STUDI PENGENDALIAN KERACUNAN BESI PADA PADI DI LAHAN PASANG SURUT MELALUI KERAGAMAN GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN
AIDI NOOR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Studi Pengendalian Keracunan Besi pada Padi di Lahan Pasang Surut Melalui Keragaman Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor,
Agustus 2012
Aidi Noor A262080041
ABSTRACT AIDI NOOR. The Study of Controlling Iron Toxicity on Rice in the Tidal Swamp Land through the Diversity of Rice Genotypes and Land Amelioration. Under direction of MUNIF GHULAMAHDI, ISKANDAR LUBIS, M. AHMAD CHOZIN, AND KHAIRIL ANWAR. The experiments were conducted in the greenhouse of Bogor Agriculture University, from May to November 2010, and field experiment in the tidal swamp area, Barito Kuala regency, South Kalimantan, from February to November 2011. The objectives of the experiment were 1) to obtain the Fe concentration in the solution that causing iron toxicity symptom with criteria severe, moderate and slightly, 2) to obtain tolerant or rather tolerant (moderate) rice genotypes to Fe toxicity, 3) to study the mechanism of tolerance of rice genotypes to Fe toxicity, 4) to obtain the adaptive Salvinia sp. which have high biomass 5) to study the effect of rice genotypes, land amelioration and its combination to iron toxicity at two location and two cropping season in the tidal swamp land. Result of the first experiment which were conducted in the green house showed that after 4 weeks, iron toxicity symptoms of IR 64 variety can be grouped based on Fe concentration, i.e. slightly (skoring 3) = 52 ppm Fe, moderate (scoring = 5) = 143 ppm Fe and severe (scoring 9) is 325 ppm Fe. Iron toxicity symptoms of four genotypes (TOX4136, Inpara-1, Inpara-2, and Inpara-4) which have been selected at 325 ppm Fe concentration were lower in the field experiment. Inpara-1 and Inpara-4 genotypes more tolerant to Fe toxicity than other genotypes and had higher productivity at two experimental sites. The tolerant genotype retain more Fe on surface roots (plaque Fe) and had a ratio of Fe stems/leaves higher than the sensitive genotype. The ability of tolerant genotypes retain more Fe on the root surface (Fe plaque) indicated the existence of mechanisms of avoidance to iron toxicity in rice. Results of 10 Salvinia sp. accessions eveluation in nutrient solution with 7 ppm Fe concentration obtained 4 Salvinia sp. accessions had faster growth with doubling time of 6.0-8.6 days. Countinous testing of four accession of Salvinia sp. at soil of tidal swamp in a pot obtained one accession of Salvinia sp. from S. Kambat had growth and doubling time faster than other accession. Salvinia sp. accession from S. Kambat grown in the field showed growth and doubling time faster (5.1 days and 5.9 days) than which in the greenhouse at 7 ppm Fe in nutrient solution (7.5 days) and the soil of tidal swamp land in a pot (7.9 days). Land amelioration and tolerant genotypes can be control iron toxicity on rice and increased rice productivity in the tidal swamp area. Salvinia sp. which grown or composted had no different with composted rice straw and farmyard manure. The Belandean site had higher iron toxicity level and lower rice productivity than the Danda Jaya site. Iron toxicity can reduce grain yield in tidal swamp land 15.6-63.9% (scoring 2-7) compared to plant which grow normally (scoring 1). Level of iron toxicity at second cropping season lower than at first cropping season. Key words : Iron toxicity scoring, iron plaque, iron tolerance mechanism, tidal swamp lands, Salvinia sp.
RINGKASAN AIDI NOOR. Studi Pengendalian Keracunan Besi pada Padi di Lahan Pasang Surut Melalui Keragaman Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI, ISKANDAR LUBIS, M. AHMAD CHOZIN, DAN KHAIRIL ANWAR. Lahan pasang surut merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi semakin menyusutnya lahan-lahan subur di pulau Jawa akibat konversi lahan. Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53 juta ha berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Keracunan besi pada padi merupakan salah satu faktor pembatas produksi padi di lahan sawah yang telah dilaporkan terjadi secara luas di beberapa negara Asia seperti China, India, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Philipina. Keracunan besi pada padi dapat menurunkan hasil padi 12-100 %. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Institut Pertanian Bogor bulan Mei- Nopember 2010, dan di lapang bulan PebruariNopember 2011 di lahan pasang surut, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Penelitian bertujuan untuk : 1) mendapatkan konsentrasi besi dalam larutan hara yang menyebabkan gejala keracunan besi dengan kriteria ringan, sedang dan berat pada padi, 2) mendapatkan genotipe padi yang toleran atau agak toleran terhadap keracunan Fe dengan produktivitas tinggi, 3) mempelajari mekanisme toleransi genotipe padi terhadap keracunan Fe, 4) mendapatkan Salvinia sp. yang adaptif, cepat tumbuh dan mempunyai biomas yang tinggi, 5) mempelajari pengaruh genotipe padi, ameliorasi lahan dan kombinasinya terhadap keracunan Fe dan produktivitas padi pada dua lokasi dan dua musim tanam berbeda. Penelitian yang telah dilaksanakan terdiri dari beberapa tahap kegiatan yaitu penelitian di rumah kaca/laboratorium dan lapangan. Penelitian di rumah kaca meliputi : 1) Pengaruh Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara terhadap Gejala Keracunan Besi dan Pertumbuhan Tanaman Padi, 2) Evaluasi Toleransi Genotipe Padi terhadap Keracunan Besi pada Dua Level Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara, 3) Evaluasi Adaptasi Salvinia sp. terhadap Konsentrasi Fe pada Media Larutan Hara dan Media Tanah Lahan Pasang Surut, 4) Penelitian lapangan : Pengaruh Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan serta Kombinasinya terhadap Keracunan Besi dan Produktivitas padi di Lahan Pasang Surut. Hasil penelitian percobaan 1 di rumah kaca berdasarkan gejala keracunan besi setelah 4 minggu pada varietas IR. 64 diperoleh konsentrasi dalam larutan hara yang menyebabkan gejala keracunan Fe yang ringan (skor 3) adalah 52 ppm Fe, keracunan Fe sedang (skor = 5) = 143 ppm Fe, keracunan Fe agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan keracunan Fe berat (skor 9) adalah 325 ppm. Berdasarkan skor gejala keracunan besi umur 4 minggu pada perlakuan cekaman 325 ppm Fe (pH 4.0), diperoleh 5 genotipe dengan skor terendah (agak toleran) yaitu genotipe Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4, galur TOX4136-5-1-1-KY-3 dan BP1031F-PN-25-2-4-KN-2. Empat genotipe padi hasil seleksi pada cekaman 325 ppm Fe Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4, dan galur TOX4136 (skor 5.0) menunjukkan gejala keracunan Fe yang lebih rendah setelah ditanam di lapang (skor 2.0-4.3). Sedangkan genotipe IR. 64 konsisten menunjukkan gejala keracunan besi yang berat tidak jauh berbeda dengan pengujian di rumah kaca.
viii
Genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 tergolong toleran terhadap keracunan Fe dan menghasilkan gabah yang lebih tinggi dari genotipe lainnya pada ke dua lokasi penelitian. Konsentrasi 325 ppm Fe (pH 4.0) dalam larutan hara Yoshida dengan lama cekaman selama 4 minggu dapat digunakan untuk evaluasi (seleksi) genotipe padi toleran terhadap keracunan Fe. Genotipe padi yang peka menyerap Fe yang lebih banyak dibagian daun dibandingkan genotipe toleran atau agak toleran. Genotipe toleran menahan Fe yang lebih banyak dipermukaan akar (plak Fe) dan mempunyai ratio Fe batang/daun yang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka. Adanya kemampuan genotipe yang toleran untuk menahan lebih banyak Fe di permukaan akar (plag Fe) dan ratio Fe batang/daun yang lebih tinggi menunjukkan adanya mekanisme avoidance (penghindaran) terhadap keracunan besi dari tanaman padi. Hasil eveluasi 10 aksesi Salvinia sp. pada larutan hara dengan konsentrasi 7 ppm Fe dan pH 4.5 diperoleh 4 aksesi Salvinia sp. yang mempunyai pertumbuhan lebih cepat dengan waktu menggandakan 6.0-8.6 hari. Satu aksesi Salvinia sp. (S. Kambat) yang dipilih dari 4 aksesi tersebut setelah dicoba di lapang menunjukkan pertumbuhan dan waktu menggandakan yang lebih cepat (5.1 hari dan 5.9 hari) dibandingkan di rumah kaca pada larutan hara+7 ppm Fe (7.5 hari) dan tanah dari pasang surut dalam pot (7.9 hari). Salvinia sp. mempunyai kemampuan untuk memindahkan (menyerap) Fe dalam larutan. Pada perlakuan 7 ppm Fe dalam media larutan (Hoagland) Salvinia sp. dapat menyerap Fe 19.7-65.6% selama 2 minggu ditumbuhkan. Genotipe padi toleran dan agak toleran dan ameliorasi lahan dapat mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Salvinia sp. ditumbuhkan atau dikomposkan sebagai bahan amelioran tidak berbeda dengan kompos jerami dan pupuk kandang. Ameliorasi lahan menggunakan bahan organik Salvinia sp. ditumbuhkan dan kompos Salvinia sp., jerami padi dan pupuk kandang rata-rata meningkatkan hasil gabah 12-21% di KP. Belandean dan 14-20% di Danda Jaya dibandingkan kontrol tanpa amelioran. Penggunaan genotipe toleran atau agak toleran dapat meningkatkan hasil gabah 11.2-54.7% di KP. Belandean dan 25.4-90.2% di Danda Jaya dibandingkan genotipe peka (IR.64). Keracunan besi (skor 2-7) dapat mengurangi hasil gabah di lahan pasang surut 15.6-63.9 % dibandingkan tanaman yang tumbuh normal dan tidak menunjukkan gejala keracunan besi (skor 1). Hasil padi dengan pertumbuhan normal tanpa gejala keracunan besi (skor Fe=1) memberikan hasil gabah = 5.66 t/ha, peningkatan skor keracunan besi menjadi 2, 3, 5, dan 7 mengurangi hasil padi berturu-turut menjadi 4.84, 4.08, 2.91, dan 2.07 t/ha. Gejala keracunan besi pada musim tanam I (musim hujan) lebih berat dibandingkan pada musim tanam II (musim kemarau). Perbedaan gejala keracunan besi pada dua musim tanam terutama terlihat jelas pada genotipe padi yang peka seperti IR.64. Pada musim tanam I rata-rata skor keracunan besi IR. 64 adalah 5.53 dan pada musim tanam II 3.47 pada loksi KP. Belandean, sedangkan pada lokasi Danda Jaya musim tanam I rata-rata 4.60 dan pada musim tanam II 2.27. Kata kunci : Gejala keracunan besi, plak besi, mekanisme toleransi terhadap Fe, lahan pasang surut, Salvinia sp.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
STUDI PENGENDALIAN KERACUNAN BESI PADA PADI DI LAHAN PASANG SURUT MELALUI KERAGAMAN GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN
AIDI NOOR
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Atang Sutandi, MS. Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB 2. Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi. Dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. (Riset). Dr. Ir. A. Karim Makarim, M.Sc. Staf Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 2. Dr. Ir. Hajrial Aswidinoor, M.Sc. Dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
Judul Penelitian
: Studi Pengendalian Keracunan Besi pada Padi di Lahan Pasang Surut Melalui Keragaman Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan
Nama
: Aidi Noor
NIM
: A262080041
Program Studi
: Agronomi dan Hortikultura
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. Ketua
Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS. Anggota
Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr. Anggota
Dr. Ir. Khairil Anwar, MS. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.
Tanggal Ujian : 29 Agustus 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini merupakan penulisan hasil penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan Mei tahun 2010 sampai bulan Nopember 2011 dengan judul “ Studi Pengendalian Keracunan Besi pada Padi di Lahan Pasang Surut Melalui Keragaman Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan.” Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian Program Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bagian dari disertasi Bab 3 dengan judul “Pengaruh Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara terhadap Gejala Keracunan Besi dan Pertumbuhan Tanaman Padi” sedang menunggu proses penerbitan pada Jurnal Agronomi Indonesia (Vol. XL, No.2, 2012) Dalam penyelesaian penulisan
disertasi ini banyak pihak yang telah
membantu dan berperan sejak dari penyusunan proposal, penelitian di rumah kaca dan laboratorium, serta kegiatan penelitian di lapang, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. sebagai Ketua Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, saran, semangat dan dorongan dalam pelaksanaan penelitian, penulisan disertasi dan penyelesaian studi.
2. Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS., Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr. dan Dr. Ir. Khairil Anwar, MS. sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, saran, semangat dan dorongan dalam pelaksanaan penelitian, penulisan disertasi dan penyelesaian studi. 3. Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MS. sebagai penguji luar komisi dalam ujian kualifikasi lisan. 4. Dr. Ir. Atang Sutandi, MS. sebagai penguji luar komisi dalam ujian kualifikasi lisan dan ujian tertutup. 5. Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi. sebagai penguji luar komisi dalam ujian tertutup. 6. Prof (Riset). Dr. Ir. A. Karim Makarim, M.Sc. dan Dr. Ir. Hajrial Aswidinoor, M.Sc. sebagai penguji luar komisi dalam ujian terbuka. 7. Dr. Ir. Maya Melati, MSc. yang mewakili program studi dalam ujian prelium lisan, ujian tertutup dan ujian terbuka.
xvi
8. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Pascasarjana, Dekan Fak. Pertanian IPB yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama saya menjalani studi. 9. Pengelola,
dosen
dan
staf
administrasi
Departemen
Agronomi
dan
Hortikultura, IPB yang telah banyak membantu dalam kegiatan akademik. 10. Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan kesempatan untuk belajar dan beasiswa selama studi. 11. Bapak Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan yang telah memberikan izin tugas belajar. 12. Kepala dan staf University Farm Cikabayan dan laboratorium Research Group of Crop Improvement (RGCI), Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan izin, dan fasilitas dalam kegiatan penelitian. 13. Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru dan Kepala Kebun Percobaan Belandean yang telah memberikan izin dan fasilitas dan staf yang telah membantu dalam kegiatan penelitian di lapang. 14. Sekretariat Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana untuk penelitian melalui program kerjasama penelitian antara Badan Litbang Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T). 15. Kedua orang tuaku dan keluarga yang telah memberikan dorongan, semangat, bantuan serta doanya. 16. Isteriku Ir. Rina Dirgahayu Ningsih, MSi., anak-anaku M. Arief Rosyadi dan Namira Amalia atas pengertian dan kesabarannya. Penulis menyadari kalau tulisan ini masih belum sempurna dan masih terdapat kekurangan-kekurangan, namun demikian penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya. Pada akhirnya penulis berharap disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan bidang pertanian khususnya di lahan pasang surut.
Bogor,
Agustus
2012
Aidi Noor
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada tanggal 12 Nopember 1962, dari ayah yang bernama Drs. H. Adijani Al-Alabij, SH. dan ibu bernama Hj. Idalia Hafni. Penulis adalah anak pertama dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 bidang Ilmu Tanah di Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru pada tahun 1989, kemudian melanjutkan sekolah Pascasarjana S2 bidang Kesuburan Tanah di Universitas Padjadjaran Bandung dan lulus tahun 2002.
Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan Pascasarjana S3 program Studi Agronomi dan Hortikultura di Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1991-1996 penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan sejak tahun 1996 sampai sekarang bekerja sebagai peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan, Banjarbaru. Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Ir. Rina Dirgahayu Ningsih, MSi., dan dikaruniai dua orang putera yaitu M. Arief Rosyadi (19 tahun) dan Namira Amalia (17 tahun).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xxiii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
xxix
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………
1
Latar Belakang ………………………………………………………
1
Rumusan Masalah………………………………………………….
3
Tujuan Penelitian………………………………………………….
5
Kerangka Pemikiran…………………………………………………
5
Hipotesis…………………………………………………………….
7
Ruang Lingkup Penelitian……………………………………………
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………
9
Karakteristik Lahan Pasang Surut……………………………………
9
Gejala Keracunan Besi dan Karakter Morfologi dan Fisiologi pada Tanaman Padi…………………………………………………………
10
Peranan dan Mekanisme Genotipe Padi dalam Mengatasi Keracunan Besi
13
Peranan Bahan Organik dalam Ameliorasi Lahan…………………..
15
BAB III. PENGARUH KONSENTRASI BESI DALAM LARUTAN HARA TERHADAP GEJALA KERACUNAN BESI DAN PERTUMBUHAN TANAMAN PADI……………………………
19
Abstrak………………………………………………………………
19
Abstract………………………………………………………………
19
Pendahuluan…………………………………………………………
20
Metode Penelitian……………………………………………………
21
Hasil dan Pembahasan………………………………………………
23
Kesimpulan…………………………………………………………
32
Daftar Pustaka………………………………………………………
33
BAB. IV. EVALUASI TOLERANSI GENOTIPE PADI TERHADAP KERACUNAN BESI PADA DUA LEVEL KONSENTRASI BESI DALAM LARUTAN HARA……………………………… Abstrak………………………………………………………………
35 35
xx
Halaman Abstract………………………………………………………………..
35
Pendahuluan…………………………………………………………..
36
Metode Penelitian……………………………………………………..
37
Hasil dan Pembahasan…………………………………………………
40
Kesimpulan…………………………………………………………….
57
Daftar Pustaka………………………………………………………….
57
BAB. V. EVALUASI ADAPTASI Salvinia sp. TERHADAP KONSENTRASI FE PADA MEDIA LARUTAN HARA DAN MEDIA TANAH LAHAN PASANG SURUT………………………
61
Abstrak…………………………………………………………………
61
Abstract…………………………………………………………………
61
Pendahuluan……………………………………………………………
62
Metode Penelitian………………………………………………………
63
Hasil dan Pembahasan…………………………………………………
66
Kesimpulan…………………………………………………………….
77
Daftar Pustaka………………………………………………………….
77
BAB. VI. PENGARUH GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN SERTA KOMBINASINYA TERHADAP KERACUNAN BESI DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN PASANG SURUT ………………………………………….
81
Abstrak………………………………………………………………….
81
Abstract…………………………………………………………………
81
Pendahuluan……………………………………………………………
82
Metode Penelitian………………………………………………………
84
Hasil dan Pembahasan………………………………………………….
87
Kesimpulan…………………………………………………………….
109
Daftar Pustaka………………………………………………………….
110
BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM…………………………………………
113
Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara yang Menyebabkan Keracunan Fe pada Padi………………………………………………..
113
Konsentrasi Besi dalam Jaringan Tanaman yang Menyebabkan Keracunan Besi…………………………………………………………
117
xxi
Halaman Pertumbuhan Salvinia sp. pada Kondisi Cekaman Fe………………….
118
Gejala Keracunan Besi Tanaman Padi pada Dua Musim tanam…….
120
Hubungan antara Keracunan Besi dengan Hasil Gabah………………
124
BAB. VIII. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………
127
Kesimpulan……………………………………………………………
127
Saran…………………………………………………………………..
128
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………
129
LAMPIRAN………………………………………………………………….
133
DAFTAR TABEL Halaman 3.1. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi...........................................
23
3.2. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe (0-600 ppm Fe) dan varietas padi (IR.64 dan Margasari) terhadap skor keracunan Fe dan kadar Fe tanaman…………………………………………………………………
24
3.3. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dan varietas padi terhadap pertumbuhan tanaman…………………………………………………
28
3.4. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap tinggi dan jumlah anakan tanaman……………………………………
29
3.5. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap bobot kering tajuk (g)………………………………………………..
29
3.6. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap bobot kering dan panjang akar………………………………………
30
3.7. Korelasi antara skor keracunan Fe dengan kadar Fe dan pertumbuhan tanaman……………………………………………….
31
4.1. Genotipe padi yang digunakan dalam penelitian………………………
38
4.2. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi ..........................................
39
4.3. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan hara dan genotipe padi terhadap skor gejala keracunan besi pada tanaman umur 1-4 minggu setelah tanam ……………………………………………
40
4.4. Interaksi antara genotipe dan konsentrasi Fe teradap skor gejala keracunan Fe tanaman umur 1 minggu dan 2 minggu……………
42
4.5. Interaksi antara genotipe dan konsentrasi Fe terhadap skor gejala keracunan Fe tanaman umur 3 minggu dan 4 minggu……………
43
4.6. Konsentrasi Fe pada bagian tanaman 8 genotipe padi pada perlakuan konsentrasi 325 ppm Fe pada umur tanaman 4 minggu……………
47
4.7. Korelasi antara partisi kadar Fe dalam bagian tanaman dengan skor gejala keracunan Fe…………………………………………………….
50
4.8. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan hara dan genotipe padi terhadap pertumbuhan tanaman umur 4 minggu setelah tanam…………………………………………………………
51
4.9. Jumlah anakan tanaman dan bobot kering tajuk tanaman pada konsentrasi 143 dan 325 ppm Fe………………………………………
52
4.10. Bobot kering akar dan panjang akar tanaman pada pada konsentrasi 143 dan 325 ppm Fe………………………………………………….
53
xxiv
Halaman 4.11. Korelasi antara skor keracunan Fe dengan pertumbuhan tanaman padi
55
4.12. Ranking toleransi genotipe padi berdasarkan skor keracunan Fe umur 4 minggu dan jumlah anakan pada perlakuan konsentrasi 143 ppm dan 325 ppm Fe ………………………………………………………….
56
5.1. Lokasi/aksesi pengambilan Salvinia sp. di beberapa tempat di Kalimantan Selatan yang akan digunakan dalam penelitian……………
66
5.2. Bobot basah (g) Salvinia sp. pada beberapa level perlakuan Fe pada media larutan hara Hoagland setelah ditumbuhkan selama 4 minggu…………………………………………………………………
68
5.3. Waktu penggandaan (hari) Salvinia sp. setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada beberapa perlakuan Fe pada media larutan hara Hoagland
69
5.4. Perubahan pH dan Fe dalam larutan hara (Hoagland) yang ditambahkan 7 dan 14 ppm Fe setelah ditumbuhkan Salvinia sp. selama 2 minggu………………………………………………………
69
5.5. Kadar hara empat Salvinia sp. terpilih yang mempunyai biomas tertinggi dan waktu penggandaan lebih cepat pada media air yang diberi perlakuan 7 ppm Fe……………………………………………..
71
5.6. Karakteristik tanah, KP. Blandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan untuk percobaan pot dirumah kaca………….
72
5.7. Persentase penutupan permukaan Salvinia sp. setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang berasal dari lahan pasang surut
73
5.8. Bobot basah Salvinia sp., waktu penggandaan dan kadar Fe dalam jaringan setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang berasal dari lahan pasang surut…………………………………………
73
5.9. pH dan Fe permukaan air dalam pot setelah Salvinia sp. ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang berasal dari lahan pasang surut……………………………………………………………………..
74
6.1. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi............................................
86
6.2. Karakteristik tanah lokasi penelitian di lahan rawa pasang surut, KP. Blandean dan Danda Jaya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan…………………………………………………………………
88
6.3. Kadar hara bahan amelioran yang digunakan dalam penelitian………
90
6.4. Analisis ragam pengaruh genotipe padi dan ameliorasi lahan terhadap gejala keracunan besi pada tanaman umur 2-8 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. I. 2011….
92
6.5. Gejala keracunan Fe umur 2 dan 4 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011………
92
xxv
Halaman 6.6. Gejala keracunan Fe umur 6 dan 8 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011………
93
6.7. Analisis ragam pengaruh bahan ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap tinggi dan jumlah anakan tanaman padi di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011……………………
96
6.8. Tinggi tanaman dan jumlah anakan padi pada fase akhir vegetatif di Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011………
97
6.9. Analisis ragam pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap hasil dan komponen hasil padi di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011………………………………
98
6.10. Pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap hasil gabah kering (t/ha), jumlah malai/rumpun, dan jumlah gabah isi/malai di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011…………………………………………………………………..
99
6.11. Pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap panjang malai (cm) dan gabah hampa (%) di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011………………………………………
101
6.12. Analisis ragam pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap skor keracunan Fe umur tanaman 2-8 minggu, tinggi tanaman dan jumlah anakan padi di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011……………………………………
105
6.13. Gejala keracunan Fe umur 2 dan 4 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011…….
106
6.14. Gejala keracunan Fe umur 6 dan 8 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011…….
107
6.15. Tinggi tanaman dan jumlah anakan padi pada fase akhir vegetatif di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011……
108
7.1. Kualitas air permukaan pada saat Salvinia sp. ditumbuhkan (disebar) di lokasi penelitian KP. Belandean dan Danda Jaya…………………
120
7.2. Skor gejala keracunan besi dan hasil padi berdasarkan persamaan regresi Y = 6.71e-0.17X ………………………………………………
125
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.1. Diagram Alur Kegiatan Peneltian..........................................................
4
2.1. Hubungan antara skor keracunan Fe dan dengan hasil padi…………
12
2.2. Pengaruh konsentrasi besi terhadap pertumbuhan relatif padi………
12
3.1. Pelaksanaan kegiatan penelian di tumah kaca : (a) persemaian padi di bak pasir, (b) bibit padi umur 14 hari yang dipindahkan dalam pot plastik (PVC) dan diaklimatisasi selama 7 hari, (c) tanaman padi yang telah diberi perlakuan Fe dan ditumbuhkan selama 4 minggu…….
22
3.2. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan terhadap skor keracunan Fe varietas IR. 64 dan Margasari…………………………………………
24
3.3. Hubungan konsentrasi Fe dalam larutan dengan skor keracunan Fe umur 4 minggu pada varietas IR.64…………………………………
25
3.4. Hubungan konsentrasi Fe dalam larutan dengan skor keracunan Fe umur 4 minggu pada varietas Margasari………………………………
26
3.5. Kadar Fe jaringan tanaman padi varietas IR. 64 dan Margasari yang diberi perlakuan Fe…………………………………………………..
27
4.1. Perubahan skor keracunan Fe dari rata-rata padi sawah, padi rawa, dan galur harapan genotipe padi pada dua level konsentrasi Fe selama 4 minggu………………………………………………………………
41
4.2. Hubungan antara kadar Fe tajuk 20 genotipe padi dengan skor gejala keracunan Fe yang diberi cekaman Fe 143 ppm dan 325 ppm Fe pada umur tanaman 4 minggu …………………………………………….
44
4.3. Penampilan akar tanaman padi yang menunjukkan plak Fe yang rendah (a), dan akar dengan plak Fe dipermukaan akar yang tinggi (b)……
46
4.4.
Proporsi sebaran kadar Fe bagian atas tanaman dan bagian akar pada 8 genotipe padi yang diberi cekaman 325 ppm Fe pada tanaman umur 4 minggu………………………………………………………………..
48
4.5. Persentase penurunan pertumbuhan tanaman sebagai akibat peningkatan cekaman Fe dari 143 ppm menjadi 325 ppm Fe………
54
5.1. Percobaan pengujian adaptasi Salvinia sp. terhadap konsentrasi Fe dalam larutan hara Hoagland pada bak plastik yang diisi larutan sebanyak 4 liter selama 4 minggu……………………………………
64
5.2. Perubahan penutupan permukaan oleh Salvinia sp. selama 4 minggu pada media larutan hara (Hoagland) pada beberapa level perlakuan Fe
67
xxviii
Halaman 5.3. Kadar Fe Salvinia sp. umur 4 minggu pada dua konsentrasi Fe yang ditumbuhkan pada media larutan hara Hoagland……………………
70
6.1. Perubahan pH dan Fe sebelum tanam (7 hari setelah perlakuan ameliorasi lahan), pada akhir vegetatif dan setelah panen di KP. Belandean dan Danda Jaya…………………………………………..
91
6.2. Gejala keracunan besi genotipe Inpara-4 dan IR 64 pada saat pertumbuhan vegetatif (kiri) dan genotipe IR 64 dan Inpara-2 pada saat telah keluar malai (kanan), KP. Belandean, MT. I………………
94
6.3. Rata-rata kadar Fe tanaman padi pada perlakuan amelioran dan genotipe padi pada lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya, MT. I. 2011…………………………………………………………………..
94
6.4. Rata-rata kadar hara N, P, K tanaman padi pada perlakuan ameliorasi lahan dan genotipe padi pada lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya, MT. I. 2011……………………………………………………………
96
7.1.
7.2. 7.3. 7.4.
7.5.
Gejala keracunan besi 5 genotipe padi di rumah kaca (konsentrasi 325 ppm Fe dalam larutan hara) dan di lahan pasang surut KP. Belandean dan Danda Jaya (perlakuan kontrol), MT. I …………..
116
Hubungan kadar Fe tanaman dengan skor keracunan Fe berdasarkan data MT. I, KP. Belandean dan Danda Jaya……………………….
117
Pertumbuhan Salvinia sp. di lapang di KP. Belandean dan Danda Jaya setelah ditumbuhkan selama 4 minggu…………………………
119
Rata-rata skor keracunan Fe padi umur 8 minggu pada perlakuan amelioran dan genotipe padi selama dua musim tanam di dua lokasi penelitian……………………………………………………………
121
Hubungan antara skor gejala keracunan besi dengan hasil padi di lahan pasang surut…………………………………………………..
124
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Analisis ragam pengaruh perlakuan varietas dan konsentrasi Fe dalam larutan hara terhadap skor keracunan Fe 1-4 minggu dan kadar Fe tanaman…………………………………………………………………
133
2. Analisis ragam pengaruh perlakuan varietas dan konsentrasi Fe dalam larutan hara terhadap pertumbuhan tanaman…………………………
134
3. Analisis ragam pengaruh perlakuan dua level konsentrasi Fe dalam larutan hara dan 20 genotipe (varietas) padi terhadap skor gejala keracunan Fe umur 1-4 minggu………………………………………
136
4. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan aksesi Salvinia terhadap penutupan permukaan Salvinia sp. selama 4 minggu, bobot basah Salvinia sp., bobot kering Salvinia sp., dan waktu penggandaan
138
5. Analisis ragam pengaruh dua level konsentrasi Fe dalam larutan dan aksesi Salvinia sp. terhadap pH. Fe air, dan kadar Fe jaringan Salvinia sp………………………………………………………………………
140
6. Analisis ragam pentutupan permukaan Salvinia selama 1-4 minggu, bobot basah Salvinia sp., waktu menggandakan, kadar Fe jaringan Salvinia sp., pH air, Fe air pengaruh perlakuan 4 aksesi Salvinia sp. pada media tanah dari lahan pasang surut …………………………
141
7.
8.
9.
10.
Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, jumlah anakan, hasil gabah, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, dan persentase gabah hampa, KP. Belandean, MT. I……………………………………………………..
143
Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, jumlah anakan, hasil gabah, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, dan persentase gabah hampa, Danda Jaya, MT. I…………………………………………………………………..
146
Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan residu bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, dan jumlah anakan, KP. Belandean, MT. II………………
149
Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan residu bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, dan jumlah anakan, Danda Jaya, MT. II…………………….
151
BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Padi merupakan komoditas yang penting dan strategis, dimana kebutuhan akan konsumsi beras ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, hal ini mengisyaratkan perlunya peningkatan produksi beras di Indonesia. Peningkatan produksi beras di Indonesia menghadapi tantangan semakin berat, karena berkurangnya lahan subur di pulau Jawa akibat konversi lahan ke non pertanian. Lahan pasang surut merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi semakin menyusutnya lahan-lahan subur di pulau Jawa akibat konversi lahan. Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53
juta ha
berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian
(Alihamsyah 2004). Walaupun lahan pasang surut mempunyai potensi sebagai sumber produksi padi, namun produktivitas padi di lahan ini masih rendah. Berdasarkan jangkauan air pasang, lahan pasang surut dibagi berdasarkan tipe luapannya yaitu : 1) tipe luapan A, terluapi air pasang baik pasang besar maupun kecil, 2) tipe luapan B, hanya terluapi air pada pasang besar saja, 3) tipe luapan C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air tanahnya < 50 cm, 4) tipe luapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50 cm. Berdasarkan tipologinya dari 20.1 juta ha lahan pasang surut terdiri dari lahan gambut 10.9 juta ha, kemudian diikuti lahan sulfat masam (6.7 juta ha), lahan potensial (2.1 juta ha) dan lahan salin 0.4 juta ha (Widjaya Adhi 1986; Alihamsyah 2004). Lahan pasang surut sulfat masam merupakan lahan yang mempunyai kendala lebih berat, karena mempunyai lapisan pirit yang apabila teroksidasi mengakibatkan pH tanah yang sangat masam, kandungan unsur meracun Al. Fe dan H2S yang tinggi serta kandungan dan ketersediaan hara yang rendah (Sarwani et al. 1994). Keracunan besi pada padi merupakan salah satu faktor pembatas produksi padi di lahan sawah yang dapat menurunkan hasil padi 12-100 % (Sahrawat 2000; Sahrawat et al. 2004; Sahrawat 2010). Keracunan besi merupakan stress fisiologi pada tanaman padi yang umum dijumpai di lahan pasang surut dan merupakan kendala utama dalam produksi padi. Keracunan besi pada padi selain disebabkan tingginya kadar besi di dalam tanah juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan
2
seperti ketidakseimbangan hara, tanah selalu tergenang (Sahrawat et al. 2004) dan penggunaan genotipe padi yang peka seperti varietas IR 64 (Suhartini 2004; Suhartini dan Makarim 2009). Dalam
pertanian
berkelanjutan,
selain
berupaya
meningkatkan
produktivitas juga berupaya memperbaiki dan menjaga kualitas lahan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan genotipe toleran,
pemupukan
berimbang dan ameliorasi lahan menggunakan bahan organik dan kapur dapat mengatasi keracunan besi dan meningkatkan kualitas lahan dan produktivitas padi. Pengapuran walaupun telah diketahui dapat meningkatkan produktivitas padi dan mengurangi keracunan Fe, namun bahan ini sulit diperoleh di lokasi. Pemanfaatan bahan organik yang banyak terdapat di lokasi untuk ameliorasi lahan merupakan salah satu
cara penggunaan input yang lebih murah,
ramah lingkungan dan
mengurangi penggunaan bahan kimia seperti pupuk anorganik. Penggunaan genotipe toleran merupakan cara yang lebih murah dan mudah diaplikasikan oleh petani, namun demikian genotipe toleran kadang-kadang tidak selalu mampu beradaptasi secara luas untuk semua kondisi lahan. Penggunaan varietas yang telah dilepas dan direkomendasikan untuk lahan pasang surut yang bermasalah keracunan besi menunjukkan hasil yang beragam dan tidak konsisten baik antar lokasi maupun antar musim. Perbedaan hasil mungkin disebabkan karena sangat beragamnya karakteristik tanah di lahan pasang surut dan beragamnya kemampuan tanaman dalam beradaptasi dengan kadar besi di dalam tanah. Hal ini menunjukkan perlunya penggunaan genotipe padi yang spesifik lokasi dalam meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut yang bermasalah dengan keracunan besi. Penggunaan bahan organik selain dapat mengurangi kadar Al/Fe di dalam tanah dengan reaksi pengkelatan asam-asam organik, hasil dekomposisi bahan organik juga memberikan sumbangan hara makro seperti N, P, K dan unsur hara mikro. Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan pemberian jerami padi dengan dosis 5.0 t/ha di lahan pasang surut bukaan baru Kalimantan Tengah dapat meningkatkan hasil padi varietas IR 64 27% dan varietas Kapuas 58% dibandingkan tanpa bahan organik. Pemberian kompos jerami padi selain dapat
3
meningkatkan hasil padi juga dapat mengurangi kadar besi dan sulfat di lahan pasang surut (Jumberi dan Alihamsyah 2004). Salah satu sumber bahan organik yang potensial selain jerami padi dan pupuk kandang adalah Salvinia sp. Salvinia sp. merupakan tumbuhan air yang banyak terdapat di lahan rawa, sehingga
Salvinia sp.
merupakan salah satu
alternatif penyediaan bahan organik baik secara ex-situ maupun secara in-situ ditumbuhkan di lahan pertanaman padi. Selain itu Salvinia sp. juga mempunyai tingkat pertumbuhan dan produktivitas biomas yang tinggi sehingga potensial digunakan sebagai sumber pupuk organik (Schneider dan Rubio 1999; Oguin et al. 2002; Oguin et al. 2003). Penggunaan genotipe padi toleran atau agak toleran yang spesifik lokasi dan ameliorasi lahan menggunakan bahan organik seperti limbah pertanian dan Salvinia sp. diharapkan dapat mengendalikan keracunan Fe dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Rumusan Masalah Untuk mengatasi keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut bermasalah keracunan besi dapat dilakukan dengan memperbaiki lingkungan tumbuh seperti pemupukan berimbang, ameliorasi lahan, pengaturan air dan menggunakan varietas toleran. Penggunaan bahan amelioran seperti kapur telah diketahui mampu meningkatkan pH tanah dan menekan kelarutan besi dalam tanah, namun demikian untuk memberikan dalam dosis 1-2 t/ha bahan ini sulit dicari di lokasi dan sering tidak tersedia. Pengelolaan air di lahan pasang surut juga telah diketahui dapat memperbaiki kualitas lahan, namun infrastruktur seperti saluran dan pintu-pintu air tidak seluruhnya ada dan berfungsi. Pada musim hujan sering air kelebihan di lahan sawah dan tidak bisa didrainase atau dibuang ke saluran, sehingga lahan yang selalu tergenang ini memicu terjadinya keracunan besi pada tanaman. Menurut Alihamsyah (2002), strategi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut
adalah dengan cara
mengintegrasikan antara : (1) perbaikan lingkungan tumbuh tanaman, dan (2) menggunakan genotipe yang toleran.
Pemilihan
genotipe yang tepat sesuai
4
dengan adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan merupakan salah satu cara dalam mengatasi keracunan besi. Sebagian petani telah menggunakan
limbah
panen seperti jerami padi dan pupuk kandang sebagai ameliorasi lahan maupun sebagai pupuk organik. Selain itu di lahan rawa pasang surut ternyata juga banyak terdapat Salvinia sp.
di saluran-saluran maupun di lahan pertanaman padi.
Salvinia sp. belum banyak dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk organik dan sebagian petani menganggap sebagai gulma. Dalam penelitian ini mencoba menggunakan Salvinia sp. sebagai alternatif bahan untuk ameliorasi lahan selain jerami padi dan pupuk kandang. Langkah-langkah (roadmap) yang dilakukan dalam upaya memecahkan permasalahan dalam mengatasi keracunan besi di lahan pasang surut dapat digambarkan dalam diagram alir kegiatan penelitian berikut (Gambar 1.1).
STUDI PENGENDALIAN KERACUNAN BESI PADA PADI DI LAHAN PASANG SURUT MELALUI KERAGAMAN GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN Perc. Rumah Kaca (2010)
(1) Pengaruh konsentrasi Fe dalam media larutan hara terhadap gejala keracunan Fe
(3a) Evaluasi Salvinia sp yang adaptif terhadap Fe dalam media larutan hara
(2) Evaluasi toleransi genotipe padi terhadap keracunan Fe dalam larutan hara
(3b) Evaluasi Salvinia sp yang adaptif pada media tanah lahan pasang surut Perc. Lapang di dua lokasi (2011)
(4a) Kombinasi genotipe padi dan ameliorasi lahan dalam mengendalikan keracunan Fe di lahan pasang surut (MT. I )
(4b) Kombinasi genotipe padi dan residu ameliorasi dalam mengendalikan keracunan Fe di lahan pasang surut (MT. II)
Gambar 1.1. Diagram Alir Kegiatan Penelitian
5
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk : 1. Mendapatkan
konsentrasi besi dalam larutan hara yang menyebabkan
gejala keracunan besi ringan, sedang dan berat pada padi sebagai dasar seleksi padi. 2. Mendapatkan genotipe padi yang toleran terhadap keracunan Fe dengan produktivitas tinggi 3. Mempelajari mekanisme toleransi genotipe padi terhadap keracunan Fe. 4. Mendapatkan Salvinia sp. yang adaptif, cepat tumbuh
dengan biomas
tinggi pada media larutan hara dan di lahan pasang surut 5. Mempelajari pengaruh genotipe padi, ameliorasi lahan dan kombinasinya terhadap keracunan besi dan produktivitas padi pada tingkat cekaman Fe dan musim tanam berbeda. Kerangka Pemikiran Lahan pasang surut yang luas dengan air yang relatif selalu tersedia sangat potensial sebagai sumber produksi padi, karena sumber air bukan saja dari air hujan tetapi juga dari pasang surutnya air laut. Walaupun demikian, lahan pasang surut di Indonesia dengan luas 20.1 juta ha, sebagian dari lahan tersebut merupakan tanah sulfat masam (6.7 juta ha) dengan
produktivitas padi yang
masih rendah (Alihamsyah 2004). Keracunan besi merupakan stress fisiologi pada tanaman padi yang umum dijumpai di lahan pasang surut sulfat masam yang disebabkan tingginya kadar besi ferro (Fe2+) di dalam tanah. Keracunan besi mengakibatkan rendahnya produktivitas padi dan dapat menurunkan hasil 12100% (Sahrawat 2000; Sahrawat et al. 2004; Sahrawat 2010) . Bentuk besi di dalam tanah dipengaruhi oleh reaksi oksidasi-reduksi. Dalam keadaan tergenang (reduktif) besi berada dalam bentuk Fe+2, sedangkan dalam kondisi oksidatif besi berada dalam bentuk Fe+3, padi menyerap Fe dalam bentuk Fe+2. Keracunan Fe disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan tanaman padi yang disebabkan tingginya kadar Fe di dalam tanah yang juga berhubungan dengan ketidakseimbangan hara mineral
(stres hara) yang
6
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan padi yang keracunan Fe mempunyai korelasi dengan rendahnya kadar hara P, K, Ca dan Zn dalam jaringan tanaman padi. Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan yang selalu dalam keadaan tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe+2 yang tereduksi dalam tanah (Sahrawat et al. 2004). Keracunan Fe berhubungan juga dengan genotipe tanaman, genotipe padi yang peka menyebabkan semakin parahnya keracunan Fe dan mengakibatkan rendahnya produktivitas padi (Suhartini 2004; Suhartini dan Makarim 2009). Strategi yang dapat dilakukan dalam mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut : (1) perbaikan lingkungan tumbuh tanaman dengan pemupukan berimbang untuk memperkuat ketahanan genotipe terhadap keracunan Fe, penggunaan bahan amelioran (bahan organik, kapur) dan pengelolaan air untuk mengurangi kadar Fe di dalam tanah, (2) menggunakan genotipe yang toleran terhadap keracunan besi, atau (3) integrasi antara keduanya (Alihamsyah 2002). Pendekatan dengan perbaikan lingkungan tumbuh untuk menekan kadar Fe dan meningkatkan kadar hara biasanya menggunakan bahan dalam dosis yang tinggi sehingga memerlukan biaya besar. Menggunakan genotipe toleran merupakan cara yang lebih murah dan mudah diaplikasikan oleh petani, namun demikian perakitan genotipe toleran memerlukan waktu yang lama dan biasanya varietas yang dihasilkan tidak selalu mampu beradaptasi secara luas. Varietas yang toleran terhadap stress Fe juga biasanya mempunyai potensi hasil yang tidak terlalu tinggi. Penggunaan atau pemilihan
varietas hendaknya disesuaikan dengan
cekaman lingkungan dimana padi akan ditanam. Pada cekaman ringan tidak perlu menggunakan varietas yang toleran, tetapi sebaiknya menggunakan varietas dengan potensi hasil tinggi. Pada lingkungan dengan cekaman sedang, sebaiknya menggunakan varietas dengan potensi tinggi dan agak toleran terhadap keracunan Fe. Pada cekaman berat sebaiknya menggunakan varietas yang toleran, atau agak toleran
dengan
sedikit
perbaikan
menggunakan bahan organik.
lingkungan
dengan
ameliorasi
lahan
Pendekatan yang terintegrasi antara penggunaan
7
genotipe toleran atau agak toleran dan perbaikan lingkungan tumbuh dengan bahan organik merupakan strategi yang dapat dilakukan dalam mengatasi keracunan Fe di lahan pasang surut. Penerapan penggunaan genotipe padi toleran/agak toleran dan perbaikan lingkungan tumbuh dengan menggunakan ameliorasi lahan dengan bahan organik seperti Salvinia sp. maupun limbah panen diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani di lahan pasang surut. Meningkatnya produktivitas di harapkan juga akan mendorong semakin banyak petani yang menanam padi unggul yang berimplikasi akan semakin meningkatnya luas dan intensitas tanam padi di lahan pasang surut. Meningkatnya luas dan intensitas tanam akan meningkatkan produksi padi dan beras di lahan pasang surut yang selama ini dianggap sebagai lahan marginal atau lahan suboptimal. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah : 1. Konsentrasi besi dalam larutan hara yang berbeda menyebabkan tingkat keracunan besi yang berbeda (ringan, sedang dan berat) 2. Genotipe
padi
memiliki perbedaan
toleransi
terhadap tingkat
keracunan Fe pada konsentrasi Fe yang berbeda. 3. Mekanisme toleransi antara genotipe padi peka dan toleran terhadap keracunan besi berbeda. 4. Terdapat Salvinia sp. yang adaptif, cepat tumbuh dengan
biomas
tinggi, pada media larutan hara dan lahan pasang surut. 5. Genotipe
padi,
ameliorasi
lahan
dan
kombinasinya
dapat
mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi pada tingkat cekaman Fe dan musim tanam yang berbeda. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang telah dilaksanakan terdiri dari beberapa tahap kegiatan yaitu : A. Penelitian di Rumah Kaca/Laboratorium 1. Pengaruh
Konsentrasi
Besi
dalam
Larutan Hara terhadap
Keracunan Besi dan Pertumbuhan Tanaman Padi.
Gejala
8
2. Evaluasi Toleransi
Genotipe Padi terhadap Keracunan Besi pada Dua
Level Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara. 3. Evaluasi Adaptasi Salvinia sp. terhadap Konsentrasi Fe pada Media Larutan Hara dan Media Tanah Lahan Pasang Surut B. Penelitian lapangan 4. Pengaruh
Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan serta Kombinasinya
terhadap Keracunan Besi dan Produktivitas Padi pada Dua Lokasi dan Musim Tanam Berbeda di Lahan Pasang Surut.
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai. Berdasarkan sifat kimia air pasangnya, lahan pasang surut dibagi menjadi dua zona yaitu zona air pasang surut salin dan pasang surut air tawar (Widjaya Adhi et al. 1992). Berdasarkan jangkauan air pasang, lahan pasang surut dibagi berdasarkan tipe luapannya yaitu : 1) tipe luapan A, terluapi air pasang baik pasang besar maupun kecil, 2) tipe luapan B, hanya terluapi air pada pasang besar saja, 3) tipe luapan C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air tanahnya < 50 cm, 4) tipe luapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50 cm (Widjaya Adhi 1986) Lahan pasang surut berdasarkan tipologi lahannya, dibagi menurut macam dan tingkat masalah fisiko kimia tanahnya, yaitu 1) lahan potensial, kedalaman lapisan pirit > 50 cm dari permukaan tanah, 2) lahan sulfat masam (sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual), bila kedalaman lapisan pirit (FeS2 > 2%) < 50 cm dari permukaan tanah, 3) lahan gambut, mengandung lapisan sisa-sisa tanaman yang sudah lapuk secara alami, 4) lahan salin, dipengaruhi oleh intrusi alir laut selama lebih 3 bulan dalam setahunnya. Berdasarkan tipologinya, lahan gambut merupakan tipe lahan pasang surut yang terluas (10,9 juta ha), kemudian diikuti lahan sulfat masam (6.7 juta ha), lahan potensial ( 2.1 juta ha) dan lahan salin 0.4 juta ha (Widjaya Adhi 1986). Masalah fisiko-kimia lahan untuk pengembangan tanaman pangan di lahan pasang surut meliputi antara lain genangan air dan kondisi fisik lahan, kemasaman tanah dan asam organik pada lahan gambut tinggi, mengandung zat beracun dan intrusi air garam, kesuburan alami tanah rendah dan keragaman kondisi lahan tinggi (Adimihardja et al. 1998; Sarwani et al. 1994). Dari ketiga tipologi lahan di lahan pasang surut, lahan sulfat masam merupakan lahan yang mempunyai kendala lebih berat, karena mempunyai lapisan pirit yang apabila teroksidasi mengakibatkan pH tanah yang masam sampai sangat masam, mempunyai kandungan unsur meracun Al dan Fe yang tinggi serta kandungan dan ketersediaan
10
hara yang rendah. Pada kondisi tergenang (reduktif) besi ferro biasanya berlebihan pada lahan sulfat masam yang dapat berakibat keracunan besi pada padi. Reaksi oksidasi pirit
menghasilkan besi ferri (Fe+3) dan
H+ yang
menyebabkan tanah menjadi sangat masam secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut (Dent, 1986). FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4 H+ Dalam keadaan reduktif (tergenang) besi ferri (Fe+3) akan tereduksi menjadi besi ferro (Fe+2) yang dapat diserap oleh tanaman dan dalam jumlah berlebihan dapat meracuni tanaman padi. Reaksi reduksi besi ferri menjadi besi ferro yang biasanya melibatkan bakteri pereduksi dapat digambarkan sebagai beikut (Dent 1986) : Fe(OH)3 + 3H+ + e−
Fe2+ + 3H2O
Gejala Keracunan Besi dan Karakter Morfologi dan Fisiologi pada Tanaman Padi Keracunan besi pada tanaman disebabkan karena tingginya konsentrasi besi larut dalam tanah. Kebanyakan tanah mineral kaya akan besi, gejala keracunan besi pada jaringan daun yang mengakibatkan pengurangan hasil hanya terjadi pada kondisi lahan tergenang dimana terjadi proses reduksi yang melibatkan mikrobia yang merubah besi tidak larut (Fe+3) menjadi besi larut (Fe+2) (Beckers dan Ash 2005). Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan tanaman padi
yang disebabkan tingginya kadar Fe di dalam tanah,
juga
berhubungan dengan berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara mineral (stres hara) P, K, Ca, Mg dan Zn yang cenderung mengurangi kemampuan oksidasi akar tanaman padi. Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan yang selalu tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe+2 hasil reduksi Fe+3 dalam tanah (Sahrawat et al.
2004).
Keracunan Fe berhubungan juga dengan genotipe tanaman, penggunaan varietas yang peka seperti IR 64 menyebabkan rendahnya produktivitas padi (Suhartini 2004; Suhartini dan Makarim 2009).
Hasil penelitian Noor et al. (2006)
menunjukkan varietas IR 64 memberikan hasil padi lebih rendah (58%)
11
dibandingkan varietas Margasari
yang lebih toleran di lahan pasang surut
Kalimantan Selatan dengan kadar Fe tanah 719 ppm dan pH 3.84. Dobermann dan Fairhurst (2000) mengemukakan mengenai prinsif terjadinya keracunan Fe pada tanaman : 1) konsentrasi Fe+2 yang tinggi dalam larutan tanah yang disebabkan oleh kondisi reduksi yang kuat dalam tanah dan atau pH yang rendah, 2) status hara yang rendah dan tidak seimbang di dalam tanah, 3) kurangnya oksidasi akar dan rendahnya daya ekslusi Fe+2 oleh akar yang disebabkan defisiensi hara P, Ca, Mg atau K, 4) kurangnya daya oksidasi akar (eksklusi Fe+2) akibat terjadinya akumulasi bahan-bahan yang menghambat respirasi (H2S, FeS, asam organik), 5) aplikasi bahan organik dalam jumlah besar yang belum terdekomposisi, 6) suplai Fe secara terus menerus dari air bawah tanah atau rembesan secara lateral dari tempat yang lebih tinggi Gejala visual
yang khas berhubungan dengan proses keracunan besi,
terutama terjadinya akumulasi dari polyphenol teroksidasi yang disebut bronzing atau yellowing pada padi. Karena mobiltas Fe yang rendah dalam tanaman, gejala yang khas dimulai dengan bercak berwarna coklat kemerahan dari ujung daun tua. Bercak berwarna tembaga kemudian meluas ke seluruh daun.
Perkembangan
gejala selanjutnya ujung daun menjadi kuning-jingga kemudian kering dari bagian atas. Gejala ini terutama berkembang pada organ daun tua dengan transpirasi tinggi (Yamaouchi dan Yoshida 1981). Selanjutnya seluruh daun padi menjadi jingga sampai coklat atau coklat ungu pada keracunan yang berat (Fairhurt dan Witt 2002). Gejala keracunan besi dapat terjadi pada tahap pertumbuhan yang berbeda dan dapat mempengaruhi padi pada tahap tanaman muda, selama seluruh tahap pertumbuhan vegetatif, dan tahap reproduktif. Dalam kasus keracunan pada tahap pembibitan, perkembangan tanaman padi terhenti, dan pembentukan anakan secara ekstrem terhambat. Keracunan pada tahap vegetatif menyebabkan menurunnya tinggi dan berat kering tanaman.
Biomas bagian atas tanaman dapat lebih
dipengaruhi oleh kendala keracunan dari pada biomas akar (Fageria et al. 1989). Pembentukan anakan dan jumlah anakan produktif secara drastis menurun. Bila keracunan besi terjadi pada tahap akhir vegetatif,
atau pada awal tahap
reproduktif, jumlah malai turun, gabah hampa meningkat dan tahap pembungaan
12
dan pematangan menjadi tertunda 20-25 hari (Chema et al. 1990). Hasil-hasil penelitian Audebert (2006), Suhartini dan Makarim (2009) menunjukkan skor keracunan besi berkorelasi negatif dengan hasil padi, sedangkan penelitian Mehbaran et al. (2008) menunjukkan konsentrasi besi di dalam jaringan tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi. Semakin tinggi keracunan besi semakin rendah hasil padi (Gambar 2.1), semakin tinggi kadar Fe dalam jaringan tanaman padi semakin terhambat pertumbuhan tanaman padi (Gambar 2.2). Keracunan besi pada padi menyebabkan kemampuan oksidasi akar menurun dan permukaan akar menjadi gelap karena pengendapan senyawa Fe (OH)3 (Audebert dan Sahrawat 2000). Gejala keracunan besi beragam diantara genotipe padi, dan umumnya adalah adanya bercak coklat keunguan dari daun yang diikuti dengan pengeringan, akar menjadi sedikit, kasar, pendek dan tumpul (Peng dan Yamauchi 1993).
Gambar 2.1. Hubungan antara skor keracunan Fe dan dengan hasil padi
Gambar 2.2. Pengaruh konsentrasi besi terhadap pertumbuhan relatif padi
Sumber : Audebert (2000)
Sumber : Mehraban et al. (2008)
Keracunan besi pada padi menyebabkan terjadinya perubahan baik karakter morofologi maupun fisiologi tanaman, dimana respon setiap genotipe berbedabeda tergantung sifat toleransi atau kepekaanya terhadap keracunan besi. Penampilan tanaman keracunan besi berhubungan dengan tingginya serapan Fe+2 oleh akar dan ditransportasikan ke daun melalui aliran trasnspirasi. Kelebihan kadar Fe dalam jaringan tanaman padi
menyebabkan terjadinya perubahan
beberapa karakter fisiologi seperti kadar protein larut, gula larut, klorofil, ethylene, proline, radikal bebas dan laju fotosintesis. Kelebihan besi menyebabkan produksi radikal bebas yang merusak struktur selular yang tidak dapat balik dan merusak
13
membrane, DNA, dan protein (Arora et al. 2002; Dorlodot et al. 2005). Dalam sel, kelebihan sejumlah besi dapat di sintesis dari komponen-komponen dengan dasar oksigen aktif seperti radikal superoxide, hydroxyl dan H2O2 (Machner 1995). Radikal bebas dapat mempengaruhi kerusakan yang disebabkan oleh keracunan besi (Thongbai dan Goodman 2000), pada waktu yang sama meningkatkan aktivitas phenol oxydase dan akumulasi polyphenol teroksidasi (Yamauchi dan Peng 1993). Meningkatnya jumlah H2O2 dan phenolica dan menurunnya kandungan klorofil dan protein larut oleh stres oksidatif telah dilaporkan beberapa peneliti (Blokhina et al. 2003; Kuo dan Kao 2004).
Keracunan besi
pada padi
menunjukkan terjadinya akumulasi unsur dalam jaringan tanaman yang diiringi dengan biosintesis ethylene dalam akar, menurunnya pertumbuhan akar dengan drastis dan hilangnya hasil (Yamauchi dan Feng 1995; Becker dan Ash 2005; Dorlodot et al. 2005). Kandungan Fe yang tinggi dalam daun juga berpengaruh negatif terhadap laju fotosintesis, penurunan gejala keracunan besi berkorelasi dengan laju fotosisntesis dan meningkatkan hasil padi (Audebert 2006). Kadar gula larut dan klorofil dipengaruhi oleh konsentrasi Fe dan kadar hara dalam medium pertumbuhan tanaman, kandungan gula larut dalam tanaman menurun
pada konsentrasi Fe diatas 50-100 ppm (Mehraban
et al. 2008).
Penurunan konsentrasi gula larut total sebagai akibat keracunan Fe > 80% dibandingkan dengan tanaman tanpa keracunan. Kandungan gula larut dalam daun juga dipengaruhi oleh perbedaan kepekaan genotipe padi terhadap keracunan besi keracunan Fe juga dapat menyebabkan terjadinya akumulasi proline dalam daun tanaman padi terutama pada kultivar yang peka, sedangkan pada kultivar toleran tidak terjadi akumulasi proline dalam daun (Majerus, et al. 2007). Peranan dan Mekanisme Genotipe Padi dalam Mengatasi Keracunan Besi Gejala keracunan besi pada tanaman padi berhubungan dengan tingginya serapan Fe+2 oleh akar dan ditransportasikan ke daun melalui aliran transpirasi. Kadar besi dalam jaringan daun tanaman padi yang tinggi menyebabkan tanaman keracunan besi. Mekanisme
keracunan besi dimulai dengan meningkatnya
permeabilitas sel-sel akar terhadap ion Fe2+ seiring dengan meningkatnya aktivitas
14
mikroba pereduksi Fe di daerah perakaran tanaman, sehingga penyerapan ion ferro meningkat pesat. Reduksi Fe3+ yang terjadi di daerah perakaran secara terus menerus menyebabkan rusaknya oksidasi Fe sehingga influks Fe2+ tidak terkendali masuk dalam perakaran padi (Makarim dan Supriadi 1989; Makarim et al. 1989). Setelah penyerapan oleh korteks akar, besi Fe
2+
yang mencapai xylem berkurang
setelah melalui lintasan simplastik pada pita caspari, meskipun bagian lebih besar ion besi dapat diserap sampai ke xylem secara langsung melalui tonoplas (Tsuchiya et al. 1995). Audebert (2006) mempelajari mengenai karakteristik morfo-fenologi dan serapan Fe tanaman dari beberapa varietas menunjukkan adanya perbedaan distribusi Fe dalam organ tanaman padi (akar, batang dan daun).
Hal ini
menunjukkan adanya mekanisme penghindaran (avoidance) secara fisiologi yang spesifik diantara masing-masing varietas.
Pada genotipe toleran (CK4), lebih
banyak menimbun Fe di batang dan lebih sedikit di daun di bandingkan genotype yang peka. Genotipe yang sangat peka (Tox 3069) tidak mempunyai mekanisme penghambat (barrier) Fe diantara organ yang berbeda dan kandungan Fe lebih tinggi dalam semua organ, hal ini menunjukkan genotype sensitif tidak mempunyai selektivitas Fe diantara organ tanaman.
Korelasi antara hasil padi dengan
distribusi Fe diantara organ tanaman dapat digunakan sebagai kriteria pemuliaan padi dalam menyeleksi dan memperbaiki genotipe padi. Kemampuan padi untuk mengatasi Fe eksternal tinggi mungkin adalah hasil dari strategi penghindaran (avoidance) dan atau toleransi jaringan. Avoidance pada padi mungkin berhubungan dengan kemampuan oksidasi Fe+2 menjadi Fe+3 pada permukaan akar, sehingga membentuk endapan jingga yang khas yang dikenal sebagai “iron plaque” (Asch et al. 2005). Hasil penelitian yang ada menunjukkan lebih efisiennya genotipe toleran dari pada genotipe peka karena menahan lebih banyak Fe di perakaran tanaman.
Konsentrasi besi yang rendah dalam tajuk
(shoot) juga diperkirakan adalah mekanisme avoidance, dan mungkin merupakan mekanisme yang bermanfaat dalam memberikan kontribusi pertahanan tanaman seperti yang telah dikemukan oleh Audebert dan Sahrawat (2000). Menurut Becker dan Ash (2005), tanaman padi mempunyai mekanisme avoidance dan atau toleransi secara morfologi dan fisiologi untuk mengatasi dan
15
bertahan dari kondisi merugikan pada tanah yang mengandung unsur meracun Fe dan jumlah Fe yang besar dalam tanaman. Mekanisme ini adalah penting dalam seleksi genotipe padi adaptif atau toleran. Tiga tipe utama strategi adaptasi yang dapat dibedakan dan terdiri dari strategi includer dan excluder seperti halnya mekanisme avoidance dan tolerance (toleransi). Tanaman memanfaatkan strategi I (eksklusi/avoidance), mengeluarkan Fe atau menahan Fe pada level akar sehingga menghindarkan Fe+2 merusak jaringan tajuk (oksidasi di daerah perakaran dan selektivitas ion pada akar). Dengan strategi II (inklusi/avoidance), Fe+2 diserap ke dalam akar padi, tapi kerusakan jaringan dapat terhindar dengan kompartmentasi (imobilisasi dari Fe aktif dalam tempat pembuangan, seperti daun tua atau jaringan daun yang kurang aktif melakukan fotosintetis) atau mengeluarkan dari symplast (imobilisasi dalam daun apoplas). Strategi III (inklusi/toleransi), tanaman secara nyata mentolerir kadar Fe+2 yang meningkat dalam sel-sel daun, mungkin melalui detoksifikasi enzimatik dalam simplas. Peranan Bahan Organik dalam Ameliorasi Lahan Hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan organik baik limbah panen, pupuk kandang dan pupuk hijau berperan dalam memperbaiki kualitas lahan, mengurangi kadar unsur meracun seperti Al dan Fe dalam tanah, dan meningkatkan hasil padi. Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan pemberian jerami padi dengan dosis 5.0 t/ha di lahan pasang surut Kalimantan Tengah dapat meningkatkan hasil padi varietas IR 64 dari 1.61 t/ha menjadi 2.04 t/ha dan varietas Kapuas dari 2.05 menjadi 3.24 t/ha. Menurut Karama (1990), bahan organik selain sebagai sumber hara juga meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan dan meningkatkan KTK tanah. Salah satu sumber bahan organik yang potensial dan penyediaannya dapat dilakukan secara in-situ di lahan sawah adalah Salvinia sp. Salvinia sp. merupakan tanaman pakis air yang mengapung di permukaan air termasuk dalam kelompok divisi Pteridophyta, famili Salviniacea (Saunder dan Fowler 1993). Salvinia sp. merupakan pakis air yang mengapung bebas yang mempunyai kemampuan dalam memindahkan kontaminan seperti logam-logam berat, senyawa organik dan hara anorganik dari lingkungan (Benaroya et al. 2004; Stepniewska et al. 2005; Dhir
16
2009). Selain itu beberapa spesies Salvinia sp. mempunyai beberapa keuntungan karena produktivitasnya yang tinggi dan toleransi yang luas terhadap temperatur (Olguin et al. 2002). Hasil penelitian Begum et al. (2010) menunjukkan Salvinia sp. mampu menyerap logam-logam berat Fe 88.8% , Cu 67%, dan Ni 40.4% dalam larutan yang masing-masing diberi perlakuan 5.0 ppm Fe, Cu, dan Ni, setelah 10 hari. Salvinia sp. potensial dalam menyerap logam berat dari lingkungan dengan cara mengkompartmentasi sebagai upaya pertahanan sekunder terhadap lingkungan (Olguin et al. 2003). Logam berat yang diserap oleh Salvinia sp. melalui dua cara yaitu secara biologis dan fisik. Logam seperti Cr dan Pb diserap melalui proses fisik seperti penjerapan, pertukaran ion dan pengkelatan, sedangkan proses biologis adalah meliputi penyerapan intrasellular (ditransportasi melalui plasmalemma kedalam sel) seperti penyerapan logam Cd dari akar ke daun (Sun’e et al. 2007). Penyerapan logam berat dapat secara langsung melalui kontak
daun
dengan larutan melalui kapasitas penjerapan yang terdapat pada daun (Sun’e et al. 2007). Telah diketahui bahwa penyerapan logam berat digerakkan oleh protein transport sekunder melalui saluran protein atau protein pembawa (carrier) yang berikatan dengan H+ dimana potensial membran negatif dalam plasma membran menggerakkan penyerapan kation melalui transporter sekunder. Adanya kelompok karboksilat pada permukaan sel menyediakan tempat untuk mengikat logam (Olguin et al. 2005).
Kemampuan biomas Salvinia sp. yang tinggi dalam
memindahkan atau mengikat logam ditunjukkan oleh besarnya permukaan spesifik (264 m2 g-1) yang kaya dengan karbohidrat (48.50%), fenolik hidroksil (2.96 mmol g-1), protein (27.6%), lipid 1.52%
dan
karboksil (0.95 mmol g-1).
Protein
merupakan atom ligan yang penting dan juga berperan penting dalam penyerapan logam (Sanchez-Galvan et al. 2008). Biomas Salvinia sp. yang telah mati menunjukkan kemampuan yang tinggi untuk mengikat logam-logam berat. Adanya konsentrasi yang tinggi dari lipid dan karbohidrat pada permukaan tanaman bertindak sebagai kelompok penukar kation lemah yang berkonstribusi untuk penyerapan logam dengan reaksi pertukaran ion. Reaksi pertukaran ion merupakan fungsi utama adanya kelompok karboksil dalam jaringan tanaman. Kelompok karboksil yang ada berhubungan dengan kandungan
17
protein dalam jaringan.
Pengikatan logam terjadi dengan kelompok karboksil
bebas dalam asam amino glutamat dan aspartat dari rantai protein (Schneider dan Rubio 1999). Beberapa keuntungan penggunaan Salvinia sp.
sebagai spesies yang
penting dalam teknologi fitoremediasi meliputi (1) penyebaran geografi Salvinia sp. yang luas di daerah tropik dan subtropik, (2) produktivitas sangat tinggi sekitar 5.8 – 11.4 g berat kering per m2 per hari bila dikulturkan dalam medium Hoagland dan sekitar 20-120 kg per ha per hari di bawah kondisi alami (Schneider dan Rubio 1999), (3) sifat-sifat fisik-kimia seperti luas permukaan tinggi (264 m2 g-1 berat kering) dan kandungan karboksilat tinggi (ligan) (0.95 mmol H+ g-1 biomas), (4) efisiensi untuk memindahkan hara atau polutan dari limbah air, (5) lebih tingginya tingkat pemindahan logam per unit permukaan dan lebih tingginya pengembalian logam setelah perlakuan yang sesuai (Oguin et al. 2005), (6) mudah untuk memanen sebagai daun dan
memungkinkan untuk dimanfaatkan dari
biomas yang dipanen (Oguin et al. 2003). Lahan pasang surut umumnya mempunyai kandungan logam Fe dan Al yang tinggi, dimana dalam keadaan tergenang (reduksi) Fe dalam jumlah yang berlebihan dapat meracuni tanaman padi, sedangkan dalam keadaan kering Al berada dalam jumlah yang besar dan berpotensi meracuni tanaman. Penggunaan Salvinia sp. dalam ameliorasi di lahan pasang surut diharapkan dapat mengurangi kadar Fe sehingga dapat mengurangi keracunan Fe. Salvinia sp.
Selain itu penggunaan
juga berperan sebagai pupuk organik yang dalam proses
dekomposisinya akan memberikan unsur hara ke dalam tanah. Hasil penelitian penggunaan Salvinia molesta sebagai pupuk organik yang diberikan dalam bentuk konsentrat pada tanah pasang surut sulfat masam di rumah kaca mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi. Aplikasi Salvinia molesta 3.08-7.36 g/6 kg tanah meningkatkan hasil gabah dari 11.1 g/rumpun (kontrol) menjadi 47.00-70.07 g/rumpun (Kaderi 2005).
BAB. III. PENGARUH KONSENTRASI BESI DALAM LARUTAN HARA TERHADAP GEJALA KERACUNAN BESI DAN PERTUMBUHAN TANAMAN PADI Abstrak Keracunan besi pada padi merupakan kendala utama dalam produksi padi yang dapat menurunkan hasil padi, yang disebabkan oleh tingginya kadar besi larut dalam tanah. Penelitian bertujuan untuk : 1) mempelajari pengaruh konsentrasi Fe dalam media larutan hara terhadap gejala keracunan besi dan pertumbuhan tanaman, 2) mendapatkan konsentrasi Fe dalam media larutan hara yang mengakibatkan keracunan Fe dengan kriteria berat, sedang dan ringan. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Institut Pertanian Bogor bulan Mei-Juli 2010. Media percobaan menggunakan larutan hara Yoshida. Penelitian merupakan percobaan faktorial dua faktor yaitu : konsentrasi Fe dalam media larutan (kontrol, 50, 100, 200, 400, 600 ppm Fe) dan genotipe padi (IR 64, Margasari). Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi besi dalam larutan hara dan semakin lama waktu cekaman Fe semakin berat gejala keracunan besi pada padi. Keracunan besi menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman padi. Kadar besi pada dalam jaringan tanaman varietas IR 64 lebih tinggi dibandingkan varietas Margasari. Konsentrasi Fe dalam larutan yang menyebabkan gejala keracunan Fe pada varietas IR 64 dapat dikelompokkan dengan kriteria ringan (skor 3) = 52 ppm Fe, sedang (skor = 5) = 143 ppm Fe, agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan gejala keracunan Fe berat (skor 9) = 325 ppm Fe. Kata kunci : Gejala keracunan besi, konsentrasi besi, padi Abstract Iron toxicity in rice is a major constraint in rice production which can reduce rice yield that caused by high levels of soluble Fe. The experiment was conducted in a greenhouse, Bogor Agricultural University in May-July 2010. Medium that used in the experiment was Yoshidas nutrient solution. The experiment was arranged in a factorial design with two factors: the Fe concentration in the medium solution (control, 50, 100, 200, 400, 600 ppm Fe) and rice genotypes (IR 64, Margasari). The objectives of experiment were : 1) to study the effect of Fe concentration in the solution to iron toxicity symptoms and plant growth, 2) to obtain the Fe concentration in the solution that causing iron toxicity symptoms with the criteria namely severe, moderate and slightly. The results showed the higher Fe concentration in the solution the higher scoring of iron toxicity symptoms and Fe levels in the plant, and the stunted growth of rice plants. Iron toxicity cause delayed of rice growth. Iron content in plant tissue of IR 64 variety higher than Margasari variety. Iron concentration in the solution cause Fe toxicity symptoms such as slightly (scoring 3) 52 ppm Fe, moderate (scoring = 5) = 143 ppm Fe, rather heavy (scoring = 7) = 234 ppm Fe , and severe (scoring 9) 325 ppm Fe. Key words : Iron toxicity symptoms, iron concentration, rice
20
Pendahuluan Keracunan besi pada padi sawah merupakan kendala utama dalam produksi padi di daerah tropis dan subtropis yang disebabkan tingginya kadar besi larut dalam
tanah.
Berdasarkan hasil penelitian Audebert dan Sahrawat (2000),
keracunan besi pada tanaman padi yang terserang berat mengakibatkan pertumbuhan sangat jelek, anakan tidak tumbuh sehingga hasil yang didapatkan sangat rendah dan bahkan dapat mengakibatkan kegagalan panen. Gejala keracunan besi beragam diantara genotipe padi,
dan umumnya
adalah adanya bercak coklat keunguan dari daun yang diikuti dengan pengeringan. Gejala visual yang khas berhubungan dengan proses keracunan besi, terutama terjadinya akumulasi dari polyphenol teroksidasi
yang disebut bronzing atau
yellowing pada padi. Karena mobilitas Fe yang rendah dalam tanaman, gejala yang khas dimulai dengan bercak berwarna coklat kemerahan dari ujung daun tua. Bercak berwarna tembaga kemudian meluas keseluruh daun, perkembangan gejala selanjutnya ujung daun menjadi kuning-jingga kemudian kering dari bagian atas (Peng dan Yamauchi 1993). Gejala keracunan besi pada padi hanya terjadi pada kondisi spesifik yaitu dalam
kondisi
tergenang.
Kondisi
reduksi
di
lahan
sawah
tergenang
memperlihatkan gejala keracunan besi melalui pelarutan semua bentuk Fe menjadi bentuk terlarut (Fe+2) yang melibatkan mikroba pelarut (Beckers dan Ash 2005; Audebert 2006). Jumlah besi ferro yang tinggi di dalam larutan tanah juga dapat mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan hara mineral yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Audebert 2006). Hasil-hasil penelitian untuk melihat toleransi tanaman terhadap gejala keracunan besi telah banyak dilakukan pada larutan hara di rumah kaca dengan metode yang berbeda-beda terutama konsentrasi Fe dalam larutan hara dan lamanya tanaman diberi cekaman Fe serta adanya perbedaan genotipe padi yang digunakan. Dorlodot et al. (2005), menggunakan konsentrasi Fe 125-500 ppm Fe (FeSO4), pH 4.5, lama stres 4 minggu, sedangkan Kpongor (2003) menggunakan konsentrasi Fe 1000-3000 ppm Fe (FeSO ), pH = 5.0, lama stres Fe sampai 4 hari. Hasil penelitian Dorlodot et al. (2005) menunjukkan bahwa konsentrasi 250
21
ppm Fe atau lebih dapat digunakan untuk membedakan toleransi tanaman padi, karena terlihat jelas gejala keracunan Fe (bronzing), penurunan pertumbuhan dan ketahanan tanaman dalam waktu stres selama 4 minggu. Menurut Kpongor (2003), konsentrasi 2000 ppm Fe dalam waktu stres Fe 3 hari dapat digunakan untuk melihat perbedaan varietas toleran dan peka pada media agar+larutan hara. Berdasarkan hal tersebut diatas untuk mendapatkan konsentrasi besi dalam larutan hara yang dapat membedakan sifat kepekaan atau toleransi terhadap keracunan besi dari gejala yang ditunjukkan tanaman perlu dilakukan dengan menggunakan genotipe padi yang biasa digunakan atau banyak digunakan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mempelajari pengaruh konsentrasi Fe dalam media larutan terhadap gejala keracunan besi dan pertumbuhan tanaman, 2) mendapatkan konsentrasi Fe dalam media larutan yang mengakibatkan keracunan Fe dengan kriteria berat, sedang dan ringan. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah kaca University Farm Cikabayan, dan di laboratorium Research Group of Crop Improvement (RGCI), Institut Pertanian Bogor mulai bulan Mei sampai dengan Juli 2010. Media percobaan menggunakan larutan hara Yoshida yang dimodifikasi konsentrasi Fe dan pH dalam larutannya (Dorlodot et al., 2005; Asch et al. 2005). Konsentrasi hara makro dan mikro media larutan yang digunakan adalah sebagai berikut : 40 ppm N (NH4NO3), 10 ppm P (NaH2 PO4·2H2O), 40 ppm K (K2SO4), 40 ppm Ca (CaCl2), 40 ppm Mg (MgSO4·7H2O),
0.5
ppm
Mn
(MnCl2·4H2O),
0.05
ppm
Mo
((NH4)6·Mo7O24·4H2O), 0.2 ppm B (H3BO3), 0.01 ppm Zn (ZnSO4·7H2O), 0.01 ppm Cu (CuSO4·5H2O), 2 ppm Fe (FeSO4. 7H2O). Untuk mendapatkan
kisaran konsentrasi Fe dalam larutan yang
menyebabkan gejala keracunan besi yang ringan-sangat berat
telah dilakukan
penelitian pendahuluan. Padi IR.64 dan Margasari diberi cekaman Fe pada kisaran konsentrasi yang luas (0-1000 ppm Fe). Hasil penelitian setelah 2 minggu diberi cekaman Fe menunjukkan perlakuan konsentrasi Fe > 600 ppm menyebabkan
22
tanaman padi IR 64 dan Margasari mati, sehingga untuk perlakuan Fe dalam penelitian ini maksimum pada level 600 ppm. Penelitian merupakan percobaan faktorial dua faktor yaitu Faktor 1 adalah Konsentrasi Fe dalam media larutan hara : 1) kontrol (2 ppm Fe), 2) 50 ppm Fe, 3) 100 ppm Fe, 4) 200 ppm Fe, 5) 400 ppm Fe, 6) 600 ppm Fe. Faktor 2 adalah Genotipe padi : 1) IR 64 (peka), 2) Margasari (moderat). Setiap perlakuan (satuan percobaan) di ulang 3 kali yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Media tumbuh menggunakan pot plastik (PVC) yang mempunyai volume ± 1200 ml (diameter 7.5 cm dan panjang 23 cm), pot plastik diisi dengan larutan sebanyak 1000 ml yang mengandung hara dan Fe sesuai perlakuan, permukaan pot ditutup untuk meminimalkan masuknya oksigen dan evaporasi pada media larutan. Padi disemai dalam bak pasir yang diberi larutan hara Yoshida (1/2 konsentrasi, pH 5.0). Padi umur semai 14 hari dipindahkan dalam kultur larutan, setelah aklimatisasi selama satu minggu pada larutan hara Yoshida dengan konsentrasi Fe 2 ppm pada pH 4.5. Setelah satu minggu diberi Fe sesuai dengan perlakuan pada pH 4.0. Kekurangan volume larutan ditambah setiap hari dengan larutan yang sama. Kultur larutan diperbaharui setiap seminggu sekali (Gambar 3.1).
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.1. Pelaksanaan kegiatan penelian di rumah kaca : (a) persemaian padi di bak pasir, (b) bibit padi umur 14 hari yang dipindahkan dalam pot plastik (PVC) dan diaklimatisasi selama 7 hari, (c) tanaman padi yang telah diberi perlakuan Fe dan ditumbuhkan selama 4 minggu
23
Pengamatan skor keracunan besi dilakukan seminggu sekali sampai umur tanaman 4 minggu, berdasarkan gejala keracunan pada tanaman dan daun menurut standar IRRI-INGER (1996), Asch et al. (2005) dan Aung (2006) yang dimodifikasi (Tabel 3.1). Tabel 3.1. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi Skor keracunan Fe
Daun keracunan Fe (%)
Tingkat cekaman
1
0
2
1-9
3
10-29
Ringan
5
30-49
Sedang
7
50-69
Agak berat
9
70-89
Berat
10
90-100
Tidak ada Sangat ringan
Sangat berat
Sumber : IRRI-INGER (1996), Asch et al. (2005); Aung (2006)
Pengamatan gejala keracunan besi dilakukan pada umur tanaman 1-4 minggu pada daun padi yang telah berkembang penuh. Selain gejala keracunan besi dilakukan juga pengamatan terhadap panjang akar, bobot akar, bobot tajuk, jumlah anakan, dan kadar Fe tajuk setelah tanaman berumur 4 minggu setelah tanam. Hasil dan Pembahasan Skor Keracunan Fe dan Kadar Fe Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan varietas berbeda nyata pada skor gejala keracunan Fe umur 2 minggu dan kadar Fe tanaman, sedangkan skor keracunan Fe tanaman umur 1, 3 dan 4 minggu tidak nyata dipengaruhi oleh varietas. Konsentrasi Fe dalam larutan hara berpengaruh nyata terhadap skor gejala keracunan Fe 1-4 minggu dan kadar Fe tanaman. Tidak terjadi interaksi antara varietas dengan konsentrasi Fe dalam larutan hara terhadap skor keracunan besi. Interaksi antara varietas dan konsentrasi Fe dalam larutan hara hanya terjadi pada kadar Fe dalam jaringan tanaman (Tabel 3.2).
24
Tabel 3.2. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe (0-600 ppm Fe) dan varietas padi (IR 64 dan Margasari) terhadap skor keracunan Fe dan kadar Fe tanaman Skor Sumber Keragaman keracunan Fe (Minggu-1) Varietas (V) tn Konsentrasi Fe (K) ** K*V tn
Parameter pengamatan Skor Skor Skor Kadar Fe keracunan Fe keracunan Fe keracunan Fe tanaman (Minggu-2) (Minggu-3) (Minggu-4) ** tn tn ** ** ** ** ** tn tn tn **
Keterangan : tn = tidak nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
Pengamatan skor gejala keracunan besi menunjukkan semakin tinggi konsentrasi besi dalam larutan semakin tinggi tingkat keracunan Fe pada tanaman (Gambar 3.2). 2 ppm Fe 100 ppm Fe 400 ppm Fe
50 ppm Fe 200 ppm Fe 600 ppm Fe
2 ppm Fe 100 ppm Fe 400 ppm Fe
11 Skor keracuan Fe
Skor keracunan Fe
11
50 ppm Fe 200 ppm Fe 600 ppm Fe
9 7 5 3
9 7 5 3 1
1 1
2
3
4
Waktu pengamatan (minggu)
IR. 64
1
2
3
4
Waktu pengamatan (minggu)
Margasari
Gambar 3.2. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan terhadap skor keracunan Fe varietas IR 64 dan Margasari
Tingkat
keracunan Fe varietas Margasari lebih rendah dibandingkan
varietas IR 64 terutama pada konsentrasi 200 dan 400 ppm Fe pada pengamatan minggu kedua.
Kedua varietas pada konsentrasi
600 ppm Fe mengalami
keracunan besi
yang berat (skor 9-10) pada pengamatan minggu ketiga dan
keempat. Skor gejala keracunan besi yang diamati selama 4 minggu setelah diberi perlakuan Fe pada varietas IR 64 (Gambar 3.2) menunjukkan pada konsentrasi rendah (0-100 ppm) tidak terjadi peningkatan keracunan besi secara tajam sampai 4 minggu. Sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi (200-600 ppm) pada
25
minggu ke 2 terjadi peningkatan yang tajam mendekati skor 9-10, namun pada minggu berikutnya terjadi pelandaian terutama pada konsentrasi 400 dan 600 ppm Fe. Pada varietas Margasari peningkatan skor gejala keracunan besi secara tajam terjadi pada minggu ke 3 terutama pada konsentrasi besi lebih tinggi (200-600 ppm). Pada konsentrasi
100 ppm Fe dalam larutan hara menunjukkan gejala
keracunan besi yang lebih tinggi dibandingkan kontrol terutama pada minggu kedua sampai minggu ke empat (Gambar 3.2). Untuk mengetahui konsentrasi besi yang menyebabkan gejala keracunan besi pada tanaman pada kategori ringan, sedang, dan berat
dilakukan analisis
regresi. Analisis regresi dilakukan pada pengamatan gejala keracunan besi 4 minggu setelah perlakuan Fe. Untuk varietas IR 64 diperoleh persamaan regresi Y = 0.022X + 1.849, dimana konsentrasi Fe dalam larutan yang menyebabkan gejala keracunan Fe yang ringan (skor
3) adalah
52 ppm Fe,
gejala
keracunan Fe sedang (skor = 5) = 143 ppm Fe, keracunan Fe agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan gejala keracunan Fe yang berat (skor
9) adalah
325 ppm
Fe (Gambar 3.3).
Skor keracunan Fe
IR. 64 11
Y= 0.022X + 1.849 R² = 0.904**
9 7 5 3 1 0
100
200
300
400
Konsentrasi Fe larutan (ppm) Gambar 3.3. Hubungan konsentrasi Fe dalam larutan dengan skor keracunan Fe umur 4 minggu pada varietas IR 64
Pada varietas Margasari diperoleh persamaan regresi Y = 0.020X + 1.843, dimana konsentrasi Fe dalam larutan yang menyebabkan gejala keracunan Fe yang ringan (skor
3) adalah
58 ppm Fe, gejala keracunan Fe sedang (skor
= 5) = 158 ppm Fe, keracunan Fe agak berat (skor = 7) = 258 ppm Fe, dan gejala keracunan Fe yang berat (skor
9) adalah
358 ppm Fe (Gambar 3.4).
26
Skor keracunan Fe
Margasari 11
y = 0.020x + 1.841 R² = 0.915**
9 7 5 3 1 0
100
200
300
400
Konsentrasi Fe larutan (ppm) Gambar 3.4. Hubungan konsentrasi Fe dalam larutan dengan skor keracunan Fe umur 4 minggu pada varietas Margasari
Berdasarkan persamaan regresi Gambar 5 dan 6 konsentrasi besi dalam larutan
yang menyebabkan gejala keracunan besi yang sama pada varietas
Margasari lebih tinggi dibandingkan varietas IR 64. Peningkatan konsentrasi besi 45.5 ppm meningkatkan gejala skor keracunan besi 1 poin pada varietas IR 64, sedangkan pada varietas Margasari peningkatan konsentrasi besi 50 ppm meningkatkan skor gejala keracunan besi 1 poin. Diketahuinya
berapa konsentrasi
Fe dalam larutan yang dapat
menyebabkan keracunan besi yang ringan-berat pada padi dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk seleksi varietas padi yang toleran atau agak toleran secara cepat sebelum ditanam di lapang. Menurut Ash et al. ( 2005), untuk menghindari adanya keragaman kondisi di lapang, seleksi genotipe toleran Fe dapat dilakukan pada kondisi yang terkontrol di rumah kaca menggunakan metode larutan hara. Hasil analisis kadar Fe jaringan tanaman padi menunjukkan semakin tinggi kadar Fe dalam larutan semakin tinggi kadar Fe dalam jaringan tanaman padi, hal ini sejalan dengan pengamatan skor keracunan besi pada tanaman yang semakin meningkat. Kadar Fe dalam jaringan tanaman padi varietas IR.64 lebih tinggi dibandingkan varietas Margasari terutama pada konsentrasi Fe dalam larutan 200-600 ppm Fe. Serapan Fe varietas IR.64 pada perlakuan konsentrasi 200-400 ppm Fe berkisar antara 7232-21517 ppm, sedangkan varietas Margasari berkisar antara 5616-13464 ppm (Gambar 3.5).
Kadar Fe tanaman (ppm)
27
22,000 20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0
21517
14683
7232
13464
7802 5616
IR64 Margasari
1718 212 1561 608 837 261
2
50
100
200
400
600
Konsentrasi Fe dlm larutan (ppm)
Gambar 3.5. Kadar Fe jaringan tanaman padi varietas IR 64 dan Margasari yang diberi perlakuan Fe
Keracunan besi pada padi disebabkan tingginya kadar Fe dalam jaringan tanaman, yang berbeda-beda tergantung varietas atau kepekaan tanaman. Menurut Sahrawat (2000) batas kritis kadar Fe dalam tanaman yang menyebabkan keracunan besi berkisar antara 300-500 ppm, sedangkan hasil penelitian Nozoe et al. (2008) batas kritis keracunan besi berkisar antara 500-2000 ppm Fe. Mekanisme keracunan besi dimulai dari meningkatnya permeabilitas sel-sel akar terhadap ion Fe2+ seiring dengan meningkatnya proses
reduksi Fe di daerah
perakaran tanaman, sehingga penyerapan ion ferro meningkat pesat. Reduksi Fe3+ yang terjadi di daerah perakaran secara terus menerus menyebabkan rusaknya oksidasi Fe sehingga influks Fe2+ tidak terkendali masuk dalam perakaran padi (Makarim et al. 1989). Hasil-hasil penelitian menunjukkan kadar Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan Fe pada tanaman sangat beragam. Menurut Ash et al. (2005), kadar Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan bervariasi sangat luas berkisar antara 10-500 ppm Fe. Hasil penelitian Majerus et al. (2007) dan Mehraban et al. (2008) menunjukkan kadar Fe dalam larutan hara 250-500 ppm dengan pH 4.5-6.0 meningkatkan secara nyata kadar Fe dalam jaringan tanaman dan menunjukkan gejala keracunan Fe pada tanaman yang peka. Hasil penelitian Dorlodot et al. (2005) pada konsentrasi Fe dalam larutan hara > 250 ppm menunjukkan gejala keracunan besi dan menurunnya pertumbuhan tanaman.
28
Keracunan besi selain disebabkan tingginya kadar Fe larut dipengaruhi juga oleh pH larutan. Konsentrasi Fe dalam tanah yang menyebabkan keracunan besi bervariasi dengan pH dalam larutan tanah (Sahrawat 2004).
Batas kritis
konsentrasi Fe dalam larutan tanah yang menyebabkan keracunan besi adalah sekitar 100 ppm pada pH 3.7 dan 300 ppm atau lebih tinggi pada pH 5.0 (Sahrawat et al. 1996). Pertumbuhan Tanaman Hasil analisis ragam pertumbuhan tanaman menunjukkan varietas hanya berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan, sedangkan terhadap
bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan panjang akar tidak
berpengaruh nyata.
Konsentrasi Fe berpengaruh terhadap semua parameter
pertumbuhan tanaman (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe pertumbuhan tanaman Sumber Keragaman Varietas (V) Konsentrasi Fe (K) K*V
Tinggi tanaman ** ** tn
dan varietas padi
Parameter pengamatan Jumlah BK BK Akar Anakan Tajuk * tn tn ** ** ** tn tn tn
terhadap
Panjang akar tn ** tn
Keterangan : tn = tidak nyata, * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
Pengamatan agronomis tanaman menunjukkan tinggi, jumlah anakan dan bobot kering tanaman (tajuk) sangat dipengaruhi oleh konsentrasi Fe dalam larutan, semakin tinggi konsentrasi Fe semakin terhambat pertumbuhan tanaman baik pada varietas IR 64 maupun Margasari. Kadar Fe dalam larutan hara
50-
200 ppm Fe menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman varietas Margasari dan IR.64, yang ditunjukkan oleh menurunnya tinggi, jumlah anakan dan bobot kering tanaman, bahkan pada konsentrasi 600 ppm Fe menyebabkan tanaman padi mati padi umur 4 minggu. Varietas IR 64 mempunyai tinggi tanaman berkisar antara 26.7-51 cm, sedang varietas Margasari tinggi berkisar antara
33-50 cm. Rata-rata tinggi
varietas Margasari lebih tinggi (41.5 cm) dibandingkan IR.64 (35.5 cm). Tinggi tanaman dipengaruhi oleh konsentrasi Fe pada konsentrasi
50
ppm, pada
29
konsentrasi 50-600 ppm Fe tinggi tanaman berkisar antara 33.0-47.3 cm lebih rendah dari kontrol (50.0 cm) (Tabel 3.4). Jumlah anakan
tanaman yang terbentuk dipengaruhi oleh perbedaan
varietas, dimana varietas Margasari mempunyai anakan lebih banyak (3.7) dibandingkan varietas IR 64 (3.1). konsentrasi
Pembentukan anakan terhambat pada
100 ppm Fe, pada konsentrasi 100-600 ppm Fe jumlah anakan
berkisar antara 2.0-3.3 lebih rendah dari kontrol (6.0) (Tabel 3.4). Tabel 3.4. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap tinggi dan jumlah anakan tanaman Konsentrasi Fe (ppm) Kontrol 50 100 200 400 600 Rata-rata
Tinggi (cm) IR 64 51.0 40.3 38.3 28.0 28.7 26.7 35.5 b
Margasari 50.0 47.3 47.3 38.0 33.3 33.0 41.5 a
Rata-rata 50.5 a 43.8 b 42.8 b 33.0 c 31.0 c 29.9 c
Jumlah anakan IR 64 6.0 4.3 2.3 2.0 2.0 2.0 3.1b
Margasari 6.0 6.0 4.3 2.3 2.0 2.0 3.7 a
Rata-rata 6.0 a 5.2 a 3.3 b 2.0 c 2.0 c 2.0 c
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Konsentrasi Fe dalam larutan mempengaruhi bobot kering tajuk tanaman, semakin tinggi konsentrasi Fe semakin rendah bobot kering tajuk tanaman padi. Perbedaan varietas tidak mempengaruhi bobot kering tajuk tanaman, rata-rata bobot kering tajuk varietas IR 64 dan Margasari 1.20 g (Tabel 3.5). Tabel 3.5. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap bobot kering tajuk (g) Konsentrasi Fe (ppm) Kontrol 50 100 200 400 600 Rata-rata
Varietas IR 64 2.69 1.68 1.29 0.81 0.39 0.34 1.20 a
Margasari 2.18 1.40 1.33 1.27 0.54 0.45 1.20 a
Rata-rata 2.44 a 1.54 b 1.31 bc 1.04 c 0.47 d 0.39 d
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
30
Konsentrasi Fe dalam larutan hara
50 ppm Fe mempengaruhi bobot
kering tajuk tanaman padi, pada konsentrasi 50-600 ppm Fe bobot kering tajuk berkisar antara 0.39-1.54 g lebih rendah dari kontrol (2.44 g). Pada konsentrasi 400 ppm Fe menyebabkan pertumbuhan tanaman sangat terhambat, sehingga bobot kering tajuk tanaman lebih rendah dari perlakuan konsentrasi < 400 ppm Fe (Tabel 3.5). Bobot kering akar seperti halnya bobot tajuk tanaman sangat dipengaruhi oleh perlakuan konsentrasi Fe, semakin tinggi konsentrasi Fe semakin terhambat pembentukan akar tanaman. Konsentrasi 50 ppm Fe sudah mempengaruhi bobot akar tanaman. Perlakuan konsentrasi 50-600 ppm Fe menurunkan bobot akar dari 0.51 g (kontrol) menjadi 0.07-0.35 g (Tabel 1.6). Panjang akar seperti halnya bobot akar dipengaruhi oleh perlakuan Fe. Berbeda dengan bobot akar, panjang akar mulai terpengaruh pada konsentrasi
200 ppm Fe. Pada konsentrasi 200-
600 ppm Fe panjang akar berkisar antara 10.2-12.4 cm lebih pendek dari perlakuan kontrol (14.3 cm) (Tabel 3.6). Tabel 3.6. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap bobot kering dan panjang akar Konsentrasi Fe (ppm) Kontrol 50 100 200 400 600 Rata-rata
Bobot akar (g) IR 64 0.56 0.37 0.28 0.14 0.09 0.07 0.25 a
Margasari 0.47 0.33 0.26 0.23 0.12 0.07 0.24 a
Ratarata 0.51 a 0.35 b 0.27 bc 0.19 cd 0.11 de 0.07 e
Panjang akar (cm) IR 64 14.1 13.5 13.7 10.9 11.5 9.6 12.3 a
Margasari 14.4 12.5 12.4 13.9 12.5 10.7 12.7 a
Ratarata 14.3 a 13.0 ab 13.2 ab 12.4 b 12.0 b 10.2 c
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan tanaman mulai keracunan besi pada umur tanaman 2 minggu setelah perlakuan Fe.
Menurut
Audebert (2006), besi ferro yang diserap tanaman dan terkonsentrasi pada daun mengakibatkan perubahan warna pada daun,
mengurangi jumlah anakan dan
secara nyata mengurangi hasil. Penurunan hasil padi karena keracunan besi juga disebabkan karena terganggunya proses metabolisme di dalam tanaman yang
31
berakibat terjadinya perubahan karakter agronomi maupun fisiologi dari tanaman padi. Gejala
keracunan besi pada tanaman ditunjukkan dengan menurunnya
tinggi tanaman, berkurangnya anakan, berkurangnya klorofil tanaman (Fageria et al., 2008). Tanaman yang keracunan besi akarnya menjadi sedikit, kasar, pendek dan tumpul, berwarna coklat gelap (Sahrawat, 2004; Fageria et al., 2008). Dengan meningkatnya stres keracunan besi daun tanaman menjadi coklat keunguan, diikuti dengan pengeringan daun dan tanaman terlihat seperti terbakar (hangus) (Sahrawat, 2004). Korelasi Antara Gejala Keracunan Fe dan Pertumbuhan Tanaman Hasil analisis korelasi menunjukkan skor gejala keracunan besi berkorelasi nyata dengan kadar Fe tanaman dan berkorelasi negatif nyata dengan pertumbuhan tanaman. Kadar Fe dalam jaringan tanaman juga berkorelasi negatif nyata dengan pertumbuhan tanaman. Nilai korelasi antara skor keracunan besi dengan pertumbuhan tanaman semakin meningkat mulai pengamatan minggu ke 2 sampai minggu ke 4, kecuali dengan panjang akar korelasi semakin menurun dengan waktu pengamatan skor Fe (Tabel 3.7). Tabel 3.7.
Korelasi antara skor keracunan Fe dengan kadar Fe tanaman pertumbuhan tanaman Variabel
Kadar Fe tanaman
Tinggi
Jumlah Anakan
Bobot Tajuk
Bobot Akar
dan
Panjang akar
Skor keracunan Fe Minggu-1
0.910**
-0.687** -0.630** -0.759** -0.738** -0.691**
Skor keracunan Fe Minggu-2
0.936**
-0.798** -0.759** -0.859** -0.823** -0.681**
Skor keracunan Fe Minggu-3
0.887**
-0.781** -0.816** -0.873** -0.844** -0.596**
Skor keracunan Fe Minggu-4
0.844**
-0.815** -0.815** -0.840** -0.851** -0.590**
Kadar Fe tanaman
1.000
-0.771** -0.654** -0.778** -0.754** -0.692**
Keterangan : ** = berkorelasi sangat nyata
Hasil
analisis korelasi ini menunjukkan semakin tinggi skor gejala
keracunan besi ataupun kadar Fe tanaman semakin terhambat pertumbuhannya. Tingkat keracunan besi pada tanaman sendiri disebabkan tingginya kadar besi dalam tanaman, yang ditunjukkan dari persamaan regresi kadar Fe tanaman dengan tingkat keracunan besi. Tingkat keracunan besi dan kadar Fe dalam tanaman
32
berhubungan dengan konsentrasi Fe dalam larutan hara. Semakin tinggi kadar Fe dalam larutan semakin meningkat gejala keracunan besi dan kadar Fe pada tanaman (Gambar 3.1-3.3).
Keracunan besi pada tanaman menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan tanaman (Tabel 3.4-3.6). Hasil-hasil penelitian lain juga menunjukkan semakin tinggi konsentrasi Fe dalam larutan semakin tinggi kemungkinan keracunan besi pada tanaman. Keracunan besi pada padi
dapat menurunkan hasil padi 12-100 %
(Sahrawat 2000; Sahrawat et al. 2004; Sahrawat 2010). Hasil-hasil penelitian menunjukkan skor gejala keracunan besi maupun kadar
besi dalam tanaman
berkorelasi negatif dengan pertumbuhan tanaman dan hasil padi. Hasil penelitian Mehraban et al. (2008) menunjukkan banyaknya kadar besi pada tanaman berkorelasi negatif dengan pertumbuhan tanaman. Sedangkan hasil penelitian Audebert (2006) dan Suhartini dan Makarim (2009) menunjukkan skor gejala keracunan besi berkorelasi negatif dengan hasil padi. Tingkat keracunan besi dan hasil gabah selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan juga tergantung kepekaan atau toleransi varietas yang ditanam. Hasil penelitian Sahrawat (2000), dan Sahrawat dan Audebert (2000) hasil padi yang tinggi bersesuaian secara fisiologi dengan sifat toleransi terhadap keracunan besi. Selain itu hasil penelitian Suhartini dan Makarim (2009) pada lahan sawah bermasalah keracunan Fe, menggunakan varietas yang peka seperti IR.64 memperlihatkan gejala keracunan besi yang berat dengan hasil gabah yang sangat rendah (0.8 t/ha), sedangkan varietas untuk lahan pasang surut yang agak toleran besi seperti Dendang dan Banyu Asin memberikan hasil gabah 2.6 t/ha dan 2.1 t/ha. Hasil penelitian Sutami et al. (2003) di lahan pasang surut bergambut menunjukkan varietas Dendang dan Banyu Asin memberikan hasil gabah yang lebih tinggi yaitu 3.60 t/ha dan 3.61 t/ha. Kesimpulan 1. Semakin tinggi konsentrasi besi dalam larutan hara dan semakin lama waktu cekaman Fe semakin tinggi gejala keracunan besi pada padi. Keracunan besi menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan tanaman padi.
33
2. Kadar besi pada dalam jaringan tanaman varietas IR 64
lebih tinggi
dibandingkan varietas Margasari. 3. Konsentrasi Fe dalam larutan yang menyebabkan gejala keracunan Fe pada varietas IR 64 dapat dikelompokkan dengan kriteria ringan (skor
3) =
52
ppm Fe, sedang (skor = 5) = 143 ppm Fe, agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan gejala keracunan Fe berat (skor
9) =
325 ppm Fe.
Daftar Pustaka Asch F, Becker M, Kpongor DS. 2005. A quick and efficient screen for tolerance to iron toxicity in lowland rice, J. Plant Nutr. Soil Sci. 168: 764–773. Audebert A, Sahrawat KL. 2000. Mechanisms for iron toxicity tolerance in lowland rice. J. Plant Nutr. 23:1877-1885. Audebert A. 2006. Iron partitioning as a mechanism for iron toxicity tolerance in lowland rice. In : Audebert. A.. L.T. Narteh. D. Millar, B. Beks (Eds). Iron Toxicity in Rice-Based System in West Africa. Africa Rice Center (WARDA). pp: 34-46. Aung T. 2006. Physiological mechanisms of iron toxicity tolerance in lowland rice. Thesis Institute of Crop Science and Resource Conservation (INRES). Department of Plant Nutrition. 76p. Becker M, Asch F. 2005. Iron toxicity in rice-condition and management concept. J. Plant Nutr. Soil Sci. 168:558-573. Dorlodot S, Lutts S, Bertin P. 2005. Effect of ferrous iron toxicity on the growth and mineral competition of and interspecific rice. J. Plant Nutr. 28:1-20. Fageria, NK, Santos AB, Barbosa FMP, Guimaraes CM. 2008. Iron Toxicity in Lowland Rice. J. Plant Nutr. 31: 1676–1697. IRRI-INGER. 1996. Standar Evaluation System for Rice. Ed. 4 th. International Rice Research Institute-International Network Genetic Evaluation Research. Manila, Phillippines. 52p. Majerus V, Bertin P, Lutts S. 2007. Effects of iron toxicity on osmotic potential, osmolytes and polyamines concentrations in the African rice (Oryza glaberrima Steud.). Plant Science. 173: 96–105. Makarim AK, Sudarman O, Supriadi H. 1989. Status hara tanaman padi berkeracunan Fe di daerah Batumarta, Sumatera Selatan. Penelitian Pertanian. 9:166-170. Nozoe T, Agbisiti R, Fukuta Y, Rodriguez R, Yanagihara S. 2008. Characteristics of iron tolerant rice lines developed at IRRI under field conditions. JARQ. 42:187-192. Mehraban P, Zadeh AA, Sadeghipour HR. 2008. Iron toxicity in rice (Oryza sativa L.) under different potassium nutritiom. Asian J. of Plant Sci. 1-9.
34
Peng XX, Yamauchi M. 1993. Ethylene production in rice bronzing leaves induced by ferrous iron. Plant Soil. 149:227–234. Sahrawat K, Mulbah CK, Diatta S, DeLaune RD, Patrick WH, Singh BN, Jones MP. 1996. The role of tolerant genotypes and plant nutrients in the management of iron toxicity in lowland rice. J. Agric. Sci. 126:143–149. Sahrawat KL. 2000. Elemental composition of the rice plant as affected by iron toxicity under field conditions. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 31:2819-2827. Sahrawat KL. 2004. Iron toxicity in wetland rice and the role of other nutrients. J. of Plant Nutrition. 27:1471–1504. Sahrawat K.L. 2010. Reducing iron toxicity in lowland rice with tolerant genotipes and plant nutrition. Plant Stress. 4:70-75. Suhartini T. 2004. Perbaikan varietas padi untuk lahan keracunan Fe. Bul. Plasma Nutfah. 10:1-11. Suhartini T, Makarim AK. 2009. Teknik seleksi genotipe padi toleran keracunan besi. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 28:125-130. Sutami, Azzahra F, Imberan M. 2003. Penampilan dua belas galur padi terpilih dan hasil persilangan dan introduksi di lahan pasang surut bergambut. Bul. Agronomi. 31:89-93.
BAB. IV. EVALUASI TOLERANSI GENOTIPE PADI TERHADAP KERACUNAN BESI PADA DUA LEVEL KONSENTRASI BESI DALAM LARUTAN HARA Abstrak Penelitian bertujuan untuk 1) mempelajari pengaruh dua level konsentrasi Fe dalam larutan hara terhadap gejala keracunan besi dan pertumbuhan tanaman, 2) mempelajari mekanisme toleransi tanaman padi terhadap keracunan besi, dan 3) mendapatkan genotipe padi yang toleran atau agak toleran terhadap keracunan besi untuk ditanam di lapang. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca menggunakan media larutan hara Yoshida yang ditambah Fe sesuai perlakuan. Penelitian merupakan percobaan faktorial dengan 2 faktor yaitu konsentrasi Fe (143 dan 325 ppm) dan 20 genotipe padi. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan konsentrasi besi dari 143 ppm menjadi 325 ppm Fe meningkatkan gejala keracunan besi pada tanaman, menurunkan jumlah anakan, bobot tajuk dan bobot akar tanaman. Genotipe peka mengakumulasi Fe di daun lebih tinggi dari genotipe toleran. Genotipe toleran menahan Fe lebih banyak di permukaan akar (plak Fe) dan mempunyai ratio Fe batang/daun yang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka. Adanya kemampuan genotipe toleran untuk menahan Fe di permukaan akar menunjukkan adanya mekanisme avoidance (penghindaran) terhadap keracunan besi. Berdasarkan skor gejala keracunan besi umur 4 minggu pada perlakuan cekaman 325 ppm Fe, diperoleh 5 genotipe dengan skor terendah (agak toleran) yaitu genotipe Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4, galur TOX4136-5-1-1KY-3 dan BP1031F-PN-25-2-4-KN-2. Kata kunci : Genotipe padi, keracunan besi, konsentrasi Fe, toleransi Abstrak The objectives of experiment were : 1) to study the effect of two levels of Fe concentration in nutrient solution to the iron toxicity and plant growth, 2) to study the mechanism of the rice plant tolerance to iron toxicity, 3) to obtain most tolerant or moderate rice genotypes to iron toxicity. The experiment was conducted in a greenhouse using nutrient solution media Yoshida added Fe with appropriate treatment. The experiment was arranged in a factorial design with 2 factors: the concentration of Fe (143 and 325 ppm) and 20 genotypes of rice. The results showed that increasing in the concentration of iron increase the iron toxicity in plants, reduce the number of tillers, root weight and shoot weight. The sensitive genotypes absorb more amount of iron in the leaf than tolerant genotypes. The tolerant genotypes retain the more Fe on surface of roots (plaque Fe) and had a ratio of Fe stems/leaves higher than the sensitive genotype. The ability of tolerant genotypes to retain Fe at the root surface (Fe plaque) indicated the existence of mechanisms of avoidance to iron toxicity in the rice plants. Based on the scoring of iron toxicity symptoms at 325 ppm Fe treatment, it was obtained five genotypes wich classified rather tolerant (moderate) namely Inpara-1, Inpara-4, Inpara-2 varieties, and TOX4136-5-1-1-KY-3, BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 rice lines. Keywords: Iron toxicity, iron concentrations, tolerance, rice genotype
36
Pendahuluan Keracunan besi pada padi merupakan salah satu faktor pembatas produksi padi di lahan sawah yang telah dilaporkan terjadi secara luas di beberapa negara Asia seperti China, India, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Philipina (Ash et al. 2005). Gejala visual yang khas berhubungan dengan proses keracunan besi, terutama terjadinya akumulasi dari polyphenol teroksidasi yang disebut bronzing atau yellowing pada padi (Yamaouchi dan Yoshida 1981). Keracunan besi terjadi karena penyerapan unsur Fe+2 yang melebihi 300 ppm (Yamauchi dan Peng, 1995) yang berakibat terganggunya beberapa proses metabolisme dalam tanaman sehingga terjadi kerusakan tanaman (Bode et al. 1995). Keracunan besi pada tanaman padi yang terserang berat mengakibatkan
pertumbuhan sangat jelek,
anakan tidak tumbuh sehingga hasil yang didapatkan sangat rendah dan bahkan dapat mengakibatkan kegagalan panen (Audebert dan Sahrawat 2000) Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan tanaman padi
yang disebabkan tingginya kadar Fe di dalam tanah,
juga
berhubungan dengan berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara mineral (stres hara) P, K, Ca, Mg dan Zn yang cenderung mengurangi kemampuan oksidasi akar tanaman padi. Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan yang selalu tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe+2 hasil reduksi Fe+3 dalam tanah (Sahrawat et al. 2004). Keracunan Fe berhubungan juga dengan genotipe tanaman, penggunaan varietas yang peka seperti IR.64 menyebabkan rendahnya produktivitas padi (Suhartini 2004; Suhartini dan Makarim 2009). Menurut Audebert (2006) perbedaan antara genotipe tanaman yang peka dan toleran terhadap keracunan besi ditunjukkan dengan adanya perbedaan distribusi Fe dalam organ tanaman padi (akar, batang dan daun). Hasil penelitian Noor et al. (2006) menunjukkan varietas IR.64 yang peka memberikan hasil padi lebih rendah (58%) dibandingkan varietas yang lebih toleran (Margasari) di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dengan kadar Fe tanah 719 ppm dan pH 3.84. Menggunakan genotipe toleran Fe merupakan cara yang lebih murah dan mudah diaplikasikan oleh petani, oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang tinggi diperlukan seleksi genotipe yang mampu mentolerir
37
kondisi lingkungan yang bermasalah dengan keracunan besi dengan potensi hasil tinggi. Salah satu masalah dalam evaluasi untuk menyeleksi genotipe toleran Fe di lapang adalah apabila genotipe yang dievaluasi dalam jumlah besar, kemudian adanya keragaman kadar Fe dalam tanah, sehingga seleksi untuk membandingkan antara genotipe menjadi tidak sama (Audebert dan Sahrawat
2000).
Untuk
menghindari adanya keragaman kondisi di lapang, seleksi genotipe toleran Fe dapat dilakukan pada kondisi yang terkontrol di rumah kaca menggunakan metode kultur larutan hara (hidroponik) (Ash et al. 2005). Pemilihan metode seleksi yang tepat dengan waktu yang cepat di rumah kaca sangat penting untuk mendapatkan genotipe padi toleran untuk ditanam di lapang. Penelitian ini bertujuan untuk
1) mempelajari
pengaruh dua level
konsentrasi Fe dalam larutan hara terhadap gejala keracunan besi dan pertumbuhan tanaman, 2) mempelajari mekanisme toleransi tanaman padi terhadap gejala keracunan besi, 3) mendapatkan genotipe padi yang toleran atau agak toleran terhadap keracunan besi untuk ditanam di lapang.
Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah kaca University Farm Cikabayan, dan di laboratorium Research Group of Crop Improvement (RGCI), Institut Pertanian Bogor mulai bulan Juli sampai September 2010. Evaluasi toleransi genotipe padi terhadap keracunan besi dilakukan dalam dua kondisi cekaman lingkungan yang berbeda yaitu pada konsentrasi Fe dalam larutan hara yang menyebabkan gejala keracunan besi yang berat dan sedang pada varietas IR 64. Dari hasil penelitian sebelumnya (percobaan 1) telah diperoleh konsentrasi Fe dalam larutan yang menyebabkan gejala keracunan Fe (varietas IR 64) yaitu : ringan (skor
3) adalah
52 ppm Fe, gejala keracunan Fe sedang
(skor = 5) = 143 ppm Fe, keracunan Fe agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan gejala keracunan Fe berat (skor
9) adalah
325 ppm Fe.
Penelitian merupakan percobaan faktorial dengan 2 faktor, yaitu : Faktor 1. Konsentrasi Fe :
38
-
143 ppm Fe (Konsentrasi
Fe yang menyebabkan gejala keracunan Fe
sedang) -
325 ppm Fe (Konsentrasi
Fe yang menyebabkan gejala keracunan Fe
berat) Faktor 2. Keragaman genotipe padi (20 genotipe) : Genotipe padi yang digunakan dalam penelitian (Tabel 4.1) terdiri dari: -
genotipe yang telah dirilis untuk lahan sawah tadah hujan/irigasi (4 varietas).
-
genotipe padi yang telah dirilis untuk lahan rawa/pasang surut (8 varietas).
-
galur harapan untuk lahan rawapasang surut (8 galur).
Benih padi diperoleh dari Balai Besar Peneltian Padi (Balitpa). Tabel 4.1. Genotipe padi yang digunakan dalam penelitian No. Genotipe padi
Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Padi sawah irigasi/tadah hujan Padi sawah irigasi/tadah hujan Padi sawah irigasi/tadah hujan Padi sawah irigasi/tadah hujan Padi rawa/pasang surut Padi rawa/pasang surut Padi rawa/pasang surut Padi rawa/pasang surut Padi rawa/pasang surut Padi rawa/pasang surut Padi rawa/toleran rendaman Padi rawa/toleran rendaman
IR 64 Ciherang Inpari-1 Inpari-6 Margasari Indragiri Dendang Inpara-1 Inpara-2 Inpara-3 Inpara-4 Inpara-5 BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 B11586F-MR-11-2-2-2 BP-1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 IR72049-B-R-22-3-1-1 BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4 B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 TOX4136-5-1-1-KY-3
Galur harapan padi pasang surut Galur harapan padi pasang surut Galur harapan padi pasang surut Galur harapan padi pasang surut Galur harapan padi pasang surut Galur harapan padi pasang surut Galur harapan padi pasang surut Galur harapan padi pasang surut
Setiap perlakuan (satuan percobaan) di ulang 3 kali yang disusun dalam rancangan acak kelompok.
Padi disemai dalam bak plastik dengan media pasir
yang diberi larutan hara Yoshida (1/2 konsentrasi) dengan pH 5.0. Setelah tanaman
39
padi berumur semai 14 hari dipindahkan kedalam pot plastik yang berisi larutan hara Yoshida (konsentrasi penuh) dengan pH 4.5, setelah aklimatisasi selama 7 hari baru diberi perlakuan Fe sesuai perlakuan. Perlakuan Fe (menggunakan FeSO4) diberikan dalam dua level konsentrasi Fe, pH larutan diatur 4.0. Media tumbuh menggunakan pot plastik (PVC) yang mempunyai volume ± 1200 ml (diameter 7.5 cm dan panjang 23 cm).
Pot plastik diisi dengan larutan
sebanyak 1000 ml yang mengandung hara dan Fe sesuai perlakuan, permukaan pot ditutup untuk meminimalkan masuknya oksigen dan evaporasi pada media larutan. Kekurangan volume larutan ditambah setiap hari dengan larutan yang sama. Kultur larutan diperbaharui setiap seminggu sekali. Pengamatan yang dilakukan meliputi tingkat keracunan Fe pada tanaman padi setiap seminggu sekali sampai tanaman berumur 4 minggu (Tabel 4.2), kadar Fe dalam jaringan tanaman (tajuk), jumlah anakan, panjang akar, bobot tajuk (shoot) dan bobot akar, pada umur tanaman 4 minggu setelah tanam. Tabel 4.2. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi Skor Fe
Daun keracunan Fe (%)
Tingkat toleransi
1
0
Sangat toleran
2
1-9
Sangat toleran
3
10-29
Toleran
5
30-49
Sedang (Agak toleran)
7
50-69
Peka
9
70-89
Sangat peka
10
90-100
Sangat peka
Sumber : IRRI-INGER (1996), modifikasi Asch et al. (2005); Aung (2006)
Untuk mempelajari mekanisme toleransi tanaman padi terhadap keracunan besi dilakukan pengamatan juga pada beberapa genotipe padi yang mempunyai kisaran gejala keracunan besi yang luas dari toleran/agak toleran sampai peka/sangat peka yang meliputi : kadar Fe dalam daun, batang dan akar, dan plak besi diperakaran (permukaan akar). Genotipe padi diseleksi (dipilih) 4-5 genotipe untuk percobaan lapang berdasarkan toleransinya terhadap gejala keracunan besi (skor Fe) dan
40
pertumbuhan tanaman.
Data parameter pengamatan dianalisis secara statistik
menggunakan sidik ragam dan perbandingan rata-rata perlakuan menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil dan Pembahasan Gejala Keracunan Besi dan Kadar Besi pada Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan konsentrasi Fe dalam larutan hara, genotipe padi dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap skor gejala keracunan besi pada tanaman padi umur 1-4 minggu setelah diberi cekaman Fe (Tabel 4.3). Tabel 4.3. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan hara dan genotipe padi terhadap skor gejala keracunan besi pada tanaman umur 1-4 minggu setelah tanam Sumber Keragaman Konsentrasi Fe (K)
Skor keracunanFe (Minggu-1) **
Parameter yang diamati Skor Skor keracunan Fe keracunan Fe (Minggu-2) (Minggu-3) ** **
Skor keracunan Fe (Minggu-4) **
Genotipe padi (G) K*G
** **
** *
** *
** **
CV (%)
9.5
23.7
22.4
14.7
Ket : tn = tidak nyata, * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
Secara umum rata-rata gejala keracunan besi dari padi sawah (4 genotipe), padi rawa (8 genotipe), dan galur harapan (8 genotipe) meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Fe dan lamanya waktu pengamatan dan konsentrasi besi dalam larutan hara (Gambar 4.1). Pada cekaman 143 ppm gejala keracunan Fe pada ketiga kelompok genotipe hampir sama, kecuali pada minggu keempat keracunan Fe padi sawah terlihat lebih tinggi. Pada cekaman 325 ppm Fe padi sawah menunjukkan gejala keracunan yang lebih tinggi dibandingkan padi rawa dan galur harapan pada setiap waktu pengamatan. Rata-rata perbedaan (selisih) skor gejala keracunan besi dari perlakuan 143 ppm Fe dan 325 ppm Fe pada umur 1, 2, 3 dan 4 minggu berturutturut adalah 0.20, 1.88, 2.20, dan 3.00 (Gambar 4.1).
41
Skoring keracunan Fe
8 7
Padi sawah (143 ppm Fe)
6
Padi rawa (143 ppm Fe)
5
Galur harapan (143 ppm Fe)
4
Padi sawah (325 ppm Fe)
3
Padi rawa (325 ppm Fe)
2
Galur harapan (325 ppm Fe)
1 0 Minggu-1
Minggu-2
Minggu3
minggu-4
Waktu pengamatan
Gambar 4.1. Perubahan skor keracunan Fe dari rata-rata padi sawah, padi rawa, dan galur harapan genotipe padi pada dua level konsentrasi Fe selama 4 minggu
Perbedaan gejala keracunan besi dari 20 genotipe yang diamati pada umur 1 minggu antara dua level perlakuan konsentrasi Fe sangat sedikit yaitu pada perlakuan 143 ppm Fe berkisar antara 2.0-2.7 dan pada perlakuan 325 ppm Fe berkisar antara 2.0-3.0. Pada minggu ke 2 gejala keracunan besi meningkat tajam terutama pada perlakuan 325 ppm Fe berkisar antara 2.3-6.3 dan pada perlakuan 143 ppm Fe berkisar antara 2.0-3.0. Gejala keracunan besi umur 1 minggu pada ke 20 genotipe pada konsentrasi 143 ppm Fe dan 325 ppm Fe hanya berbeda pada varietas yang peka seperti IR 64, Ciherang dan Inpari-1. Pada umur tanaman 2 minggu pada perlakuan konsentrasi 325 ppm sebagian besar genotipe yang diuji menunjukkan skor gejala keracunan besi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan konsentrasi 143 ppm Fe (Tabel 4.4). Skor gejala keracunan besi umur 3 minggu pada perlakuan 143 ppm dan 325 ppm Fe berkisar antara 2.3-3.0 dan 3.0-7.0. Pada umur 4 minggu skor gejala keracunan besi pada perlakuan 143 ppm dan 325 ppm Fe berkisar antara 3.0-5.0 dan 5.0-8.3. Berdasarkan pengamatan skor gejala keracunan besi umur 4 minggu pada perlakuan 325 ppm Fe, genotipe padi sawah (IR.64, Ciherang, Inpari-1, Inpari-6) menunjukkan gejala keracunan yang lebih tinggi yaitu berkisar antara 7.0-8.3 (rata-rata 7.15) (Tabel 4.5).
42
Tabel 4.4. Interaksi antara genotipe dan konsentrasi Fe teradap skor gejala keracunan Fe tanaman umur 1 minggu dan 2 minggu No.
Genotipe padi
1
IR 64
2
Ciherang
3
Inpari-1
4
Inpari-6
5
Margasari
6
Indragiri
7
Dendang
8
Inpara-1
9
Inpara-2
10
Inpara-3
11
Inpara-4
12
Inpara-5
13
BP1031F-PN-25-2-4-KN-2
14
B11586F-MR-11-2-2-2
15
BP-1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3
16
B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1
17
IR72049-B-R-22-3-1-1
18
BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4
19
B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2
20
TOX4136-5-1-1-KY-3
Umur 1 minggu 143 325 ppm Fe ppm Fe 2.0 b 3.0 a B A 2.0 b 3.0 a B A 2.0 b 2.7 ab B A 2.7 a 3.0 a A A 2.0 b 2.3 bc A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.3 bc A A 2.0 b 2.3 bc A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A 2.0 b 2.0 c A A
Umur 2 minggu 143 ppm Fe 2.7 a B 3.0 a B 2.7 a B 3.0 a B 3.0 a B 2.7 a B 2.7 a
325 ppm Fe 6.3 a A 5.7 ab A 5.0 abc A 5.7 ab A 5.0 abc A 4.3 bcd A 4.3 bcd
2.7 B 3.0 A 2.7 B 2.0 A 2.0 B 2.3 A 2.0 B 2.0 A 2.0 B 3.0 B 2.7 B 2.0 A 2.0 A
4.3 A 3.7 A 5.0 A 3.0 A 5.0 A 3.7 A 5.0 A 3.0 A 4.3 A 4.3 A 4.3 A 2.7 A 2.3 A
a a a a a a a a a a a a a
bcd bcd abc def abc bcd abc def bcd bcd bcd f f
Keterangan : angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama dan huruf besar yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
43
Tabel 4.5. Interaksi antara genotipe dan konsentrasi Fe terhadap skor gejala keracunan Fe tanaman umur 3 minggu dan 4 minggu No.
Genotipe padi
1
IR 64
2
Ciherang
3
Inpari-1
4
Inpari-6
5
Margasari
6
Indragiri
7
Dendang
8
Inpara-1
9
Inpara-2
10
Inpara-3
11
Inpara-4
12
Inpara-5
13
BP1031F-PN-25-2-4-KN-2
14
B11586F-MR-11-2-2-2
15
BP-1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3
16
B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1
17
IR72049-B-R-22-3-1-1
18
BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4
19
B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2
20
TOX4136-5-1-1-KY-3
Umur 3 minggu 143 325 ppm Fe ppm Fe
Umur 4 minggu 143 325 ppm Fe ppm Fe
3.0 B 3.0 B 3.0 B 3.0 B 3.0 B 3.0 A 3.0 A 3.0 B 2.3 B 3.0 B 2.3 B 3.0 B 3.0 A 2.3 B 3.0 B 3.0 A 3.0
6.3 A 6.3 A 5.7 A 7.0 A 5.7 A 4.3 A 4.3 A 5.0 A 5.0 A 5.0 A 3.7 A 6.3 A 4.3 A 5.0 A 5.0 A 4.3 A 5.7
2.3 B 2.3 A 2.3 A
5.7 abc A 3.7 def A 3.0 ef A
5.0 B 4.3 B 3.7 B 3.7 B 3.0 B 3.0 B 3.0 B 3.0 B 3.0 B 3.7 B 3.0 B 4.3 B 3.0 B 3.7 B 3.0 B 3.7 B 3.0 B 3.7 B 3.0 B 3.0 B
ab ab abc a abc cde cde bcd bcd bcd def ab cde bcd bcd cde abc
a ab ab ab b b b b b ab b ab b ab b ab b ab b b
7.7 A 6.3 A 7.0 A 8.3 A 5.7 A 6.3 A 6.3 A 5.0 A 5.0 A 6.3 A 5.0 A 7.0 A 5.0 A 7.0 A 7.0 A 7.0 A 5.7 A 7.0 A 5.7 A 5.0 A
ab bcd abc a cde bcd bcd def def bcd def abc def abc abc abc cde abc cde def
Keterangan : angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama dan huruf besar yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
44
Skor gejala keracunan besi genotipe padi rawa pada umur 4 minggu berkisar antara 5.0-7.0 (rata-rata 5.83), sedangkan keracunan besi pada galur padi pasang surut berkisar antara 5.0-7.0 (rata-rata 6.18). Gejala keracunan besi umur 4 minggu semua
genotipe padi
pada perlakuan 325 ppm Fe
lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi 143 ppm Fe (Tabel 4.5). Hasil analisis kadar besi dalam tajuk tanaman padi berkorelasi positif (r = 0.71**) dengan skor gejala keracunan besi umur tanaman 4 minggu. Semakin tinggi kadar Fe dalam tanaman padi semakin tinggi skor gejala keracunan besi. Walaupun kadar besi dalam tanaman selain dipengaruhi oleh kadar Fe dalam larutan juga dipengaruhi oleh perbedaan toleransi genotipe padi. Kadar besi dalam tajuk tanaman padi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi besi dalam larutan hara. Kadar besi tanaman pada perlakuan 143 ppm berkisar antara 9542904 ppm Fe, sedangkan pada perlakuan 325 ppm Fe kadar Fe tanaman berkisar antara 1426-3695 ppm. (Gambar 4.2). 143 ppm Fe
325 ppm Fe
9 r = 0.71**, n = 40
Skor keracunan Fe
8 7 6 5 4 3 2 1 0
1000
2000
3000
4000
Kadar Fe tanaman (ppm)
Gambar 4.2. Hubungan antara kadar Fe tajuk 20 genotipe padi dengan skor gejala keracunan Fe yang diberi cekaman Fe 143 ppm dan 325 ppm Fe pada umur tanaman 4 minggu
Konsentrasi Fe dalam jaringan tanaman selain berkorelasi dengan gejala keracunan besi, juga berkorelasi negatif dengan pertumbuhan tanaman (Mehraban et al. (2008). Hasil penelitian Audebert (2006); Suhartini dan Makarim (2009), menunjukkan skor gejala keracunan besi berkorelasi negatif dengan hasil padi.
45
Mekanisme
keracunan besi pada padi dimulai dari meningkatnya
permeabilitas sel-sel akar terhadap ion Fe2+ seiring dengan meningkatnya proses reduksi Fe di daerah perakaran tanaman, sehingga penyerapan ion ferro meningkat pesat.
Reduksi Fe3+
yang terjadi di daerah perakaran secara terus menerus
menyebabkan rusaknya sistem oksidasi Fe akar tanaman sehingga influks Fe2+ tidak terkendali masuk dalam perakaran padi (Makarim et al. 1989). Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan keracunan besi pada padi disebabkan karena tingginya konsentrasi Fe dalam jaringan tanaman. Fageria et al. (1981) melaporkan tingkat kadar Fe dalam tanaman yang menunjukkan gejala keracunan Fe adalah 680 ppm Fe pada umur tanaman 20 hari dan 850 ppm pada umur tanaman 40 hari, walaupun keracunan Fe tergantung varietas tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan konsentrasi Fe dalam larutan hara dan larutan tanah yang menyebabkan keracunan Fe pada tanaman sangat beragam. Tingkat kadar Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan bervariasi sangat luas berkisar antara 10-500 ppm Fe (Bode et al. 1995; Ash et al. 2005; Fageria dan Rabelo 1987). Konsentrasi Fe dalam tanah yang menyebabkan keracunan besi bervariasi dengan pH dalam larutan tanah (Sahrawat 2004). Pada pH tanah di bawah 5.0
mudah terjadi keracunan besi pada tanaman (Dobermann
dan
Fairhurst 2000). Batas kritis konsentrasi Fe yang menyebabkan keracunan besi adalah sekitar 100 ppm pada pH 3.7 dan 300 ppm atau lebih tinggi pada pH 5.0 (Sahrawat et al. 1996). Hasil penelitian Majerus et al. (2007) dan Mehraban et al. (2008) menunjukkan konsentrasi Fe dalam larutan hara 250-500 ppm dengan pH 4.5-6.0 meningkatkan secara nyata kadar Fe dalam jaringan tanaman dan menunjukkan gejala keracunan Fe pada tanaman yang peka. Menurut Breemen dan Moormann (1978) konsentrasi Fe dalam larutan tanah 300-400 ppm Fe menyebabkan keracunan besi pada tanaman padi. Sebaran Kadar Fe dalam Bagian Tanaman Untuk menjelaskan mekanisme toleransi tanaman padi terhadap gejala keracunan besi, dari 20 genotipe padi yang diteliti diambil 8 genotipe padi yang
46
mempunyai kisaran cukup luas terhadap gejala keracunan besi. Analisis
besi
dilakukan secara partisi (terpisah) terhadap bagian tanaman pada genotipe yang peka-sangat peka yaitu IR.64, Ciherang Inpari-6, dan galur B11586F-MR-11-2-22 (skor keracunan Fe 6.3-8.3) dan genotipe agak toleran-toleran yaitu Margasari, Inpara-2, Inpara-4 dan B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 (skor keracunan Fe 5.0-5.7). Konsentrasi besi dalam tanaman yang diberi perlakuan 325 ppm Fe dianalisis secara terpisah untuk melihat sebarannya dalam bagian daun, batang, akar dan plak besi diperakaran tanaman. Hasil analisis kadar (konsentrasi) besi secara partisi menunjukkan genotipe padi yang peka mempunyai konsentrasi besi yang lebih tinggi pada bagian daun (1778-3184 ppm) dibandingkan genotipe yang agak toleran-toleran (1095-1334 ppm). Konsentrasi besi pada bagian batang untuk genotipe peka berkisar antara 1508-3465 ppm dan yang agak toleran berkisar antara 1999-2299 ppm. Plak besi diperakaran tanaman padi (Gambar 4.3) pada kelompok genotipe yang peka menunjukkan konsentrasi besi yang lebih rendah (9450-17850 ppm, Gambar 4.3a) dibandingkan genotipe yang agak toleran (16900-27800 ppm, Gambar 4.3b). Konsentrasi besi dalam akar padi genotipe peka berkisar antara 23000-29900 ppm, sedangkan pada genotipe agak toleran berkisar antara 17500-28500 ppm (Tabel 4.6).
(a)
(b)
Gambar 4.3. Penampilan akar tanaman padi yang menunjukkan plak Fe yang rendah (a), dan akar dengan plak Fe dipermukaan akar yang tinggi (b)
47
Perbandingan antara konsentrasi Fe dalam batang dan daun menunjukkan semakin tinggi proporsi perbandingan semakin rendah skor gejala keracunan besi. Pada genotipe yang peka-sangat peka perbandingan Fe batang/daun lebih rendah (0.85-1.30) dibandingkan genotipe yang agak toleran (1.70-1.92). Hampir semua genotipe yang diuji, baik yang agak toleran atau peka menunjukkan konsentrasi Fe dalam batang lebih tinggi dibandingkan dalam daun, kecuali galur B11586F-MR11-2-2-2. (Tabel 4.6). Tabel 4.6. Konsentrasi Fe pada bagian tanaman 8 genotipe padi pada perlakuan konsentrasi 325 ppm Fe pada umur tanaman 4 minggu No. Genotipe
Fe Daun (ppm)
Fe Batang (ppm)
Fe batang/ daun
1 2
IR 64 Ciherang
2,526 b 1,902 c
2,738 b 2,469 b
1.08 bc 1.30 b
9,450 d 13,350 cd
25,500 abc 28,500 ab
7.7 6.3
3
Inpari-6
3,184 a
3,465 a
1.09 bc
13,500 bcd
29,900 ab
8.3
4
1,778 cd
1,508 c
0.85 c
17,850 bc
23,000 abc
7.0
5
B11586F-MR-112-2-2 Margasari
1,095 e
2,006 bc
1.83 a
19,300 b
31,500 a
5.7
6
Inpara-2
1,334 de
2,262 b
1.70 a
18,850 bc
28,500 ab
5.0
7
Inpara-4
1,197 e
2,299 b
1.92 a
27,800 a
20,500 bc
5.0
8
B10387F-MR-76-KN-3-KY-2
1,127 e
1,999 bc
1.77 a
16,900 bc
17,500 c
5.7
Plak Fe (ppm)
Fe dalam akar (ppm)
Skor keracunan Fe
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Besi pada bagian dalam akar menunjukkan kecenderungan genotipe yang peka menyerap Fe lebih tinggi dari genotipe agak toleran. Kondisi ini mengindikasikan besi di dalam akar dan batang merupakan mediator transport Fe ke bagian daun, sehingga semakin tinggi kadar Fe dalam akar dan batang akan semakin banyak ditransfer ke bagian daun. Walaupun hampir semua genotipe yang diuji menunjukkan konsentrasi Fe yang lebih tinggi di bagian batang, namun ratio antara konsentrasi Fe bagian batang dengan daun pada genotipe yang agak toleran lebih tinggi dibandingkan genotipe yang peka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konsentrasi Fe pada bagian organ akar lebih tinggi dari pada bagian daun maupun batang tanaman padi. Konsentrasi Fe pada permukaan akar (plak Fe) 3.7-23.2 kali lebih tinggi dan konsentrasi Fe pada bagian dalam akar tanaman 9.4-28.8 kali lebih tinggi
48
dibandingkan konsentrasi Fe pada bagian daun tanaman padi. Konsentrasi plak Fe dipermukaan akar genotipe toleran seperti Inpara-4 (27800 ppm) lebih tinggi dibandingkan genotipe yang peka seperti IR.64 (9450 ppm), sedangkan Fe daun genotipe toleran lebih rendah (Tabel 4.6). Ratio Fe batang/daun yang lebih tinggi pada genotipe toleran menunjukkan adanya kemampuan yang lebih besar dari genotipe toleran untuk menahan Fe di bagian batang untuk mencegah terjadinya kelebihan Fe atau konsentrasi Fe yang tinggi pada daun sehingga tanaman terhindar dari keracunan Fe. Konsentrasi Fe yang tinggi dalam sel daun menyebabkan terganggunya proses metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat mempengaruhi dan menghambat pertumbuhan tanaman. Jumlah besi yang diserap oleh tanaman padi lebih banyak
berada di
perakaran tanaman dibandingkan pada bagian atas tanaman. Jumlah besi dalam daun berkisar antara 1.1-2.1 mg, dalam batang 0.9-2.1 mg, dipermukaan akar
35
70
30
60
25
50
20
40
15
30
10
20
5
10
0
0
Persentase Fe akar (%)
Jumlah Fe pada bagian tanaman (mg)
(plak Fe) 5.1-14.7 mg dan dalam akar 7.5-16.2 mg (Gambar 4.4).
Fe dlm akar Plak Fe Fe Batang Fe Daun % Plak Fe % Fe dlm akar
Genotipe padi Gambar 4.4. Proporsi sebaran kadar Fe bagian atas tanaman dan bagian akar pada 8 genotipe padi yang diberi cekaman 325 ppm Fe pada tanaman umur 4 minggu
49
Berdasarkan total kadar Fe pada tanaman padi, 82-91 % Fe berada pada bagian akar, yang terdiri dari Fe pada bagian permukaan akar (plak Fe) berkisar antara 23-51% dan Fe di dalam akar berkisar antara 38-61%. Padi sawah yang lebih peka terhadap keracunan besi (IR 64, Ciherang, Inpari-6) mempunyai persentase plak besi yang lebih rendah dan persentase kadar besi dalam akar yang lebih tinggi dibandingkan padi rawa yang lebih toleran (Margasari, Inpara-2, Inpara-4). Genotipe padi toleran Fe Inpara-4 mempunyai
kadar plak Fe
dipermukaan akar paling tinggi 14.7 mg (51%), sedangkan genotipe padi peka Fe IR 64 mempunyai kadar plak Fe terendah 5.1 mg (23%) (Gambar 4.4). Becker dan Ash (2005) membedakan tiga tipe utama strategi adaptasi tanaman terhadap keracunan besi yang terdiri dari mekanisme avoidance dan toleransi : (1) strategi I (ekslusi/avoidance) mengeluarkan atau menahan Fe pada level akar sehingga menghindarkan Fe+2 merusak jaringan tajuk (oksidari di daerah perakaran dan selektivitas ion pada akar), (2) strategi II (inklusi/avoidance), Fe+2 diserap kedalam akar padi, tapi kerusakan jaringan dapat terhindar dengan kompartmentasi (imobilisasi dari Fe aktif dalam tempat pembuangan, seperti daun tua atau jaringan daun yang kurang aktif melakukan fotosintetis) atau mengeluarkan dari symplast (imobilisasi dalam daun apoplas), (3) strategi III (inklusi/toleransi), tanaman secara nyata mentolerir kadar Fe+2 yang meningkat dalam sel-sel daun, mungkin melalui detoksifikasi enzimatik dalam simplas. Berdasarkan analisis kadar Fe dalam bagian tanaman padi secara terpisah, keracunan besi sangat dipengaruhi oleh konsentrasi Fe di dalam daun, ratio Fe batang/daun dan plak Fe. Korelasi skor gejala keracunan besi dari yang tertinggi beruturut-turut yaitu berkorelasi positif dengan kadar Fe pada bagian daun (r =0.89**), berkorelasi negatif dengan ratio antara Fe di batang dan daun (r = 0.84**), Fe dipermukaan akar (plak Fe) (r = 0.63**), berkorelasi positif dengan Fe bagian batang (r = 0.51*). Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi tidak berkorelasi dengan kadar Fe dalam akar tanaman. Hasil ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi Fe di dalam daun padi semakin tinggi tingkat keracunan Fe. Sebaliknya dengan konsentrasi Fe pada permukaan akar (plak besi), semakin tinggi plak besi semakin rendah keracunan besi (Tabel 4.7).
50
Tabel 4.7. Korelasi antara kadar Fe dalam bagian tanaman dengan skor gejala keracunan Fe Paramater
Fe Daun
Fe Batang
Plak Fe
Fe Akar
Fe Btg/Daun
Skor keracunan Fe
Fe Daun
1.00
0.78**
-0.62**
0.34tn
-0.72**
0.89**
Fe Batang
0.78**
1.00
-0.37tn
0.38tn
-0.15tn
0.51 *
1.00
-0.22tn
0.57tn
-0.63**
1.00
-0.19tn
0.37tn
1.00
-0.84**
Plak Fe
-0.62**
-0.37tn
Fe Akar
0.34tn
0.38tn
-0.72**
-0.15tn
0.89**
0.51 *
Fe Btg/Daun Skor keracunanFe
-0.22tn
0.56 * -0.19tn -0.63**
0.37tn
-0.84**
1.00
Keterangan : n = 16, * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Hasil penelitian Audebert (2006) menunjukkan adanya perbedaan distribusi Fe dalam organ tanaman padi (akar, batang dan daun). Pada genotipe toleran (CK4) lebih banyak menimbun Fe di batang (2300 ppm) dan lebih sedikit di daun (1420 ppm), sebaliknya pada genotipe yang peka (Tox369) lebih banyak di daun (3420 ppm Fe) dan sedikit di batang (3140 ppm Fe). Genotipe yang sangat peka tidak mempunyai mekanisme penghambat (barrier) Fe diantara organ yang berbeda dan kandungan Fe lebih tinggi dalam semua organ, hal ini menunjukkan genotipe sensitif tidak mempunyai selektivitas Fe diantara organ tanaman. Kemampuan padi untuk mengatasi Fe eksternal tinggi mungkin adalah hasil dari strategi penghindaran (avoidance) dan atau toleransi jaringan. Avoidance pada padi mungkin berhubungan dengan kemampuan oksidasi Fe+2 menjadi Fe+3 pada permukaan akar, sehingga membentuk endapan jingga yang khas yang dikenal sebagai “iron plaque” (Asch et al. 2005). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan lebih efisiennya genotipe toleran dari pada genotipe peka karena menahan lebih banyak Fe di perakaran tanaman. Konsentrasi besi yang rendah dalam tajuk (shoot) juga diperkirakan adalah mekanisme avoidance
yang
bermanfaat dalam memberikan kontribusi pertahanan tanaman seperti yang telah dikemukan oleh Audebert dan Sahrawat (2000). Hasil penelitian Aung (2006) juga menunjukkan genotipe ITA 320 dan Shwewar Tun tergolong sebagai genotipe toleran-avoidance, karena mampu menghindari tingginya kadar Fe di daun dengan cara menahan Fe di daerah perakaran tanaman. Terjadinya pembentukan endapan plak besi di perakaran menunjukkan adanya daya oksidasi akar tanaman padi yang lebih tinggi dalam
51
upaya menghindari lebih banyaknya Fe diserap oleh tanaman.
Kemampuan
oksidasi akar tanaman memainkan peranan penting dalam mengatasi keracunan besi pada tanaman padi.
Adanya kemampuan oksidasi Fe dipermukaan akar
merupakan salah satu mekanisme tanaman dalam mengatasi keracunan besi (Ando 1983). Kekuatan oksidasi akar dihubungkan dengan sifat toleransi karena plak Fe di perakaran dapat bertindak sebagai penghalang diserapnya logam Fe (Liu 2005) Oksidasi Fe di perakaran terjadi karena molekul oksigen disalurkan dari atmosfer melalui batang ke dalam akar melalui saluran gas aerenchima. Pembentukan aerenchima tergantung pada peningkatan produksi etilen yang dirangsang oleh adanya penggenangan
(Kawase
1981).
Aerenchima yang
terbentuk dapat mencapai 20-50% dari total volume akar padi yang tergenang (Amstrong 1979). Pembentukan aerenchima dimulai pada umur tanaman 2-4 minggu, dan daya oksidasi akar tertinggi terjadi pada tahap pembentukan anakan maksimum (Tadano 1975). Pertumbuhan Tanaman Perlakuan konsentrasi Fe dalam larutan hara dan genotipe padi berpengaruh terhadap jumlah anakan, bobot kering tajuk, dan bobot kering akar tanaman padi, tetapi interaksi antara keduanya tidak nyata. Konsentrasi Fe dalam larutan hara dan genotipe padi tidak berpengaruh terhadap panjang akar tanaman padi (Tabel 4.8). Tabel 4.8. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan hara dan genotipe padi terhadap pertumbuhan tanaman umur 4 minggu setelah tanam Sumber Keragaman
Parameter yang diamati Jumlah anakan
Bobot tajuk
Bobot akar
Panjang akar
Konsentrasi Fe (K)
**
**
**
tn
Genotipe padi (G)
**
**
**
tn
K*G
tn
tn
tn
tn
9.6 19.5 13.7 CV (%) Ket : tn = tidak nyata, * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
19.2
Peningkatan konsentrasi Fe dari 143 ppm menjadi 325 ppm menurunkan jumlah anakan dari rata-rata 7.0 menjadi 6.1. Rata-rata jumlah anakan dari 20 genotipe padi berkisar antara 5.8-7.5. Rata-rata jumlah anakan genotipe padi rawa (6.2-7.5) dan galur pasang surut (5.8-7.3) dan padi sawah (6.3-6.8). Peningkatan
52
konsentrasi Fe dalam larutan dari 143 pmm menjadi 325 ppm menurunkan berat kering tajuk dari 2.41 g menjadi 1.70 g. Bobot kering tajuk padi sawah berkisar antara 1.54-1.97 g, sedangkan padi rawa 1.60-2.44 g, dan galur harapan 1.58-3.12 g (Tabel 4.9). Tabel 4.9. Jumlah anakan tanaman dan bobot kering tajuk tanaman pada konsentrasi 143 dan 325 ppm Fe Jumlah anakan No.
Genotipe
143
325
Rata- rata
(ppm Fe)
BK. Tajuk (g) 143
325
Rata-rata
(ppm Fe)
1
IR 64
7.0
5.7
6.3 cde
2.53
1.40
1.97 bcdef
2
Ciherang
7.0
5.7
6.3 cde
2.00
1.43
1.72 cdef
3
Inpari-1
7.3
6.3
6.8 abcd
2.13
1.27
1.70 def
4
Inpari-6
7.0
5.7
6.3 cde
1.90
1.19
1.54 fde
5
Margasari
6.7
6.0
6.3 cde
2.27
1.67
1.97 bcdef
6
Indragiri
6.7
5.7
6.2 de
1.93
1.27
1.60 ef
7
Dendang
6.7
6.3
6.5 bcde
2.17
1.63
1.60 ef
8
Inpara-1
8.0
7.0
7.5 a
2.27
1.97
2.12 bcde
9
Inpara-2
8.3
6.7
7.5 a
2.93
1.95
2.44 b
10
Inpara-3
7.3
6.7
7.0 abc
2.47
1.87
2.17 bcd
11
Inpara-4
8.0
7.0
7.5 a
2.60
1.90
2.25 bc
12
Inpara-5
6.7
5.7
6.2 cde
2.07
1.23
1.65 fde
13
BP1031F-PN-25-2-4-KN-2
7.7
6.3
7.0 abc
3.10
1.90
2.50 b
14
B11586F-MR-11-2-2-2
6.3
5.7
5.8 e
1.80
1.37
1.58 ef
15
BP-1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3
6.0
5.0
5.7 e
2.73
2.02
2.38 b
16
B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1
6.3
5.7
6.0 e
2.63
1.53
2.08 bcdef
17
IR72049-B-R-22-3-1-1
7.3
6.3
6.8 abcd
2.70
1.87
2.28 b
18
BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4
6.7
6.0
6.3 cde
2.63
1.53
2.08 bcdef
19
B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2
6.7
6.3
6.5 bcde
2.47
2.13
2.30 b
20
TOX4136-5-1-1-KY-3 Rata-rata
7.7 7.0 7.0a 6.1b
7.3 ab
3.40 2.83 3.12 a 2.41a 1.70b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Peningkatan konsentrasi Fe dari 143 ppm menjadi 325 ppm menurunkan bobot kering akar dari 0.60 g menjadi 0.49 g. Bobot akar padi sawah berkisar antara 0.46-0.55, padi rawa 0.42-0.65 g, dan galur harapan 0.46-0.70 g (Tabel 4.10). Panjang akar tanaman tidak dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi besi dan genotipe padi. Rata-rata panjang akar genotipe padi berkisar antara 14.3-18.0
53
cm.
Rata-rata panjang akar tanaman pada perlakuan 143 ppm Fe 16.9 cm,
sedangkan pada perlakuan 325 ppm Fe 16.2 cm (Tabel 4.10). Tabel 4.10. Bobot kering akar dan panjang akar tanaman pada pada konsentrasi 143 dan 325 ppm Fe
No.
Genotipe
BK. Akar (g) 325 Ratarata (ppm Fe)
Panjang akar (cm) 143 325 Ratarata (ppm Fe)
0.55 abcd 0.51 bcd 0.46 cd
15.7
15.4
15.5
17.3
14.4
15.9
16.1
14.3
15.2
0.50 bcd 0.49 bcd
18.0
17.2
17.6
17.2
17.7
17.4
0.46 cd 0.49 bcd
16.0
14.3
15.2
18.3
15.3
16.8
0.65 ab 0.57 abcd
17.0
15.7
16.4
15.4
15.1
15.3
0.42 d 0.54 abcd
14.2
14.5
14.3
16.1
17.7
16.9
0.64 abc 0.70 a
18.0
14.3
16.2
17.7
17.0
17.3
0.46 cd 0.65 ab
15.9
16.7
16.3
17.7
17.7
17.7
0.50 bcd 0.48 bcd
17.8
17.0
17.4
16.3
17.0
16.6
17.2
15.7
16.4
17.2 18.4
18.7 17.6
17.9 18.0
143
1
IR 64
2
Ciherang
0.60 0.50 0.58 0.43
Inpari-1
0.55 0.37
4
Inpari-6
0.58 0.42
5
Margasari
0.53 0.45
Indragiri
0.55 0.37
Dendang
0.57 0.40
8
Inpara-1
0.67 0.63
9
Inpara-2
0.57 0.57
Inpara-3
0.47 0.37
Inpara-4
0.55 0.53
12
Inpara-5
0.70 0.57
13
BP1031F-PN-25-2-4-KN-2
0.80 0.60
B11586F-MR-11-2-2-2
0.50 0.42
BP-1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3
0.70 0.60
16
B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1
0.53 0.47
17
IR72049-B-R-22-3-1-1
0.52 0.43
BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4
0.73 0.50
B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2 TOX4136-5-1-1-KY-3
0.50 0.43
0.62 abc 0.47 bcd
0.70 0.70
0.70 a
3
6 7
10 11
14 15
18 19 20
Rata-rata
0.60a 0.49b
16.9
16.2
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Peningkatan konsentrasi Fe dalam larutan menyebabkan penurunan pertumbuhan tanaman padi. Bobot kering tajuk cenderung lebih dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi Fe dari 143 ppm menjadi 325 ppm dibandingkan jumlah anakan dan bobot kering akar. Peningkatan konsentrasi Fe menurunkan jumlah anakan 6.0-19.3%, bobot kering tajuk 13.8-44.7%, dan bobot kering akar 0-32.7%. Pada varietas yang peka seperti IR 64 peningkatan konsentrasi Fe menurunkan, bobot kering tajuk 44.7% jumlah anakan 18.6% dan bobot kering akar 16.7%. Penurunan pertumbuhan tanaman akibat peningkatan konsentrasi Fe dalam larutan
54
pada genotipe agak toleran-toleran terhadap keracunan Fe umumnya lebih rendah dibandingkan genotipe peka-sangat peka terhadap keracunan Fe (Gambar 4.5). BK. Tanaman
BK. Akar
Skoring keracunan Fe
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
9 8 7 6 5 4 3 2 1
Skor keracunan Fe
Penurunan Pertumbuhan (%)
Anakan
Genotipe padi Gambar 4.5. Persentase penurunan pertumbuhan tanaman sebagai akibat peningkatan cekaman Fe dari 143 ppm menjadi 325 ppm Fe
Korelasi antara Gejala Keracunan Fe dengan Pertumbuhan Tanaman Skor gejala
keracunan besi berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman,
mulai pada pengamatan skor Fe minggu 1-4 untuk bagian atas tanaman (jumlah anakan dan bobot kering tajuk), sedangkan untuk bagian akar tanaman berkorelasi dengan skor keracunan besi mulai minggu ke dua sampai minggu ke empat. Pada pengamatan minggu ke 4 gejala keracunan besi lebih berkorelasi negatif dengan bobot kering tajuk (r = 0.79**), kemudian diikuti oleh jumlah anakan r = 0.75**), bobot kering akar (r = 0.56**) dan paling rendah dengan panjang akar (r = 0.33**) (Tabel 4.11). Hasil penelitian menunjukkan keracunan besi pada tanaman lebih berpengaruh terhadap bagian atas tanaman (bobot kering tanaman dan jumlah anakan) dibandingkan akar tanaman, yang dapat dilihat dari penurunan pertumbuhan (Gambar 4.4) dan korelasi antara gejala keracunan besi dengan
55
pertumbuhan tanaman (Tabel 4.11). Menurut Fageria (1988), biomas bagian atas tanaman dapat lebih dipengaruhi oleh kendala keracunan Fe dari pada biomas akar. Tabel 4.11. Korelasi antara skor keracunan Fe dengan pertumbuhan tanaman padi Skor keracunan Fe
Pertumbuhan tanaman BK. Tajuk BK. Akar -0.51** -0.29tn
Skor keracunan Fe (minggu-1)
Jl. Anakan -0.37*
Pj. Akar -0.21tn
Skor keracunan Fe (minggu-2)
-0.57**
-0.78**
-0.61**
-0.51**
Skor keracunan Fe (minggu-3)
-0.68**
-0.78**
-0.52**
-0.38*
Skor keracunan Fe (minggu-4)
-0.75**
-0.79**
-0.56**
-0.33*
Keterangan : * = nyata, ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Perlakuan cekaman Fe dalam larutan hara 143 dan 325 ppm menyebabkan tanaman keracunan besi terutama pada genotipe yang peka yang berakibat terganggunya pertumbuhan tanaman padi. Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan tanaman
juga berhubungan dengan
berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara mineral mengurangi kemampuan oksidasi akar tanaman
yang cenderung
padi (Sahrawat et al. 2004).
Keracunan Fe berhubungan juga dengan genotipe tanaman, penggunaan varietas yang peka seperti IR 64 menyebabkan rendahnya produktivitas padi (Suhartini 2004).
Menurut Audebert
(2006), besi ferro yang diserap tanaman dan
terkonsentrasi pada daun mengakibatkan discolaration pada daun, mengurangi jumlah anakan dan secara nyata mengurangi hasil. Penurunan hasil padi karena keracunan besi juga disebabkan karena terganggunya proses metabolisme di dalam tanaman yang berakibat terjadinya perubahan karakter agronomi maupun fisiologi dalam tanaman padi. Gejala keracunan besi dapat terjadi pada tahap pertumbuhan yang berbeda dan dapat mempengaruhi padi pada tahap tanaman muda, selama seluruh tahap pertumbuhan vegetatif, dan tahap reproduktif. Keracunan pada tahap vegetatif menyebabkan menurunnya tinggi dan bobot kering tanaman.
Pembentukan
anakan dan jumlah anakan produktif secara drastis menurun (Fageria 1988).
56
Ranking Genotipe Padi Toleran Fe Berdasarkan skor gejala keracunan besi umur 4 minggu pada perlakuan cekaman 143 ppm Fe diperoleh 17 genotipe tergolong toleran (skor 3.0-3.7). Dari 17 genotipe yang toleran terdapat 11 genotipe mempunyai skor terendah (3.0) dengan jumlah anakan bervariasi antara 6.0-8.3 (Tabel 4.12).
Tabel 4.12. Ranking toleransi genotipe padi berdasarkan skor keracunan Fe umur 4 minggu dan jumlah anakan pada perlakuan konsentrasi 143 ppm dan 325 ppm Fe 325 ppm Fe
143 ppm Fe No
Genotipe
Skor Fe
Jumlah Jumlah Ranking Skor Fe Ranking Anakan Anakan
1
IR 64
5.0
7.0
20
7.7
5.7
19
2
Ciherang
4.3
3
Inpari-1
3.7
7.0
18
6.3
5.7
11
7.3
12*
7.0
6.3
13
4
Inpari-6
5
Margasari
3.7
7.0
14*
8.3
5.7
20
3.0
6.7
7*
5.7
6.7
8
6
Indragiri
3.0
6.7
8*
6.3
5.7
12
7
Dendang
3.0
6.7
9*
6.3
6.3
10
8
Inpara-1
3.0
8.0
2*
5.0
7.0
1*
9
Inpara-2
3.0
8.3
1*
5.0
6.7
4*
10
Inpara-3
3.7
7.3
13*
6.3
6.7
9
11
Inpara-4
3.0
8.0
3*
5.0
7.0
2*
12
Inpara-5
4.3
6.7
19
7.0
5.7
15
13
BP1031F-PN-25-2-4-KN-2
3.0
7.7
4*
5.0
6.3
5*
14
B11586F-MR-11-2-2-2
3.7
6.3
16*
7.0
5.7
16
15
BP-1027F-PN-1-2-1-KN-MR-3-3
3.0
6.0
11*
7.0
5.7
18
16
B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1
3.7
6.3
17*
7.0
6.0
17
17
IR72049-B-R-22-3-1-1
3.7
7.3
6*
5.7
6.3
6*
18
BP367E-MR-42-4-PN-3-KN-MR-4
3.7
6.7
15*
7.0
6.0
14
19
B10387F-MR-7-6-KN-3-KY-2
3.0
6.7
10*
5.7
6.3
7*
20
TOX4136-5-1-1-KY-3
3.0
7.7
5*
5.0
7.0
3*
Keterangan * = Genotipe yang toleran/agak toleran
Berdasarkan skor keracunan besi pada cekaman 143 ppm ini sangat banyak genotipe terpilih yang tergolong toleran, sehingga kurang efektif sebagai dasar untuk pemilihan genotipe. Dari 11 genotipe dengan skor yang sama (3.0), kalau mempertimbangkan jumlah anakan yang lebih banyak
dapat diseleksi lagi 5
genotipe yaitu Inpara-2 (jumlah anakan 8.3), Inpara-1 (jumlah anakan 8.0), Inpara-
57
4 (8.0), BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 (7.7), dan TOX4136-5-1-1-KY-3 (jumlah anak 7.7) (Tabel 4.12). Berdasarkan skor gejala keracunan besi umur 4 minggu pada perlakuan cekaman 325 ppm Fe diperoleh 11 genotipe agak toleran (skor 5.0-5.7), dengan 5 genotipe dengan skor yang terendah (skor 5.0). Toleransi kelima genotipe terhadap keracunan besi tergolong agak toleran (sedang) yaitu genotipe Inpara-1 (jumlah anakan 7.0), Inpara-4 (jumlah anakan 7.0), galur TOX4136-5-1-1-KY-3 (jumlah anakan 7.0), Inpara-2 (jumlah anakan 6.7), dan galur BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 (jumlah anakan 6.3) (Tabel 4.12) Kalau dilihat dari penurunan bobot kering sebagai akibat peningkatan perlakuan cekaman Fe dari kelima genotipe, Inpara-1 mempunyai penurunan bobot kering yang terendah (13.2%), TOX4136-5-1-1-KY-3 (16.8%), Inpara-4 (26.9%), Inpara-2 (33.4%) dan tertinggi adalah galur BP1031F-PN-25-2-4-KN-2 (38.7%) (Gambar 4.4).
Kesimpulan 1. Peningkatan konsentrasi besi dari 143 ppm menjadi 325 ppm Fe meningkatkan gejala keracunan besi pada tanaman, menurunkan jumlah anakan, bobot tajuk dan bobot akar tanaman. 2. Genotipe peka mengakumulasi Fe di daun lebih tinggi dari genotipe toleran. Genotipe toleran menahan Fe lebih banyak di permukaan akar (plak Fe) dan mempunyai ratio Fe batang/daun yang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka. Adanya kemampuan genotipe toleran untuk menahan Fe di permukaan akar menunjukkan adanya mekanisme avoidance (penghindaran) terhadap keracunan besi. 3. Berdasarkan skor gejala keracunan besi umur 4 minggu pada perlakuan cekaman 325 ppm Fe, diperoleh 5 genotipe dengan skor terendah
(agak
toleran) yaitu genotipe Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4, galur TOX4136-5-1-1KY-3 dan BP1031F-PN-25-2-4-KN-2.
58
Daftar Pustaka Armstrong W. 1979. Aeration in higher plants. Adv. Bot. Res. 7 : 226-332. Ando T. 1983. Nature of oxidizing power of rice roots. Plant Soil. 72 : 57–71. Asch F, Becker M, Kpongor DS. 2005. A quick and efficient screen for tolerance to iron toxicity in lowland rice, J. Plant Nutr. Soil Sci. 168: 764–773.
Audebert A. 2006. Iron partitioning as a mechanism for iron toxicity tolerance in lowland rice. In : Audebert A, Narteh LT, Millar D and Beks B (Eds). Iron Toxicity in Rice-Based System in West Africa. Africa Rice Center (WARDA). Audebert A, Sahrawat KL. 2000. Mechanisms for iron toxicity tolerance in lowland rice. J. Plant Nutr. 23: 1877-1885. Aung T. 2006. Physiological mechanisms of iron toxicity tolerance in lowland rice. Thesis Institute of Crop Science and Resource Conservation (INRES). Department of Plant Nutrition. 76p. Becker M, Asch F. 2005. Iron toxicity in rice-condition and management concept. J. Plant Nutr. Soil Sci. 168:558-573. Bode K, Döring O, Lüthje S, Neue HU, Böttger M. 1995. The role of active oxygen in iron tolerance of rice (Oryza sativa). Protoplasma 184: 249–255. Breemen NV, Moormann FR. 1978. Iron toxic soils. In : Soils and Rice. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines: IRRI. pp:781–800 Dobermann A, Fairhurst T. 2000. Iron toxicity. In. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient Management. Dobermann A, Fairhurst T (Eds). International Rice Research Institute, Manila. pp:121-125. Fageria NK, Barbosa FMP, Carvalho JRP. 1981. Influence of iron on growth and absorption of P, K, Ca and Mg by rice plant in nutrient solution. Pesquisa Agropecuaria Brasileira. 16: 483–488. Fageria NK, Rabelo NA. 1987. Tolerance of rice cultivars to iron toxicity. Journal of Plant Nutrition. 10: 653–661. Fageria NK. 1988. Influence of iron on nutrient uptake by rice. Int. Rice Res. Newsl. 13(1): 20-21. IRRI-INGER. 1996. Standar Evaluation System for Rice. Ed. 4 th. International Rice Research Institute-International Network Genetic Evaluation Research. Manila, Phillippines. 52 p. Kawase M. 1981. Automatical and morphological adaptation of plants to water logging. Hortsci. 16 : 30-34. Liu WJ. 2005. Do iron plaque and genotypes affect arsenate uptake and translocation by rice seedlings (Oryza sativa L.) grown in solution culture? J. Exp. Bot. 275: 57–66.
59
Majerus V, Bertin P, Lutts S. 2007. Effects of iron toxicity on osmotic potential, osmolytes and polyamines concentrations in the African rice (Oryza glaberrima Steud.). Plant Science. 173: 96–105. Makarim K, Sudarman O, Supriadi H. 1989. Status hara tanaman padi berkeracunan Fe di daerah Batumarta, Sumatera Selatan. Penelitian Pertanian 9(4):166-170. Mehraban P, Zadeh AA, Sadeghipour HR. 2008. Iron toxicity in rice (Oryza sativa L.) under different potassium nutritiom. Asian J. of Plant Sci. 1-9. Peng XX, Yamauchi M. 1993. Ethylene production in rice bronzing leaves induced by ferrous iron. Plant Soil. 149: 227–234. Sahrawat KL, Mulbah CK, Diatta S, DeLaune RD, Patrick WH, Singh BN, Jones MP. 1996. The role of tolerant genotypes and plant nutrients in the management of iron toxicity in lowland rice. J. Agric. Sci. 126:143–149. Sahrawat KL. 2000. Elemental composition of the rice plant as affected by iron toxicity under field conditions. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 31:2819-2827. Sahrawat KL. 2004. Iron toxicity in wetland rice and the role of other nutrients. J. of Plant Nutrition. 27 (8) : 1471–1504. Sahrawat KL. 2010. Reducing iron toxicity in lowland rice with tolerant genotipes and plant nutrition. Plant Stress 4 : 70-75. Suhartini T. 2004. Perbaikan varietas padi untuk lahan keracunan Fe. 2004. Bul. Plasma Nutfah. 10 (1) : 1-11. Suhartini T, Makarim AK. 2009. Teknik seleksi genotipe padi toleran keracunan besi. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 28:125-130. Tadano T. 1975. Devices of rice roots to tolerated high iron concentration in growth media. Jpn. Agr. Res. Quart. (JARQ). 9: 34-39. Yamauchi M, Yoshida S. 1981. Physiological mechanisms of rice’s tolerance for iron toxicity. Paper presented at the IRRI Saturday Seminar, June 6, 1981. Manila, Philippines: International Rice Research Institute Yamauchi M, Peng XX. 1995. Iron toxicity and stress-induced ethylene production in rice leaves. Plant Soil 173, 21–28.
BAB. V.
EVALUASI ADAPTASI Salvinia sp. TERHADAP KONSENTRASI BESI PADA MEDIA LARUTAN HARA DAN MEDIA TANAH LAHAN PASANG SURUT
Abstrak Penelitian bertujuan untuk 1) mempelajari adaptasi Salvinia sp. terhadap konsentrasi Fe dalam media larutan hara dan media tanah lahan pasang surut, 2) mendapatkan Salvinia sp. yang adaptif, cepat tumbuh dengan biomas tinggi pada media larutan hara yang mengandung Fe dan media tanah dari lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca University Farm Cikabayan, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Agustus sampai dengan Nopember 2010. Percobaan untuk evaluasi Salvinia sp. menggunakan bak yang diisi 4 liter larutan hara Hoagland (1/5 konsentrasi) yang ditambah Fe sesuai perlakuan. Percobaan dilanjutkan dengan evaluasi aksesi Salvinia sp. (yang terpilih pada percobaan sebelumnya) pada media tanah (pot) menggunakan tanah dari lahan pasang surut KP. Belandean. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan konsentrasi Fe 7 dan 14 ppm dalam larutan menghambat pertumbuhan, menurunkan bobot basah dan waktu penggandaan Salvinia sp. Waktu penggandaan Salvinia sp pada perlakuan 7 ppm Fe (6.0-16.1 hari) lebih cepat dari 14 ppm Fe (16.7-27.2 hari). Salvinia sp. yang ditumbuhkan selama 2 minggu pada konsentrasi 7 ppm Fe dapat memindahkan atau mengurangi konsentrasi Fe dalam larutan 19.7-65.6%. Seleksi Salvinia sp. pada konsentrasi 7 ppm Fe diperoleh empat Salvinia sp. dengan waktu penggandaan lebih cepat yaitu berasal dari Muning Tengah, Sungai Kambat, Gambut dan Murung Karamat. Seleksi ke empat Salvinia sp. pada media tanah (pot) dari lahan pasang surut diperoleh dua Salvinia sp. yang berasal dari S. Kambat dan Murung Karamat dengan pertumbuhan lebih cepat dengan waktu penggandaan 7.9 hari. Kata Kunci : Adaptasi, konsentrasi Fe, larutan hara, lahan pasang surut, Salvinia Abstract The objectives of experiment were 1) to study adaptation of Salvinia sp. to Fe concentration in nutrient solution medium and soil medium from tidal swamp land, 2) to obtain adaptive Salvinia sp. in the nutrient solution and the soil medium from the tidal swamp with criteria rapid growth and high biomass. The experiment was conducted in a greenhouse University Farm Cikabayan, Bogor Agricultural University from August to November 2010. Experiment used a plastic container which filled with 4 liters of Hoagland nutrient solution (1/5 concentration) then added with Fe appropriate treatment, and then the 4 selected accession evaluated in the soil media (pot) was took from tidal swamp area of Belandean. The experiment results showed that elevated levels of Fe 7 and 14 ppm in the solution medium delayed growth, reduce wet weight and doubling time Salvinia sp. Doubling time of Salvinia sp. in the solution medium at the treatment 7 ppm Fe (6.0-16.1 days) was faster than 14 ppm Fe (16.7-27.2 days). The treatment of 7 ppm Fe in the solution medium (Hoagland) Salvinia sp. can reduced Fe concentration 19.7-65.6% during 2 weeks grown. Selection of Salvinia sp. on
62
7 ppm Fe, obtained four Salvinia sp. had higher biomass weights and faster doubling time namely accession from the Muning Tengah, Sungai Kambat, Gambut and Murung Karamat. Selection of four Salvinia sp. on the soil medium (pot) from tidal swamp obtained two Salvinia sp. which was accession from Sungai Kambat and Murung Karamat had faster doubling time (7.9 days) Keywords : Adaptation, Fe concentration, nutrient solution, tidal swamp area, Salvinia sp. Pendahuluan Berkurangnya lahan-lahan subur yang produktif sebagai akibat adanya konversi lahan ke penggunaan bukan pertanian mengakibatkan peningkatan produksi pertanian mulai diarahkan pada lahan-lahan sub optimal (marginal) seperti lahan rawa pasang surut. Untuk meningkatkan produktivitas pada lahanlahan ini diperlukan teknologi untuk memperbaiki kualitas lahan seperti penggunaan pupuk kimia dan
ameliorasi lahan. Dalam pertanian berkelanjutan,
bahan organik merupakan salah satu bahan untuk ameliorasi lahan yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan bahan kimia seperti pupuk anorganik. Hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan organik baik limbah panen, pupuk kandang dan pupuk hijau berperan dalam memperbaiki kualitas lahan, mengurangi kadar unsur meracun seperti Al dan Fe dalam tanah, dan meningkatkan hasil padi. Bahan organik dapat mengurangi kadar Al/Fe di dalam tanah dengan reaksi pengkelatan asam-asam organik, hasil dekomposisi bahan organik juga memberikan sumbangan hara makro seperti N, P, K dan unsur hara mikro. Bahan organik selain sebagai sumber hara juga meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan dan meningkatkan KTK tanah (Karama 1990). Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan pemberian jerami padi dengan dosis 5.0 t/ha di lahan pasang surut bukaan baru Kalimantan Tengah dapat meningkatkan hasil padi varietas IR 64 27% dan varietas Kapuas 58% dibandingkan tanpa bahan organik. Pemberian kompos jerami padi selain dapat meningkatkan hasil padi juga dapat mengurangi kadar besi dan sulfat di lahan pasang surut (Jumberi dan Alihamsyah 2004). Penggunaan bahan organik dalam usaha pertanian untuk
memperbaiki
kualitas lahan dan meningkatkan produktivitas tanaman sering tidak mencukupi
63
atau sulit mendapatkannya. Jerami padi tidak bisa diberikan langsung ke lahan dalam keadaan segar karena dapat memicu keracunan besi, sehingga jerami harus dikomposkan lebih dulu. Salah satu sumber bahan organik yang potensial selain jerami padi dan pupuk kandang adalah menggunakan Salvinia sp. yang banyak terdapat di lahan rawa. Penggunaan Salvinia sp. merupakan salah satu alternatif penyediaan bahan organik secara in-situ di lahan pertanaman padi. Salvinia sp. merupakan pakis air yang banyak digunakan untuk bioremediasi air yang tercemar logam-logam berat karena kemampuannya
yang tinggi dalam menyerap dan
mengikat logam-logam berat yang terlarut dalam air (Forni et al. 2001; Arora et al. 2003; Benaroya et al. 2004; Dhir 2009).
Salvinia sp. potensial digunakan
sebagai pupuk organik, karena selain pertumbuhannya yang cepat dengan jumlah biomas yang besar (Oguin et al. 2003; Arthur et al. 2007), juga mengandung hara mineral (N, P, K, Ca, Mg) (Arthur et al. 2007). Penelitian bertujuan untuk 1) mempelajari adaptasi Salvinia sp. terhadap konsentrasi Fe dalam media larutan hara (Hoagland) dan media tanah dari lahan pasang surut, 2) mendapatkan Salvinia sp. yang adaptif, cepat tumbuh dengan biomas tinggi pada media larutan hara yang diberi cekaman Fe dan media tanah dari lahan pasang surut. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah kaca University Farm Cikabayan, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Agustus sampai dengan Nopember 2010. Ada dua kegiatan yang dilasaknakan dalam penelitian ini yaitu : 1) Evaluasi adaptasi Salvinia sp. terhadap konsentrasi
besi dalam media larutan hara, 2) Evaluasi
adaptasi Salvinia sp. pada media tanah lahan pasang surut. Percobaan 2a. Evaluasi Adaptasi Salvinia sp. terhadap Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara Beberapa Salvinia sp. (10 lokasi/aksesi) yang tumbuh secara alami di beberapa lokasi lahan rawa di Kalimantan Selatan dikumpulkan dan diuji di rumah kaca. Percobaan menggunakan media larutan hara Hoagland menggunakan bak plastik dengan ukuran luas ± 750 cm2 dan tinggi ± 15 cm dengan volume larutan 4 liter. Salvinia sp. dinokulasi sebanyak 50 g per 1 m2 pada bak yang diisi media
64
kultur larutan dengan ketinggian (kedalaman) air dipertahankan 10 cm selama 4 minggu. Kekurangan volume air ditambah setiap hari dengan aquades, kultur larutan hara diperbaharui setiap 2 minggu sekali (Gambar 5.1).
Gambar 5.1. Percobaan pengujian adaptasi Salvinia sp. terhadap konsentrasi Fe dalam larutan hara Hoagland pada bak plastik yang diisi larutan sebanyak 4 liter selama 4 minggu.
Konsentrasi hara makro dan mikro dalam larutan hara Hoagland (1/5 konsentrasi) yang digunakan adalah sebagai berikut : 30.8 ppm N, 6.2 ppm P, 46.9 ppm K, 32.0 ppm Ca, 9.7 ppm Mg, 12.8 ppm S, 0.1 ppm Mn, 0.01 ppm Zn, 0.004 ppm Cu, 0.1 ppm
B, 0.002 ppm Mo.
Untuk mengetahui adaptasi Salvinia sp. terhadap Fe, media larutan hara Hoagland Penelitian
ditambah Fe
dalam tiga
tingkat konsentrasi Fe
pada pH
4.5.
merupakan percobaan faktorial dengan dua faktor (kadar Fe dalam
larutan hara dan aksesi Savinia sp.). Faktor 1. Konsentrasi Fe dalam media larutan hara A. Kontrol (0.5 ppm Fe) B. 7 ppm Fe C. 14 ppm Fe Faktor 2. Aksesi Salvinia sp. (10 aksesi). Setiap perlakuan (satuan percobaan) di ulang 3 kali yang disusun dalam rancangan acak kelompok. Pengamatan untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan Salvinia sp. dilakukan setiap seminggu sekali mulai 1 minggu setelah inokulasi (penyebaran Salvinia sp.) dengan mengamati persentase penutupan permukaan air. Empat minggu setelah inokulasi Salvinia sp. dilakukan pengamatan terhadap biomas segar, waktu penggandaan (doubling time) = t log 2 [log (wt/w0)]-1, dimana t=lama percobaan (hari), wt=bobot akhir, w0=bobot awal (Moretti dan Gigliano 1988), kadar Fe Salvinia sp. dan kadar Fe dalam air pada perlakuan 7 dan
65
14 ppm Fe. Selain itu dianalisis juga kadar N, P, K dan C-organik jaringan Salvinia sp. yang terpilih (4 Salvinia sp.). Percobaan 2b. Evaluasi Adaptasi Salvinia sp. pada Media Tanah Lahan Pasang Surut Penelitian dilaksanakan di rumah kaca yang merupakan percobaan pot menggunakan tanah lahan pasang surut dari Blandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Salvinia sp. yang diuji adalah hasil seleksi dari pengujian menggunakan media larutan hara Hoagland (4 Salvinia sp. yang
mempunyai
biomas tertinggi). Penelitian merupakan percobaan satu faktor (jenis/aksesi Salvinia sp.) : 1. Kontrol (tanpa Salvinia sp.) 2. Salvinia-1 3. Salvinia-2 4. Salvinia-3 5. Salvinia-4 Setiap satuan percobaan diulang 5 kali yang disusun dalam rancangan acak kelompok. Setiap pot percobaan menggunakan tanah seberat 4 kg (berdasarkan bobot kering udara). Tanah dimasukkan dalam pot plastik, kemudian dilumpurkan selama 2 minggu dan digenangi air
setinggi ± 5 cm, kemudian Salvinia sp.
ditumbuhkan sebanyak 50 g/m2 basah (segar). Pengamatan dilakukan terhadap kecepatan pertumbuhan yang diamati dari penutupan permukaan setiap seminggu sekali, bobot biomas Salvinia sp. setelah 4 minggu, dan kadar Fe dalam jaringan tanaman Salvinia sp. Dari hasil percobaan dipilih
Salvinia sp. (untuk percobaan lapang) berdasarkan kecepatan waktu
penggandaan dan bobot biomas yang dihasilkan. Data parameter pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan perbandingan rata-rata perlakuan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%.
66
Hasil dan Pembahasan Evaluasi Adaptasi Salvinia sp. terhadap Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara Salvinia sp. dari beberapa lokasi/aksesi yang tumbuh secara alami di lahan rawa pasang surut dan lebak di Kalimantan Selatan dikumpulkan untuk diuji adaptasinya di rumah kaca (Tabel 5.2). Tabel 5.1. Lokasi/aksesi pengambilan Salvinia sp. di beberapa tempat di Kalimantan Selatan yang digunakan dalam penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 10
Lokasi/Aksesi pengambilan Salvinia sp. Danau Ceramin Muning Tengah Tawar Paharangan S. Kambat Danda Jaya Gambut Belandean Barambai Murung Karamat
Agroekosistem Lahan lebak Lahan lebak Lahan lebak Lahan lebak Lahan pasang surut Lahan pasang surut Lahan pasang surut Lahan pasang surut Lahan pasang surut Lahan pasang surut
Hasil survey yang telah dilakukan di lahan rawa Kalimantan Selatan menunjukkan Salvinia sp. ternyata banyak terdapat di daerah rawa dan potensial sebagai sumber bahan organik. Hasil analisis air dari habitat dimana Salvinia sp. ditemukan menunjukkan pH air berkisar antara 4.13-6.17 dan konsentrasi Fe dalam air berkisar antara 0.38-6.57 ppm Fe. Untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan dan toleransinya terhadap cekaman Fe telah dilakukan penelitian di rumah kaca dengan perlakuan cekaman tiga level Fe yaitu kontrol (0.5 ppm Fe), 7
dan 14 ppm Fe. Kecepatan
pertumbuhan Salvinia sp. dapat dilihat dari kecepatan peningkatan persentase penutupan permukaan dan peningkatan bobot biomas Salvinia sp. pada waktu tertentu. Persentase penutupan permukaan oleh Salvinia sp.
semakin rendah
dengan semakin tingginya kadar Fe dalam larutan (Tabel 5.2). Pada perlakuan kontrol pertumbuhan yang cepat terjadi pada minggu ke tiga dengan penutupan permukaan rata-rata meningkat 1.7 kali dibandingkan minggu ke dua, sedangkan perlakuan 7 ppm Fe dan 14 ppm Fe peningkatan hanya 1.3 kali dan 1.1 kali. Pada pengamatan minggu ke empat persentase penutupan
67
permukaan oleh Salvinia sp. pada perlakuan kontrol, 7 ppm Fe dan 14 ppm Fe berturut-turut berkisar antara 84.5-97%, 25.0-80.0% dan 20-30% (Gambar 5.2).
Penutupan permukaan (%)
Minggu-4
Minggu-3
Minggu-2
Minggu-1
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
7 ppm Fe (B)
10. Murung Karamat (C) 9. Barambai (C) 8. Blandean (C) 7. Gambut (C) 6. Danda Jaya (C) 5. S. Kambat (C) 4. Paharangan (C) 3. Tawar (C) 2. Muning Tengah (C) 1. Danau Ceramin (C)
10. Murung Karamat (B) 9. Barambai (B) 8. Blandean (B) 7. Gambut (B) 6. Danda Jaya (B) 5. S. Kambat (B) 4. Paharangan (B) 3. Tawar (B) 2. Muning Tengah (B) 1. Danau Ceramin (B)
10. Murung Karamat (A) 9. Barambai (A) 8. Blandean (A) 7. Gambut (A) 6. Danda Jaya (A) 5. S. Kambat (A) 4. Paharangan (A) 3. Tawar (A) 2. Muning Tengah (A) 1. Danau Ceramin (A)
Kontrol (A)
14 ppm Fe (C)
Aksesi Salvinia sp. Gambar 5.2. Perubahan penutupan permukaan oleh Salvinia sp. selama 4 minggu pada media larutan hara (Hoagland) pada beberapa level perlakuan Fe
Semakin tinggi kadar Fe dalam larutan semakin terhambat pertumbuhan Salvinia sp. dan semakin rendah biomas yang dihasilkan setelah diberi perlakuan selama 4 minggu. Rata-rata perlakuan Fe dalam larutan menurunkan bobot basah (segar) Salvinia sp. 2.6 kali pada perlakuan 7 ppm Fe dan 9.4 kali dibandingkan kontrol (Tabel 5.2). Rata-rata Bobot basah Salvinia
sp. perlakuan kontrol 78.0 g, diberi
perlakuan 7 ppm Fe dan 14 ppm Fe bobot basah menurun menjadi 29.5 g dan 8.3 g. Bobot basah Salvinia sp. tanpa cekaman Fe (kontrol) berkisar antara 62.5-87.8 g, diberi cekaman 7 ppm Fe berkisar antara 12.6-60.9 g, dan 14 ppm Fe berkisar antara 6.2-11.8 g (Tabel 5.2). Pada perlakuan tanpa cekaman Fe (kontrol) pertumbuhan Salvinia sp. yang berasal dari lahan pasang surut umumnya lebih baik dibandingkan dengan yang berasal dari lahan lebak. Pada perlakuan kontrol rata-rata bobot basah dari lahan pasang surut 79.6 g dan dari lahan lebak 76.6 g, pada perlakuan 7 ppm Fe bobot
68
basah Salvinia sp. dari lahan pasang surut 33.0 g dan lahan lebak 24.4 g, pada perlakuan 14 ppm bobot basah Salvinia sp. dari lahan pasang surut 9.0 g dan dari lahan lebak 7.3 g (Tabel 5.2) Tabel 5.2. Bobot basah (g) Salvinia sp. pada beberapa level perlakuan Fe pada media larutan hara Hoagland setelah ditumbuhkan selama 4 minggu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Aksesi Salvinia sp. D. Ceramin (LB) Muning T. (LB) Tawar-2 (LB) Paharangan (LB) S. Kambat (PS) Danda Jaya (PS) Gambut (PS) Blandean (PS) Barambai (PS) Murung K. (PS)
Perlakuan Fe 7 ppm
Kontrol 62.5 84.7 81.4 73.8 87.8 76.4 87.1 80.0 63.0 83.5
b a a ab a ab a a b a
18.7 43.2 23.1 12.6 43.6 18.0 60.9 19.0 20.8 35.6
14 ppm d b cd d b d a d cd bc
7.0 7.8 6.5 7.8 11.0 6.2 11.8 8.1 8.1 9.0
a a a a a a a a a a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5% LB = lahan lebak, PS = pasang surut
Pada perlakuan 7 ppm Fe, bobot basah Salvinia sp. yang tertinggi pada lahan pasang surut diperoleh pada lokasi (aksesi) Gambut (60.9 g) dan tertinggi pada lahan lebak diperoleh pada lokasi Muning Tengah (43.6 g). Peningkatan konsentrasi Fe dalam larutan hara mengakibatkan lebih lamanya waktu penggandaan (Doubling Time) Salvinia sp., pada kondisi tanpa cekaman Fe waktu penggandaan berkisar antara 4.4-5.8 hari, sedangkan adanya cekaman Fe 7 ppm dan 14 ppm waktu penggandaan diri Salvinia sp. berkisar antara 5.9-15.8 hari dan 16.5-25.9 hari. Pada kondisi tanpa cekaman Fe (kontrol) diantara aksesi Salvinia sp. tidak ada perbedaan waktu penggandaan. Adanya cekaman Fe dalam larutan menyebabkan terjadinya perbedaan waktu penggandaan diantara aksesi Salvinia sp. Pada cekaman 7 ppm Fe dalam larutan hara, terdapat 4 aksesi Salvinia sp. yang mempunyai waktu penggandaan yang lebih cepat dari aksesi lainnya yaitu Salvinia sp. dari aksesi Muning Tengah (7.7 hari, S. Kambat (7.5 hari), Gambut (6.0 hari), dan Murung Karamat (8.6 hari) (Tabel 5.3).
69
Tabel 5.3. Waktu penggandaan (hari) Salvinia sp. setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada beberapa perlakuan Fe pada media larutan hara (Hoagland) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perlakuan Fe (ppm) Kontrol 7
Aksesi Salvinia sp. D. Ceramin (LB) Muning T. (LB) Tawar-2 (LB) Paharangan (LB) S. Kambat (PS) Danda Jaya (PS) Gambut (PS) Belandean (PS) Barambai (PS) Murung K. (PS)
5.9 4.6 4.8 5.2 4.5 5.0 4.5 4.8 5.8 4.7
a a a a a a a a a a
12.8 7.7 11.1 16.1 7.5 12.9 6.0 12.7 11.8 8.6
14 24.2 22.4 27.2 22.1 17.3 26.3 16.7 21.1 21.2 20.0
ab cd bc a d ab d ab bc cd
abc bc a c de ab ef cd cd cde
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5% LB = lahan lebak, PS = lahan pasang surut
Perbedaan perlakuan konsentrasi Fe dan perbedaan aksesi Salvinia sp. menyebabkan adanya perubahan pH dan kadar
Fe dalam
larutan hara.
Peningkatan konsentrasi Fe dalam larutan dari 7 ppm menjadi 14 ppm rata-rata menurunkan pH dari 5.3 menjadi 5.0 (Tabel 5.4). Tabel 5.4. Perubahan pH dan Fe dalam larutan hara (Hoagland) yang ditambahkan 7 dan 14 ppm Fe setelah ditumbuhkan Salvinia sp. selama 2 minggu No.
Aksesi Salvinia sp
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tanpa Salvinia sp. D. Ceramin (LB) Muning T. (LB) Tawar-2 (LB) Paharangan (LB) S. Kambat (PS) Danda Jaya (PS) Gambut (PS) Belandean (PS) Barambai (PS) Murung K. (PS) Rata-rata
pH 7 ppm 14 ppm Fe Fe 4.8 4.6 5.4 5.0 5.4 4.9 5.2 5.2 5.3 5.3 5.4 4.6 5.4 5.2 4.9 4.7 5.3 5.2 5.3 4.9 5.2 4.8 5.3 a 5.0 b
Ratarata 4.7 5.2 5.1 5.2 5.3 5.0 5.3 4.8 5.3 5.1 5.0
a ab a a ab a b a ab ab
Fe 7 ppm Fe 6.1 4.9 2.2 3.1 4.5 2.6 3.6 2.1 2.6 4.1 3.4 3.3 b
14 ppm Fe 11.8 10.2 9.3 9.1 9.8 8.9 9.5 5.6 8.5 8.8 8.4 8.8 a
Ratarata 9.0 7.5 5.8 6.1 7.1 5.7 6.5 3.9 5.5 6.4 5.9
a bc bc ab c abc d c abc bc
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
70
Perbedaan aksesi Salvinia sp. menyebabkan adanya perbedaan pH dalam larutan yang berkisar antara 4.8 sampai 5.3. Kandungan Fe dalam larutan hara pada perlakuan 7 ppm Fe lebih rendah (3.3 ppm Fe) dari perlakuan pemberian Fe 14 ppm (8.8 ppm Fe). Kadar Fe dalam media larutan hara yang ditumbuhkan Salvinia sp. rata-rata berkisar antara 3.9-7.5 ppm Fe (Tabel 5.4). Adanya perbedaan Fe yang tertinggal dalam larutan pada Salvinia sp. yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan kemampuan
Salvinia sp.
untuk
beradaptasi terhadap cekaman Fe dan kemampuan dalam menyerap Fe pada media air. Pada perlakuan 7 ppm Fe dalam media larutan, Salvinia sp. dapat menyerap Fe 19.7-65.6% selama 2 minggu ditumbuhkan.
Pada perlakuan 14 ppm Fe,
kemampuan Salvinia sp. dalam menyerap Fe dalam larutan menjadi berkurang yaitu 13.6-52.5% (Tabel 5.4). Berkurangnya kemampuan Salvinia sp. dalam menyerap Fe dari media larutan yang mengandung Fe lebih tinggi (14 ppm Fe) dibandingkan larutan yang mengandung Fe lebih rendah (7 ppm Fe) karena terhambatnya pertumbuhan Salvinia sp. pada konsentrasi 14 ppm Fe (Tabel 5.15.3). Hasil analisis kadar Fe dalam jaringan Salvinia sp. menunjukkan semakin tinggi konsentrasi Fe dalam media larutan semakin tinggi kadar Fe Salvinia sp.
KAdar Fe Salvinia sp. (ppm)
(Gambar 5.3). 7 ppm Fe
14 ppm Fe
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Aksesi Salvinia sp.
Gambar 5.3. Kadar Fe dalam jaringan Salvinia sp. yang ditumbuhkan selama 4 minggu pada perlakuan 7 ppm Fe dan 14 ppm Fe dalam larutan hara Hoagland
71
Perbedaan aksesi Salvinia sp. juga menyebabkan berbedanya kadar Fe Salvinia sp. Kadar Fe Salvinia sp. pada perlakuan 7 ppm Fe berkisar antara 529511418 ppm, sedangkan pada perlakuan 14 ppm berkisar antara 18745-30122 ppm (Gambar 5.3). Kandungan Fe yang tinggi dalam jaringan Salvinia sp. pada perlakuan 14
ppm Fe diperkirakan menyebabkan terganggunya metabolisme tanaman, sehingga pertumbuhan Salvinia sp. menjadi terhambat yang ditunjukkan lebih rendahnya bobot Salvinia sp. dibandingkan perlakuan 7 ppm Fe (Tabel 5.2). Konsentrasi Fe yang tinggi dalam media larutan dan dalam jaringan tanaman dalam penelitian ini menyebabkan terhambatnya pertumbuhan Salvinia sp., walaupun dari beberapa hasil penelitian Salvinia sp. mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap logamlogam berat (Olguin et al. 2003; Benaroya et al. 2004; Dhir 2009: Begum dan HariKrishna 2010). Dari pengamatan bobot biomas, persentase penutupan permukaan, dan waktu penggandaan pada media larutan yang diberi perlakuan 7 ppm Fe diperoleh empat Salvinia sp. yang potensial untuk dikembangkan sebagai pupuk organik yaitu Salvinia-2 (berasal dari lokasi lahan lebak Muning Tengah), Salvinia-5 (berasal dari lokasi lahan pasang surut Sungai Kambat), Salvinia-7 (berasal dari lokasi lahan pasang surut Gambut) dan Salvinia-10 (berasal dari lahan pasang surut Murung Karamat. Kadar hara empat aksesi Salvinia sp. yang terpilih ditunjukkan pada Tabel 5.5 berikut. Hasil analisis kadar hara Salvinia sp. menunjukkan kadar C berkisar antara 38.75-42.38%, N 2.18-3.17%, P 0.37-0.52%, K 1.78-2.02%, Fe 5295-8526 ppm (Tabel 5.5). Tabel 5.5. Kadar hara empat Salvinia sp. terpilih yang mempunyai biomas tertinggi dan waktu penggandaan lebih cepat pada media air yang diberi perlakuan 7 ppm Fe Aksesi/Lokasi
Bobot Basah (g)
Waktu. penggan- C (%) daan (hr)
N (%) P (%)
K (%)
Fe (ppm)
Muning Tengah (LB) S. Kambat (PS)
43.2 43.6
7.7 7.5
38.75 42.38
2.18 2.98
0.37 0.57
1.79 1.85
8526 5545
Gambut (PS) Murung Karamat (PS)
60.9 45.6
6.0 8.6
38.77 38.19
2.66 3.17
0.42 0.37
2.02 1.78
5295 5835
72
Adaptasi Salvinia sp. pada Media Tanah Lahan Pasang Surut Untuk mengetahui kemampuan adaptasi dari 4 aksesi Salvinia sp. yang terpilih dilakukan pengujian pertumbuhan Salvinia pada pot yang berisi tanah dari lahan pasang surut K.P. Belandean yang digenangi air setinggi 5 cm. Hasil analisis tanah yang digunakan menunjukkan tanah tergolong sangat masam, dengan kandungan C. organik, P Bray I, P total tinggi, N sedang dan K totak rendah. Basa-basa tukar Ca, Mg dan K rendah-sangat rendah, dengan kadar Na tanah tinggi. Unsur meracun Al-dd tinggi dan Fe sangat tinggi, tanah bertekstur liat berdebu (Tabel 5.6). Tabel 5.6. Karakteristik tanah, KP. Blandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan untuk percobaan pot dirumah kaca Sifat Tanah pH (H2O) C. Organik (%) N total (%) P Bray I (ppm P2O5) P total (mg/100g P2O5) K total (mg/100 g K2O) Basa-basa tukar (me/100g) : Ca Mg K Na KTK (me/100 g) Al-dd (me/100 g) Fe terdia (ppm)* Tekstur (%): Liat Debu Pasir
Nilai
Kriteria
3.9 5.86 0.26
SM T S
138.3
T
124
T
9
R
0.8 1.64 0.03 1.67 23.29 11.05 1626
R R SR T S T ST
58 40
Liat berdebu
2
Keterangan : SM =Sangat masam, SR= Sangat rendah, R= Rendah, T= Tinggi, ST= Sangat tinggi *Ekstraksi dengan ammonium asetat pH 4.8 (metode Morgan)
Pertumbuhan ke empat Salvinia sp. pada media tanah yang berasal dari lahan pasang surut menunjukkan persentase penutupan permukaan semakin meningkat mulai dari minggu-1 sampai minggu-4. Hasil pengujian keempat Salvinia sp. yang terpilih pada media tanah yang berasal dari lahan pasang surut
73
KP. Belandean, Kalimantan Selatan menunjukkan Salvinia sp. yang berasal dari S. Kambat dan Murung Karamat mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dengan persentase penutupan permukaan
lebih tinggi dari dua aksesi lainnya setelah
ditumbuhkan selama 4 minggu, yaitu berturut-turut 84.4% dan 85% (Tabel 5.7). Tabel 5.7. Persentase penutupan permukaan Salvinia sp. setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang berasal dari lahan pasang surut Aksesi Salvinia sp.
Pentutupan permukaan (%) Minggu-1
Muning Tengah S. Kambat Gambut Murung Karamat
17.0 a 18.8 a 17.8 a 18.0 a
Minggu-2 26.8 a 29.6 a 28.8 a 30.0 a
Minggu-3
Minggu-4
50.2 b 59.6 a 53.0 ab 58.4 a
60.6 b 84.4 a 72.2 ab 85.0 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Bobot basah per pot dan waktu penggandaan Salvinia sp. dari S. Kambat 31.44 g dan 7.9 hari, sedangkan dari Murung Karamat 30.28 g dan 7.9 hari lebih tinggi dibandingkan Salvinia sp. yang berasal dari Muning Tengah (18.54 g/pot dan 10.92 hari) dan Gambut (21.68 g/pot dan 10.02 hari). Kadar besi dalam jaringan Salvinia sp. dari ke empat aksesi tidak berbeda (Tabel 5.8). Tabel 5.8. Bobot basah Salvinia sp., waktu penggandaan dan kadar Fe dalam jaringan setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang berasal dari lahan pasang surut Aksesi Salvinia
Bobot Basah (g)
Muning Tengah S. Kambat Gambut Murung Karamat
18.54 b 31.44 a 21.68 b 30.28 a
Waktu Penggandaan (hari) 10.92 a 7.86 b 10.02 a 7.86 b
Fe Salvinia sp. (ppm) 2625 a 2441 a 2764 a 2624 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Hasil analisis pH air permukaan pada tanah lahan pasang surut setelah ditumbuhkan Salvinia sp. selama 4 minggu tidak menunjukkan perbedaan diantara keempat aksesi Salvinia sp. Keasaman (pH) air pemukaan dalam pot berkisar antara 3.72-3.86 (Tabel 5.9).
74
Tabel 5.9. Kemasaman (pH) dan Fe air permukaan dalam pot setelah Salvinia sp. ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang berasal dari lahan pasang surut Aksesi Salvinia sp. Kontrol (tanpa Salvinia sp.) Muning Tengah S. Kambat Gambut Murung Karamat
pH 3.86 a 3.78 a 3.86 a 3.77 a 3.72 a
Fe (ppm) 7.90 a 6.40 b 4.90 c 5.54 bc 5.62 bc
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Kadar Fe air permukaan pot berbeda diantara keempat aksesi Salvinia sp., yaitu berkisar antara 4.90 ppm Fe (S. Kambat) sampai 6.40 ppm Fe (Muning Tengah), sedangkan kontrol (pot tanpa Salvinia sp.) 7.90 ppm Fe. Salvinia sp. yang ditumbuhkannya. selama 4 minggu pada permukaan air di media tanah lahan pasang surut menurunkan kadar Fe air 19-38% Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan Salvinia sp. mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada media larutan hara (Hoagland) maupun media tanah pasang surut yang mengandung Fe. Salvinia sp. yang ditumbuhkan baik pada media larutan hara Hoagland maupun pada media tanah lahan pasang surut juga mempunyai kemampuan untuk memindahkan (menyerap) Fe dalam media air/larutan hara. Dari hasil penelitian juga diketahui adanya perbedaan adaptasi dari Salvinia sp. yang diperoleh dari lokasi (aksesi) yang berbeda di lahan rawa lebak dan pasang surut. Walaupun dari hasil-hasil penelitian terdahulu telah dikemukakan bahwa Salvinia sp. mempunyai kemampuan yang besar untuk beradaptasi terhadap cekaman logam-logam berat. Hasil penelitian menunjukkan beberapa Salvinia sp. dari lahan rawa cukup adaptif pada konsentrasi 7 ppm Fe dalam media larutan, namun peningkatan konsentrasi Fe menjadi 14 ppm semua aksesi Salvinia sp. tidak mampu beradaptasi dan menyebabkan menurunnya pertumbuhan Salvinia sp. 86-92% dari kontrol (Tabel 5.2). Respon tanaman terhadap keracunan logam berat berbeda-beda (Cobbett 2000), menunjukkan beberapa spesies tanaman sangat sensitif terhadap sejumlah kecil logam berat dan spesies lainnya toleran terhadap kadar logam berat yang tinggi sehingga potensial digunakan sebagai fitoremediasi ekosistem yang
75
terkontaminasi (Dushenkov et al. 1995). Mekanisme toleransi tanaman terhadap logam berat mungkin karena pembentukan fitokelatin di dalam vacoula tanaman (Cobbett 2000; Hall 2002). Fitokelatin adalah suatu peptida dengan berat molekul rendah yang banyak mengandung cysteine, dimana biosintesisnya didorong oleh adanya logam berat yang memerlukan sejumlah besar cysteine (Mishra et al. 2006). Hasil penelitian Benaroya et al. (2004) dan HariKrishna (2010) menunjukkan
Dhir (2009), Begum dan
Salvinia sp. mempunyai
kemampuan dalam
memindahkan atau menyerap kontaminan seperti logam-logam berat, senyawa organik dan hara anorganik dari lingkungan.
Hasil penelitian
Begum dan
HariKrihsna (2010) menunjukkan Salvinia sp. mampu memindahkan 88.8 % Fe, 67% Cu dan 40.4% Ni dan dalam larutan yang masing-masing diberi perlakuan 5.0 ppm Fe, Cu, dan Ni, setelah 10 hari. Dalam penelitian ini pada konsentrasi logam 5.0 ppm Salvinia sp. masih dapat tumbuh secara normal, tanpa menunjukkan gejala keracunan. Selain itu beberapa spesies Salvinia sp. mempunyai beberapa keuntungan karena produktivitasnya yang tinggi dan toleransi yang luas terhadap temperatur (Olguin et al. 2002). Salvinia sp. potensial dalam memindahkan atau menyerap
logam berat
dari lingkungan dengan cara mengkompartmentasi sebagai upaya pertahanan sekunder terhadap lingkungan (Olguin et al. 2003). Logam berat yang diserap oleh Salvinia sp. melalui dua cara yaitu secara biologis dan fisik. Logam seperti Cr dan Pb diserap melalui proses fisik seperti penjerapan, pertukaran ion dan pengkelatan, sedangkan proses biologis adalah meliputi penyerapan intasellular (ditransportasi melalui plasmalemma kedalam sel) seperti penyerapan logam Cd dari akar ke daun (Sun’e et al. 2007). Penyerapan logam berat dapat secara langsung melalui kontak daun dengan larutan melalui kapasitas penjerapan yang teradapat pada daun (Sun’e et al. 2007). Telah diketahui bahwa penyerapan logam berat digerakkan oleh protein transport sekunder melalui saluran protein atau protein pembawa (carrier) yang berikatan dengan H+ dimana potensial membran negatif di dalam plasma membran menggerakkan penyerapan kation melalui transporter sekunder.
Adanya kelompok karboksilat pada permukaan sel
menyediakan tempat untuk mengikat logam (Olguin et al. 2005). Kemampuan
76
biomas Salvinia sp. yang tinggi dalam
memindahkan atau mengikat logam
ditunjukkan oleh besarnya permukaan spesifik (264 m2 g-1) yang kaya dengan karbohidrat (48.50%) dan kelompok karboksil (0.95 mmol g-1) (Sanchez-Galvan et al. 2008). Protein merupakan atom ligan yang penting dan juga berperan penting dalam penyerapan logam. Biomas Salvinia sp. yang telah mati menunjukkan kemampuan yang tinggi untuk mengikat atau menjerap logam-logam berat. Adanya konsentrasi yang tinggi dari lipid dan karbohidrat pada permukaan tanaman bertindak sebagai kelompok penukar kation lemah yang berkonstribusi untuk penyerapan logam dengan reaksi pertukaran ion (Schneider dan Rubio 1999). Hasil penelitian Dhir dan Kumar (2010) menunjukkan biomas Salvinia sp. yang telah mati dapat digunakan sebagai adsorben (penyerap) dan efektif dalam mengikat logam-logam berat. Salvinia sp. lebih efisien mengikat logam berat seperti Ce, Ni, Cd dibandingkan limbah panen seperti jerami padi dan jerami gandum. Efisiensi mengikat logam berat setelah 10 hari pada larutan yang diberi logam berat 35 ppm, untuk biomas Salvinia sp., jerami padi dan jerami gandum berturut-turut 60.0, 57.1, dan 45.7%. Peningkatan logam berat dalam larutan menurunkan efisiensi Salvinia sp. dalam mengikat logam berat. Beberapa keuntungan penggunaan Salvinia sp.
sebagai spesies yang
penting dalam teknologi fitoremidiasi meliputi (1) penyebaran geografi Salvinia sp. yang luas di daerah tropik dan subtropik, (2) produktivitas sangat tinggi sekitar 5.8 – 11.4 g berat kering per m2 per hari bila dikulturkan dalam medium Hoagland dan sekitar 20-120 kg per ha per hari dibawah kondisi alami (Schneider dan Rubio 1999), (3) sifat-sifat fisik-kimia seperti luas permukaan tinggi (264 m2 g-1 berat kering) dan kandungan karboksilat tinggi (ligan) (0.95 mmol H+ g-1 biomas), (4) efisiensi untuk memindahkan hara atau polutan dari limbah air, (5) lebih tingginya tingkat pemindahan logam per unit permukaan dan lebih tingginya pengembalian logam setelah perlakuan yang sesuai (Oguin et al., 2005), (6) mudah untuk memanen sebagai daun dan memungkinkan untuk dimanfaatkan dari biomas yang dipanen (Oguin et al. 2003).
77
Kesimpulan 1. Peningkatan konsentrasi Fe
dalam larutan hara (Hoagland) menghambat
pertumbuhan, menurunkan bobot basah dan waktu penggandaan Salvinia sp. Waktu penggandaan Salvinia sp. pada perlakuan 7 ppm Fe (6.0-16.1 hari) lebih cepat dari perlakuan 14 ppm Fe (16.7-27.2 hari). 2. Salvinia sp. yang ditumbuhkan selama 2 minggu pada konsentrasi 7 ppm Fe dapat menyerap atau mengurangi konsentrasi Fe dalam larutan hara 19.765.6%. 3. Hasil seleksi Salvinia sp. pada konsentrasi 7 ppm Fe diperoleh empat Salvinia sp. adaptif yang berasal dari Muning Tengah, Sungai Kambat, Gambut
dan
Murung Karamat dengan waktu penggandaan 6.0-8.6 hari.
Seleksi ke empat Salvinia sp. pada media tanah (pot) dari lahan pasang surut diperoleh dua Salvinia sp. yang berasal dari S. Kambat dan Murung Karamat dengan pertumbuhan lebih cepat dengan waktu penggandaan 7.9 hari. Daftar Pustaka Arora A, Pabby A, Singh PK. 2003. Heavy metal accumulation by azolla. In : Contaminated Soils. Proc. 18th Ann. Int. Conf. on Contaminated Soil Sediment and Water. Amherst, Oct. 21st-24th 2002. Vol. 8 pp : 39-48. Arthur GD, Wendy AS, Ondrej N, Petr H, Staden J. 2007. Occurrence of nutrients and plant hormones (cytokinins and IAA) in the water fern Salvinia molesta during growth and composting. Environmental and Experimental Botany. 61:137–144.
Begum A, HariKrishna S. 2010. Bioaccumulation of trace metals by aquatic plants. Int.J. ChemTech Res. 2(1):250-254, Benaroya RO, Tzin V, Tel-Or E, Zamski E. 2004. Lead accumulation in the aquatic fern Azolla filiculoides. Plant Physiology and Biochemistry. 42:639–645 Cobbett CS. 2000. Phytochelatins and their roles in heavy metal detoxification. Plant Physiol. 123:825–832 Dhir B. 2009. Salvinia: an Aquatic Fern with Potential Use in Phytoremediation. Environ. We Int. J. Sci. Tech. 4:23-27. Dhir B, Kumar R. 2010. Adsorption of Heavy Metals by Salvinia Biomass and Agricultural Residues. Int. J. Environ. Res. 4(3):427-432. Dushenkov V, Kumar PBAN, Motto H, Raskin I. 1995. Rhizofiltration: the use of plants to remove heavy metals form aqueous streams. Environ. Sci. Technol. 29: 1239–1245.
78
Hall JL. 2002. Cellular mechanisms for heavy metal detoxification and tolerance. J. Exp. Bot. 53: 1–11. Jumberi A, Alihamsyah T. 2004. Pengembangan lahan rawa berbasis inovasi teknologi. Dalam. Prosiding Seminar Nasional : Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Banjarbaru, 6-7 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Karama AS. 1990. Penggunaan pupuk organic dalam produksi pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Puslitbangtan tanggal 4 Agustus 1990. Bogor. Kaderi H. 2005. Penambahan konsentrat Salvinia molesta untuk meningkatkan pertumbuhan padi di tanah sulfat masam. Buletin Teknik Pertanian. 10(2):46-48. Mishra S, Srivastava S, Tripathia RD, Govindarajan R, Kuriakose SV, Prasad MNP. 2006. Phytochelatin synthesis and response of antioxidants during cadmium stress in Bacopa monnieri L. Plant Physiol. Biochem. 44: 25–37. Moretti A , Gigliano G S. 1988. Influence of light and pH on growth and nitrogenase activity on temperate-grown Azolla. Biol. and Fert. of Soils.6:131–136. Noor A, Jumberi A. 1998. Peranan bahan amelioran, pupuk kalium dan varietas dalam mengatasi keracunan besi pada tanaman padi di lahan pasang surut. Dalam : Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan, 2-3 Desember 1997 di Banjarbaru. Badan Litbang Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. p: 275279. Olguın EJ, Sa´nchez-Galva´n G, Pe´rez-Pe´rez T, Pe´rez-Orozco A. 2005. Surface adsorption, intracellular accumulation and compartmentalization of Pb(II) in batch-operated lagoons with Salvinia minima as affected by environmental conditions, EDTA and nutrients. J. Industrial and Microbiology Biotechnology. 32: 577–586. Olguin EJ, Rodriguez D, Sanchez G, Hernandez E, Ramirez ME. 2003. Productivity, protein content and nutrient removal from anaerobic effluents of coffee wastewater in Salvinia minima ponds, under subtropical conditions. Acta Biotechnology. 23: 259-270. Olguin EJ, Hernandez E, Ramos I. 2002. The effect of both different light conditions and the pH value on the capacity of Salvinia minima BAKER for removing cadmium, lead and chromium. Acta Biotechnology. 22:121131. Sánchez-Galván G, Monroy O, Gómez G, Olguín EJ. 2008. Assessment of the hyperaccumulating lead capacity of Salvinia minima using bioadsorption and intracellular accumulation factors. Water, Air and Soil Pollution. 194:77–90.
79
Schneider IAH, Rubio J. 1999. Sorption of Heavy Metal ions by the nonliving biomass of freshwater macrophytes. Environmental Science and Technology. 33: 2213-2217. Sun˜e N, Sa´nchez G, Caffaratti S, Maine MA. 2007. Cadmium and chromium removal kinetics from solution by two aquatic macrophytes. Environmental Pollution. 145:467-473.
BAB. VI. PENGARUH GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN SERTA KOMBINASINYA TERHADAP KERACUNAN BESI DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN PASANG SURUT Abstrak Penelitian bertujuan untuk 1) mempelajari pengaruh genotipe padi, ameliorasi lahan dan kombinasinya dalam mengendalikan keracunan besi pada dua lokasi dan dua musim tanam di lahan pasang surut, 2) mendapatkan genotipe padi yang toleran atau agak toleran terhadap keracunan besi. Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada dua musim tanam tahun 2011 di dua lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Penelitian merupakan percobaan petak terpisah dengan petak utama perlakuan ameliorasi lahan (kontrol, Salvinia sp. ditumbuhkan, kompos Salvinia sp., jerami padi, pupuk kandang (PK) 2.0 t/ha, dan anak petak perlakuan genotipe padi (TOX4136, Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4, dan IR 64). Hasil penelitian menunjukkan genotipe toleran (agak toleran) dan ameliorasi lahan dapat mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Pada lokasi KP. Belandean gejala keracunan besi lebih tinggi dan produktivitas padi lebih rendah dibandingkan lokasi Danda Jaya. Tingkat keracunan besi pada musim tanam kedua lebih rendah dibandingkan pada musim tanam pertama pada kedua lokasi penelitian. Genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 lebih toleran terhadap keracunan besi dan menghasilkan gabah lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya pada ke dua lokasi penelitian. Kata kunci : Ameliorasi lahan, genotipe padi, keracunan besi, lahan pasang surut Abstrak The objectives of experiment were : 1) to study the effect of rice genotypes, land amelioration and its combination to iron toxicity at two location and two cropping season in the tidal swamp land, 2) to obtain rice genotypes which tolerant or rather tolerant to Fe toxicity. The experiments were conducted in the tidal swamp land in the two cropping seasons 2011, at two locations namely Belandean Experiment Land and Danda Jaya, Kuala Barito Regency, South Kalimantan. The experiment was arranged in a split plots design with the land amelioration treatment (control, Salvinia sp. grown, compost Salvinia sp., rice straw, and farmyard manure (2 t/ha) as main plot, and the rice genotypes (TOX4136, Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4, and IR 64) as sub plot. The experiments results showed that land amelioration and tolerant (rather tolerant) genotypes can controlling iron toxicity and increase rice productivity in the tidal swamp area. In the Belandean site reached higher iron toxicity symptom and lower rice productivity compared to the Danda Jaya site. Level of iron toxicity symptoms lower at second cropping season than at first cropping season. Inpara-1 and Inpara-4 genotypes more tolerant to Fe toxicity than other genotypes and higher productivity at two experiment site. Key words: land amelioration, genotypes of rice, iron toxicity, tidal swamp area
82
Pendahuluan Lahan pasang surut merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi semakin menyusutnya lahan-lahan subur di pulau jawa akibat konversi lahan ke non pertanian, Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.5 juta ha berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian (Alihamsyah 2004). Walaupun lahan pasang surut mempunyai potensi sebagai sumber produksi padi, namun produktivitas padi di lahan ini
masih rendah.
Masalah kondisi biofisik lahan yang menyebabkan rendahnya produksi padi di lahan pasang surut terutama karena rendahnya kesuburan tanah, yang dicirikan oleh kahat hara, kemasaman yang tinggi, keracunan Al, Fe dan H2S (Sarwani et al. 1994). Keracunan besi pada padi merupakan salah satu faktor pembatas produksi padi di lahan sawah yang telah dilaporkan terjadi secara luas di beberapa negara Asia seperti China, India, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Philipina (Ash et al. 2005). Keracunan besi merupakan stress fisiologi pada tanaman padi yang umum dijumpai pada tanah Ultisol, Oxisol dan lahan pasang surut sulfat masam dengan keasaman dan kadar Fe aktif yang tinggi (Sahrawat 2004). Keracunan besi pada tanaman padi yang terserang berat mengakibatkan
pertumbuhan sangat jelek,
anakan tidak tumbuh sehingga hasil yang didapatkan sangat rendah dan bahkan dapat mengakibatkan kegagalan panen (Audebert dan Sahrawat 2000). Hasil-hasil penelitian menunjukkan keracunan besi pada padi sawah dapat menurunkan hasil hingga 12-100 % (Sahrawat 2000; Sahrawat et al. 2004; Sahrawat 2010). Keracunan besi pada padi selain disebabkan tingginya kadar besi di dalam tanah juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti ketidakseimbangan hara, tanah selalu tergenang (Sahrawat et al. 2004), dan penggunaan genotipe padi yang peka seperti varietas IR 64 (Suhartini 2004). Penggunaan genotipe toleran merupakan cara yang lebih murah dan mudah diaplikasikan oleh petani, namun demikian genotipe toleran kadang-kadang tidak selalu mampu beradaptasi secara luas untuk semua kondisi lahan. Penggunaan bahan organik seperti jerami padi dan pupuk kandang sebagai bahan amelioran untuk memperbaiki kualitas lahan walaupun telah diketahui dapat meningkatkan produktivitas padi, namun sering tidak
mencukupi atau tidak
83
tersedia di lokasi. Salah satu sumber bahan organik yang potensial selain jerami padi dan pupuk kandang adalah menggunakan pupuk organik seperti Salvinia sp. Penggunaan Salvinia sp. merupakan salah satu alternatif penyediaan bahan organik secara in-situ di lahan pertanaman padi. Salvinia sp.
merupakan pakis air yang banyak digunakan untuk
bioremediasi air yang tercemar logam-logam berat karena adaptasi dan kemampuannya yang tinggi dalam menyerap dan mengikat logam-logam berat yang terlarut dalam air (Dhir 2009; Dhir dan Kumar 2010; Oguin et al. 2002; Oguin et al. 2005). Selain kemampuan mengikat atau menjerap logam, Salvinia sp. mempunyai tingkat pertumbuhan dan
produktivitas biomas yang tinggi
sehingga potensial digunakan sebagai pupuk organik (Schneider dan Rubio 1999; Oguin et al. 2002; Oguin et al. 2003). Hasil penelitian penggunaan Salvinia molesta sebagai pupuk organik pada tanah lahan pasang surut sulfat masam di rumah kaca dengan dosis 4.1 g/6 kg tanah mampu meningkatkan hasil gabah dari 11.1 g/rumpun (kontrol) menjadi 70.07 g/rumpun dan mengurangi penggunaan pupuk N, P dan K (Kaderi 2005). Strategi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut yang bermasalah keracunan besi adalah dengan cara mengintegrasikan antara : (1) perbaikan lingkungan tumbuh tanaman, dan (2) menggunakan genotipe yang toleran (Alihamsyah 2002). Pengendalian keracunan besi yang mengkombinasikan antara penggunan genotipe padi toleran/agak toleran yang spesifik lokasi dan ameliorasi lahan menggunakan bahan amelioran seperti limbah panen, pupuk kandang dan Salvinia sp diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Penelitian bertujuan untuk
1) mempelajari pengaruh genotipe padi,
ameliorasi lahan dan kombinasinya dalam mengendalikan keracunan besi pada dua lokasi dan dua musim tanam di lahan pasang surut, 2) mendapatkan genotipe padi yang toleran (agak toleran) terhadap keracunan besi.
84
Metode Penelitian Percobaan lapang dilakukan di lahan pasang surut di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dengan tipologi sulfat masam pada tipe luapan air B di dua lokasi cekaman Fe yang berbeda yaitu di Blandean (cekaman Fe berat) dan Danda Jaya (cekaman Fe sedang) pada dua musim tanam (musim hujan dan musim kemarau), bulan Pebruari sampai dengan Nopember 2011. Pada musim tanam pertama (musim hujan) perlakuan yang diberikan adalah aplikasi bahan organik sebagai ameliorasi lahan : Salvinia sp. (Salvinia sp. yang terpilih dari percobaan di rumah kaca). Ada dua perlakuan untuk Salvinia sp. yaitu ditumbuhkan di lahan kemudian dibenamkan (insitu) dan kompos Salvinia sp. 2.0 t/ha. Sebagai pembanding aplikasi Salvinia sp.
ditambah perlakuan
kompos jerami padi dan pupuk kandang 2.0 t/ha. Pada musim tanam kedua (musim kemarau) bahan organik tidak diberikan lagi (memanfaatkan residu musim tanam pertama). Ada 4 genotipe padi yang digunakan dalam penelitian (genotipe padi yang terpilih dari percobaan rumah kaca) dan varietas IR 64 sebagai pembanding. Percobaan Musim Tanam I (Musim Hujan) Penelitian merupakan percobaan petak terpisah dengan petak utama ameliorasi lahan dan genotipe padi sebagai anak petak . Petak utama. Ameliorasi lahan yang terdiri atas : 1. Kontrol 2. Salvinia sp. ditumbuhkan 1 bulan, kemudian dibenamkan sebelum tanam 3. Kompos Salvinia sp. 2.0 t/ha 4. Kompos jerami padi 2.0 t/ha 5. Kompos pupuk kandang kotoran sapi (PK) 2.0 t/ha Anak petak. Genotipe padi terdiri atas : 1. Galur harapan TOX4136-5-1-1-KY-3 2. Inpara-1 3. Inpara-2 4. Inpara-4 5. IR.64 (varietas pembanding peka keracunan Fe)
85
Setiap perlakuan di ulang 3 kali dengan luas petak setiap perlakuan 4 x 5 2
m . Salvinia sp. yang ditumbuhkan (perlakuan 2) berasal dari aksesi Sungai Kambat, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan
(terpilih dalam seleksi
percobaan di rumah kaca). Salvinia sp. disebar (ditumbuhkan) di petakan lahan dengan dosis 100 g/m2
atau setara dengan 1 ton/ha basah (segar),
setelah
ditumbuhkan selama 1 bulan Salvinia sp. dimatikan dengan cara disemprot dengan herbisida paraquat. Tiga hari setelah penyemprotan dengan herbisida, Salvinia sp. dibenamkan kedalam tanah. Salvinia sp. sebelum disemprot herbsida diamati persentase penutupan permukaan lahan sawah dan bobot biomas segar per petak dengan cara mengambil sampel Salvinia sp. seluas 3 m2. Pengomposan bahan organik dilakukan selama 4 minggu dengan menambahkan mikroba pengurai untuk mempercepat pengomposan. Salvinia sp. ditumbuhkan dan kompos bahan organik lainnya dibenamkan 1 minggu sebelum tanam padi. Kompos bahan organik diberikan dengan dosis 2.0 t/ha berdasarkan kadar air 35%. Padi umur semai bibit 21 hari di tanam dengan jarak tanam 20 x 25 cm, 2 batang per lubang tanam. Pupuk N, P, dan K diberikan dengan dosis 75 kg N/ha, 37.5 kg P2O/ha dan 37.5 kg K2O/ha. Setengah pupuk N dan seluruh pupuk P dan K diberikan pada umur padi 7 hari setelah tanam, sisa pupuk N diberikan setelah 4 minggu kemudian. Pemeliharaan tanaman berupa penyiangan gulma, pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai cara dengan yang telah direkomendasikan. Pengamatan dilakukan terhadap Fe dan pH tanah sebelum tanam padi (7 hari setelah pembenaman bahan amelioran), tanaman akhir vegetatif dan setelah panen pada petak utama (perlakuan ameliorasi), karakter agronomis, hasil dan komponen hasil padi. Pengamatan tingkat keracunan Fe pada tanaman padi (Tabel 6.1) dilakukan setiap 2 minggu sekali mulai padi berumur 2 minggu sampai fase inisiasi malai. Kadar Fe dara hara N, P, K jaringan tanaman padi diamati dengan mengambil sampel tanaman pada akhir vegetatif. Data parameter pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan perbandingan rata-rata perlakuan menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%.
86
Tabel 6.1. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi Skor Fe
Gejala pada tanaman
1 2
Tidak ada gejala Pertumbuhan dan pembentukan anakan normal, pada ujung daun tua terdapat bercak (spot) berwarna coklat kemerahan atau jingga Pertumbuhan dan pembentukan anakan hampir normal, daun tua berwarna coklat kemerahan, ungu atau kuning jingga Pertumbuhan dan pembentukan anakan agak terhambat, beberapa daun berwarna coklat kemerahan atau kuning jingga Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat/terhenti, banyak daun (hampir semua daun) berwarna coklat kemerahan atau kuning jingga Hampir semua tanaman (daun) mengering dan mati.
3
5
7
9
Tingkat toleransi Sangat toleran Toleran
Toleran
Sedang (Agak toleran) Peka
Sangat peka
Sumber : IRRI-INGER (1996)
Percobaan Musim Tanam II (Musim Kemarau) Penelitian bertujuan untuk mengetahui efek residu aplikasi bahan organik sebagai bahan amelioran (Salvinia sp, pupuk kandang dan jerami padi) dan untuk melihat konsistensi (stabilitas) hasil dari genotipe padi (musim hujan dan musim kemarau). Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau dengan perlakuan genotipe padi yang diuji sama dengan percobaan sebelumnya, dan residu bahan organik yang diberikan pada musim tanam sebelumnya (musim hujan). Penelitian merupakan percobaan petak terpisah dengan petak utama residu bahan organik (ameliorasi lahan) dan anak petak perlakuan genotipe padi. Petak utama. Residu bahan organik yang terdiri atas : 1. Kontrol 2. Salvinia sp ditumbuhkan 1 bulan, kemudian dibenamkan sebelum tanam 3. Kompos Salvinia sp. 2.0 t/ha 4. Kompos jerami padi 2.0 t/ha 5. Kompos pupuk kandang (PK) 2.0 t/ha Anak petak. Genotipe padi terdiri atas : 1. Galur harapan TOX4136-5-1-1-KY-3. 2. Inpara-1
87
3. Inpara-2 4. Inpara-4 5. IR.64 (varietas pembanding peka keracunan Fe) Setiap perlakuan di ulang 3 kali dengan luas petak setiap perlakuan 4 x 5 2
m . Padi umur semai 21 hari di tanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm, 2 batang per lubang tanam. Pupuk N, P, dan K diberikan dengan dosis 75 kg N/ha, 37.5 kg P2O/ha dan 37.5 kg K2O/ha. Setengah pupuk N dan seluruh pupuk P dan K diberikan pada umur padi 7 hari setelah tanam, sisa pupuk N diberikan setelah 4 minggu kemudian. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, hasil dan komponen hasil padi. Pengamatan gejala keracunan Fe pada tanaman padi dilakukan setiap 2 minggu sekali mulai padi berumur 2 minggu sampai akhir vegetatif. Data parameter pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan perbandingan rata-rata perlakuan menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%. Hasil dan Pembahasan Percobaan Musim Tanam I Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian Lokasi penelitian merupakan lahan pasang surut sulfat masam dengan tipe luapan B, lahan terluapi air hanya pada saat pasang besar. Pasang besar atau pasang tunggal terjadi dua periode dalam satu bulan yaitu selama bulan purnama dan bulan mati. Pada setiap periode pasang besar lahan terluapai air pasang selama 3-5 hari tergantung tinggi permukaan air disaluran tersier dan sekunder. Hasil analisis tanah di lokasi penelitian menunjukkan kemasaman tanah (pH) tergolong sangat masam dengan pH di KP. Belandean lebih rendah (3.80) dibandingkan lokasi desa Danda Jaya (4.10) (Tabel 6.2). Kadar
C organik dan N total pada kedua lokasi tergolong tinggi dan
sedang. Kandungan P total (cadangan) tergolong tinggi dengan kadar P Bray I sedang, sedangkan kandungan K total di dua lokasi tergolong rendah. Kadar Basabasa Ca, Mg, dan K di dua lokasi termasuk rendah sampai sangat rendah, dengan
88
kadar Na yang sedang. Unsur meracun Al-dd (9.70 me/100g) dan Fe (631 ppm) pada lokasi KP. Belandean lebih tinggi dibandingkan di Danda Jaya Al-dd 6.37 me/100 g dan Fe 425 ppm. Pada kedua lokasi tekstur tanah tergolong liat berdebu (Tabel 6.2). Tabel 6.2. Karakteristik tanah lokasi penelitian di lahan rawa pasang surut, KP. Blandean dan Danda Jaya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan Sifat Tanah
KP. Blandean Nilai Kriteria
Lapisan 0-20 cm pH (H2O) C. Organik (%) N total (%) P Bray I (ppm P2O5) P total (mg/100g P2O5) K total (mg/100 g K2O) Basa-basa tukar (me/100g) : Ca Mg K Na KTK (me/100 g) Al-dd (me/100 g) Fe tersdia (ppm)* Tekstur (%): Liat Debu Pasir Lapisan Pirit Kedalaman (cm) FeS2 (%) Fe tersedia (ppm)* pH
Danda Jaya Nilai Kriteria
3.80 5.01 0,25 12.80 84.00 8.00
SM T S S T R
4.10 4.16 0.27 15.20 112 8.00
SM T S S T R
1.50 1.37 0.09 0.62 15.75 9.70 631
R R SR S S T ST
1.10 1.30 0.09 0.62 12.65 6.37 425
R R SR S S T ST
69 31 Liat berdebu 0 40 4.37 1589 2.90
ST SM
63 36 1 54 2.48 1764 3.10
Liat berdebu
ST SM
Keterangan : SM=sangat masam, ST=sangat tinggi, T=tinggi, S=sedang, R=rendah, SR=sangat rendah * ekstraksi dengan ammonium asetat pH 4.8 (metode Morgan)
Kedalaman lapisan pirit (FeS2
2%) pada lokasi KP. Belandean lebih
dangkal ( 40 cm) dibandingkan lokasi Danda Jaya ( 54 cm), dengan kadar pirit di KP. Belandean juga lebih tinggi (4.37%) dibandingkan lokasi Danda Jaya (2.48%) (Tabel 6.2). Berdasarkan kedalaman lapisan pirit yang lebih dangkal dan kadar pirit, unsur meracun Al-dd dan Fe yang lebih tinggi serta pH tanah yang lebih rendah, lokasi KP. Belandean mempunyai tingkat cekaman yang lebih berat
89
dibandingkan lokasi Danda Jaya. Kadar Fe tanah terekstrak ammonium asetat pH 4.8 yang lebih tinggi, pH yang lebih rendah, kadar pirit yang lebih tinggi dan kedalaman lapisan pirit yang lebih dangkal pada lokasi KP. Belandean lebih berpotensi untuk keracunan besi yang lebih berat dibandingkan lokasi Danda Jaya. Masalah fisiko-kimia lahan untuk pengembangan tanaman pangan di lahan pasang surut meliputi antara lain genangan air dan kondisi fisik lahan, kemasaman tanah dan asam organik pada lahan gambut tinggi, mengandung zat beracun dan intrusi air garam, kesuburan alami tanah rendah dan keragaman kondisi lahan tinggi (Sarwani et al. 1994). Dari ketiga tipologi lahan di lahan pasang surut, lahan sulfat masam merupakan lahan yang mempunyai kendala lebih berat, karena mempunyai lapisan pirit yang apabila teroksidasi mengakibatkan pH tanah yang masam sampai sangat masam, mempunyai kandungan unsur meracun Al dan Fe yang tinggi serta kandungan dan ketersediaan hara yang rendah. Lahan sulfat masam di Indonesia di perkirakan sekitar 6,7 juta ha (Wijaya Adhi 1986; Alihamsyah 2004). Lahan sulfat masam yang mengandung lapisan pirit yang tinggi menjadi masalah apabila teroksidasi, karena menyebabkan tanah menjadi sangat masam dengan kadar sulfat dan besi yang tinggi. Reaksi oksidasi pirit menghasilkan besi ferri (Fe+3) dan
H+ yang menyebabkan tanah menjadi sangat masam
secara
sederhana dapat digambarkan sebagai berikut (Dent 1986) FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4 H+ Pada kondisi tergenang (reduktif) besi ferro biasanya berlebihan pada lahan sulfat masam yang dapat berakibat keracunan besi pada padi. Dalam keadaan reduktif (tergenang) besi ferri (Fe+3) akan tereduksi menjadi besi ferro (Fe+2) yang dapat diserap oleh tanaman dan dalam jumlah berlebihan dapat meracuni tanaman padi (Dent 1986). Kadar Hara Bahan Amelioran yang Digunakan Kadar hara bahan amelioran (bahan organik) yang digunakan dalam ameliorasi lahan disajikan pada Tabel 6.3. Kadar C organik berkisar antara 15.7124.92%, N 0.87-1.08%, P 0.09-0.32%, K 1.35-1.85%, Ca 0.24-0.35%, Mg 0.220.28%, C/N 16-26.
Kompos Salvinia sp.
mempunyai C/N yang terendah,
90
sedangkan kompos jerami mempunyai kadar kalium yang tertinggi (1.86%) diantara ke tiga bahan amelioran yang digunakan.
Kompos pupuk kandang
mempunyai yang kadar P tertinggi (0.32%). Salvinia sp. segar yang ditumbuhkan di lahan mempunyai kandungan Fe tertinggi (5.23%), diikuti oleh kompos Salvinia sp., kompos jerami dan kompos pupuk kandang kotoran sapi mempunyai kandungan Fe terendah (0.25%) (Tabel 6.3). Tabel 6.3. Kadar hara dan Fe bahan organik yang digunakan dalam penelitian Kadar Hara C (%) N (%) P (%) K (%) Ca (%) Mg (%) C/N Fe (%)
Kompos Jerami 24.92 0.96 0.19 1.86 0.35 0.22 26.0 0.62
Kompos Pupuk Kandang 16.6 0.87 0.32 0.95 0.18 0.39 19.08 0.25
Kompos Salvinia sp.
Salvinia sp. segar
15.71 0.98 0.09 1.35 0.24 0.28 16.0 1.62
24.83 1.06 0.11 1.75 0.31 0.26 23.4 5.23
Perubahan pH dan Fe Tanah Hasil analisis tanah sebelum tanam (7 hari setelah ameliorasi lahan), saat akhir vegetatif dan setelah panen menunjukkan adanya perubahan pH dan kadar Fe tanah di kedua lokasi penelitian (Gambar 6.1). Kadar Fe larut dan pH tanah semakin menurun dengan lamanya waktu pengamatan. Kadar Fe dan pH tanah pada waktu setelah panen < akhir vegetatif < sebelum tanam. Keasaman tanah Danda Jaya lebih tinggi dibandingkan KP. Belandean, sebaliknya kadar Fe tanah Danda Jaya lebih rendah dari KP. Belandean pada semua perlakuan ameliorasi lahan dan waktu pengamatan. Keasaman tanah (pH) tidak terlalu berubah dengan perlakuan ameliorasi lahan, pada lokasi KP. Belandean sebelum tanam menunjukkan pH tanah pada perlakuan amaliorasi lahan adalah 3.65-3.90 sedangkan kontrol 3.50. Pada lokasi Danda Jaya pH pada perlakuan ameliorasi lahan berkisar antara
3.90-4.10,
sedangkan perlakuan kontrol 3.90. Pada lokasi KP. Belandean perlakuan ameliorasi lahan menurunkan kadar Fe tanah dari 761 ppm (kontrol) menjadi 525681 ppm atau menurun 11-31%, sedangkan di Danda Jaya menurunkan Fe dari 528 ppm (kontrol) menjadi 428-480 ppm atau menurun 9-19% (Gambar 6.1).
800 700 600 500 400 300 200 100 0
Sebelum tanam (Fe)
Setelah panen (Fe)
Akhir vegetatif (Fe)
Sebelum tanam (pH)
Setelah panen (pH)
Akhir vegetatif (pH)
KP. Belandean
Danda Jaya
4.4 4.0 3.6 3.2 2.8 2.4 2.0
pH
Fe (ppm)
91
Perlakuan ameliorasi lahan Gambar 6.1. Perubahan pH dan Fe sebelum tanam (7 hari setelah perlakuan ameliorasi lahan), pada akhir vegetatif dan setelah panen di KP. Belandean dan Danda Jaya
Semakin rendahnya kadar Fe tanah pada waktu setelah panen dibandingkan pada akhir vegetatif tanaman dan sebelum tanam diperkirakan berhubungan dengan kondisi genangan air di lahan pertanaman padi. Genangan air semakin berkurang sampai menjelang panen (memasuki musim kemarau), sehingga kondisi lahan berada dalam keadaan oksidatif yang berakibat semakin berkurangnya kadar besi Fe+2 di dalam tanah. Gejala Keracunan Besi pada Tanaman Hasil analisis ragam terhadap skor gejala keracunan besi pada padi mulai umur 2 minggu sampai 8 minggu setelah tanam menunjukkan perlakuan ameliorasi lahan dan genotipe padi berpengaruh nyata pada kedua lokasi, kecuali pada minggu ke-2 perlakuan ameliorasi lahan belum berpengaruh terhadap gejala keracunan besi di lokasi Danda Jaya (Tabel 6.4). Pada kedua lokasi interaksi antara ameliorasi lahan dan genotipe padi tidak nyata. Gejala keracunan besi meningkat dengan meningkatnya waktu pengamatan sampai umur tanaman 8 minggu. Pada ke dua lokasi penelitian perlakuan ameliorasi
lahan menggunakan bahan organik mampu mengurangi tingkat
keracunan besi pada tanaman.
92
Tabel 6.4. Analisis ragam pengaruh genotipe padi dan ameliorasi lahan terhadap gejala keracunan besi pada tanaman umur 2-8 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya , Kalimantan Selatan, MT. I. 2011 Sumber Keragaman
Ameliorasi lahan(A) Genotipe padi (G) A*G Amelioran (A) Genotipe padi (G) A*G
Parameter yang diamati Skor Skor Skor keracunan Fe keracunan Fe keracunan Fe (Minggu-2) (Minggu-4) (Minggu-6) KP. Belandean ** ** * ** ** ** tn * tn Danda Jaya tn * ** ** ** ** tn tn tn
Skor keracunan Fe (Minggu-8) ** ** tn * ** tn
Ket : tn = tidak nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
Pada umur tanaman 2 minggu gejala keracunan besi pada lokasi Danda Jaya lebih tinggi dibandingkan lokasi KP.Belandean. Gejala keracunan besi pada lokasi KP. Belandean lebih tinggi dibandingkan Danda Jaya terutama pada umur tanaman 6-8 minggu. (Tabel 6.5-6.6). Tabel 6.5. Gejala keracunan Fe umur 2 dan 4 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011 KP. Belandean Perlakuan Ameliorasi lahan Kontrol Salvinia sp. ditumbuhkan Kompos Salvinia sp. Kompos Jerami Kompos PK Genotipe padi TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64
Skor Skor keracunan Fe keracunan Fe (2 minggu) (4 minggu)
Danda Jaya Skor keracunan Fe (2 minggu)
Skor keracunanFe (4 minggu)
1.87 a 1.40 b 1.53 ab 1.33 b 1.80 a
3.93 a 2.53 c 3.00 b 3.13 b 3.00 b
2.60 a 2.67 a 2.27 a 2.40 a 2.27 a
3.33 a 3.00 ab 2.73 b 3.20 ab 3.07 ab
1.53 bc 1.27 cd 1.87 ab 1.07 d 2.20 a
2.87 b 2.33 c 3.20 b 2.20 c 5.00 a
2.27 b 1/73 c 2.07 bc 1.80 c 4.33 a
2.80 b 2.00 c 3.20 b 2.07 c 5.27 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Pada pengamatan gejala keracunan besi umur tanaman 8 minggu menunjukkan di lokasi KP. Belandean rata-rata perlakuan amelioran menurunkan
93
skor keracunan besi dari 4.32 (kontrol) menjadi 3.06-3.40. Pada lokasi Danda Jaya perlakuan ameliorasi lahan menurunkan skor keracunan besi umur 8 minggu dari 3.42 (kontrol) menjadi 2.58-2.88. Perlakuan
Salvinia sp.
yang ditumbuhkan
maupun yang dikomposkan tidak menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan kompos jerami padi dan pupuk kandang dalam mengendalikan keracunan besi. (Tabel 6.6). Pada kedua lokasi penelitian genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 menunjukkan gejala keracunan paling rendah. Pada pengamatan umur tanaman 8 minggu di lokasi Danda Jaya rata-rata skor keracunan besi padi Inpara-1 1.80 dan Inpara-4 1.60 lebih rendah dibandingkan varietas IR 64 (4.72). Pada lokasi KP. Belandean rata-rata skor keracunan besi Inpara-1 2.74 dan Inpara-4
2.26 lebih rendah
dibandingkan varietas IR 64 (5.54) (Tabel 6.6). Tabel 6.6. Gejala keracunan Fe umur 6 dan 8 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011 KP. Belandean Perlakuan Ameliorasi lahan Kontrol Salvinia sp. ditumbuhkan Kompos Salvinia sp. Kompos Jerami Kompos PK Genotipe padi TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64
Skor keracunan Fe (6 minggu)
Skor keracunan Fe (8 minggu)
Danda Jaya Skor keracunan Fe (6 minggu)
Skor keracunanFe (8 minggu)
3.87 a 2.87 b 3.00 b 3.13 b 3.40 ab
4.32 a 3.06 b 3.28 b 3.40 b 3.14 b
3.00 a 2.53 bc 2.47 c 2.60 bc 2.87 ab
3.42 a 2.68 b 2.58 b 2.88 b 2.72 b
3.40 b 2.00 c 3.33 b 2.13 c 5.40 a
3.34 b 2.74 bc 3.32 b 2.26 c 5.54 a
2.73 b 1.90 c 2.60 b 1.60 c 4.60 a
3.02 b 1.80 c 3.14 b 1.60 c 4.72 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Gejala keracunan besi genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 yang lebih rendah dibandingkan genotipe IR 64 pada fase vegetatif dan generatif ditunjukkan pada gambar berikut ini (Gambar 6.2).
94
`
Inpara 4
IR 64
Inpara 1
IR 64
Gambar 6.2. Gejala keracunan besi genotipe Inpara-4 dan IR 64 pada saat pertumbuhan vegetatif (kiri) dan genotipe IR 64 dan Inpara-1 pada saat telah keluar malai (kanan), KP. Belandean, MT. I.
Kadar Fe dan Hara Tanaman Hasil analisis jaringan tanaman padi yang diambil pada akhir vegetatif menunjukkan rata-rata bahan amelioran yang digunakan dalam ameliorasi lahan menurunkan kadar Fe dalam tanaman padi. Pada lokasi KP. Belandean ameliorasi lahan menurunkan kadar Fe dari 1298 ppm (kontrol) menjadi 759-1095 ppm Fe, sedangkan pada lokasi Danda Jaya menurunkan kadar Fe dari 938 ppm (kontrol) menjadi 622-703 ppm Fe (Gambar 6.3)
Kadar Fe tanaman (ppm)
KP. Belandean
Danda Jaya
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Amelioran Gambar 6.3.
Genotipe padi
Rata-rata kadar Fe tanaman padi pada perlakuan ameliorasi lahan dan genotipe padi pada lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya, MT. I. 2011
95
Genotipe padi yang peka seperti IR 64 mempunyai kadar Fe tanaman yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Pada lokasi KP. Belandean kadar Fe IR 64 1467 ppm Fe lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya (TOX, Inpara-1, inpara-2, Inpara-4) berkisar antara 762-927 ppm Fe, sedangkan pada lokasi Danda Jaya kadar Fe IR 64 1066 ppm Fe lebih tinggi dari genotipe lainnya 523-694 ppm Fe. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan keracunan besi disebabkan tingginya kadar Fe dalam jaringan tanaman, yang berbeda-beda tergantung varietas atau kepekaan tanaman. Menurut Yamauchi dan Peng (1995), keracunan besi terjadi karena penyerapan unsur Fe+2 yang melebihi 300 ppm. Fageria et al. (1981) melaporkan tingkat kadar Fe dalam tanaman yang menunjukkan gejala keracunan Fe berbeda-beda tergantung umur tanaman yaitu 680 ppm Fe pada umur tanaman 20 hari dan 850 ppm pada umur tanaman 40 hari. Menurut Yamauchi (1989), secara umum batas kritis keracunan Fe dalam jaringan untuk spesies padi Asia adalah 700 ppm Fe. Hasil penelitian Sulaiman et al. (1997) menunjukkan batas kritis keracunan Fe jaringan tanaman padi IR.64 di lahan pasang surut adalah sebesar 200 ppm Fe. Sahrawat (2000) mengemukakan batas kritis kadar Fe dalam tanaman yang menyebabkan keracunan besi antara 300-500 ppm, sedangkan hasil penelitian Nozoe et al. (2008) batas kritis keracunan besi pada kisaran yang lebih tinggi lagi yaitu antara 500-2000 ppm Fe. Hasil analisis jaringan tanaman menunjukkan kadar P tanaman umumnya tidak terlalu bervariasi antara semua perlakuan, sedangkan kadar N dan K pada perlakuan ameliorasi lahan (amelioran) cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol. Rata-rata kadar hara N, P, dan K tanaman pada perlakuan ameliorasi lahan di KP. Belandean berkisar antara 1.57-1.85% N, 0.24-0.27% P, 1.68-1.98% K, sedangkan pada perlakuan kontrol 1.45% N, 0.26% P, 1.57% K. Pada lokasi Danda Jaya rata-rata kadar N, P, K tanaman perlakuan amelioran berkisar 1.722.02% N, 0.26-0.28% P, 1.58-1.81% K, sedangkan perlakuan kontrol 1.70% N, 0.28% P, 1.37% K. Rata-rata kadar N, P, K tanaman perlakuan genotipe di lokasi KP. Belandean berkisar antara 1.44-1.86% N, 0.23-0.28% P, 1.63-1.80% K, sedangkan pada lokasi Danda Jaya berkisar antara 1.67-2.07% N, 0.26-0.30% P, 1.55-1.69% K (Gambar 6.3).
2.5
K
P Danda Jaya
0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05
2.0 1.5 1.0 0.5
Kadar P tanaman (%)
N KP. Belandean
4 .6 4 IR rapa 2 In rapa 1 In rapa In X TO K i sP m po ra a n m s Je ini ka Ko po alv buh m sS Ko po tum m di Ko inia lv Sa trol n Ko
4 .6 4 IR rapa 2 In rapa 1 In rapa In X TO K i sP m po ra a n m s Je ini ka Ko po alv buh m sS Ko po tum m di Ko inia lv Sa trol n Ko
Kadar N dan K tanaman (%)
96
Perlakuan Amelioran dan Genotipe padi Gambar 6.4. Rata-rata kadar hara N, P, K tanaman padi pada perlakuan ameliorasi lahan dan genotipe padi pada lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya, MT. I. 2011
Pertumbuhan Tanaman Hasil analisis ragam terhadap tinggi tanaman menunjukkan pada lokasi KP. Belandean perlakuan ameliorasi lahan bepengaruh nyata, sedangkan pada lokasi Danda Jaya tidak nyata. Perlakuan genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada kedua lokasi. Tidak terjadi Interaksi antara ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap pertumbuhan tanaman pada kedua lokasi penelitian (Tabel 6.7). Tabel 6.7. Analisis ragam pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap tinggi dan jumlah anakan tanaman padi di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011 Sumber Keragaman
Ameliorasi lahan (A) Genotipe padi (G) A*G Ameliorasi lahan (A) Genotipe padi (G) A*G
Tinggi
Variabel yang diamati Jumlah anakan
KP. Belandean ** ** tn Danda Jaya tn ** tn
Ket : tn = tidak nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
** ** tn * ** tn
97
Perlakuan ameliorasi lahan (Salvinia sp. ditumbuhkan, kompos Salvinia sp. dan jerami padi) meningkatkan tinggi tanaman dari 76.6 cm (kontrol) menjadi 82.3-85.4 cm, sedangkanpada lokasi Danda Jaya ameliorasi lahan tidak mempengaruhi tinggi tanaman (Tabel 6.8). Tinggi tanaman dipengaruhi oleh perbedaan genotipe padi pada ke dua lokasi penelitian. Pada kedua lokasi penelitian tinggi tanaman galur TOX4136, Inpara-1 dan Inpara-2 lebih tinggi dibandingkan Inpara-4 dan IR.64 (Tabel 6.8). Tabel 6.8. Tinggi tanaman dan jumlah anakan padi pada fase akhir vegetatif di Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011 KP. Belandean Perlakuan Ameliorasi lahan Kontrol Salvinia sp. ditumbuhkan Kompos Salvinia sp. Kompos Jerami Kompos PK Genotipe padi TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64
Danda Jaya
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan
76.6 b 85.4 a 82.4 a 82.3 a 80.9 ab
12.9 b 15.0 a 14.8 a 13.9 ab 13.5 b
76.9 a 79.5 a 79.4 a 78.6 a 81.6 a
14.8 b 16.1 ab 17.1 a 15.8 ab 15.5 b
91.6 a 89.0 a 92.3 a 65.6 b 69.2 b
11.9 c 14.3 b 13.5 b 17.0 a 13.4 b
84.9 b 89.9 a 94.0 a 64.8 c 62.3 c
14.2 c 16.3 b 14.3 c 20.6 a 13.8 c
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Perlakuan ameliorasi lahan mempengaruhi pembentukan jumlah anakan padi di kedua lokasi. Pada lokasi KP. Belandean jumlah anakan terbanyak pada perlakuan Salvinia sp. ditumbuhkan di petakan sawah (15.0) dan kompos Salvinia sp. (14.8) (Tabel 6.8). Pada lokasi Danda Jaya jumlah anakan terbanyak terdapat pada perlakuan kompos Salvinia sp. (17.1) lebih tinggi dari perlakuan kontrol. Jumlah anakan padi diantara genotipe cukup bervariasi, rata-rata jumlah anakan tertinggi pada kedua lokasi adalah varietas Inpara-4, dengan jumlah anakan Inpara-4 di KP. Belandean 17.5 dan di Danda Jaya 21.0. Jumlah anakan terendah di KP. Belandean terdapat pada galur TOX4136 (12.2) dan di Danda Jaya IR 64 (13.7). Jumlah anakan padi pada perlakuan Salvinia sp. ditumbuhkan dan Salvinia sp. yang dikomposkan lebih
98
tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan jumlah anakan pada perlakuan kompos jerami padi dan pupuk kandang tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6.8). Hasil dan Komponen Hasil Padi Hasil analisis ragam terhadap hasil gabah dan komponen hasil padi disajikan pada Tabel 6.9 berikut. Perlakuan ameliorasi lahan berpengaruh nyata terhadap hasil gabah, jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah isi per malai, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang malai dan persen gabah hampa pada kedua lokasi penelitian. Pada kedua lokasi penelitian perlakuan genotipe padi berpengaruh nyata terhadap hasil dan komponen hasil, tapi tidak terjadi interaksi antara perlakuan genotipe padi dan ameliorasi lahan terhadap semua parameter hasil dan komponen hasil (Tabel 6.9). Tabel 6.9. Analisis ragam pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap hasil dan komponen hasil padi di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011 Sumber Keragaman
Hasil gabah
Ameliorasi lahan (A) Genotipe padi (G) A*G
** ** tn
Amelioran (A) Genotipe padi (G) A*G
* ** tn
Parameter yang diamati Jumlah Gabah Panjang malai isi/malai malai KP. Belandean ** ** tn ** ** ** tn tn tn Danda Jaya ** ** tn ** ** ** tn tn tn
% gabah hampa tn ** tn tn ** tn
Ket : tn = tidak nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
Rata-rata perlakuan ameliorasi lahan meningkatkan hasil gabah kering di lokasi Belandean dari 3.15 t/ha (kontrol) menjadi 3.54-3.81 t/ha. Salvinia sp. yang ditumbuhkan, kompos Salvinia sp., kompos jerami padi dan kompos pupuk kandang meningkatkan hasil gabah berturut-turut 21, 12, 18, dan 14% dibandingkan kontrol. Pada lokasi Danda Jaya rata-rata perlakuan ameliorasi lahan meningkatkan hasil gabah kering dari 3.94 t/ha (kontrol) menjadi 4.50-4.73 t/ha. Salvinia sp. yang ditumbuhkan, kompos Salvinia sp., kompos jerami padi dan
99
kompos pupuk kandang meningkatkan hasil gabah berturut-turut 15, 20, 14, dan 17% dibandingkan kontrol (Tabel 6.10). Hasil gabah pada perlakuan genotipe di KP. Belandean rata-rata varietas Inpara-4 (4.13 t/ha), Inpara-1 (4.08 t/ha), Inpara-2 (3.91 t/ha) lebih tinggi dibandingkan galur TOX4136 (2.97 t/ha) dan IR.64 (2.67 t/ha).
Hasil gabah
perlakuan genotipe padi di KP. Belandean rata-rata Inpara-4 (5.61 t/ha) dan Inpara2 (5.59 t/ha) lebih tinggi dibandingkan Inpara-2 (4.50 t/ha) galur TOX4136 (3.70 t/ha), dan IR.64 yang mempunyai hasil gabah terendah (2.95 t/ha) (Tabel 6.10). Tabel 6.10. Pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap hasil gabah kering (t/ha), jumlah malai/rumpun, dan jumlah gabah isi/malai di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011 Perlakuan Ameliorasi lahan Kontrol Salvinia sp. ditumbuhkan Kompos Salvinia sp. Kompos Jerami Kompos PK Genotipe padi TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64
KP. Belandean Jumlah Jumlah Gabah malai/ gabah (t/ha) rumpun isi/malai
Gabah (t/ha)
Danda Jaya Jumlah Jumlah malai/ gabah rumpun isi/malai
3.15 b 3.81 a 3.54 a 3.73 a 3.60 a
9.5 c 12.3 a 11.2 ab 11.0 b 10.8 b
112.0 b 127.5 a 131.5 a 126.4 a 136.6 a
3.94 b 4.55 a 4.73 a 4.50 a 4.63 a
12.8 b 14.5 a 15.2 a 13.9 ab 14.0 ab
115.3 b 125.6 ab 135.5 a 131.4 a 124.6 ab
2.97 b 4.08 a 3.91 a 4.13 a 2.67 b
9.0 c 11.0 b 9.8 b 12.5 a 12.4 a
125.1 c 140.6 b 125.8 c 170.7 a 71.6 d
3.70 c 5.59 a 4.50 b 5.61 a 2.95 d
11.6 d 15.4 b 12.5 cd 17.8 a 13.5 c
120.8 b 152.0 a 127.1 b 158.9 a 73.6 c
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Salvinia sp. yang ditumbuhkan di lokasi KP. Belandean mampu meningkatkan hasil gabah 21%, sedangkan di Danda Jaya perlakuan kompos Salvinia sp. mampu meningkatkan hasil gabah 20% lebih tinggi dari perlakuan ameliorasi lahan yang lain. Hal ini menunjukkan Salvinia sp. ditumbuhkan secara langsung atau dikomposkan mempunyai potensi digunakan sebagai bahan amelioran (pupuk organik) selain penggunaan jerami padi dan pupuk kandang di lahan pasang surut. Meningkatnya hasil gabah baik dengan perlakuan ameliorasi lahan maupun genotipe padi
berhubungan dengan kemampuan bahan organik dan genotipe
dalam mengurangi ataupun mencegah tingkat keracunan besi pada tanaman (Tabel
100
6.5-6.6).
Penggunaan genotipe
toleran
dan agak toleran pada lokasi KP.
Belandean mampu memperbesar hasil gabah hingga 3.97-4.13 t/ha dibandingkan varietas IR 64 yang peka keracunan besi (2.67 t/ha). Pada lokasi Danda Jaya genotipe toleran dan agak toleran dapat memberikan hasil gabah hingga 3.705.61 t/ha dibandingkan IR 64 (2.95 t/ha). Rata-rata genotipe toleran dan agak toleran (TOX4136, Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4) meningkatkan hasil gabah di KP. Belandean 11.2-54.7% dan di Danda Jaya 25.4-90.2% dibandingkan genotipe peka (IR 64). Genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 di KP. Belandean memberikan hasil gabah 4.08 t/ha dan 4.13 t/ha, sedangkan di Danda Jaya 5.59 t/ha dan 5.61 t/ha lebih tinggi dari genotipe lainnya. Pada lokasi KP. Belandean perlakuan ameliorasi lahan rata-rata meningkatkan jumlah malai per rumpun dari 9.5 (kontrol) menjadi 11.0-12.3, sedangkan pada lokasi Danda Jaya meningkatkan jumlah malai dari 12.8 menjadi 13.9-15.2 (Tabel 6.10). Genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 menghasilkan jumlah malai per rumpun beruturut-turut 14.8 dan 17.8 yang lebih tinggi dibandingkan IR 64 (13.5) pada lokasi Danda Jaya. Jumlah malai padi yang diberi perlakuan Salvinia sp. yang ditumbuhkan dan dikomposkan lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol, sedangkan jumlah malai padi yang diberi perlakuan kompos jerami dan pupuk kandang tidak berbeda dengan kontrol pada lokasi Danda Jaya (Tabel 6.10). Perlakuan ameliorasi lahan meningkatkan jumlah gabah isi per malai pada lokasi KP. Belandean dari 112.0 (kontrol) menjadi 126.4-131.5, sedangkan pada lokasi Danda Jaya meningkat dari 115.3 menjadi 125.6-135.5. Genotipe yang lebih toleran (TOX4136, Inpara-1, Inpara-2 dan Inpara-4) di KP. Belandean menghasilkan gabah isi per malai 125.1-170.7 yang lebih tinggi dibandingkan IR 64 (71.6), sedangkan di Danda Jaya menghasilkan gabah isi 120.8-158.9 yang lebih tinggi dibandingkan IR 64 (73.6) (Tabel 6.10). Padi dengan tingkat keracunan besi yang rendah mempunyai pertumbuhan tanaman lebih baik, terutama lebih banyaknya jumlah anakan yang terbentuk (Tabel 6.8), jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah isi per malai (Tabel 6.10).
101
Perlakuan ameliorasi lahan tidak mempengaruhi panjang malai, rata-rata panjang malai di lokasi KP. Belandean berkisar antara 21.6-22.5 cm dan di Danda Jaya 22.7-23 cm (Tabel 6.11). Persen gabah hampa tidak dipengaruhi oleh perlakuan ameliorasi lahan, rata-rata persen gabah hampa di KP. Belandean berkisar antara 12.3-16.5%, sedangkan di Danda Jaya 12.6-14.2%.
Terdapat perbedaan persentase gabah
hampa pada masing-masing genotipe, di KP Belandean berkisar antara 10.718.0%, sedangkan di Danda jaya 6.6-18.4% (Tabel 6.11). Tabel 6.11. Pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap panjang malai (cm) dan gabah hampa (%) di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011 Perlakuan Ameliorasi lahan Kontrol Salvinia sp. ditumbuhkan Kompos Salvinia sp. Kompos Jerami Kompos PK Genotipe padi TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64
KP. Belandean Panjang Gabah malai (cm) hampa (%)
Danda Jaya Panjang Gabah malai (cm) hampa (%)
21.6 a 21.8 a 22.5 a 22.3 a 21.9 a
16.5 a 12.4 a 14.1 a 12.3 a 14.2 a
23.0 a 22.7 a 22.8 a 23.0 a 23.2 a
22.9 a 23.3 a 21.8 b 21.6 b 20.5 c
17.6 a 18.0 a 16.8 a 9.3 b 11.4 b
24.1 ab 24.4 a 23.5 b 21.6 c 21.2 c
12.6 a 14.2 a 12.6 a 13.6 a 14.1 a 18.4 a 13.9 b 19.6 a 7.7 d 11.1 c
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Perbedaan genotipe mempengaruhi panjang malai padi, di KP. Belandean Inpara-1 mempunyai malai lebih panjang (23.3 cm) dan terpendek IR.64 (20,5 cm), sedangkan di Danda Jaya malai terpanjang juga dihasilkan Inpara-1 (24.4 cm) dan terpendek IR 64 (21.2 cm) (Tabel 6.11). Hasil penelitian pada musim tanam I menunjukkan tingkat keracunan besi pada lokasi KP. Belandean lebih tinggi dibandingkan Danda Jaya, hal ini berhubungan dengan adanya perbedaan karakteristik tanah di lokasi percobaan (Tabel 6.2). Tanah pada lokasi Belandean mempunyai tingkat keasaman, kadar Al-dd dan Fe yang lebih tinggi. Pada kandungan Fe tanah yang tinggi dengan kondisi lingkungan yang lebih banyak tergenang di KP. Belandean menyebabkan
102
keracunan besi pada tanaman padi menjadi lebih tinggi dibandingkan lokasi Danda Jaya. Keracunan besi pada padi selain disebabkan tingginya kadar besi di dalam tanah (Sahrawat et al. 2004), juga disebabkan karena penggunaan genotipe padi yang peka terhadap keracunan besi (Suhartini 2004). Keracunan besi pada tanaman disebabkan karena tingginya konsentrasi besi larut dalam tanah.
Kebanyakan tanah mineral kaya akan besi,
gejala
keracunan besi pada jaringan daun yang mengakibatkan pengurangan hasil hanya terjadi pada kondisi lahan tergenang dimana terjadi proses reduksi yang melibatkan mikrobia yang merrubah besi tidak larut (Fe3+) menjadi besi larut (Fe+2) (Beckers dan Ash 2005). Keracunan Fe pada padi selain disebabkan tingginya kadar Fe dalam larutan juga dipengaruhi oleh toleransi genotipe, status hara, pengelolaan tanah dan air, temperatur dan radiasi matahari (Breemen dan Moormann 1978; Audebert dan Sahrawat 2000; Sahrawat 2010). Ketahanan terhadap keracunan Fe juga meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Fageria et al. 1981). Menurut Breemen dan Moormann (1978) konsentrasi Fe dalam larutan tanah 300-400 ppm Fe menyebabkan keracunan besi pada tanaman padi. Sahrawat dan Diatta (1996) mengemukakan konsentrasi Fe+2 dalam larutan di lahan sawah yang dapat mengakibatkan keracunan besi berkisar antara 10-2000 ppm. Hasil penelitian Sulaiman et al. (1997) menunjukkan batas kritis konsentrasi Fe (ekstraksi 1N NH4OAC pH 4.8) di dalam tanah di lahan pasang surut yang dapat menyebabkan keracunan besi pada tanaman adalah 260 ppm Fe, sedangkan batas kritis keracunan Fe jaringan tanaman padi IR 64 adalah sebesar 200 ppm Fe. Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan tanaman padi
yang disebabkan tingginya kadar Fe di dalam tanah,
juga
berhubungan dengan berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara mineral (stres hara) P, K, Ca, Mg dan Zn yang cenderung mengurangi kemampuan oksidasi akar tanaman padi. Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan yang selalu tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe+2 hasil reduksi Fe+3 dalam tanah (Sahrawat et al 2004). Dobermann dan Fairhurst (2000) mengemukakan mengenai prinsip terjadinya keracunan Fe pada tanaman : 1) Konsentrasi Fe+2 yang tinggi dalam larutan tanah yang disebabkan oleh kondisi reduksi yang kuat dalam tanah dan atau
103
pH yang rendah, 2) Status hara yang rendah dan tidak seimbang di dalam tanah, 3) Kurangnya oksidasi akar dan rendahnya daya eksklusi Fe+2 oleh akar yang disebabkan defisiensi hara P, Ca, Mg atau K, 4) Kurangnya daya oksidasi akar (eksklusi Fe+2) akibat terjadinya akumulasi bahan-bahan yang menghambat respirasi (H2S, FeS, asam organik), 5) Aplikasi bahan organik dalam jumlah besar yang belum terdekomposisi, 6) Suplai Fe secara terus menerus dari air bawah tanah atau rembesan secara lateral dari tempat yang lebih tinggi Gejala visual
yang khas berhubungan dengan proses keracunan besi,
terutama terjadinya akumulasi dari polyphenol teroksidasi yang disebut bronzing atau yellowing pada padi. Karena mobiltas Fe yang rendah dalam tanaman, gejala yang khas dimulai dengan bercak berwarna coklat kemerahan dari ujung daun tua. Bercak berwarna tembaga kemudian meluas keseluruh daun. Perkembangan gejala selanjutnya ujung daun menjadi kuning-jingga kemudian kering dari bagian atas (Peng dan Yamauchi 1993). Gejala ini terutama berkembang pada organ daun tua dengan transpirasi tinggi (Yamaouchi dan Yoshida 1981). Selanjutnya seluruh daun padi menjadi jingga sampai coklat atau coklat ungu pada keracunan yang berat (Fairhurt dan Witt 2002). Keracunan besi pada padi menyebabkan terjadinya perubahan baik karakter morfologi maupun fisiologi tanaman yang memberikan respon berbeda-beda pada setiap genotipe. Kelebihan kadar Fe dalam jaringan tanaman padi menyebabkan terjadinya perubahan beberapa karakter fisiologi seperti kadar protein larut (Arora et al. 2002; Dorlodot et al. 2005), gula larut (Mehraban et al. 2008), klorofil (Bkohina et al. 2003; Mehraban et al. 2008), proline (Majerus et al. 2007), dan laju fotosintesis (Audebert 2006). Keracunan besi dalam penelitian ini pada dua lokasi lahan pasang surut lebih menghambat pembentukan anakan, mengurangi jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah isi per malai, sehingga mengurangi hasil gabah. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan gejala keracunan besi
dapat terjadi pada tahap
pertumbuhan yang berbeda dan dapat mempengaruhi padi pada tahap tanaman muda, selama seluruh tahap pertumbuhan vegetatif, dan tahap reproduktif. Dalam kasus keracunan pada tahap pembibitan. perkembangan tanaman padi terhenti, dan pembentukan anakan secara ekstrem terhambat.
Biomas bagian atas tanaman
104
dapat lebih dipengaruhi oleh kendala keracunan daripada biomas akar (Fageria 1988). Keracunan besi pada tahap vegetatif menyebabkan menurunnya tinggi dan berat kering tanaman, pembentukan anakan dan jumlah anakan produktif secara drastis menurun. Bila keracunan besi terjadi pada tahap akhir vegetatif, atau pada awal tahap reproduktif, jumlah malai turun, gabah hampa meningkat dan tahap pembungaan dan pematangan menjadi tertunda 20-25 hari. Keracunan Fe juga berpengaruh negatif terhadap laju fotosintesis dan menurunkan hasil padi (Audebert 2006). Kemampuan oksidasi akar menurun dan permukaan akar menjadi gelap karena pengendapan senyawa Fe (OH)3 (Audebert dan Sahrawat 2000). Hasil penelitian Audebert (2006) menunjukkan semakin tinggi skor gejala keracunan besi berkorelasi negatif dengan hasil padi. Demikian pula dengan hasil penelitian Mehraban et al. (2008) menunjukkan banyaknya serapan besi pada tanaman berkorelasi negatif dengan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahan ameliorasi lahan di kedua lokasi mampu mengurangi keracunan besi dan meningkatkan hasil padi. Penggunaan Salvinia sp. baik ditumbuhkan di lahan maupun dikomposkan lebih dulu sama efektifnya dengan jerami padi maupun pupuk kandang dalam mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan hasil padi. Penggunaan bahan organik selain dapat mengurangi kadar Al/Fe di dalam tanah dengan reaksi pengkelatan asam-asam organik, hasil dekomposisi bahan organik juga memberikan sumbangan hara makro seperti N, P, K dan unsur hara mikro. Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan pemberian jerami padi dengan dosis 5.0 t/ha di lahan pasang surut bukaan baru Kalimantan Tengah dapat meningkatkan hasil padi varietas IR 64 27% dan varietas Kapuas 58% dibandingkan tanpa bahan organik. Pemberian kompos jerami padi selain dapat meningkatkan hasil padi juga dapat mengurangi kadar besi dan sulfat di lahan pasang surut (Jumberi dan Alihamsyah 2004). Biomas Salvinia sp. yang telah mati juga menunjukkan kemampuan yang tinggi untuk memindahkan logam-logam berat. Adanya konsentrasi yang tinggi dari lipid dan karbohidrat pada permukaan tanaman bertindak sebagai kelompok penukar kation yang berkonstribusi
untuk penyerapan logam dengan reaksi
105
pertukaran ion (Schneider and Rubio 1999). Kemampuan biomas Salvinia sp. yang tinggi dalam memindahkan atau mengikat logam ditunjukkan oleh besarnya permukaan spesifik (264 m2 g-1) yang kaya dengan karbohidrat (48.50%) dan kelompok karboksil (0.95 mmol g-1) (Sanchez-Galvan et al. 2008).
Percobaan Musim Tanam II Skor Keracunan Besi dan Pertumbuhan Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan pada lokasi KP. Belandean perlakuan ameliorasi lahan (residu bahan organik) berpengaruh nyata terhadap skor besi minggu-4, 6, 8 dan jumlah anakan, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap skor keracunan Fe umur 2 minggu dan tinggi tanaman (Tabel 6.12). Tabel 6.12. Analisis ragam pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap skor keracunan Fe umur tanaman 2-8 minggu, tinggi tanaman dan jumlah anakan padi di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011 Parameter yang diamati Sumber Keragaman
Ameliorasi lahan (A)
Skor Fe Skor Fe minggu-2 minggu-4 KP. Belandean tn **
Skor Fe minggu-6
Skor Fe minggu-8
Tinggi tanaman
Jumlah anakan
*
*
tn
**
Genotipe padi (G)
tn
**
**
**
**
**
A*G
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Ameliorasi lahan (A)
tn
tn
tn
tn
tn
Genotipe padi (G)
tn
**
**
**
**
**
A*G
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Danda Jaya tn
Ket : tn = tidak nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
Pada lokasi Danda Jaya residu bahan organik
(amelioran) tidak
berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati. Perlakuan genotipe tidak berpengaruh terhadap skor Fe umur 2 minggu, tetapi berpengaruh nyata pada skor Fe umur 4, 6 dan 8 minggu, tinggi tanaman, dan jumlah anakan pada kedua lokasi penelitian. Interaksi antara residu bahan organik dan genotipe padi tidak berpengaruh nyata pada ke dua lokasi penelitian (Tabel 6.12).
106
Gejala keracunan besi pada padi umur 2 minggu pada perlakuan residu amelioran dan genotipe padi tidak menunjukan perbedaan baik di lokasi KP. Belandean maupun di Danda Jaya (Tabel 6.13). Tabel 6.13 Gejala keracunan Fe umur 2 dan 4 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011 KP. Belandean Perlakuan Ameliorasi lahan Kontrol Salvinia sp. ditumbuhkan Kompos Salvinia sp. Kompos Jerami Kompos PK Genotipe padi TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64
Skor Skor keracunan Fe keracunan Fe (2 minggu) (4 minggu)
Danda Jaya Skor keracunan Fe (2 minggu)
Skor keracunan Fe (4 minggu)
1.67 a 1.60 a 1.53 a 1.67 a 1.53 a
2.33 a 1.67 b 2.13 a 2.13 a 1.73 b
1.27 a 1.13 a 1.13 a 1.20 a 1.07 a
1.60 a 1.67 a 1.47 a 1.53 a 1.73 a
1.67 a 1.53 a 1.60 a 1.40 a 1.80 a
2.20 a 1.73 b 2.13 a 1.47 b 2.47 a
1.27 a 1.07 a 1.20 a 1.00 a 1.27 a
1.60 b 1.53 b 1.67 ab 1.33 b 1.93 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Pengamatan gejala keracunan besi umur tanaman 4-8 minggu di KP. Belandean menunjukkan adanya perbedaan baik pada perlakuan residu amelioran maupun genotipe padi.
Pada lokasi Danda Jaya gejala keracunan besi hanya
berbeda pada perlakuan genotipe padi, sedangkan perlakuan residu amelioran tidak menunjukkan perbedaan (Tabel 6.13 dan 6.14). Rata-rata skor Fe umur 4 minggu pada perlakuan residu amelioran di KP. Belandean berkisar antara 1.67-2.13 lebih rendah dibandingkan kontrol (2.33), sedangkan di Danda Jaya residu amelioran tidak berbeda dengan kontrol, skor Fe berkisar antara 1.47-1.73 (Tabel 6.20). Skor keracunan besi umur 6 minggu di KP. Belandean pada perlakuan residu amelioran berkisar antara 2.13-2.40, sedangkan perlakuan kontrol 2.60 (Tabel 6.21). Pada umur 8 minggu pada perlakuan residu amelioran skor keracunan Fe berkisar antara 2.40-2.73, sedangkan perlakuan kontrol skor keracunan Fe 3.00. Residu bahan amelioran terhadap keracunan besi pada tanaman padi tidak berpengaruh pada lokasi Danda Jaya (Tabel 6.14).
107
Tabel 6.14 Gejala keracunan Fe umur 6 dan 8 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011 KP. Belandean Perlakuan Ameliorasi lahan Kontrol Salvinia sp. ditumbuhkan Kompos Salvinia sp. Kompos Jerami Kompos PK Genotipe padi TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64
Danda Jaya
Skor keracunan Fe (6 minggu)
Skor keracunan Fe (8 minggu)
Skor keracunan Fe (6 minggu)
Skor keracunan Fe (8 minggu)
2.60 a 2.13 b 2.40 ab 2.33 ab 2.27 b
3.00 a 2.60 ab 2.73 ab 2.60 ab 2.40 b
1.73 a 1.80 a 1.60 a 1.73 a 1.67 a
2.20 a 1.93 a 1.87 a 2.00 a 2.00 a
2.40 b 2.07 cd 2.33 bc 1.87 d 3.07 a
3.00 b 2.13 c 2.87 b 1.87 c 3.47 a
1.80 a 1.60 ab 1.87 a 1.33 b 1.93 a
2.08 a 2.00 a 2.27 a 1.33 b 2.27 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Skor keracunan besi meningkat dari pengamatan umur 2 sampai 8 minggu terutama pada lokasi Belandean. Diantara genotipe padi terdapat perbedaan gejala keracunan besi mulai pengamatan 4-8 minggu, sedangkan pada pengamatan umur 2 minggu tidak ada perbedaan diantara genotipe padi yang di tanam di kedua lokasi. Pada pengamatan minggu ke 8, genotipe Inpara-4 menunjukkan gejala keracunan yang lebih rendah pada kedua lokasi dengan skor 1.87 di KP. Belandean dan 1.33 di Danda Jaya, sedangkan IR 64 menunjukkan gejala keracunan tertinggi skor 3.47 diKP. Belandean dan 2.27 di Danda Jaya (Tabel 6.14). Keracunan besi pada musim tanam kedua di dua lokasi menunjukkan gejala keracunan yang ringan sampai sangat ringan. Dari hasil penelitian pada dua musim menunjukkan gejala keracunan besi
pada musim tanam kedua lebih
rendah dibandingkan pada musim tanam pertama baik pada perlakuan residu amelioran maupun genotipe padi (Tabel 6.5-6.8 dan Tabel 6.19-6.22). Lebih rendahnya gejala keracunan besi pada tanaman padi disebabkan semakin menurunnya kadar Fe tanah pada waktu sebelum tanam MT.I dibandingkan dengan pada saat tanam tanam MT.II seperti yang data yang disajikan pada Tabel 6.1. Hasil analisis Fe larut tanah sebelum tanam MT.I berkisar antara 525-761 ppm Fe di KP. Belandean dan 428-528 ppm Fe di Danda Jaya, sedangkan setelah
108
panen MT. I (sebelum tanam MT.II) kadar Fe tanah di KP. Belandean 309-405 ppm Fe dan di Danda Jaya 133-184 ppm Fe. Lebih rendahnya kadar besi pada musim tanam kedua ini diperkirakan karena lahan pertanaman padi tidak selalu dalam keadaan tergenang (reduktif) dan bahkan sempat kekeringan dalam beberapa minggu. Kondisi lahan yang lebih sering dalam keadaan kering (oksidatif) menyebabkan adanya perubahan besi Fe+2 yang larut menjadi bentuk Fe+3 yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Tanah dalam keadaan selalu tergenang (reduktif) Fe+2 meningkat, sedangkan dalam keadaan kering (oksidatif) Fe+3 meningkat karena adanya perubahan besi ferro menjadi besi ferri. Reaksi oksidasi-reduksi dalam tanah digambarkan oleh Dent (1986) sebagai berikut : Fe(OH)3 + 3H+ + e−
Fe2+ + 3H2O
Residu bahan amelioran tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi, di KP. Belandean berkisar antara 69.4-71.1 cm dan di Danda jaya 70.8-73.7 cm. Tinggi tanaman dipengaruhi oleh perbedaan genotipe, Tinggi tanaman di KP. Belandean berkisar antara 59.0-78.5 cm, sedangkan di Dan Jaya 61.4-81.1 cm (Tabel 6.15). Tabel 6.15. Tinggi tanaman dan jumlah anakan padi pada fase akhir vegetatif di KP. Belandean dan Danda Jaya Kalimantan Selatan, MT. II. 2011 KP. Belandean Perlakuan Ameliorasi lahan Kontrol Salvinia sp. ditumbuhkan Kompos Salvinia sp. Kompos Jerami Kompos PK Genotipe padi TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4 IR 64
Danda Jaya
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan
70.6 a 71.1 a 71.1 a 69.4 a 73.1 a
20.1 b 22.4 a 22.3 a 20.9 ab 21.6 a
70.8 a 73.2 a 73.7 a 71.5 a 73.6 a
17.7 a 18.9 a 19.5 a 18.5 a 18.7 a
97.0 a 74.9 a 78.8 a 59.6 b 62.9 b
19.8 c 21.7 b 20.6 bc 24.1 a 21.0 bc
81.5 a 76.2 b 81.3 a 63.2 c 60.7 c
16.5 bc 18.1 b 16.1 c 21.9 a 20.7 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada = 5%
Jumlah anakan di KP. Belandean masih dipengaruhi oleh residu bahan amelioran (ameliorasi lahan) dengan jumlah anakan berkisar antara 20.1-22.3, sedangkan di Danda Jaya tidak berpengaruh dengan jumlah anakan 17.7-19.5.
109
Jumlah anakan dipengaruhi oleh perbedaan genotipe, di KP. Belandean berkiasar antara 19.8-23.9, sedangkan di Danda Jaya 16.8-21.7 (Tabel 6.15). Hasil dan komponen hasil padi pada musim tanam kedua (musim kemarau) tidak bisa disajikan dalam laporan disertasi ini karena adanya serangan hama tikus di dua lokasi penelitian pada saat pengisian malai, sehingga hasil tanaman tidak bisa diambil. Hasil
penelitian
menunjukkan
keracunan
besi
pada
padi
dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil padi. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan keracunan besi
dapat menurunkan
hasil padi
(Sahrawat 2000; Suhartini 2004; Suhartini dan Makarim 2009, Sahrawat et al. 2004; Audebert 2006; Sahrawat 2010). Gejala keracunan besi tanaman padi pada musim tanam ke dua yang rendah (skor keracunan Fe
3) menyebabkan pengaruh
residu bahan amelioran tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Demikian pula dengan genotipe padi yang peka (IR 64) menunjukkan pertumbuhan tanaman yang normal sama dengan genotipe padi yang toleran. Kesimpulan 1. Genotipe padi agak toleran-toleran dan ameliorasi lahan dapat mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Salvinia sp. ditumbuhkan atau dikomposkan dalam ameliorasi lahan tidak berbeda dengan kompos jerami dan pupuk kandang. 2. Tingkat keracunan besi pada lokasi KP. Belandean lebih tinggi dan produktivitas padi lebih rendah dibandingkan lokasi Danda Jaya. 3. Tingkat keracunan besi pada musim tanam kedua lebih rendah dibandingkan pada musim tanam pertama pada kedua lokasi penelitian. 4. Genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 lebih toleran terhadap keracunan besi dan menghasilkan gabah lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya pada kedua lokasi penelitian.
110
Daftar Pustaka Alihamsyah T. 2002. Optimalisasi Pendayagunaan Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam. Prosiding Seminar Nasional : Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan, tanggal 6-7 Agustus 2002 di Cisarua. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Alihamsyah T. 2004. Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa untuk Peningkatan produksi Padi dan Beras Indonesia. Dalam. F. Kasrino, E. Pasandaran, dan A.M. Pagi (Penyunting). Badan Litbang Pertanian. Arora A, Sairam RK, Srivastava GC. 2002. Oxidative stress and antioxidative system in plants. Curr. Sci. 82(10) :1227-1338. Asch F, Becker M, Kpongor DS. 2005. A quick and efficient screen for tolerance to iron toxicity in lowland rice, J. Plant Nutr. Soil Sci. 168: 764–773. Audebert A, Sahrawat KL. 2000. Mechanisms for iron toxicity tolerance in lowland rice. J. Plant Nutr. 23. 1877-1885. Audebert A. 2006. Iron partitioning as a mechanism for iron toxicity tolerance in lowland rice. In : Audebert A, Narteh LT, Millar D and Beks B (Eds). 2006. Iron Toxicity in Rice-Based System in West Africa. Africa Rice Center (WARDA). Aung T. 2006. Physiological mechanisms of iron toxicity tolerance in lowland rice. Thesis Institute of Crop Science and Resource Conservation (INRES). Department of Plant Nutrition. 76p. Begum A, HariKrishna S. 2010. Bioaccumulation of trace metals by aquatic plants. Int.J. ChemTech Res. 2(1) : 250-254, Bkohina O, Virolainen E, Fagerstedt KV. 2003. Antioxidants, oxidative and damage and oxygen deprivation Stress : A review. Ann. Bot. 91(2) : 179194. Breemen NV, Moormann FR. 1978. Iron-toxic soils. In: Soils and Rice (Ed). International Rice Research Institute, pp. 781–800. Los Banos, Philippines: IRRI. Dent D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. International Land Reclamation Institutes Publ. 39. Wageningen, The Netherlands. Dhir B. 2009. Salvinia : an Aquatic fern with potential use in phytoremediation. Environ. We Int. J. Sci. Tech. 4 : 23-27. Dhir B, Kumar R. 2010. Adsorption of heavy metals by Salvinia biomass and agricultural residues. Int. J. Environ. Res. 4(3) : 427-432. Dobermann A, Fairhurst T. 2000. Iron toxicity. In. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient Management (eds). International Rice Research Institute, Manila. 121-125. Dorlodot S, Lutts S, Bertin P. 2005. Effect of ferrous iron toxicity on the growth and mineral competition of and interspecific rice. J. Plant Nutr. 28 (1) : 120.
111
Fageria NK, Barbosa Filho MP, Carvalho JRP. 1981. Influence of iron on growth and absorption of P, K, Ca and Mg by rice plant in nutrient solution. Pesquisa Agropecuaria Brasileira. 16: 483–488. Fageria NK. 1988. Influence of iron on nutrient uptake by rice. Int. Rice Res. Newsl. 13(1): 20-21. Fairhurst T, Witt C. 2002. Rice: A practical guide to nutrient management. Manila, The Philippines: International Rice Research Institute. IRRI-INGER. 1996. Standar Evaluation System for Rice. Ed. 4 th. International Rice Research Institute. International Network Genetic Evaluation Research. Manila, Phillippines. 52 p. Jumberi A, Alihamsyah T. 2004. Pengembangan lahan rawa berbasis inovasi teknologi. Dalam. Prosiding Seminar Nasional : Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Banjarbaru, 6-7 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Kaderi H. 2005. Penambahan konsentrat Salvinia molesta untuk meningkatkan pertumbuhan padi di tanah sulfat masam. Buletin Teknik Pertanian. 10 (2) : 46-48. Majerus V, Bertin P, Lutts S. 2007. Effects of iron toxicity on osmotic potential, osmolytes and polyamines concentrations in the African rice (Oryza glaberrima Steud.). Plant Sci. 173: 96–105 Mehraban P, Zadeh AA, Sadeghipour HR. 2008. Iron toxicity in rice (Oryza sativa L.) under different potassium nutritiom. Asian J. Plant Sci. : 1-9. Noor A, Jumberi A. 1998. Peranan bahan amelioran, pupuk kalium dan varietas dalam mengatasi keracunan besi pada tanaman padi di lahan pasang surut. Dalam : Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan, 2-3 Desember 1997 di Banjarbaru. Badan Litbang Pertanian. In stalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. p: 275-279. Noor A, Khairullah I, Ningsih RD, Sumanto. 2006. Evaluasi toleransi galurgalur padi terhadap keracunan besi di lahan sulfat masam. Jurnal Pertanian Agric. Univ. Satyawacana. 18 (1). Nozoe T, Agbisiti R, Fukuta Y, Rodriguez R, Yanagihara S. 2008. Characteristics of iron tolerant rice lines developed at IRRI under field conditions. JARQ. 42:187-192. Olguın EJ, Sa´nchez G, Pe´rez-Pe´rez T, Pe´rez-Orozco A. 2005. Surface adsorption, intracellular accumulation and compartmentalization of Pb(II) in batch-operated lagoons with Salvinia minima as affected by environmental conditions, EDTA and nutrients. J. Industrial and Microbiology Biotechnology. 32 : 577–586. Olguin EJ, Hernandez E, Ramos I. 2002. The effect of both different light conditions and the pH value on the capacity of Salvinia minima BAKER for removing cadmium, lead and chromium. Acta Biotechnology. 22 : 121131.
112
Olguin EJ, Rodriguez D, Sanchez G, Hernandez E, Ramirez ME. 2003. Productivity, protein content and nutrient removal from anaerobic effluents of coffee wastewater in Salvinia minima ponds, under subtropical conditions. Acta Biotechnology. 23 : 259-270. Peng XX, Yamauchi M. 1993. Ethylene production in rice bronzing leaves induced by ferrous iron. Plant Soil. 149:227–234. Sahrawat KL, Mulbah CK, Diatta S, DeLaune RD, Patrick WH, Singh BN, Jones MP. 1996. The role of tolerant genotypes and plant nutrients in the management of iron toxicity in lowland rice. J. Agric. Sci. 126:143–149. Sahrawat KL. 2000. Elemental composition of the rice plant as affected by iron toxicity under field conditions. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 31 : 28192827. Sahrawat KL. 2004. Iron toxicity in wetland rice and the role of other nutrients. J. Plant Nutr. 27 (8) : 1471–1504 Sahrawat KL. 2010. Reducing iron toxicity in lowland rice with tolerant genotipes and plant nutrition. Plant Stress 4 : 70-75. Sanchez-Galvan G, Monroy O, Gomez G, Olguin EJ. 2008. Assessment of the hyperaccumulating lead capacity of Salvinia minima using bioadsorption and intracellular accumulation factors. Water, Air and Soil Pollution. 194: 77–90. Sarwani M, Noor M, Masganti. 1994. Potensi, kendala dan peluang pasang surut dalam perspektif pengembangan tanaman pangan. Dalam. Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru. Schneider IAH, Rubio J. 1999. Sorption of heavy metal ions by the nonliving biomass of freshwater macrophytes. Environmental Sci. and Tech. 33 : 2213-2217. Suhartini T. 2004. Perbaikan varietas padi untuk lahan keracunan Fe. 2004. Bul. Plasma Nutfah. 10 (1): 1-11. Sulaiman A, Arifin, Nohoi G. 1997. Studi korelasi pertumbuhan tanaman padi dengan besi tanah. J. Kalimantan Agrikultura. 2 (4): 1-14. Widajaya Adhi IPG. l986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal Litbang Pertanian V (1), Januari 1996. Badan Litbang Pertanian
Yamauchi M, Yoshida S. 1981. Physiological mechanisms of rice’s tolerance for iron toxicity. Paper presented at the IRRI Saturday Seminar, June 6, 1981. Manila, Philippines: International Rice Research Institute. Yamauchi M. 1989. Rice bronzing in Nigeria caused by nutrient imbalances and its control by potassium sulfate application. Plant and Soil. 117: 275–286. Yamauchi M, Peng XX. 1995. Iron toxicity and stress-induced ethylene production in rice leaves. Plant and Soil. 173: 21-28.
BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara Keracunan Fe pada Padi
yang Menyebabkan
Berdasarkan hasil-hasil penelitian penyebab keracunan besi beragam, bukan hanya disebabkan karena tingginya konsentrasi besi larut dalam tanah. Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan tanaman padi,
juga berhubungan dengan berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara
mineral (stres hara) (Dobermann dan Fairhurt 2000; Audebert 2006; Sahrawat 2004). Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan yang selalu tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe+2, dan keasaman (pH) tanah (Dobermann dan Fairhurt 2000; Sahrawat et al. 2004). Sahrawat dan Diatta (1996) mengemukakan konsentrasi Fe+2 dalam larutan di lahan sawah yang dapat mengakibatkan keracunan besi berkisar antara 10-2000 ppm. Batas kritis konsentrasi Fe dalam larutan tanah yang menyebabkan keracunan besi pada pH 3.7 adalah 100 ppm Fe dan pada pH 5.0 adalah 300 ppm atau lebih tinggi (Sahrawat et al. 1996). Pada tanah yang masam bentuk Fe yang tidak larut lebih mudah terlarut dalam bentuk Fe+2, sehingga pada tanah dengan pH sangat masam kadar Fe yang lebih rendah sudah dapat menyebabkan keracunan dibandingkan pada tanah dengan pH lebih tinggi.
Menurut Sahrawat (2003),
konsentrasi Fe+2 di dalam tanah meningkat cepat pada waktu penggenangan didorong oleh pH tanah awal yang rendah dan adanya Fe tanah yang mudah direduksi. Proses reduksi Fe(OH)3 yang tidak larut menjadi Fe+2 di dalam tanah selain memerlukan elektron, juga memerlukan H+ (Dent, (1986). Hasil penelitian Sulaiman et al.
(1997) menunjukkan batas kritis
konsentrasi Fe (ekstraksi 1N ammonium asetat pH 4.8) di dalam tanah yang dapat menyebabkan keracunan besi pada tanaman padi (IR 64) di lahan pasang surut adalah 260 ppm Fe. Hasil analisis tanah awal pada ke dua lokasi penelitian di lahan pasang surut mempunyai kadar Fe tanah 425 ppm Fe dengan pH 4.10 (Danda Jaya) dan 631 ppm Fe dengan pH 3.80 (KP. Belandean), kondisi tanah yang demikian mempunyai potensi menyebabkan keracunan besi pada tanaman yang peka seperti IR 64. Lokasi KP. Belandean dengan pH tanah yang lebih rendah
114
dan kadar Fe tanah yang lebih tinggi lebih berpotensi menyebabkan keracunan besi pada tanaman dibandingkan Danda Jaya. Seleksi genotipe toleran, atau untuk melihat perbedaan gejala keracunan besi antara genotipe toleran dan genotipe peka oleh beberapa peneliti sebelumnya dilakukan di rumah kaca pada larutan hara (hidroponik). Menurut (Ash et al. 2005) untuk menghindari adanya keragaman kondisi di lapang, seleksi genotipe toleran Fe dapat dilakukan pada kondisi yang terkontrol di rumah kaca menggunakan metode larutan hara. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya perbedaan dalam menggunakan metode seleksi padi dalam larutan hara di rumah kaca, terutama konsentrasi Fe dalam larutan hara, pH larutan, umur bibit dan lamanya dikenai stres Fe. Aung (2006) menggunakan konsentrasi Fe 1000 dan 1500 ppm Fe (FeSO4), pH 5.0, umur bibit 4 minggu, dan lama stres Fe 3 hari. Dorlodot et al. (2005), menggunakan konsentrasi Fe 125-500 ppm Fe (FeSO4), pH 4.5, umur bibit
4
minggu, lama stres Fe 4 minggu. Majerus et al. (2007), menggunakan konsentrasi Fe 250 dan 500 ppm Fe (FeSO4), pH 4.5, umur bibit
24 hari, lama stres Fe
sampai 10 hari. Mehraban et al. (2008), menggunakan konsentrasi Fe 10-500 ppm Fe (Fe-EDTA), pH 6.0, umur bibit 28 hari, lama stres Fe 17 hari. Kpongor (2003) menggunakan konsentrasi Fe 1000-3000 ppm Fe (FeSO4), pH = 5.0, umur bibit 28 hari, lama stres sampai 4 hari, media larutan hara+agar. Dorlodot et al. (2005) menyimpulkan dari hasil penelitiannya, konsentrasi 250 ppm Fe dalam larutan hara Yoshida atau lebih dapat digunakan untuk membedakan toleransi tanaman padi, karena terlihat jelas gejala keracunan Fe (bronzing), penurunan pertumbuhan dan ketahanan tanaman dalam waktu stres selama 4 minggu.
Konsentrasi 250 ppm Fe dapat digunakan untuk
membandingkan ketahanan varietas yang berbeda dalam kultur larutan. Kpongor (2003) dari hasil penelitiannya menyimpulkan konsentrasi 2000 ppm Fe dalam larutan hara Yoshida dengan waktu stres Fe 3 hari dapat digunakan untuk melihat perbedaan varietas toleran dan peka pada media agar+larutan hara.
Hasil
penelitian Bode (1995) lama stres Fe 8 hari menunjukkan gejala keracunan Fe yang jelas.
115
Untuk mengetahui ketepatan metode evaluasi toleransi tanaman padi terhadap Fe dalam media larutan hara perlu diverifikasi di lapang.
Penampilan
toleran atau peka di rumah kaca dalam media larutan apakah konsisten pada saat varietas tersebut ditanam di lapang ataukah menunjukkan gejala keracunan Fe yang lebih berat atau lebih ringan. Hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui konsentrasi Fe dalam larutan yang dapat menyebabkan gejala keracunan Fe yang ringan-berat (percobaan 1) menggunakan varietas IR 64 telah diperoleh gejala keracunan Fe yang ringan (skor
3) adalah
52 ppm Fe, keracunan Fe sedang (skor = 5) =
143 ppm Fe, keracunan Fe agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan gejala keracunan Fe yang berat (skor
9) adalah
325 ppm Fe. Seleksi genotipe
berdasarkan konsentrasi 143 ppm Fe, dari 20 genotipe yang dievaluasi terdapat 11 genotipe dengan skor 3.0, sedangkan pada konsentrasi 325 ppm Fe hanya terdapat 5 genotipe dengan skor terendah (skor 5.0). Empat varietas TOX4136, Inpara-1, Inpara-2, dan Inpara-4 yang telah dipilih berdasarkan konsentrasi 325 ppm Fe selama 4 minggu dengan skor gejala keracunan Fe 5.0 (sedang) dan satu varietas peka IR 64 (skor Fe 7.7) ditanam di lapang pada dua lokasi lahan pasang surut. Hasil penelitian Gambar 7.1 menunjukkan semakin lama waktu stres semakin meningkat tingkat keracunan besi di rumah kaca maupun di lapang terutama pada lokasi KP. Belandean pada varietas yang peka atau agak toleran. Skor keracunan besi dari 5 genotipe di rumah kaca pada umur 4 minggu menunjukkan skor keracunan besi yang lebih tinggi dibandingkan skor keracunan besi di lapang di dua lokasi (percobaan 4) baik pada skor 4 minggu maupun 8 minggu setelah tanam. Inpara-1 dan Inpara-4 menunjukkan gejala keracunan lebih rendah di lapang di bandingkan genotipe lainnya. Sedangkan skor keracunan besi di rumah kaca pada umur 2 minggu menunjukkan gejala keracunan besi genotipe TOX4136 dan Inpara-2 lebih rendah dibandingkan di lapang, sedangkan genotipe Inpara-1 dan dan Inpara-4 gejala keracunan besi di rumah kaca lebih tinggi atau hampir sama dengan di lapang. Genotipe IR 64 menunjukkan gejala keracunan yang tidak jauh berbeda dirumah kaca dan di lapang baik pengamatan 4 minggu
116
maupun 8 minggu, dan konsisten selalu lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya
9 8 7 6 5 4 3 2 1
TOX4136 Inpara-1 Inpara-2 Inpara-4
Lapangan (4 minggu)
Danda Jaya
R. Kaca (4 minggu)
KP. Belandean
R. Kaca (2 minggu)
Danda Jaya
325 ppm Fe
KP. Belandean
IR 64 325 ppm Fe
Skoring keracunan Fe
(Gambar 7.1).
Lapangan (8 minggu)
Lokasi dan waktu pengamatan Gambar 7.1. Gejala keracunan besi 5 genotipe padi di rumah kaca (konsentrasi 325 ppm Fe dalam larutan hara) dan di lahan pasang surut KP. Belandean dan Danda Jaya (perlakuan kontrol), MT. I. 2011
Skor gejala keracunan besi 4 genotipe yang terpilih dari percobaan rumah kaca (skor 5.0) menunjukkan gejala keracunan yang lebih rendah di lapang (2.04.3), terutama pada genotipe Inpara-1 dan Inpara-4.
Hasil ini menunjukkan
bahwa seleksi genotipe padi toleran pada konsentrasi Fe 325 ppm (larutan hara Yoshida) di rumah kaca selama 4 minggu bisa digunakan karena setelah diverikasi di lapang memberikan gejala keracunan Fe lebih rendah, sedangkan varietas peka (IR 64) tetap menunjukkan gejala keracunan Fe yang tidak jauh berbeda antara di rumah kaca (skor 7.7) dan di lapang (skor 7.0). Hal ini menunjukkan konsentrasi 325 ppm Fe pada pH 4.0 dalam larutan hara Yoshida di rumah kaca memberikan cekaman yang lebih berat dibandingkan lokasi penelitian di KP. Belandean (Fe tanah terekstrak ammonium asetat pH 4.8 = 631 ppm Fe) dan Danda Jaya (Fe tanah terekstrak ammonium asetat pH 4.8 = 425 ppm Fe). Adanya perubahan skor gejala keracunan yang lebih rendah pada genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 di lapang dibandingkan di rumah kaca, untuk evaluasi di rumah kaca sebaiknya dilakukan pada konsentrasi
325 ppm Fe.
117
Mungkin perlu dicoba untuk menguji genotipe toleran atau peka dalam larutan hara di rumah kaca antara cekaman agak berat-berat (234- 325 ppm Fe). Penggunaan metode seleksi (penapisan) genotipe padi toleran di rumah kaca yang mempunyai korelasi yang tinggi dengan tingkat gejala keracunan besi dan produktivitas di lapang sangat diperlukan untuk mendapatkan genotipe padi toleran dalam waktu yang lebih cepat dan
lebih murah serta lebih akurat
dibandingkan seleksi langsung di lapangan. Konsentrasi Besi dalam Jaringan Tanaman yang Menyebabkan Keracunan Besi Kadar Fe dalam tanaman padi yang menyebabkan keracunan berbeda-beda tergantung perbedaan varietas dan umur tanaman pada waktu analisis jaringan tanaman. Menurut Yamauchi dan Peng (1995), keracunan besi terjadi karena penyerapan unsur Fe+2 yang melebihi 300 ppm. Sedangkan Fageria et al. (1981) melaporkan tingkat kadar Fe dalam tanaman yang menunjukkan gejala keracunan Fe berbeda-beda tergantung umur tanaman yaitu 680 ppm Fe pada umur tanaman 20 hari dan 850 ppm pada umur tanaman 40 hari. Menurut Yamauchi (1989) batas kritis keracunan Fe dalam jaringan untuk spesies padi Asia adalah 700 ppm Fe. Hasil analisis regresi hubungan antara kadar Fe tanaman dan tingkat keracunan besi dari data percobaan kombinasi genotipe padi dan ameliorasi lahan di lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya MT.I diperoleh persamaan regresi Y = 0.003X + 0.527 (Gambar 7.2) 8
y = 0.003x + 0.527 R² = 0.60*, n=50
Skor keracunan Fe
7 6 5 4 3 2 1 0 0
500
1000 1500 2000 Kadar Fe tanaman (ppm)
2500
Gambar 7.2. Hubungan kadar Fe tanaman dengan skor keracunan Fe berdasarkan data MT. I, KP. Belandean dan Danda Jaya
118
Berdasarkan persamaan regresi diperoleh pada tingkat keracunan besi dengan skor 2, 3, 5, 7, kadar Fe dalam tanaman berturut-turut adalah 491, 824, 1491, 2591 ppm Fe. Dari hasil ini diketahui keracunan besi pada tanaman padi dimulai pada konsentrasi Fe dalam tanaman 491 ppm (skor keracunan besi =2). Setiap peningkatan 333 ppm Fe dalam jaringan tanaman (tajuk) akan meningkatkan tingkat keracunan besi 1 poin. Sedangkan hasil penelitian Sulaiman et al. (1997) menunjukkan batas kritis keracunan Fe jaringan tanaman pada padi IR 64 di lahan pasang surut adalah lebih rendah yaitu sebesar 200 ppm Fe. Pertumbuhan Salvinia sp. pada Kondisi Cekaman Fe Waktu penggandaan Salvinia sp. (aksesi dari Sungai Kambat) di rumah kaca pada media larutan hara (Hoagland 1/5 konsentrasi) yang diberi cekaman 7 ppm Fe
(pH 4.5) adalah 7.5 hari,
sedangkan
tanpa cekaman Fe
waktu
penggandaan Salvinia sp. lebih cepat (4.5 hari). Pada media tanah lahan pasang surut waktu penggandaan lebih lama lagi yaitu 7.9 hari. Pertumbuhan Salvinia sp. pada media tanah dari lahan pasang surut lebih terhambat dari media larutan hara 7 ppm Fe, hal ini disebabkan konsentrasi Fe pada air dipermukaan tanah yang lebih tinggi (7.9 ppm Fe) dan pH yang lebih rendah (3.86). Pertumbuhan Salvinia sp. (aksesi dari S. Kambat) di lapang lebih baik dibandingkan dengan percobaan di rumah kaca. Pertumbuhan Salvinia sp. yang lebih terhambat pada waktu pengujian di rumah kaca menunjukkan 7 ppm Fe dalam media larutan hara dan tanah dari lahan pasang surut (percobaan pot) memberikan cekaman yang lebih berat dibandingkan dengan pertumbuhan di lapang. Perbedaan pertumbuhan Salvinia sp. di pot pada media tanah dari lahan pasang surut di rumah kaca dengan di lapang karena adanya perbedaan karakteristik tanah yang digunakan di rumah kaca dengan di lapang. Tanah yang digunakan di rumah kaca mempunyai kadar Fe tersedia 1626 ppm Fe yang lebih tinggi dari kondisi di lapang 631 ppm Fe di KP. Belandean dan 425 ppm Fe di Danda Jaya. Hasil penelitian pada perlakuan Salvinia sp. yang ditumbuhkan di petakan sawah dengan dosis 100 g/m2 basah (setara dengan 1 t/ha) setelah 1 bulan rata-
119
rata penutupan permukaan lahan di KP. Belandean 75 % dan Danda Jaya 70% (Gambar 7.3). Pada lokasi KP. Belandean menghasilkan rata-rata bobot basah Salvinia sp. 225 kg/petak 100 m2 atau setara dengan 22.5 t/ha dengan kadar air ±90% (setara dengan 3.5 t/ha pada kadar air 35%),
sedangkan pada lokasi Danda Jaya
menghasilkan bobot basah Salvinia sp. 186 kg/petak atau setara dengan 18.6 t/ha dengan kadar air ±90% (setara dengan 2.9 t/ha dengan kadar air 35%). Waktu penggandaan Salvinia sp. di KP. Belandean adalah 5.1 hari dan di Danda Jaya 5.9 hari lebih cepat dibandingkan di rumah kaca.
Gambar 7.3. Pertumbuhan Salvinia sp. di lapang di KP. Belandean dan Danda Jaya setelah ditumbuhkan selama 4 minggu.
Pengamatan secara visual di rumah kaca juga menunjukkan Salvinia sp. yang ditumbuhkan di rumah kaca walaupun cukup cepat memperbanyak diri tetapi Salvinia sp. lebih kecil dibandingkan Salvinia sp. yang ditumbuhkan di lapang. Satu individu Salvinia sp. di rumah kaca diameter daunnya hanya sekitar 0.5-1 cm, sedangkan di lapang sekitar 1.5-3 cm. Pertumbuhan Salvinia sp. di KP. Belandean lebih baik dibandingkan di Danda Jaya dengan bobot biomas lebih tinggi dan waktu penggandaan lebih cepat. Perbedaan pertumbuhan Salvinia sp. pada dua lokasi ini diperkirakan karena adanya perbedaan kualitas air.
Hasil analisis kualitas air di ke dua lokasi
penelitian menunjukkan konsentrasi Fe di KP. Belandean (7.5 ppm Fe) lebih tinggi dari Danda Jaya (4.8 ppm Fe), tetapi konsentrasi N dan P di KP. Belandean (0.45 ppm NH4 dan 1.75 ppm PO4 lebih tinggi dari Danda Jaya (0.15 ppm NH4 dan 0.22 ppm PO4) (Tabel 7.1).
120
Tabel 7.1. Kualitas air permukaan pada saat Salvinia sp. ditumbuhkan (disebar) di lokasi penelitian KP. Belandean dan Danda Jaya Lokasi
pH
Fe (ppm)
NH4 (ppm)
PO4(ppm)
KP. Belandean
4.40
7.5
0.45
1.75
Danda Jaya
4.50
4.8
0.15
0.22
Selain tingginya konsentrasi Fe, menurut
Cary dan Weerts (1984)
konsentrasi unsur hara N dan P yang terlarut sangat mempengaruhi pertumbuhan Salvinia sp. Pada konsentrasi 2-20 ppm NH4 dan 2-10 ppm PO4, Salvinia sp. mempunyai biomas yang tinggi dengan waktu penggandaan yang cepat (< 4 hari), walaupun pada konsentrasi N dan P yang rendah (0.03 ppm NH4 dan 0.02 ppm PO4) Salvinia sp. masih dapat tumbuh (Cary dan Weerts 1983). Kemasaman (pH) air juga dapat mempengaruhi pertumbuhan Salvinia sp., umumnya Salvinia sp. dapat tumbuh baik pada kisaran pH 5.0-8.0. Pada pH 6.0 bobot biomas Salvinia sp. lebih tinggi 11% dari pH 5.0, 54 % dan 59% lebih tinggi dari pH 7.0 dan 8.0 (Cary dan Weerts 1984). Hasil penelitian yang telah dilakukan di rumah kaca pada larutan hara (Hoagland) menunjukkan peningkatan konsentrasi Fe 7 dan 14 ppm pada pH 4.5 menghambat pertumbuhan Salvinia sp. (Tabel 5.2). Konsentrasi 7 ppm Fe dan 14 ppm Fe menurunkan bobot biomas Salvinia sp. (aksesi dari S. Kambat) 50.3% dan 87.5% dari kontrol (0.5 ppm Fe). Hasil penelitian Begum dan HariHariKrisna (2010) menunjukkan pada konsentrasi 5 ppm Fe dalam media larutan hara, Salvinia sp. masih tumbuh secara normal dan efisien dalam
memindahkan
(menyerap) Fe dari larutan. Selain perbedaan kualitas air, lebih baiknya pertumbuhan Salvinia sp. di KP. Belandean diperkirakan karena lahan pada lokasi KP. Belandean yang selalu tergenang di bandingkan Danda Jaya yang kadang-kadang kering (macak-macak) selama pertumbuhan Salvinia sp. Gejala Keracunan Besi Tanaman Padi pada Dua Musim Tanam Gejala keracunan besi pada musim tanam pertama lebih berat dibandingkan musim tanam kedua baik di lokasi KP. Belandean maupun di Danda Jaya. Perbedaan gejala keracunan besi pada dua musim tanam terutama terlihat pada
121
genotipe padi yang peka seperti IR 64. Pada musim tanam I rata-rata skor keracunan besi IR.64 5.53 dan pada musim tanam II 3.47 pada loksi KP. Belandean, sedangkan pada lokasi Danda Jaya musim tanam I rata-rata 4.60 dan pada musim tanam II 2.27 (Gambar 7.4). Perbedaan skor keracunan besi pada dua musim tanam juga terlihat baik pada perlakuan ameliorasi lahan maupun genotipe padi.
Pada lokasi KP.
Belandean rata-rata gejala keracunan besi perlakuan ameliorasi lahan pada MT. I 3.07-4.32, pada MT. II 2.40-3.00, rata-rata perlakuan genotipe pada MT. I 2.275.53, pada MT. II 1.87-3.47. Pada lokasi Danda Jaya rata-rata gejala keracunan besi perlakuan ameliorasi lahan pada MT. I 2,58-3.34, pada MT. II 1.87-2.20, ratarata perlakuan genotipe pada MT. I 1.60-4.60, pada MT. II 1.33-2.27 (Gambar 7.4).
Skoring keracunan Fe
MT. I 6
KP. Belandean
MT.II
Danda Jaya
5 4 3 2 1
Perlakuan genotipe dan amelioran Gambar 7.4. Rata-rata skor keracunan Fe padi umur 8 minggu pada perlakuan ameliorasi lahan dan genotipe padi selama dua musim tanam di dua lokasi penelitian
Lebih rendahnya keracunan besi pada musim tanam kedua ini diperkirakan karena lahan pertanaman padi tidak selalu dalam keadaan tergenang (reduktif) dan bahkan sempat kekeringan dalam beberapa minggu. Kondisi lahan yang lebih sering dalam keadaan kering (oksidatif) menyebabkan adanya perubahan besi Fe+2 yang larut menjadi bentuk Fe+3 yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Tanah dalam keadaan selalu tergenang (reduktif)
Fe+2 meningkat, sedangkan dalam
keadaan kering (oksidatif) Fe+3 meningkat karena adanya perubahan besi ferro
122
menjadi besi ferri. Reaksi oksidasi-reduksi dalam tanah digambarkan oleh Dent (1986) sebagai berikut : Fe(OH)3 + 3H+ + e−
Fe2+ + 3H2O
Lebih rendahnya keracunan besi pada musim tanam II (musim kemarau) diperkirakan juga karena adanya proses pengeringan lahan yang menyebabkan sebagian Fe larut turun ke lapisan tanah lebih bawah atau tercuci ke saluran mengikuti gerakan turunnya air. Hasil analisis Fe tanah setelah panen MT.I. atau sebelum tanam pada MT.II menunjukkan kadar Fe di lokasi KP. Belandean berkisar antara 352-405 ppm Fe, sedangkan pada lokasi Danda Jaya lebih rendah lagi yaitu berkisar antara 133-184 ppm Fe. Kadar Fe tanah sebelum tanam pada MT.I. jauh lebih tinggi yaitu berkisar antara 525-761 ppm Fe pada lokasi KP. Belandean dan 428-528 ppm Fe pada lokasi Danda Jaya (Gambar 6.1). Pada musim tanam pertama perbedaan gejala keracunan besi tanaman padi antara perlakuan kontrol dengan perlakuan ameliorasi lahan terlihat cukup jelas, tetapi pada musim tanam ke dua perbedaannya hanya sedikit pada lokasi KP. Belandean dan bahkan tidak ada perbedaan pada lokasi Danda Jaya. Ameliorasi lahan pada KP. Belandean masih berpengaruh terhadap gejala keracunan besi pada MT. II, hal ini karena kadar Fe tanah sebelum tanam pada perlakuan kontrol yang lebih tinggi pada KP. Belandean (405 ppm Fe), sedangkan di Danda Jaya Kadar Fe tanah perlakuan kontrol lebih rendah (184 ppm Fe) (Gambar 6.1). Ameliorasi lahan menggunakan limbah panen, pupuk kandang dan Salvinia sp. dalam mengendalikan keracunan besi lebih berperan pada cekaman lingkungan yang lebih berat yaitu pada musim tanam pertama (musim hujan) dan tidak terlalu berperan pada musim tanam ke dua (musim kemarau). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan bahan amelioran berupa bahan organik dalam ameliorasi lahan pasang surut dapat menurunkan gejala keracunan besi pada tanaman. Hal ini disebabkan kemampuan bahan organik dalam mengikat logam Fe dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Menurut Jumberi dan Alihamsyah (2004) pemberian kompos jerami dapat mengurangi kadar besi dan sulfat serta meningkatkan hasil padi di lahan pasang surut. Bahan organik selain sebagai sumber hara juga meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan, sehingga meningkatkan efisiensi pemupukan (Karama 1990).
123
Bahan organik seperti biomas Salvinia sp. yang telah mati menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mengikat logam-logam berat. Adanya konsentrasi yang tinggi dari lipid dan karbohidrat pada permukaan tanaman bertindak sebagai kelompok penukar kation yang berkonstribusi untuk penyerapan logam dengan reaksi pertukaran ion (Schneider dan Rubio 1999). Kemampuan biomas Salvinia sp. yang tinggi dalam mengikat logam ditunjukkan oleh besarnya permukaan spesifik (264 m2 g-1) yang kaya dengan karbohidrat (48.50%) dan kelompok karboksil (0.95 mmol g-1) (Sanchez-Galvan et al. 2008).
Adanya kelompok
karboksilat pada permukaan sel menyediakan tempat untuk mengikat logam (Olguin et al. 2005). Hasil penelitian juga menununjukkan bahwa selain kadar Fe yang sudah ada di dalam tanah, air sangat berperan dalam memicu terjadinya keracunan besi pada tanaman. Genangan air yang lama di pertanaman padi terutama pada musim hujan menyebabkan tingginya kelarutan Fe+2 yang dapat diserap dan meracun pada tanaman, sedangkan tingkat keracunan besi pada musim tanam kedua (musim kemarau) jauh lebih rendah karena lahan pertanaman yang jarang dalam keadaan tergenang. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian keracunan besi selain ameliorasi lahan, diperlukan juga pengelolaan air (tata air). Pembuatan saluran drainase di lahan pertanaman diperlukan untuk membuang kelebihan air, sehinggga tanah dalam keadaan macak-macak atau jenuh air. Drainase lahan membuat kondisi lahan dalam kondisi oksidatif sehingga mengurangi kadar Fe+2 dalam larutan tanah. Pembuangan air yang tergenang di lahan juga akan mengeluarkan Fe larut dari lahan pertanaman padi sehingga mengurangi jumlah Fe yang ada dalam tanah. Pengeluaran air dari lahan pertanaman hanya bisa dilakukan bila sistem tata air berupa saluran tata air mikro, saluran kwartier, tersier dan pintu-pintu air dalam kondisi baik dan berfungsi. Pembuatan saluran drainase dangkal di lahan pertanaman dan pemeliharaan saluran tata air mikro, saluran kwartier, dan saluran tersier sangat diperlukan di lahan pasang surut dalam mengendalikan keracunan besi terutama pada musim hujan.
124
Hubungan antara Keracunan Besi dengan Hasil Gabah Hubungan antara keracunan besi dan hasil padi dari data hasil penelitian di lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya MT.I yang ditunjukkan dengan persamaan Y = 6.71e-0.17X (Gambar 7.5), memperlihatkan bahwa
regresi eksponensial
peningkatan skor gejala keracunan besi menyebabkan menurunnya hasil gabah. 7.0
Hasil gabah (t/ha)
6.0
y = 6.799e–0.17x
TOX4136
R2 = 0.70**, n=50
5.0
Inpara-1 4.0
Inpara-2
3.0
Inpara-4
2.0
IR. 64
1.0 0.0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Skor keracunan Fe Gambar 7.5. Hubungan antara skor gejala keracunan besi dengan hasil padi di lahan pasang surut pada MT.I.
Gejala keracunan besi pada tanaman ditunjukkan dengan berkurangnya tinggi, jumlah
anakan dan klorofil tanaman (Fageria et al. 2008). Menurut
Audebert (2006), besi ferro yang diserap tanaman dan terkonsentrasi pada daun mengakibatkan gejala keracunan pada daun secara nyata mengurangi hasil. Peningkatan gejela keracunan besi 1 poin menurunkan hasil padi 0.43 t/ha. Pada kondisi tanpa keracunan besi (skor = 1) hasil padi 4.14 t/ha, peningkatan skor keracunan besi menjadi 7 menurunkan hasil padi menjadi 1.16 t/ha. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan keracunan besi menyebabkan berkurangnya hasil padi di lahan pasang surut. Berdasarkan persamaan regresi, hasil padi semakin menurun dengan meningkatnya gejala keracunan besi. Hubungan antara keracunan besi dan hasil padi yang ditunjukkan dengan persamaan regresi Y = 6.799e–0.17X (Gambar 7.5), hasil padi semakin menurun dengan meningkatnya gejala keracunan besi.
125
Pada kondisi tanaman tidak ada gejala keracunan besi (skor = 1) hasil padi = 5.74 t/ha, peningkatan skor keracunan besi menjadi 2, 3, 5, 7, dan 9 mengurangi hasil padi berturu-turut menjadi
4.84, 4.08, 2.91, 2.07, dan 1.47 t/ha atau
menurunkan hasil padi 15.6, 28.8, 49.3, 63.9 dan 74.3% dari tanaman tanpa keracunan besi (skor 1). Hasil penelitian menunjukkan keracunan besi pada tanaman sangat nyata menurunkan hasil padi, pada tingkat keracunan yag berat skor keracunan 7-9 dapat menurunkan hasil 63.9-74.3% (Tabel 7.2). Tabel 7.2. Skor gejala keracunan besi dan hasil padi berdasarkan persamaan regresi Y = 6.71e-0.17X Skor keracunan besi
Hasil padi (t/ha
1 2 3 5 7 9
5.74 4.84 4.08 2.91 2.07 1.47
Penurunan hasil padi (%) 15.6 28.8 49.3 63.9 74.3
Hasil penelitian Audebert (2006), juga menunjukkan skor gejala keracunan besi sangat berkorelasi dengan hasil padi, peningkatan gejala keracunan besi 1 poin menurunkan hasil padi 0.426 t/ha. Pada kondisi tanpa keracunan besi (skor = 1) hasil padi 4.14 t/ha, peningkatan skor keracunan besi menjadi 3, 5 dan 7 menurunkan hasil padi menjadi 2.86 t/ha, 2.01 t/ha, dan 1.16 t/ha. Hasil penelitian Suhartini dan Makarim (2009) menunjukkan skor gejala keracunan besi sangat berpengaruh terhadap hasil gabah. Pada skor keracunan besi < 3.5 tanaman padi memberikan hasil gabah secara normal (> 4.3 t/ha) atau hanya terpengaruh sedikit oleh keracunan besi, sebaliknya peningkatan skor keracunan Fe > 4.5 hasil gabah yang diperoleh
2.01 t/ha
Penggunaan bahan organik sebagai bahan untuk ameliorasi lahan di lahan pasang surut dapat mengurangi gejala keracunan besi dan meningkatkan hasil padi dibandingkan tanpa ameliorasi. Hasil padi pada lahan yang diberi perlakuan Salvinia sp. rata-rata 3.54-4.74 t/ha tidak berbeda nyata dengan pemberian jerami padi dan pupuk kandang (3.60-4.63 t/ha). Hal ini menunjukkan Salvinia sp. dapat digunakan sebagai bahan amelioran dan alternatif sumber bahan organik selain
126
pupuk kandang dan jerami padi di lahan pasang surut. Salvinia sp. yang ditumbuhkan di lahan
(in-situ) kemudian dibenamkan lebih praktis dan murah
dibandingkan menggunakan kompos pupuk kandang dan jerami padi yang dikomposkan di luar lahan (ex-situ) terutama dari segi tenaga kerja dalam pembuatan kompos dan pengangkutan bahan organik tersebut ke lahan. Salvinia sp. potensial digunakan sebagai bahan ameliorasi lahan karena banyak ditemukan di lahan rawa pasang surut dan mempunyai adaptasi yang tinggi untuk tumbuh pada lingkungan yang kurang menguntungkan. Selain itu menurut Arthur et al. (2007), Salvinia sp. potensial digunakan sebagai pupuk organik, karena selain pertumbuhannya yang cepat dengan jumlah biomas yang besar juga mengandung hara mineral (N, P, K, Ca, Mg) dan hormon pertumbuhan seperti sitokinin dan auxin. Salvinia sp. potensial dalam mendorong penggunaan input yang ramah lingkungan dalam pertanian berkelanjutan, mengurangi biaya dan penggunaan pupuk kimia. Hasil analisis kandungan hara Salvinia sp., jerami padi dan pupuk kandang yang digunakan dalam penelitian (Tabel 6.3) menunjukkan ketiga bahan organik mengandung hara N, P, K, Ca, Mg yang cukup tinggi sebagai pupuk organik. Pengendalian keracunan besi dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu melalui penggunaan genotipe toleran dan atau perbaikan lingkungan tumbuh seperti ameliorasi lahan. Penggunaan genotipe toleran yang mempunyai potensi hasil tinggi mempunyai beberapa keuntungan, yaitu mudah diadopsi oleh petani, lebih murah dan ramah lingkungan karena input yang diberikan lebih sedikit. Walaupun demikian, perakitan varietas toleran dengan hasil tinggi memerlukan waktu yang lama, biaya yang cukup banyak dan bersifat spesifik lokasi. Menurut Sahrawat (2003), pendekatan yang terintegrasi antara penggunaan genotipe toleran atau agak toleran dan pengelolaan tanah dan air secara ekonomis dan praktek lebih memungkinkan dibandingkan secara sendiri-sendiri dalam upaya meningkatkan produktivitas yang berkelanjutan pada lahan bermasalah keracunan besi.
BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Konsentrasi Fe dalam larutan yang menyebabkan gejala keracunan Fe pada varietas IR 64 yang ringan (skor
3) =
52 ppm Fe, sedang (skor = 5) = 143
ppm Fe, agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan gejala keracunan Fe berat (skor
9) =
325 ppm Fe.
2. Empat genotipe padi hasil seleksi pada cekaman 325 ppm Fe di rumah kaca (Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4, dan galur TOX4136)
menunjukkan gejala
keracunan
lahan pasang surut.
Fe yang lebih rendah setelah ditanam di
Genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 tergolong toleran terhadap keracunan Fe dan menghasilkan gabah yang lebih tinggi dari genotipe lainnya pada ke dua lokasi penelitian. 3. Konsentrasi 325 ppm Fe dalam larutan hara Yoshida dapat digunakan untuk evaluasi (seleksi) genotipe padi toleran. 4. Genotipe peka mengakumulasi Fe di daun lebih tinggi dari genotipe toleran. Genotipe toleran menahan Fe lebih banyak di permukaan akar (plak Fe) dan mempunyai ratio Fe batang/daun yang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka. 5. Pertumbuhan dan waktu penggandaan aksesi Salvinia sp. dari S. Kambat di lapang lebih cepat dibandingkan di rumah kaca. 6. Genotipe padi agak toleran-toleran dan ameliorasi lahan dapat mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Salvinia sp. selain kompos jerami dan pupuk kandang dapat digunakan sebagai alternatif untuk ameliorasi lahan pasang surut. 7. Tingkat keracunan besi pada lokasi KP. Belandean lebih tinggi dan produktivitas padi lebih rendah dibandingkan lokasi Danda Jaya. 8. Peningkatan keracunan Fe (skor = 2-7) dapat mengurangi hasil gabah di lahan pasang surut 15.6-63.9% dibandingkan tanaman normal menunjukkan gejala keracunan besi (skor =1).
yang tidak
128
9. Gejala keracunan besi pada musim tanam I (musim hujan) lebih berat dibandingkan pada musim tanam II (musim kemarau), terutama pada genotipe padi yang peka (IR 64).
Saran-saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengevaluasi genotipe padi toleran di rumah kaca dalam larutan hara Yoshida pada konsentrasi < 325 ppm Fe yaitu pada cekaman agak berat-cekaman berat (234-325 ppm Fe). 2. Hasil seleksi genotipe padi berdasarkan gejala keracunan besi di rumah kaca (larutan hara Yoshida) disarankan di evaluasi (diverifikasi) di lapang pada beberapa lokasi dengan cekaman Fe dan musim tanam yang berbeda untuk melihat konsistensi gejala keracunan besi dan hasil padi. 3. Pemberian bahan organik untuk ameliorasi lahan hanya diperlukan pada waktu musim tanam I (musim hujan), sedangkan musim tanam II (musim kemarau) tidak diperlukan lagi. 4. Untuk mendapatkan biomas basah Salvinia sp. > 18 t/ha di lapang disarankan ditumbuhkan selama
4 minggu dengan dosis 100 g/m2 Salvinia basah (segar).
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja A, Sudarman K, Suriadikarta DA. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut : Keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia lahan pasang surut. Dalam. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra, Banjarbaru. Alihamsayah T. 2002. Optimalisasi Pendayagunaan Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam. Prosiding Seminar Nasional : Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan, tanggal 6-7 Agustus 2002 di Cisarua. Puslitbang Tanah dan Agroklimat.p:51-72. Alihamsyah T. 2004. Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa untuk Peningkatan produksi Padi dan Beras Indonesia. Dalam. F. Kasrino, E. Pasandaran, dan AM. Pagi (Penyunting). Badan Litbang Pertanian. Arora A, Pabby A, Singh PK. 2003. Heavy metal accumulation by azolla. In : Contaminated Soils. Proc. 18th Ann. Int. Conf. on Contaminated Soil Sediment and Water. Amherst, Oct. 21st-24th 2002. Vol. 8 pp : 39-48. Arora A, Sairam RK, Srivastava GC . 2002. Oxidative stress and antioxidative system in plants. Curr. Sci. 82(10) :1227-1338. Arthur GD, Wendy AS, Ondrej N, Petr Hekera H, Staden J. 2007. Occurrence of nutrients and plant hormones (cytokinins and IAA) in the water fern Salvinia molesta during growth and composting. Environmental and Experimental Botany. 61:137–144. Asch F, Becker M, Kpongor DS. 2005. A quick and efficient screen for resistance to iron toxicity in lowland rice. J. Plant Nutr. Soil Sci. 168, 764– 773. Asch F, Aung T, Becker M. 2007. Root iron plaque formation as resistance mechanism to iron toxicity in lowland rice. Tropentag (Poster). Audebert A, Sahrawat KL. 2000. Mechanisms for iron toxicity tolerance in lowland rice. J. Plant Nutr. 23. 1877-1885. Audebert A. 2006. Iron partitioning as a mechanism for iron toxicity tolerance in lowland rice. In : Audebert A, Narteh LT, Millar D and Beks B (Eds). 2006. Iron Toxicity in Rice-Based System in West Africa. Africa Rice Center (WARDA). Aung T. 2006. Physiological mechanisms of iron toxicity tolerance in lowland rice. Thesis Institute of Crop Science and Resource Conservation (INRES). Department of Plant Nutrition. 76p. Begum A, HariKrishna S. 2010. Bioaccumulation of trace metals by aquatic plants. Int.J. ChemTech Res., 2(1) : 250-254, Bkohina O, Virolainen E, Fagerstedt KV. 2003. Antioxidants, oxidative and damage and oxygen deprivation stress : A review. Ann. Bot., 91(2) : 179194. Bode K , Döring O, Lüthje S, Neue HU, Böttger M. 1995. The role of active oxygen in iron tolerance of rice (Oryza sativa). Protoplasma. 184:249–255.
130
Cary P R, Weerts PGJ. 1983. Growth of Salvinia molesta as affected by water temperature and nutrition. I. Effects of nitrogen level and nitrogen compounds. Aquatic Botany. 16:163-172. Cary PR, Weerts PGJ. 1984. Growth of Salvinia molesta as affected by water temperature and nutrition. III. Nitrogen-phosphorus interactions and effect of pH. Aquatic Botany. 19:171-182. Dent D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. International Land Reclamation Institutes Publ. 39. Wageningen, The Netherlands. Dhir B, Kumar R. 2010. Adsorption of heavy metals by Salvinia biomass and agricultural residues. Int. J. Environ. Res., 4(3) : 427-432. Dhir B. 2009. Salvinia : an Aquatic fern with potential use in phytoremediation. Environ. We Int. J. Sci. Tech., 4 : 23-27. Dobermann A, Fairhurst T. 2000. Iron toxicity. In Rice: Nutrient disorders and nutrient management (eds). International Rice Research Institute, Manila: 121-125. Dorlodot S, Lutts S, Bertin P. 2005. Effect of ferrous iron toxicity on the growth and mineral competition of and interspecific rice. J. Plant Nutr. , 28 (1) : 120. IRRI-INGER. 1996. Standar Evaluation System for Rice. Ed. 4 th. International Rice Research Institute-International Network Genetic Evaluation Research. Manila, Phillippines. 52 p. Jumberi A, Alihamsyah T. 2004. Pengembangan lahan rawa berbasis inovasi teknologi. Dalam. Prosiding Seminar Nasional : Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Banjarbaru, 6-7 Oktober 2004. Badan Litbang Pertanian. Kaderi H. 2005. Penambahan konsentrat Salvinia molesta untuk meningkatkan pertumbuhan padi di tanah sulfat masam. Buletin Teknik Pertanian, 10 (2) : 46-48. Karama AS. 1990. Penggunaan pupuk organic dalam produksi pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Puslitbangtan tanggal 4 Agustus 1990. Bogor. Kpongor DS. 2003. Developing a standardized procedure to screen lowland rice (Oryza sativa) seedlings for tolerance to iron toxicity. Institute fur Pflanzenernahrung. University of Bonn. 46p. Majerus V, Bertin P, Lutts S. 2007. Effects of iron toxicity on osmotic potential, osmolytes and polyamines concentrations in the African rice (Oryza glaberrima Steud.). Plant Sci. 173: 96–105 Mehraban P, Zadeh AA, Sadeghipour HR. 2008. Iron toxicity in rice (Oryza sativa L.) under different potassium nutritiom. Asian J. Plant Sci. : 1-9.
131
Noor A, Jumberi A. 1998. Peranan bahan amelioran, pupuk kalium dan varietas dalam mengatasi keracunan besi pada tanaman padi di lahan pasang surut. Dalam : Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan, 2-3 Desember 1997 di Banjarbaru. Badan Litbang Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. p: 275279. Noor A, Khairullah I, Ningsih RD, Sumanto. 2006. Evaluasi toleransi galurgalur padi terhadap keracunan besi di lahan sulfat masam. Jurnal Pertanian Agric. Univ. Satyawacana. 18 (1). Olguin EJ, Hernandez E, Ramos I. 2002. The effect of both different light conditions and the pH value on the capacity of Salvinia minima BAKER for removing cadmium, lead and chromium. Acta Biotechnology 22 : 121131. Olguin EJ, Rodriguez D, Sanchez G, Hernandez E, Ramirez ME. 2003. Productivity, protein content and nutrient removal from anaerobic effluents of coffee wastewater in Salvinia minima ponds, under subtropical conditions. Acta Biotechnology 23 : 259-270. Olguın EJ, Sa´nchez G, Pe´rez-Pe´rez T, Pe´rez-Orozco A. 2005. Surface adsorption, intracellular accumulation and compartmentalization of Pb(II) in batch-operated lagoons with Salvinia minima as affected by environmental conditions, EDTA and nutrients. J. Industrial and Microbiology Biotechnology 32 : 577–586. Peng XX, Yamauchi M. 1993. Ethylene production in rice bronzing leaves induced by ferrous iron. Plant Soil. 149: 227–234. Sahrawat KL. 2000. Elemental composition of the rice plant as affected by iron toxicity under field conditions. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 31 : 28192827. Sahrawat KL. 2003. Iron toxicity in wetland rice : Occurance and management through integration of genetic tolerance with plant nutrition. J. Indian Soc. of Soil Sci. 51(4):409-417. Sahrawat KL. 2004. Iron toxicity in wetland rice and the role of other nutrients. J. Plant Nutr. . 27 (8) : 1471–1504 Sahrawat KL, Mulbah CK, Diatta S, DeLaune RD, Patrick WH, Singh BN, Jones MP. 1996. The role of tolerant genotypes and plant nutrients in the management of iron toxicity in lowland rice. J. Agric. Sci. 126:143–149. Sánchez-Galván G, Monroy O, Gómez G, Olguín EJ. 2008. Assessment of the hyperaccumulating lead capacity of Salvinia minima using bioadsorption and intracellular accumulation factors. Water, Air and Soil Pollution 194, 77–90. Sarwani M, Noor M, Masganti. 1994. Potensi, kendala dan peluang pasang surut dalam perspektif pengembangan tanaman pangan. Dalam. Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru.
132
Schneider IAH, Rubio J. 1999. Sorption of heavy metal ions by the nonliving biomass of freshwater macrophytes. Environmental Sci. and Tech. 33 : 2213-2217. Suhartini T. 2004. Perbaikan varietas padi untuk lahan keracunan Fe. 2004. Bul. Plasma Nutfah. 10 (1) : 1-11. Sulaiman A, Arifin, Nohoi G. 1997. Studi korelasi pertumbuhan tanaman padi dengan besi tanah. J. Kalimantan Agrikultura. 2 (4): 1-14. Sun˜e N, Sa´nchez G, Caffaratti S, Maine MA. 2007. Cadmium and chromium removal kinetics from solution by two aquatic macrophytes. Environmental Pollution 145 467-473. Sutami, Azzahra F, Imberan M. 2003. Penampilan dua belas galur padi terpilih dan hasil persilangan dan introduksi di lahan pasang surut bergambut. Bul. Agronomi. 31:89-93. Widajaya Adhi IPG. l986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal Litbang Pertanian V (1). Yamauchi M, Peng XX. 1995. Iron toxicity and stress-induced ethylene production in rice leaves. Plant and Soil. 173:21-28 Yamauchi M, Peng XX. 1993. Ethylene production in rice bronzing leaves induced by ferrous iron. Plant Soil. 149:227-234. Yamauchi M. 1989. Rice bronzing in Nigeria caused by nutrient imbalances and its control by potassium sulfate application. Plant and Soil. 117: 275–286.
Lampiran 1. Analisis ragam pengaruh perlakuan varietas dan konsentrasi Fe dalam larutan hara terhadap skor keracunan Fe 1-4 minggu dan kadar Fe tanaman Skor keracunan Fe minggu-1 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
4.22
2.11
5.97
0.0085
Varietas (V)
1
0.25
0.25
0.71
0.4094
Konsentrasi Fe (K)
5
128.81
25.76
72.87
<.0001
V*K
5
3.25
0.65
1.84
0.1468
Galat
22
7.78
0.35
Total
35
144.31
Nilai F
Nilai P
KK (%)
tn ** tn
17.6 Skor keracunan Fe minggu-2
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Ulangan
2
2.06
1.03
2.44
0.1106
Varietas (V)
1
5.44
5.44
12.91
0.0016
Konsentrasi Fe (K)
5
346.56
69.31
164.35
<.0001
V*K
5
2.22
0.44
1.05
0.412
Galat
22
9.28
0.42
Total
35
365.56
KK (%)
** ** tn
13.2 Skor keracunan Fe minggu-3
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
4.06
2.03
3.2
0.0603
Varietas (V)
1
0.69
0.69
1.1
Konsentrasi Fe (K)
5
417.47
83.49
131.73
V*K
5
2.14
0.43
0.67
tn <.0001 ** 0.6469 tn
Galat
22
13.94
0.63
Total
35
438.31
KK (%)
0.3066
14.1 Skor keracunan Fe minggu-4
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
1.39
0.69
1.28
0.2982
Varietas (V)
1
0.25
0.25
0.46
Konsentrasi Fe (K)
5
410.81
82.16
151.33
V*K
5
2.58
0.52
0.95
tn <.0001 ** 0.468 tn
Galat
22
11.94
0.54
Total
35
426.92
KK (%)
12.3
0.5045
134
Lampiran 2. Analisis ragam pengaruh perlakuan varietas dan konsentrasi Fe dalam larutan hara terhadap pertumbuhan tanaman Tinggi Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
26.17
13.08
0.66
0.5271
Varietas (V)
1
324.00
324.00
16.33
0.0005
**
Konsentrasi Fe (K)
5
2117.00
423.40
21.34
<.0001
**
V*K
5
115.33
23.07
1.16
0.3586
tn
Galat
22
436.50
19.84
Total
35
3019.00
KK (%)
11.6 Jumlah Anakan
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
1.17
0.58
1
0.384
Varietas (V)
1
3.36
3.36
5.76
0.0253
*
Konsentrasi Fe (K)
5
94.58
18.92
32.43
<.0001
**
V*K
5
6.81
1.36
2.33
0.0764
tn
Galat
22
12.83
0.58
Total
35
118.75
KK (%)
22.4 BK. Tajuk
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
0.69
0.35
3.38
0.0526
Varietas (V)
1
0.0001
0.0001
0.00
0.9712
tn
Konsentrasi Fe (K)
5
17.21
3.44
33.67
<.0001
**
V*K
5
0.88
0.18
1.73
0.1704
tn
Galat
22
2.25
0.10
Total
35
21.03
KK (%)
26.7 BK. Akar
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
0.01
0.01
0.85
0.4411
Varietas (V)
1
0.00
0.00
0.09
0.7647
tn
Konsentrasi Fe (K)
5
0.82
0.16
27.76
<.0001
**
V*K
5
0.03
0.01
1.03
0.4252
tn
Galat
22
0.13
0.01
Total
35
0.99
KK (%)
30.9
135
(lanjutan) Panjang akar Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
10.35
5.18
3.07
0.0667
Varietas (V)
1
1.87
1.87
1.11
0.3040
tn
Konsentrasi Fe (K)
5
57.34
11.47
6.8
0.0006
**
V*K
5
18.44
3.69
2.19
0.0926
tn
Galat
22
37.10
1.69
35
125.10
Total KK (%)
10.4 Kadar Fe
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
2
25880246
12940123
5.21
0.0141
Varietas (V)
1
68290941
68290941
27.50
<.0001
**
Konsentrasi Fe (K)
5
1435607089
287121418
115.60
<.0001
**
V*K
5
104045421
20809084
8.38
0.0001
**
Galat
22
54641035
2483683
Total
35
1688464733
KK (%)
25.0
136
Lampiran 3. Analisis ragam pengaruh perlakuan dua level konsentrasi Fe dalam larutan hara dan 20 genotipe (varietas) padi terhadap skor gejala keracunan Fe umur 1-4 minggu Skor keracunan Fe minggu-1 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Genotipe (G) K*G Galat Total
2 1 19 19 78 119
0.12 1.20 6.20 3.13 3.22 13.87
0.06 1.20 0.33 0.16 0.04
1.41 29.10 7.91 4.00
0.2492 <.0001 <.0001 <.0001
KK (%)
9.5
** ** **
Skor keracunan Fe minggu-2 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Genotipe (G) K*G Galat Total
2 1 19 19 78 119
0.12 106.41 54.09 25.09 51.88 237.59
0.06 106.41 2.85 1.32 0.67
0.09 159.97 4.28 1.99
0.9161 <.0001 <.0001 0.0187
KK (%)
23.6
** ** *
Skor keracunan Fe minggu-3 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Genotipe (G) K*G Galat Total
2 1 19 19 78 119
1.80 145.20 44.13 28.13 59.53 278.80
0.90 145.20 2.32 1.48 0.76
1.18 190.24 3.04 1.94
0.313 <.0001 0.0003 0.0222
KK (%)
2.4
** ** *
Skor keracunan Fe minggu-4 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Genotipe (G) K*G Galat Total
2 1 19 19 78 119
1.40 270.00 55.20 22.00 38.60 387.20
0.70 270.00 2.91 1.16 0.49
1.41 545.6 5.87 2.34
0.2492 <.0001 <.0001 0.0047
KK (%)
4.6
** ** **
137
(lanjutan) Jumlah Anakan Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Genotipe (G) K*G Galat Total
2 1 19 19 78 119
13.85 26.13 35.80 3.53 31.48 110.80
6.93 26.13 1.88 0.19 0.40
17.16 64.75 4.67 0.46
<.0001 <.0001 <.0001 0.9705
KK (%)
9.6
** ** tn
BK. Tajuk Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Genotipe (G) K*G Galat Total
2 1 19 19 78 119
1.18 15.05 18.41 2.87 12.55 50.05
0.59 15.05 0.97 0.15 0.16
3.66 93.52 6.02 0.94
0.0303 <.0001 <.0001 0.5409
KK (%)
19.5
** ** tn
BK. Akar Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Genotipe (G) K*G Galat Total
2 1 19 19 78 119
0.01 0.10 0.92 0.31 1.50 2.85
0.01 0.10 0.05 0.02 0.02
0.38 5.15 2.51 0.84
0.6856 0.0261 0.0024 0.6509
KK (%)
25.4
* ** tn
Panjang akar Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Genotipe (G) K*G Galat Total
2 1 19 19 78 119
1.34 0.40 124.53 75.02 394.20 595.49
0.67 0.40 6.55 3.95 5.05
0.13 0.08 1.3 0.78
0.8762 0.7801 0.2101 0.7215
KK (%)
13.6
tn tn tn
138
Lampiran 4. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan aksesi Salvinia sp. terhadap penutupan permukaan Salvinia sp. selama 4 minggu, bobot basah Salvinia sp., bobot kering Salvinia sp. , dan waktu menggandakan Penutupan permukaan Salvinia sp. minggu-1 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 2 9 18 29 59
72.60 1280.63 340.73 227.37 232.40 2153.73
72.60 640.32 37.86 12.63 8.01
9.06 79.90 4.72 1.58
0.0054 <.0001** 0.0006** 0.1338tn
KK (%)
16 Penutupan permukaan Salvinia sp. minggu-2
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 2 9 18 29 59 19.8
6.02 9200.43 2723.08 1741.57 1163.48 14834.58
6.02 4600.22 302.56 96.75 40.12
0.15 114.66 7.54 2.41
0.7014 <.0001** <.0001** 0.0168*
KK (%)
Penutupan permukaan Salvinia sp. minggu-3 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 2 9 18 29 59 14.6
135.00 41909.23 3255.00 2689.10 1386.00 49374.33
135.00 20954.62 361.67 149.39 47.79
2.82 438.44 7.57 3.13
0.1036 <.0001** <.0001** 0.0031**
KK (%)
Penutupan permukaan Salvinia sp. minggu-4 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 2 9 18 29 59 13.8
56.07 49235.43 4050.00 4108.90 1958.93 59409.33
56.07 24617.72 450.00 228.27 67.55
0.83 364.44 6.66 3.38
0.3698 <.0001** <.0001** 0.0017**
KK (%)
139
(lanjutan) Bobot Basah Salvinia sp. Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 2 9 18 29 59 19.3
361.62 51042.79 3550.49 2374.25 1623.52 58952.68
361.62 25521.39 394.50 131.90 55.98
6.46 455.87 7.05 2.36
0.0166 <.0001** <.0001** 0.0193*
KK (%)
Bobot Kering Salvinia sp. Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 2 9 18 29 59 18.9
2.69 396.88 67.08 44.60 22.85 534.10
2.69 198.44 7.45 2.48 0.79
3.41 251.88 9.46 3.15
0.0749 <.0001** <.0001** 0.0029**
KK (%)
Waktu penggandaan Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 2 9 18 29 59 14.8
8.86 2943.68 228.56 167.78 100.05 3448.92
8.86 1471.84 25.40 9.32 3.45
2.57 426.63 7.36 2.7
0.1200 <.0001** <.0001** 0.0083**
KK (%)
140
Lampiran 5 . Analisis ragam pengaruh dua level konsentrasi Fe dalam larutan dan aksesi Salvinia sp. terhadap pH. Fe air, dan kadar Fe jaringan Salvinia pH air Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 1 9 9 19 39 14.8
0.09 0.81 0.91 0.48 0.91 3.21
0.09 0.81 0.10 0.05 0.05
1.87 16.87 2.1 1.11
0.1869 0.0006** 0.0829tn 0.4027tn
KK (%)
Fe air Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 1 9 9 19 39 14.1
2.26 303.05 36.34 8.82 13.71 364.17
2.26 303.05 4.04 0.98 0.72
3.13 420.02 5.6 1.36
0.0931 <.0001** 0.0008** 0.2732tn
KK (%)
Kadar Fe Salvinia sp. Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Konsentrasi Fe (K) Aksesi Salvinia (S) K*S Galat Total
1 1 9 9 19 39 13.2
52070.66 27367415.76 1694735.12 1718730.62 899913.70 31732865.86
52070.66 27367415.76 188303.90 190970.07 47363.88
1.1 577.81 3.98 4.03
0.3076 <.0001** 0.0055** 0.0051**
KK (%)
141
Lampiran 6. Analisis ragam pentutupan permukaan Salvinia sp. selama 1-4 minggu, bobot basah Salvinia sp., waktu menggandakan, kadar Fe jaringan Salvinia sp. , pH air, Fe air pengaruh perlakuan 4 aksesi Salvinia sp. pada media tanah dari lahan pasang surut Penutupan permukaan minggu-1 Sumber Keragaman Ulangan Salvinia
DB
JK
JKT
Nilai F
4
4.80
1.20
1.13
0.3901
2.56
0.1036tn
3
8.20
2.73
Galat
12
12.80
1.07
Total
19
25.80
KK (%)
5.8
Nilai P
Penutupan permukaan minggu-2 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
4
3.7
0.925
0.18
0.9465
Salvinia
3
30.4
10.13333333
1.93
0.1791tn
Galat
12
63.1
5.25833333
Total
19
97.2
KK (%)
8 Penutupan permukaan minggu-3
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
4
179.20
44.80
2.12
0.1415
Salvinia
3
297.00
99.00
4.68
0.0219*
Galat
12
254.00
21.17
Total
19
730.20
KK (%)
Nilai P
8.3 Penutupan permukaan minggu-4
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
4
245.2
61.3
0.67
0.6229
Salvinia
3
2011.75
670.583333
7.37
0.0046**
91
Galat
12
1092
Total
19
3348.95
KK (%)
Nilai P
12.6 Bobot basah Salvinia sp.
Sumber Keragaman Ulangan Salvinia
DB
JK
JKT
Nilai F
4
16.51
4.13
0.29 14.04
3
605.83
201.94
Galat
12
172.55
14.38
Total
19
794.89
KK (%)
14.9
Nilai P 0.8807 0.0003**
142
(lanjutan) Waktu penggandaan Salvinia sp. Sumber Keragaman Ulangan Salvinia
DB
JK
JKT
Nilai F
4
2.503
0.62575
0.71 12.73
3
33.858
11.286
Galat
12
10.637
0.88641667
Total
19
46.998
KK (%)
Nilai P 0.603 0.0005**
10.2 Kadar Fe jaringan Salvinia sp.
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan
4
80784.8
20196.2
0.05
0.9944
Salvinia
3
283178.8
94392.9333
0.24
0.8677tn
Galat
12
4746761.2
395563.433
Total
19
5110724.8
KK (%)
23.9 pH air
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
4
0.095
0.024
0.84
0.52
Nilai P
Salvinia
4
0.065
0.016
0.57
0.6853tn
Galat
16
0.451
0.028
Total
24
0.611
KK (%)
4.4 Fe air
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
4
4.878
1.220
1.92
0.1555
Salvinia
4
19.878
4.970
7.84
0.0011**
Galat
16
10.142
0.634
Total
24
34.898
KK (%)
13.3
Nilai P
143
Lampiran. 7. Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, jumlah anakan, hasil gabah, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, dan persentase gabah hampa, KP. Belandean, MT. I. Skor keracunan Fe minggu-2 Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.03 3.39 1.57 12.45 2.35 8.40 28.19
0.01 0.85 0.20 3.11 0.15 0.21
0.06 4.03 0.94 14.83 0.7
Nilai P 0.9386 0.0077** 0.4978 <.0001** 0.7784tn
28.9 Skor keracunan Fe minggu-4
Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.08 15.52 6.32 76.05 9.01 10.93 117.92
0.04 3.88 0.79 19.01 0.56 0.27
0.15 14.2 2.89 69.56 2.06
Nilai P 0.8643 <.0001** 0.0122 <.0001** 0.0324*
16.8 Skor keracunan Fe minggu-6
Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.75 9.39 6.45 111.92 9.55 24.13 162.19
0.37 2.35 0.81 27.98 0.60 0.60
0.62 3.89 1.34 46.38 0.99
Nilai P 0.5437 0.0092** 0.2538 <.0001** 0.4865tn
23.9 Skor keracunan Fe minggu-8
Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.56 16.93 10.51 95.07 12.00 20.93 156.00
0.28 4.23 1.31 23.77 0.75 0.52
0.54 8.09 2.51 45.41 1.43
21.3
Nilai P 0.5898 <.0001** 0.0260 <.0001** 0.1756tn
144
(lanjutan) Tinggi tanaman Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total
2 4 8 4 16 40 74
31.37 616.91 1006.87 10224.77 466.68 1546.32 13892.92
15.68 154.23 125.86 2556.19 29.17 38.66
0.41 3.99 3.26 66.12 0.75
KK(%)
7.6
Nilai P 0.6692 0.0081** 0.006 <.0001** 0.7233tn
Jumlah anakan Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
2.19 47.90 56.95 212.84 56.09 102.84 478.81
1.10 11.97 7.12 53.21 3.51 2.57
0.43 4.66 2.77 20.7 1.36
Nilai P 0.6556 0.0035** 0.0155 <.0001** 0.2091tn
11.4 Hasil gabah
Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
1.31 3.97 3.56 27.88 1.36 8.94 47.03
0.65 0.99 0.45 6.97 0.09 0.22
2.93 4.45 1.99 31.2 0.38
Nilai P 0.065 0.0046** 0.0723 <.0001** 0.98tn
13.3 Jumlah malai/rumpun
Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
24.08 57.98 24.03 138.44 40.15 87.01 371.69
12.04 14.50 3.00 34.61 2.51 2.18
5.54 6.66 1.38 15.91 1.15
13.4
Nilai P 0.0075 0.0003** 0.2344 <.0001** 0.3439tn
145
(lanjutan) Panjang malai Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.72 7.40 15.38 74.07 14.81 47.89 160.26
0.36 1.85 1.92 18.52 0.93 1.20
0.3 1.54 1.61 15.47 0.77
Nilai P 0.7419 0.208tn 0.154 <.0001** 0.7045tn
13.4 Jumlah gabah isi/malai
Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
24.74 5036.63 1472.05 77497.08 4728.99 10498.62 99258.10
12.37 1259.16 184.01 19374.27 295.56 262.47
0.05 4.8 0.7 73.82 1.13
Nilai P 0.954 0.003** 0.6886 <.0001** 0.3656tn
12.8 Persentase gabah hampa/malai
Sumber Keragaman Ulangan Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK(%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
35.32 154.21 155.87 959.94 360.16 644.98 2310.48
17.66 38.55 19.48 239.99 22.51 16.12
1.1 2.39 1.21 14.88 1.4
27.5
Nilai P 0.3443 0.0668tn 0.3189 <.0001** 0.1929tn
146
Lampiran. 8. Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, jumlah anakan, hasil gabah, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, dan persentase gabah hampa, Danda Jaya, MT. I. Skor keracunan Fe minggu-2 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
2.88
1.44
5.2
Amelioran (A)
4
2.08
0.52
1.88
0.1329tn
Galat (a)
8
4.72
0.59
2.13
0.055
Genotipe (G)
Nilai P 0.0098
4
69.95
17.49
63.2
<.0001**
A*G
16
5.79
0.36
1.31
0.2402tn
Galat (b)
40
11.07
0.28
Total
74
96.48
KK(%)
21.6 Skor keracunan Fe minggu-4
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
1.15
0.57
1.19
0.3159
Amelioran (A)
4
3.07
0.77
1.59
0.1967tn
Galat (a)
8
4.85
0.61
1.26
0.2938
Genotipe (G)
Nilai P
4
106.00
26.50
54.83
<.0001**
A*G
16
6.27
0.39
0.81
0.6664tn
Galat (b)
40
19.33
0.48
Total
74
140.67
KK(%)
22.7 Skor keracunan Fe minggu-6
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
3.55
1.77
7.29
0.002
Amelioran (A)
4
3.15
0.79
3.23
0.0217*
Galat (a)
8
2.05
0.26
1.05
0.4132
Genotipe (G)
Nilai P
4
81.28
20.32
83.51
<.0001**
A*G
16
2.19
0.14
0.56
0.8935tn
Galat (b)
40
9.73
0.24
Total
74
101.95
KK(%)
18.3
147
(lanjutan) Skor keracunan Fe minggu-8 Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
0.67
0.33
0.6
0.5524
Amelioran (A)
4
7.79
1.95
3.52
0.0149*
Galat (a)
8
4.53
0.57
1.02
0.4342
Genotipe (G)
Nilai P
4
84.85
21.21
38.34
<.0001**
A*G
16
7.81
0.49
0.88
0.5921tn
Galat (b)
40
22.13
0.55
Total
74
127.79
KK(%)
25.2 Tinggi tanaman
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
290.92
145.46
3.86
0.0294
Amelioran (A)
4
174.19
43.55
1.15
0.3452tn
Galat (a)
8
406.34
50.79
1.35
0.2494
Genotipe (G)
Nilai P
4
12897.47
3224.37
85.5
<.0001**
A*G
16
324.37
20.27
0.54
0.9097tn
Galat (b)
40
1508.54
37.71
Total
74
15601.83
KK(%)
7.8 Jumlah anakan
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
29.07
14.53
3.84
0.0298
Amelioran (A)
4
42.86
10.71
2.83
0.037*
Galat (a)
8
42.19
5.27
1.39
0.229
Genotipe (G)
Nilai P
4
481.18
120.30
31.79
<.0001**
A*G
16
59.86
3.74
0.99
0.4868tn
Galat (b)
40
151.38
3.78
Total
74
806.55
KK(%)
12.3 Hasil gabah
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
8.77
4.39
8.54
0.0008
Amelioran (A)
4
5.70
1.42
2.77
0.0401*
Galat (a)
8
2.15
0.27
0.52
0.8319
Genotipe (G)
4
82.02
20.50
39.91
A*G
16
4.21
0.26
0.51
Galat (b)
40
20.55
0.51
Total
74
123.40
KK (%)
16
Nilai P
<.0001** 0.925
148
(lanjutan) Jumlah malai/rumpun Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
15.95
7.97
2.49
0.0958
Amelioran (A)
4
48.40
12.10
3.78
0.0107*
Galat (a)
8
32.13
4.02
1.25
0.2945
Genotipe (G)
Nilai P
4
368.26
92.07
28.74
<.0001**
A*G
16
55.48
3.47
1.08
0.4018tn
Galat (b)
40
128.12
3.20
Total
74
648.34
KK (%)
12.7 Panjang malai
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
2.35
1.17
1.24
0.2999
Amelioran (A)
4
2.34
0.58
0.62
0.6516tn
Galat (a)
8
12.26
1.53
1.62
0.1493
Genotipe (G)
Nilai P
4
132.31
33.08
35.01
<.0001**
A*G
16
10.46
0.65
0.69
0.7845tn
Galat (b)
40
37.80
0.94
Total
74
197.51
KK (%)
4.2 Jumlah gabah isi/malai
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
532.10
266.05
1.12
0.3357
Amelioran (A)
4
3525.13
881.28
3.72
0.0116*
Galat (a)
8
2547.13
318.39
1.34
0.2514
Genotipe (G)
Nilai P
4
67925.68
16981.42
71.6
<.0001**
A*G
16
3983.61
248.98
1.05
0.4304tn
Galat (b)
40
9486.89
237.17
Total
74
88000.55
KK (%)
12.2 Persentase gabah hampa
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Ulangan
2
102.60
51.30
3.67
0.0344
Amelioran (A)
4
90.13
22.53
1.61
0.1902tn
Galat (a)
8
144.25
18.03
1.29
0.2764
Genotipe (G)
Nilai P
4
1498.18
374.55
26.79
<.0001**
A*G
16
345.50
21.59
1.54
0.1317tn
Galat (b)
40
559.21
13.98
Total
74
2739.87
KK (%)
26.5
149
Lampiran. 9. Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan residu bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, dan jumlah anakan, KP. Belandean, MT. II. Skor keracunan Fe minggu-2 Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.96 0.27 6.37 1.33 2.40 6.67 18.00
0.48 0.07 0.80 0.33 0.15 0.17
2.88 0.4 4.78 2 0.9
Nilai P 0.0678 0.8075tn 0.0004 0.113tn 0.5743tn
25.5 Skor keracunan Fe minggu-4
Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
3.92 4.93 6.35 9.47 3.60 9.73 38.00
1.96 1.23 0.79 2.37 0.23 0.24
8.05 5.07 3.26 9.73 0.92
Nilai P 0.0011 0.0021** 0.0059 <.0001** 0.5494tn
24.6 Skor keracunan Fe minggu-6
Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.03 1.79 3.17 12.45 2.75 6.80 26.99
0.01 0.45 0.40 3.11 0.17 0.17
0.08 2.63 2.33 18.31 1.01
Nilai P 0.9247 0.0486* 0.0369 <.0001** 0.4668tn
17.5 Skor keracunan Fe minggu-8
Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
1.39 2.93 3.95 25.73 6.00 10.67 50.67
0.69 0.73 0.49 6.43 0.38 0.27
2.6 2.75 1.85 24.12 1.41
19.3
Nilai P 0.0868 0.0412* 0.096 <.0001** 0.188tn
150
(lanjutan) Tinggi tanaman Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
2 4 8 4 16 40 74
1117.12 111.08 332.97 5050.03 718.12 1279.25 8608.57
558.56 27.77 41.62 1262.51 44.88 31.98
17.47 0.87 1.3 39.48 1.4
<.0001 0.4913tn 0.2706 <.0001** 0.1893tn
8 Jumlah anakan/rumpun
Sumber Keragaman
DB
JK
JKT
Nilai F
Nilai P
Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total
2 4 8 4 16 40 74
453.32 58.72 42.26 157.49 19.02 153.09 883.91
226.66 14.68 5.28 39.37 1.19 3.83
59.22 3.84 1.38 10.29 0.31
<.0001 0.0099** 0.2346 <.0001** 0.9929tn
KK (%)
9.1
151
Lampiran. 10. Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan residu bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, dan jumlah anakan, Danda Jaya, MT. II. Skor keracunan Fe minggu-2 Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.32 0.35 0.61 0.88 2.19 5.73 10.08
0.16 0.09 0.08 0.22 0.14 0.14
1.12 0.6 0.53 1.53 0.95
Nilai P 0.3375 0.6615tn 0.8231 0.2106tn 0.5208tn
32.6 Skor keracunan Fe minggu-4
Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.03 0.72 5.04 2.85 2.21 6.93 17.79
0.01 0.18 0.63 0.71 0.14 0.17
0.08 1.04 3.63 4.12 0.8
Nilai P 0.9261 0.3994tn 0.0029 0.0069** 0.679tn
25.8 Skor keracunan Fe minggu-6
Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.99 0.35 2.61 3.55 2.99 7.07 17.55
0.49 0.09 0.33 0.89 0.19 0.18
2.79 0.49 1.85 5.02 1.06
Nilai P 0.0732 0.7426tn 0.0961 0.0023** 0.4243tn
24.6 Skor keracunan Fe minggu-8
Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%)
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
0.35 0.59 0.85 8.85 3.55 8.80 22.99
0.17 0.15 0.11 2.21 0.22 0.22
0.79 0.67 0.48 10.06 1.01
23.6
Nilai P 0.4617 0.6189tn 0.8596 <.0001** 0.4689tn
152
(lanjutan) Tinggi tanaman Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
96.75 106.31 326.39 5983.29 380.83 1060.51 7954.09
48.38 26.58 40.80 1495.82 23.80 26.51
1.82 1 1.54 56.42 0.9
Nilai P 0.1744 0.4176tn 0.1747 <.0001** 0.5766tn
7.1
KK (%)
Jumlah anakan/rumpun Sumber Keragaman Ulangan Residu Amelioran (A) Galat (a) Genotipe (G) A*G Galat (b) Total KK (%) Keterangan : Nilai P
DB
JK
JKT
Nilai F
2 4 8 4 16 40 74
19.22 27.46 56.52 392.98 44.68 206.75 747.62
9.61 6.86 7.07 98.25 2.79 5.17
1.86 1.33 1.37 19.01 0.54
12.1 0.01 = berpengaruh sangat nyata, P
0.05 = berpengaruh nyata
Nilai P 0.169 0.2762tn 0.2404 <.0001** 0.908tn