Vol. 16, No. 2, Juli 2014: 109 - 113
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903
STUDI AWAL PEMANFAATAN MARKA MOLEKULER RAPD UNTUK PENENTUAN KEBENARAN TIGA KULTIVAR NILAM Latief, W. 1 dan Amien, S.2 2 Peneliti dan Pengajar Laboratorium Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian 1 Alumni Program Studi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Kampus Jatinangor, Jl. Raya Jatinangor Sumedang 45363 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Budidaya tanaman nilam yang dilakukan di Indonesia umumnya menggunakan stek batang sebagai bahan tanam, karena nilam tidak berbunga. Kultur jaringan merupakan salah satu pendekatan metode yang dapat digunakan untuk perbanyakan dan pemuliaan tanaman nilam. Perbanyakan melalui kultur jaringan memungkinkan terjadinya variabilitas genetik pada planlet yang dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan penanda molekuler untuk menentukan kebenaran suatu kultivar. Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh sekuen primer yang spesifik untuk masing-masing kultivar nilam. Tahapan percobaan yang dilakukan antara lain sebagai berikut: Ekstraksi DNA, Amplifikasi PCR, Elektroforesis, Visualisasi. Pada percobaan ini DNA masing-masing kultivar di uji dengan 10 primer RAPD, dan enam kondisi PCR. Pengujian 10 primer dengan 6 enam kondisi PCR untuk mendapatkan sekuen DNA bagi masing-masing kultivar dan kondisi optimum amplifikasi DNA nilam. Hasil percobaan menunjukkan dari 10 primer hanya 2 primer yaitu SW_1 dan SW_5 yang menunjukkan hasil amplifikasi untuk kultivar Lhoksumawe dan Sidikalang. Ke enam kondisi PCR yang telah diuji hanya terdapat dua kondisi optimum untuk mengamplifikasi DNA nilam yaitu kondisi PCR II untuk kultivar Lhoksumawe, dan kondisi PCR III untuk kultivar Sidikalang. Kata Kunci: Nilam, Planlet, PCR, Marka Molekuler,
RAPD
ABSTRACT Patchouli cultivation in Indonesia is generally using stem cuttings as starting material. The plant tissue culture technique is one of the methods of breeding as well as propagation of patchouli. Planlets propagation through tissue culture technique could generate genetic variability between plantlets. Hence, molecular markers are needed to determine the truth of a patchouli cultivar. The aims of this research are to obtain the optimum of patchouli PCR-RAPD DNA conditions, and to look a specific primer sequences for each cultivar patchouli. Research stages are conducted as follows: Extraction of DNA, PCR Amplification, Electrophoresis, Visualization. In this research the DNA of each cultivar was tested with 10 primer RAPD, and under six PCR conditions. The result showed that PCR II condition: was able to amplify both of mother plant and planlet only Lhoksumawe cultivar with primer Abi_117_17 resulting 1000-1500 bps fragment. PCR III: was suitable for amplification fragment 500-750 bps by primer OPD_08 for mother plant and planlets of Sidikalang cultivar. Key word: Pogostemon Cablin, Planlets, PCR, Molecular Marker, RAPD
PENDAHULUAN Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman semusim perkebunan penghasil minyak atsiri berupa minyak nilam (patchouli oil). Minyak nilam banyak digunakan dalam industri kosmetik sebagai komponen campuran dalam pembuatan sabun, pasta gigi, dan shampo, karena bersifat fiksatif atau (dapat mengikat aroma wangi), dan belum ditemukan bahan subsitusinya (Santoso, 2000). Minyak nilam merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Minyak nilam berkontribusi sebesar 60% dari total devisa yang diperoleh Negara dari minyak atsiri, sedangkan minyak akar wangi (veitner oil), serai wangi (citronella oil), dan jahe (ginger oil) berkontribusi sebesar 12,47%, 6,89%, 2,74% (Krismawati, 2005). Indonesia merupakan negara eksportir nomor satu minyak nilam yaitu sebesar 90% dari pasar dunia. Total ekspor minyak nilam pada tahun 2006 sebesar 2.832 ton. Nilam yang dibudidayakan di Indonesia umumnya diperbanyak dengan stek batang karena nilam tidak berbunga (Dhalimi dkk., 1998). Kultur jaringan (kuljar) merupakan salah satu metode pemuliaan tanaman yang digunakan untuk perbanyakan tanaman nilam. Perbanyakan melalui kultur jaringan memungkinkan terjadinya variabilitas genetik pada planlet yang dihasilkan (livy dan Gunawan, 1988). Larkin dan Scowcroft (1981) dikutip Hutami et al., (2006) menyatakan bahwa tanaman yang diperbanyak melalui kultur in-vitro dapat menyebabkan variasi somaklonal pada setiap planletnya. Keragaman somaklonal berasal dari keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur in-vitro. Keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan antara lain disebabkan oleh penggandaan jumlah kromosom (fusiendomitosis), perubahan struktur kromosom (pindah silang), perubahan gen, dan sitoplasma (Evans dan Sharp 1986; Ahlowalia 1986 dikutip Hutami dkk., 2006). Untuk mengetahui apakah terdapat keragaman genetik pada tanaman nilam hasil in-vitro dengan tetuanya dapat dilakukan melalui bantuan marka molekuler. Penerapan teknologi marka molekuler utamanya untuk memonitor variasi susunan DNA di dalam spesies tanaman (Pabendon, 2004). Marka molekuler yang umum digunakan di Indonesia antara lain Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Simple Sequence Repeat (SSR), Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Amplified Length Polymorphism (AFLP), dan Mikro Satelit. Marka RAPD banyak digunakan karena biaya yang murah, serta pengerjaannya yang mudah dan cepat bila dibandingkan marka lainnya (Bardakci, 2001 dikutip
110
Studi Awal Pemanfaatan Marka Molekuler RAPD untuk Penentuan Kebenaran Tiga Kultivar Nilam
Pharmawati, 2009). Teknik ini juga digunakan untuk identifikasi genotip dalam studi taksonomi tanaman (Nezhad et al., 2010) dan dapat melihat perbedaan genetik masing-masing individu. Teknik RAPD memiliki kelemahan yaitu tingkat keberulangannya (reproducibility) yang rendah, namun hal ini dapat diatasi dengan konsistensi kondisi PCR yang sesuai, terutama suhu primer saat menempel pada DNA template (Prana dan Hartati, 2003). Teknik RAPD membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu organisme. Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR (Suryanto, 2003). Faktor lain yang mempengaruhi pola pita DNA hasil RAPD yaitu komponen reaksi PCR (konsentrasi DNA template, konsentrasi enzim polymerase, konsentrasi primer, dan jumlah siklus termal), suhu siklus PCR (denaturation, dan annealing). Konsentrasi praimer acak untuk amplifikasi DNA pada beberapa tanaman bervariasi, bergantung kepada jenis primer dan jenis tanamannya, sehingga diperlukan penelitian tersendiri untuk mendapatkan produk amplifikasi yang optimum (Prana dan Hartati, 2003). Berdasarkan penelitian Prana dan Hartati (2003) dari 12 primer random (Operon Technologies), dengan dua konsentrasi primer, dan tiga kondisi PCR diperoleh hasil kondisi optimum PCR-RAPD pada tanaman talas yaitu pada kondisi: 940C selama 5 menit (Initial Denaturation); 940C selama 1 menit (Denaturation); 350C selama 3 menit (Annealing) sebanyak 35 siklus; 720C selama 2 menit (Elongation); 720C selama 7 menit (Final Elongation). Konsentrasi primer yang baik untuk mengamplifikasi DNA talas dalah 3,2 μM. Primerprimer yang dapat menampilkan pola pita diantara sampel yang diuji adalah OPB- 01, OPB-05, OPB-20, OPB-06, OPB-04, OPB-07, OPB-15. Susantidiana et al., (2009) melakukan penelitian amplifikasi DNA pada tanaman jarak pagar dan memperoleh kondisi optimum PCR-RAPD untuk primer OPE-01, OPE-08, OPE-09, OPE-15, OPE-19, 0PH08, OPH-13, OPM-12, OPM-16, dan OPM-20 yaitu: 940C selama 5 menit (Initial Denaturation); 940C selama 12,5 detik (Denaturation); (Tm-40C) selama 30 detik (Annealing); 720C selama 1 menit (Elongation) sebanyak 45 siklus; 720C selama 10 menit (Final Elongation). Sejauh ini informasi mengenai studi pemanfaatan teknologi marka molekuler RAPD melalui optimasi kondisi PCR pada tanaman nilam di Indonesia belum dilakukan, terutama sebagai penentu kebenaran kultivar, khususnya tanaman nilam. BAHAN DAN METODE Percobaan dilakukan pada bulan September 2010-September 2011 di Laboratorium Analisis Tana-
man Faperta Unpad dan Departement Cell Biology and Biotechnology University Regensburg-Jerman. Tahapan percobaan yang dilakukan antara lain sebagai berikut: Ekstraksi DNA, Amplifikasi PCR, Elektroforesis, Visualisasi. Pada tahap ekstraksi digunakan dua metode ekstraksi yaitu Metode protokol Dellaporta untuk ekstraksi DNA planlet nilam yang dilakukan di Departement Cell Biology and Biotechnology University RegensburgJerman, dan metode ekstraksi CTAB untuk ekstraksi DNA tanaman induk yang dilakukan di Laboratorium Analisis Tanaman Faperta Unpad. Pada tahap amplifikasi DNA, DNA masing-masing kultivar di uji dengan 10 primer RAPD, dan enam kondisi PCR dengan komponen reaksi PCR yang digunakan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen Reaksi PCR Komponen
Volume Pipet
Konsentrasi Akhir
DNA Template
1 μl
9,6 ng – 11,51 ng
Praimer
2 μl
0,12 μM
dNTP
5 μl
200 μM
Buffer
5 μl
1X
DNA Taq Polymerase
1 μl
0,1 U/ µl
ddH2O
36 μl
Total Volume Akhir
50 μl
Tahap selanjutnya dilakukan tahapan elektroforesis untuk memisahkan ukuran fragmen DNA. Tahap elektroforesis dilakukan pada gel agarose 1% dalam larutan TAE 1X selama 45 menit pada voltase 70 volt. Setelah elektroforesis dilakukan proses visualisasi pada UV transuliminator untuk melihat fragmen DNA yang dihasilkan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi DNA Isolasi DNA tanaman nilam ini dilakukan dengan menggunakan dua metode, metode isolasi pertama dilakukan pada planlet tiga kultivar nilam dengan menggunakan protokol isolasi dari Dellaporta yang dilakukan di Departement Cell Biology and Biotechnology University Regensburg-Jerman,. Metode ke dua dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Analisis Tanaman Faperta Unpad dengan menggunakan metode CTAB untuk mengisolasi DNA tanaman induk. Pemilihan ekstraksi DNA tanaman induk nilam dengan menggunakan metode CTAB dikarenakan jauhnya lokasi laboratorium untuk mendapatkan nitrogen cair. Oleh karena itu, diperlukan metode isolasi lain yang mudah serta tidak membutuhkan nitrogen cair tetapi dapat menghasilkan DNA yang berkualitas untuk amplifikasi. Metode CTAB merupakan metode yang umum digunakan dalam ekstraksi DNA genom tanaman yang banyak mengandung polisakarida dan senyawa polifenol (Lengkong et al., 2001). Tahapan selanjutnya setelah isolasi DNA yaitu uji spektofotometri dengan menggunakan spektrofotometer untuk mengetahui konsentrasi masing-masing DNA yang telah di ektraksi. Pengujian konsentrasi DNA hanya dilakukan pada hasil isolasi DNA tiga kultivar
111
Latief, W. 1 dan Amien, S.2
planlet nilam yang dapat di lihat pada Tabel 2, sedangkan tahap uji spektrofotometri tidak dilakukan untuk DNA tanaman induk, dan untuk mengetahui kualitas DNA tanaman induk ini dilakukan pada tahap elektroforesis (Gambar 1). Tabel 2. Hasil Uji Spektrofotometri DNA Planlet Nilam Hasil Kuljar Kualitas DNA
Sample
Konsentrasi DNA (ng/μl)
χ 260
χ 280
χ260 χ280
Lhoksumawe (L)
470.2
9,404
5,052
0,537
Sidikalang (S)
507.9
10,158
5,420
1,874
575.6
11,520
5,972
1,929
Tapaktuan (T)
Hasil isolasi DNA planlet nilam yang dilakukan dengan menggunakan metode protokol Dellaporta tersebut menunjukkan konsentrasi DNA yang tinggi. Penambahan RNAse pada saat isolasi dapat menghilangkan kontaminan berupa RNA. Penambahan RNAse sebanyak 40 μg/mL pada metode isolasi DNA nilam hasil kultur in-vitro yang di duga menyebebkan konsentrasi DNA yang dihasilkan tinggi, selain itu, hasil ekstraksi yang baik salah satunya dikarenakan oleh penambahan klorofom dan isoamilalkohol pada proses ekstraksi, penambahan klorofom dan isoamilalkohol pada proses ekstraksi, penambahan tersebut berfungsi untuk mengendapkan komponen polisakarida di dalam buffer ekstraksi yang dapat mengkontiminasi DNA .
Pada teknik RAPD tingkat kemurnian DNA tidak perlu terlalu tinggi dengan kata lain teknik ini toleran terhadap tingkat kemurnian DNA (Prana dan Hartati, 2003). Keuntungan lain penggunaan metode RAPD adalah kuantitas DNA yang dibutuhkan sedikit yakni sekitar 5 -25 ng DNA dalam setiap rantai PCR (Pandey et al., 1998 di kutip Susantidiana et al., 2009). Optimalisasi amplifikasi DNA Nilam Dari enam kondisi PCR yang telah di uji, hanya dua kondisi PCR yang menunjukkan hasil cukup baik, yaitu kondisi PCR II dan kondisi PCR III. Kondisi PCR II merupakan kondisi yang optimum untuk amplifikasi DNA kultivar Lhoksumawe, sedangkan kondisi PCR III merupakan kondisi yang optimum untuk mengamplifikasi DNA kultivar Sidikalang. Program PCR II dan PCR III telah di uji masingmasing sebanyak 5X, agar tingkat reproducibility pada program PCR tersebut tinggi. Pada Gambar 2 terlihat bahwa fragmen DNA tanaman induk dan planlet hasil kuljar kultivar Lhoksumawe yang di uji pada kondisi PCR II dengan primer SW_1 tidak menunjukkan adanya perbedaan fragmen DNA, baik fragmen DNA tanaman induk maupun planlet hasil kuljar memiliki fragmen sebesar 1000-1500 bp. sedangkan fragmen DNA tanaman induk dan planlet hasil kuljar untuk kultivar Sidikalang yang di uji dengan primer SW_5 pada kondisi PCR III sebesar 500-750 bp (Gambar 3).
Gambar 1. Hasil Uji Kualitas DNA Tanaman Induk Keterangan: 2 : DNA Kultivar Lhosumawe 4 : DNA Kultivar Sidikalang 3 : DNA Kultivar Lhosumawe 5 : DNA Kultivar Sidikalang
6 : DNA Kultivar Tapaktuan 7 : DNA Kultivar Tapaktuan
Pada proses isolasi DNA tanaman, penggunaan nitrogen cair bertujuan untuk melisis dinding sel. Akan tetapi, dinding sel juga dapat dipecahkan dengan penggerusan menggunakan bufer ekstraksi diikuti dengan penghangatan pada suhu 65°C. Detergen seperti sodium dodecil sulfat (SDS), sarkosil, dan CTAB dapat digunakan untuk proses lisis (Lengkong, et al., 2001). Penggunaan bufer CTAB sebagai pengganti nitrogen cair untuk ekstraksi dapat menghasilkan produk DNA yang berkualitas yang ditunjukkan oleh terbentuknya pita DNA genom (Gambar 2). Kualitas DNA yang baik adalah tidak terdegradasi, dan tidak terkontaminasi oleh RNA serta membentuk pita. Dengan demikian, buffer CTAB dapat digunakan untuk mengisolasi DNA pada tanaman nilam.
Gambar 2. Fragmen DNA tanaman induk dengan planlet hasil kuljar kultivar Lhoksumawe hasil amplifikasi kondisi PCR II Keterangan: M : DNA Marker 1 : L Induk + Praimer 1 2 : L Kuljar + Praimer 1
Konsentrasi optimum dari praimer acak untuk amplifikasi DNA pada beberapa tanaman bervariasi, bergantung kepada jenis praimer dan jenis tanamannya (Prana dan Hartati, 2003). Penelitian terhadap tanaman Pinus radiata membutuhkan praimer sebanyak 22 ρmol setiap reaksi untuk mendapatkan hasil amplifikasi DNA yang optimum (Stange et al., 1998 di kutip Prana dan Hartati, 2003), sedangkan untuk tanaman spruce dibutuhkan praimer dengan konsentrasi yaitu 0.5 mM (Nkongolo et al., 1998 di kutip Prana dan Hartati, 2003). Menurut Padmalatha dan Prasad (2006) di kutip
Studi Awal Pemanfaatan Marka Molekuler RAPD untuk Penentuan Kebenaran Tiga Kultivar Nilam
112
SIMPULAN Berdasarkan hasil percobaan, dapat dikemukakan kesimpulan program amplifikasi PCR terbaik untuk amplifikasi DNA nilam yaitu program PCR II dengan praimer SW_1 untuk amplifikasi DNA nilam kultivar Lhoksumawe, sedangkan program PCR III dengan praimer SW_5 untuk amplifikasi DNA nilam kultivar Sidikalang. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada Direktur I-MHERE Universitas Padjadjaran yang telah mendanai sebagain penelitisan ini. Gambar 3. Fragmen DNA tanaman induk dengan planlet hasil kuljar kultivar Sidikalang hasil amplifikasi kondisi PCR III Keterangan : M : DNA Marker 1 : S Induk + Praimer 1 2 : S Kuljar + Praimer 1
Pharmawati (2009) konsentrasi praimer yang terlalu rendah atau yang terlalu tinggi menyebabkan tidak terjadinya amplifikasi. Pada percobaan ini konsentrasi primer sebesar 0,12 μM telah memberikan hasil yang cukup optimum dalam amplifikasi. Penggunaan konsentrasi praimer sebesar 0,12 μM pada percobaan ini telah memberikan hasil amplifikasi DNA yang optimum. Keberhasilan amplifikasi DNA menggunakan teknik RAPD selain ditentukan oleh urutan basa primer yang digunakan, serta konsentrasi primer dalam setiap reaksi, ditentukan pula oleh banyaknya enzim Taq polimerase, dan suhu annealing yang cocok (Promega, 2000 di kutip Lengkong et al., 2001). Penggunaan enzim Taq sebanyak 0,1 Unit/µL pada percobaan ini telah menunjukan hasil yang cukup tajam. Konsentrasi Taq polymerase ini tidak berpengaruh pada pola pita hasil amplifikasi PCR dan hanya berpengaruh pada ketajaman pita DNA (Lengkong et al., 2001). Konsentrasi enzim Taq polymerase yang tinggi memberikan intensitas pita DNA yang lebih tajam dibandingkan hasil amplifikasi dengan konsentrasi enzirn Taq polymerase DNA yang lebih rendah. Mahdi Nezhad et al., (2010) mendapatkan konsentrasi yang optimal untuk amplifikasi DNA anggur dengan volume total 25 µL yang terdiri dari 10 ng DNA template, 200 µM dNTPs, 0,4 µM primer, 50 mM KCl, 10 mM Tris HCL (pH 8.0) 1 % triton x-100. Prana dan Hartati (2003) mendapatkan konsentrasi yang optimal untuk amplifikasi DNA talas yang terdiri atas 96 –318 ng DNA template, 2.5 mM dNTPs, 3.2 µM primer, 2.5 mM Buffer. Lengkong et al., (2001) mendapatkan konsentrasi optimal untuk amplifikasi DNA Kelapa yang terdiri atas 50-75 ng DNA template, 200mM dNTP, 5 pMol primer, 1 unit Taq polymerase. Pada percobaan campuran komponen reaksi PCR yang terdiri atas 9.611.51 ng DNA, 200 μM dNTPs, 0.12 μM primer, 1X Buffer, dan 0.1 U/ µL Taq polymerase dengan volume total tiap reaksi 50 μL tersebut telah memberikan hasil amplifikasi yang baik, hal ini ditandai oleh fragmen DNA yang terbentuk jelas.
DAFTAR PUSTAKA Dhalimi, A., Angraeni, & Hobir. 1998. Sejarah perkembangan budidaya nilam di Indonesia. Monograf Nilam, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (5): 1−9. Hutami S., Mariska, I. & Supriati, Y. 2006. Peningkatan keragaman genetik tanaman melalui keragaman somaklonal. Jurnal AgroBiogen 2 (2):81-88. Krismawati, A. 2005. Nilam dan Potensi pengembangannya Kalteng jadikan komoditas rintisan. Tabloid Sinar Tani. Kalimantan. Lengkong E., Suharsono, Runtunuwu, S.D. & Hartana, A. 2001. Pengoptimuman Reaksi Berantai Polimerase DNA Tanaman Kelapa. Jurnal Hayati Vol. 8 (4): 121-123. Livy, W. & Gunawan. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nehzad, M.N., Solouki M. & Siasar B. 2010. The Comparation of Long and Short Primers Used for RAPD Technique in Grape. Iran: Trakia Journal of Sciences Vol. 8 (1): 38-41. Pabendon, B.M. 2004. Pemanfaatan marka molekuler untuk identifikasi varietas tanaman dalam bidang pemuliaan tanaman. Makalah pribadi Sekolah Pasca Sarjana S3 Institut Pertanian Bogor. Pharmawati, M. 2009. Optimalisasi ekstraksi DNA dan PCR-RAPD pada Grevillea spp. (Proteaceae). Jurnal Biologi XIII (1): 12-16. Prana, T.K., & Hartati, N.S.. 2003. Identifikasi sidik jari DNA talas (Colocasia esculenta L. Schott) Indonesia dengan teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA):skrining primer dan optimalisasi kondisi PCR. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Cibinong. Jurnal Natur Indonesia 5 (2): 107-112.
113
Latief, W. 1 dan Amien, S.2
Santoso, I. 2000. Kemandegan pengembangan minyak atsiri Indonesia.Makalah disampaikan pada seminar “Pengusahaan Minyak Atsiri Hutan Indonesia”. Fak. Bogor: Kehutanan IPB Darmaga Suryanto, D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik Genetika Molekuler. Universitas Sumatra Utara
Susantidiana, Wijaya, A. & Surahman, M.. 2009. Identifikasi Beberapa Aksesi Jarak Pagar (Jatropha Curcas) Melalui Analisis RAPD dan Morfologi. Jurnal Agron. Indonesia 37 (2): 167-173.