ISSN 1410-1939
STUDI PERKEMBANGAN TANAH DAN EROSI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KETERSEDIAAN HARA AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNANAN LAHAN DI JAMBI [STUDY ON SOIL DEVELOPMENT AND EROSION IN RELATION TO THE AVAILABILITY OF NUTRIENT AS THE RESULTS OF CHANGES IN LAND USE IN JAMBI] Ajidirman Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361 Abstract Research on soil development and erosion and its relationship to the availability of nutrient as a result of changes in land use had been done in the industrial forest of PT. Wirakarya Sakti (WKS), Jambi. At the time of soil development process, some of elements and cations were freed into soil, and during erosion some of the elements lost with erosion. This research was aimed at investigating the degree of soil development and erosion level under natural forest and industrial crop forest (HTI) conditions at various plants’ age, and studying the soil development and erosion effect on the availability of nutrient at various plants’ age. Research was done using survey method at natural forest and at Acasia mangium area with age 1, 4, and 6 years old. The result shows that the rate of erosion under natural forest condition was 1.61 – 2.52 ton ha-1 per year, and this was far below the erosion rate under HTI condition that reached 303.05 -1,950.93 ton ha-1 per year. There was difference in erosion rate depending on the age of plants, with a tendency to decrease as the plant age was increase. In addition, there has been no effect or relationship between erosion rate and soil development, but erosion indirectly affect soil properties that are used as indicators to evaluate soil development. Soil development and erosion rate altogether greatly affect the availability of soil nutrients. Key words: soil development, erosion rate, soil conservation, Acasia mangium.
PENDAHULUAN Propinsi Jambi merupakan salah satu daerah beriklim tropika basah dengan keadaan suhu udara maksimum 34 oC sepanjang tahun dan curah hujan maksimum 3.205 mm per tahun. Kondisi ini sangat memungkinkan untuk terjadinya erosi, apalagi dengan adanya pembukaan lahan. Menurut Soper dan Lull (1967) sebagaimana dikutip oleh Ginting dan Semadi, (1996), perubahan vegetasi penutup di dalam suatu kawasan hutan akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap proses biologi, fisika dan kimia tanah setempat sehingga akan terjadi pergeseran keseimbangan alami yang dapat menimbulkan pengaruh negatif maupun positif. Faktor-faktor yang terganggu keseimbangannya adalah tanah dan air, yang terjadi akibat terganggunya infiltrasi tanah yang dipengaruhi tanaman (vegetasi) yang hidup di atas tanah. Masing-masing jenis tanaman hutan mempunyai karakteristik sendiri dalam melindungi tanah dan tata air. Hal ini dikarenakan setiap vegetasi mempunyai sistem perakaran dan bentuk tajuk, yang berbeda.
Erosi berhubungan erat dengan tingkat perkembangan tanah, yang menyangkut kestabilan profil tanah. Dalam hal ini, erosi berperan dalam proses transportasi dan deposisi. Secara lateral perkembangan tanah sangat ditentukan oleh proses transportasi dan deposisi ini, yaitu menyangkut tingkat perkembangan horizon, tebal solum, tebal dan kandungan bahan organik, reaksi tanah, jenis dan tingkat perkembangan padas, serta kandungan air tanah (kelembaban relatif) (Hardjowigeno, 1993). Ultisols, walaupun merupakan tanah yang tingkat pelapukannya telah lanjut, akan tetapi masih memiliki fraksi liat kaolinit yang dicirikan oleh KTK yang rendah, jumlah unsur hara yang tersedia rendah dan rendahnya kapasitas menahan air. Walaupun demikian, liat kaolinit yang dimilikinya masih memungkinkan untuk terjadinya pelapukan sehingga mineral dan unsur hara dapat terlepas. Ultisols masih akan mengalami perkembangan tanah sesuai dengan sekuen proses pembentukan tanah (Mulyadi dan Suhartati, 1996). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan tanah dan besarnya erosi pada hutan alam dan HTI pada berbagai umur tegakan
113
Jurnal Agronomi 10(2): 113-118
HTI, dan mengkaji pengaruh perkembangan tanah dan erosi terhadap ketersediaan hara pada berbagai umur tegakan HTI.
BAHAN DAN METODA Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei. Kegiatannya meliputi: persiapan penelitian, penelitian lapangan (sigi utama), analisis sampel tanah di laboratorium, dan pengolahan data, interpretasi data dan penulisan laporan hasil penelitian. Sebelum melaksanakan penelitian lapangan, terlebih dahulu dipelajari berbagai informasi mengenai lokasi penelitian dan studi peta-peta (peta status lahan, peta penggunaan tanah dan peta topografi). Selanjutnya dibuat pada rencana kerja atas dasar peta penggunaan tanah dan peta topografi. Kegiatan sigi utama adalah pengamatan keadaan umum lokasi penelitian dan penetapan lokasi profil tanah. Sebelum penetapan profil pewakil, terlebih dahulu lahan dibagi menjadi unit satuan lahan homogen (SLH) yaitu SLH hutan alam, SLH hutan tanaman industri (HTI 1, 4, dan 6 tahun). Pada masing-masing satuan lahan dilakukan pemboran 10 kali secara acak. Atas dasar keseragaman data sifat tanah hasil pemboran, fisiografi dan pola penggunaan tanah, ditetapkan profil pewakil masing-masing satuan lahan. Kedalaman pengambilan contoh tanah adalah 0 - 30 dan 30 - 60 cm. Pengamatan dan pengukuran variabel sifat tanah dan tanaman dalam penelitian ini meliputi beberapa sifat fisik, kimia dan mineralogi tanah. Secara rinci variabel-variabel tersebut ialah: penetapan jumlah dan jenis mineral pasir fraksi total dan berat, analisis ukuran partikel 10 fraksi dan penetapan kelas tekstur tanah, penentuan susunan dan jenis mineral liat, penetapan permeabilitas, penetapan P-total, pH tanah, penetapan C-organik, kapasitas tukar kation (KTK), penetapan susunan kation dapat tukar (K, Na, Ca dan Mg), penetapan N– total, penetapan P-tersedia, penetapan K-tersedia, penetapan Ca-tersedia, dan penetapan Mg-tersedia. Untuk menghitung besarnya erosi pada Ultisol yang ditanami hutan alam dan HTI pada berbagai tegakan digunakan rumus USLE (Wishmeier dan Smith, 1978), dengan persamaan sebagai berikut: A=R×K×L×S×C×P di mana: A = besarnya erosi (ton ha-1 per tahun), R = indeks erosivitas hujan, K = faktor erodibilitas tanah, L = faktor panjang lereng, S = Faktor kemiringan lereng (%), C = faktor pengelolaan, P = faktor teknik konservasi tanah.
114
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan perhitungan besarnya erosi pada SLH hutan alam dan SLH HTI dengan model USLE, terlihat bahwa konversi hutan alam menjadi hutan produksi pada awalnya cenderung memperbesar laju erosi. Besarnya erosi pada masing-masing satuan lahan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Besar erosi pada hutan alam dan HTI pada berbagai umur tegakan. Lokasi SLH Hutan alam HTI 1 tahun HTI 4 tahun HTI 6 tahun
Besarnya erosi (ton ha-1 per tahun) Lapisan 0-30 cm Lapisan 30-60 cm 1,61 2,52 1950,93 1427,68 881,94 1415,84 1314,04 303,05
Dari data Tabel 1 di atas jelas terlihat bahwa hutan alami mengalami kehilangan tanah (erosi) sebesar 1,61 ton ha-1 per tahun, sedangkan HTI yang merupakan hutan produksi tebang habis memperlihatkan bahwa awal dari konversi hutan alami dan penanaman kembali dengan HTI mengalami erosi yang sangat besar yaitu 1950,93 ton ha1 per tahun. Besarnya erosi pada HTI mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya umur tanaman dari awal konversi hutan sampai saat panen (tebang habis) menjadi 881,94 – 1314,04 ton ha-1 per tahun. Terjadinya penurunan besarnya erosi berdasarkan umur tegakan pada HTI disebabkan oleh bertambah rapatnya penutupan tanah oleh tajuk tanaman (Acasia mangium) seiring dengan bertambah besarnya tanaman hingga saat panen tiba. Menurut Barshad (1955) sebagaimana dikutip oleh Wiharso (1999), fraksi liat biasanya terbentuk dari fraksi non liat (fraksi pasir dan fraksi debu), sehingga sehingga nisbah antara fraksi debu dengan fraksi liat dapat digunakan untuk menilai tingkat perkembangan tanah. Hasil analisis mengenai fraksi pasir, debu dan liat serta nisbah debu terhadap liat dan nisbah liat halus terhadap liat total disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat diungkapkan bahwa melihat distribusi ukuran partikel pada masing SLH, baik hutan alam maupun HTI (1, 4, dan 6 tahun) masih didominasi oleh fraksi pasir dan fraksi debu. Terdapat perbedaan distribusi ukuran partikel pada masing-masing SLH. Perbedaan ini diduga akibat terjadinya perbedaan dalam proses pembentukan tanah. Pada kondisi hutan alam kecepatan penambahan dan transformasi bahan-bahan penyusun tanah cenderung seimbang dengan kehilangan maupun translokasi. Hal ini dapat disimak dari kecen-
Ajidirman: Studi Perkembangan Tanah dan Erosi dalam Hubungannya dengan Ketersediaan Hara.
derungan penghancuran fraksi pasir menjadi debu dan penghancuran debu menjadi liat terlihat lebih besar pada HTI dan ada kecenderungan perbedaan peningkatan menurut umur tegakan dibandingkan dengan hutan alam. Seperti terlihat pada Tabel 2, hutan alam lapisan 0 – 30 cm mengandung pasir 68,7% dan menjadi berkurang pada HTI menurut umur tegakan, yaitu HTI 1 tahun mengandung pasir 54,6%, HTI 4 tahun pasirnya 63,3% dan HTI 6 tahun mengandung pasir 21,8%. Penurunan jumlah fraksi pasir akibat proses pembentukan tanah menghasilkan peningkatan jumlah dalam fraksi debu dan liat menurut SLH, yaitu peningkatan dimulai dari hutan alam ke HTI 1, 4 dan 6 tahun. Hal yang sama juga terjadi pada lapisan 30 – 60 cm. Hampir separuh dari fraksi liat telah mengalami penghancuran menjadi liat halus. Sedangkan nisbah antara debu halus dengan liat halus berkisar antara 0,05 – 0,60. Nilai nisbah ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan tanah pada SLH hutan alam dan SLH HTI telah tahap lanjut. Sifat kimia tanah, seperti nisbah Ca/Mg, KTK, kejenuhan basa, dan sifat kimia lainnya dapat dipakai untuk menilai tingkat perkembangan tanah. Untuk itu pada Tabel 3 disajikan data sifat kimia tanah guna menilai tingkat perkembangan tanah pada masing-masing SLH. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pH tanah pada masing-masing SLH berkisar 4,28 – 5,00. Kisaran nilai pH seperti ini memberi petunjuk bahwa telah terjadi pelapukan bahan-bahan penyusun tanah secara intensif, dan hasil pelapukan berupa kation basa sebagian tercuci dan sebagian lagi diambil oleh tanaman HTI. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pH hutan alam (4,70) dengan pH hutan HTI (4,28 – 4,73) pada kedalaman 0 – 30 cm, tetapi terdapat kecenderungan penurun pH pada HTI umur 4 tahun dari 4,73 menjadi 4,28. Selanjutnya, dengan bertambah umur HTI terjadi kembali peningkatan nilai pH tanah dari 4,28 menjadi 4,67. Peristiwa ini juga terjadi pada lapisan tanah 30 – 60 cm. Sumbangan pengembalian kation-kation basa ke dalam tanah cenderung akan meningkatkan pH tanah seiring dengan berjalannya dekomposisi bahan organik. Analisis ini diperkuat oleh data C-organik, dan jumlah kation-kation basa pada masing-masing SLH (Tabel 3). Terdapat kecenderungan peningkatan pengembalian kationkation basa hasil dekomposisi bahan organik ke dalam tanah seiring meningkatnya umur tegakan. Melihat kepada nilai KTK yang berkisar 9,15 – 31,63 me/100g, dapat dipastikan tingkat perkembangan tanah pada hutan alam dan HTI (1, 4 dan 6 tahun) telah berada pada tingkatan tahap lanjut. Tidak terdapat perbedaan perkembangan tanah antara
hutan alam dengan HTI, maupun antar tanah di bawah tegakan HTI yang berbeda umurnya. Untuk maksud pengkajian tingkat perkembangan tanah dari sifat mineralogi disajikan data sifat mineralogi seperti yang terlihat pada Tabel 4 dan 5. Pada Tabel 4 terlihat bahwa mineral fraksi berat didominasi oleh zirkon (13 – 68%), turmalin (7 – 38%), dan rutil + anatas (6 – 9%). Mineral berat ini adalah jenis mineral yang sedikit terkandung dalam mineral primer ataupun batuan induk. Zirkon adalah mineral yang terdapat pada batuan induk granit. Mineral ini luar biasa resisten terhadap penghancuran selama erosi dan deposisi. Walapun demikian menurut Keer (1959), zirkon akan berubah secara kimia dengan penambahan U, Th, Pb, dan H2O disertai dengan kehilangan silika. Pembebasan ion-ion Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na, K, H dan O oleh pelapukan ke dalam tanah sebagian akan bergabung kembali membentuk mineral sekunder. Mineral sekunder biasanya berada dalam bentuk fraksi liat. Jackson dan Sherman (1953) sebagaimana dikutip oleh Dixon (1989) menghubungkan tingkat perkembangan relatif tanah dengan jenis mineral yang ada dalam fraksi liat. Oleh karena itu untuk maksud pengkajian perkembangan tanah dari keberadaan mineral liat di dalam tanah pada Tabel 5 disajikan data kandungan mineral liat pada masing-masing SLH. Dari data tersebut terlihat bahwa mineral liat tanah pada masingmasing SLH, baik hutan alam maupun HTI didominasi oleh mineral liat tipe 1:1 yaitu kaolinit dengan jumlah 87 – 96%, meskipun masih terdapat mineral liat tipe 2:1 (vermikulit). Terdapat kecenderungan telah melapuk dan berubahnya mineral kaolonit menjadi geotit pada masing-masing SLH, walaupun masih dalam jumlah yang sangat sedikit (1 – 3%). Kalau mineral liat kaolinit telah melapuk sebagian besar atau hampir seluruhnya menjadi oksida atau geotit, hal ini sebagai bukti bahwa tanah telah mengalami pelapukan yang sangat-sangat lanjut. Akan tetapi karena masih terdapat 96% kaolinit, berarti tingkat perkembangan tanah berada pada tahap lanjut. Untuk memahami hubungan erosi dengan perkembangan tanah dan ketersediaan hara akibat perubahan penggunaaan lahan disajikan data tentang besarnya erosi, tingkat perkembangan tanah dan ketersediaan hara pada Tabel 6. Dari data yang disajikan pada Tabel 6 jelas terlihat bahwa tidak terdapat pengaruh ataupun hubungan antara besarnya erosi dengan tingkat perkembangan tanah pada masing-masing SLH, baik pada hutan alam maupun pada HTI. Tetapi erosi secara tidak langsung berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah yang menjadi dasar penilaian tingkat perkembangannya.
115
Jurnal Agronomi 10(2): 113-118
Tabel 2. Distribusi ukuran partikel, nisbah fraksi debu terhadap fraksi liat dan nisbah liat halus terhadap liat total dari sampel tanah hutan alam dan HTI pada berbagai umur tegakan. Lokasi SLH
Fraksi (%) debu Liat kasar
Pasir
Kedalaman 0 – 30 cm Hutan Alam 68,7 HTI 1 Tahun 54,6 HTI 4 Tahun 63,3 HTI 6 Tahun 21,8 Kedalaman 30 – 60 cm Hutan Alam 58,9 HTI 1 Tahun 45,7 HTI 4 Tahun 54,1 HTI 6 Tahun 6,0
Liat halus
Debu halus: Liat halus
Liat halus: Liat total
6,7 24,4 10,3 50,1
15,3 8,0 13,7 15,4
9,3 13,0 12,7 12,7
0,05 0,02 0,08 0,32
0,38 0,60 0,48 0,44
6,6 28,7 18,6 38
17,4 11,7 9,5 39,3
17,1 14,6 17,8 16,7
0,05 0,13 0,42 0,60
0,49 0,56 0,65 0,30
Tabel 3. Nilai pH, C-organik, N-total, kation basa dapat tukar, KTK, KB, dan nisbah Ca/Mg dari contoh tanah hutan alam dan HTI pada berbagai umur tegakan. pH Lokasi SLH
H2O
KCl
Kedalaman 0 – 30 cm Hutan alam 4,70 HTI 1 th 4,73 HTI 4 th 4,28 HTI 6 th 4,67 Kedalaman 30 -60 cm Hutan alam 4,62 HTI 1 th 5,00 HTI 4 th 4,54 HTI 6 th 4,71
Corganik (%)
N-total Kation basa dapat dipertukarkan KTK KB (%) Ca/Mg (%) (me/100 g) Na K Ca Mg
4,01 4,14 3,84 3,75
0,80 1,21 1,62 1,35
0,12 0,12 0,19 0,18
0,84 0,73 0,84 1,31
0,10 0,15 0,10 0,41
0,22 0,18 0,27 0,73
0,10 0,13 0,31 0,52
4,05 4,10 4,03 3,83
1,29 0,83 0,49 1,36
0,09 0,11 0,10 0,11
1,05 0,84 0,84 0,84
1,05 0,15 0,10 0,51
0,40 0,12 0,08 0,16
0,19 0,11 0,28 0,23
14,10 10,29 15,78 18,67 22,79 9,15 28,19 31,63
31,0 28,5 30,0 43,4
2,20 1,38 0,87 1,40
60,8 31,5 32,1 33,1
2,10 1,09 0,28 0,69
Tabel 4. Komposisi mineral fraksi pasir berat dan indek pelapukan dari sampel tanah hutan alam dan HTI pada berbagai umur tegakan.
Turmalin
Andalusi t
Silimonit
Topas
Staurolit
Garnet
Rutil + Anatas
37 13 68 47
-
sp 2 sp sp
37 70 7 22
11 9 1 8
sp 1 -
sp 1 sp sp
1 2 2 sp
7 2 14 11
1 sp sp
6 1 7 8
27 38 56 35
-
sp 2 1
38 32 15 30
14 11 5 4
1 sp sp -
1 1 sp 2
3 3 sp 2
5 8 15 17
sp 1
11 7 7 9
sp = sporadis, yaitu mempunyai persentase sangat kecil (< 1%)
116
Monasit
Epidot
Kedalaman 0 – 30 cm Hutan alam 62 HTI 1 th 44 HTI 4 th 56 HTI 6 th 62 Kedalaman 30 – 60 cm Hutan alam 52 HTI 1 th 51 HTI 4 th 55 HTI 6 th 65
Konkresi Besi
Opak
Lokasi SLH
Zirkon
Komposisi mineral fraksi pasir berat (%) Non opak (%)
Ajidirman: Studi Perkembangan Tanah dan Erosi dalam Hubungannya dengan Ketersediaan Hara.
Tabel 5. Komposisi dan jenis mineral liat dari sampel tanah hutan alam dan HTI pada berbagai umur tegakan. Lokasi SLH
Kaolinit
Kedalaman 0 – 30 cm Hutan alam HTI 1 th HTI 4 th HTI 6 th Kedalaman 30 – 60 cm Hutan alam HTI 1 th HTI 4 th HTI 6 th
Susunan mineral liat (%) Vermikulit Kuarsa
Geotit
96 92 92 88
2 2 5 10
1 4 1 2
1 2 2 -
94 86 92 87
4 10 5 10
1 4 1 -
1 2 3
Tabel 6. Tingkat perkembangan tanah dan besar erosi dalam hubungannya dengan ketersediaan hara pada hutan alam dan HTI pada berbagai umur tegakan.
Lokasi SLH
Besar erosi (ton ha-1 per tahun)
Kedalaman 0 – 30 cm Hutan alam 1,609 SR HTI 1 th 1950,93 SB HTI 4 th 881,94 SB HTI 6 th 1314,04 SB
Tingkat perkembangan tanah Tahap lanjut Tahap lanjut Tahap lanjut Tahap lanjut
N-total (%)
2,0 1,4 2,2 7,2
21,8 19,1 109,8 27,4
Mg
33,1 40,8 110,1 71,5
8,6 16,3 57,4 37,8
Kedalaman 30 – 60 cm Hutan alam 2,522 SR Tahap lanjut 0,09 0,7 10,9 25,3 HTI 1 th 1427,68 SB Tahap lanjut 0,11 1,1 21,8 33,1 HTI 4 th 1415,84 SB Tahap lanjut 0,10 0,7 19,1 28,10 HTI 6 th 303,05 B Tahap lanjut 0,11 0,8 21,9 20,4 SR = bahaya erosi sangat ringan, SB = bahaya erosi sangat berat, B = bahaya erosi berat.
7,1 11,2 36,7 24,0
Erosi secara bersama dengan tingkat perkembangan tanah tampaknya berpengaruh besar terhadap ketersediaan hara di dalam tanah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6, di mana pada HTI umur 4 tahun dengan besar erosi 881,94 ton ha-1 per tahun dengan tingkat perkembangan tanah lanjut memperlihatkan kandungan hara yang bersifat mobil di dalam tanah, yaitu kalium 109,8 ppm, kalsium 110,1 ppm, dan magnesium 57,4 ppm. Akan tetapi dengan meningkatnya besarnya erosi menjadi 1314,04 ton ha-1 per tahun dengan tingkat perkembangan tanah yang sama terjadi penurunan ketersediaan hara di dalam tanah sangat signifikan. Hal ini diduga disebabkan oleh, ketika proses pelapukan dan perkembangan tanah berlangsung dan melepaskan kation maupun unsur hara ke dalam tanah dari bahan-bahan yang dilapuk yaitu bahan organik dan mineral, maka sebagian dari kation dan unsur
0,12 0,12 0,19 0,18
Ketersediaan hara P K Ca tersedia (ppm)
hara tersebut pada saat yang bersamaan hilang terkikis atau terbawa oleh peristiwa erosi, dan sebagiannya lagi diambil oleh tanaman.
KESIMPULAN 1. Erosi pada hutan alam sebesar 1,61 – 2,52 ton ha-1 per tahun dan jauh lebih rendah dari HTI yang erosinya berkisar 303,05 hingga 1950,93 ton ha-1 tahun. 2. Terdapat perbedaan besarnya erosi menurut umur tegakan HTI, dengan kecenderungan penurunan besarnya erosi menurut umur tegakan. 3. Tidak terdapat pengaruh ataupun hubungan besarnya erosi terhadap perkembangan tanah, tetapi erosi secara tidak langsung mempenga-
117
Jurnal Agronomi 10(2): 113-118
ruhi sifat-sifat tanah yang menjadi dasar dalam penilaian tingkat perkembangan tanah. 4. Tingkat perkembangan tanah dan erosi secara bersama berpengaruh besar terhadap ketersediaan hara di dalam tanah.
DAFTAR PUSTAKA Dixon, J. B. dan S. B. Weed. 1989. Mineral in Soil Environments (2nd ed.)Madison, Wisconsin. Ginting, A. N. dan I. G. K. Semadi. 1996. Aliran Permukaan dan Erosi Tanah di Bawah Tegakan Acacia mangium di Gemawang, Subanjariji, Sumatera Selatan.
118
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis (edisi pertama). Akademika Pressindo, Jakarta. Keer, P. F. 1959. Optical Mineralogy (3rd ed.). McGraw-Hill Book Co. Inc., New York. Mulyadi dan Suhartati. 1996. Pengenalan karakteristik tanah hutan tropika untuk pembangunan hutan tanaman. Jurnal Sylva Tropika 2: 7-8. Wiharso, D. 1999. Perkembangan tanah yang terbentuk dari batuan granit di daerah Lampung Selatan. Jurnal Tanah Topika 9: 117-125. Wishmeier, W. H. dan D. D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Loss: A Guide to Conservation Planning. USDA Agricultural Hanbook No. 537.