STUDI TRYPSIN INHIBITOR DAN ALFA-AMYLASE AMYLASE INHIBITOR PADA POHON SENGON (Paraserianthes Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) PROVENAN BANJARNEGARA DAN SUBANG
FELISITAS DWI HARYANTO DJATI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
STUDI TRYPSIN INHIBITOR DAN ALFA-AMYLASE AMYLASE INHIBITOR PADA POHON SENGON (Paraserianthes Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) PROVENAN BANJARNEGARA DAN SUBANG
Felisitas Dwi Haryanto Djati
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar ar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN FELISITAS DWI HARYANTO DJATI. E 14204017. Studi Trypsin Inhibitor dan α-amylase Inhibitor pada Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Provenan Banjarnegara dan Subang. Dibimbing oleh Dr. Ir. ULFAH JUNIARTI SIREGAR, M. Agr.
Kegiatan penanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) selalu dihadapkan pada masalah serangan hama penggerek batang, yaitu boktor (Xystrocera festiva Pascoe). Kerugian yang disebabkan oleh hama ini cukup besar. Dalam upaya pencegahan serangan boktor perlu dilakukan penanaman sengon yang resisten terhadap serangan hama, yang dapat diperoleh melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang adanya zat anti hama, berupa trypsin inhibitor dan α-amylase inhibitor pada setiap bagian pohon. Obyek penelitian adalah pohon sengon provenan Banjarnegara dan Subang, berupa bagian daun, kulit, dan kayu yang dibuat menjadi serbuk. Pohon yang digunakan adalah pohon yang sehat dan yang terserang hama boktor dengan ulangan 5 pohon untuk masing-masing kondisi. Pengamatan aktivitas trypsin inhibitor dilakukan menggunakan substrat sintetis benzoil-DL-arginin-pnitroanilid (BAPNA), enzim trypsin (SIGMA 3,5 U/mg) dan enzim alami dari pencernaan larva boktor berukuran 1,5 cm. Pengamatan aktivitas α-amylase inhibitor menggunakan bahan larutan soluble starch, larutan enzim α-amylase (SIGMA 320 U/mg), dan enzim α-amylase yang diekstrak dari larva berukuran 3,5 cm. Data diolah dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktorial yaitu provenan, kondisi pohon dan bagian pohon menggunakan SPSS 12.0 Hasil survey menunjukkan bahwa larva pada bagian kulit pohon memiliki ukuran panjang larva dan berat larva yang lebih kecil dibandingkan larva pada kayu. Dari 5 pohon sengon provenan Banjarnegara, larva boktor hanya ditemukan pada bagian kayu sedangkan pada provenan Subang larva boktor ditemukan pada bagian kulit dan kayu. Berdasarkan uji sidik ragam faktor provenan tidak berpangaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor. Pada bagian dan kondisi pohon berpengaruh sangat nyata pada aktivitas trypsin inhibitor. Interaksi antara faktor provenan dengan bagian pohon memberikan perbedaan yang nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bagian kulit memiliki aktivitas trypsin inhibitor tertinggi, sedangkan yang terendah adalah pada bagian kayu. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kondisi pohon sehat dan pohon sakit berpengaruh sangat nyata terhadap aktivitas α-amylase inhibitor (AIA), begitu juga dengan bagian pohon berupa daun, kulit, dan kayu, sedangkan faktor provenan tidak berbeda nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan, bagian kayu merupakan bagian yang memiliki rata-rata aktivitas α-amylase inhibitor tertinggi, sedangkan yang terendah adalah bagian kulit. Interaksi antara kondisi pohon dengan bagian pohon berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya aktivitas αamylase inhibitor.
Uji sidik ragam menunjukkan, bahwa nilai rata-rata aktivitas trypsin inhibitor yang diperoleh menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan boktor tidak berbeda nyata, demikian juga pada faktor provenan. Aktivitas trypsin inhibitor yang diuji dengan enzim sintetik lebih besar bila dibandingkan dengan menggunakan enzim alami dari pencernaan boktor. Sementara itu kondisi pohon berpengaruh nyata, dimana pohon sehat mempunyai aktivitas trypsin inhibitor lebih tinggi dibandingkan pohon sakit. Uji sidik ragam menunjukkan, bahwa penggunaan enzim sintetik dan enzim alami dari percernaan larva boktor memberikan berbeda sangat nyata, demikian juga faktor kondisi pohon. Aktivitas α-amylase inhibitor yang diuji dengan enzim sintetik lebih besar bila dibandingkan dengan menggunakan enzim alami dari pencernaan boktor, dan pohon sehat mempunyai aktivitas α-amylase yang lebih tinggi dibandingkan pohon sakit.
Keyword : Enzim trypsin, Enzim α-amylase, inhibitor
ABSTRACT Study on Trypsin Inhibitor dan α-amylase Inhibitor in Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Trees, Provenance of Banjarnegara and Subang. Under academic supervision of Dr. Ir. ULFAH JUNIARTI SIREGAR, M.Agr.
Plantation of sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) almost always faces the problem of attack by stem borer pest insect, referred to as boktor (Xystrocera festiva Pascoe). The damage and loss incurred by this pest is considerable. In the effort of preventing this attack by boktor there is a need for planting sengon which are resistant to attack by this pest through tree improvement program. Therefore, there is a need for research on the presence of anti pest substance in the form of trypsin inhibitor and α-amylase inhibitor in each part of the tree. Object of this research was part of sengon trees of Banjarnegara and Subang provenances in the form of leaves, bark, and wood, which were made into powder. The trees used in this study were healthy trees and trees attacked by the pest boktor, with replication of five trees for each category of tree condition. Observation of trypsin inhibitor activity was conducted using synthetic substrate benzoil-DL-arginin-p-nitroanilid (BAPNA), enzyme trypsin (SIGMA 3,5 U/mg) and natural enzyme from digestive system of boktor larvae with size of 1,5 cm. Observation of α-amylase inhibitor activity used materials of solution of soluble starch, solution of enzyme α-amylase (SIGMA 320 U/mg), and enzyme α-amylase which was extracted from larvae with size of 3,5 cm. Data were processed in Completely Randomized Design (RAL) with 3 factors, namely provenances, tree condition and parts of tree, using software SPSS 12.0 Survey results showed that larvae in bark had length and weight less than larvae in wood. Of the 5 trees of Banjarnegara provenance, boktor larvae were found only in the wood part, whereas in that of Subang provenance, boktor larvae were found in wood and bark parts. Based on analysis of variance, factor of provenance did not have significant effect on activity of trypsin inhibitor. Tree parts and tree condition had very significant effect on activity of trypsin inhibitor. Interaction between factors of provenance and tree parts gave significant effect on activity of trypsin inhibitor. Duncan advanced test showed that bark possessed highest activity of trypsin inhibitor, whereas that of the wood was the lowest. Results of analysis of variance showed that tree condition (healthy or sick trees), as well as tree parts in the form of leaves, bark and wood, had significant effect on activity of α-amylase inhibitor (AIA). On the other hand, provenance factor did not have significant effect. Duncan advanced test showed that wood was the part which had the highest average of α-amylase inhibitor activity, whereas that of the lowest, was in bark part. Interaction between tree condition and tree parts had very significant effect on the magnitude of α-amylase inhibitor activity.
Analysis of variance showed that average values of trypsin inhibitor activity which were obtained using synthetic enzyme and natural enzyme from digestive system of boktor did not show significant differences. The same phenomenon was also found for provenance factor. Activity of trypsin inhibitor which was tested using synthetic enzyme was greater compared with that of natural enzyme from boktor digestive system. On the other hand, tree condition had significant effect, where the healthy trees possessed trypsin inhibitor activity which was higher as compared with that of sick trees. Analysis of variance showed that the use of synthetic enzyme and natural enzyme from boktor larvae digestive system, as well as the tree condition, showed very significant differenceson on α-amylase inhibitor activity. Activity of α-amylase inhibitor which was tested using synthetic enzyme was greater compared with that of using natural enzyme from boktor digestive system. Also, healthy trees had higher activity of α-amylase as compared with that of sick trees.
Keyword : enzyme trypsin, enzyme α-amylase, inhibitor
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Trypsin Inhibitor dan Alfa-amylase Inhibitor pada Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Provenan Banjarnegara dan Subang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2009
Felisitas Dwi Haryanto Djati NIM E14204017
Judul
: Studi Trypsin Inhibitor dan Alfa-amylase Inhibitor pada Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Provenan Banjarnegara dan Subang.
Nama
: Felisitas Dwi Haryanto Djati
NRP
: E14204017
Menyetujui: Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. Ulfah Juniarti S, M.Agr) NIP 131 289 336
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
(Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr) NIP 131 578 788
Tanggal : ...................................
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan berkat dan anugerah yang memampukan dan menguatkan penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah. Tema yang dipilih dalam penelitian ini berjudul Studi Trypsin Inhibitor dan α-amylase Inhibitor pada Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Provenan Banjarnegara dan Subang. Dalam penyelesaian penyusunan karya ilmiah penulis memperoleh begitu banyak bantuan dan dukungan. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr selaku dosen pembimbing untuk kesempatan yang ditawarkan sehingga penulis dapat melakukan penelitian ini, juga pengarahan, bimbingan, dan kesabaran yang penulis peroleh selama proses penelitian, dari rencana, pelaksanaan hingga penyusunan tugas akhir ini. 2. Ibu Dr. Ir Mirza Dikari Kusrini, M. Si sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M. Si sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan. 3. Bapak dan almarhum Ibu, terima kasih untuk semua doa, nasehat, juga dorongan semangat yang tiada henti mengisi hari-hari kehidupan penulis. Penulis juga berterima kasih untuk kakakku Ari dan adikku Efi, kakak Beni untuk perhatian, semangat serta kasih sayang yang senantiasa penulis peroleh dalam hidup. 4. Ibu Ika untuk bantuannya dalam pelaksanaan penelitian dan seluruh staff (Bu Eni) di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PAU Institut Pertanian Bogor. 5. Laboran Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Manajemen Hutan Universitas Winaya Mukti Jatinangor untuk bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.
6. BPTH Jawa-Madura Sumedang atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini. 7. Staff Perpustakaan IPB, atas segala bantuan yang penulis dapatkan. 8. My Big Family BDH 41 Dani, Manyun, Jeje, Anna, Wita, Indri, Kirandul, Laura, Eka, Heru, Mustian, Tohirin, Maryo, Adit, Daniel, Izal, Yoga, Agus, Rio, Boy, Adi, Petra, Irma, Aziz, Firda, Didie, Delfi, Selvy, Tuti, Have, Fat, Rin, Dora, Meri, Desti, Prabu, Dwi, Fitroh, Ibal, Kaka, Ipo, Qalbi, Jojo, Bebek, Icha, Pie, Popon, Indah, Puput, Yayat, Ai, Chan2, Haris, Linda, Ayu, Wahyu Sejati dan Boncu. 9. Teman-teman asramaku yang selalu bersama selama 4,5 tahun selama masa kuliah Matunk, Anto, Yono, Uta, Imam, Daniel, Fandi, Ichank, Radi, Wawan Ujank, Suhail, dan semuanya. Terimakasih rasa kekeluargaan selama ini. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan semuanya. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan pada skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan bermanfaat dalam melaksanakan penelitian berikutnya.
Bogor, April 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kefamenanu
Nusa Tenggara Timur
pada tanggal 7 Maret 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan dari Stephanus Djati dan Sri Giyarti. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di Sekolah Dasar Katolik Yaperna Leob Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah Utara (1992-1998), pendidikan menengah pertama di SLPTN 1 Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah Utara (1998-2001), dan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah Utara (2001-2004). Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Kefamenanu dan pada tahun yang sama lulus Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Institut Pertanian Bogor Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi mahasiswa, yakni sebagai anggota divisi Silvikultur TGC (Tree Grower Community) Fakultas Kehutanan dari tahun 2007-2008, anggota Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) dari tahun 2006-2007. Penulis juga mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di Cilacap dan Baturraden pada tahun 2007, Praktek Pengelolaan Hutan di Getas pada tahun 2007, serta Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT ANTAM, Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor pada tahun 2008. Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Trypsin Inhibitor dan Alfa-Amylase Inhibitor pada pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) provenan Banjarnegara dan Subang dibawah bimbingan Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M. Agr.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan berkat dan anugerah yang memampukan dan menguatkan penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah. Tema yang dipilih dalam penelitian ini berjudul Studi Trypsin Inhibitor dan α-amylase Inhibitor pada Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Provenan Banjarnegara dan Subang. Dalam penyelesaian penyusunan karya ilmiah penulis memperoleh begitu banyak bantuan dan dukungan. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr selaku dosen pembimbing untuk kesempatan yang ditawarkan sehingga penulis dapat melakukan penelitian ini, juga pengarahan, bimbingan, dan kesabaran yang penulis peroleh selama proses penelitian, dari rencana, pelaksanaan hingga penyusunan tugas akhir ini. 2. Ibu Dr. Ir Mirza Dikari Kusrini, M. Si sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M. Si sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan. 3. Bapak dan almarhum Ibu, terima kasih untuk semua doa, nasehat, juga dorongan semangat yang tiada henti mengisi hari-hari kehidupan penulis. Penulis juga berterima kasih untuk kakakku Ari dan adikku Efi, kakak Beni untuk perhatian, semangat serta kasih sayang yang senantiasa penulis peroleh dalam hidup. 4. Ibu Ika untuk bantuannya dalam pelaksanaan penelitian dan seluruh staff (Bu Eni) di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PAU Institut Pertanian Bogor. 5. Laboran Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Manajemen Hutan Universitas Winaya Mukti Jatinangor untuk bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.
6. BPTH Jawa-Madura Sumedang atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini. 7. Staff Perpustakaan IPB, atas segala bantuan yang penulis dapatkan. 8. My Big Family BDH 41 Dani, Manyun, Jeje, Anna, Wita, Indri, Kirandul, Laura, Eka, Heru, Mustian, Tohirin, Maryo, Adit, Daniel, Izal, Yoga, Agus, Rio, Boy, Adi, Petra, Irma, Aziz, Firda, Didie, Delfi, Selvy, Tuti, Have, Fat, Rin, Dora, Meri, Desti, Prabu, Dwi, Fitroh, Ibal, Kaka, Ipo, Qalbi, Jojo, Bebek, Icha, Pie, Popon, Indah, Puput, Yayat, Ai, Chan2, Haris, Linda, Ayu, Wahyu Sejati dan Boncu. 9. Teman-teman asramaku yang selalu bersama selama 4,5 tahun selama masa kuliah Matunk, Anto, Yono, Uta, Imam, Daniel, Fandi, Ichank, Radi, Wawan Ujank, Suhail, dan semuanya. Terimakasih rasa kekeluargaan selama ini. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan semuanya. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan pada skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan bermanfaat dalam melaksanakan penelitian berikutnya.
Bogor, April 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ...................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.....................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian .................................................................
3
1.3 Manfaat Penelitian ...............................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tinjauan Umum Tentang Botani Sengon ............................
5
2.1.1 Taksonomi ..................................................................
5
2.1.2 Sifat Botani .................................................................
6
2.1.3 Sejarah Sengon di Indonesia ......................................
7
2.1.4 Penyebaran dan Habitat ..............................................
7
2.1.5 Keragaman Penggunaan dan Manfaat Kayu Sengon .
7
2.2 Tinjauan Umum Hama Penggerek Batang Boktor ............
8
2.2.1 Taksonomi ..................................................................
8
2.2.2 Morfologi dan Biologi Hama penggerek Batang (Xytrocera festiva Pascoe) ..........................................
8
2.2.3 Daerah penyebaran dan pohon inang .........................
10
2.2.4 Perilaku, Cara Penyerangan dan Bentuk Kerusakan ..
10
2.2.5 Sistem pencernaan Boktor ..........................................
11
2.2.6 Cara Pencegahan dan Pemberantasan ........................
12
2.3 Enzim dan Inhibitor ...........................................................
13
2.4 Trypsin Inhibitor ................................................................
14
2.5 Alfa-amylase Inhibitor........................................................
15
2.6 Spektrofotometer................................................................
17
Halaman BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................
19
3.2 Bahan dan Alat Penelitian ..................................................
19
3.3 Metode Penelitian ..............................................................
20
3.3.1 Pengukuran Parameter Pertumbuhan Larva yang Hidup di Kayu dan Kulit Sengon ..............................
20
3.3.2 Penetapan Aktivitas Trypsin Inhibitor ......................
20
3.3.3 Penetapan Aktivitas α-amylase Inhibitor ..................
22
3.4 Analisis Data ......................................................................
25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kisaran Panjang dan Berat Badan Larva Boktor (Xystrocera festiva) pada Kulit dan Kayu Sengon .............
27
4.2 Studi Aktivitas trypsin Inhibitor ........................................
29
4.3 Perbandingan Aktivitas Trypsin Inhibitor Bagian Kulit Menggunakan Enzim Sintetik dan Enzim Alami dari Pencernaan Larva Boktor ...................................................
32
4.4 Studi Aktivitas α-amylase Inhibitor ...................................
35
4.5 Perbandingan Aktivitas α-amylase Inhibitor Bagian Kayu Menggunakan Enzim Sintetik dan Enzim Alami dari Pencernaan Larva Boktor ...................................................
38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ........................................................................
43
5.2 Saran ..................................................................................
44
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
45
LAMPIRAN ............................................................................................
48
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Warna komplementer. ....................................................................
18
2.
Nilai rata-rata berat badan dan panjang larva boktor pada kulit dan kayu dari masing-masing lima pohon provenan Banjarnegara dan provenan Subang.. ...................................................................
28
Rekapitulasi hasil sidik ragam aktivitas trypsin inhibitor menggunakan enzim trypsin sintetik..............................................
29
Rekapitulasi hasil sidik ragam aktivitas trypsin inhibitor bagian kulit menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor .................................................................
32
Rekapitulasi hasil sidik ragam aktivitas α-amylase inhibitor menggunakan enzim sintetik α-amylase ........................................
35
Rekapitulasi hasil sidik ragam aktivitas α-amylase inhibitor bagian kayu menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor .................................................................
38
3. 4.
5. 6.
DAFTAR GAMBAR No. 1.
Halaman Lubang gerek pada kulit sebagai tahap awal serangan hama boktor ..............................................................................................
27
Histogram rata-rata aktivitas trypsin inhibitor bagian pohon kulit, daun dan batang pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang. ............................................................................................
29
Histogram aktivitas rata-rata trypsin inhibitor kondisi sehat dan sakit pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang. ..............
31
4.
Larva boktor yang terdapat pada lapisan kambium ........................
33
5.
Histogram perbandingan aktivitas trypsin inhibitor menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan lava boktor pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang ................................
34
Histogram aktivitas α-amylase inhibitor bagian kayu,kulit dan daun pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang...............
36
Histogram aktivitas α-amylase inhibitor kondisi sehat dan sakit pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang .......................
37
Boktor dewasa yang siap untuk terbang yang ditemukan di dalam kayu .................................................................................................
39
Histogram perbandingan aktivitas α-amylase inhibitor menggunakan enzim sintetik dan enzim dari ekstrak pencernaan larva boktor pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang ...
40
2.
3.
6. 7. 8. 9.
DAFTAR LAMPIRAN
No. 1.
Halaman Tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter pohon sengon (Paraserianthes falcataria) provenan Banjarnegara.......................
49
Tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter pohon sengon (Paraserianthes falcataria) provenan Subang ................................
49
Data panjang larva dan berat badan larva boktor pada bagian batang pohon sengon provenan Banjarnegara yang sakit ...............
50
Data panjang larva dan berat badan larva boktor pada bagian kayu dan kulit pohon sengon provenan Subang .............................
51
5.
Aktivitas trypsin inhibitor pada provenan Banjarnegara ................
54
6.
Aktivitas trypsin inhibitor pada provenan Subang..........................
54
7.
Aktivitas α-amylase inhibitor pada provenan Banjarnegara ...........
55
8.
Aktivitas α-amylase inhibitor pada provenan Subang ....................
55
9.
Perbandingan aktivitas trypsin inhibitor pada provenan Banjarnegara dengan menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor .................................................
56
10. Perbandingan aktivitas trypsin inhibitor pada provenan Subang dengan menggunakan enzim sintetik dan enzim dari pencernaan larva boktor .....................................................................................
56
11. Perbandingan aktivitas α-amylase inhibitor pada provenan Banjarnegara dengan menggunakan enzim sintetik dan enzim alami pencernaan larva boktor ........................................................
57
12. Perbandingan aktivitas α-amylase inhibitor pada provenan Subang dengan menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor ...........................................................
57
13. Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menggunanakan SPSS 12.0 pada aktivitas trypsin inhibitor pada provenans Banjarnegara dan Subang ..............................................
58
14. Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menggunakan SPSS 12.0 pada aktivitas α-amylase inhibitor pada provenan Banjarnegara dan Subang ................................................
59
15. Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menggunakan SPSS 12.0 pada aktivitas trypsin inhibitor pada provenan Banjarnegara dan Subang menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor ...............................
60
2. 3. 4.
Halaman 16. Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menggunakan SPSS 12.0 pada aktivitas α-amylase inhibitor pada pronenan Banjarnegara dan Subang menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor ...............................
61
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Tentang Botani Sengon (Paraserianthes falcataria) 2.1.1 Taksonomi Adapun spesies Paraserianthes falcataria memiliki sistem klasifikasi sebagai berikut: Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Familiy
: Leguminosae
Subfamiliy
: Mimosaceae
Klas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rosales
Genus
: Paraserianthes
Species
: P. falcataria ( L ) Nielsen
Nama daerah
: Jeunjing, sengon laut (Jawa), tedehu pute (Sulawesi),rawe,
selawoku, selaku merah, seka, sika, sika bot, sikas, tawa sela (Maluku), bae, bai, wahogon, wai, wikkie (Irian jaya) (Heyne 1987 diacu dalam Marta 2005). 2.1.2
Sifat Botanis Bunga pohon sengon berwarna kekuningan yang tersusun dalam bentuk
malai dengan ukuran daun mahkota sekitar 0,5–1 cm. Benang sari menonjol lebih panjang dari daun mahkota (Atmosuseno 1998). Pohon ini berbunga sepanjang tahun dan berbuah pada bulan Juni–November (umumnya pada akhir musim kemarau). Jumlah benih per kg dapat mencapai 40.000–55.000 biji atau 36.000 biji per liter, benih dengan daya kecambah rata–rata 80 %. Pohon sengon berbatang lurus, tidak berbanir, kulit berwarna kelabu keputih–putihan, licin, tidak mengelupas dan memiliki batang bebas cabang mencapai 20 m. Tajuk berbentuk perisai, agak jarang, dan selalu hijau. Tajuk yang agak jarang ini memungkinkan beberapa jenis tanaman perdu tumbuh baik di bawahnya. Perakaran sengon terbentang melebar. Di samping susunan akar yang agak dangkal, terdapat pula susunan akar yang berkembang menghunjam ke dalam
tanah. Semakin besar pohon, semakin kuat perakaran serabutnya sehingga mengurangi risiko terputusnya perakaran saat akan dipindahkan dari polibag ke lapangan. Selain itu perakaran sengon, sebagaimana legum lainnya, mengandung bintil akar atau nodul akar. Bintil akar ini dapat mengikat nitrogen bebas dari udara dan mengubahnya menjadi ammonia (NH3) yang dapat dimanfaatkan oleh pohon inang untuk pertumbuhan. Dengan sistem perakaran seperti ini sengon dijadikan pohon utama dalam program penghijauan dan rehabilitasi lahan kritis (Atmosuseno 1998). Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman sengon adalah kayunya. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30–45 m dengan diameter batang sekitar 70–80 cm. Bentuk batang sengon bulat dan tidak berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Berat jenis kayu rata-rata 0,33 dan termasuk kelas awet IV-V. Kayu sengon digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan peti kemas, peti kas, perabotan rumah tangga, pagar, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan lain-lainnya. Bunga tanaman sengon tersusun dalam bentuk malai berukuran sekitar 0,5–1 cm, berwarna putih kekuning-kuningan dan sedikit berbulu. Setiap kuntum bunga mekar terdiri dari bunga jantan dan bunga betina, dengan cara penyerbukan yang dibantu oleh angin atau serangga. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, dan panjangnya sekitar 6–12 cm. Setiap polong buah berisi 15–30 biji. Bentuk biji mirip perisai kecil dan jika sudah tua biji akan berwarna coklat kehitaman, agak keras, dan berlilin (Dishutbun 2008). Tajuk daunnya sengon berbentuk menyerupai payung yang tidak rimbun daunnya. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda sedangkan anak daunnya kecil–kecil dan mudah rontok; daunnya yang mudah rontok itu justru cepat meningkatkan kesuburan tanah. Warna daun sengon hijau pupus, berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen (N2) dan karbon dioksida (CO2) dari udara bebas (Santoso 1992). 2.1.3 Sejarah Sengon di Indonesia Sengon merupakan spesies asli dari kepulauan Indonesia bagian Timur yakni disekitar Maluku dan Irian Jaya. Pada tahun 1870–an pohon ini mulai menyebar ke seluruh kawasan Asia Tenggara. Habitat alami pohon sengon
ditemukan di Kepulauan Maluku. Pada tahun 1871 tanaman ini menyebar ke Jawa atau tepatnya di Kebun Raya Bogor. Dari Kebun Raya Bogor sengon kemudian disebarkan ke berbagai daerah mulai dari Sumatra sampai ke Irian jaya. Penyebaran secara luas disebabkan mudahnya pohon ini tumbuh dan menyesuaikan diri dengan lingkungan (Atmosuseno 1994 diacu dalam Pasaribu 2007). 2.1.4 Penyebaran dan Habitat Populasi alami kayu sengon terdapat di Kepulauan Maluku Utara dan Kepulauan Maluku Timur dan daerah yang terletak pada garis lintang 10°LS3°LU. Selain itu sengon hidup pada daerah dengan ketinggian 0–2000 mdpl dengan curah hujan rata-rata 2000–4000 mm per tahun dengan suhu terpanas rata–rata 30°-34° C, dan suhu terdingin rata–rata 20°-29° C (Atmosuseno 1998). Tumbuhan tropika ini dapat tumbuh di tanah–tanah yang kering maupun yang lembab atau agak masin, tumbuh pula pada tanah–tanah lahar yang belum hancur. Di Serawak dan Brunei pohon ini dapat tumbuh di berbagai jenis tanah bahkan pada tanah berdrainase jelek masih dapat tumbuh. Walaupun pohon ini dapat tumbuh pada berbagai macam tanah, pertumbuhannya akan lebih baik lagi jika ditanam pada tanah tanah yang mengandung unsur hara yang cukup serta struktur dan tekstur tanah yang baik. Tanaman sengon dapat tumbuh dengan baik pada tanah regosol, alluvial dan latosol. Tanah–tanah tersebut bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dan kemasaman tanah sekitar pH 6-7. Tanaman sengon membutuhkan kelembaban sekitar 50%-75%. Tanaman sengon membutuhkan batas curah hujan minimum yang sesuai, yakni 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering, namun tidak terlalu basah (Santoso 1992). 2.1.5 Keragaman Penggunaan dan Manfaat Kayu Sengon Sengon merupakan pohon multiguna, baik daun, batang maupun sistem perakarannya dapat dipergunakan untuk beragam keperluan. Daun sengon, sebagaimana daun-daun dari famili Mimosaceae lainnya merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein yang tinggi, sehingga disukai hewan ternak. Selain sebagai pakan ternak, daun sengon yang berguguran akan bertindak sebagai pupuk hijau yang baik bagi tanah dan tanaman di sekitarnya. Tajuk pohon
yang berbentuk perisai dan pohonnnya yang besar dimanfaatkan sebagai pohon peneduh. Sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Hal ini sangat menguntungkan bagi tanah di sekitarnya. Keberadaan nodul akar dapat membantu porosistas tanah dan penyediaan unsur nitrogen dalam tanah. Sehingga pohon sengon dapat menyebabkan tanaman sekitarnya menjadi lebih subur. Bagian yang memberikan manfaat ekonomi yang paling besar pada pohon sengon adalah batang kayunya. Kayu olahan banyak diminati oleh negara-negara importir seperti Jepang, Korea, Amerika Serikat, serta negara-negara masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Kayu sengon olahan di ekspor dalam bentuk potonganpotongan kayu dengan ketebalan yang bervariasi antara 6-13 mm dan ukuran standar 3 m x 56 mm (panjang x lebar). Kayu sengon juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan kotak peti, dijadikan kayu lapis, serta dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan (Atmosuseno 1998). 2.2 Tinjauan Umum Hama Penggerek Batang Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) 2.2.1 Taksonomi Hama penggerek batang boktor adalah salah satu hama yang menyerang (sengon) P. falcataria
yang termasuk ke dalam ordo Coleoptera, famili
Cerambycidae dan dikenal dengan nama Boktor, Uter– uter, Wowolan, Engkes– engkes, dan Kumbang Serendang. Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) termasuk dalam Ordo (Bangsa) Coleopter (Coleo = selubung ; ptera = sayap). Famili (Keluarga) Cerambycidae dan subfamili Cerambycinae (Suratmo 1974). 2.2.2 Morfologi dan Biologi Hama Penggerek Batang Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) Kumbang betina merupakan serangga nokturnal; ia melakukan aktivitas terbang, kawin dan bertelur pada malam hari. Seekor kubang betina biasanya meletakkan satu atau dua, kadang–kadang sampai tiga kelompok telur selama hidupnya. Larva–larva yang baru menetas akan segera memakan bagian dalam kulit dan bagian luar kayu gubal. Larva membuat lubang kecil kearah luar kulit untuk mengeluarkan kelebihan serbuk gerek, yang merupakan gejala awal yang
tampak dari adanya serangan boktor sengon. Pada saat akan berkepompong larva akan membuat lubang gerek ke arah atas di bawah kayu gubal. Bentuk lubang gereknya oval, berukuran 0,75–1,33 cm, dalamnya mencapai 20 cm. Menurut Matsumoto (1994) diacu dalam Husaeni et al. (2006), siklus hidup X. festiva pada makanan buatan adalah 159 hari untuk kumbang jantan dan 193 hari untuk kumbang betina. Pada kondisi alami siklus hidup kumbang jantan 253 hari dan kumbang betina 250 hari. Larva akan berkempompong diujung lubang gerek dengan kepala dibawah. Pupa dilindungi dengan CaCO3 yang merupakan dinding. Imago (kumbang) yang dihasilkan dari pupa akan keluar melalui lubang gerek kemudian menggigit kulit pohon yang menghalangi untuk keluar dari kulit Albizia (Suratmo 1974). Telur berbentuk jorong dengan ukuran 2 mm x 1 mm, berwarna hijau kekuning–kunigan sampai kuning, berlekatan dengan zat perekat yang tak berwarna. Lama stadium 15 sampai 20 hari. Larva berwarna kekuning-kuningan, tidak bertungkai jelas. Sewaktu baru menetas dari telur berukuran 2 mm x1 mm, sewaktu akan menjadi pupa berukuran 50 mm x 9 mm. Lama stadium larva 3 sampai 6 bulan. Pupa berwarna putih kekuning–kuningan dengan ukuran 30 mm x 10 mm. Lama stadium pupa 15 sampai 21 hari. Warna imago kuning ke merah-merahan dengan warna hijau ke birubiruan pada pinggir luar Elyptra dan sisi prothorax. Tibia berwarna coklat tua. Antena imago jantan panjangnya dua kali panjang badan, sedangkan yang betina sama dengan panjang badan. Ukuran panjang badan 30–38 mm, dengan lebar 7– 9 mm. Lama stadium imago untuk yang jantan 7-17 hari sedangkan yang betina 5-15 hari (Suratmo 1974). Antena berwarna hijau tua hampir hitam, bagian terminal (ujung) berwarna lebih muda mendekati warna keabu–abuan. Mandibelnya sangat kuat, digunakan untuk menggigit kulit kayu pada saat keluar dari liang gerek dan untuk menyerang musuhnya bila mendapat gangguan (Anonim 1995).
2.2.3 Daerah Penyebaran dan Pohon Inang. Hasil survey menunjukkan bahwa hama ini telah tersebar di seluruh tegakan sengon di Pulau Jawa, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian ± 1000 m dpl, di daerah yang beriklim basah maupun kering, pada tegakan murni maupun tegakan campuran (Notoatmodjo 1963 diacu dalam Husaeni et al. 2006). Selain pohon sengon X. festiva menyerang pula Albizia chinensis, A. lebbeck, A. sumatrana, Pithecelobium lobaium, P. dulce, Parkia speciosa, Samanea saman, Acacia mangium, A. auriculiformis, A deccurens, dan Calliandra callothyrsus (Husaeni et al. 2006). 2.2.4 Perilaku, Cara Penyerangan dan Bentuk Kerusakan Serangan X. festiva pada tegakan sengon terjadi sejak tegakan berumur 3 tahun, yaitu pada saat diameter batang sekitar 10–12 cm dan tinggi pohon mencapai 16 m. Letak serangan (lubang gerek) pada pohon adalah mulai dari pangkal batang sampai ketinggian lebih dari 10 m. Adapun cara penyerangannya, kumbang-kumbang serendang atau disebut juga "uter-uter ", "engkes-engkes" maupun "boktor wowolan" yang telah dewasa meletakkan telurnya secara berkelompok pada bekas cabang atau luka-luka pohon sengon. Sekali bertelur mencapai 400 butir. Selanjutnya, telur dewasa menetas menjadi ulat dan masa stadium ulat mencapai 5-6 bulan. Ulat-ulat inilah yang melakukan penggerekan pada kulit bagian dalam, atau menyerang kayu muda kearah bawah. Fase berikutnya, jika ulat hendak menjadi kepompong, biasanya justru mengebor ke dalam batang pohon dan membelok ke arah atas sepanjang kira-kira 20 cm. Di penghunjung pengeboran itulah ulat berubah menjadi kepompong dengan kepala menghadap ke bawah. Masa stadium kepompong 15-21 hari. Penggerekan bagian dalam oleh larva pada kulit dan kayu gubal akan menyebabkan kulit mati, terkelupas, dan jatuh. Bila tidak terjadi serangan berikutnya bagian yang luka ini dapat sembuh kembali melalui pembentukan kalus. Akan tetapi perusakan hama ini sering terjadi berulang–ulang sehingga banyak pohon yang mati atau patah. Kerusakan tersebut akan menurunkan volume dan kualitas kayu pertukangan yang dapat dihasilkan (Husaeni et al. 2006). Kumbang Xystrocera festiva tidak dapat terbang jauh; satu kali terbang hanya mencapai jarak 3–4 m, dengan ketinggian 0,5–1 m, tetapi kadang–kadang
dapat mencapai 2 m. Untuk mencapai jarak yang lebih jauh harus terbang beberapa kali dan dibantu angin. Karena jarak terbangnya pendek, maka serangan boktor pada tegakan sengon biasanya mengelompok (hanya pada pohon yang berdekatan dengan pohon yang sebelumnya terserang) dan kadang–kadang satu pohon mendapat serangan beberapa kali (Anonim 1995). Telur–telurnya diletakkan secara berkelompok pada celah–celah, retakan– retakan atau luka–luka di kulit batang atau cabang. Maksud peletakan telur pada celah–celah atau retakan–retakan kulit adalah untuk mencegah telur dari kekeringan dan gangguan musuh–musuh alaminya, serta untuk memudahkan larva muda masuk ke dalam bagian dalam kulit. Peletakkan telur secara berkelompok sehingga larva muda yang baru keluar juga akan berkelompok (Anonim 1995). 2.2.5 Sistem Pencernaan Boktor Saluran pecernaan adalah suatu buluh, biasanya agak berkelok, yang memanjang dari mulut sampai dubur. Saluran pencernaan terdiri dari 3 daerah pokok, yaitu : usus depan atau stomodeum; usus tengah atau mesenteron; dan usus belakang atau proktodaeum. Usus belakang dan usus depan berasal dari jaringan ektoderm dan dilapisi sebelah dalamnya oleh suatu lapisan tipis kutikula yang disebut intima. Pada saat pergantian kulit kutikula ini dikelupaskan bersama dengan bagian luar eksoskeleton, sedangkan usus tengah tidak punya intima, maka tidak terjadi ganti kulit. Pencernaan kimiawi dari makanan terjadi di usus tengah dimana lapisan epitel usus tengah terlibat dua fungsi, yaitu sekresi enzim-enzim pencernaan ke dalam lumen-lumen dan penyerapan produk-produk pencernaan ke dalam tubuh serangga. Usus tengah merupakan tempat utama pencernaan dan penyerapan dalam saluran pencernaan. Pada banyak jenis, epitel usus tengah dan makanan dipisahkan oleh suatu selaput peritrofik suatu jaringan permeabel yang tidak hidup terbuat dari kitin dan protein yang disekresikan oleh epithelium (Chapman 1982 diacu dalam Pasaribu 2008). 2.2.6 Cara Pencegahan dan Pemberantasan Berdasarkan Husaeni et al. (2006), pengendalian X. festiva melalui kegiatan penjarangan, yaitu pada tegakan berumur 3,4, 5 dan 6 tahun, dan pada
umur 8 tahun ditebang habis. Pada setiap kegiatan penjarangan pohon–pohon yang diserang ditebang. Berbagai macam saran pengendalian boktor sengon selain dengan penjarangan adalah sebagai berikut : 1.
Pengendalian secara fisik a) Penangkapan kumbang dengan menggunakan lampu perangkap, yaitu lampu neon 10 watt berwarna hijau atau biru. Penangkapan dilakukan mulai jam 18 sampai jam 24; pada hari cerah, tanpa bulan purnama. b) Penyesetan bagian kulit batang sengon yang terserang, dilakukan setiap 3 bulan sekali.
2.
Pengendalian secara kimiawi yaitu dengan menggunakan insektisida sistemik, disemprotkan pada kulit batang. Cara ini cukup efektif mematikan larva pada kulit batang tetapi tidak dapat mematikan larva yang sudah menggerek ke dalam kayu gubal (Husaeni et.al., 2006).
3.
Teknis pengendaliannya dapat dilakukan secara mekanis-tradisional. Ambilah kawat kecil lalu masukan ke lubang yang pernah dibuat serendang, dan ikuti arah lubang tersebut, kemudian ditusuk-tusukkan hingga serendang mati. Sedangkan cara lain, dengan model "pantek". Ambil kapuk dan celupkan kedalam insektisida, lalu sumbatkan pada pintu lubang tersebut, maka serendang pun mati. Atau, terpaksa merelakan menebang pohon yang terserang lalu dimusnahkan, agar ulat serendang tidak mejalar kemana-mana (Dishutbun 2008).
Menurut Notoatmodjo (1963) diacu dalam Anonim (1995) menganjurkan pengendalian boktor secara mekanis antara lain: 1. Menebang
atau
membuang
semua
pohon
yang
terserang
sambil
membinasakan hama yang terdapat di pohon tersebut. 2. Pada saat larva masih berada dibawah kulit kayu dapat dilakukan pengeletekan kulit fan membinasakan semua larvanya. 3. Melakukan pemeriksaan secara rutin dan intensif dalam jangka waktu tertentu disesuaikan dengan keadaan dan mencegah infeksi baru. 2.3 Enzim dan Inhibitor Enzim merupakan protein yang berfungsi sebagai biokatalis dalam sel hidup. Kelebihan enzim dibandingkan katalis biasa adalah (1) dapat meningkatkan produk beribu kali lebih tinggi; (2) bekerja pada pH yang relatif netral dan suhu yang relatif rendah; dan (3) bersifat spesifik dan selektif terhadap subtrat tertentu. Enzim telah banyak digunakan dalam bidang industri pangan, farmasi dan industri kimia lainnya. Dalam bidang pangan misalnya amilase, glukosa-isomerase, papain, dan bromelin, sedangkan dalam bidang kesehatan contohnya amilase, lipase, dan protease. Enzim dapat diisolasi dari hewan, tumbuhan dan mikroorganisme (Crueger et al. 1982 diacu dalam Wirahadikusumah 1986). Pada prinsipnya, inhibitor enzim adalah komponen yang dapat menurunkan rata–rata pengukuran hidrolisis dari substrat yang diberikan (Creighton 1989). Enzim bersifat tidak stabil terhadap keadaan ekstrim yakni : suhu, pH dan tekanan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Daya kerja enzim dapat dioptimumkan dengan mengatur parameter–parameter tersebut. Aktivitas enzim juga dapat ditingkatkan oleh senyawa kimia yang bersifat aktivator, atau dihambat oleh senyawa kimia yang bersifat sebagai inhibitor (Thenawidjaja 1986). Inhibitor adalah senyawa yang dapat menurunkan aktifitas enzim, baik dengan mencegah pembentukan maupun pemecahan kompleks enzim substrat (Wirakartakusumah et al. 1986). Penentuan suhu optimum aktivitas enzim sangat diperlukan dalam penerapan enzim, sebab pada suhu yang terlalu rendah kestabilan enzim tinggi
tetapi akivitasnya rendah, sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi aktivitasnya tinggi tetapi kestabilannya rendah. Dengan naiknya suhu maka menurunnya keseimbangan kekuatan non-valen yang berlainan, yaitu ikatan hidrogen, hidrofobik, ionik dan Van der walls yang menjaga struktur aktif enzim dan molekul protein enzim akan terbuka. Karena pusat aktif enzim selalu terdiri dari beberapa residu asam amino yang terdapat dalam strukur tiga dimensi protein enzim, maka pembukaan rantai molekul protein menyebabkan kerusakan pusat yang aktif sehingga enzim menjadi inaktif (Muchtadi et al. 1992). Sebagian besar enzim bekerja pada jalur khusus dalam memperlihatkan berbagai macam fungsi biologis pada organisme. Inhibitor enzim sepertinya menjadi alat yang berguna didalam menganalisa fungsi tersebut. Studi mengenai inhibitor mungkin merupakan kunci untuk mengetahui berbagai aspek dan fenomena biologis dan banyak penyakit, respon kekebalan, infeksi virus dan sebagainya (Aoyagi dan Takeuchi 1989 diacu dalam Sabana 2004). 2.4 Trypsin Inhibitor Senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas proteolitik beberapa macam enzim telah ditemukan dalam bahan pangan nabati terutama kacang-kacangan, yang telah dibuktikan bahwa senyawa aktifnya adalah suatu protein (Liener dan Kakade 1969). Menurut Richardson (1977) diacu dalam Muchtadi (1993), inhibitor protease dalam kacang–kacangan adalah protein yang molekulnya kecil, dan berat molekulnya bervariasi antara 4000-80000 mol/g. Mekanisme penghambatan aktivitas enzim trypsin oleh inhibitor terjadi karena terbentuknya ikatan kompleks antara kedua senyawa tersebut (interaksi protein–protein). Interaksi tersebut menyangkut pemutusan ikatan antara argininisoleusin (Muchtadi 1993), sehingga menghambat bekerjanya enzim trypsin. Akibatnya mempersulit pelepasan asam–asam amino dari ikatan proteinnnya sehingga tidak dapat diserap (Finkenstadt dan Laskowski 1967 diacu dalam Prasetya 2007). Faktor yang menentukan daya hambat dari inhibitor tripsin adalah konsentrasi enzim trypsin bebas yang terdapat dalam usus. Penurunan jumlah trypsin bebas dalam usus (karena adanya interaksi dengan anti trypsin, akan
menstimulir aktivitas pankreas untuk memproduksi lebih banyak enzim; untuk mencapai tujuan ini maka akan terjadi pembesaran. Sebaliknya bila konsentrasi enzim dalam usus kembali normal, aktivitas pankreas tersebut akan dihambat. Faktor yang menentukan daya hambat dari inhibitor trypsin adalah konsentrasinya. Dinyatakan bahwa daya hambat suatu inhibitor terhadap aktivitas enzim tripsin adalah berbanding lurus dengan jumlah inhibitor yang terdapat. Penetapan aktivitas anti trypsin dilakukan dengan menggunakan metode yang didasarkan atas penurunan kecepatan hidrolisis oleh enzim trypsin suatu substrat alami (Muchtadi 1993). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ryan dan Simmons (1976) yang diacu dalam Winarni (2003) pada 23 jenis daun tanaman yang mewakili 10 genera tanaman pertanian diketahui bahwa tanaman–tanaman tersebut mempunyai inhibitor yang dapat bereaksi imunilogis primitif untuk melindungi jaringan tanaman dari proteinase hama yang mencoba masuk. Liener (1958) diacu dalam Muchtadi (1993) menyimpulkan bahwa kecepatan penghancuran inhibitor trypsin dalam kacang-kacangan oleh panas, merupakan fungsi dari suhu, lama pemanasan, ukuran partikel bahan, dan kadar air bahan. 2.5 Alfa-amylase inhibitor Amilase (alfa, beta dan glukoamilase) merupakan enzim yang penting dalam bidang pangan dan bioteknologi. Amilase dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti tanaman, binatang dan mikroorganisme. Saat ini sejumlah enzim amilase telah diproduksi secara komersial. Penggunaan mikroba dianggap lebih prospektif karena mudah tumbuh, cepat menghasilkan dan kondisi lingkungan yang dikendalikan. Pada saat ini sumber enzim ini yang utama (secara komersil) ialah Bacillus licheniformis dan Bacillus sp (Fogarty 1983 diacu dalam Thenawidjaja 1986). Hidrolisis amilosa oleh α-amylase terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi amilosa menjadi maltose dan maltriosa yang terjadi secara acak. Degradasi tersebut terjadi sangat cepat dan diikuti pula dengan penurunan viskositas yang sangat cepat. Sedangkan tahap kedua bersifat lebih lambat dengan
membentuk glukosa dan maltose sebagai hasil akhirnya (Norman 1980 diacu dalam Muchtadi et al. 1992). Pada saat ini terdapat dua kelompok besar gen tanaman yang dipakai untuk merakit tanaman transgenik tahan hama, yaitu inhibitor enzim pencernaan dan lektin. Telah diketahui beberapa protein dari tanaman yang mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan serangga, di antaranya adalah inhibitor α-amylase. Inhibitor α-amylase secara alami ditemukan pada jaringan tanaman, terutama pada biji dan ubi (Ryan 1989). Enzim pemecah pati umumnya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu (1) endo–amilase, enzim yang menghidrolisis ikatan α-(1,4) glikosidik pada bagian dalam subtrat dan (2) ekso-amilase, enzim yang menghidrolisis ikatan α(1,4) glikosidik dari ujung rantai non pereduksi (Fogarty 1983; Kulp 1970 diacu dalam Thenawidjaja 1986). Hasil hidrolisis substrat oleh endoamilase adalah oligosakarida dengan panjang rantai bervariasi. Pada umumnya, α–amylase bekerja bekerja pada pH optimum antara 5–7 dan suhu optimum 60°–700 C. Hidrolisis substrat pati oleh enzim α–amylase akan menghasilkan glukosa dan maltosa (Fogarty 1983; Kulp 1970 diacu dalam Thenawidjaja 1986). Enzim adalah suata protein yang harus dipisahkan dengan komponen protein lainnya. Metoda yang biasa dilakukan adalah mengeluarklan asam nukleat lalu mengendapkan protein dengan ammonium sulfat (NH4 )2 SO4, atau pelarut seperti methanol, etanol, atau isopropanol (Wirakartakusumah et al. 1986). Inhibitor α-amylase adalah protein yang menghambat enzim amylase di dalam saluran pencernaan (midgut) serangga. Enzim amylase diperlukan oleh serangga, terutama serangga yang makan biji-bijian dan ubi yang kaya dengan pati. Pati ini harus hidrolisis menjadi molekul karbohidrat yang lebih sederhana (kecil) seperti disakarida dan monosakarida, agar dapat digunakan dalam sistem metabolisme serangga. Dengan dihambatnya pemecahan pati oleh inhibitor αamylase maka serangga tidak mendapatkan kebutuhan karbohidratnya, sehingga dapat berakibat fatal bagi serangga tersebut (Bahagiawati 2005). Aplikasi enzim–enzim pemecah pati terdapat pada pembuatan gula cair, karena enzim dapat memecah pati dengan spesifitas yang tinggi dan tanpa
memerlukan energi tambahan. Pembuatan gula cair dari substrat enzimatis dapat dilakukan dengan menambahkan campuran endo dan eksoamilase kepada substrat pati (Thenawidjaja 1983). Enzim α-amylase dapat dirusak dengan penambahan HCL sampai pH 3,4 dan suhu 700C. (Tauber 1949 diacu dalam Wirakartakusumah et al. 1986). Berat molekulnya α–amylase sekitar 50.000 mol/g dan setiap molekul mengandung 1 (satu) g atom kalsium. Adanya atom kalsium yang berikatan dengan molekul enzim, membuat enzim α-amylase relatif tahan terhadap suhu, pH, perlakuan urea atau enzim–enzim protease (Muchtadi et al. 1992). 2.6 Spektrofotometer Spektrofotometer adalah suatu instrument yang digunakan untuk analisis sampel cairan yang memiliki warna. Dimana prinsip kerjanya berdasarkan serapan warna dari sampel dengan panjang gelombang tertentu sesuai dengan warna yang akan diserap. Warna yang akan diserap berupa warna komplementer dari warna yang diamati. Dalam penggunaan spektrofotometerada hal yang harus dilakukan apabila larutan belum berwarna maka harus ditambahkan pereaksi warna. Syarat dari pereaksi warna harus sensitif dan stabil. Sensitif maksudnya pereaksi warna hanya dapat menghasilkan warna pada unsur yang akan ditetapkan atau ditentukan. Sedangkan stabil maksudnya pereaksi warna setelah bereaksi dengan unsur atau senyawa yang akan ditentukan warnanya stabil dalam selang waktu yang relatif lama (Nur 1989). Suatu larutan mendapat irradiasi sinar polikhromatik yaitu sinar yang terdiri dari beberapa macam warna, maka ada suatu sinar dengan panjang gelombang tertentu yang diserap, sedangkan sinar yang mempunyai warna sama dengan larutan tidak akan diserap. Sebenarnya warna yang kita lihat dari suatu larutan adalah merupakan warna komplementer dari warna yang diserap (Winarno et al. 1973). Apabila radiasi atau cahaya putih dilewatkan melalui larutan berwarna maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap (absorpsi) secara selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan (transmisi).
Absorpsi maksimum dari larutan berwarna terjadi pada daerah warna yang berlawanan, misalnya larutan merah akan menyerap radiasi maksimum pada daerah warna hijau. Dengan perkataan lain warna yang diserap adalah warna komplementer dari warna yang diamati (Nur 1989). Tabel 1 Warna Komplementer Panjang Gelombang (nm)
Warna yang diserap
410 430 480 500 520 560 580 610 680 720
Violet Biru violet Biru Hijau biru Hijau Kuning hijau Kuning Jingga Merah Merah purple
Warna yang diamati Kuning hijau Kuning Jingga Merah Merah purple Violet Biru violet Biru Hijau biru Hijau
Sumber : Nur (1989).
Spektophotometer ’visible’ (panjang gelombang antara 380 sampai 750 nm), pelarut yang paling umum digunakan adalah air. Untuk pelarut beberapa gugus organik misalnya digunakan chloroform, alkohol, dan sebagainya (Winarno et al. 1973). Analisa dengan spektrophotometer diusahakan agar bahan menyerap sebanyak mungkin sinar yang masuk, dipilih panjang gelombang yang menghasilkan ”absorbance” maximum atau transmisi minimum (Winarno et al. 1973). Jika sampel berbentuk padat seperti daun, tanah, rambut dan sebagainya, sampel harus dilarutkan dahulu dengan cara destruksi asam sedangkan sampel yang berbentuk cairan seperti air, urine, serum darah, umumnya cairan langsung diaspirasikan ke spektrofotometer setelah penyaringan, pengenceran atau pemekatan (Nur dan Adijuwana 1989).
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di halaman belakang UNWIM, laboratorium
Ketenikan Kayu, Fakultas Kehutanan, Universitas Winaya Mukti dan Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Penelitian Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini akan dilakukan selama ± 1 tahun yaitu November 2007 sampai November 2008. 3.2
Bahan dan Alat Penelitian Dalam pengamatan aktivitas enzim tripsin inhibitor dan α-amylase
inhibitor, digunakan enzim Tripsin dan α-amylase murni. 3.2.1
Bahan Penelitian Pengamatan studi tripsin inhibitor dilakukan dengan menggunakan bahan
kimia seperti substrat sintetis benzoil-DL-arginin-p-nitroanilid (BAPNA), buffer tris, HCL, dimetil sulfoksida (DMSO), NaOH, asam asetat 30 % dan enzim trypsin merck SIGMA dengan aktivitas 3,5 U/mg. Bahan kimia yang digunakan dalan pengamatan studi α-amylase inhibitor, antara lain larutan soluble strach, larutan enzim α-amylase (Merck SIGMA, 320 U/mg), HCl, NaOH, buffer phospat pH 7, dan DNS (3,5 – Dinitro Salicilyc Acid). Bahan alami yang digunakan dalam studi trypsin inhibitor dan α-amylase adalah serbuk kulit sengon, serbuk kayu sengon dan serbuk daun sengon yang masih segar dari provenans Banjarnegara dan Subang yang berasal dari pohon yang terserang boktor dan pohon sehat. Pemilihan pohon (baik sehat maupun sakit) dilakukan secara acak oleh pegawai lapangan di belakang halaman Universitas Winaya Mukti. Kulit, kayu dan daun yang masih segar diproses secara Freeze dry kemudian dihancurkan menjadi serbuk dan dihaluskan lagi (60-80 mesh). Sebagai sumber enzim trypsin dipakai larva yang berukuran 1,5 cm yang diduga mengandung aktivitas trypsin tertinggi, sedangkan untuk sumber enzim αamylase larva yang digunakan berukuran 3,5 cm yang mengandung aktivitas αamylase tertinggi.
3.2.2
Alat penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari gelas ukur,
erlenmeyer, ependof, spektophotometer, Refrigrated Micro Centrifuge MRX-152, Centrifuge Microfuge BECKMAN, shaker bath, refrigerator, freeze dryer, pipet, stopwatch, mortar, vortex, kompor pemanas, neraca digital, cutter, kaliper, label dan alat tulis. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1
Pengukuran Parameter pertumbuhan Larva yang Hidup di Kulit dan Kayu Sengon (P. falcataria) Guna mengetahui populasi larva beserta ukurannya, yakni larva yang terdapat pada bagian kulit dan kayu sengon, maka dilakukan sensus larva pada pohon yang terserang hama. Untuk itu dilakukan pengukuran berat boktor dan panjang larva yang ditemukan pada bagian kulit maupun kayu pohon sengon provenans Banjarnegara dan Subang, yang terserang boktor (X. festiva). Data hasil pengukuran tersebut dicatat, kemudian dihitung rata-ratanya untuk masing-masing parameter, yakni panjang larva serta lokasi penemuan boktor dan berat larva. 3.3.2
Penetapan Aktivitas Enzim Trypsin Inhibitor (Kakade et al. 1974) Metode ini didasarkan atas penghambat hidrolisis substrat sintesis
(benzoil-DL-arginin-p-nitroanilid) oleh enzim trypsin karena terdapatnya antitrypsin. Adapun senyawa yang harus disiapkan antara lain: Pereaksi dan ekstrak larva. Cara pembuatan larutan pereaksi: a. Bufer Tris-HCL 0,05, pH 8,2 mengandung 0,0 M CaCl2 : 6,05 g Tris (hidroksi metil aminometen) dan 2,94 g CaCl2.H2O dilarutkan dalam 900 ml air destilata. pH larutan ditepatkan menjadi 8,2 dengan menambahkan HCl, kemudian
volume
larutan
ditempatkan
menjadi
1.000
ml
dengan
menambahkan air destilata. b.
Larutan BAPNA (benzoil-DL-arginin-p-nitroanilid): 40 mg BAPNA dilarutkan dalam 1 ml DMSO (dimetil sulfoksida). Kemudian diencerkan sampai 100 ml dengan menambahkan bufer Tris yang bersuhu 37°C. Larutan BAPNA ini harus dibuat setiap akan digunakan, dan selalu disimpan pada penangas air 37°C selama digunakan.
c.
Larutan tripsin: enzim tripzin dari SIGMA, aktivitas 3,5 U/mg dilarutkan dalam 200 HCl 0,001 M. Larutan ini dapat disimpan dalam refrigerator selama 2 minggu tanpa kehilangan aktivitasnya.
d.
Larutan asam asetat 30 % (v/v).
Cara pembuatan enzim larva : Bagian kepala larva dipotong hingga yang tersisa hanya badan saja, kemudian ditimbang. Larva dimasukkan ke dalam mortar yang terendam air es, lalu digerus. Cairan yang diperoleh disuspensikan ke dalam larutan NaOH 0,001 N dan diaduk selama 10 menit menggunakan magnetic stirer. Suspensi kemudian disentrifuse pada kecepatan 12.000 x g ( 12.000 rpm ) selama 10 menit pada suhu 50C dan supernatannya diambil untuk digunakan. Cara Persiapan Ekstrak a.
0,2 g tepung sample disuspensikan dalam 50 ml larutan NaOH 0,01 N. setelah diaduk-aduk selama 3 jam pada suhu ruang (menggunakan “magnetic stirrer”), kemudian disentrifuge pada 2000 x g (5000 rpm selama 10 menit pada suhu 5°C, dan supernatannya dipisahkan.
b.
Ekstrak yang diperoleh kemudian diencerkan dengan air destilata sedemikian rupa sehingga 1 ml ekstrak akan menghasilkan daya penghambat sekitar 40 sampai 60 % aktivitas enzim trypsin yang digunakan.
Prosedur analisis aktivitas trypsin inhibitor: 1.
Pipet sejumlah ekstrak (0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0 ml) kedalam tabung reaksi (buat masing-masing duplo). Tambahkan air destilata ke dalam masingmasing reaksi, sehingga volumenya menjadi 2 ml.
2.
Tambahkan 2,0 ml larutan tripsin ke dalam masing-masing tabung reaksi, kemudian masukkan semua tabung ke dalam penangas air 37°C dan biarkan selama 5 menit.
3.
Masukkan 5 ml larutan BAPNA bersuhu 37°C ke dalam masing-masing tabung. Dikocok cepat dengan menggunakan vortex, kemudian diinkubasikan dalam penangas air (37°C) selama 10 menit.
4.
Setelah 10 menit, tambahkan 1 ml asam asetat 30 % ke dalam masingmasing tabung, dikocok cepat dengan menggunakan vortex.
5.
Bila larutan jernih pengukuran pada spektrofotometer dapat langsung dikerjakan.
6.
Ukur absorbansi filtrat yang diperoleh pada panjang gelombang 410 nm, gunakan blanko pereaksi di atas (0 ml ekstrak)
7.
Bila diperlukan (misalnya ekstrak berwarna), dapat dibuat blanko sample dengan cara sebagai berikut: tambahkan 5 ml larutan BAPNA ke dalam 2 ml ekstrak, inkubasikan campuran tersebut pada suhu 27°C selama 10 menit, kemudian tambahkan 1 ml asam asetat 30 % dan 2 ml larutan tripsin. Satu unit tripsin (Trypsin Unit, TU) didefinisikan sebagai peningkatan
0,01 satuan absorbansi pada 410 nm per 10 ml campuran reaksi pada kondisi yang digunakan. Aktivitas inhibitor trypsin dinyatakan sebagai satuan trypsin yang dihambat (Trypsin Unit Inhibited, TUI). Perhitungan aktivitas trypsin inhibitor dihitung sebagai berikut : 1. TU
= Absorbansi/0,01
2. TIU
= TU (S) – [ TU (C) – TU (BC) ]
3. TIU/ml
= TIU/2
4. TIU/mg contoh = (TIU/ml x f.p)/bobot contoh Keterangan : C = contoh; S = standar; BC = blanko standar; TU = trypsin unit; TIU = trypsin inhibitor unit; f.p = faktor pengenceran. 3.3.3 Penetapan aktivitas α-amylase inhibitor Prinsip Aktivitas inhibitor α-amylase ditetapkan berdasarkan daya penghambat terhadap aktivitas enzim α-amylase dalam menghidrolisis pati. Pembuatan Pereaksi • Larutan HCl I N • Larutan NaOH I M • Larutan enzim α-amylase (Merck SIGMA, aktivitas 320 U/mg) dalam berbagai konsentrasi, dalam buffer Na-fosfat 0,1 M, pH 7,0 • Larutan “soluble strach” • Pereaksi dinitrosalisilat: 1 g 3,5-dinitrosalisilat, 30 g Na-K-tartarat dan 1,6 g NaOH dalam 100 ml air destilata.
Persiapan Ekstrak Sample bagian batang, daun dan kulit 1. Tepung sengon dari bagian daun, kayu serta kulit kayu sebanyak 20 g disuspensikan ke dalam 100 ml air destilata. 2. Suspensi tepung sengon dikocok (menggunakan orbital shaker) selam jam pada suhu ruang. 3. Kemudian disentrifusi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan supernatannya dipisahkan. 4. Supernatan yang diperoleh diatur pHnya menjadi 4,0 dengan menambahkan HCl 1 N, kemudian dipanaskan pada suhu 70°C selama 30 menit, dengan tujuan menonaktifkan enzim α-amylase yang ada. 5. Setelah didinginkan, larutan disetrifusikan lagi dan supernatannya dinetralkan dengan NaOH 1 M. Cara pembuatan ekstrak enzim dari larva : Larva dipotong kepala, bagian perut ditimbang kemudian digerus dalam mortar yang terendam es setelah digerus tambahkan 5 ml buffer aduk hingga rata. Setelah rata masukkan kedalam mikrotube lalu disentrifuse dengan kecepatan 6.000 rpm dengan suhu 5°C selama 10 menit. Pisahkan supernatannya. Prosedur analisis aktivitas α–amylase 1. Suspensi pati larut (soluble strach) 1 % (dalam air destilata) dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90°C, kemudian didinginkan. 2. Sebanyak 2 ml larutan pati dalam tabung reaksi ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml larutan buffer Na-Fosfat 0,1 M dengan pH 7,0. Kemudian diinkubasikan dalam penangas air dengan suhu 37°C selama 15 menit. 3. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 5 ml larutan enzim α–amylase dalam berbagai konsentrasi (0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; 1,6; 1,8; 2,0 mg/ml larutan buffer Na-Fosfat), dan diinkubasikan lagi pada suhu 37°C selama 30 menit. 4. Ke dalam tabung reaksi lain ditempatkan 1 ml campuran reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml perekasi dinitrosalisilat, dan selanjutnya dipanaskan dalam penangas air 100°C selama 10 menit.
5. Setelah didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata. 6. Warna merah-orange yang terbentuk dari campuran reaksi diukur dengan menggunakan spektrophotometer pada panjang gelombang 520 nm. 7. Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan cara mereaksikan larutan standard maltosa standard dengan perekasi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. 8. Aktivitas enzim α-amylase dihitung berdasarkan
jumlah maltosa yang
dibebaskan. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat membebaskan 1 mg maltosa dalam kondisi seperti percobaan di atas. 9. Aktivitas inhibitor α-amylase ekstrak sampel ditetapkan dengan cara menginkubasikan 2,5 ml ekstrak dengan 2,5 ml larutan enzim α-amylase (1 mg/ml buffer Na-Fosfat) dalam penangas air 37°C selama 10 menit, sebelum dilakukan hidrolisis pati seperti di atas. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan aktivitas enzim α-amylase dalam jumlah yang diencerkan dengan air destilata. 10. Blanko sample dipersiapkan dengan cara mendidihkan akstrak selama 10 menit untuk melenyapkan aktivitas inhibitor α-amylase, dan kemudian dikerjakan seperti di atas. 11. Aktivitas inhibitor α-amylase dihitung berdasarkan perbedaan aktivitas enzim prosedur no.9. Rumus Perhitungan Alfa-amylase Inhibitor Unit: 1. Konsentrasi Sample
= ( Standard – (Sample – Kontrol) ) [A]
2. Unit Sample
= Konsentrasi Sample BM x 0,1
3. Konsentrasi Amilase
= Standard + [B] [A]
4. Unit Amilase
= Konsentrasi Amilase BM x 0,1
5. AIU
= (Unit Amilase – Sample)
Keterangan [A] dan [B] diperoleh dari kurva standard maltosa 3.4
Analisis Data Data aktivitas enzim trypsin inhibitor dan α-amylase inhibitor dianalisis
menggunakan sofware SPSS 12.0, menggunakan
Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial dengan 5 ulangan. Faktorial yang dianalisis terdiri dari tiga faktor yaitu : 1. Provenan; Banjarnegara dan Subang 2. Kondisi pohon; sehat dan sakit. 3. Bagian Pohon; daun, kulit dan kayu. Bentuk umum dari Persamaan RAL: Yijk1= µ+ Ai+Bj+Ck+ABij+ACik+BCjk+ABCijk+εijk1 Dimana: i = 1 (Banjarnegara), 2 (Subang) ; k = 1 (Daun), 2 (Kulit), 3 (Kayu) j = 1 ( sehat), 2 ( sakit) Yij
; 1 = 1,2,3,4,5
: respon pengaruh bagian ke-i, kondisi pohon ke-j, bagian ke k dan ulangan ke -1
µ
: nilai rata-rata umum
Ai
: pengaruh provenan ke-i
Bj
: pengaruh kondisi pohon ke-j
Ck
: pengaruh bagian pohon ke-k
ABij
: pengaruh interaksi faktor A ke-i dan B ke-j
ACik
: pengaruh interaksi fakor A ke-i dan C ke-k
BCjk
: pengaruh interaksi faktor B ke-j dan C ke-k
ABCijk
: pengaruh interaksi faktor A ke-i, B ke-j dan C ke-k
εijk1
: kesalahan percobaan
pohon
Bentuk hipotesis yang digunakan/diuji adalah sebagai berikut: Hoa:
Bagian sengon tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas α-amylase inhibitor.
H1a:
Bagian sengon berpengaruh nyata terhadap aktivitas α-amylase inhibitor.
Hob:
Bagian sengon tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor.
H1b:
Bagian sengon berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor.
Hoc:
Kondisi kesehatan pohon sengon tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas α-amylase inhibitor.
H1c:
Kondisi kesehatan pohon sengon berpengaruh nyata terhadap aktivitas αamylase inhibitor.
Hod:
Kondisi kesehatan pohon sengon tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor.
H1d:
Kondisi kesehatan pohon sengon berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor.
Hoe:
Kondisi kesehatan pohon sengon tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor.
H1e:
Kondisi kesehatan pohon sengon berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor.
Hof:
Bagian pohon sengon tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor.
H1f:
Bagian pohon sengon berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor.
Kesimpulan: > Fά (dbp,dps) terima H1 pada tingkat nyata 95 % Jika F hit ≤ Fά (dbp,dps) tolak H1 pada tingkat nyata 95 %
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kisaran Panjang dan Berat Badan Larva Boktor (Xystrocera festiva) pada Kulit dan Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Awal pertumbuhan larva boktor hanya dapat ditemukan pada bagian kulit saja, karena telur boktor biasanya diletakkan oleh induknya pada kulit pohon secara berkelompok, yaitu melalui bekas–bekas cabang atau luka-luka. Larva yang keluar dari telurnya secara bersama-sama menggerek kulit bagian dalam kayu mudanya. Pada saat larva akan menjadi pupa, larva boktor akan membuat lubang gerek ke dalam gubal, kemudian membelok ke arah atas (Suratmo 1974). Dengan demikian larva boktor ditemukan pada pohon yang terserang hama boktor di bagian kulit dan kayu. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada provenan Banjarnegara ditemukan larva boktor hanya pada bagian kayu, sedangkan untuk provenan Subang larva ditemukan pada bagian kulit dan kayu. Gambar 1 menunjukkan lobang gerek yang dibuat oleh boktor sebagai tahap akhir serangan. Ini merupakan salah satu indikator bahwa pohon telah terserang hama boktor.
Gambar 1 Lubang gerek pada kulit sebagai tahap awal serangan hama boktor
Tabel 2 Nilai rata-rata berat badan boktor dan panjang larva boktor pada kulit dan kayu sengon dari masing-masing 5 pohon sakit provenan Banjarnegara dan Subang. Provenan Banjarnegara Subang
Bagian pohon
Jumlah larva
Kayu Kulit Kayu
57 15 94
Panjang larva (cm) 3,80±0,65 2,20±0,50 3,40±0,48
Berat Badan Larva (cm) 1,0458±0,46 0.3825±0,14 0,7854±0,22
Berdasarkan Tabel 2 dengan penambahan standar deviasi pada panjang dan berat larva baik kayu maupun kulit kedua provenan, menunjukkan sebaran contoh baik panjang maupun berat larva provenan Banjarnegara tidak berbeda nyata terhadap berat maupun panjang yang diukur pada kayu provenan Subang. Sedangkan pada pengukuran panjang dan berat larva untuk contoh pengambilan pada bagian kulit berbeda nyata terhadap pengukuran bagian kayu kedua provenan. Perbedaan pengujian ini menunjukkan bahwa awal pertumbuhan larva boktor terjadi pada bagian kulit dimana terlihat galat pada pengukuran panjang maupun berat larva lebih bagian kulit daripada galat bagian kayu. Pada hasil pengukuran panjang boktor yang terdapat pada bagian kambium kulit memiliki rata-rata yang lebih rendah dibandingkan ukuran panjang boktor yang ditemukan pada bagian kayu. Pada provenan Banjarnegara larva hanya ditemukan pada bagian kayu. Jumlah larva yang ditemukan pada bagian kayu provenan Banjarnegara sebanyak 57 larva dengan panjang berkisar antara 2,8–5,0 cm yang memiliki rata-rata sebesar 3,8 cm, serta berat rata-rata 1,0458 g. Sedangkan bagian kulit tidak ditemukan larva boktor. Pada provenan Subang larva boktor ditemukan baik di bagian kulit dan kayu. Pada bagian kulit ditemukan 15 larva. Pada bagian kayu jumlah larva yang ditemukan lebih banyak daripada jumlah larva yang ditemukan di provenan Banjarnegara. Pada provenan Subang jumlah larva bagian kayu lebih tinggi daripada jumlah bagian kulit. Kemudian pada provenan Banjarnegara larva hanya terdapat pada bagian kayu. Hal ini dapat disebabkan karena pada provenan Banjarnegara serangan sudah mencapai tahap lanjut sehingga larva telah menjadi boktor dewasa yang telah meninggalkan pohon sengon, kemungkinan lain adalah faktor ketahanan pohon terhadap serangan hama rendah, sehingga larva yang dulunya
berada pada bagian kulit dapat cepat berkembang hingga mencapai bagian dalam kayu. Perbedaan jumlah larva boktor pada masing–masing provenan dapat disebabkan karena kemampuan terbang yang pendek, satu kali terbang hanya menempuh jarak 3–4 m dengan tinggi terbang 0,5–1 m sehingga penyebaran telur terjadi pada pohon yang saling berdekatan. Biasanya
serangan terjadi pada
pohon–pohon yang saling berdekatan dan kadang–kadang satu pohon mendapat serangan beberapa kali (Husaeni et al. 2006). 4.2 Studi Aktivitas Trypsin Inhibitor Tabel 3 Rekapitulasi hasil sidik ragam aktivitas trypsin inhibitor menggunakan enzim trypsin sintetik Faktor Provenan Kondisi Pohon Bagian Pohon Provena X Kondisi Pohon Provenan X Bagian Pohon Kondisi Pohon X Bagian Pohon Provenan X Kondisi Pohon X Bagian Pohon Keterangan: X : Interaksi antarfaktor * : Berpengaruh nyata ** : Berpengaruh sangat nyata tn : Tidak berpengaruh nyata
Sidik Ragam tn ** ** tn * tn tn
Berdasarkan uji sidik ragam yang disajikan pada Tabel 3 faktor provenan tidak berpangaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor. Sedangkan bagian dan kondisi pohon berpengaruh sangat nyata pada aktivitas trypsin inhibitor. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bagian kulit memiliki rata-rata aktivitas trypsin inhibitor tertinggi, sedangkan yang terendah adalah pada bagian kayu.
Rata-rata aktivitas trypsin inhibitor TIU/mg
1200 1000 800 Banjarnegara
600
Subang 400 200 0 Kulit
Gambar 2
Daun
Kayu
Histogram rata-rata rata aktivitas trypsin inhibitor bagian pohon kulit, daun dan kayu pada provenan Banjarnegara Banjarnegara dan provenan Subang
Pada Gambar 2, hasil pengujian aktivitas trypsin inhibitor pada setiap bagian pohon baik yang sehat maupun yang sakit dari provenan Banjarnegara maupun provenan Subang menunjukkan bagian kulit memiliki aktivitas trypsin inhibitor tertinggi. Pada P Provenan rovenan Banjarnegara bagian kulit rata-rata rata aktivitas trypsin inhibitor sebesar 1045,918 10 TIU/mg, daun sebesar 515,942 515 TIU/mg sedangkan kan pada bagian kayu sebesar 663,532 663 TIU/mg. Pada provenan Subang rata-rata aktivitas trypsin inhibitor pada bagian kulit sebesar 1069,859 1069 TIU/mg, daun sebesar 842,3222 TIU/mg dan pada bagian kayu rata-rata rata aktivitas trypsin inhibitor sebesar 550,,217 TIU/mg. Kandungan trypsin inhibitor yang lebih besar pada kulit mengindikasikan bahwa kulit adalah perlindungan utama pada sengon dari serangan boktor. Tingginya aktivitas trypsin inhibitor pada kulit dikarenakan kulit banyak mengandung sel-sel sel hidup yang memiliki memiliki mitokondria yang mengandung anti protein enzim trypsin yang bekerja pada sistem pencernaan boktor (Sunarya 2005). Trypsin inhibitor adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas proteolitik enzim trypsin.. Senyawa tersebut telah ditemukan pada beberapa bahan pangan nabati, terutama jenis kacang-kacangan kacang yang termasuk kedalam famili Leguminoseae. Senyawa aktifnya merupakan suatu
protein. Mekanisme penghambatan aktivitas trypsin ialah terbentuknya ikatan kompleks antara kedua senyawa senyaw tersebut. Walau tidak nyata, hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan aktivitas trypsin inhibitor antar kedua provenan. Menurut Sunarya (2005) perbedaan tersebut disebabkann oleh variasi geografis (provenans) (provenans yang dikarenakan faktor genetik, terutama untuk sifat–sifat sifat yang berkaitan dengan adaptabilitas pada suatu areal. areal
Rata-rata aktivitas trypsin inhibitor TIU/mg
1400 1200 1000 800
Banjarnegara
600
Subang
400 200 0 sehat
sakit
Gambar 3 Histogram aktivitas rata-rata trypsin inhibitor kondisi sehat dan sakit (kayu ,kulit dan daun) pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang. Gambar 3 menunjukkan, bahwa aktivitas trypsin inhibitor pada kondisi pohon sehat memiliki nilai rata-rata rata di atas pohon sengon yang terserang boktor. boktor Pada provenan Banjarnegara rata–rata rata nilai aktivitas trypsin inhibitor pada kondisi sehat untuk semua bagian pohon sebesar 1349,305 TIU/mg TIU/mg sedangkan kondisi sakit 876,087 TIU/mg. TIU/mg Provenan Subang aktivitas trypsin inhibitor pada kondisi sehat untuk semua bagian sebesar 1387,236 236 TIU/mg, sedangkan kondisi sakit sebesar 1075,161 161 TIU/mg. TIU/mg. Kondisi pohon sehat dan sakit pada semua bagian yang diuji uji menunjukkan bahwa provenan Subang memiliki nilai aktivitas trypsin yang lebih tinggi daripada provenan Banjarnegara. Hal ini menunjukkan provenan Subang memiliki kandungan mitokondria (pada semua bagian) yang tinggi.
4.3
Perbandingan Aktivitas Trypsin Inhibitor Bagian Kulit Menggunakan Enzim Sintetik dan Enzim Alami dari Pencernaan Larva Boktor (Xystrocera festiva)
Tabel 4 Rekapitulasi hasil sidik ragam aktivitas trypsin inhibitor bagian kulit menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor Faktor Provenan Kondisi Pohon Enzim Provenan X Kondisi Pohon Provenan X Enzim Kondisi Pohon X Enzim Provenan X Kondisi Pohon X Enzim Keterangan: X : Interaksi antarfaktor * : Berpengaruh nyata tn : Tidak berpengaruh nyata
Sidik Ragam tn * tn tn tn tn tn
Uji sidik ragam Tabel 4 menunjukkan bahwa jenis enzim dan provenan tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor pohon sengon, sedangkan faktor kondisi pohon sehat dan sakit berpengaruh nyata pada aktivitas trypsin inhibitor. Penggunaan enzim dari ekstrak pencernaan boktor (Xystrocera festiva) untuk menguji trypsin inhibitor, karena larva menggunakan enzim trypsin agar dapat mencerna protein menjadi bahan yang lebih sederhana untuk memudahkan penyerapan sel. Menurut Prasetya (2007) enzim trypsin mempunyai pola aktivitas enzim yang linier, yaitu pada ukuran larva yang terkecil mempunyai aktivitas enzim trypsin terbesar lalu cenderung menurun dengan semakin bertambahnya panjang larva.
Gambar 4 Larva boktor yang terdapat di lapisan kambium
Gambar 4 menunjukkan larva yang berukuran kecil pada lapisan kambium. Pada ekstrak pencernaan larva boktor ini, ukuran larva yang digunakan adalah 1,5 cm.. Sesuai dengan Prasetya (2007) bahwa larva dengan panjang 1,5 1 cm merupakan yang paling banyak makan dan makanan yang dimakan adalah yang banyak mengandung protein. protein Enzim trypsin sangat penting untuk mencerna protein menjadi bahan yang lebih sederhana, sederhana agar penyerapan sel menjadi tinggi (Muchtadi et al. 1992 diacu dalam Prasetya 2007). Pengujian trypsin inhibitor hanya pada bagian kulit pohon, karena bagian kulit memiliki nilai aktivitas trypsin inhibitor terbesar dibandingkan bagian daun, dan kayu. Pada ukuran tersebut, larva boktor tor banyak mencerna protein, sehingga aktivitas enzim trypsin yang dihasilkan akan tinggi. Namun, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas trypsin inhibitor menggunakan enzim alami dari pencernaan larva boktor lebih rendah dibandingkan dengan enzim sintetik. Hal ini berlaku pada masingmasing masing provenan dan dapat dilihat pada Gambar 5.
Rata-rata aktiitas trypsin inhibitorTIU/mg
700 600 500 400 300
Banjarnegara
200
Subang
100 0 sehat
sakit Enzim larva
Gambar 5
sehat
sakit
Enzim sintetik
Histogram perbandingan aktivitas trypsin inhibitor dengan menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor pada provenan Banjarnegara Banjarnegara dan provenan Subang.
Gambar 5 menunjukkan bahwa aktivitas trypsin inhibitor tertinggi ditemukan pada reaksi yang menggunakan enzim sintetik, sedangkan pada reaksi dengan menggunakan enzim alami dari pencernaan larva boktor menghasilkan nilai aktivitas trypsin rypsin inhibitor terendah. Hal ini berlaku pada pohon sehat dan
pohon sakit. Untuk provenan Banjarnegara rata-rata aktivitas trypsin inhibitor dengan enzim sintetik pada pohon sehat sebesar 668,508 TIU/mg, sedangkan bila menggunakan ekstrak pencernaan boktor maka aktivitasnya adalah 540,901 TIU/mg. Besar aktivitas trypsin inhibitor pada pohon sakit lebih rendah daripada pohon sehat. Terlihat pada pohon sakit dengan menggunakan enzim sintetik aktivitasnya sebesar 377,410 TIU/mg, sedangkan menggunakan enzim dari pencernaan boktor adalah 334,5237TIU/mg. Aktivitas trypsin inhibitor dengan menggunakan enzim sintetis dan enzim dari pencernaan larva pada provenan Subang menunjukkan nilai aktivitas trypsin inhibitor dengan menggunakan enzim sintetis nilainya lebih besar dibandingkan dari enzim yang diambil dari pencernaan boktor. Pada pohon sehat rata-rata aktivitas trypsin inhibitor menggunakan enzim sintetik sebesar 600,309 TIU/mg, sedangkan dengan menggunakan enzim dari pencernaan larva adalah 480,552 TIU/mg. Sama halnya dengan pohon yang sakit aktivitas menggunakan enzim sintetik lebih tinggi sebesar 436,891 TIU/mg dan kemudian menggunakan enzim dari pencernaan larva boktor menjadi 353,198 TIU/mg. Nilai hasil pengamatan aktivitas trypsin inhibitor dengan metode enzim sintetis dan dengan metode enzim dari pencernaan larva terdapat perbedaan, dimana nilai rata-rata aktivitas trypsin inhibitor pada metode enzim sintetis nilai lebih besar dibandingkan dari enzim yang diambil dari pencernaan boktor. Hal ini diduga karena pada pencernaan boktor terdapat banyak enzim, sehingga inhibitor bekerja menghambat kerja enzim yang lainnya yang menyebabkan trypsin inhibitor menjadi kecil (Pasaribu 2008).
aktivitas
4.4 Studi Aktivitas α-amylase Inhibitor Tabel 5
Rekapitulasi hasil sidik ragam aktivitas α-amylase inhibitor menggunakan enzim sintetik α-amylase
Faktor Provenan Kondisi Pohon Bagian Pohon Provenan X Kondisi Pohon Provenan X Bagian Pohon Kondisi Pohon X Bagian Pohon Provenan X Kondisi Pohon X Bagian Pohon Keterangan: X : Interaksi antarfaktor ** : Berpengaruh sangat nyata tn : Tidak berpengaruh nyata
Sidik Ragam tn ** ** tn tn ** tn
Rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kondisi pohon sehat dan pohon sakit berpengaruh sangat nyata terhadap aktivitas α-amylase inhibitor (AIA), begitu juga dengan bagian pohon berupa daun, kulit, dan kayu, sedangkan faktor provenan tidak berbeda nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan, bagian kayu merupakan bagian yang memiliki rata-rata aktivitas α-amylase inhibitor tertinggi, sedangkan yang terendah adalah bagian kulit. Interaksi antara kondisi pohon dengan bagian pohon berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya aktivitas α-amylase inhibitor. Enzim α-amylase merupakan enzim yang dapat mendegradasi pati yang banyak digunakan dalam aplikasi bioteknologi seperti dalam produksi sirup yang mengandung oligosakarida, maltosa dan glukosa. Senyawa α-amylase inhibitor aktif dalam menghambat enzim α-amylase yang terdapat pada pencernaan mammalia, serangga, serta ”avian amylase”, tetapi tidak aktif menghambat enzim amylase tanaman lainnya dan juga amylase yang berasal dari fungi serta bakteri (Tucker (1995) diacu dalam Pasaribu (2008)).
Rata-rata aktivitas α-amylase AIU/mg
60 50 40 Banjarnegara
30
Subang 20 10 0 Kayu
Kulit
Daun
Gambar 6 Histogram aktivitas α-amylase bagian kayu, kulit dan daun pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang. Gambar 6 menunjukkan kayu merupakan bagian yang memiliki nilai aktivitas α-amylase inhibitor yang paling tinggi,, sedangkan bagian yang memiliki aktivitas α-amylase inhibitor paling rendah terdapat pada bagian kulit dan daun pada kedua provenan. venan. Pada studi aktivitas α-amylase inhibitor bagian pohon (kayu), (kayu) provenan Banjarnegara memiliki aktivitas α-amylase inhibitor lebih tinggi dibandingkan dengan provenan Subang. Pada provenan Banjarnegara nilai aktivitas α-amylase inhibitor pada bagian kayu sebesar 50,081 AIU/mg, daun sebesar 16,236 AIU/mg dan pada bagian kulit sebesar 21,789 21 AIU/mg. /mg. Pada provenan Subang aktivitas αamylase inhibitor pada bagian kayu sebesar 45,146 AIU/mg, /mg, daun sebesar 21,451 21 AIU/mg /mg sedangkan bagian kulit 19,630 19 AIU/mg.
Rata-rata aktivitas α-amylase AIU/mg
60 50 40 Banjarnegara
30
Subang 20 10 0 sehat
sakit
Gambar 7 Histogram aktivitas α-amylase inhibitor kondisi sehat dan sakit (kayu, kulit dan daun) pada provenan Banjarnegara dan provenan Subang. Subang Gambar 7 menunjukkan bahwa pada provenan Banjarnegara nilai αamylase inhibitor pada bagian sehat sebesar 52,342 AIU/mg /mg sedangkan bagian sakit semua bagian pohon sebesar 35,7641 AIU/mg. /mg. Pada provenan Subang nilai aktivitas α-amylase inhibitor pada bagian sehat untuk semua bagian pohon yang diuji sebesar 47,190 AIU/mg, dan pada bagian sakit aktivitas α-amylase amylase inhibitor sebesar 39,036 AIU/mg /mg. Provenan Banjarnegara dan Subang memiliki nilai aktivitas α-amylase tertinggi pada bagian kayu, kayu tetapi bagian pohon yang memiliki aktivitas terendah adalah kulit dan daun. Hal ini disebabkan karena pada lapisan kulit maupun daun pohon sengon bagian luar mengandung pati dalam jumlah yang sedikit (Dietrich et al. 1978 dalam Prasetya 2007). Perbedaan bagian agian kayu cenderung mengandung banyak karbohidrat, sehingga boktor mensintesa enzim α--amylase untuk mencerna karbohidrat tersebut. terse Alfa-amylase inhibitor paling tinggi ditemukan pada pohon sehat, karena fungsi fisiologis tanaman masih normal, sehingga tanaman memiliki kemampuan untuk bertahan.
4.5
Perbandingan Aktivitas α-amylase Inhibitor Bagian Kayu Menggunakan Enzim Sintetik dan Enzim Alami dari Pencernaan Larva Boktor (Xystrocera festiva)
Tabel 6
Rekapitulasi hasil sidik ragam aktivitas α-amylase inhibitor bagian kayu menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor
Faktor Provenan Kondisi Pohon Enzim Provenan*Kondisi Pohon Provenan*Enzim Kondisi Pohon*Enzim Provenan*Kondisi Pohon*Enzim Keterangan: X : Interaksi antarfaktor * : Berpengaruh nyata ** : Berpengaruh sangat nyata tn : Tidak berpengaruh nyata
Sidik Ragam tn ** ** * tn * tn
Berdasarkan uji sidik ragam pada Tabel 6 menunjukkan, bahwa faktor provenan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap aktivitas α-amylase inhibitor. Pada perlakuan perbedaan jenis enzim, berupa enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor serta kondisi pohon sehat maupun sakit berpengaruh sangat nyata terhadap aktifitas α-amylase inhibitor. Mekanisme kerja α-amylase terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan terjadi dengan tidak acak (Muchtadi 1992). Aktivitas α-amylase ditentukan dengan mengukur hasil degradasi pati yang biasanya dikur dari penurunan kadar pati yang larut atau dari kadar maltosa yang dihasilkan. Selain itu, keaktifan α-amylase dapat juga dinyatakan dengan mengukur viskositas dan jumlah gula pereduksi yang terbentuk (Winarno 1983). Pada pencernaan larva boktor terjadi suatu proses yaitu pemecahan molekul nutrien kompleks menjadi molekul-molekul cukup kecil, sehingga mudah untuk diabsorbsi. Dalam pencernaan larva boktor juga terjadi likuifikasi yaitu suatu proses pencairan gel pati dengan menggunakan enzim α-amylase yang menghidrolisa pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil (Muchtadi 1993).
Gambar 8 Boktor dewasa yang siap untuk terbang yang ditemukan di dalam kayu. Gambar 8 merupakan boktor dewasa yang siap untuk terbang yang ditemukan di dalam kayu. Dalam analisa aktitivitas α-amylase inhibitor larva yang digunakan adalah berukuran 3,5 cm, karena aktivitas enzim α-amylasenya paling tinggi. Pada ukuran 3,5 cm larva dalam kondisi sedang banyak memakan atau mencerna pati yang terdapat pada tanaman sengon. Aktivitas α-amylase mengalami penurunan pada panjang larva 4 cm hingga 5 cm karena larva tidak selalu memakan secara kontinyu (Prasetya 2007), sedangkan menurut Marta (2005) ukuran larva tersebut dalam masa transisi antara stadium larva dan stadium pupa sehingga makanan yang dimakan sedikit. Sampel yang digunakan kayu sebab kandungan aktivitas α-amylase tertinggi. Pada provenan Banjarnegara pohon sehat dengan menggunakan enzim sintetik nilai aktivitas α-amylase inhibitor sebesar 30,519 AIU/mg, sedangkan menggunakan enzim alami dari pencernaan larva boktor adalah 14,738 AIU/mg. Aktivitas pada pohon sakit menggunakan enzim sintetik sebesar 19,562 AIU/mg, tetapi setelah menggunakan enzim alami dari ekstrak pencernaan larva boktor menjadi 7,960 AIU/mg. Tingginya aktivitas larva memakan mangakibatkan tingginya aktivitas enzim.
35
30
Rata - rata AIU/mg
25
20 Banjarnegara
15
Subang 10
5
0 SEHAT
SAKIT Enzim Sintetik
SEHAT
SAKIT
Enzim Larva
Gambar 9 Histogram perbandingan aktivitas α-amylase inhibitor menggunakan enzim sintetik dan enzim dari ekstrak pencernaan larva boktor pada provenan Banjarnegara dan provenan provena Subang. Gambar 9 menunjukkan aktivitas α-amylase inhibitor sintetik dan enzim alami dari ekstrak pencernaan larva boktor tertinggi pada provenan Banjarnegara. Pada pohon sehat aktivitas α-amylase inhibitor diperoleh sebesar 30,519 AIU/mg, sedangkan dengan an menggunakan enzim dari larva boktor adalah 14,738 AIU/mg. Pohon sakit memiliki aktivitas enzim α-amylase inhibitornya lebih kecil dari keadaan sehat, baik dengan menggunakan enzim sintetik dan enzim larva boktor. Nilai masing-masing masing yaitu 19,062 AIU/mg dan 9,997 AIU/mg. Rendahnya ratarata rata aktivitas α-amylase amylase
inhibitor pada pohon sakit menyebabkan mudahnya
hama boktor menyerang pohon sengon, sehingga diharapkan agar pohon tidak diserang hama maka harus memiliki kandungan aktivitas α-amylase amylase inhibitor yang tinggi. Dalam proses pengamatan aktivitas inhibitor pada setiap bagian pohon dengan metode pemanfaatan enzim dari pencernaan boktor, ada kemungkinan
nilai yang dihasilkan lebih tinggi maupun lebih rendah dibandingkan dengan unit inhibitor yang dihasilkan melalui pengamatan dengan enzim sintetis. Hal ini disebabkan ada 3 macam proses penghambatan yang mungkin terjadi, yaitu: 1. Aktivitas dari proenzymes dalam serum, sekresi dan ekstrak dari pankreas. 2. Progressive inhibition (“slow-reacting inhibitors) dan pe-non aktifan enzim karena senyawa protein maupun autolysis. 3. Temporary inhibition, penghamatan kerja enzim karena inhibitor atau karena “protease” lain (Bergmeyer 1974 diacu dalam Pasaribu 2008). Strategi pengembangan sengon dengan karakter resisten terhadap boktor dengan cara mengeksplorasi aktivitas trypsin inhibitor yang tinggi pada kulit dan α-amylase di bagian batang yang dilakukan dengan cara mengembangkan provenans Banjarnegara. Berdasarkan analisa provenan Banjarnegara memiliki nilai aktivitas inhibitor trypsin dan α-amylase tertinggi. Namun tetap dilakukan penanaman
dengan
berbagai
provenan untuk menghindarkan
terjadinya
inbreeding dan diupayakan persilangan (crossing). Oleh karena itu, strategi yang dikembangkan untuk menghasilkan suatu individu dengan keunggulan dari semua karakter yang diukur (keunggulan karakter tidak terdapat pada suatu provenan), maka harus dilakukan penyerbukan terkendali (control pollination). Diharapkan melalui penyerbukan terkendali dapat dihasilkan keturunan yang mewarisi keunggulan dari masing–masing individu maupun provenans. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi pengembangan pemuliaan pohon sengon terutama dalam meningkatkan sengon berkualitas (Sunarya 2005). Adanya variasi (di dalam dan antar provenans) memberikan peluang sekaligus tantangan terhadap pengelolaan hutan. Peluang dan tantangan tersebut adalah (Naiem 2000 diacu dalam Sunarya 2005) : 1. Pemilihan jenis untuk program reboisasi, penghijauan dan pembangunan Hutan Tanaman Industri serta pemuliaan pohon menjadi sangat penting. 2. Sebaran alam suatu jenis sangat perlu diperhatikan dalam kegiatan pengadaan benih suatu jenis. 3. Kualitas suatu jenis dapat ditingkatkan secara nyata melalui program seleksi positif dan penggunaan prinsip–prinsip crossing dan pemuliaan pohon.
4. Kualitas genetik suatu tegakan dapat menurun drastis karena praktek kehutanan yang melakukan penebangan pada pohon yang berfenotip baik (seleksi negatif) atau karena meningkatnya inbreeding. 5. Keragaman genetik di dalam jenis adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas hutan dan untuk melanjutkan program pemuliaan, konservasi terhadap keragaman genetik tersebut sangat diperlukan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Pada provenan Banjarnegara larva boktor ditemukan hanya di bagian kayu dengan panjang rata-rata 3,8 cm, serta berat rata-rata sebesar 1,0458 g. Pada provenan Subang larva boktor ditemukan pada bagian kulit (panjang rata-rata 2,2 cm dan berat 0,3825 g), dan bagian kayu dengan panjang rata-rata 3,4 cm; berat 0,7854 cm. 2. Berdasarkan uji sidik ragam, faktor bagian dan kondisi pohon berpengaruh sangat nyata pada aktivitas trypsin inhibitor. Sedangkan interaksi antara faktor provenan dengan bagian pohon memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bagian kulit memiliki aktivitas trypsin inhibitor tertinggi, sedangkan yang terendah pada bagian kayu. Kondisi pohon sehat memiliki nilai aktivitas trypsin inhibitor lebih tinggi dibandingkan dengan pohon terserang hama boktor. Bagian pohon sengon yang memiliki nilai tertinggi adalah bagian kulit, yang didapat pada provenan Subang sebesar 1069,8594 TIU/mg. 3. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kondisi pohon sehat dan pohon sakit berpengaruh sangat nyata terhadap aktivitas α-amylase inhibitor (AIA), begitu juga dengan bagian pohon berupa daun, kulit, dan kayu. Bagian kayu merupakan bagian yang memiliki rata-rata aktivitas α-amylase inhibitor tertinggi, sedangkan yang terendah adalah bagian kulit. Interaksi antara kondisi pohon dengan bagian pohon berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya aktivitas α-amylase inhibitor. Kondisi pohon sehat memiliki nilai aktivitas α-amylase inhibitor lebih tinggi dibandingkan dengan pohon terserang hama boktor. Bagian pohon sengon yang memiliki aktivitas αamylase inhibitor tertinggi adalah bagian kayu, yang didapat pada provenan Banjarnegara sebesar 52,3416 AIU/mg. 4. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis enzim dan provenan tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas trypsin inhibitor pohon sengon, sedangkan faktor kondisi pohon sehat dan sakit berpengaruh nyata. Rata-rata
aktivitas trypsin inhibitor dengan menggunakan enzim sintetik lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan enzim alami dari pencernaan larva boktor. Kondisi pohon sehat memiliki nilai aktivitas trypsin inhibitor lebih tinggi dibandingkan dengan pohon yang terserang hama boktor. 5. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis enzim, berupa enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor serta kondisi pohon sehat maupun sakit berpengaruh sangat nyata terhadap aktifitas α-amylase inhibitor. Penggunaan enzim sintetik menghasilkan nilai rata-rata aktivitas αamylase inhibitor lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan enzim alami dari pencernaan larva boktor. Kondisi pohon sehat memiliki nilai ratarata aktivitas α-amylase inhibitor lebih tinggi dibandingkan dengan pohon yang terserang hama boktor.
5.2 Saran 1. Dalam kegiatan pemuliaan pohon hendaknya menggunakan keturunan dari pohon sengon yang mengandung trypsin inhibitor maupun α-amylase inhibitor tertinggi. Namun demikian, secara individu untuk menghindari terjadinya inbreeding, maka persilangan (crossing) menjadi faktor yang harus dipertimbangkan. 2. Dengan pertimbangan teknis, dalam pengujiaan aktivitas trypsin inhibitor maupun α-amylase hendaknya menggunakan enzim trypsin maupun enzim αamylase yang berasal dari pencernaan boktor.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Pemberantasan hama boktor (Xytrocera festiva) pada tegakan sengon. Laporan penelitian. Kerjasama antara Perum Perhutani dengan fakultas kehutanan IPB. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Atmosuseno BS. 1998. Budi Daya, Kegunaan, dan Prospek Sengon. Jakarta: Penebar Swadaya. Bahagiawati. 2005. Isolasi dan Purifikasi Inhibitor α-amilase dari Biji Kacang Phaseolus vulgaris. AgroBiogen 1(1):7-12. [terhubung berkala] Http://www.indobiogen.or.id/terbitan/pdf/agrobiogen_1_1_2005_07-12.pdf [10 November 2008]. Creighton R. 1989. Protein Structure. Elsevier Science Publishers. Crueger W. and Crueger. 1982. Biotechnology; A Text Book on Industrial. Translae by T. DBook. Science Tech Inc. Toronto. [Dishutbun] Dinas Kehutanan dan Perkebunan. 2008. Botani Sengon ( On-line ). Accessed November 10, 2008 at Http://hutbun.cilacapkab. go.id/index. php?q=detil&id=40 - 56k. Hardi TW. 1998. Mengenal Lebih Dekat Hama Boktor, Xytrocera Festiva. Info Hutan No. 91/1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Husaeni EA, Haneda NF, Rachmatsjah O. 2006. Pengantar Hama Hutan di Indonesia: Bio Ekologi dan Teknik Pengendalian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Lakapu H. 2008. Biologi larva boktor (Xystrocera festiva Pascoe) dalam makanan buatan (Artificial Diet) dengan bahan dasar serbuk kayu Sengon (Paraserianthes falcataria). Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Liener IE and Kakade ML. 1969. Toxic Contituent of plant food Stuff. I. E. Liener (ed). Academic press. New York. Marta AK. 2005. Pengaruh Berbagai Jenis serbuk Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) pada makanan buatan (Artifial Diet) terhadap pertumbuhan Larva Boktor (Xystrocera festiva Pascoe) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Muchtadi D. 1993. Teknik evaluasi nilai gizi protein [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi M, Palupi NS, Astawan M. 1992. Bahan Kuliah Enzim Dalam Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nur MA. 1989. Spektroskopi. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Pusat antar universitas pangan dan gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik spektroskopi dalam analisis biologis. Departemen pendidikan dan kebudayaan, Pusat antar universitas ilmu hayat, IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Pasaribu FA. 2008. Studi trypsin inhibitor dan α–amylase inhibitor pada bagian daun, kulit dan kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Prasetya A. 2007. Studi Tentang Enzim trypsin dan α-amylase pada Hama Boktor (Xytrocera festiva Pascoe) serta Inhibitor Trypsin pada pohon sengon [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Ryan CA. 1989. Proteinase inhibitor gene families: Strategies for transformation to improve plant defenses against herbivores. BioEssays 10(1):20-24. Sabana A. 2004. Screening dan Karakterisasi Bakteri Laut Penghasil Inhibitor Protease pada Sponge dari Kepulauan Seribu, Jakarta [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Santoso HB. 1992. Budi Daya Sengon. Yogyakarta: Kanisius. Sunarti TC, Indah Y, Nur R. 2004. Perubahan Komposisi pada hidrolisis Enzimatis Pati Umbi-Umbian Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sunarya S. 2005. Keragaman pada karakter kuantitatif, isozim dan aktivitas trypsin inhibitor sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) pada beberapa uji provenans di Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suratmo FG. 1974. Hama Hutan di Indonesia (Forest Entomology). Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thenawidjaja M. 1986. Sintesis Enzim – Enzim Pemecah Pati pada Fermentasi Aspergillus niger dengan suplementasi berbagai limbah hasil Pertanian. Dibiayai Oleh Proyek Peningkatan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Kontrak No 13/P4M/p.t 2/1985. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Winarni I. 2003. Studi keragaman tripsin inhibitor dan keragaman genetik isoenzim pohon plus sengon ( Paraserianthes falcataria (L) Nilesen ) pada hutan rakyat di Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG, Fardiaz D, Fardiaz S. 1973. Spektroskopi. Departemen Teknologi Hasil Pertanian: Fateta. Bogor. Wirahadikusumah M. 1986. Biokimia; Protein, Enzim dan Asam Nukleat. Bogor: Penerbit ITB. Wirakartakusumah MA, Thenawidjaja M, Jennie BSL, Wardoyo R, Sastrodipuro D, Nuraida L, Nurtama B. 1986. Isolasi dan Karakterisasi Enzim dari Aspergillus niger serta Pemanfaatan dalam Pembangunan industri gula cair.Penelitian no. 66/PSSR/DPPM?621?1985, Direktorat pembinaan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidilkan tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
LAMPIRAN
Lampiran1
Tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter pohon Sengon (Paraserianthes falcataria) provenan Banjarnegara
Sehat
Diameter (cm)
Tinggi bebas cabang (m)
Tinggi total (m)
1 2 3 4 5 Rata-Rata
7,962 11,943 11,306 12,420 10,669 10,859
11,340 12,350 19,110 17,130 14,670 15,120
20,130 19,870 27,350 24,570 22,780 22,940
Sakit
Diameter (cm)
Tinggi bebas cabang (m)
Tinggi total (m)
8,758 12,261 10,987 13,376 10,350 11,147
11,190 16,310 15,290 13,470 14,630 14,178
20,560 24,670 20,350 22,580 22,780 22,188
1 2 3 4 5 Rata–Rata Lampiran2
Sehat 1 2 3 4 5 Rata-Rata Sakit 1 2 3 4 5 Rata–Rata
Tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter Sengon(Paraserianthes falcataria) provenan Subang
pohon
Diameter (cm)
Tinggi bebas cabang (m)
Tinggi total (m)
13,854 11,783 12,261 10,669 8,121 11,338
15,140 21,360 13,890 16,670 17,540 16,920
22,390 26,700 25,610 25,330 24,280 24,862
Diameter (cm)
Tinggi bebas cabang (m)
Tinggi total (m)
13,376 10,828 9,236
12,110 17,830 14,480
9,554 13,057 11,210
12,630 15,620 14,534
25,150 24,230 23,450 19,530 23,810 23,234
Lampiran 3
Panjang dan berat larva yang terdapat pada bagian batang pohon Sengon Provenan Banjarnegara yang sakit
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Panjang 3,50 3,50 3,50 2,80 2,80 3,40 3,30 3,50 3,70 3,20 3,30 3,50 3,20 3,50 3,50 2,80 3,70 3,00 3,20 3,30 3,50 3,30 3,10 3,30 2,80 3,40 4,30 4,80
Rata-rata
Berat 0,856 0,860 0,964 0,469 0,524 0,691 0,715 0,777 0,873 0,639 0,778 0,805 0,738 0,747 0,659 0,601 0,880 0,641 0,586 0,633 0,643 0.521 0,434 0,667 0,482 0,519 1,412 2,567
No 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Panjang 4,90 4,80 4,40 5,00 4,50 3,40 5,00 4,50 4,90 4,50 4,80 4,80 4,50 4,60 4,50 3,40 3,80 4,60 4,40 3,80 4,20 4,20 4,10 4,20 4,20 4,10 3,80 4,10 3,50 3,800
Berat 1,719 1,439 1,608 1,673 1,412 0,759 1,925 1,546 1,926 1,482 1,511 1,686 1,433 1,443 1,669 0,577 1,098 1,666 1,102 1,012 1,248 1,148 0,943 0,902 0,951 1,070 0,967 1,027 0,985 1,046
Lampiran4
Panjang dan berat larva yang terdapat pada bagian batang dan kulit pohon Sengon Provenan Subang sakit LARVA PADA BAGIAN BATANG
No
Panjang
Berat
No
Panjang
Berat
1
3,00
0,631
32
4,00
1,109
2
2,95
0,589
33
3,60
0,969
3
3,40
0,316
34
3,60
0,931
4
3,20
0,787
35
3,70
0,678
5
3,60
0,676
36
3,90
1,067
6
4,00
0,789
37
3,90
0,981
7
3,60
0,318
38
3,40
0,870
8
2,80
0,468
39
4,10
1,047
9
2,50
0,357
40
4,10
1,156
10
2,70
0,461
41
3,50
0,879
11
2,80
0,574
42
3,70
0,886
12
2,80
0,620
43
3,80
0,988
13
2,30
0,426
44
4,00
1,005
14
3,10
0,572
45
3,80
0,939
15
3,00
0,592
46
3,60
0,914
16
3,20
0,477
47
3,40
0,783
17
3,10
0,653
48
3,50
0,914
18
3,10
0,623
49
4,00
1,110
19
2,00
0,316
50
3,10
0,685
20
3,30
0,645
51
3,50
0,877
21
3,20
0,599
52
3,40
0,789
22
3,30
0,641
53
3,70
1,052
23
3,20
0,535
54
3,70
1,012
24
2,90
0,427
55
3,80
0,912
25
3,70
0,877
56
3,80
0,922
26
3,80
1,121
57
3,90
0,947
27
4,30
1,155
58
3,70
0,867
28
4,30
1,235
59
3,70
0,938
29
3,70
1,104
60
3,80
0,954
30
3,40
0,645
61
3,10
0,745
31
4,30
1,435
62
3,20
0,734
(Lanjutan) Lampiran 4 Nomor
Panjang
Berat
63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94
2,80 2,60 3,00 3,00 3,40 3,50 2,30 2,50 2,40 2,30 3,45 4,15 3,40 3,20 2,70 3,50 3,30 3,60 3,70 4,00 3,60 3,20 3,80 3,50 3,20 3,10 3,40 3,30 3,30 3,10 2,90 2,80 3,40
0,787 0,576 0,611 0,603 0,779 0,823 0,246 0,567 0,654 0,593 0,889 1,081 0,763 0,762 0,652 0,857 0,914 0,931 0,982 0,929 0,838 0,741 0,842 0,856 0,877 0,683 0,849 0,911 0,866 0,768 0,621 0,663 0,785
Rata-rata
(Lanjutan) Lampiran 4
LARVA PADA BAGIAN KULIT Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Rata-rata
Panjang 1,20 2,90 1,70 2,30 2,10 2,00 1,90 1,65 2,40 2,40 2,70 2,10 2,90 2,80 1,90 2,20
Berat 0,132 0,427 0,316 0,176 0,394 0,465 0,151 0,278 0,508 0,465 0,529 0,409 0,483 0,658 0,346 0,383
Lampiran 5
Hasil analisis aktivitas trypsin inhibitor (TIU) pada pohon sengon (Paraserianthes falcataria) dari provenan Banjarnegara menggunakan enzim trypsin sintetik Perlakuan Ulangan
sehat
Daun
Kulit
Batang
1
218,135
710,712
560,156
1
255,354
138,966
346,145
2
180,895
767,789
349,146
2
292,052
204,250
252,253
3
546,855
628,365
417,351
3
104,087
257,573
231,925
4
170,638
646,492
332,088
4
195,643
593,693
175,686
5
314,436
589,182
314,286
5
301,618
692,569
338,623
229,751
377,410
268,926
Rata–rata Lampiran 6
286,192
668,508
394,605
Perlakuan Ulangan
sakit
Rata-rata
Daun
Kulit
Batang
Hasil analisis aktivitas trypsin inhibitor (TIU) pada pohon sengon (Paraserianthes falcataria) dari provenan Subang menggunakan enzim trypsin sintetik Perlakuan
Ulangan
Daun
Kulit
Batang
1
458,322
350,112
271,106
2
432,701
486,934
3
506,094
4 5
Sehat
Daun
Kulit
Batang
1
278,726
361,041
283,491
464,665
2
459,481
452,742
201,867
775,680
160,164
3
506,312
676,339
238,086
384,880
680,908
266,951
4
339,810
507,521
200,213
478,071
707,909
511,686
5
367,212
350,112
152,856
452,013
600,309
334,914
390,308
469,551
215,303
Rata-rata
Perlakuan Ulangan
sakit
Rata-rata
Lampiran 7
Hasil analisis aktivitas α-amylase inhibitor (AIU) pada pohon sengon (Paraserianthes falcataria) dari provenans Banjarnegara menggunakan enzim α-amylase sintetik
Perlakuan
Ulangan
Daun
Kulit
Batang
1
9,733
10,630
2
5,301
3 4 5
sehat
Ulangan
Daun
Kulit
Batang
31,779
1
5,486
7,327
16,264
15,543
31,557
2
4,848
11,925
19,345
9,927
13,702
29,892
3
9,871
9,631
18,512
10,066
12,046
29,669
4
5,594
12,823
20,289
13,452
8,715
29,698
5
6,902
6,606
23,397
9,696
12,127
30,519
6,540
9,662
19,562
Rata-rata Lampiran 8
Perlakuan
Sakit
Rata-rata
Hasil analisis aktivitas α-amylase inhibitor (AIU) pada pohon sengon (Paraserianthes falcataria) dari provenan Subang menggunakan enzim α-amylase sintetik
Perlakuan
Ulangan
Daun
Kulit
Batang
1
21,177
7,216
2
7,179
3 4 5
sehat
Ulangan
Daun
Kulit
Batang
21,121
1
10,047
6,495
19,345
7,799
33,195
2
9,289
10,879
22,953
7,235
12,813
29,698
3
13,452
8,632
20,141
15,006
7,133
26,117
4
12,119
10,575
16,116
5,014
14,959
20,289
5
6,735
11,648
16,755
11,122
9,984
26,084
10,328
9,646
19,062
Rata-rata
Perlakuan
Sakit
Rata-rata
Lampiran 9
Perbandingan aktivitas trypsin inhibitor bagian kulit menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor pada provenan Banjarnegara
Perlakuan Ulangan 1 2 3 4 Sehat 5
Sintetik 710,712 767,789 628,365 646,492 589,182
Larva 578,835 526,887 426,957 432,612 739,214
668,508
540,901
Rata-rata
Lampiran 10
Perlakuan Ulangan 1 2 3 4 sakit 5
Sintetik 138,966 204,250 257,573 593,693 692,569
Larva 320,243 375,655 226,494 412,774 337,452
377,410
334,524
Rata-rata
Perbandingan aktivitas trypsin inhibitor bagian kulit menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor pada provenan Subang.
Perlakuan
sehat
Ulangan 1 2 3 4 5
Sintetik 350,112 486,934 775,680 680,908 707,909
Larva 449,091 372,495 467,034 404,115 710,024
600,309
480,552
Rata-rata
Perlakuan Ulangan 1 2 3 4 Sakit 5
Sintetik 361,041 452,742 676,339 507,521 350,112
Larva 408,579 252,186 482,819 396,069 631,148
469,551
434,161
Rata-rata
Lampiran 11
Perbandingan aktivitas α-amylase inhibitor bagian kayu menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor pada provenan Banjarnegara
Perlakuan
Ulangan
Sintetik
Larva
1
31,779 31,557 29,892 29,669 29,698 30,5190
14,738
2 3 4 Sehat
5
Rata-rata Lampiran 12
Ulangan
Sintetik
Larva
17,485
1
16,264
8,521
13,849
2
19,345
7,688
13,017
3
18,512
5,579
14,294
4
20,289
6,106
5
23,397
11,907
19,562
7,960
15,043
Perlakuan
Sakit
Rata-rata
Perbandingan aktivitas α-amylase inhibitor bagian kayu menggunakan enzim sintetik dan enzim dari pencernaan larva boktor pada provenan Subang
Perlakuan
Ulangan
Sintetik
Larva
1
21,121 33,195 29,698 26,117 20,289 26,084
12,678
2 3 4 Sehat
Rata-rata
5
Ulangan
Sintetik
Larva
13,211
1
10,353
13,461
2
12,573
3
12,184
4
19,345 22,953 20,141 16,116 16,755 19,062
9,997
11,962
Perlakuan
Sakit
Rata-rata
5
9,270 11,241 7,383 11,740
Lampiran 13
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menggunakan SPSS 12.0 pada aktivitas trypsin inhibitor Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: nilai Type III Sum of Squares 1084068,025(a)
Source Corrected Model
11
Mean Square 98551,639
Intercept
9156406,454
1
9156406,454
558,311
0,000
provenan
23404,824
1
23404,824
1,427
0,238
kondisipohon
256951,865
1
256951,865
15,668
0,000
bagianpohon
586820,249
2
293410,124
17,891
0,000
provenan * kondisipohon
10819,590
1
10819,590
0,660
0,421
provenan * bagianpohon
126516,165
2
63258,083
3.857
0,028
kondisipohon * bagianpohon
58158,293
2
29079,146
1,773
0,181
provenan * kondisipohon * bagianpohon
21397,040
2
10698,520
0,652
0,525
Error
787209,272
48
16400,193
Total
11027683,751
60
Corrected Total
1871277,297 a R Squared =0,579 (Adjusted R Squared = 0,483)
Df
F 6,009
Sig. 0,000
59
nilai Duncan Subset bagian pohon Batang
20
1 303,437
Daun
20
339,566
Kulit
20
Sig.
N
2
528,944
,377 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 16400,193. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = 0.05.
Lampiran 14
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menggunakan SPSS 12.0 pada aktivitas α–amylase inhibitor Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: nilai Type III Sum of Squares 3127,276(a)
Source Corrected Model Intercept
11
Mean Square 284,298
F 23,797
Sig. 0,000
12663,178
1
12663,178
1059,970
0,000
PRovenan
Df
1,472
1
1,472
0,123
0,727
kondisipohon
254,859
1
254,859
21,333
0,000
bagianpohon
2591,641
2
1295,820
108,467
0,000
29,562
1
29,562
2,475
0,122
68,788
2
34,394
2,879
0,066
178,534
2
89,267
7,472
0,001
2,420
2
1,210
0,101
0,904
Error
573,443
48
11,947
Total
16363,897
60
PRovenan * kondisipohon PRovenan * bagianpohon kondisipohon * bagianpohon PRovenan * kondisipohon * bagianpohon
Corrected Total
3700,719 a R Squared = ,845 (Adjusted R Squared = ,810)
59
nilai Duncan bagian pohon
N
Subset
daun
20
1 9,422
kulit
20
10,3548
batang
20
Sig.
2
23,807
,397 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 11,947. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = 0.05.
Lampiran 15
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menggunakan SPSS 12.0 pada aktivitas trypsin inhibitor menggunakan enzim sintetik dan enzim alami dari pencernaan larva boktor Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: nilai
Intercept
Type III Sum of Squares 405745,894(a ) 9535105,900
1
9535105,900
420,933
0,000
provenan
2498,665
1
2498,665
0,110
0,742
Source Corrected Model
kondisipohon
df
Mean Square
F
Sig.
7
57963,699
2,559
0,033
266917,599
1
266917,599
11,783
0,002
enzim
66276,184
1
66276,184
2,926
0,097
provenan * kondisipohon
55952,732
1
55952,732
2,470
0,126
147,194
1
147,194
0,006
0,936
13684,005
1
13684,005
0,604
0,443
269,514
1
269,514
0,012
0,914
32
22652,307
provenan * enzim kondisipohon * enzim provenan * kondisipohon * enzim Error
724873,839 10665725,63 3 Corrected Total 1130619,732 a R Squared =0,359 (Adjusted R Squared = 0,219) Total
40 39
Lampiran 16
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menggunakan SPSS 12.0 pada aktivitas α-amylase inhibitor dengan enzim sitetik dan larva boktor Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: nilai Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 2140,011(a)
df 7
Mean Square 305,716
F 41,747
Sig. 0,000
12355,137
1
12355,137
1687,160
1553,320
1
1553,320
212,114
provenan * kondisipohon
40,323
1
40,323
5,506
provenan * enzim
15,083
1
15,083
2,060
kondisipohon * enzim
45,376
1
45,376
6,196
0,000 0,157 0,000 0,000 0,025 0,161 0,018
,016
1
0,016
0,002
0,963
Error
234.337
32
7,323
Total
14729,486
40
provenan kondisipohon enzim
provenan * kondisipohon * enzim
Corrected Total
15,357
1
15,357
2,097
470,536
1
470,536
64,254
2374,348 a R Squared = ,901 (Adjusted R Squared =,880)
39