat muncul dalam dua periode, yaitu pada bulan Maret – April dan pada musim hujan Oktober – November. c. Daerah penyebaran Daerah penyebaran I. acutistriata selain di Indonesia juga di negara-negara Asia Timur (Hutacharern, 1993). Di Indonesia paling banyak terdapat di Pulau Jawa (Kalshoven, 1981). Serangga ini terdapat pula di India dan Myanmar (Beeson 1961). d. Pohon inang Indarbela acutisriata tergolong serangga polifag. Di KPH Kediri, selain menyerang pohon sengon, hama ini menyerang juga pohon petai (Parkia speciosa), jengkol (Pithecelobium lobatum), sirsak (Annona muricata), srikaya (Annona squamosa), johar (Cassia siamea), akor (Acacia auriculiformis), cengkeh (Syzigium aromatica), advokat (Persea americana) dan rambutan (Niphelium lappaceum) (Husaeni et al. 1998). Menurut Hutacharern (1993) serangga ini menyerang Acacia mangium, A. auriculiformis, A. catechu, Albizia chinencis, A. procera, Artocarpus integra, Casuarina equisetifolia, Eucaliyptus camaldulensis, E. deglupta, Gmelina arborea, Langerstroemia speciosa, Mangifera indica, Pelthopurum pterocarpum, Samanea saman, Syzigium comunii, Tectona grandis, Terminalia mycrocarpa, T. superba dan Xylia xylocarpa. Beeson (1961) menyatakan bahwa I. acutistriata menyerang pohon Anogeissus, Bauhinia, Bombax, Bassia, Boswelia, Berrya, Cassia, Callicarpa, Cratoxylon, Eugenia, Grewia, Kydia, Mallotus, Milletia, Mitragyna, Phyllanthus, Psidium, Shorea, Stephegyne, Strycnos, Woodfordia dan Zizyphus. Menurut Kalshoven (1981), I. acutistriata menyerang tanaman kakao dan kedinding (Albizia lebbeck).
52
e. Cara penyerangan Telurnya diletakkan secara berkelompok, berjumlah antara 15 – 20 butir, melekat satu sama lain, karena adanya zat semacam perekat tak berwarna yang dihasilkan oleh ngengat betina. Satu ekor ngengat betina mampu menghasilkan 2.000 butir telur selama hidupnya. Kelompok telur I. acutistriata diletakkan oleh ngengat betinanya pada luka yang ada karena cabang patah, atau pada luka-luka lain pada batang. Ulat yang baru ditetaskan dari telur memakan kulit sengon bagian luar. Setelah agak besar ulat mulai menggerek batang arah horizontal kemudian menuju empulur dan menggerek ke arah vertikal, sekedar untuk tempat berlindung ulat dan melangsungkan kepompong (pupasi) di kemudian hari (Suharti et al., 2000). Ulat makan pada malam hari, setelah matahari terbenam, dengan cara keluar dari liang gerek, dan memakan kulit bagian luar dari batang. Bekas gigitan ulat pada permukaan kulit akan terlihat berwarna coklat, yang dapat dibedakan dengan warna kulit asli pohon sengon yang berwarna putih keabu-abuan. Di permukaan kulit juga akan tampak semacam terowongan yang terbuat dari masa partikelpartikel kulit batang dan kotoran ulat yang direkat oleh semacam perekat yang dikeluarkan oleh ulat. Terowongan ini bersambung ke liang gerek, dan digunakan juga untuk tempat berlindung ulat pada siang hari (Husaeni et al., 1998). Seekor larva dapat merusak kulit pada areal kulit yang luas (Hutacharern, 1993). Kadangkadang xylemnya dirusak (Kalshoven, 1981) (Gambar 19). Menurut Beeson (1961) biasanya ulat membuat liang gerek yang pendek di dalam kayu pada persimpangan cabang pohon yang rusak atau luka (Gambar 20).
53
Gambar 19 Gejala serangan oleh ulat I. acutistriata pada permukaan batang sengon (Husaeni et al, 1998).
Gambar 20 Gejala serangan dan bentuk kerusakan oleh larva I. acutistriata di dalam batang sengon (Husaeni et al, 1998). Hutacharern (1993) mengemukakan bahwa ulat I. acutistriata menyerang pohon yang berumur lebih dari 2 tahun. Ulat ini lebih sering berada di daerah luka sekitar batang atau cabang.
54
Perkembangan serangan I. acutistriata berlangsung dengan cepat, dan hal ini perlu diwaspadai oleh para pengelola hutan sengon. Perkembangan serangan I. acutistriata pada tegakan sengon berumur 3 tahun (jarak tanam 2 m x 2 m) di Kampus IPB Darmaga Bogor telah dipelajari oleh Tarlinawati (1997). Pengamatan dilakukan satu minggu sekali selama delapan minggu.
Hasil
pengamatannya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perkembangan serangan I. acustistriata pada tegakan sengon berukur 3 tahun di Kampus IPB Darmaga, Bogor (Tarlinawati, 1997)
Minggu ke
Jumlah pohon terserang/ha
Aktif
Pasif
Jumlah
Persentase serangan (%)
Jumlah serangan pada semua pohon
1
595
485
1065
1.550
46,18
2
610
410
1.230
1.640
47,66
3
620
425
1.280
1.705
48,44
4
630
385
1.375
1.760
49,22
5
635
375
1.400
1.775
49,61
6
635
395
1.415
1.810
49,61
7
640
260
1.565
1.825
50,00
8
640
230
1.625
1.855
50,00
Rata-rata
626
371
1.369
1.740
48,84
Keterangan: Serangan aktif adalah serangan yang larvanya masih terdapat dalam liang gerek. Serangan pasif adalah serangan yang larvanya sudah berkembang menjadi pupa atau ngengat (bekas serangan). Dari Tabel 3 tampak bahwa kenaikan persentase serangannya tidak terlalu cepat, tetapi jumlah titik serangannya meningkat (38 titik per minggu). Perkembangan serangan I. acutistriata pada tegakan sengon di KPH Kediri dapat dilihat pada Tabel 4 (Husaeni et al., 1998).
55
Tabel 4
Perkembangan serangan I. acutistriata pada berbagai umur tegakan sengon di KPH Kediri tahun 1997 (Husaeni et al., 1998) Umur 3 tahun
Umur 5 tahun
Umur 7 tahun
Bulan N/ha
S (%)
T/ph
N/ha
S (%)
T/ph
N/ha
S (%)
T/ph
Juli
1.088
7,7
1,7
459
87,8
6,7
246
56,1
3,9
Agustus
1.088
8,8
1,7
459
88,9
5,7
246
60,2
3,3
September
1.086
9,4
1,6
459
88,2
6,3
246
85,3
3,6
Oktober
1.084
9,6
1,6
458
78,8
6,6
246
92,7
8,7
November
1.078
8,4
1,7
436
89,2
5,7
236
94,1
6,1
Desember
1.078
14,8
1,9
424
95,3
7,4
230
94,8
6,6
Keteranagan: N/ha = jumlah pohon perha; S (%) = persen serangan; T/ph = jumlah titik serangan per pohon. Volume pohon umur 3 tahun = 82,12 m3/ha, umur 5 tahun = 171 m3/ha dan umur 7 tahun = 164,22 m3/ha. Dari Tabel 4 tampak bahwa persentase serangan cenderung meningkat dengan meningkatnya umur tegakan sengon. Pada tegakan sengon berumur 3 tahun dan 5 tahun kenaikan persentase serangannya tidak terlalu meningkat dengan tajam bila dibandingkandengan pada tegakan sengon umur 7 tahun. Letak titik serangan pada pohon akan semakin tinggi dengan semakin tingginya pohon, dan tinggi pohon ini dipengaruhi oleh umur tegakan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5. Secara umum letak titik serangan I. acutistriata pada umur: 3 tahun
: sekitar 3,6 ± 1,6 m
5 tahun
: sekitar 8,2 ± 3,1 m
6 tahun
: sekitar 9,5 ± 3,4 m
7 – 8 tahun
: sekitar 19,9 ± 2,7 m
Dari Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa ngengat I. acutistriata dapat terbang sampai ketinggian sekitar 23 m.
56
Tabel 5
Sebaran letak serangan I. acutistriata pada berbagai umur tegakan sengon di KPH Kediri 1997 (Husaeni et al., 1998)
Selang tinggi pada pohon (m) <1 1 - 1,9 2 – 2,9 3 – 3,9 4 – 4,9 5 – 5,9 6 – 6,9 7 – 7,9 8 – 8,9 9 – 9,9 10 – 10,9 11 – 11,9 12 – 12,9 13 - 13,9 14 – 14,9 15 – 15,9 16 – 16,9 17 – 17,9 18 – 18,9 19 – 19,9 20 – 20,9 21 – 21,9 22 – 22,9 23 – 23,9 24 – 24,9 25 – 25,9 >26
Jumlah titik serangan (buah) menurut umur tegakan (tahun) 4 tahun (n = 27) 0 4 9 11 8 8 7 1 -
5 tahun (n = 35) 0 1 4 4 4 3 4 7 10 10 15 6 6 6 -
6 tahun (n = 24) 0 2 0 0 1 3 3 2 3 8 4 4 3 3 3 -
7 – 8 tahun (n = 14) 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 3 2 4 3 3 10 6 6 4 1 -
f. Dampak serangan Menurut Suharti et al. (2000), walaupun sama-sama menggerek batang, kerusakan yang ditimbulkan oleh I. acutistriata jauh lebih ringan dari pada kerusakan oleh Xystrocera festiva. Karena jumlah liang gerek yang dibuat oleh I. acutistriata pada satu batang pohon tidak banyak, dan letaknya tertentu, maka kerusakan yang diakibatkannya masih tergolong ringan sebagian besar kayu masih dapat digunakan sebagai kayu pertukangan. Hasil pengukuran kerusakan kayu pertukangan karena serangan I. acutistriata pada berbagai umur tegakan sengon di KPH Kediri dapat dilihat pada
57
Tabel 6.
Ada kecenderungan bahwa semakin tua umur tegakan, persentase
volume kayu yang rusak semakin kecil (Husaeni et al., 1998). Hal ini disebabkan karena titik serangan I. acutistriata pada tegakan sengon yang lebih tua lebih banyak terjadi pada cabang atau dahan dari pada di batang utama. Pada tegakan sengon yang berukur 3 tahun persentase serangannya tergolong rendah, diameter batang masih banyak yang di bawah 10 cm, sehingga persentase volume kayu yang rusaknya juga rendah . Tabel 6
Volume kayu pertukangan yang rusak oleh serangan I. acutistriata di KPH Kediri (Husaeni et al., 1998)
Umur tegakan (tahun)
Diameter batang ratarata (cm)
Volume kayu pertukangan (m3/pohon)
Volume kayu pertukangan yang rusak (m3/pohon)
Persentase volume kayu pertukangan yang rusak (%)
3
8,9
0,0160
0,0013
8,13
4
14,9
0,1566
0,0708
45,21
5
18,4
0,1902
0,0720
37,85
6
21,2
0,2499
0,0670
26,81
Secara umum, serangan ulat I. acutistriata ini hampir tidak menimbulkan kerugian ekonomis. Konsumen kayu juga belum menilai rendah pada kayu-kayu yang diserang hama ini dan tidak mempermasalahkan kerusakan tersebut dan hal ini menguntungkan pihak Perhutani. Namun dimasa yang akan datang, penilaian konsumen ini mungkin akan berubah. Alasannya adalah: 1) Setiap luka pada kayu yang terbuka pada udara luar dalam waktu yang cukup lama di TPK lama-lama akan terserang oleh jamur pelapuk kayu. 2) Akan ada perubahan harga kayu sengon yang menjadi lebih mahal. Dengan adanya penilaian yang lebih tinggi, maka ambang tolerasnsi terhadap kerusakan oleh hama ini akan menjadi lebih rendah. Jadi konsumen akan lebih memperhatikan tingkat cacat sekecil apapun karena setiap cacat sama dengan kerugian.
58
g. Cara pengendalian Hutacharern (1993) mengemukakan beberapa metoda pengendalian yang pernah dilakukan untuk I. quadrinotata pada tegakan Acacia mangium, yaitu dengan: 1) Menggunakan kawat yang kuat dengan panjang 10 cm untuk membunuh larva yang ada di liang gerek dengan cara menusukkan kawat tersebut ke dalam liang gerek. 2) Menyemprot permukaan batang dengan nematoda Neoaplectana carpocapsae selama musim hujan. 3) Menyuntik batang dengan methamidophos (69% SL) dengan konsentrasi 5 cc per 15 cc air. Sebanyak 20 cc larutan tersebut disuntikkan pada setiap titik injeksi. Banyaknya titik injeksi tergantung pada ukuran pohon dan jarak antar titik injeksi 20 cm, yang dibuat secara spiral. Suharti (2002) menyarankan untuk menggunakan jamur Beauveria bassiana. Suspensi jamur disemprotkan pada liang gerek dan seluruh permukaan batang di sekitar liang gerek. Dilihat dari letak titik serangannya yang cukup tinggi (lihat Tabel 7), caracara pengendalian yang disarankan oleh Hutacharern (1993) dan Suharti (2002) tersebut tampaknya cukup sulit untuk dilaksanakan. Ngnegat I. acutistriata aktif pada malam hari. Serangga yang aktif pada malam hari biasanya tertarik cahaya lampu. Ketertarikan serangga hama terhadap cahaya lampu dapat dijadikan alternatif untuk pengendalian hama itu. Ketertarikan ngengat terhadap cahaya lampu telah dipelajari dengan cara memasang lampu neon 10 Watt yang berwarna merah, kuning, biru, hijau, putih dan ungu. Pemasangan lampu dilakukan masing-masing selama tujuh hari pada bulan Juli sampai Desember tahun 1997 di kPH Kediri (Husaeni et al., 1998). Hasil tangkapan negnegat setiap bulan adalah: Juli 1997
:0
September
:7
November
:0
Agustus
:4
Oktober
:0
Desember
:0
Dari data di atas belum dapat disimpulkan apakah ngengat I. acutistriata ini sangat tertarik atau kurang tertarik pada cahaya lampu. Sedikitnya negengat yang tertangkap mungkin dipengaruhi oleh kondisi cuaca, misalnya angin, cahaya
59
bulan purnama dan hujan. Ketertarikan ngengat terhadap warna cahaya dapat dilihat pada Tabel 7. Ada kecenderungan bahwa semakin malam jumlah ngengat yang tertangkap semakin sedikit. Ngengat I. acutistriata tampaknya lebih tertarik pada cahaya lampu kuning, merah dan putih. Tabel 7 Hasil tangkapan ngengat I. acutistriata dengan lampu perangkap (Husaeni et al., 1997) Warna Banyaknya ngengat tertangkap menurut jam Jumlah lampu 19 20 21 22 23 24 Merah 0 3 0 0 0 0 3 Kuning 2 0 0 2 0 0 4 Biru Hijau Putih Ungu Jumlah
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
2
1
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
4
5
0
2
0
0
11
4.1.3 Hama Batang 4.1.3.1 Xystrocera festiva a. Morfologi serangga Xystrocera festiva tergolong dalam sub famili Cerambycinae, famili Cerambycidae, ordo Coleoptera (Kalshoven 1981). Di P. Jawa kumbang ini sering disebut uter, wowolan, atau boktor. Famili Cerambycidae adalah salah satu famili dari bangsa kumbang yang panjang antenenya melibihi panjang tubuhnya. Dalam bahasa Belanda famili kumbang ini disebut boktor atau kumbang menjangan karena antenanya sepintas seperti tanduk menjangan. Boktor tidak hanya menyerang sengon tetapi juga berbagai jenis tanaman lain, misalnya mangga dan tebu.
Dalam skripsi ini, boktor yang menyerang pohon sengon
disebut boktor sengon. Telur X. festiva berbentuk lonjong, berukuran 2,16 x 1,22 mm, warnanya mula-mula hijau kekuning-kuningan yang kemudian menjadi kuning (Matsumoto, 1994) (Gambar 21).
60
Larva muda (instar pertama) berwarna kuning gading, berukuran 2 x 1 mm, tanpa kaki yang jelas (Wongtong, 1974). Larva dewasa X. festiva (instar terakhir) mencapai panjang 5 cm dan besarnya 0,9 cm. Bentuk tubuhnya silindris, gemuk, berwarna kuning gading, kepala berwarna coklat (Gambar 22).
Gambar 21 Kelompok telur Xystrocera festiva (Husaeni, 1997).
Gambar 22 Ulat Xystrocera festiva dilihat dari atas (Husaeni, 1995). Pupa yang masih muda berwarna kuning gading, panjang tubuhnya 4 cm, dan besarnya 1 cm. Warna ini secara berangsur-angsur akan berubah menjadi coklat seiring dengan perkembangan umur pupa (Gambar 23). Kumbang X. festiva berwarna coklat kemerahan, sisi luar elitranya berwarna hijau kebiruan, memanjang dari muka ke belakang. Antena berwarna kehitaman, warna kaki tungkai menyerupai warna antena diselingi oleh warna coklat kekuningan pada femur dan tarsus. Pronotum dikelilingi oleh garis hijau kebiruan yang mengkilat, sehingga pada bagian dalam terdapat gambaran berbentuk jantung dan berwarna coklat kuning. Panjang tubuhnya sekitar 2,5 3,8 cm dan lebarnya 0,6 - 0,9 cm (Notoatmodjo, 1963) (Gambar 24).
61
Gambar 23 Pupa X. festiva dilihat dari arah bawah (kiri) dan arah atas (kanan) (Perum Perhutani, 1997). Perbedaan antara kumbang jantan dan kumbang betina adalah: 1) Kumbang jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil dari kumbang betina. Bila belum meletakkan telur, perut kumbang betina tampak lebih gemuk dari kumbang jantan. 2) Panjang antena kumbang jantan sekitar 1,5 kali dari panjang tubuhnya dan panjang antena kumbang betina kurang lebih sama dengan panjang tubuhnya. Antene kumbang jantan lebih kekar dari antene kumbang betina. 3) Kaki-kaki kumbang jantan lebih panjang dan lebih kokoh dari pada kaki-kaki kumbang betina.
Gambar 24 Kumbang betina Xystrocera festiva (Nurtjahyawilasa, 1996).
62
b. Siklus hidup Siklus hidup X. festiva sejak peletakan telur sampai keluarnya kumbang adalah sekitar 6 – 8 bulan (Franssen, 1931 dalam Husaeni, 2008). Menurut Notoatmodjo (1963) siklus hidup serangga ini sekitar 4 – 7 bulan; stadium telur berlangsung 21 – 35 hari (rata-rata 25 hari), umur rata-rata kumbang betina lima hari (maksimum 15 hari) dan kumbang jantan tujuh hari (maksimum 15 hari). Berdasarkan hasil penelitian Matsumoto dan Irianto (1998) di laboratorium, umur rata-rata kumbang betina adalah 4,7 hari (berkisar dari satu sampai 10 hari) dan umur rata-rata kumbang jantan adalah 9,4 hari (berkisar dari empat sampai 15 hari). Pada kondisi alami perkembangan kumbang jantan mulai dari telur sampai keluarnya kumbang dari liang gerek berlangsung selama 253 hari dan untuk kumbang betinanya 250 hari (Matsumoto, 1994). Pada kondisi alami ini umur rata-rata kumbang jantan 11,5 hari dan kumbang betinanya 5,3 hari. Pada pemelihraaan di laboratorium dengan menggunakan makanan buatan Insecta Nippon Nosan, siklus hidup kumbang jantan berlangsung selama 159 hari, terdiri dari stadium telur 31 hari, larva 119 hari, pupa sembilan hari dan dewasa 19 hari dan siklus hidup kumbang betina berlangsung selama 193 hari, terdiri dari stadium telur 24 hari, larva 151 hari, pupa 16 hari dan dewasa 17 hari (Matsumoto, 1994). c. Daerah penyebaran Xystrocera festiva tersebar di daerah Asia Tenggara, di sebelah barat Garis Wallace (Duffi, 1968 dalam Matsumoto dan Irianto, 1998), meliputi Indonesia, Myamar, dan Vietnam Selatan. Di Indonesia hama ini terdapat di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Notoatmodjo, 1963). Antara tahun 1959 - 1961 serangan X. festiva telah terjadi hampir di seluruh tegakan sengon di P. Jawa, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian ± 1.000 meter di atas permukaan laut, baik di daerah berikilim basah maupun kering. Hutan sengon murni maupun hutan campuran diserang hama ini tanpa ada perbedaan tingkat serangan yang nyata (Notoatmodjo, 1963). Selain di Indonesia Bagian Barat hama ini juga menyerang tanaman sengon di Filipina, Malaysia, Myanmar dan Thailand (Chaiglom, 1990, Notoatmodjo, 1963).
63
d. Pohon inang Sejak tahun 1888 X. festiva telah diketahui menyerang tanaman sengon yang digunakan sebagai pohon pelindung di perkebunan kopi, teh dan coklat di P. Jawa, dan di kawasan hutan sebagai tanaman reboisasi di P. Jawa (Notoatmodjo, 1963). Pohon petai (Parkia speciosa) dan pohon jengkol (Pithecelobium lobatum) yang merupakan pohon asli di Indonesia Bagian Barat (Jawa dan Sumatera) dilaporkan sering diserang hama ini. Xystrocera festiva menyerang berbagai jenis pohon yang tergolong famili Fabaceae (polong-polongan). Menurut Notoatmodjo (1963) selain menyerang pohon sengon X. festiva menyerang pula pohon Albizia chinensis (A. stipulata), A. lebbeck, A. sumatrana, Acacia auriculiformis, Inga vera, Pithecelobium lobatum dan Samanea saman. Pada tahun 1986 hama ini pernah ditemukan menyerang Calliandra calothyrsus di Bogor dan Acacia deccurens di Sukabumi (Husaeni, 2001). Serangan X. festiva pada Calliandra calothyrsus ini ditemukan pula oleh Matsumoto (1994) di daerah Bogor dan Benakat (Sumatera Selatan). Dari hasil penelitiannya antara tahun 1991 – 1994, Matsumoto (1994) menambahkan lagi jenis pohon yang diserang X. festiva yaitu Acacia mangium, hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis), Acacia vera, Acacia arabica, Acacia catechu, Parkia speciosa, Pithecelobium dulce, dan Enterolobium cyclocarpum. Sengon, jengkol dan petai merupakan tiga jenis pohon yang banyak ditanam di kebunkebun milik rakyat. Adanya serangan X. festiva pada hutan tanaman sengon tergantung pada adanya ketiga jenis pohon tersebut di kebun yang berdekatan dengan hutan tanaman sengon. Penularan X. festiva ke tegakan sengon di dalam kawasan hutan sering dimulai dari kebun-kebun milik rakyat yang berdekatan dengan tegakan sengon tersebut (Matsumoto, 1994). e. Cara penyerangan Umumnya serangan hama ini terjadi pada pohon yang telah berumur 3 tahun atau lebih, yang diameternya telah mencapai 10 cm atau lebih. Bagian pohon yang diserang kebanyakan berkisar pada ketinggian 0 – 5 meter, tetapi adakalanya mencapai 15 meter dari atas permukaan tanah (Husaeni, et al.,1995). Telur Xystrocera festiva diletakkan oleh induknya secara berkelompok pada kulit pohon yang terluka atau pada bekas-bekas cabang yang luka. Seekor
64
induk mampu meletakkan telur sampai 400 butir, dan rata-rata hanya separuh dari jumlah tersebut yang hidup (Suratmo, 1974). Larva yang keluar dari telurnya bersama-sama menggerek kulit bagian dalam dan bagian kayu sebelah luar (Gambar 25). Kambium dan bagian kayu yang luka akan mengeluarkan cairan, terlihat berwarna merah kecoklatan. Biasanya pada permukaan kulit batang terdapat serbuk gerek dan kotoran berwarna coklat kehitaman.
Gambar 25 Serangan larva Xystocera festiva (Husaeni, 1995). Gejala serangan awal ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada kulit batang dari putih keabuan menjadi merah kecoklatan. Perubahan warna terjadi karena kulit batang yang luka akibat gerekan larva dan serbuk gerek dan kotoran yang menempel pada kulit batang. Bentuk gerekan larva pada batang melebar secara tidak teratur dan menuju ke arah bawah. Serangan pada kayu gubal kadang-kadang sampai menggelang sekeliling batang. Pada tingkat serangan ini, tajuk pohon akan menguning dan selanjutnya daun gugur sehingga pohon mati. Setelah larva menjadi dewasa, kembali membuat lubang gerek ke arah atas di dalam kayu. Lubang gerek berbentuk lonjong dengan panjang lubang gerek berkisar antara 6 – 18 cm dengan garis tengah 15 – 20 cm (Franssen, 1931 ; Notoatmodjo, 1963 ; Natawiria, 1973). Pada ujung lubang gerek terdapat dua buah ruangan, ruang sebelah luar berisi kotoran, sisa makanan dan ruang lain adalah ruang pupa. Larva yang akan menjadi kepompong atau pupa berada
65
diujung liang gerek dengan arah kepala ke bawah dan pupa dilindungi oleh dinding yang berkapur (CaCO3) (Notoatmodjo, 1963). f. Dampak serangan Kerusakan pohon sengon sebagai akibat gerekan larva adalah berupa batang yang berlubang-lubang. Bila sebatang pohon mendapat serangan hanya sekali saja, maka luka bekas serangan kemungkinan akan bisa sembuh kembali. Tetapi biasanya serangan tersebut terjadi beberapa kali dalam satu pohon, sehingga dapat menyebabkan kematian pohon (Natawiria, 1972). Adanya lubang gerek pada batang menyebabkan pohon menjadi lemah sehingga mudah patah apabila ada tiupan angin yang kencang (Natawiria, 1972). X. festiva menyerang hutan tanaman sengon yang berumur tiga tahun ke atas. Panjang bagian batang yang dirusaknya ada yang kurang dari 1,5 m namun kebanyakan berkisar dari 1,5 m sampai 5,5 m. (Husaeni et al., 2006). Adanya kerusakan pada bagian batang pohon ini akan menimbulkan berbagai pengaruh, yaitu (Husaeni, 2008): 1) Kematian pohon. Kematian pohon ini dapat terjadi bila kerusakan pada batang pohon sampai melingkari batang, sehingga batang pohon seolah-olah diteres, mirip seperti meneres pohon jati sebelum ditebang. 3) Patah batang. Patah batang terjadi karena pada bagian batang yang terserang terdapat sejumlah liang gerek. Pada saat terjadi tiupan angin yang kencang bagian ini tidak mampu menahan pengaruh tiupan angin tersebut. 3) Kerugian finansial. Adanya liang-liang gerek pada batang pohon yang terserang, pohon-pohon yang mati dan atau patah akibat serangan, akan menurunkan volume dan kualitas kayu pertukangan yan dihasilkan sehingga dapat menurunkan pendapatan dari kayu pertukangan. Kerugian finansial akibat serangan boktor sengon tergantung pada kegiatan penjarangan rutin yang dilakukan pada tegakan sengon tersebut. Di daerah Gerbo (Malang Uatara) yang tegakan sengonnya tidak pernah dijarangi, kerugian finansialnya adalah sepereti pada Tabel 8 (Notoatmodjo, 1963). Di daerah Ngancar (KPH Kediri) penjarangan dilakukan setiap tahun sejak tegakan sengon berumur 3 tahun sampai berumur 6 tahun dan pada umur 8 tahun ditebang habis. Kerugian finansial yang diakibatkan serangan hama ini disajikan pada
66
Tabel 9 (Husaeni, 1992). Terlihat bahwa pengaruh penjarangan sangat nyata dapat menurunkan kerugian finansial akibat serangan X. festiva. Tabel 8 Kerugian finansial akibat serangan X. festiva pada berbagai umur hutan tanaman sengon di daerah Gerbo (Notoatmodjo, 1963) Volume yang rusak/ha (m3)
Persen kerugian (%)
Umur hutan tanaman (tahun)
Volume/ha (m3)
4
76,4
8,968
11,7
5
216,0
156,912
72,6
6
293,0
160,869
54,9
8
400,2
294,197
73,5
Keterangan: Harga kayu pertukangan pada tahun 1961 = Rp. 150 per m3. Tabel 9 Kerugian finansial akibat serangan X. festiva pada berbagai umur hutan tanaman sengon di daerah Ngancar (Husaeni, 1992) Umur hutan tanaman (tahun)
Persen serangan
Volume/ha Harga sortimen (m3) (Rp/m3)
Kerugian kayu pertukangan Volume (m3/ha)
Nilai (Rp)
Persen kerugian (%)
4
6,68
160,9
23.430
6,740
157.918
4,19
5
19,78
167,2
26.200
6,422
168.256
3,89
6
9,10
175,9
32.600
13,949
454.737
7,91
7
13,46
180,5
36.270
16,949
614.740
9,39
8
11,65
192,7
37.870
20,531
777.509
10,65
g. Cara pengendalian a. Pengendalian secara fisik/mekanik 1) Penangkapan kumbang dengan perangkap lampu Kumbang boktor jantan dan betina tertarik cahaya lampu, trutama cahaya yang berwarna hijau dan biru. Ketertarikan kumbang boktor terhadap cahaya lampu ini dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Penangkapan dimulai dari jam 6 sore hari, keuntungan dari penangkapan kumbang ini adalah, kumbang betina yang tertangkap belum mletakkan telur. Bila kumbang batina dapat ditangkap sebelum meletakkan telur, maka serangan hama ini dapat dihindarkan. Pemasangan lampu perangkap dilakukan pada saat malam cerah. Lampu perangkap tidak dipasang bila : 1) terang bulan purnama, 2) terjadi hujan, lebih-
67
lebih hujan lebat, 3) terjadi hujan pada sore hari, diikuti keadaan mendung sesudahnya, 4) terjadi tiupan angin yang agak kencang sejak sore hari (mulai sekitar jam 5), 6) keadaan cuaca yang mendung tetapi belum turun hujan (Husaeni et al., 1997). 2) Pemusnahan kelompok telur boktor sengon Serangan hama boktor pada tegakan sengon diawali dengan peletakan telur boktor oleh kumbang betinanya pada celah-celah kulit atau bagian-bagian batang pohon yang luka. Bila kelompok telur ini dapat ditemukan dan dapat dimusnahkan, misalnya dengan cara dicongkel atau bagian yang ada telurnya diseset, maka kerusakan batang karena hama itu dapat dihindarkan. Pemeriksaan dan pemusnahan telur boktor sengon ini dapat dilakukan dengan cara memeriksa setiap larikan tanaman pada tegakan mulai berumur 3 tahun. Kesulitan utama dalam pemeriksaan dan pemusnahan telur boktor ini adalah kelompok telur yang dapat diperiksa adalah yang terletak paling tinggi 2 m dari permukaan tanah. Kelompok telur yang letaknya lebih tinggi dari 2 m pada batang sengon akan sulit diperiksa tanpa melakukan pemanjatan pohon. Oleh karena itu pemusnahan telur boktor ini hanya bersifat pendukung, dan dapat dikerjakan bersamaan dengan waktu penyesetan kulit batang pohon yang terserang untuk membunuh larvanya. 3) Penyesetan kulit batang sengon yang terserang Sejak telur menetas sampai menjelang kepompong, larva-larva berada dan hidup antara kulit dan kayu gubal sengon, selama 4 bulan. Selama itu pula larvalarva tadi secara bergrombol memakan kulit bagian dalam dan bagian luar kayu gubal sengon, sebelum mereka menggerek ke dalam kayu gubal (membuat lubang gerek) untuk berkepompong. Suatu keuntungan bagi pemberantasan hama ini adalah larva-larva tadi tidak mempunyai kaki (tungkai). Bila kulit batang sengon yang terserang diseret maka gerombolan larva tadi akan berjatuhan ke tanah. Penyesetan kulit batang sengon yang terserang hama boktor sengon dilakukan setiap 3 bulan sekali. Bila umur tebang sengon adalah 8 tahun maka penyesetan dilakukan sejak umur 3 tahun sampai umur 7 tahun, jadi selama daur suatu tegakan sengon akan mengalami 20 kali pemeriksaan dan penyesetan pohon-pohon yang terserang. Penyesetan dilakukan pada pohon terserang yang
68
letak serangannya sampai ketinggian maksimum 2 m dari permukaan tanah. Bila letak serangan lebih tinggi dari 2 m dapat digunakan tangga untuk memanjat, atau pohon tersebut ditebang. b. Pengendalian secara silvikultur 1) Penanaman pohon sengon resisten Yang dimaksud pohon sengon resisten disini adalah pohon sengon yang mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap serangan hama boktor sengon, atau pohon itu tidak atau kurang disukai oleh hama tersebut. Pembuatan tegakan sengon yang resisten diharapkan dapat mencegah serangan hama boktor sengon, atau kalau diserang, tingkat serangannya cukup rendah sehingga kerugian ekonomis dapat dihindarkan. Namun sampai sekarang varietas pohon sengon yang resisten ini belum ditemukan. 2) Pengaturan jarak tanam Pengaturan jarak tanam dapat dilakukan pada saat penanaman. Pengaturan jarak tanam dapat pula dilakukan dengan cara penjarangan. Pohon sengon tergolog jenis yang cepat tumbuh. Untuk mencegah persaingan yang terlalu awal pada tanaman muda, maka jarak tanamnya perlu lebar, misalnya 3 x 3 m atau 4 x 3 m. Ditinjau dari segi pengendalian hama boktor sengon, jarak tanam yang lebih lebar ini mempunyai keuntungan yaitu jumlah batang per hektar (berarti jumlah makanan) menjadi sedikit, dan peluang kumbang untuk memperoleh tempat peletakan telur lebih kecil. Menurut Natawiria (1973) dalam sekali terbang kumbang boktor hanya mampu mencapai jarak ± 3 – 4 m. 3) Pembuatan tanaman campuran Peranan hutan campuran dalam pengendalian hama boktor sengon belum begitu jelas, mungkin juga tidak efektif. Dari hasil survey yang dilakukan Notoatmodjo (1963) ternyata pembuatan hutan campuran sengon dengan jenis pohon lain ini tidak efektif seperti dapat dilihat pada Tabel 10.
69
Tabel 10 Persen serangan X. festiva pada tegakan sengon murni dan campuran (Notoatmodjo, 1963) Daerah hutan
Tinggi tempat (m)
Curah hujan (mm/tahun)
Luas (ha)
Bentuk tegakan
Persen serangan
90 - 170
2.379 – 3.345
211,5
Murni
5 - 10
Bandung Utara
570
3.000
13,8
Murni
50
Tasikmalaya
515
3.000
20
Murni
10
Purworejo
534 - 713
3.820 – 4.247
248,1
Murni
0,5 – 10
Malang Utara
575 - 900
1.872 – 3.060
540,52
Murni
20 – 75
Jember
500 – 600
2.552
160,6
Murni
75
Bondowoso
850
1.824
20
Murni
75
Banyuwangi Selatan
650
2.981
14,3
Murni
36
700 - 800
4200
80
Campuran
5 – 20
Sukabumi
600
3000
93,95
Campuran
10 – 20
Bandung Selatan
980 - 1020
2000 - 3000
10,53
Campuran
30 - 80
Semarang
400
3.732
31 2
Murni Campuran
50 30
Kediri
158
1.828
110,9 18,9
Murni Campuran
1–2 1-3
Blitar
400 - 470
1.495
105
Campuran
0,5
Probolonggo
800 - 900
2.000 - 3.000
47,85 30,41
Murni Campuran
25 40
Banyuwangi Utara
450 - 700
2.151 – 2.771
20 119,92
Murni Capuran
Banten
Bogor
1
10 -6
3) Penjarangan tegakan Di KPH Kediri, dengan daur 8 tahun dan jarak tanam 3x1 m, tegakan sengon mengalami 4 kali penjarangan, yaitu pada umur 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun dan 6 tahun. Pada setiap kali penjarangan, pohon-pohon sengon yang terserang harus ditebang, baik yang mengalami serangan awal (larva masih berada di antara kulit dan kayu) maupun serangan lanjut (larva sudah menggerek ke dalam kayu gubal atau larva telah berkepompong di dalam lubang gerek). Setelah ditebang bagian batang pohon yang mengalami serangan awal harus dikupas kulitnya, agar larvanya tidak dapat terus hidup pada batang yang sudah ditebang. Bila pohon
70
yang ditebang telah mencapai serangan lanjut, bagian batang yang diserang harus dibelah-belah agar kepompong atau kumbangnya dapat dimatikan. Bila penjarangan tegakan sengon dilaksanakan secara periodik sesuai dengan jadwal penjarangan, maka tingkat serangan hama boktor sengon akan dapat ditekan (lihat Tabel 5 dan 6). Penekanan tingkat serangan ini dapat terjadi karena: a) Pohon-pohon sengon yang diserang ditebang pada setiap penjarangan. b) Melalui penjarangan, semakin tua tegakan, jarak tanam antar pohon akan semakin lebar. Meningkatnya jarak antar pohon diharapkan akan mengurangi keberhasilan kumbang boktor yang terbang dari pohon yang terserang untuk mencapai pohon-pohon tetangganya yang belum terserang. c) Pada tegakan yang baru dijarangi akan terjadi perubahan suhu dan kelembaban udara serta peningkatan resapan air. d. Pengendalian secara hayati Musuh-musuh alami hama boktor ada yang menyerang telur, larva, pupa dan imago (kumbang). Musuh-musuh tersebut terdiri dari parasit, predator dan patogen. Bila hama boktor diserang musuh alami tersebut, maka populasi hama ini akan menurun. Dua cara pengendalian hayati hama boktor telah dikaji keampuhannya adalah dengan menggunakan parasit telur boktor dan jamur patogen larva. 1) Pelepasan parasitoid telur Serangga parasitoid yang menyerang telur boktor adalah Anagyrus sp. yang tergolong famili Encyrtidae, ordo Hymenoptera. Anagyrus sp. telah terbukti cukup efektif dalam menekan serangan hama boktor. Secara alami Anagyrus sp. ini biasa memparasit kelompok telur boktor dengan tingkat serangan (tingkat parasitasi) rata-rata 20% setelah tegakan sengon yang diserang hama boktor dilepasi parasit telur sebanyak ± 5.000 ekor, ternyata dari setiap kelompok telur boktor, rata-rata 45 % terserang parasit, 21 % tidak menetas dan hanya 34% yang menetas melalui larva.
71
2) Penggunaan jamur patogen Beauveria bassiana merupakan salah satu jamur patogen serangga yang telah banyak digunakan untuk pemberantasan hama terutama hama daun yang tergolong ordo Lepidoptera. Jamur patogen ini dapat pula digunakan untuk pengendalian hama yang tergolong bangsa kumbang, misalnya hama boktor. Penggunaan jamur B. Bassiana dalam bentuk suspensi (200 gram per 6 liter air atau 200 gram per 8 liter air) dapat mematikan semua anggota koloni larva boktor pada tegakan sengon sampai mencapai 95% (Suharti, et al, 1998 dalam Husaeni, 2001). Pengendalian larva bokor sengon dengan menggunakan B. bassiana sebaiknya dilakukan saat serangan hama tahap awal (gejala serangan awal). Pada saat itu larva boktor sengon masih muda dan msih berukuran kecil. Bila serangan hama telah mencapai tahap lanjutan larva sudah berukuran lebih besar dan tentu saja akan lebih tahan terhadap jamur patogen. e. Pengendalian kimiawi Pengendalian hama boktor sengon dengan menggunakan insektisida pertama kali dilakukan oleh de Yong pada tahun 1931 dengan cara menyemprotkan
paradikhlorbensol
(diencerkan
dalam
petroleum
dengan
perbandingan 1:10) pada permukaan kulit batang sengon yang diserang. Insektisida ini dapat mematikan larva yang masih berada di permukaan kayu gubal, tetapi tidak dapat membunuh larva yang telah membuat lubang gerek pada kayu gubal. Walau hasilnya memuaskan namun penggunaan insektisida ini dapat mematikan kambium pohon. Sidabutar dan Natawiria (1973) pernah mencoba mengendalikan hama boktor sengon dengan menggunakan Dimecron – 100 (bahan aktif Endolfosfat). Insektisida tersebut bersifat sistemik, apabila digunakan pada bagian tanaman tertentu akan diserap dan ditranslokasi ke bagian-bagian tanaman yang lain ke arah atas dari bagian yang mendapat perlakuan. Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan cairan Dimecron – 100 konsentrasi 5 % melalui injeksi batang dengan takaran 5 cc dan 100 cc per pohon dalam waktu 7 – 12 hari tidak dapat mematikan larva boktor sengon, tetapi penyemprotan ke permukaan bagian kulit pohon yang terserang dengan konsentrasi 0,5 % dengan takaran 75 cc
72
per m2 luas permukaan kulit per pohon, setelah 7 hari dapat membunuh semua larva muda yang berumur 2 bulan, sedangkan larva yang lebih tua tidak mati. Serangan X. festiva yang telah mengalami serangan stadium lanjut (larva sudah menggerek ke dalam kayu) dapat dikendalikan dengan menggunakan Furadan 3 G sebanyak 200 – 300 gram per pohon. Furadan 3 G ditabur dalam parit yang dibuat melingkar dengan radius selebar tajuk pohon, kemudian parit ditimbun kembali dengan tanah (Suharti et al., 1991). Ekstrak biji dan daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) yang mengandung
insektisida
azadirachtin
pernah
dicoba
digunakan
untuk
pengendalian X. festiva. Ekstrak biji dan daun mimba langsung disemprotkan ke tubuh larva yang ditaruh pada cawan petri. Dalam waktu kurang dari 10 menit larva telah mati dan ini terjadi pada semua konsentrasi baik pada ekstrak biji maupun daun mimba. Tubuh dari larva kelihatan berkerut. Pada percobaan di lapangan insektisida ini tidak efektif untuk mengendalikan larva yang berada di bawah kulit karena insektisida ini tidak bersifat sistemik (tidak dapat menembus kulit batang sengon) (Hawiati, 1994). Nurhayati (2001) melakukan pengujian efikasi insektisida sistemik Dimethoate 400 EC terhadap hama boktor sengon dengan menggunakan 6 tingkat konsentrasi yaitu 0 cc/l (kontrol), 2 cc/l, 4 cc/l, 6 cc/l, 8 cc/l dan 10 cc/l. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan Dimethoate 400EC pada tingkat konsentrasi mulai 6 cc/l sampai 10 cc/l melalui penyemprotan kulit batang sengon yang terserang aktif, ternyata efektif membunuh larva boktor yang masih berada di bawah kulit batang pohon sengon (Tabel 11). Tabel 11 Efikasi Dimethoate 400 EC pada beberapa tingkat konsentrasi terhadap larva X. festiva (Nurhayati, 2001) No
Konsentrasi
Persen kematian larva (%)
Tingkat efikasi
1 2 3 4 5 6
0 cc/l (kontrol) 2 cc/l 4 cc/l 6 cc/l 8 cc/l 10 cc/l
0,0 16,6 41,8 67,1 79,9 93,2
Kurang Kurang Cukup/Sedang Baik Sangat baik Sangat baik
73
Dari nilai rata-rata kematian larva boktor sengon menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi Dimethoate 400 EC berkorelasi positif dengan tingkat kematian larva. Tingkat kematian larva bertambah tinggi dengan semakin tingginya tingkat konsentrasi yang digunakan. Pada tingkat konsentrasi 6 cc/l, insektisida telah menunjukkan keampuhannya untuk membunuh larva. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi 6 cc/l merupakan tingkat konsentrasi minimum yang efektif membunuh larva boktor, sekaligus merupakan tingkat konsentrasi maksimum ditinjau dari segi efek samping insektisida terhadap lingkungan. f. Pengendalian secara terpadu Strategi pengendalian hama secara terpadu adalah memanfaatkan cara-cara yang paling cocok dari semua metode pengendalian hama dalam suatu kombinasi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah hama. Metode-metode pengendalian hama ini hendaknya mempunyai efek samping yang paling kecil terhadap
lingkungan. Pengendalian hama
terpadu
tidak
melarang atau
meminimumkan penggunaan insektisida tetapi hanya merubah cara, yaitu dari pemakaian untuk pencegahan atau penggunaan rutin, menjadi penggunaan menurut keperluan pemberantasan (Tabel 12). Tabel 12 Berbagai kombinasi cara pengendalian hama X. festiva (Husaeni, 2001) No.
Kombinasi Pengendalian
Kode
Keterangan
1.
Penyesetan kulit batang + penjarangan
ST
Dilakukan mulai umur 3 tahun. Penyesetan kulit setiap 3 bulan, penjarangan setiap tahun.
2.
Penyesetan kulit + pelepasan parasitoid
SP
Dilakukan mulai umur 3 tahun. Penyesetan kulit setiap 3 bulan, pelepasan parasitoid 2 kali setahun.
3.
Penjarangan + pelepasan parasitoid
TP
Dilakukan mulai umur 3 tahun. Penjarangan setiap tahun, pelepasan parasitoid 2 kali setahun.
4.
Penyesetan kulit batang + STP penjarangan dan pelepasan parasitoid
Dilakukan mulai umur 3 tahun. Penyesetan kulit setiap 3 bulan, penjarangan setiap tahun, pelepasan parasitoid 2 kali setahun.
74
4.1.3.2 Xystrocera globosa Oliv. a.
Morfologi Xystrocera globosa termasuk famili Cerambycidae, ordo Coleoptera,
biasa juga disebut dengan boktor sengon. Telur yang baru diletakkan berwarna putih susu, tetapi satu hari kemudian warnanya berubah menjadi kuning. Bentuk telur lonjong (oval), sama seperti telur X. festiva, hanya ukuran telurnya lebih kecil, yaitu 1,26 x 0,7 mm. Telur-telurnya berkelompok dalam satu lapisan dan satu sama lain saling melekat. Larvanya berwarna kuning gading. Pupanya mula-mula berwarna putih kekuningan, semakin tua umurnya, warnanya berangsur-angsur berubah dan akhirnya seperti imagonya (kumbang). Ukuran tubuh X. globosa lebih kecil dari pada X. festiva, namun warnanya sama yaitu coklat kemerahan. Pada bagian tengan elitranya terdapat jalur berwarna hijau searah dengan panjang tubuhnya, pada X. festiva jalur ini terletak disisi luar elitra. Panjang tubuhnya sekitar 2,5 cm, tubuh kumbang jantan lebih kecil dari yang betina. Panjang antena kumbang jantan 1,5 kali panjang tubuhnya sedangkan panjang antena kumbang betina kurang lebih sama dengan panjang tubuhnya. b. Siklus hidup Siklus hidup X. globosa (mulai telur sampai keluar kumbang dari pupa) yang jantan rata-rata 120,3 hari dan betina 112,2 hari dengan rincian sebagai berikut (Matsumuto, et al., 1996): Stadium telur
: 12-21 hari (rata-rata 14,2 hari)
Stadium larva
: jantan 57-135 hari (rata-rata 95,9 hari) betina 65-107 hari (rata-rata 89,0 hari)
Stadium pupa
: jantan rata-rata 10,2 hari betina rata-rata 9,0 hari
Stadium imago
: jantan 7,5 hari betina 7,7 hari
Seekor kumbang betina rata-rata dapat menghasilkan 178 butir telur, ratarata terdiri dari 4-5 kelompok telur. Satu kelompok telur rata-rata berjumlah 28 butir telur.
75
c.
Daerah penyebaran Xystrocera globosa tersebar di daerah tropika dan sub tropika Asia, New
Guinea, Australia Utara, Madagaskar, Mesir, Hawaii dan Puerto Rico (Breuning, 1957; Duffy, 1968, dalam Matsumoto et al., 1998). Xystrocera globosa mungkin berasal dari daerah tropika karena 50 spesies lainnya dari Genus Xystrocera hanya terdapat di tropika. Xystrocera globosa merupakan satu-satunya anggota genus Xystrocera yang menyebar sampai kedaerah beriklim sedang (4 musim) di Asia Timur (Matsumuto, et al., 1998). d. Pohon inang Pohon-pohon hutan yang diserang X. globosa antara lain adalah Acacia catechu, A. auriculiformis, A. mangium, Albizia lebbeck, Albizia procera, Albizia stipulata, Anacardium oxidentale, Bauhinia acuminata, Bombax melabaricum, Paraserianthes falcataria dan Parkia speciosa. e.
Cara penyerangan Serangga ini umumnya memulai serangannya dari bagian pohon yang
luka, sakit atau mati, karena kumbang betinanya biasa meletakkan telurnya ditempat tersebut. Saat telur menetas, kelompok larva muda akan menyerang bagian dalam kulit di dekat tempat kelompok telur. Cara serangan X. globosa berbeda dengan X. festiva dalam beberapa hal berikut 1) walaupun larvanya terdapat dalam kelompok mereka memakan secara individu tanpa membuat saluran gerek bersama, 2) larva tidak selalu menggerek kearah bawah seperti X. festiva, tetapi sering ke arah atas atau secara horizontal. Selain itu, X. globosa lebih kecil dibanding X. festiva sehingga lubang gerek lebih kecil (5 mm) dibanding dengan luabng gerek X. festiva (15 mm) (Matsumoto, 1994). Sebelum berkepompong, larvanya terlebih dahulu membuat ruangan yang melebar dan teratur, kemudian dibuatnya lubang gerek yang sempit untuk tempat kepompong. f.
Dampak serangan Dampak serangannya hampir sama dengan X. festiva.
g. Cara pengendalian Serangan X. globosa pada tegakan sengon sering terjadi bersama dengan serangan X. festiva. Oleh karena itu pengendalian X. globosa dilakukan bersama
76
dengan pengendalian X. festiva dan dengan cara yang sama. Untuk itu dapat dilihat pada bagian pengendalian X. festiva. 4.1.4 Hama Akar 4.1.4.1 Endoclita sericeus a. Morfologi Hama Endoclita sericea termasuk famili Hepialidae, Ordo Lepidoptera. Telurnya kecil, bentuknya bulat dan berwarna putih. Telur yang hampir menetas berwarna hitam (Kalshoven, 1919). Larva mempunyai tubuh yang ramping, kepala dan toraks berwarna coklat mengkilap. Panjang tubuh larva dewasa adalah 6 – 7,5 cm dan tebalnya 6 – 9 mm. Bagian dorsal ruas kedua dan ketiga dari toraks agak keras, tetapi bagian ventralnya agak lunak. Pada setiap ruas tubuh terdapat benjolan-benjolan berbentuk lonjong, bagian depan lebih besar dari bagian belakang. Warna larva berbeda-beda. Larva muda berwarna hitam, punggungnya berwarna putih (pelatpelat putih). Setelah ganti kulit pertama warna tubuhnya putih kekuning-kuningan dan berbintik-bintik hitam. Larva dewasa berwarna putih kekuning-kuningan, bagian tengah tubuhnya berwarna putih. Seluruh tubuh ulat mengkilap, berbulubulu kaku yang tersebar secara teratur. Panjang tubuh pupa 7 – 9,5 cm, berwarna coklat muda. Batas-batas ruas tubuhnya berlekuk, pada punggung dan perutnya terdpat duri-duri tajam. Ujung abdomen tumpul dan membulat, sedangkan bagian kepalanya melebar dan gepeng. Bagian ini berwarna lebih tua, permukaannya kotor, tidak mengkilap seperti bagian tubuh lainnya. Ngengat berwarna coklat kekuning-kuningan, rentang sayap ngengat jantan dan ngengat betina masing-masing 6,8 cm dan 9 cm. Kepala ngengat agak melebar, mata fasetnya besar dan alat mulutnya pendek. Sayapnya berwarna coklat kekuning-kuningan dan tungkainya berwarna abu-abu. Pada pinggir sayap terdapat bintik-bintik putih yang sangat halus, berwarna lebih terang. Pada pangkal sayapnya terdapat bintik hitam. Sayapnya tipis dan tembus cahaya. Pada waktu istirahat (tidak terbang) ngengatnya menggantungkan diri pada cabangcabang atau ranting-ranting pohon. Ngengat E. sericeus sukar ditemukan di hutan karena warnanya menyerupai warna sekelilingnya.
77
b. Siklus hidup Siklus hidup E. sericeus belum diketahui. Kalshoven (1919) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1919 terdapat pohon yang pertama kali diserang dan pada bulan Mei baru ditemukan larva dewasa. Pada bulan Desember mulai ditemukan adanya pupa. Jadi perkembangannya sangat lama, mungkin sekali dalam satu tahun hanya terdapat satu generasi. c. Daerah penyebaran Di P. Jawa E. sericeus ditemukan pada beberapa tanaman berkayu. Hama ini terdapat juga di India. Belum ada informasi tentang adanya hama ini di pulaupulau lain di Indoensia. d. Pohon inang Endoclita sericeus tergolong serangga fitofag. Menurut Kalshoven (1919) dan Dammerman (1929), selain rasamala, hama ini menyerang pula pohon kina, coklat, teh, dadap, sengon, jati dan jenis-jenis pohon hutan lainnya serta tanaman palawijaya. e. Cara penyerangan Serangan E. sericeus umumnya terjadi di daerah beriklim basah dan tidak ada perbedaan yang jelas antara musim hujan dengan musim kemarau. Di daerah demikian sengan hama ini dapat terjadi sepanjang tahun. Ngengat betina bertelur pada malam hari. Telur-telurnya diletakkan di permukaan tanah (Dammerman, 1929). Belum diketahui berapa jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh seekor ngengat betina. Larva menyerang pohon pada malam hari, pada siang hari mereka bersembunyi di dalam tanah atau tunggak-tunggak yang lapuk. Menurut Kalshoven (1937), larva instar-instar awal tidak menyerang tanaman hidup, tetapi memakan ranting, dahan dan tunggak yang telah lapuk di tanah. Setelah larva agak dewasa, mereka pindah ke semak-semak dan mulai menyerang pohon-pohon muda. Larva memakan kulit kayu dibagian leher akar atau sedikit di atas leher akar. Larva menyerang pohon secara bersama-sama (bergerombol), sampai pohon mati, setelah itu mereka pindah ke pohon lain. Larva akan pindah dari pohon yang satu ke pohon yang lain, terutama bila pohon yang digereknya sudah mati sebelum
78
larva menjadi kepompong. Menurut Kalshoven (1937) larvanya hanya dapat berkepompong pada pohon yang masih hidup. Bekas serangan pada leher akar melingkar seperti cincin. Pada pohon yang berkulit tebal, bentuk kerusakannya tidak seperti cincin, tetapi tidak teratur. Larva dewasa yang akan menjadi pupa banyak merusak kayu gubal, kemudian membuat lubang gerek, mula-mula mendatar sedalam 1 – 1,5 cm, kemudian membelok ke arah atas atau ke bawah (ke akar tunggang) (Gambar 26). Dalamnya lubang gerek mencapai 20 cm. Pengepompongan terjadi di dalam lubang gerek.
Gambar 26 Endoclita sericeus yang menyerang pangkal batang pohon kina dengan membentuk gelang pada leher akar (Kalsoven, 1981). f. Dampak serangan Pada tahun 1917 terjadi seranga E. sericeus pada tanaman rasamala yang berumur 2 – 3 tahun di daerah Gunung Salak (Cidahu) dan Gunung Gede (Ciparay) (Kalshoven, 1919).
Pada tahun 1976 terjadi pula serangan pada
tanaman rasamala yang berumur 2 – 3 tahun di daerah Ciwidey (Digut, 1977), dengan persen serangan masing-masing 26 % dan 3 %. Serangan tidak ditemukan pada tanaman rasamala yang berumur 1 dan 4 tahun. Serangan pada tanaman jati muda terjadi di daerah Rajamandala pada tahun 1998. Serangan E. sericeus pada akar pohon dapat dikenal dari lubang gerek yang berukuran cukup besar (± 1 cm) di daerang pangkal batang. Dari lubang
79
gerek keluar serbuk gerek yang bercampur dengan kotoran serangga dan getah. Sebelum menggerek batang, larva akan menggerek kulit kayu sekeliling pangkal batang sehingga kerusakan yang menggelang. Bila hal ini terjadi, maka pohon akan layu, mengering dan akhirnya mati. Kadang-kadang di sekitar lubang gerek terjadi pembusukan oleh agen pelapuk, yang akan mempercepat proses kematian pohon. Kerusakan yang lebih besar dapat terjadi bila ada burung pelatuk yang mencari larva di dalam lubang gerek. Penyembuhan luka dapat dihambat pula oleh semut yang bersarang di dalam lubang gerek. Serangan hama ini tidak selalu mematikan pohon inangnya. Bila kerusakan kulit tidak sampai menggelang, atau bila lubang gerek terletak sedikit ke atas dari leher akar, pohon inanganya dapat bertunas kembali, tetapi kualitas kayu yang dihasilkan akan rendah. g. Cara pengendalian Menurut Dammerman (1929) pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan cara membunuh larva pada saat serangan masih pada tahap awal (larva belum menggerek ke dalam pangkal batang), dan menutup luka pada batang dengan ter. Cara lain adalah dengan menginjeksikan 50 % karbolenium ke dalam lubang gerek. Sekarang insektisida ini sudah tidak ada dan mungkin dapat digunakan insektisida dari golongan organofosfat atau karbamat. Kalshoven (1919; 1937) menganjurkan untuk membunuh larva yang berada di dalam lubang gerek dengan menggunakan penusuk kawat dan membersihkan areal tanaman dari tunggak-tunggak, dahan dan ranting yang membusuk di tanah. Cara-cara pengendalian tersebut hanya dapat dilakukan pada areal tanaman yang tidak terlalu luas. Populasi E. sericeus dapat ditekan oleh musuh-musuh alaminya. Beberapa predator E. sericeus adalah burung pelatuk, burung celepuk, semut, kelelawar dan toke (Kalshoven, 1919). Burung pelatuk merupakan predator penting yang banyak memakan larva dan pupanya. Selain predator telah diketahui pula 2 spesies serangga parasitoid larva dari famili Tachinidae dan satu spesies parasitoid larva dari ordo Hymenoptera yang menyerang larva di dalam lubang gerek (Kalshoven, 1937). Larva E. sericeus sering diserang jamur Cordicep sp. pada saat larva menjelang dewasa.
80
4.1.4.2 Uret a. Morfologi Uret adalah nama umum bagi larva kumbang yang tergolong super famili Scarabaeoidea (Lamellicornia), ordo Coleoptera. Uret mempunyai nama daerah yang bermacam-macam; di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut gayas atau embug, di Jawa Barat disebut kuuk dan di daerah Tapanuli disebut guridap. Super famili Scarabaeoidea terdiri dari famili Lucanidae, Passalidae, Trogidae (Troxidae) dan Scarabaeidae. Yang banyak menyerang tanaman kehutanan terutama adalah Leucopholis rorida F., Lepidiota stigma F., Holotrichia helleri Brsk. dan H. constricta Bur. yang tergolong sub famili Melolonthinae dan Euchlora viridis F. yang tergolong sub famili Rutelinae, famili Scarabaidae. Kumbang-kumbang dari super famili Scarabaeoidea berukuran besar dan gemuk. Menurut Intari dan Natawiria (1973), salah satu ciri penting kumbang ini adalah 3 ruas terakhir dari antenanya melebar ke satu arah, (kecuali pada famili Passalidae dan Lucanidae) yang dapat membuka dan menutup seperti kipas. Pada famili Passalidae bentuk 6 ruas antena terakhir memanjang seperti pentung sedangkan 5 ruas antena terakhir pada famili Lucanidae bentuknya seperti kerucut. Larva-larvanya mempunyai kepala dan mandibel yang kuat. Bentuk tubuhnya membengkok seperti seperti huruf C, bagian belakang abdomen sering kali berbentuk seperti kantung, warna tubuhnya putih dan kepalanya berwarna coklat (Kalshoven, 1981). Bagian atas kumbang Leucopholis rorida berwarna coklat tua dan bagian bawahnya berwarna coklat kemerahan, permukaan tubuhnya ditutupi sisik renik berwarna putih kekuning-kuningan. Pada bagian belakang kepala dan pangkal antena tumbuh bulu-bulu halus berwarna kuning kecoklatan. Panjang tubuh kumbang betina 2,4 - 3,5 cm dan lebarnya 1,3 - 1,8 cm. Panjang tubuh kumbang jantan adalah 2,0 - 3,0 cm dan lebarnya 1,0 - 1,6 cm. Panjang tubuh uretnya dapat mencapai 5 cm, bentuknya melengkung seperti huruf C, berwarna putih kekuningan (Gambar 27). Tubuh uret dapat merentang dengan baik tetapi bila diletakkan pada permukaan tanah posisi tubuhnya akan miring dan hanya bisa bergerak dengan menggunakan salah satu sisi tubuhnya (Intari dan Natawiria, 1973).
81
Gambar 27 Bentuk tubuh uret Leucopholis rorida (Harsono, 1981).
Kumbag Lepidiota stigma berwarna coklat keabuan, tubuhnya ditutupi sisik renik berwarna kuning atau putih kekuningan. Bila sisik-sisiknya lepas, warna tubuhnya menjadi coklat tua mengkilap. Pada ujung elytra terdapat bercak putih berukuran ± 1,5 mm yang terdiri dari sisik renik yang berwarna putih dan tumbuh sangat rapat. Panjang tubuh kumbang betina 4,3 – 5,3 cm dan lebarnya 2,2 – 2,7 cm, dan panjang tubuh kumbang jantan 4,2 – 5,3 cm dan lebarnya 2,0 – 2,6 cm.
Uret dewasa dapat mencapai panjang 7,5 cm (Gambar 28), cara
bergeraknya pada permukaan tanah miring dengan menggunakan salah satu sisi tubuhnya (Intari dan Natawiria, 1973).
Gambar 28 Bentuk tubuh uret Lopidiota stigma (Harsono, 1981).
82
Bagian dorsal (atas) kumbang Euchlora viridis berwarna hijau mengkilap, bagian ventralnya (bawah) berwarna hijau dengan kilapan berwarna merah tembaga.
Kaki dan ruas pertama antena berwarna hijau mengkilap. Secara
morfologis antena kumbang betina dan kumbang jantan sukar dibedakan, panjang tubuhnya mencapai 1,7 - 2,7 cm dan lebarnya 1,0 - 1,5 cm. Uret berwarna putih, panjangnya mencapai 4,5 cm, tubuhnya dapat direntangkan dengan baik dan dapat berjalan dengan menggunakan kaki-kakinya. (Intari dan Natawira, 1973). b. Siklus hidup Sebagian
besar
kehidupan
kumbang
superfamili
Scarabaeoidea
berlangsung di dalam tanah. Siklus hidup uret beragam tergantung pada jenis uret dan keadaan lingkungan setempat, namun pada umumnya berlangsung selama satu tahun de-ngan melalui berbagai stadia yang terdiri dari stadia telur, uret aktif, uret tak aktif (istirahat), pupa dan imago (kumbang). Dari kelima stadium ini hanya stadium kumbang yang muncul di atas permukaan tanah sedangkan stadia lainnya berlangsung di dalam tanah. Stadium uret aktif berlangsung paling lama yaitu antara 5 - 9 bulan (Intari dan Natawiria, 1973). Larva Leucopholis rorida berkembang penuh pada bulan Agustus. Tahap prepupa berlangsung 10 - 30 hari dan tahap pupa 4 - 5 minggu. Bila dipelihara pada wortel, perkembangannya berlangsung 300 hari. Pupa terdapat pada ruang kecil, berwarna coklat kekuningan. Sesudah keluar, kumbangnya tidak aktif selama 4 minggu dan kemudian aktif selama 2 minggu lebih (Kalshoven, 1981). Menjelang pupasi dibuatnya ruangan yang berdinding keras dan permukaan sebelah dalamaya licin. Stadium istirahat terjadi di dalam ruangan ini yang kemudian diikuti dengan stadium pupa. Kumbang yang keluar dari pupa tidak segera keluar dari tanah tetapi untuk beberapa lama tetap tinggal di dalam tanah. Beberapa jenis uret yang sering dijumpai menyerang bibit atau tanaman muda adalah (Suharti et al., 1998). 1.
Leucopholis rorida F. (Scarabaeidae) a) Telur diletakkan dalam tanah pada kedalaman 30 - 100 cm. b) Larva dewasa berukuran ± 3 cm tinggal dalam tanah pada kedalaman 2080 cm.
83
c) Pupa/kepompong berwarna kuning kecoklatan. d) Kumbang warna coklat tua ukuran 20 - 27 cm. e) Stadium telur 19 - 23 hari, uret aktif 9 bulan, uret tidak aktif 8 - 32 hari, pupa 4 - 5 minggu dan imago 7 hari. 2.
Euchlora viridis a) Sebagian besar dari stadia hidupnya berada dalam tanah, maka faktor tanah terutama sifat fisik dan kelembaban sangat penting. b) Kumbang berwarna hijau mengkilat, ukuran panjang tubuhnya 12 - 27 mm. c) Jika akan bertelur kumbang betina memilih tanah yang gembur, sering pada tanah yang sudah diolah, lembab dan bervegetasi. Tanah yang gundul tidak disukainya. d) Stadium telur 13 - 20 hari, uret aktif 5 bulan, uret istirrahat 10 - 25 hari dan kumbang 3 bulan
c. Daerah penyebaran Uret mempunyai daerah penyebaran yang luas, meliputi daerah tropika sampai daerah beriklim sedang. Euchlora viridis umumnya terdapat di Indonesia bagian barat dan Malaysia, terutama di daerah pegunungan, Leucopholis rorida terdapat di Jawa, Sumatera dan Malaysia, Lepodiota stigma terdapat di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (Kalsoven, 1981). d. Pohon Inang Uret termasuk serangga polifag. Jenis tanaman yang diserangnya antara lain adalah Acacia decurens, dadap, tumbuhan semak, padi gogo, singkong, pohon kemeyan, karet, tebu, jagung, agave dan kopi (Kalshoven, 1981). Menurut Intari dan Natawiria (1973), tanaman HTI yang pernah diserang uret antara lain adalah rasamala, jati, sengon, jabon dan Pinus merkusii. e. Cara penyerangan Uret yang masih muda memakan bagian-bagian akar yang lunak, tetapi kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu berarti. Semakin besar ukuran uret, jumlah makanan yang diperlukan akan semakin banyak sehingga kerusakan yang
84
ditimbulakannya akan semakin besar. Tanaman yang terserang tampak layu dan kemudian mati. f. Dampak Serangan Uret dewasa dapat memakan kulit akar sampai habis. Adanya kerusakan akar ini dapat menyebabkan terjadinya kelayuan pada tanaman muda dan sering menimbulkan kematian anakan atau bibit. g. Cara pengendalian Pemberantasan biologis terhadap hama uret tidak begitu banyak dilakukan karena tidak efektif meskipun musuh-musuh alami dari uret cukup banyak. Dua macam cara pemberantasan yang banyak dilakukan adalah cara mekanis baik terhadap uret maupun kumbangnya pada waktu mengerjakan tanah atau pada waktu musim kumbang dan cara yang kedua adalah penggunaan insektisida (Intari dan Natawiria, 1973). 1) Pengendalian mekanis Pengumpulan uret yang kemudian diikuti dengan pemusnahan dapat dilaksanakan pada waktu mengolah tanah. Bila penanaman hutan dengan cara tumpangsari maka sebaiknya tanah segera dikerjakan setelah panen. Stadium uret aktif umumnya berkisar antara 5 – 9 bulan sedangkan tumpang sari berumur 3 – 4 bulan sehingga pada waktu panen sebagian besar dari uret masih aktif dan masih berada di sekitar perakaran. 2) Pengendalian kimiawi Untuk mencegah/membrantas uret dengan menggunakan insektisida maka insektisida dicampur dengan tanah baik dalam bentuk larutan, embusan (dust) maupun butiran. Di daerah yang sering terjadi serangan uret, pecampuran insektisida dengan tanah harus dilakukan sebelum atau pada saat menanam dan jangan ditunggu sampai kerusakan oleh uret terjadi. Penggunaan karbofuran 3 G pernah dicoba oleh Saragih (009) pada tanaman Eucalyptus hybrid di Suamatera Utara dengan menggunakan dosis 10 gram, 20 gram dan 30 gram per lubang taman. Insektisida dicampur merata dengan tanah pada lubang tanam dan setelah itu bibit baru ditanam dalam lubang tanam. Ternyata dengan dosis 10 gram per lubang tanam sudah dapat menurunkan persen serangan uret dari 70 % menjadi 10 %.
85
4.2 Pembahasan 4.2.1 Hama Daun 4.2.1.1 Eurema blanda Populasi E. blanda meledak satu kali dalam setahun, kadang-kadang sampai dua kali. Peledakan populasi ini umumnya terjadi pada musim hujan dan menurun pada musim kemarau. oleh karena itu, pada setiap awal musim hujan para pengusaha hutan tanaman sengon harus mewaspadai adanya peledakan ini dan melakukan persiapan untuk pengendaliannya. Untuk keperluan itu maka harus sudah dilakukan kegiatan pemantauan hama. Memang di Indonesia tidak ada pengalaman tentang interval pemantauan hama hutan termasuk juga pemantauan E. blanda. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam pengambilan interval pengamatan antara lain tingkat tumbuh tanaman, siklus hidup serangga yang diamati, tujuan pemantauan, faktor cuaca dan lain-lain (Untung, 2006). Untuk serangga yang mempunyai siklus hidup yang pendek dan daya reproduksi yang tinggi, interval pemantauan harus pendek agar tidak kehilangan informasi dari lapangan.
Pemantauan penggerek batang padi (Scircophaga spp, Chilo spp dan
Sesamia inferens) yang mempunyai siklus hidup sekitar 48 hari, dilakukan satu kali setiap minggu. Mengacu pada pemantauan penggerek batang padi tersebut, maka pemantauan E. blanda yang memiliki siklus hidup 36 hari, pemantauan dilakukan seminggu sekali. Hal-hal yang dipantau adalah jumlah ulat per pohon, persen serangan atau tingkat pengundulan pohon. Pengendalian
E.
blanda yang pernah
dilakukan
adalah dengan
menggunakan parasitoid dari ordo Hymenoptera yaitu Brachimeria femorata yang dapat mematikan kepompong sampai 75 % dan Apanteles javensis dan A. tabronae yang mampu membunuh telur dan ulat sampai sebesar 24 %. Namun untuk penggunaan musuh-musuh alami tersebut diperlukan tenaga khusus untuk pembiakan masal parasitoid tersebut. Penggunaan musuh-musuh alami tersebut tidak terpengaruh oleh umur dan tinggi tanaman karena serangga-serangga parasitoid tersebut dapat terbang. Cara pengendalian lain yang pernah dicoba adalah dengan menggunakan insektisida botani antara lain ekstrak daun tembakau dan ekstrak buah mahoni dengan menyemprotkan cairan ekstrak tersebut ke pohon sengon. Juga telah
86
dicoba dengan menyemprotkan suspensi bakteri Bacillus thuringiensis (Bt). Di Indonesia Bt ini dipasarkan dengan nama dagang Agrisal WP (B. thuringiensis var. Kusrstaki serotype 3abc 2 %), Dipel WP (B. thuringiensis var. Kusrstaki strain HD-7, 16.000 lu/mg), Bite WP6 (B. thuringiensis var. Aizawari serotype H7 20 %) dan Bite WP (B. thuringiensis var. Aizawari serotype H-7, 86 x 109 spora/gram).
Penggunaan Bt dan insektisida botani dengan menggunakan alat
penyemprot punggung hanya bisa dilakukan pada tanaman muda yang berumur 1 – 2 tahun. Untuk menyemprot tanaman sengon yang lebih tua dibutuhkan alat penyemprot yang bertenaga tinggi sehingga dapat menyemprot sampai ketinggian tanaman 10 meter keatas. 4.2.1.2 Eurema hecabe Eurema
hecabe
menyerang
pada
anakan
sengon
sejak
disapih
dipersemaian. Namun, tampaknya E. hecabe ini kurang penting sebagai hama dibanding E. blanda karena populasi E. hecabe jarang meledak. Dari kupu-kupu kuning yang dikumpulkan pada tahun 1992 oleh Matsumoto (1994), terdapat 493 ekor E. blanda dan hanya 1 ekor E. hecabe. Kemudian pada tahun 1994, terdapat 19.968 ekor E. blanda dan hanya 3 ekor E. hecabe. Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari serangan hama tersebut, dengan pemasangan kurungan pada bedeng sapih yang terbuat dari kawat kasa yang bertujuan untuk mencegah kupu-kupu kuning (E. hecabe) hinggap pada daun anakan sengon untuk meletakkan telurnya. Ukuran kurungan kawat kasa disesuaikan dengan ukuran bedeng sapih. Bila anakan di bedeng sapih dipelihara sampai tinggi 30 – 40 cm, kurungan di bedeng sapih dapat dibuat setinggi 50 cm. 4.2.1.3 Pteroma plagiophleps Di Kerala India, Pteroma plagiophleps menimbulkan pengundulan hebat pada tanaman muda sengon, mematikan pohon 22 % tanaman sengon yang berumur 3 – 6 tahun dan merusak pohon lain sebesar 17 %. Di Sumatera, beberapa perusahaan HTI telah melaporkan adanya serangan hebat pada hutan tanaman sengon. Dilihat dari informasi tersebut dimungkinkan dampak yang ditimbulkan P. plagiophleps lebih besar dari E. blanda.
87
Untuk pengendalian hama ini Hutacharern (1993) menyarankan untuk menggunakan
insektisida
kimia
berupa
trichlorfos
atau
carbaryl
yang
disemprotkan ke daun sengon. Selain itu pengendalian menggunakan ekstraksi daun tembakau untuk pengendalian E. blanda, dapat juga digunakan untuk pengendalian P. plagiophleps. Penyemprotan pada ketinggian pohon sekitar 1 – 5 meter dapat dilakukan dengan alat penyemprot punggung, sedangkan pada ketinggian tanaman diatas dari 5 meter, penyemprotan dilakukan dengan alat penyemprot bertenaga tinggi. P. plagiophleps dapat pula dikendalikan dengan biopestisida berupa jamur Beauveria bassiana, yang merupakan salah satu jenis jamur yang bersifat patogenik terhadap serangga. Untuk mendapatkan jamur B. bassiana ini, Balai Proteksi Tanaman (BPT) yang berada di setiap provinsi mengembangkan musuhmusuh alami termasuk B. bassiana yang bertujuan untuk digunakan dalam pengendalian, sehingga memudahkan dalam pengendalian hama ini, karena jamur B. bassiana tidak dijual dipasaran. 4.2.1.4 Ferrisia virgata Ferrisia virgata sering disebut sebagai kutu dompol, merupakan hama yang menyerang daun sengon. Ferrisia virgata tergolong serangga polifagus dan tidak didatangi semut, ini mungkin diakibatkan karena seluruh tubuhnya tertutup oleh lapisan lilin berwarna putih tebal sehingga semut tidak memberanikan diri untuk mendekatinya. Karena itu pengendalian dengan menggunakan parasitoid tidak dapat dilakukan. Dilihat dari siklus hidup Ferrisia virgata, stadium nimfa merupakan stadium yang sangat merusak tanaman sengon terutama daunnya. Dengan cepat Ferrisia virgata mencari tunas dan daun muda untuk didiami dan menghisap cairan yang ada pada tunas dan daun tersebut. Akibatnya pohon yang terserang hama ini tampak memutih tertutup oleh lapisan lilin pada seluruh bagian pucuk dan seluruh daun, sehingga tanaman tersebut kering dan daunnya gugur. Serangga betina mampu bertelur 200 – 450 butir, sehingga pemantauan hama tersebut harus lebih diutamakan pada stadium telur dan langsung melakukan pengendalian untuk membunuh langsung telur tersebut sebelum menjadi nimfa. Apabila nimfa tersebut sudah ada maka pengendalian dapat dilakukan dengan
88
menggunakan rendaman kulit mahoni yang dicampur dengan sabun colek, kemudian disemprotkan pada tanaman yang terserang dengan menggunakan alat penyemprot punggung maupun alat penyemprot bertenaga tinggi. Fungsi dari sabun colek tersebut untuk menghilangkan kandungan lilin yang ada pada tanaman dan membunuh langsung hama Ferrisia virgata. 4.2.2 Hama Kulit 4.2.2.1 Indarbella acutistriata Secara umum, serangan Indarbella acutistriata ini hampir menimbulkan kerugian ekonomis, hal ini dibenarkan olek pelaksana pelelangan kayu di tempat penimbunan kayu (TPK) di KPH Kediri. Konsumen kayu juga belum menilai rendah pada kayu-kayu yang diserang hama ini dan tidak mempermasalahkan kerusakan tersebut dan hal ini menguntungkan pihak Perhutani. Namun, dimasa yang akan datang, penilaian konsumen ini mungkin akan berubah. Saat ini kegiatan pengendalian yang dianggap cukup efektif adalah dengan menggunakan kawat panjang 10 cm untuk membunuh ulat yang ada diliang gerek yang dilakukan pada siang hari, karena pada saat itu ulat I. acutistriata berada didalam liang gerek. Sedangkan penyemprotan pada permukaan batang dengan nematoda dan jamur Beauveria bassiana dianggap kurang efektif karena tidak dapat menembus kedalam kulit batang dan liang gerek. Dengan bertambahnya waktu, dimungkinkan kerusakan yang dibuat oleh I. acutistriata dapat menghasilkan dampak yang lebih besar, sehingga diperlukan beberapa penelitian untuk mengetahui pengendalian yang efektif dalam pengendalian hama tersebut. 4.2.3 Hama Batang 4.2.3.1 Xystrocera festiva Di Pulau Jawa, Xystrocera festiva sering disebut uter, wowolan atau boktor. Boktor tidak hanya menyerang sengon tetapi juga menyerang berbagai tanaman lain, misalnya mangga dan tebu. Ini mungkin dikarenakan nutrisi yang dibutuhkan oleh boktor terdapat pada pohon mangga dan tebu. Dilihat pada Tabel 10, peranan hutan campuran dalam pengendalian boktor sengon belum begitu jelas dan juga tidak efektif. Di daerah hutan Bandung Selatan, persen serangan pada hutan campuran mencapai 30 – 80 %. Hutan campuran tersebut terdiri dari
89
sengon sebagai tanaman utama dengan selang-seling tanaman lain misalnya puspa, damar, mahoni, rasamala, suren, sonokeling, jabon, eucalyptus dan jati. Semua jenis tersebut diserang oleh boktor, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pemilihan tanaman selang dan jarak tanam untuk mengurangi serangan X. festiva. Kerusakan pada bagian batang akan menimbulkan berbagai pengaruh yaitu kematian batang, patah batang dan kerugian finansial. Karena adanya liang-liang gerek pada batang tersebut, akan menurunkan volume dan kualitas kayu pertukangan. Pada Tabel 9, bila kerugian sebesar 5 % dianggap sebagai batas kerugian maksimal dan dapat diabaikan, dan tindakan pengendalian hama tidak dilakukan, maka sengon tersebut harus ditebang pada umur 5 tahun atau 6 tahun. Pemanenan ini bisa dilakukan bila tujuan HTI sengon adalah untuk menyediakan bahan baku industri pulp, laminated board dan papan partikel. Namun, bila tujuan pengusahaan HTI sengon ini untuk menyediakan bahan baku industri kayu lapis, mebel dan kayu konstruksi maka tindakan pengendalian boktor akan sangat diperlukan. Pada Tabel 9 persen kerugian finansial akibat serangan X. festiva lebih kecil dibandingakan pada Tabel 8. Ini dikarenakan di daerah Gerbo (Tabel 8) tegakan sengonnya tidak pernah dijarangi, sedangkan di daerah Ngancar (Tabel 9) penjarangan dilakukan setiap tahun sejak tegakan berumur 3 tahun sampai berumur 6 tahun dan pada umur 8 tahun ditebang habis. Dari hal tersebut, kegiatan penjarangan cukup efektif dalam pengendalian hama ini. Selain itu, pengendalian yang dianggap cukup efektif adalah mengunakan parasitoid telur yang berasal dari kelompok ordo Hymenoptera, penangkapan kumbang dengan perangkap lampu berwarna biru dan hijau dan juga dengan penjarangan. Penangkapan dengan perangkap lampu cukup efektif dikarenakan kumbang X. festiva sangan tertarik dengan lampu berwarna biru dan hijua. Keuntungannya kumbang betina dapat ditangkap sebelum meletakkan telur, sehingga serangan ini dapat dihindarkan. Selain itu, kumbang tersebut dapat menjadi media untuk membiakkan parasitoid. Dan juga dilihat dari daerah penyebarannya, boktor hanya berkembangbiak di daerah Indonesia Barat, sehingga ini dapat menjadi alternatif, bahwa apabila sengon ditanam di daerah
90
Indonesia Timur dimungkinkan serangan boktor ini tidak terjadi. Selain itu, menggunakan insektisida sistemik Dimethoate 400 EC dengan konsentrasi 6 cc/l, hal ini menunjukkan keampuhan untuk membunuh larva dan juga konsentrasi tersebut dianggap maksimum karena ditinjau dari segi efek samping insektisida terhadap lingkungan. 4.2.3.2 Xystrocera globosa Xystrocera globosa merupakan jenis yang sama dengan Xystrocera festiva. Dikenal juga dengan sebutan boktor, namun yang membedakan dari kedua jenis tersebut adalah ukuran tubuhnya. Ukuran tubuh X. globosa lebih kecil dari pada X. festiva. Dilihat dari cara penyerangannya, X. globosa membuat saluran gerek secara individu diantara kulit dan kayu gubal. Ini berbeda dengan X. festiva yang membuat saluran geren secara berkelompok. Dampak serangan X. globosa tidak begitu besar dibanding X. fertiva, ini mungkin dikarenakan penyerangan dilakukan secara individu sehingga lubang gerek pada sengon tidak begitu banyak. Serangan X. globosa pada sengon sering terjadi bersamaan X. festiva. Oleh karena itu, kegiatan pengendalian pada X. fertiva dapat juga dilakukan untuk pengendalian X. globosa. 4.2.4. Hama Akar 4.2.4.1 Endoclita sericeus Hama Endoclita sericeus termasuk famili Hepialidae, ordo Lepidoptera. Hama ini menyerang kulit pada bagian akar secara berkelompok. Ulatnya memakan kulit kayu bagian leher akar atau sedikit diatas leher akar. Dampak dari serangan hama tersebut dapat mengakibatkan kematian pohon. Pada tahun 1971 terjadi serangan E. sericeus pada tanaman rasamala yang berumur 2 – 3 tahun di daerah Gunung Salak dan Gunung Gede. Pada tahun 1976 terjadi pula serangan pada tanaman rasamala yang berumur 2-3 tahun daerah Ciwidey, dengan persen serangan masing-masing 26 % dan 3 %. Dilihat dari hal tersebut, dimungkinkan serangan E. sericeus hanya terjadi pada tanaman muda, dikarenakan kulit dan batang pada bagian leher akar masih lunak dan memudahkan hama tersebut untuk mengkonsumsinya.
91
Dari siklus hidup E. sericeus belum diketahui. Kalshoven (1919) melaporkan pada bulan Januari terdapat pohon yang diserang oleh E. sericeus dan bulan Mei ditemukan larva dewasa. Lalu pada bulan Desember ditemukan adanya pupa. Dengan belum diketahui siklus hidup E. sericeus, maka hal tersebut dapat menghambat dalam pemantauan dan pengendalian hama tersebut. Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut tentang siklus hidup E. sericeus. Menurut Dammerman (1929) pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan cara membunuh larva pada saat serangan masih pada tahap awal. Ini dikarenakan larva tersebut masih berada didalam tanah dan hanya memakan ranting, dahan dan tunggak yang telah lapuk di tanah. Untuk pengendalian yang lebih efektif, perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas musuhmusuh alaminya dan juga beberapa predator alami seperti burung pelatuk, berung celepuk, semut, kelelawar dan toke. Dan mencari beberapa altenatif pengendalian yang berasal dari insektisida botani. 4.2.4.2 Uret Selain menyerang sengon, tingkat serangan uret pada tanaman kehutanan bervariasi dari ringan sampai berat. Serangan uret pada tanaman jati muda (1 – 2 tahun) di Saradan menyebabkan 50 % dari tanaman harus disulam dan sulaman ini tidak berhasil karena diserang kembali oleh uret. Serangan uret pada tanaman campuran sengon dan jabon di Jombang tahun 1964 menyebabkan tanaman harus disulam samapai 5 – 6 kali, yang juga tidak berhasil mengatasi serangan tersebut (Intari dan Natawiria, 1973). Serangan uret pada tanaman muda rasamala di Sukabumi pada tahun 1980 menyebabkan 61 % dari jumlah tanaman mati (Harsono, 1981). Oleh karena itu, uret dianggap hama penting karena dapat menyebabkan kematian pada tanaman secara besar-besaran. Kegiatan pemantauan uret dianggap kurang efektif karena keberadaan uret yang berada didalam tanah. Untuk pencegahan pertama, dapat dilakukan dengan pengelolaan tanah dan menggunakan insektisida yang dicampur dengan tanah. Insektisida tersebut dapat diberikan pada lubang tanam atau bibit yang baru ditanam. Saragih (2009) melakukan pengendalian dengan menggunakan insektisida korbofuran 3 G yang ternyata dengan dosis 10 gram perlubang tanam sudah dapat menurunkan persen serangan uret dari 70 % menjadi 10 %.
92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu : 1.
Jenis-jenis hama yang menyerang hutan tanaman sengon terdiri dari hama yang menyerang daun yaitu Eurema blanda, Eurema hecabe, Ulat Kantong dan Ferrisia virgata. Hama yang menyerang kulit yaitu Indarbella acutistriata, hama yang menyerang batang yaitu Xystrocera festiva dan Xystrocera globosa. Dan hama yang menyerang akar yaitu Endoclita sericeus dan Uret.
2.
Cara pengendalian hama yang menyerang daun dapat dilakukan dengan cara penggunaan parasitoid, pemberian kurungan kawat kasa, injeksi pohon dengan insektisida sistemik, dan Penggunaan Bacillus thuringiensis.
3.
Cara pengendalian hama kulit dapat dilakukan dengan jamur B. bassiana. Namun efektifitas dari cara-cara pengendalian yang diajukan kedua ahli Suharti dan BP2TP (Badan Pengkajian dan Pengembangan Tegnologi Pertanian) tersebut tidak dikemukakan.
4.
Cara pengendalian hama yang menyerang batang yang efektif adalah kombinasi anatara penyesetan bagian kulit batang yang terserang dengan penjarangan dan Penggunaan parasitoid telur dapat dilakukan sebagai supelemen pengendalian.
5.
Cara pengendalian hama yang menyerang akar dapat dilakukan dengan cara memasukkan cairan atau butiran insektisida ke dalam liang gerek yang mengarah ke akar tunggang. Serta penggunaan insektisida butiran.
6.
Dari hama-hama yang telah disebutkan, Xystrocera festiva merupakan hama yang paling dianggap penting karena dapat menyebabkan penurunan nilai tegakan, secara kuantitas maupun ekonomis.
93
7.
Terdapat beberapa hama yang pengendaliannya belum efektif seperti Ferrisia virgata, Indarbella acutisriata dan Endoclita sericeus.
5.2 Saran 1.
Masih diperlukan studi perpustakaan lanjut tentang hama-hama pada sengon, mengingat dinamika lingkungan yang berubah cepat.
2.
Perlu penelitian studi perpustakaan dan praktek uji coba dalam pengendalian hama pada sengon.
3.
Perlu penelitian tentang pemantauan hama, agar pengendalian hama dapat terlaksana dengan baik.
94
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi K. 2008. Intensitas serangan boktor (Xystrocera festiva) Pascoe dan pengendalian dengan menggunakan perangkap lampu pada areal tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti. Jatinangor. Tidak diterbitkan. [Anonim]. 2010a. Eurema hecabe. www.butterflyutopia.com/ eu-rema_hecabe_ brenda.html. [14 Jul 2010]. . 2010b. Eurema spp. http: // blog. xuite.net/timlouis/blog/25872803. [14 Juli 2010]. . 2010c. Eurema hecabe egg sec. www.wikipedia.org/wiki/ file: eurema hecabe_egg_sec.jpg. [14 Jul 2010]. . 2010d. Butterfly. http://butterfly.nss.org.sg/ Gallery/ Caterpillar. html. [14 Jul 2010]. . 2010e. Sengon (Paraserianthes falcataria). http://rajabenih.com/?p=22. [3 Agu 2010]. . 2010f. Kayu Sengon Lumajang dikirim ke Magelang. http://www.kabarbisnis.com/peristiwa/28337-Kayu_Sengon_Lumajang_dikirim_ke_Magelang.html. [3 Agu 2010]. Atmosuseno BS. 1994. Budidaya, kegunaan, dan prospek pengon. Jakarta: Penebar Swadaya, Jakarta. Borror Dj, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan pelajaran serangga, Edisi. Ke-6. (Peneterjemah: S. Partosoedjono). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. BP2TP. 2007. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao Dengan Jamur Beauveria Bassiana. www.Pustaka-Deptan. go. id/agritek. [27 Feb 2007]. Chaiglom D. 1990. Outbreaks of forest insect and control operations in Thailand. Proceedings of the IUFRO Workshop. Bangkok: RAPA Publication 1990/9 FAO. Dadang, 2010. Pestisida dalam pengendalian hama terpadu. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Dammerman KW. 1929. The Agricultural Zoology of the Malay Archipolago: The animal injurious and beneficial to agriculture, horticulture and forestry in Malay Peninsula, The Dutch East Indie and the Philippinies. Amsterdam: JH de Bussy Ltd. de Yong JK. 1931. Is een radicale boorderbestrijding in de Albizzia mogelijk?. De Bergcultures. No. 12: 323 – 326.
95
Digut SN. 1977. Berat serangan Phassus damor Moore pada tegakan rasamala di KPH Bandung Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Franssen CJH. 1931. Over de levenwijze van den Albizzia boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Arch. Theecult., 1: 1 - 5. Hardi TTW, Darmawati W. 1996. Pengendalian hama kupu-kupu kuning secara biologis. Info Hutan 66: 1 – 7, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Hardi TTW, Anggraeni I. 2003. Efikasi ekstrak daun tembakau terhadap hama sengon, Eurema blanda (Boisd). Pprosiding Ekspose Hasil Litbang Biotegnologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Harsono DPB. 1981. Serangan hama uret pada tanaman muda rasamala di KPH Ciguha, BKPH Cikawung, KPH Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Hawiati PW. 1994. Peranan ekstrak biji dan daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) dalam pengendalian penggerek batang sengon (Xystrocera festiva Pascoe). Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Tidak diterbitkan. Husaeni EA. 1992. Kerugian serangan boktor (Xystrocera festiva Pascoe) pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Da-lam Mas’ud F, Soedaryanto, Abdulllah RH, Riyanto HD, Kuwadi (Eds.) Proceedings seminar dan temu lapang pembangunan HTI wilayah Sumatera, Palembang 29 – 31 Okotber 1992. Pp 393 – 398. . 2001. Diktat hama hutan tanaman. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Husaeni EA, Kasno, Rachmatsjah O, Haneda NF, 1995. Studi pemberantasan hama boktor (Xystrocera festiva) pada tegakan sengon: Bio-ekologi boktor dan eksplorasi musuh alami boktor. Laporan penelitian, Fakutas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Husaeni EA, Kasno, 1997. Studi pemberantasan hama boktor (Xystrocera festiva) pada tegakan sengon: Pembiakan masal dan pelepasan parasitoid telur boktor. Laporan penelitian, Fakutas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Husaeni EA, Kasno, Haneda NF, Sutarahardja S. 1998. Studi pemberantasan hama boktor (Xystrocera festiva) dan hama baru pada tegakan sengon. Laporan penelitian, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Tidak diterbitkan. Husaeni E.A, Kasno, Haneda N.F, Rachmatsjah O. 2006. Pengantar hama hutan di Indo-nesia: Bio-Ekologi dan teknik pengendalian. Bogor: Fakltas Kehutanan IPB. Diktat, tidak diterbitkan.
96
Hutacharern C, 1993. Insect pests. dalam Awang K dan Taylor D (eds). Acacia mangium, growing and utilization. Winrock International and FAO, Bangkok, Thailand. Intari SE, Natawiria D. 1973. Hama uret pada persemaian dan tegakan Laporan Lembaga Penelitian Hutan Bogor No. 167.
muda.
Intari SE, Santoso E. 1990. Pola tanam HTI sebagai usaha penanggulangan hama dan penyakit (Planting pattern and diseases). Buharman, Purba K, Hediana C, editor. Proceedings Diskusi Hutan Tanaman Industri, 13 – 14 Maret 1990. Jakarta: Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. 85 – 94. Irianto RSB. Matsumoto K, Mulyadi K. 1997. The yellow butterfly species of the genus Eurema Hubner causing severe defoliation in the forestry plantations of Albizzia and Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, in the western part of Indonesia. JIRCAS Journal 4: 41 – 49. Kalshoven LGE, 1919. Schade door den ringboorder Phassus damor Moore. aan wildhoutculturen. Meded. Proefst. Boschwn. 4: 75 – 81. , 1937. De ziekten en plagen van den rasamala. Tectona 30(3): 162 – 173. , 1981. The pests of crops in Indonesia. van der Laan, PA (trans. and rev.), PT Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta. Kasmudjo. 1992. Sengon wood properties on several ages. Poster and voluntary paper on International Symposium on Sustainable Forest Management. Yogyakarta September 21 – 24, 1992. Kuswiyono D. 2003. Pola serangan hama Xystrocera festifa Pascoe pada hutan rakyat sengon laut di Desa Girikerto. Sskripsi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas kayu Indonesia Volume II. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Matsumoto K. 1994. Studies on the ecological charateristics and method of control of insect pest of trees in reforested areas in Indonesia. Final report, AFRD, Bogor. Unpublished. Matsumoto K. Irianto RSB. 1998. Adult biology of the albizia borer Xystrocera festiva Thomson (Coleoptera; Cerambycidae) based on laboratory breeding, with particular reference to its oviposition schedule. Jour. Trop. For. Sci. 10 (3) : 367 - 378. Nair KSS, Mathew G. 1988. Biology and control of insect pests of fast-growing hardwood species. KFRI Research Report 51. Kerala Forest Research Institute, Peechi, India. 45 pp.
97
. 1992. Biology, infestation charatetristics and impact of the bagworm, Pteroma plagiophleps Hamps. in forest plantations of Paraserianthes falcataria. Entomon 17: 1 - 3. Nair KSS, 2001. Pest outbreak in tropical forest plantations: Is there a greater risk for exotic tree species?. Bogor : CIFOR. Nair KSS, Sumardi, 2000. Insect pests and diseases of major plantation spesies. Dalam Nair KSS (eds). Insect pests and diseases in Indonesia forest: an assessment of the major threats, research efforts and literature. Bogor : CIFOR Narulita D. 2003. Pengendalian hama kupu-kupu kuning (Eurema blanda) dengan menggunakan ekstrak biji pucung (Pangium edule Reinw.). Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti Jatinangor. Tidak diterbitkan. Nasution F. 1994. Evaluasi nutrisi daun sengon (Albizia falcataria (L) Fosberg); in vivo. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi Makanan Ternak IPB. Tidak diterbitkan. Natawiria D. 1972/1973. Hama dan penyakit Albizia falcataria (L) Forsbeg. Rimba Indonesia 17 (1 – 2). . 1988. Teknis pengenalan hama HTI. Informasi Teknis No. 4, 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor. Notoatmodjo SS, 1963. Cara-cara mencegah serangan masal dari boktor Xystrocera festiva Pascoe pada tegakan Albizia falcataria. Laporan Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan Bogor, No. 92. Nurhayati ND. 2001. Pengujian efikasi insektisida sistemik Perfecthion 400 EC terhadap hama boktor (Xystrocera festiva Pascoe) pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan. Nurtjahyawilasa, 1996. Sudi morfologi dan morfomrtrik Xystrocera festiva Pascoe. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan. Putra AD. 2006. Perkembangan serangan serangga perusak kulit pohon Indarbela acutistriata Mell (Lepidoptera: Indarbelidae) pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen): Studi kasus di Kampus IPB Darmaga Bogor). Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti. Jatinangor. Tidak diterbitkan. Saketi B. 1989. Pemilihan tanaman inang oleh larva Eurema hecabe. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Tidak diterbitkan. Satjapraja O, Tim Perhimpi., 1989. Penilaian wilayah kesesuaian agroklimat hutan tanaman industri sengon (Albizia falcataria). Seminar sehari Peningkatan Pemanfaatan Agrometeorologi dalam Pengembangan Hutan Tanaman Industri dan Pengembangan Perkebunan. Jakarta 31 Agustus 1989.
98
Sidabutar H. Natawiria D. 1973. Percobaan penggunaan Dimecron 100 untuk memberantas hama Xystrocera festiva Pascoe pada Albizia falcataria Baker. Laporan. LPH Bogor. No. 174. Soeratmo FG. 1988. Pengendalian hama tanaman HTI, Diskusi Hasil Penelitian Silvikultur Jenis Kayu HTI, Jakarta. Speight WR, Wylie FR. 2000. Insect pests in tropical forestry. CABI Publishing. New York. . 2001. Insect pests in tropical forestry. CABI Publishing, New York. Suharti M, Irianto RSB, Sugeng. 1994. Perilaku hama penggerek batang sengon (Xystrocera festiva) dan teknik pengendaliannya secara terpadu. Bul. P3H & KA No. 558. Suharti M, Sitepu IR, Anggraeni I. 2000. Perilaku, intensitas dan akibat serangan hama penggerek batang Indarbela acutistriata Mell. pada tegakan sengon di KPH Kediri. Bul. Pen. Hutan 623: 37 – 50. Suharti M, Sitepu I, Damayanti T. Anggraeni I. 2000a. Uji efikasi beberapa jenis agens pengendali hama ulat kantong secara biologi dan kimia. Bul. P3H & KA. Suharti M. 2002. Beberapa hama dan penyakit penting pada sengon (Paraserianthes falcataria) dan teknik pengendaliannya. Bul. Pen. Hutan. 632: 27 – 46. Suhendi D, Sembiring S. 1998. Permasalahan dan strategi pengelolaan hama Eurema sp. (kupu kuning) di HTI PT. Kiana Hutani Lestari. Proceedings Workshop Permasalahan dan Strategi Pengendalian Hama di Areal Hutan Tanaman Industri. Bogor: Fahutan IPB. Hal: 37 – 48. Suratmo FG. 1974. Diktat ilmu hama hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Tidak diterbitkan. Tarlinawati D. 1997. Perkembanagan serangan serangga perusak kulit pohon Indarbela sp (Lepidopteera; Indarbelidae) pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan. Tikupadang H, Sumardjito Z, Sila M. 1995. Biologi hama sengon (Praseranthes falcaaria) dan identifikasi musuh-musuh alaminya di lokasi HTI Inhutani Borisallo Kabupaten Gowa. Jurnal Penelitian Kehutanan, 9 (1) : 29 – 35. Webb DB. 1984. A guide to species selection for tropical and subtropical plantations. Tropical Forest Paper No:15, Commonwealth Forestry Institute, Oxford, 256 p. Winata SS, 2001. Pengaruh ekstrak daun pakem (Pangium edule Reinw.) terhadap ulat kupu kuning (Eurema hecabe) yang menjadi hama sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di persemaian. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB Bogor. Tidak diterbitkan.
99
Wongtong S. 1974. Pattern of attack and darmage of Xystrocera festiva, (Coleoptera: Cerambycidae) an Albizia tree, Albizia falcataria Pascoe. Bogor: Biotrop. 74: 121. Wulandari R. 2003. Pemilihan tanaman inang (Host preference) Oleh Eurema spp [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.