STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN PARTISIPASI STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANGKA PASCA PEMEKARAN WILAYAH
HARI SUBARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Februari 2013
Hari Subari NIM A156110204
RINGKASAN HARI SUBARI. Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan FREDIAN TONNY NASDIAN. Kabupaten Bangka adalah salah satu wilayah administratif yang terletak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dimekarkan pada tahun 2003 menjadi empat kabupaten terdiri dari satu kabupaten induk dan tiga kabupaten baru. Saat ini Kabupaten Bangka sedang dalam tahap untuk meningkatkan akses pendidikan yang luas di jenjang pendidikan menengah karena saat ini nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah adalah sebesar 82.29 persen, sedangkan target nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah secara nasional pada tahun 2020 adalah sebesar 97 persen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan pendidikan menengah dan partisipasi stakeholder di Kabupaten Bangka setelah pemekaran wilayah. Metode analisis yang digunakan yaitu: 1) Analisis Regresi Data Panel untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai angka partisipasi kasar (APK), 2) Analisis Deskriptif (Metode Diskusi Objektif, Reflektif, Interpretatif dan Decision atau ORID) untuk menganalisis tingkat partisipasi stakeholder, dan 3) Analisis Proses Hirarki (AHP) untuk menentukan skala prioritas pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Hasil penelitian menunjukkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah dipengaruhi oleh jumlah penduduk usia pendidikan menengah, jumlah ruang kelas pendidikan menengah, dan luas wilayah kecamatan. Berdasarkan pada delapan tangga Arstein, secara keseluruhan tingkat partisipasi stakeholder termasuk dalam tingkat partnership (kemitraan). Hal ini berarti bahwa terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta adanya kesamaan pandangan antara stakeholder dalam perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan. Pandangan stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka menilai penyediaan dana jauh lebih penting dibandingkan peningkatan partisipasi stakeholder dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya, pengembangan tenaga pendidik serta sarana dan prasarana dinilai jauh lebih penting dari pengembangan aparatur negara. (Kata kunci: pengembangan pendidikan, pendidikan menengah, angka partisipasi kasar, partisipasi stakeholder, Kabupaten Bangka dan pemekaran wilayah).
SUMMARY HARI SUBARI. The Strategy of Secondary Educational Development and Stakeholder Participation in Bangka Regency after Regional Proliferation. Supervised by ERNAN RUSTIADI and FREDIAN TONNY NASDIAN. Bangka regency is one of the administratif areas in the Province of Bangka Belitung island and becomes four regency with one old district and three new districts after the regional proliferation process in 2003. Now, Bangka regency is in processing to increase the secondary education because gross enrollment rate is 82.29 percent and the national target of gross enrollment rate for secondary education in 2020 is 97 percent. This research was aimed to study secondary educational development and stakeholder participation aftermath regional proliferation in Bangka regency: 1) to analyze the factors that will affect the gross enrollment rate of secondary education, 2) to analyze the participation rate of stakeholder in the developmental of secondary education, and 3) to formulate the strategy for development of secondary education. The analysis methods used in this study were: regression analysis of panel data, descriptive analysis such as objective discussion, reflective, interpretative and decisions, analytical hierarchy process (AHP). The results showed that the gross enrollment rate was influenced by the the number of secondary education age population, the number of the classrooms secondary education, and the land area of district. Based on eight stars Arstein, the overall participation rate of stakeholders was included in the partnership level. This meant that there was a mutual agreement for sharing the responsibility and the same perception between the stakeholders in the planning and decisionmaking for the development of education. The views of stakeholders in the development of secondary education in Bangka regency assess the provision of funds is much more important than the increased participation of stakeholder and public participation. Furthermore, the development of teaching staff and facilities assessed far more important than the development of the state apparatus. (Keywords: educational development, secondary education, gross enrollment rate, stakeholder participation, Bangka regency and regional proliferation).
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN PARTISIPASI STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANGKA PASCA PEMEKARAN WILAYAH
HARI SUBARI
TESIS sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Setia Hadi, MS
Judul Tesis : Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah Nama : Hari Subari NIM : A156110204
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ernan Rustiadi, MAgr Ketua
Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Januari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji Syukur dipanjatkan kepada Allah SWT. atas Ridho-Nya maka penyusunan hasil penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian yang berjudul Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah ini merupakan tahap akhir dalam menyelesaikan pendidikan. Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada: Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Ir Fredian Tonny Nasdian, MS. selaku komisi pembimbing, Prof Dr Ir Santun RP Sitorus selaku Ketua Program Studi PWL beserta seluruh dosen pengajar dan staf, H Yusroni Yazid, SE selaku Bupati Bangka, Drs Yunan Helmi, MSi. (Kepala Dinas) dan Zuniar, SE (Kepala Bidang Perencanaan) pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka beserta teman-teman sekantor. Special thank you to ibunda Holiyah beserta Eddy (first bro) Sil dan Dinda, Eddo (second bro), ibunda mertua Zubaidah, A’ Irma dan Bang Narto, Yuk Elis dan Bang Toni, My lovely family: Firdia Agustin (istri) dan Fatih Annafis (anak) untuk doa, pengorbanan, pengertian, dan dukungannya, serta kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor,
Februari 2013
Hari Subari
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku dan segala larangan-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku (Yakin bahwa Aku selalu hadir dikehidupannya), agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (Q.S. Al-Baqarah: 186)
Ku persembahkan karya ini kepada: Ayahanda Sopiyan (alm) dan Ibunda Holiyah, Ibunda mertua Zubaidah, Adik-adikku tersayang: Eddy Sugara dan Hamdu Santoso, My Lovely wife (Firdia Agustin) and our hero (Fatih Annafis), Keluarga besar dan guru-guruku.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 7 8 8
TINJAUAN PUSTAKA Pemekaran Wilayah Pendidikan Partisipasi Stakeholder Beberapa Metode Analisis untuk Kajian Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder
11 11 13 16
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Bahan dan Alat Metode dan Teknik Analisis Data
23 23 23 24
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Sejarah Terbentuknya Kabupaten Bangka Letak Geografis dan Administratif Wilayah Keadaan Alam Profil Sosial Budaya
27 27 28 30 31
19
KERAGAAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA PARTISIPASI KASAR (APK) 33 Keragaan Pendidikan Menengah 33 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) 36 TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH Bentuk Partisipasi Stakeholder Tingkat Partisipasi Stakeholder
45 45 48
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH PASCA PEMEKARAN KABUPATEN BANGKA Pemekaran Wilayah, Tingkat Partisipasi dan Pendidikan Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah
57 57 59
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
65 65 65
DAFTAR PUSTAKA
67
LAMPIRAN
71
RIWAYAT HIDUP
73
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2003 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2011 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008) Jarak dari Sungailiat ke daerah lainnya Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2010 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka Jumlah gedung sekolah jenjang pendidikan menengah sebelum dan setelah pemekaran di Kabupaten Bangka Daya tampung pendidikan menengah (ruang kelas) sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka Hasil regresi data panel Hasil uji korelasi Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan Jumlah skor tiap tangga tingkat partisipasi Perhitungan tingkat kehadiran dalam pertemuan Perhitungan tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat Perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik Perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar Perhitungan tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan Rangkuman perhitungan tingkat partisipasi stakeholder
5 6 26 28 31 33 34 35 36 37 45 46 48 48 50 52 53 55 55
DAFTAR GAMBAR 1 Wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan 2 Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan 3 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2003 4 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2011 5 Delapan tangga tingkat partisipasi (Arnstein 1969 dalam Chusnah 2008) 6 Lokasi penelitian 7 Bagan alir penelitian 8 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dari Saaty 2008) 9 Lokasi kecamatan sampel 10 Adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan nganggung atau nganggong di Pulau Bangka 11 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka 12 Sebaran rasio penduduk usia pendidikan menengah pada tahun 2011 13 Sebaran rasio daya tampung pendidikan menengah pada tahun 2011 14 Sebaran jumlah ruang kelas pendidikan menengah pada tahun 2011 15 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 16 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 17 Sebaran kepadatan penduduk pada tahun 2011 18 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan 19 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan 20 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kehadiran dalam pertemuan 21 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat 22 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik 23 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kesediaan untuk membayar 24 Hasil AHP dari level alternatif 25 Hasil AHP dari level kriteria 26 Hasil AHP dari faktor partisipasi stakeholder 27 Hasil AHP dari faktor partisipasi masyarakat 28 Hasil AHP dari faktor ketersediaan dana 29 Hasil Analisis Proses Hirarki (AHP)
3 3 5 6 18 23 24 26 29 32 34 38 39 40 41 42 43 45 47 49 51 52 54 59 60 61 61 62 62
DAFTAR LAMPIRAN 1 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Pemali 2 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Mendo Barat 3 Rekapitulasi jawaban wawancara mendalam kepada stakeholder sektor pendidikan tingkat Kabupaten Bangka 4 Hasil regresi data panel menggunakan software eviews 6.0
71 71 71 72
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemekaran wilayah semakin marak terjadi sejak diterapkannya sistem otonomi daerah sebagai implikasi penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. Otonomi daerah merupakan pemberian wewenang kepada suatu daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-undang ini mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dan kawasan khusus, dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan syarat yang diatur dalam undang-undang. Pemekaran wilayah diharapkan akan membentuk daerah yang mampu menghidupi kebutuhan pembangunan secara mandiri. Adapun tujuan pemekaran wilayah sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: 1) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, 2) Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, 3) Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, 4) Percepatan pengelolaan potensi daerah, 5) Peningkatan keamanan dan ketertiban, 6) Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Menurut Mardiasmo dalam Hermani (2007), otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: 1) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, 2) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan. Selanjutnya Effendy (2008) menyatakan bahwa pemekaran wilayah yang dilakukan pada beberapa daerah dimaksudkan agar terjadi peningkatan kemampuan pemerintah daerah, berupa makin pendeknya rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan. Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu upaya yang berkaitan dengan perluasan kesempatan masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Pengembangan pendidikan memegang peranan yang sangat penting karena peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan sumber daya masyarakat. Wilayah/daerah yang mencapai keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan penduduknya adalah yang menanamkan investasi yang relatif besar di bidang pendidikan dan pelatihan. Gambaran ini memberikan indikasi betapa pentingnya investasi di bidang pendidikan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan indikator yang memegang peranan penting sebagai penentu kualitas penduduk di suatu negara/daerah, dapat diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang akan terkait dengan indikator lainnya yaitu pendapatan masyarakat (daya beli) dan kesehatan masyarakat (angka harapan hidup).
2 Todaro (1998) menyatakan bahwa sumber daya manusia dari suatu bangsa merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi dari bangsa yang bersangkutan. Keberhasilan pembangunan di suatu daerah tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan pengembangan sumber daya manusia, disamping ketersediaan sumber alam, modal dan teknologi yang dimiliki. Selain itu juga, terdapat empat unsur yang menjadi modal dalam upaya pengembangan wilayah yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya infrastruktur, dan sumber daya sosial. Kemudian Iwahashi (2004) menyatakan bahwa pengembangan suatu wilayah bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi penduduknya. Meningkatnya taraf kehidupan ekonomi akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi penduduk untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih baik. Penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki peran untuk mengisi sektor-sektor pembangunan karena memiliki nilai keunggulan komparatif yang memadai. Selanjutnya Nasution (2011) menyatakan bahwa pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan prasangka. Pendidikan adalah suatu aktivitas masyarakat yang berfungsi mentransformasikan keadaan suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Pendidikan merupakan wadah untuk membentuk kepribadian dan watak masyarakat yang berilmu dan berbudaya serta dapat menunjukkan tingkat peradaban suatu bangsa. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs.) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Adapun usia jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Dasar yaitu 7-12 tahun dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu 13-15 tahun, jadi dapat dikatakan bahwa jenjang pendidikan dasar berusia antara 7-15 tahun. Kemudian untuk jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/MAK) yaitu 16-18 tahun. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor 7 Tahun 2001 Tentang Pembentukan sembilan kecamatan, maka terjadilah pemekaran wilayah kecamatan di Kabupaten Bangka dengan terbentuknya sembilan kecamatan baru, yaitu: Kecamatan Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar, Tempilang, Simpang Teritip, Simpang Katis, Simpang Rimba dan Air Gegas. Selanjutnya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 Tanggal 23 Januari 2003 sebagai implementasi terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terwujudnya pemekaran Kabupaten Bangka menjadi empat kabupaten yaitu Kabupaten Bangka, Bangka Tengah, Bangka Selatan dan Bangka Barat. Sembilan kecamatan baru tersebut, hanya empat kecamatan yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bangka, yaitu: Kecamatan Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar. Lingkup wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 1.
3
Gambar 1 Wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan memiliki wilayah seluas 11 554 km², terdiri dari 22 kecamatan yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat, Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar, Toboali, Payung, Simpang Rimba, Lepar Pongok, Air Gegas, Koba, Pangkalan Baru, Namang, Sungai Selan, Mentok, Simpang Teritip, Kelapa, Jebus, dan Tempilang. Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 2.
Gambar 2 Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan
4 Kabupaten Bangka setelah dimekarkan memiliki wilayah seluas 2 950.68 km², terdiri dari 8 kecamatan yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat, Pemali, Bakam, Riau Silip, dan Puding Besar. Salah satu indikator kinerja utama yang digunakan untuk menilai keberhasilan program pendidikan dan juga indikator keberhasilan sistem pendidikan dalam mendidik anak-anak dan remaja adalah nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) yang dapat juga memberikan gambaran secara umum banyaknya anak-anak yang sedang atau telah menerima pendidikan pada jenjang tertentu. Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan indikator yang paling sederhana dalam mengukur daya serap penduduk usia sekolah untuk masing-masing jenjang pendidikan. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) dapat diperoleh dengan membagi jumlah penduduk yang sedang bersekolah (jumlah siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut atau jumlah siswa jenjang pendidikan tertentu dibagi jumlah penduduk kelompok usia tertentu dikalikan seratus persen. Makin tinggi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah disuatu daerah, atau makin banyak anak usia di luar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di tingkat pendidikan tertentu. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah diperoleh dengan cara sebagai berikut: jumlah penduduk yang sedang bersekolah (jumlah siswa) tingkat SMA/SMK/MA negeri dan swasta dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia pendidikan menengah (16-18 tahun) kemudian dikalikan dengan 100 persen. Semakin tinggi Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah, berarti semakin banyak penduduk usia sekolah SMA/SMK/MA yang bersekolah sehingga akan semakin baik (Kemdiknas 2009). Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Kabupaten Bangka pada tahun 2011 untuk jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Dasar (SD) Angka Partisipasi Kasar (APK) sudah mencapai 114.25 persen dan untuk jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 109.13 persen. Hal ini dapat menjadi gambaran keberhasilan pemerintah Kabupaten Bangka dalam melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun karena nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) ditargetkan secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar (SD/SMP) sebesar 95 persen sudah tercapai. Tetapi pada jenjang pendidikan menengah Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk tingkat SMA/SMK/MA di Kabupaten Bangka sebesar 82.29 persen dan masih jauh untuk target secara nasional pada tahun 2020 sebesar 97 persen. Salah satu penyebab tingginya nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan dasar dikarenakan ketersediaan prasarana yang sangat memadai. Setiap desa sudah memiliki Sekolah Dasar (SD) atau sederajat minimal dengan daya tampung enam ruang kelas. Demikian juga untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat minimal tiap kecamatan sudah memiliki dua unit minimal dengan daya tampung enam ruang kelas. Beda halnya dengan jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA) yang tidak terdapat di setiap desa atau pun kelurahan. Bahkan di Kabupaten Bangka ketersediaan prasarana pendidikan menengah terdapat di setiap kecamatan baru dapat terealisasi pada tahun 2009. Kabupaten Bangka pada waktu dimekarkan tepatnya pada Januari 2003, memiliki prasarana pendidikan menengah sebanyak 16 unit SMA (6 berstatus negeri dan 10 berstatus swasta), 10 SMK (2 berstatus negeri dan 5 berstatus swasta)
5 dan 5 MA (1 berstatus negeri dan 4 berstatus swasta) yang tersebar hampir di seluruh kecamatan, sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2003 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama kecamatan
Sungailiat Mendo Barat Belinyu Merawang Riau Silip Puding Besar Pemali Bakam Jumlah Sumber: DISDIK (2004)
SMA 7 2 4 1 0 1 1 0 16
Sekolah (N/S) SMK 6 1 2 1 0 0 0 0 10
MA 1 2 0 1 1 0 0 0 5
Jumlah 14 5 6 3 1 1 1 0 31
Kondisi keragaan pendidikan untuk sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2003 sebagaimana terdapat pada Gambar 3.
Gambar 3 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2003 Tampak pada Gambar 3, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah untuk Kecamatan Riau Silip, Merawang, Puding Besar dan Mendo Barat masih sangat rendah yaitu kurang dari 20 persen. Bahkan untuk Kecamatan Bakam masih nol persen karena belum memiliki prasarana pendidikan menengah di kecamatan tersebut. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah paling tinggi yaitu Kecamatan Sungailiat yaitu sebesar 114.58 persen. Kondisi ini menggambarkan tidak meratanya ketersediaan prasarana pendidikan menengah di tiap kecamatan.
6 Tampak pada Tabel 2, menggambarkan kondisi prasarana pendidikan menengah sudah hampir tersebar merata diseluruh kecamatan, namun masih ada satu kecamatan yang belum memiliki prasarana pendidikan menengah yaitu Kecamatan Bakam. Kemudian, setelah delapan tahun pemekaran atau tepatnya pada tahun 2011, Kabupaten Bangka telah memiliki 15 SMA (8 berstatus negeri dan 7 berstatus swasta), 7 MA (1 berstatus negeri dan 6 berstatus swasta) serta 9 SMK (4 berstatus negeri dan 5 berstatus swasta) dan sudah terdapat atau tersebar merata diseluruh kecamatan, sebagaimana tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2011 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama kecamatan
Sungailiat Mendo Barat Belinyu Merawang Riau Silip Puding Besar Pemali Bakam Jumlah Sumber: DISDIK (2012)
SMA 6 1 3 1 1 1 1 1 15
Sekolah (N/S) SMK MA 5 0 1 3 3 0 0 2 0 1 0 0 0 1 0 0 9 7
Jumlah 11 5 6 3 2 1 2 1 31
Kondisi keragaan pendidikan untuk sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2011 atau delapan tahun setelah pemekaran Kabupaten Bangka sebagaimana terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2011 Tampak pada Gambar 4, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah untuk Kecamatan Pemali, Mendo Barat dan Belinyu mengalami
7 peningkatan yaitu sudah di atas 85 persen. Bahkan untuk Kecamatan Belinyu sudah mencapai di atas 90 persen. Demikian juga halnya untuk Kecamatan Riau Silip, Puding Besar dan Merawang yang sudah berkisar di atas 70 persen. Kecamatan yang memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah paling rendah adalah Kecamatan Bakam yang masih berkisar di bawah 70 persen, yaitu 54,12 persen. Terwujudnya pemekaran Kabupaten Bangka menjadi empat kabupaten dengan satu kabupaten induk dan tiga kabupaten baru menarik minat penulis untuk mengadakan penelitian bagaimana strategi pengembangan pendidikan menengah dan partisipasi stakeholder di Kabupaten Bangka pasca pemekaran wilayah. Hal ini perlu dilakukan karena bukan suatu hal yang mustahil setelah dimekarkan, pengembangan pendidikan menengah mengalami kemunduran ataupun jalan ditempat sehingga berpengaruh terhadap daya serap pendidikan menengah yang akan mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.
Perumusan Masalah Salah satu kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah dalam sistem otonomi daerah yaitu urusan bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan pendidikan menengah karena urusan pendidikan tinggi masih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam konteks pemekaran wilayah diharapkan pelayanan pendidikan akan lebih mempercepat tersedianya sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan ilmiah sehingga dapat berperan dalam pengelolaan kegiatan pembangunan di daerahnya. Pemekaran wilayah telah memberikan ruang dan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat dan pemerintah melalui stakeholder untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan daerah karena tranformasi sentralisasi menjadi desentralisasi mengharuskan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Pemekaran Kabupaten Bangka pada tahun 2003 merupakan implikasi dari pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2001. Setelah dimekarkan tentu saja ruang lingkup wilayah menjadi lebih kecil namun hal ini harus menjadi motivator bagi pemerintah daerah untuk berbuat lebih baik dalam hal pelayanan masyarakat. Realita sekarang ketersediaan prasarana pendidikan menengah terutama untuk pendidikan menengah kejuruan belum terdistribusi secara merata. Masih ada empat kecamatan yang belum memiliki prasarana pendidikan menengah kejuruan. Demikian juga untuk sarana penunjangnya, keberadaan laboratorium dengan peralatan yang lengkap masih menjadi sarana penunjang yang langka bila dibandingkan dengan sekolah jenjang pendidikan menengah yang berada di Kecamatan Sungailiat. Kondisi tersebut diatas menyebabkan terjadinya mobilitas peserta didik karena harus melanjutkan pendidikan menengah ke luar tempat tinggalnya namun status kependudukannya tetap terdaftar sebagai penduduk tempat tinggal asalnya. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perhitungan angka partisipasi sekolah peserta didik. Tentu saja yang dirugikan adalah kecamatan yang belum memiliki
8 prasarana pendidikan memadai karena sebagian peserta didiknya melanjutkan pendidikan menengah ke kecamatan lain. Dari permasalahan diatas, petanyaan penelitian dalam karya ilmiah ini yaitu: 1 Bagaimana dampak pemekaran Kabupaten Bangka terhadap nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah? 2 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka? 3 Bagaimana tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka? 4 Bagaimana persepsi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka? 5 Bagaimana arahan strategi pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?
Tujuan dan Manfaat Penelitian Pemekaran Kabupaten Bangka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Upaya memperluas dan memberikan kemudahan akses pendidikan bagi masyarakat, percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan seharusnya menjadi prioritas untuk ditingkatkan karena pemerintah daerah dapat lebih fokus untuk membangun dalam ruang lingkup wilayah yang tidak terlalu luas serta alokasi dana bantuan pembangunan infrastruktur pendidikan dari pemerintah pusat akan langsung dikelola oleh pemerintah kabupaten masing-masing. Namun, pembangunan infrastruktur pendidikan harus diikuti dengan peningkatan daya serap untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan: 1 Menganalisis tingkat Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran 2 Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka 3 Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka 4 Menganalisis persepsi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka dan merumuskan arahan strategi pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi pendidikan menengah sehingga menjadi bahan masukan dalam menyusun rencana strategis pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.
Ruang Lingkup Penelitian Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian serta kendala yang dihadapi, menimbulkan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu :
9 1 2 3
Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Jenjang pendidikan menengah (SMA, SMK, MA negeri/swasta), Periode waktu analisis yaitu tahun 1998, 2000 dan 2003 (sebelum pemekaran) serta 2009 sampai dengan 2011 (setelah pemekaran).
11
TINJAUAN PUSTAKA Pemekaran Wilayah Pengertian, maksud dan tujuan Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponennya memiliki arti di dalam pendeskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Terlepas dari unsur politis yang menyelimutinya, bahwa tujuan mulia dilakukannya pembangunan daerah dalam konteks pemekaran wilayah adalah kesejahteraan. Pemekaran wilayah juga akan mewujudkan birokrasi pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien. Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Menurut Juanda (2007), tujuan ideal dari pemekaran wilayah adalah dapat diwujudnyatakannya melalui peningkatan profesionalisme birokrat daerah untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang efektif dan efisien, dapat meningkatkan pelayanan dasar publik, menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat serta dapat akses langsung pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar dengan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota. Pemekaran wilayah kabupaten/kota menjadi beberapa kabupaten/kota baru pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan pada masyarakat. Effendy (2008) menyatakan bahwa pemekaran wilayah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: 1) peningkatan pelayanan kepada masyarakat, 2) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, 3) percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian, 4) percepatan pengelolaan potensi suatu daerah, dan 5) peningkatan keamanan dan ketertiban. Kemudian Saefulhakim dalam Agusniar (2006) menyatakan bahwa terciptanya wilayah administrasi baru, secara logika harus dapat menciptakan hal-hal sebagai berikut: 1) mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kewenangan lebih kepada masyarakat lokal untuk mengelola potensi sumberdaya wilayah secara arif, 2) partisipasi dan rasa memiliki dari masyarakat meningkat, 3) efisiensi, produktivitas serta pemeliharaan kelestarianya, 4) kumulasi dari nilai tambah secara lokal dan kesejahteraan masyarakat masyarakat meningkat, 5) prinsip keadilan dan kesejahteraan yang berkeadilan lebih tercipta, sehingga ketahanan nasional semakin kuat. Hal ini perlu diupayakan agar tidak mengakibatkan kesenjangan yang signifikan dimasa mendatang. Selanjutnya dalam suatu usaha pemekaran wilayah akan diciptakan ruang publik baru yang merupakan kebutuhan kolektif semua warga wilayah baru. Ruang publik baru ini akan mempengaruhi aktivitas seseorang atau masyarakat sehingga merasa diuntungkan karena pelayanannya yang lebih maksimal. Akhirnya pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan sumber daya secara berkelanjutan, meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan
12 antar sektor, memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hidup. Riyadi dan Bratakusumah (2004) berpendapat bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Tentu saja upaya ini sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan geografis yang ada disetiap wilayah sangat berbeda-beda, sehingga diperlukan perlakuan yang berbeda-beda pula dan pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Beberapa konsep pengembangan wilayah, antara lain: 1) mendorong dekonsentrasi wilayah, dimana konsep ini bertujuan untuk menekan tingkat konsentrasi wilayah dan untuk membentuk struktur ruang yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan, 2) membangkitkan kembali daerah terbelakang sebagai daerah yang memiliki karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapata perkapita yang rendah, dan rendahnya tingkat fasilitas pelayanan masyarakat, 3) memodifikasi sistem kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju pusatpusat pertumbuhan, yakni dengan adanya pengaturan sistem perkotaan maka telah memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik. Hal ini diharapkan akan dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar. Dasar Hukum dan Syarat Teknis Pemekaran Wilayah Payung hukum terjadinya pemekaran wilayah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Oleh karena itu, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan bahwa undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah. Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat (3) yang menyatakan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Kemudian ayat (4) menyebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan
13 DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini, antara lain: 1) kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung disuatu daerah propinsi, kabupaten/kota, yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri, 2) potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan, 3) sosial budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana olahraga, 4) sosial politik, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi kemasyarakatan, 5) kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah, 6) luas daerah, merupakan luas tertentu suatu daerah, 7) pertahanan dan keamanan merupakan kesiapan system pertahanan dan kondisi keamanan yang kondusif, 8) faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, meliputi paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Pembentukan daerah otonom baru tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Oleh karena itu dalam usulan pembentukan daerah baru harus dilengkapi dengan kajian daerah.
Pendidikan Sebagaimana menurut Conyers (1994) bahwa keuntungan investasi pelayanan sosial tidaklah dapat diukur dengan kriteria ekonomis, seperti naiknya pengeluaran atau pendapatan keuangan, walaupun mungkin mempunyai beberapa dampak tak langsung terhadap pembangunan ekonomi. Pendidikan, misalnya merupakan investasi yang meningkat mungkin dapat dicarikan alasan bahwa di satu pihak dianggap sebagai cara mencapai perkembangan ekonomi melalui tenaga-tenaga terampil atau di lain pihak pendidikan merupakan hak dasar yang berlaku bagi rakyat secara keseluruhan. Perencanaan pendidikan akan semakin erat kaitannya dengan perencanaan dan sumber tenaga kerja yang didasarkan pada ramalan akan kebutuhan berbagai jenis kategori tenaga terampil serta adanya keyakinan bahwa kebutuhan ini akan terpenuhi, namun apabila pendidikan dilihat sebagai bentuk hak sosial yang mendasar, maka adalah mungkin memperdebatkan kelengkapan sumber daya yang hampir tak terbatas, paling tidak seluruh penduduk telah memperoleh kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan tertentu.
14 langsung terhadap pembangunan ekonomi. Pendidikan, misalnya merupakan investasi yang meningkat mungkin dapat dicarikan alasan bahwa di satu pihak Infrastruktur Pendidikan Menurut Amirin (2011), bahwa infrastruktur pendidikan disebut juga sarana dan prasarana pendidikan. Kerap kali istilah itu digabung begitu saja menjadi sarana-prasarana pendidikan. Dalam bahasa Inggris sarana dan prasarana itu disebut dengan facility (facilities). Jadi, sarana dan prasarana pendidikan akan disebut educational facilities. Sebutan itu jika diadopsi ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan artinya segala sesuatu (alat dan barang) yang memfasilitasi (memberikan kemudahan) dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Definisi secara umum tentang sarana pendidikan sebagai segala macam alat yang digunakan secara langsung dalam proses pendidikan dan prasarana pendidikan adalah segala macam alat yang tidak secara langsung digunakan dalam proses pendidikan. Sarana pendidikan adalah segala macam alat yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, sementara prasarana pendidikan tidak digunakan dalam proses atau kegiatan belajar-mengajar. Erat terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan itu, dalam daftar istilah pendidikan dikenal pula sebutan alat bantu pendidikan (teaching aids), yaitu segala macam peralatan yang dipakai guru untuk membantunya memudahkan melakukan kegiatan mengajar. Alat bantu pendidikan ini yang pas untuk disebut sebagai sarana pendidikan. Jadi, sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan guru untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran. Selanjutnya Amirin (2011) juga menyatakan jika dilihat dari sudut murid, sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan murid untuk memudahkan mempelajari mata pelajaran dan prasarana pendidikan adalah segala macam peralatan, kelengkapan, dan benda-benda yang digunakan guru (dan murid) untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan. Perbedaan sarana pendidikan dan prasarana pendidikan adalah pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan untuk memudahkan penyampaian/mempelajari materi pelajaran sedangkan prasarana pendidikan untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan Terdapat lima faktor yang harus ada pada proses belajar mengajar yaitu ; guru, murid, tujuan, materi dan waktu. Ketidakadanya salah satu dari faktor tersebut, maka proses belajar mengajar tidak mungkin terjadi. Walaupun sudah memenuhi lima faktor tersebut, proses belajar mengajar terkadang memperoleh hasil yang tidak maksimal. Hasil yang maksimal dapat ditingkatkan apabila didukung dengan sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Bafadal (2004) menyatakan bahwa prasarana pendidikan adalah semua perangkat perlengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah. Fungsi dan Tujuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
15 mencerdaskan dan mendewasakan anak didik. Dalam pengertian sempit, pendidikan berarti pembuatan atau proses pembuatan untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Marimba (1981) bahwa pendidikan merupakan suatu bimbingan atau pimpinan dilakukan secara sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak menuju terbentuknya kepribadian prima. Upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggung jawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi dan seni, budaya dan agama. Proses pendidikan yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang sejalan dengan upaya pencapaian masyarakat madani. Dampak dari proses perubahan dunia yang cepat berdampak pada perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat berbagai nilai yang berkembang dalam masyarakat. Pendidikan memegang peranan penting dalam membentuk dan menciptakan masyarakat sesuai dengan yang diharapkan. Keberadaan pendidikan, apa yang dicita-citakan masyarakat dapat diwujudkan melalui anak didik sebagai generasi masa depan. Adapun tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Sastrawijaya dalam Idi (2011) adalah mencakup kesiapan jabatan, keterampilan memecahkan masalah, penggunaan waktu senggang secara membangun, dan sebagainya karena tiap siswa/anak mempunyai harapan yang berbeda. Tujuan pendidikan secara umum menyangkut kemampuan luas yang akan membantu siswa untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Lebih jauh, ada sejumlah fungsi dan peranan pendidikan bagi suatu masyarakat, seperti diungkapkan oleh Wuradji dalam Idi (2011): 1) fungsi Sosialisasi yaitu proses reproduksi budaya dimaksudkan upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi tugas sekolah. Masa-masa permulaan pendidikan merupakan masa sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan serta pengadopsian nilai-nilai ini, 2) fungsi kontrol sosial yaitu sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme fungsi kontrol sosial, 3) fungsi pelestarian budaya yaitu sekolah disamping mempunyai tugas mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga perlu melestarikan budaya-budaya daerah yang masih layak dipertahankan, 4) fungsi seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja yaitu sekolah mengajarkan bagaimana menjadi seseorang yang akan memangku jabatan tertentu, patuh terhadap pimpinan, rasa tanggungjawab akan tugas, disiplin mengerjakan tugas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Sekolah juga mendidik agar seseorang dapat menghargai harkat dan martabat manusia, memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan memperhatikan segala bakat yang dimilikinya demi keberhasilan dalam tugasnya, 5) fungsi pendidikan dan perubahan sosial yaitu pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial, memiliki beberapa fungsi: (a) melakukan reproduksi budaya, (b) difusi budaya, (c) mengembangkan analisis kultur terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, dan (d) melakukan perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan, 6) fungsi sekolah dan masyarakat yaitu hubungan timbal balik pendidikan di sekolah dan
16 masyarakat sangat besar manfaat dan artinya bagi kepentingan pembinaan dukungan moral, materiil, dan pemanfaatan masyarakat sebagai sumber belajar.
Partisipasi Stakeholder Pengertian partisipasi Terdapat banyak definisi mengenai partisipasi diantaranya adalah sebagai berikut: 1) bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja, yang berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya (Allport dalam Sastropoetro 1988:12), 2) partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan (Davis dalam Sastropoetro 1988:13), 3) partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan (Soetrisno 1995:207) Menurut FAO dalam Mikkelsen (2003:64): 1) partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan, 2) partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyekproyek pembangunan, 3) partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu, 4) partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak social, 5) partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri, 6) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka. Schubeller (1996:3) menyatakan, bahwa partisipasi tidak dapat dipisahkan dari pemberdayaan dan menurutnya ada 4 pendekatan strategi partisipasi yaitu: 1) community–based strategies merupakan bentuk paling dasar dari pembangunan partisipatif, 2) area-based strategies merupakan bentuk umum dari programprogram pemerintah, 3) functionally-based strategies merupakan struktur fungsional dari sistem infrastruktur sebagai kerangka referensi, 4) process-based strategies merupakan seluruh proses manajemen infrastruktur sebagai kerangka referensi. Pengertian tentang partisipasi secara formal adalah turut sertanya seseorang, baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangan kepada proses pembuatan keputusan mengenai persoalan dimana keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawab untuk melakukannya (Talizuduhu 1990:103 dalam Chusnah 2008). Selanjutnya Korten dalam Khadiyanto (2007: 28-29) mendefinisikan partisipasi sebagai suatu tindakan yang mendasar untuk bekerjasama yang memerlukan waktu dan usaha, agar menjadi mantap dan hanya berhasil baik dan terus maju apabila ada kepercayaan. Lain halnya dengan definisi partisipasi menurut Suherlan dalam Khadiyanto (2007: 29).
17 Menurutnya, partisipasi diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat dihemat sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek pemerintah. Pengertian stakeholder Istilah stakeholder sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagai ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana. Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Menurut Hatry dalam Rosyada (2004:276) menyatakan bahwa stakeholder adalah salah satu kategori masyarakat sekolah, yang merupakan unsur-unsur sekolah yang jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka proses persekolahan tersebut menjadi terganggu. Definisi ini lebih diperjelas dalam Kamus Manajemen Mutu yang menyatakan bahwa stakeholder adalah kelompok atau individu di dalam atau luar organisasi yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi oleh pencapaian misi, tujuan dan strategi organisasi biasanya terdiri atas pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemerintah dan peraturannya. Tingkatan dalam partisipasi Arstein (1969) dalam Chusnah (2008), menyatakan delapan tangga tingkat partisipasi yaitu: kesatu, manipulation (manipulasi). Tingkat partisipasi ini merupakan tingkatan paling rendah yang memposisikan masyarakat hanya dipakai sebagai pihak yang memberikan persetujuan dalam berbagai badan penasehat. Dalam hal ini tidak ada partisipasi masyarakat yang sebenarnya dan tulus, tetapi diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi dari pihak penguasa. Kedua, theraphy (terapi/penyembuhan) yaitu berkedok melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, para ahli memperlakukan anggota masyarakat seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi. Meskipun masyarakat terlibat dalam kegiatan namun pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mendapatkan masukan dari masyarakat demi kepentingan pemerintah. Ketiga, informing (informasi) yaitu memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka, tanggungjawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Meskipun yang sering terjadi adalah pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kekuasaan kepada masyarakat, tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam situasi saat itu terutama informasi diberikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana. Keempat, consultation (konsultasi) yaitu mengundang opini masyarakat, setelah memberikan informasi kepada mereka, dapat merupakan langkah penting dalam menuju partisipasi penuh dari masyarakat. Meskipun telah terjadi dialog dua arah, akan tetapi cara ini tingkat keberhasilannya rendah karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi.
18 Meskipun masyarakat terlibat digunakan adalah survei, pertemuan lingkungan masyarakat, dan dengar pendapat dengan masyarakat. Selanjutnya, kelima, placation (penentraman/perujukan) yaitu pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badanbadan kerjasama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggotanya wakil dari berbagai instansi pemerintah. Walaupun usulan dari masyarakat diperhatikan sesuai dengan kebutuhannya, namun suara masyarakat seringkali tidak didengar karena kedudukannya relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding anggota dari instansi pemerintah. Keenam, partnership (kerjasama) yaitu pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta pemecahan berbagai masalah. Terdapat kesamaan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat. Ketujuh, delegated power (pelimpahan kekuasaan) yaitu pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk memberikan keputusan dominan pada rencana atau program tertentu. Upaya memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan harus mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas. Jadi masyarakat diberi wewenang untuk membuat keputusan rencana dan rencana tersebut kemudian ditetapkan oleh pemerintah, dan kedelapan, citizen control (kontrol masyarakat) yaitu pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihakpihak luar yang hendak melakukan perubahan. Hal ini terdapat usaha bersama warga bisa langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapat bantuan atau pinjaman tanpa melalui pihak ketiga. Jadi masyarakat memiliki kekuasaan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program yang dibuatnya. Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arstein (1969), sebagaimana terdapat pada Gambar 5.
Gambar 5 Delapan tangga tingkat partisipasi (Arnstein 1969 dalam Chusnah 2008)
19 Tampak pada Gambar 5, pada tingkat 1 dan 2 disimpulkan sebagai tingkat yang bukan partisipasi atau non participation. Tingkat 3, 4, dan 5 disebut tingkatan penghargaan/ tokenisme atau Degree of Tokenism. Tingkat 6, 7, 8 disebut tingkatan kekuatan masyarakat atau Degree of Citizen Power.
Beberapa Metode Analisis untuk Kajian Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder Analisis Regresi Data Panel Menurut Gujarati (2004), data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross section. Data panel merupakan analisis untuk menjelaskan hubungan antara peubah respon (variabel dependen) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi lebih dari satu prediktor (variabel independen). Data panel (longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya, jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni. Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun teori ekonomi. Manfaat penggunaan panel data adalah sebagai berikut: 1) mampu mengontrol heterogenitas individu. Metode ini melakukan estimasi secara eksplisit dengan memasukkan unsur heterogenitas individu, 2) memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, sehingga diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien, 3) mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau time series murni, 4) dapat menguji dan membangun model prilaku yang lebih kompleks, 5) lebih baik untuk studi dynamic of adjustments karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. Berdasarkan keunggulan tersebut maka tidak harus dilakukan pengujian asumsi klasik dalam model data panel (Verbeek 2000; Gujarati 2006; Wibisono 2005; Aulia 2004, dalam Shochrul dan Ajija 2011 ). Terdapat tiga macam estimasi model yang dapat digunakan dalam analisis regresi data panel yaitu model common effects, fixed effects, dan random effects. Pada dasarnya, perbedaan yang mendasari ketiganya adalah keberadaan efek spesifik individu (αi). Keberadaan efek spesifik individu dan korelasinya dengan variabel penjelas yang teramati (Xit) sangat menentukan spesifikasi model yang akan digunakan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode commone effect yang hanya dengan mengkombinasikan data time series dan cross section. Penggabungan kedua jenis data tersebut dapat menggunakan metode OLS
20 untuk mengestimasi model data panel. Pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu, dan dapat diasumsikan bahwa perilaku data antar wilayah sama dalam berbagai rentang waktu. Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t) digunakan untuk menguji parameter secara parsial, dengan kata lain untuk mengetahui apakah variabel independent (x) berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap variabel dependent (y). H0 : βi = 0, i = 0,1,2,3,4,5,6 H1 : βi ≠ 0, i = 0,1,2,3,4,5,6 Tolak H0 jika p-value (masing-masing koefisien x) < alpha (0,05). Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) digunakan untuk menguji kelayakan model dan menguji parameter regresi secara keseluruhan : H0 : βi = 0, i = 0,1,2,3,4,5, 6 (model tidak layak digunakan) H1 : βi ≠ 0, i = 0,1,2,3,4,5, 6 (model layak digunakan) Tolak H0 jika p-value (prob F-statistic) < alpha (0,05). Uji korelasi digunakan untuk menentukan terjadi atau tidaknya multikolinearitas. yaitu apabila nilai R-square yang tinggi namun banyak variabel yang tidak signifikan maka dapat dikatakan terjadi multikolinearitas, dan demikian juga sebaliknya. Cara lain yaitu dengan melihat angka korelasi. Apabila korelasi antara variabel penjelas tidak lebih besar dibanding korelasi variabel terikat dengan masing-masing variabel penjelas, maka dapat dikatakan tidak terdapat masalah yang serius sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila angka korelasi lebih kecil dari 0,8 maka dapat dikatakan telah terbebas dari masalah multikolinearitas (Gujarati 2004). Metode Deskriptif Menurut Walpole (1992) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan, yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan gagasan, dari hasil diskusi dengan isu yang disepakati, kemudian melakukan refleksi atas isu dan peristiwa yang muncul dan dilakukan suatu pengambilan keputusan. Adapun penarikan sampel digunakan metode pengambilan sampel gugus bertahap (multistage random sampling). Tahapan yang dilakukan dalam metode ini sebagai berikut: 1) objective, yaitu menyampaikan data-data/fakta-fakta/permasalahan yang ada, 2) reflective, yaitu melihat refleksi/reaksi responden terhadap data-data/fakta-fakta yang telah disampaikan, 3) interpretative, yaitu menggali/mengundang pemikiran kritis responden terhadap data-data/fakta-fakta yang disampaikan, 4) decision, yaitu menentukan keputusan/saran/langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Analisis data dilakukan dengan menghubungkan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Tingkat partisipasi stakeholder akan diukur dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif melalui penjumlahan skor dari indikator. Indikator yang digunakan yaitu bentuk partisipasi yang didapatkan dari hasil
21 analisis sebelumnya. Masing-masing indikator dikaitkan dengan jenjang partisipasi yang digunakan oleh Arstein (1969), yaitu delapan tangga tingkatan partisipasi. Delapan tangga tersebut diberi skor masing-masing berkisar antara 1-8. Berdasarkan hasil penjumlahan skor tersebut akan didapatkan tingkat partisipasi. Analisis Proses Hirarki (Analytic Hierarchy Process atau AHP) Menurut Falatehan (2009), untuk memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip yaitu prinsip menyusun hirarki, menetapkan prioritas dan konsistensi. Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk menelaah kebijakan adalah AHP (Analytical Hierarchy Process) yang dikembangkan oleh Saaty pada tahun 1970-an. AHP merupakan suatu teori pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty 2006). AHP juga merupakan suatu teori pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty 2006). Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi stakeholder, kemudian diberi bobot mengunakan skala perbandingan (Saaty 2008). Komponen-komponen utama penelitian dibuat urutan secara hierarki lalu diberi nilai (skoring) dalam angka kepada setiap bagian yang menunjukkan penilaian subjektif. Tahap selanjutnya penilaian tersebut kemudian disintesiskan (dengan eigen vector) guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi. Model ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Aplikasi AHP dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama yaitu : 1) choice (pilihan), yang merupakan evaluasi atau penetapan prioritas dari berbagai alternatif tindakan yang ada, dan 2) forecasting (peramalan), yaitu evaluasi terhadap berbagai alternatif hasil di masa yang akan datang (Saaty dan Niemira 2006). Beberapa langkah berikut ini dalam menggunakan AHP yaitu: 1) Menentukan goal (tujuan) dan menentukan kriteria atau sub kriteria berdasarkan tujuan, 2) Menyusun kriteria ke dalam hirarki dari level teratas (tujuan dari sudut pandang pembuat keputusan) melalui level menengah hingga level terbawah, yang biasanya memuat beberapa alternatif, 3) Menyusun matriks perbandingan berpasangan (ukuran n x n) untuk masing-masing level bawah dengan satu matrik untuk setiap unsur dalam level menengah di atasnya dengan menggunakan skala relative, dan 4) Pengujian konsistensi dengan mengambil rasio konsistensi (CR) dari indeks konsistensi (CI) dengan nilai yang tepat. Nilai CR dapat diterima jika, tidak melebihi 0.10. Jika nilai CR > 0.10, berarti matriks tersebut tidak konsisten (Saaty 1980).
23
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Bangka, Provinsi kepulauan Bangka Belitung, dengan luas wilayah 2 950.68 km² atau 295.068 ha persegi terdiri dari 8 kecamatan, 9 kelurahan dan 60 desa. Lokasi penelitian sebagaimana terdapat pada Gambar 6.
Gambar 6 Lokasi penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bangka merupakan salah satu kabupaten yang dimekarkan pada tahun 2003 sebagai implikasi dari pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang terbentuk pada tahun 2000.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Peta administrasi wilayah Kabupaten Bangka, Profil pendidikan Kabupaten Bangka 1998/1999, 2000/2001 dan 2003/2004 (sebelum pemekaran) serta 2009/2010 sampai dengan 2011/2012 (setelah pemekaran) dan Bangka Dalam Angka 2011.
24 Untuk keperluan analisis data, perangkat lunak yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah ArcGis ver. 9.3, Eviews 6.0, Expert Choice 11, dan Ms. Office 2010. Tahapan penelitian mulai dari persiapan sampai pengolahan data terdapat pada Gambar 7. Tahap Tahap Persiapan Persiapan :: 1.1. Pemilihan Pemilihan Topik Topik dan dan Judul Judul Penelitian Penelitian 2.2. Penyusunan Penyusunan Proposal Proposal Penelitian Penelitian 3.3. Studi Studi Pustaka Pustaka 4.4. Pemilihan Pemilihan Metode Metode untuk untuk Analisis Analisis Data Data
Menganalisis Menganalisis faktor-faktor faktor-faktor yang yang berpengaruh berpengaruh terhadap terhadap angka angka partisipasi partisipasi kasar kasar (APK) (APK) pendidikan pendidikan menengah menengah di di Kabupaten Kabupaten Bangka Bangka (ANALISIS (ANALISIS REGRESI REGRESI DATA DATA PANEL) PANEL)
Tahap Tahap Pengumpulan Pengumpulan Data Data :: -- Data Data Primer Primer :: kuesioner/wawancara/ kuesioner/wawancara/ studi studi pustaka pustaka -- Data Data Sekunder Sekunder :: studi studi pustaka pustaka
Tahap Analisis Data
Menganalisis Menganalisis tingkat tingkat partisipasi partisipasi stakeholder stakeholder dalam dalam pengembangan pengembangan pendidikan pendidikan menengah menengah di di Kabupaten Kabupaten Bangka Bangka (METODE (METODE DISKUSI DISKUSI (Objectif, (Objectif, Replectif, Interpretatif, Replectif, Interpretatif, Decision Decision atau atau ORID)) ORID))
Merumuskan Merumuskan arahan arahan strategi strategi pengembangan pengembangan pendidikan pendidikan menengah menengah di di Kabupaten Kabupaten Bangka Bangka (ANALISIS (ANALISIS HIERARCHY HIERARCHY PROCESS) PROCESS)
Gambar 7 Bagan alir penelitian
Metode dan Teknik Analisis Data Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bangka, laporan hasil studi terdahulu, serta instansi lainnya yang dapat membantu ketersedian data, terdiri dari: 1) jumlah penduduk usia pendidikan menengah, 2) jumlah daya tampung ruang kelas jenjang pendidikan menengah, dan 3) luas wilayah kecamatan. Adapun profil pendidikan yang dipakai yaitu tahun 1998, 2000 dan 2003 (sampel tahun sebelum pemekaran wilayah) serta tahun 2009 sampai dengan 2011 (sampel tahun setelah pemekaran wilayah). Data primer diperoleh dengan melakukan kegiatan wawancara langsung menggunakan kuesioner dan diajukan kepada responden (para stakeholder). Metode pengumpulan data: 1) wawancara terstruktur menggunakan kuesioner kepada responden, 2) wawancara mendalam dengan informan, dan 3) data sekunder. Responden dan informan ditentukan secara purposive yaitu stakeholder bidang pendidikan tingkat Kabupaten Bangka, kecamatan sampel yaitu: Kecamatan Mendo Barat yang mewakili kecamatan tipikal kota dan Kecamatan Pemali yang mewakili kecamatan tipikal desa.
25 Analisis Regresi Data Panel Analisis regresi data panel ini dilakukan untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini, yaitu menganalisis tingkat Angka Partisipasi kKasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran. Hubungan indeks angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan menengah terhadap variabel-variabel bebas terlihat dalam bentuk persamaan berikut:
+D + ε dimana : = Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah a = Konstanta = Koefisien jumlah penduduk usia pendidikan menengah = Koefisien jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah = Koefisien luas wilayah kecamatan = Jumlah penduduk usia pendidikan menengah = Jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah = Luas wilayah kecamatan D = Peubah Dummy pemekaran wilayah D = 0 : sebelum pemekaran wilayah D = 1 : setelah pemekaran wilayah = Error / residual ε Alasan pemilihan variabel tersebut diatas adalah: 1) penduduk usia pendidikan menengah merupakan angka pembilang dan penentu utama nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan menengah, 2) jumlah ruang kelas merupakan parameter daya tampung sebagai tolok ukur daya serap peserta didik jenjang pendidikan menengah, dan 3) luas wilayah kecamatan merupakan indikator pemekaran wilayah karena ada kecamatan yang baru terbentuk. Metode Deskriptif ORID Metode Deskriptif Objektif, Reflektif, Interpretatif dan Decision (ORID) digunakan untuk menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran. Tingkat partisipasi stakeholder akan diukur melalui penjumlahan skor kuesioner dari indikator dengan responden dari stakeholder tingkat kabupaten adalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Anggota DPRD Kabupaten Bangka, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bangka, Ketua MKKS Kabupaten Bangka, LSM Pendidikan dan pihak swasta. Responden untuk stakeholder tingkat kecamatan dan desa yaitu camat, kepala UPTD Pendidikan kecamatan, ketua PGRI kecamatan, kepala desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), tokoh masyarakat dan pihak swasta. Masing-masing indikator dikaitkan dengan jenjang partisipasi yaitu delapan tangga tingkatan partisipasi yang digunakan oleh Arstein (1969). Analisis Proses Hierarki (Analytical Hierarchy Process) Analisis ini dilakukan untuk menentukan arahan strategi pembangunan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Responden dari Stakeholder yang
26 diminta pendapatnya adalah anggota DPRD Kabupaten Bangka, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Tingkat Kabupaten Bangka, tokoh masyarakat, pihak swasta dan LSM bidang pendidikan yang kesemuanya berjumlah enam orang. Adapun struktur analisis proses hirarkinya dapat dilihat pada Gambar 8. Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen dengan perbandingan berpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai level terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan judgment para pengambil keputusan/para pakar berdasarkan nilai skala komparasi 1-9. Nilai skala perbandingan secara berpasangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Pengembangan Pengembangan pendidikan pendidikan Menengah Menengah di di Kabupaten Kabupaten Bangka Bangka Level 1
Partisipasi Partisipasi Stakeholder Stakeholder
Partisipasi Partisipasi Masyarakat Masyarakat
Ketersediaan Ketersediaan Dana Dana Level 2
Sarana Sarana dan dan Prasarana Prasarana
Sumberdaya Sumberdaya Aparatur Aparatur
Tenaga Tenaga Pendidik Pendidik
Level 3
Gambar 8 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dari Saaty 2008) Tabel 3 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008) Tingkat Kepentingan 1 3
5
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuannya Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding yang lain Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek
7
Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain
2,4,6,8 Kebalikan
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Reciprocals
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan bila ada kompromi diantara dua pilihan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan i
27
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Sejarah Terbentuknya Kabupaten Bangka Selama lebih dari seratus tahun, Bangka dikepalai oleh residen secara administratif dan taktis operasional berada dibawah Pemerintahan Pusat di Batavia (Jakarta). Demikian juga dengan Belitung yang pada mulanya merupakan suatu asisten residen, berdiri sendiri langsung di bawah Pemerintah Pusat. Atas dasar ordonansi tanggal 2 Desember 1933 (Stbl.No.565), terhitung dari tanggal 11 Maret 1933 terbentuklah “Residentie Bangka en Ouderhoregheden” yang menetapkan Biliton (Belitung) menjadi salah satu “onderafdeling” dikepalai oleh seorang “controleur” dengan pangkat asisten residen dari Karesidenan Bangka, berikut pulau-pulau lain sekitarnya. Pulau Bangka sendiri terbagi dalam lima onderafdeling, yang masing-masing dikepalai oleh seorang controleur. Lima onderafdeling kemudian menjadi Kawedanan Residen Bangka yang terakhir menjelang perang dunia kedua adalah P. Brouwer. Ketika kekuasaan kolonial Belanda atas kepulauan Indonesia direbut oleh Nippon pada tahun 1942, semasa berkobarnya perang Asia Timur Raya, Karesidenan Bangka-Belitung diperintah oleh Pemerintah Militer yang dinamakan “Bangka Biliton Gunseibu”. Pemerintah administratif menurut sistem pemerintahan Belanda diteruskan, dengan mengganti nama/istilah saja, yaitu dengan istilah-istilah Jepang dan atau Indonesia. Sehingga Residence menjadi “chokan” dan controleur menjadi “sidokan”. Namun disamping petugas-petugas Jepang diangkat pembantu-pembantu bangsa Indonesia seperti “gunco” dan “fuku gunco”. Pada waktu Dai Nippon sudah terdesak didalam peperangan melawan Sekutu, barulah di Bangka dibentuk semacam DPRD, yang dinamakan Bangka Syu Sangikai, yang diketuai oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo. Setelah Jepang ditaklukkan oleh sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 kemudian diikuti dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, atas inisiatif tokoh-tokoh Sumatera Selatan dibentuklah Pemerintahan Otonomi Sumatera Selatan dibawah pimpinan Gubernur Militer. Pulau Bangka termasuk didalamnya, dimana pimpinan pemerintahan dipegang oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, bekas ketua Bangka Syu Sangikai, dengan gelar Residen yang dibantu oleh seorang asisten residen dan seorang kontrolir yang diperbantukan. Letnan Gouveneur General Nederlandsch Indie mempergunakan kekuasaannya menjadi daerah otonom dengan membentuk Dewan Bangka Sementara (Voorlopige Bangka Raad) dengan surat keputusan tanggal 10 Desember 1946 nomor 8 (Stbl.1946.Nomor 38). Dewan Bangka Sementara ini merupakan Lembaga Pemerintah tertinggi dalam bidang otonomi, dibuka dengan resmi pada tanggal 10 Februari 1947, diangkat sebagai ketua yaitu Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, sedangkan anggota-anggotanya terdiri dari 16 orang. Sepuluh bulan kemudian “Dewan Bangka Sementara” ini ditetapkan menjadi “Dewan Bangka” yang tidak bersifat sementara lagi, dengan surat keputusan Lt. GG. Ned. Indie tanggal 12 Juli 1947 Nomor 7 (Stbl. 1947 Nomor 123) yang dilantik pada tanggal 11 Nopember 1947, dengan ketua dan anggota-anggota Dewan Bangka Sementara itu juga.
28 Setelah Masyarif meninggal, diangkatlah Saleh Ahmad, Sekretaris dari Dewan tersebut sebagai ketua. Pada bulan Januari 1948 Dewan Bangka bergabung dengan Dewan Riau dan Dewan Belitung dalam suatu federasi Bangka Belitung Riau (BABERI), yang disahkan oleh Lt. GG. Ned. Indie dengan surat keputusan tanggal 23 Januari 1948 nomor 4 (Stbl. 1948 No. 123), yang kemudian disahkan menjadi salah satu Negara Bagian dalam pemerintahan federal Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini ternyata tidak berlangsung lama, dengan keputusan Presiden RIS No. 141 tahun 1950, Negara Bagian ini disatukan kembali dalam Negara RI, sehingga berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dalam wilayah ini. Kemudian pada tanggal 21 April 1950 datanglah Perdana Menteri Dr. Halim beserta rombongannya ke Bangka yang terdiri dari 18 orang, diantaranya Dr. Mohd. Isa – Gubernur Sumatera Selatan, tanggal 22 April bertempat di Karesidenan diserahkanlah pemerintahan atas Bangka kepada Gubernur Sumatera Selatan. Dengan demikian bubarlah Dewan Bangka dan pemerintahan setempat dipimpin oleh R. Soemardjo yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai Residen Bangka Belitung dengan kedudukan di Pangkalpinang. Bangka sendiri menjadi kabupaten, dengan 5 wilayah kewedanan, masing-masing Pangkalpinang, Sungailiat, Belinyu, Mentok dan Toboali dan 13 wilayah kecamatan. Sebagai Bupati yang pertama ditunjuk R. Soekarta Martaatmadja. Penetapan Bangka sebagai daerah otonom kabupaten didasarkan atas Undang-Undang Darurat Nomor 2, 5 dan 6 tahun 1956. Dalam rangka penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka ketiga undang-undang darurat ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1959. Undang-undang inilah kemudian disebut sebagai dasar hukum pembentukan Daerah Tingkat II Bangka dan dijelaskan pemisahan Kabupaten Bangka dengan Kotapraja Pangkalpinang
Letak Geografis dan Administratif Wilayah Kabupaten Bangka merupakan salah satu dari tujuh wilayah administratif yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki luas wilayah lebih kurang 2 950.68 km² atau 295.068 ha dengan titik koordinat terletak antara 1o29’-2o21’ Lintang Selatan dan 105o36’-106o11’ Bujur Timur. Kabupaten Bangka dengan ibukota Sungailiat memiliki banyak pantai sebagai tujuan wisata, diantaranya: Pantai Matras, Parai, Tanjung Pesona, Romodong, Teluk Uber, Batu Bedaun, dan lain sebagainya. Adapun jarak dari Sungailiat ke ibukota kabupaten lain dan Kota Pangkalpinang seperti yang tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Jarak dari Sungailiat ke daerah lainnya No.
Dari Sungailiat ke daerah lainnya
Jarak (km)
1
Kota Pangkalpinang
33
2
Muntok (Bangka Barat)
140
3
Koba (Bangka Tengah)
90
4
Toboali (Bangka Selatan)
158
29 Wilayah Kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan daratan wilayah kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu Kabupaten Bangka Barat, Bangka Tengah dan Kota Pangkalpinang. Ditinjau dari ketersediaan infrastruktur dan kehidupan social ekonomi masyarakatnya maka kecamatan di Kabupaten Bangka dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kecamatan bertipikal kota dan desa. Pengambilan sampel untuk penelitian ini dan penyebaran kuesioner penelitian terletak di dua kecamatan dengan dua desa yang menjadi daerah sampel yaitu Desa Petaling Banjar, Kecamatan Mendo Barat mewakili kecamatan bertipikal kota dan Desa Pemali, Kecamatan Pemali mewakili kecamatan bertipikal desa. Lokasi pengambilan sampel sebagaimana terdapat pada Gambar 9.
Kecamatan sampel
Gambar 9 Lokasi kecamatan sampel Berdasarkan letak geografis, dari delapan kecamatan di Kabupaten Bangka, terdapat dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Pangkalpinang yaitu Kecamatan Merawang dan Mendo Barat. Kondisi ini secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya, terutama desa-desa yang terletak diperbatasan terluar dengan Kota Pangkalpinang. Bahkan terkadang menjadi suatu persoalan dilematis karena tidak sedikit warga yang berstatus penduduk Kota Pangkalpinang namun berdomisili di wilayah Kecamatan Merawang ataupun Mendo Barat. Selain itu, banyak warga dua kecamatan ini yang memiliki dokumen kependudukan ganda sehingga terkadang menimbulkan polemik tersendiri terutama pada saat akan berlangsungnya pemilihan kepala daerah.
30 Keadaan Alam Iklim, Tanah dan Hidrologi Wilayah penelitian termasuk dalam Kabupaten Bangka yang berada pada zona tropis, berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth-Ferguson wilayah ini termasuk dalam tipe iklim A. Suhu udara rata-rata di Kabupaten Bangka menurut data Stasiun Meteorologi Pangkalpinang menunjukkan variasi antara 25.7˚C hingga 29˚C dengan suhu rata-rata 27˚C. Tanah di Kabupaten Bangka mempunyai pH rata-rata dibawah 5, didalamnya mengandung mineral bijih timah dan bahan galian lainnya, seperti : pasir kwarsa, kaolin, batu gunung, dan lain-lain. Bentuk dan keadaan tanahnya adalah sebagai berikut : - 4 persen berbukit seperti Gunung Maras lebih kurang 699 meter, Bukit Pelawan, Bukit Rebo, dan lain-lain. Jenis tanah perbukitan tersebut adalah podsolik coklat kekuning-kuningan dan litosol berasal dari batu plutonik Masam, - 52 persen berombak dan bergelombang, tanahnya berjenis asosiasi podsolik coklat kekuning-kuningan dengan bahan induk komplek batu pasir kwarsit dan batuan plutonik masam, - 20 persen lembah/datar sampai berombak, jenis tanahnya asosiasi podsolik berasal dari komplek batu pasir dan kwarsit, - 25 persen rawa dan bencah/datar dengan jenis asosiasi alluvial hedromotif dan glei humus serta regosol kelabu muda berasal dari endapan pasir dan tanah liat. Pada umumnya sungai-sungai di daerah Kabupaten Bangka berhulu di daerah perbukitan yang berada di bagian tengah Pulau Bangka dan bermuara di laut. Sungai-sungai yang terdapat di wilayah Kabupaten Bangka, antara lain : Sungai Baturusa, Sungai Layang, Sungai Menduk, dan lain-lain. Kabupaten Bangka memiliki banyak kolong yang merupakan areal bekas penambangan bijih timah yang luas sehingga menjadikannya tampak seperti danau. Fauna dan Flora Di kawasan hutan terdapat binatang liar seperti : rusa, beruk, monyet, lutung, babi, trenggiling, napuh, musang, berbagai jenis burung, ayam hutan. Namun, hutan di Kabupaten Bangka tidak terdapat binatang buas seperti harimau, macan, dan sebagainya. Tumbuhan hutan terdapat bermacam-macam jenis kayu, seperti : kayu ramin, meranti, kapuk, jelutung, pulai, gelam, bitanggor, meranti rawa, mahang, bakau, dan lain sebagainya. Khusus untuk tanaman bakau, merupakan jenis tanaman yang menjadi andalan untuk ditanam di rawa-rawa daerah pantai sebagai habitat ikan dan binatang laut lainnya. Penanaman bakau ini menjadi sangat penting karena sebagian besar daerah pinggiran pantai sudah mengalami kerusakan sebagai akibat penambangan timah yang dilakukan baik secara legal maupun illegal di daerah laut. Penduduk Penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan memegang dua peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagai subyek/pelaku sekaligus sebagai obyek dari pembangunan. Berdasarkan data Bangka Dalam Angka (2011),
31 jumlah penduduk di Kabupaten Bangka sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar 260 935 jiwa, dengan luas wilayah 2 950.68 km² maka kepadatan penduduk di Kabupaten Bangka adalah 88 jiwa/km², sebagaimana tercantum pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2010 No
Kecamatan
Luas (km2)
Jumlah penduduk (jiwa)
Kepadatan (jiwa/km2)
1
Sungailiat
146.38
74 066
506
2
Belinyu
546.50
40 625
74
3
Merawang
164.40
24 962
151
4
Mendo Barat
570.46
43 052
75
5
Puding Besar
383.29
16 068
41
6
Pemali
127.87
23 786
186
7
Riau Silip
523.68
22 275
42
8
Bakam
488.10
15 561
32
2 950.68
260 935
88
Jumlah
Sumber : BPS Kabupaten Bangka (2011)
Berdasarkan Tabel 5, jumlah penduduk pada dua kecamatan penarikan sampel penelitian yaitu Kecamatan Pemali sebanyak 23 786 jiwa dan Kecamatan Mendo Barat sebanyak 43 052 jiwa.
Profil Sosial Budaya Masyarakat Kabupaten Bangka, pada umumnya Pulau Bangka adalah masyarakat yang mempunyai akar budaya dasar, yakni budaya melayu yang kemudian diperkaya dengan budaya pendatang seperti: Cina, Minangkabau, Batak, Bugis, Jawa, dan lain sebagainya, dan menyatu dengan budaya masyarakat asli. Beberapa seni budaya yang asli masih terjaga sampai sekarang, bahkan beberapa ritual adat istiadat setempat dikembangkan menjadi bagian dari even pariwisata seperti: nujuh jerami di Desa Gunung Muda Kecamatan Belinyu, rebo kasan di Desa Air Anyir dan mandi belimau di Desa Jada Bahrin Kecamatan Merawang, peringatan 1 muharam di Desa Kenanga Kecamatan Sungailiat, maulud Nabi Muhammad SAW di Desa Kemuja dan Desa Zed Kecamatan Mendo Barat. Adapun budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Kabupaten Bangka serta Pulau Bangka pada umumnya, yang merupakan gambaran kebersamaan dan semangat persatuan adalah adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan nganggung atau nganggong dimana pada setiap peringatan hari besar agama islam ataupun momen lainnya masyarakat tiap rumah akan membawakan makanan berupa nasi beserta lauknya ataupun kue-kue yang diletakkan dalam wadah dinamakan dulang kemudian dibawa ke masjid untuk dinikmati secara bersamasama.
32
Gambar 10 Adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan nganggung atau nganggong di Pulau Bangka Budaya nganggung atau nganggong masyarakat Bangka sebagaimana tampak pada Gambar 10 juga diadakan untuk menyambut sekaligus menjamu pejabat pemerintahan maupun non pemerintahan, tokoh masyarakat serta tokoh agama.
33
KERAGAAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA PARTISIPASI KASAR (APK) Keragaan Pendidikan Menengah Kondisi sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah antar kecamatan terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Kecamatan Sungailiat memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) yang sangat besar, sedangkan kecamatan lainnya memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) yang lebih kecil. Hal ini menggambarkan bahwa peluang dan kesempatan peserta didik yang dapat mengenyam pendidikan menengah antar kecamatan tidak merata. Kondisi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum dan setelah pemekaran wilayah tercantum pada Tabel 6. Tabel 6 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka Tahun No.
Kecamatan 1998/1999
2000/2001
2003/2004
2009/2010
2010/2011
2011/2012
1
Sungailiat
95,76
97,61
81,83
95,14
90,63
95,94
2
Belinyu
57,72
50,03
41,07
98,87
110,90
91,73
3
Merawang
5,36
9,22
13,45
65,62
47,27
74,64
4
Mendo Barat
11,30
11,29
18,19
63,83
71,42
87,68
5
Bakam
-
-
-
8,40
78,27
54,12
6
Pemali
-
-
-
89,05
98,03
89,07
7
Puding Besar
-
-
-
51,14
71,42
81,70
8
Riau Silip
-
-
-
25,77
47,27
83,42
Tampak dari Tabel 6, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah untuk kecamatan yang baru terbentuk, yaitu: Bakam, Pemali, Puding Besar dan Riau Silip mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa meningkatnya partisipasi penduduk dan peserta didik dalam pendidikan, khususnya pendidkan menengah. Satu hal yang paling penting adalah upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan daya serap agar setelah pemekaran wilayah, kebutuhan masyarakat terhadap layanan pendidikan menengah dapat terpenuhi dan akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan terjangkau dapat dipermudah. Adapun untuk gambaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebagaimana terdapat pada Gambar 11.
34
a. Sebelum pemekaran wilayah
b. Setelah pemekaran wilayah
Gambar 11 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka Suatu kondisi yang dapat dimaklumi apabila Kecamatan Sungailiat memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah yang tinggi karena sebagai ibukota kabupaten sarana dan prasarana pendidikan menengah yang dimiliki cukup memadai sehingga memungkinkan peserta didik leluasa memilih program studi sesuai dengan minat dan keinginan mereka. Selain itu, pilihan bersekolah di sekolah yang berstatus negeri adalah satu alasan tersendiri bagi peserta didik untuk lebih memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Sungailiat karena jumlah sekolah negeri yaitu lima unit dengan daya tampung ruang kelas sejumlah lima belas ruang atau paling banyak diantara kecamatan lainnya sehingga peluang dan kesempatan bersekolah di sekolah negeri terbuka lebar ada di Kecamatan Sungailiat. Adapun jumlah prasarana pendidikan menengah berupa gedung sekolah di Kecamatan Sungailiat sebagaimana terdapat pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah gedung sekolah jenjang pendidikan menengah sebelum dan setelah pemekaran di Kabupaten Bangka b. Tahun c. No. Kecamatan d. 1998/1999 2000/2001 2003/2004 2009/2010 2010/2011 2011/2012 e. 1f. Sungailiat 13 14 14 11 11 11 g. 2 6 7 6 5 5 6 h. Belinyu 3i. Merawang 2 2 3 3 3 3 j. 4k. Mendo Barat 3 2 5 5 5 5 5l. Bakam 1 1 1 m. 6n. Pemali 2 2 2 7o. Puding Besar 1 1 1 p. 8 Kecamatan Riau Silip Sungailiat - yang pada - tahun 2003 2 14 unit2 sekolah jenjang 2 memiliki
35 Kecamatan Sungailiat yang pada tahun 2003 memiliki 14 unit sekolah jenjang pendidikan menengah perlahan mengalami penurunan sebagai dampak pembangunan prasarana pendidikan menengah di wilayah pemekaran sehingga ada beberapa sekolah swasta yang tidak mampu bersaing dalam mendapatkan peserta didik dan terpaksa tutup. Tampak pada Tabel 7, keadaan jumlah ruang kelas jenjang pendidikan menengah mengalami fluktuasi, seperti yang terjadi di Kecamatan Sungailiat dan Belinyu. Sebelum pemekaran wilayah, cakupan wilayah yang luas dengan prasarana terbatas dan fokus pembangunan infrastruktur pendidikan yang sebagian besar teralokasi di ibukota kabupaten telah menjadikan Sungailiat sebagai tujuan favorit peserta didik untuk melanjutkan pendidikan menengahnya. Kondisi daya tampung ruang kelas tiap kecamatan sebagaimana tertera pada Tabel 8. Tabel 8 Daya tampung pendidikan menengah (ruang kelas) sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka Tahun No.
Kecamatan 1998/1999
2000/2001
2003/2004
2009/2010
2010/2011
2011/2012
1
Sungailiat
119
139
153
126
131
157
2
Belinyu
48
50
46
45
45
43
3
Merawang
3
8
12
18
22
19
4
Mendo Barat
6
9
16
34
41
46
5
Bakam
-
-
-
3
3
6
6
Pemali
-
-
-
31
28
31
7
Puding Besar
-
-
-
14
14
14
8
Riau Silip
-
-
-
8
14
13
Tampak dari Tabel 8, bahwa Kecamatan Sungailiat memiliki ketersediaan daya tampung ruang kelas yang sangat banyak. Pada tahun ajaran 2003/2004 atau sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, Kecamatan Sungailiat memiliki 153 ruang kelas, namun pada tahun ajaran 2009/2010 berkurang menjadi 126 ruang kelas. Hal ini dikarenakan dalam kurun waktu tersebut ada dua unit SMA swasta yaitu SMA YPBI 11 dan SMA YPLP PGRI yang terpaksa tutup karena sepi pendaftar peserta didik sebagai akibat berdirinya sekolah baru di daerah pemekaran. Namun setelah tahun 2010/201 daya tampung mengalami kenaikan yang mengindikasikan terjadinya peningkatan jumlah peserta didik. Kabupaten Bangka memiliki permasalahan cukup rumit terkait dengan bidang pendidikan menengah. Terdapat dua kecamatan, Merawang dan Mendo Barat, secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Pangkalpinang yang memiliki prasarana pendidikan menengah cukup memadai karena ketersediaan program studi lebih bervariasi mulai dari sekolah menengah atas, madrasah aliyah dan sekolah menengah kejuruan. Hal tersebut menjadi daya tarik bagi peserta didik di dua kecamatan itu ataupun kecamatan lainnya, bahkan tidak jarang juga peserta didik di Sungailiat lebih memilih melanjutkan pendidikannya ke Kota Pangkalpinang.
36 Kondisi ini terjadi juga di beberapa kecamatan lain, seperti Kecamatan Bakam dan Puding Besar yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kelapa (Kabupaten Bangka Barat). Kasus serupa terjadi juga di Kecamatan Riau Silip bahwa masih ada memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Kecamatan Belinyu ataupun Kecamatan Sungailiat, serta penduduk usia pendidikan menengah di Kecamatan Pemali yang memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Kecamatan Sungailiat. Hal ini ternyata terjadi juga antar kecamatan lainnya yang memiliki prasarana pendidikan lebih memadai dan dianggap lebih baik yang berdampak pada nilai APK pendidikan menengah di beberapa kecamatan. Setelah pemekaran wilayah yang menerapkan sistem otonomi daerah, paradigma pembangunan infrastruktur pendidikan menengah mengalami pergeseran karena tiap kabupaten yang baru dimekarkan mulai memperluas akses dengan menyediakan prasarana pendidikan menengah. Demikian juga orientasi pembangunan infrastruktur pendidikan menengah di Kabupaten Bangka yang semakin memperhatikan wilayah lainnya, khususnya kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001. Kondisi ini menjadikan peserta didik memiliki kemudahan dalam akses melanjutkan pendidikan menengah sehingga sebagian besar memilih untuk bersekolah di kecamatan tempat tinggalnya walaupun masih ada sebagian kecil yang tetap melanjutkan pendidikan menengah ke Sungailiat ataupun Kota Pangkalpinang.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) Terdapat banyak faktor terkait yang dapat mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan. Beberapa faktor yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini yaitu: jumlah penduduk usia pendidikan menengah, jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah, luas wilayah tiap kecamatan dan kepadatan penduduk tiap kecamatan. Hasil regresi data panel dengan menggunakan software eviews 6.0 adalah sebagaimana pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil regresi data panel Variable X1 X2 X3 X4 DUMMY C R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -1.995 2.035 0.039 0.504 -49.537 103.698 Weighted Statistics 0.9432 0.9274
Prob. 0.0000 0.0000 0.0004 0.0000 0.0005 0.0000 69.5959 42.2994
Dari output diatas, diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : ̂
D
Berdasarkan hasil output tersebut terdapat nilai R Square 0.9432 yang artinya sebanyak 94.32 persen variabel dependen dapat dijelaskan variabel independen, sisanya sebesar 5.68 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model (tidak dapat dijelaskan oleh model).
37 Hasil uji statistik t terlihat nilai p-value dari masing-masing koefisien ( < alpha=0,05 yang artinya variable ( ) berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi kasar pendidikan menengah pada taraf nyata 5 persen atau variabel independen (x) berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap variabel dependen (y). Hasil uji statistik F terlihat nilai dari p-value=0,00000< alpha=0,05 (tolak H0) yang artinya model yang digunakan layak pada taraf nyata 5 persen atau secara keseluruhan variabel x memiliki pengaruh terhadap angka partisipasi kasar pendidikan menengah. Tampak pada Tabel 10, hasil uji korelasi menunjukkan angka korelasi lebih kecil dari 0,8 dan variabel (x2, x3, x4 dan dummy) signifikan (terlihat pada uji-t) dan tidak ada koefisien korelasi yang memiliki nilai<0.8, maka dapat dikatakan tidak terdapat masalah yang serius. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel yang artinya bahwa tidak ada korelasi antar peubah independen x, dapat disimpulkan bahwa data telah terbebas dari masalah multikolinearitas (Gujarati 2004). Tabel 10 Hasil uji korelasi
Y x1 x2 x3 x4
Y 1.000000 -0.544795 0.681808 0.267862 0.637748
x1 -0.544795 1.000000 0.104652 0.024744 -0.129476
x2 0.681808 0.104652 1.000000 0.252861 0.517868
x3 0.267862 0.024744 0.252861 1.000000 -0.151655
x4 0.637748 -0.129476 0.517868 -0.151655 1.000000
Hasil regresi, nilai R-square 94.32 persen Nilai R-square 0.9432 menunjukkan bahwa sebesar 94.32 persen nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah dipengaruhi oleh rasio penduduk usia pendidikan menengah terhadap jumlah total penduduk, rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah total penduduk, luas wilayah kecamatan dan kepadatan penduduk. Sisanya 5.68 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Pada peubah x1, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebesar negatif 1.99 untuk setiap kenaikan peubah bebas rasio jumlah penduduk usia pendidikan menengah terhadap jumlah penduduk seluruhnya dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hal ini berarti setiap peningkatan satu orang penduduk usia pendidikan menengah dalam setiap seribu penduduk akan menurunkan 1.99 persen (dibulatkan 2.00 persen) nilai Angka Partisipasi Kasar (APK). Hasil uji-t, terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien x2
38 menengah di suatu wilayah maka akan menyebabkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah akan semakin turun. Sebaran rasio jumlah penduduk usia pendidikan menengah terhadap jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 2011 sebagaimana terdapat pada Gambar 12.
Gambar 12 Sebaran rasio penduduk usia pendidikan menengah pada tahun 2011 Berdasarkan Gambar 12, maka Kecamatan Sungailiat memiliki rasio yang paling tinggi. Pada tahun 2010/2011 nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah Kecamatan Sungailiat adalah sebesar 90.63 persen dan pada tahun 2011/2012 adalah sebesar 95.94 persen, yang artinya mengalami kenaikan sebesar 5.31 persen. Kondisi berbeda terdapat di Kecamatan Belinyu, Bakam dan Pemali. Hal ini disebabkan tidak merata dan keterbatasan prasarana atau belum tersedianya banyak pilihan jurusan program studi yang terdapat di kecamatan tersebut mengakibatkan masih banyak peserta didik melanjutkan pendidikan ke daerah lain, yaitu Sungailiat dan Kota Pangkalpinang. Beberapa faktor lain yang juga turut menjadi faktor penyebabnya yaitu kemampuan ekonomi orangtua peserta didik, kedekatan jarak dari tempat tinggal, dan masih adanya anggapan bahwa mutu pendidikan di Sungailiat dan Kota Pangkalpinang lebih bermutu, dan lain sebagainya. Pada peubah x2, nilai dugaan rataan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah akan naik sebesar 2.03 untuk setiap kenaikan peubah bebas rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah total penduduk dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hal ini berarti setiap peningkatan satu ruang kelas dalam setiap 10 000 penduduk akan menaikkan 2.03 persen nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah. Hasil uji-t, terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien x2
39 Pembangunan unit sekolah baru dan bertambahnya ruang kelas jenjang pendidikan menengah menyediakan daya tampung yang lebih banyak sehingga meningkatkan daya serap peserta didik. Ruang kelas merupakan daya tampung yang dapat menggambarkan kemampuan sekolah untuk menyerap peserta didik, sehingga semakin banyak ketersediaan ruang kelas mengindikasikan semakin besar daya serap pendidikan suatu wilayah. Conyers (1994:70) menyatakan bahwa pengembangan pendidikan secara cepat dan dalam waktu yang relatif singkat adalah dengan memperbesar ukuran ruang kelas, yang pada akhirnya akan menaikkan pula rasio murid dan guru, atau dapat pula menggunakan tenaga pendidik yang belum matang guna diperbantukan pada staf pamong yang sudah mapan. Kondisi rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah penduduk seluruhnya sebagaimana tertera pada Gambar 13.
Gambar 13 Sebaran rasio daya tampung pendidikan menengah pada tahun 2011 Berdasarkan Gambar 13, maka daerah yang memiliki rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah penduduk seluruhnya paling tinggi adalah Kecamatan Sungailiat dan Mendo Barat. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) kecamatan ini mengalami kenaikan yaitu sebesar 5.31 persen untuk Kecamatan Sungailiat dan 16.26 persen untuk Kecamatan Mendo Barat. Hal ini merupakan dampak dari bertambahnya prasarana pendidikan menengah, khususnya di Kecamatan Mendo Barat didirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Peternakan pada tahun 2005.
40 Kabupaten Bangka memiliki rasio peserta didik terhadap ruang kelas yaitu 1:27 sedangkan rasio ideal peserta didik jenjang pendidikan menengah terhadap ruang kelas sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 yaitu minimal 1:17 dan maksimal 1:32. Namun pada kenyataannya jumlah daya tampung ruang kelas tersebut belum tersebar secara merata karena masih terdapat kecamatan yang memiliki jumlah ruang kelas jauh dari cukup. Kondisi sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah tiap kecamatan pada tahun 2011 sebagaimana tertera pada Gambar 14.
Gambar 14 Sebaran jumlah ruang kelas pendidikan menengah pada tahun 2011 Tampak dari Gambar 14, daya tampung ruang kelas yang ada di Kecamatan Sungailiat adalah yang paling banyak yaitu 157 lokal dan Kecamatan Bakam yang memiliki jumlah ruang kelas paling sedikit atau sebanyak 6 lokal. Pada peubah x3, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah akan naik sebesar 0.039 untuk setiap kenaikan peubah luas wilayah kecamatan dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hasil uji-t, terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien x3
41 angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah tampak merata di semua kecamatan, baik yang lama maupun yang baru karena disertai dengan pembangunan unit sekolah baru pendidikan menengah, terutama SMA negeri di tiap kecamatan yang saat ini telah terdapat di semua kecamatan se-Kabupaten Bangka. Kondisi luas wilayah dan sebaran prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 sebagaimana terdapat pada Gambar 15.
Gambar 15 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 Tampak dari Gambar 15, kecamatan yang memiliki wilayah paling luas yaitu Kecamatan Mendo Barat dengan 570.46 km² dan yang paling sempit yaitu Kecamatan Pemali dengan 127.87 km². Berdirinya unit-unit sekolah baru pendidikan menengah telah meningkatkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) di kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001. Tampak pada Gambar 15, kecamatan yang memiliki wilayah paling luas yaitu Kecamatan Mendo Barat dan kecamatan yang paling sedikit wilayahnya yaitu Kecamatan Pemali. Meskipun memiliki wilayah paling kecil dan hanya memiliki masing-masing satu unit SMA Negeri dan MA Negeri namun nilai Angka Partisaipasi Kasar (APK) pendidikan menengahnya pada tahun 2011 menempati urutan ketiga untuk tingkat kabupaten. Berdasarkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah, Kecamatan Mendo Barat (87.68 persen) lebih kecil daripada Kecamatan Pemali (89.07 persen), yang artinya daya serap pendidikan di Kecamatan Pemali lebih baik daripada di Kecamatan Mendo Barat walaupun jumlah ruang kelas di kecamatan Mendo Barat lebih banyak. Hal ini berarti jumlah peserta didik tiap ruang kelas di Kecamatan Pemali lebih banyak daripada di Kecamatan Mendo Barat.
42 Terjadinya pemekaran wilayah berarti terjadi penyempitan wilayah karena jumlah luas wilayah tetap tetapi sudah terbagi dalam beberapa kecamatan. Namun di sisi yang lain, pemekaran wilayah juga berarti terbentuknya wilayah baru. Pemekaran Kabupaten Bangka telah mempercepat pembangunan prasarana pendidikan termasuk pendidikan menengah. Pada tahun 2011 ini, setiap kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001 di Kabupaten Bangka telah memiliki fasilitas Sekolah Menengah Atas (SMA) berstatus negeri. Kondisi sebaran prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pada tahun 2011 sebagaimana tampak pada Gambar 16.
Gambar 16 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 Tampak pada Gambar 16, tiap kecamatan telah memiliki prasarana pendidikan menengah. Kondisi ini telah memberikan kemudahan dan memperluas akses pendidikan kepada masyarakat karena peserta didik yang merupakan anakanak mereka dan generasi penerus tongkat estafet pembangunan tidak perlu jauhjauh lagi untuk mendapatkan layanan pendidikan menengah khususnya bersekolah negeri kecuali untuk program studi yang belum tersedia didaerahnya. Pada peubah x4, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah akan naik sebesar 0.504 untuk setiap kenaikan peubah kepadatan penduduk dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hasil uji-t, terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien x4
43 menengah sehingga ikut mempengaruhi angka partisipasi kasar (APK) penduduk usia 16-18 tahun merupakan parameter pembilang nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah. Sebaran kepadatan penduduk tiap kecamatan sebagaimana tertera pada Gambar 17.
Gambar 17 Sebaran kepadatan penduduk pada tahun 2011 Tampak dari Gambar 17, kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk paling tinggi adalah Sungailiat yaitu sebesar 549 jiwa/km². Jauh diatas kepadatan rata-rata tingkat Kabupaten Bangka yang hanya 88 jiwa/km². Kemudian untuk tingkat kepadatan terendah yaitu Kecamatan Riau Silip yang hanya 45 jiwa/km². Kepadatan penduduk di Kecamatan Sungailiat sangat dipengaruhi karena statusnya sebagai ibukota kabupaten yang merupakan pusat pemerintahan. Selain itu juga menjadi pusat perdagangan dan jasa. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan menengah yang cukup memadai juga telah menjadikan Sungailiat sebagai pilihan untuk berdomisili bagi masyarakat. Pemekaran Kabupaten Bangka telah mempercepat pembangunan prasarana pendidikan termasuk pendidikan menengah karena tuntutan kebutuhan. Pada tahun 2011 ini, setiap kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001 di Kabupaten Bangka telah memiliki fasilitas Sekolah Menengah Atas (SMA) berstatus negeri. Kondisi ini telah memberikan kemudahan dan memperluas akses pendidikan kepada masyarakat karena peserta didik yang merupakan anak-anak mereka dan generasi penerus tongkat estafet pembangunan tidak perlu jauh-jauh lagi untuk mendapatkan layanan pendidikan menengah khususnya bersekolah negeri kecuali untuk program studi yang belum tersedia didaerahnya.
45
TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH Bentuk Partisipasi Stakeholder Pada tahap awal kegiatan, bentuk partisipasi yang paling banyak dipilih oleh para stakeholder yaitu menyumbang ide/gagasan sebanyak 9 orang atau sebesar 75 persen dan 3 orang atau 25 persen memilih sumbangan bentuk lainnya yaitu membantu mencarikan donatur. Sedangkan untuk pilihan jawaban menyumbang uang, barang dan tenaga tidak ada yang memilih. Hal ini menggambarkan bahwa secara pribadi ataupun sebagai stakeholder tingkat kecamatan hanya mengajukan usulan kepada pemerintah tingkat diatasnya karena ada asumsi bahwa pembiayaan pembangunan baik fisik maupun non fisik kegiatan pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah baik tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Selain itu, masing-masing pihak beranggapan bahwa bentuk partisipasi agar dapat terlaksananya suatu kegiatan tidak lagi hanya berorientasi pada uang/materi tetapi sudah berkembang dan mempunyai makna yang lebih luas serta disadari menjadi tanggung jawab bersama antara para stakeholder beserta seluruh lapisan masyarakat. Hasil perhitungan bentuk partisipasi pada tahap awal kegiatan sebagaimana pada Tabel 11 dan Gambar 18. Tabel 11 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan Tahap awal kegiatan
Pilihan jawaban
Bentuk partisipasi Frekwensi
%
Menyumbang uang
a
0
-
Menyumbang barang
b
0
-
Menyumbang tenaga Menyumbang ide/gagasan Sumbangan bentuk lain Jumlah
c d e
0 9 3 12
75 25 100
Menyumbang uang Menyumbang barang 25% Menyumbang tenaga Menyumbang ide/gagasan 75%
Sumbangan bentuk lain
Gambar 18 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan
46 Tampak pada Tabel 11 dan Gambar 18, bahwa tidak ada pilihan jawaban pada opsi menyumbang uang, menyumbang barang dan menyumbang tenaga. Biasanya dalam program pembangunan fisik kegiatan, untuk pembiayaan konstruksi dan faktor pendukung lainnya sudah disiapkan oleh pemerintah kabupaten ataupun pemerintah provinsi dan pemerintah pusat melalui APBD dan APBN. Kemudian, sangat jarang terjadi para stakeholder menyumbang materi kecuali mereka juga berpredikat sebagai orangtua/wali yang anaknya berstatus siswa di suatu sekolah yang akan melaksanakan pembangunan fisik. Hal ini merupakan representasi dari fungsi keberadaan stakeholder sebagai sosok yang memiliki kemampuan untuk merencanakan, menetapkan dan melaksanakan suatu program kegiatan. Pada tahap pelaksanaan kegiatan, 11 stakeholder atau sebesar 92 persen menentukan pilihan bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat. Sedangkan 1 stakeholder atau sebesar 8 persen memilih jawaban bentuk lainnya. Pemerintah dalam hal ini adalah para stakeholder tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Hasil perhitungan bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan kegiatan sebagaimana pada Tabel 12 dan Gambar 19. Tabel 12 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan Tahap pelaksanaan kegiatan Bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat Membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalam melaksanakan program tersebut Menyerahkan kepada masyarakat dengan dana dari pemerintah Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tua siswa Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tua siswa dan Komite Sekolah Bentuk lainnya Jumlah
Bentuk partisipasi Pilihan jawaban Frekwensi
%
a
11
92
b
0
-
c
0
-
d
0
-
e f
0 1 12
8 100
Tampak pada Tabel 12, bahwa hampir semua responden memilih opsi bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat dan tidak ada pilihan jawaban membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalam melaksanakan program, menyerahkan kepada masyarakat dengan dana dari pemerintah, menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orangtua/siswa serta menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orangtua siswa dan komite sekolah. Hal ini mengambarkan bahwa semua stakeholder telah menyadari peran penting semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah, dalam menyukseskan suatu pelaksanaan program kegiatan sehingga sebagian besar memilih opsi untuk bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat.
47 Bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat Membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalam melaksanakan program tersebut
8%
Menyerahkan kepada masyarakat dengan dana dari pemerintah Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tua siswa 92%
Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tua siswa dan Komite Sekolah Bentuk lainnya
Gambar 19 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan Tampak pada Tabel 12 dan Gambar 19, pada tahap pelaksanaan kegiatan pilihan jawaban paling banyak pada opsi menyumbang ide/gagasan yaitu sebesar 92 persen. Pada tahap ini, nampaknya para stakeholder memanfaatkan posisi mereka sebagai orang yang berkompeten menampung dan menyampaikan aspirasi pembangunan dari masyarakat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan kegiatan opsi yang paling banyak dipilih adalah bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat. Para stakeholder telah menempatkan posisi mereka sebagai perwakilan pemerintah daerah sehingga dalam setiap pelaksanaan pembangunan berupaya melibatkan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dimaklumi karena stakeholder tingkat kecamatan merupakan perpanjangan tangan pemerintah kabupaten sehingga segala kebijakan pembangunan yang dilaksanakan diwilayah kecamatan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten, yang sumber dananya baik berasal dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat. Menganalisis tingkat kehadiran dalam pertemuan, digunakan skala penilaian dengan berpedoman pada Teori Sherry Arstein yaitu menggunakan delapan tangga partisipasi. Kedelapan tangga tersebut adalah : a) hadir karena terpaksa, b) hadir sekedar memenuhi undangan, c) hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat, d) hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi pendapatnya tidak diperhitungkan, e) hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan, f) hadir dan mendapat pembagian tanggungjawab yang setara, g) hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, h) hadir dan mampu membuat keputusan. Kategori tingkat partisipasi ditentukan dengan penghitungan sebagai berikut : Dari satu variabel pertanyaan diatas terdapat delapan pilihan jawaban dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 8. Urutan skor tersebut berdasarkan pada 8 (delapan) tingkat partisipasi dari Sherry Arstein, sehingga diperoleh skor minimum 1, yang berasal dari 1 x 1 dan skor maksimum dari tiap individu adalah 8, yang berasal dari 1 x 8. Dalam penelitian ini, responden berjumlah 12 orang, maka skor minimumnya adalah 12 x 1 = 12, dan skor maksimum adalah 12 x 8 = 96. Menentukan jarak intervalnya, yaitu (96 – 12) / 8 = 10,5. Sehingga dengan menggunakan tipologi Arstein maka diperoleh 8 (delapan) tingkat partisipasi dengan nilainya masingmasing yaitu sebagaimana yang terdapat pada Tabel 13.
48 Tabel 13 Jumlah skor tiap tangga tingkat partisipasi No. Tangga 8 7 6 5 4 3 2 1
Tingkat partisipasi Citizen Control Delegated Power Partnership Placation Consultation Informing Therapy Manipulation
Jumlah skor 85,5 75 64,5 54 43,5 33 22,5 12
-
96 85,5 75 64,5 54 43,5 33 22,5
Tingkat Partisipasi Stakeholder Pada tahap ini, sebanyak 5 orang atau sebesar 42 persen memilih opsi hadir dalam pertemuan dan akan memberikan pendapat walaupun hanya sedikit pendapat yang akan diperhitungkan, 3 orang atau sebesar 25 persen memilih opsi hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, 2 orang atau sebesar 17 persen memilih opsi hadir hanya untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat, dan 1 orang atau sebesar 8 persen yang memilih opsi hadir dan mendapat pembagian tugas yang setara, demikian juga opsi hadir dan mampu membuat keputusan dipilih oleh 1 orang atau sebesar 8 persen. Hasil perhitungan tingkat partisipasi untuk hadir dalam pertemuan sebagaimana pada Tabel 14 dan Gambar 19. Tabel 14 Perhitungan tingkat kehadiran dalam pertemuan No.
1
Variabel Tingkat kehadiran dalam pertemuan
Skala penilaian Hadir karena terpaksa Hadir sekedar memenuhi undangan Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat Hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi tidak diperhitungkan Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan Hadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan Hadir dan mampu membuat keputusan Jumlah
n
%
Bobot
n x Bobot
0
-
1
0
0
-
2
0
2
17
3
6
0
-
4
0
5
42
5
25
1
8
6
6
3
25
7
21
1 12
8 100
8
8 66
49 Kesadaran stakeholder untuk hadir dalam pertemuan cukup tinggi, meski dengan alasan yang bervariasi. Tidak ada stakeholder yang memilih opsi hadir karena terpaksa ataupun hadir sekedar memenuhi undangan. Walaupun sebagian besar stakeholder memilih opsi hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan, yang menunjukkan masih terdapat rasa pesimis terhadap realisasi berbagai usulan ide/gagasan. Penyebab mayoritas opsi ini paling banyak dipilih karena berbagai macam alasan yang menjadi penyebab betapa banyak usulan kegiatan pembangunan tidak dapat dilaksanakan, dan alasan klasik adalah terbatasnya pendanaan sehingga setiap usulan hanya mendapat jawaban klasik juga yaitu ditampung dan diupayakan. Tentu saja, kondisi ini menimbulkan sikap apatis dan apriori dari stakeholder non pemerintah, sehingga apabila diminta mengusulkan suatu kegiatan terkesan lambat dan bahkan malas untuk mengusulkannya kepada stakeholder pemerintah baik tingkat kecamatan maupun kabupaten. Fenomena yang ada dan berkembang bahkan tidak jarang stakeholder non-pemerintah (kalangan masyarakat) lebih cenderung mengusulkan ke stakeholder di tingkat provinsi ataupun stakeholder di tingkat pusat. Diagram tingkat partisipasi untuk hadir dalam pertemuan sebagaimana pada Gambar 20. Hadir karena terpaksa Hadir sekedar memenuhi undangan 8%
17%
25%
8%
42%
Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat Hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi tidak diperhitungkan Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan Hadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan Hadir dan mampu membuat keputusan
Gambar 20 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kehadiran dalam pertemuan Tampak pada Tabel 14 dan Gambar 20, sebanyak 3 stakeholder atau sebesar 25 persen dan 1 stakeholder atau sebesar 8 persen yang memilih opsi memiliki kewenangan untuk membuat keputusan dan mampu membuat keputusan, menunjukkan bahwa stakeholder telah memahami posisi strategis mereka sebagai penentu kebijakan akhir dari usulan perencanaan pembangunan yang akan dilakukan didaerahnya. Hal ini sejalan dengan pilihan para stakeholder bahwa diantara mereka tidak ada yang hadir karena terpaksa ataupun hadir sekedar untuk memenuhi undangan, yang mengindikasikan para stakeholder memiliki kepedulian yang tinggi untuk bersama-sama masyarakat merencanakan dan melaksanakan program pengembangan pendidikan didaerahnya. Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa partisipasi tingkat kehadiran dalam pertemuan memiliki nilai 66, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga
50 Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership (kerjasama). Pada tingkat ini, kehadiran dalam suatu pertemuan tidak akan dapat menghasilkan apa-apa bila tidak adanya kerjasama berbagai pihak dan harus ada kejelasan pembagian tanggung jawab antar stakeholder dalam merencanakan berbagai program sehingga terdapat kesamaan kepentingan antara stakeholder. Pada tingkat partisipasi stakeholder untuk aktif dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat, 5 orang atau sebesar 42 persen memilih opsi aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggungjawab yang setara, 3 orang atau sebesar 25 persen memilih opsi aktif tetapi merasakan hanya sedikit hasil diskusi yang diperhitungkan, 2 orang atau sebesar 17 persen memilih opsi aktif berdiskusi dan memiliki kewenangan membuat keputusan, 1 orang atau sebesar 8 persen memilih opsi mendapat informasi dan merasakan boleh berpendapat tapi tidak diperhitungkan, dan 1 orang atau sebesar 8% memilih opsi aktif berdiskusi dan merasakan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan. Tidak ada yang memilih opsi berdiskusi karena terpaksa, mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya ataupun mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat. Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 21. Tabel 15 Perhitungan tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat No.
Variabel
Skala penilaian Berdiskusi karena terpaksa
2
Tingkat keaktifan dalam berdiksusi dan mengemukakan pendapat
Mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya Mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat Mendapat informasi dan boleh berpendapat tapi tidak diperhitungkan Aktif, tetapi hasil diskusi hanya sedikit sekali diperhitungkan Aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara Aktif berdiskusi dan memiliki kewenangan membuat keputusan Aktif berdiskusi dan mampu membuat keputusan Jumlah
n
%
Bobot
nx Bobot
0
-
1
0
0
-
2
0
0
-
3
0
1
8
4
4
3
25
5
15
5
42
6
30
2
17
7
14
1
8
8
8
12
100
71
Tampak pada Tabel 15 diatas, terlihat bahwa kondisi sesungguhnya para stakeholder memiliki kesadaran untuk bertanggungjawab dalam hal pengembangan pendidikan didaerahnya karena tidak ada yang memilih opsi berdiskusi karena terpaksa ataupun mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya ataupun mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat, yang artinya mereka tetap memiliki harapan agar kiranya dari suatu pertemuan didapat kesepakatan yang memberikan kontribusi positif terhadap upaya pengembangan pendidikan didaerahnya.
51 Berdiskusi karena terpaksa Mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya
8% 8% Mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat
17%
25% Mendapat informasi dan boleh berpendapat tapi tidak diperhitungkan
42%
Aktif, tetapi hasil diskusi hanya sedikit sekali diperhitungkan Aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara Aktif berdiskusi dan memiliki kewenangan membuat keputusan Aktif berdiskusi dan mampu membuat keputusan
Gambar 21 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat Tampak pada Tabel 15 dan Gambar 21, sebagian besar stakeholder terlibat aktif dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Opsi paling banyak yaitu pada tingkat aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara, yang artinya 5 orang atau sebesar 42 persen selalu terlibat aktif dalam pertemuan untuk mengemukakan pendapat dan mereka mendapatkan pembagian tugas yang merata, sesuai dengan jabatan masing-masing. Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa tingkat keaktifan dalam berdiksusi dan mengemukakan pendapat memiliki skor 71 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini, dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat, sebagian besar stakeholder berkeinginan untuk aktif dalam berdiskusi dan berharap mendapatkan limpahan tugas yang setara. Pada tingkat partisipasi stakeholder untuk terlibat dalam kegiatan fisik, ada dua opsi yang dipilih oleh masing-masing 3 orang atau sebesar 25 persen yaitu jawaban terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan dan opsi terlibat dan memiliki pembagian tanggung jawab yang sama. Opsi berikutnya yaitu dipillih oleh dua orang atau sebesar 17 persen yaitu terlibat dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar. Kemudian, masing-masing satu orang atau sebesar 8 persen memilih opsi terlibat sekedarnya saja, terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide, terlibat dan berkesempatan menyampaikan ideide tapi tidak diperhitungkan serta terlibat dan memiliki kewenangan untuk melaksanakan ide tersebut. Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik sebagaimana pada Gambar 22.
52 Tabel 16 Perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik No.
3
Variabel
Skala penilaian
Tingkat keaktifan dalam kegiatan fisik
n
%
Bobot
nx Bobot
0
-
1
0
1
8
2
2
1
8
3
3
1
8
4
4
3
25
5
15
3
25
6
18
1
8
7
7
2 12
17 100
8
16 65
Terlibat karena terpaksa
Terlibat sekedarnya saja Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide-ide tapi tidak diperhitungkan Terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan Terlilbat dan mendapat pembagian tanggung jawab yang sama Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide Terlibat dan mampu membuat keputusan Jumlah
Terlibat karena terpaksa Terlibat sekedarnya saja
17% 8% 25%
8%
Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide 8% 8%
Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide-ide tapi tidak diperhitungkan Terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan
25% Terlilbat dan mendapat pembagian tanggung jawab yang sama Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide Terlibat dan mampu membuat keputusan
Gambar 22 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik memiliki skor 65 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini, dalam kegiatan fisik, sebagian besar stakeholder terlibat dan mendapat pembagian
53 tanggungjawab yang sama serta terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide. Pada tingkat partisipasi stakeholder pada kesediaan untuk membayar, empat orang atau sebesar 33 persen memilih opsi terlibat dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara dalam pemanfaatan uang, tiga orang memilih opsi membayar tapi merasakan hanya sedikit ide pemanfaatan uang yang dilaksanakan. Masing-masing dua orang atau sebesar 17 persen memilih opsi membayar dan berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya tapi hanya sedikit yang diperhitungkan serta opsi membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan ide pemanfaatan uang tersebut. Hasil perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 23. Tabel 17 Perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar No.
4
Variabel
Tingkat kesediaan untuk membayar
Skala penilaian
n
%
Bobot
nx Bobot
0
-
1
0
0
-
2
0
1
8
3
3
2
17
4
8
3
25
5
15
4
33
6
24
2
17
7
14
0 12
100
8
0 64
Membayar karena terpaksa Membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya Membayar dan tidak berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya Membayar dan berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya tapi tidak diperhitungkan Membayar tetapi hanya sedikit ide pemanfaatan uang yang dilaksanakan Membayar dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara dalam pemanfaatan uang Membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan ide pemanfaatan uang Membayar dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar Jumlah
Tampak pada Tabel 17, tidak ada yang memilih opsi membayar karena terpaksa, membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya ataupun membayar dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar. Menjadi hal menarik adalah ketidakmampuan stakeholder kecamatan untuk mengakses dana dari luar karena bukan hal yang sulit mengajak pihak swasta untuk bersinergi memberikan sumbangan dalam rangka pengembangan pendidikan diwilayahnya.
54
Membayar karena terpaksa Membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya Membayar dan tidak berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya
17%
Membayar dan berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya tapi tidak diperhitungkan
8% 17%
33%
25%
Membayar tetapi hanya sedikit ide pemanfaatan uang yang dilaksanakan Membayar dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara dalam pemanfaatan uang Membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan ide pemanfaatan uang Membayar dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar
Gambar 23 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kesediaan untuk membayar Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa kesediaan untuk membayar memiliki skor 64 poin atau paling rendah diantara empat tingkat partisipasi, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini, sebagian besar stakeholder bersedia untuk membayar dan mendapatkan pembagian tanggungjawab yang setara dalam pemanfaatan uang. Setelah mendapatkan bobot hasil analisis dari tiap tingkat partisipasi stakeholder, langkah selanjutnya adalah merangkum bobot-bobot tersebut secara keseluruhan untuk mendapatkan tingkat partisipasinya. Hal ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan nilai dari masing-masing tingkat partisipasi untuk dihitung nilai keseluruhan sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir tingkatan partisipasi stakeholder dalam program pengembangan pendidikan menengah Di Kabupaten Bangka. Menghitung tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan dilakukan dengan cara sebagai berikut: Dari empat tingkat partisipasi, diperoleh skor minimum 4, yang berasal dari 4 x 1 dan skor maksimum dari tiap tingkat partisipasi adalah 32 poin, yang berasal dari 4 x 8. Dalam penelitian ini, responden berjumlah 12 orang, maka skor minimumnya adalah 4 x 12 = 48 poin, dan skor maksimum adalah 12 x 32 = 384 poin. Menentukan jarak intervalnya, yaitu (384 – 48) / 8 = 42 poin. Sehingga dengan menggunakan tipologi Arstein maka diperoleh 8 (delapan) tingkat partisipasi dengan nilainya masing-masing yaitu sebagaimana yang terdapat pada Tabel 18. Rangkuman hasil perhitungan tingkat partisipasi stakeholder yang terdiri atas: 1) tingkat kehadiran dalam pertemuan, 2) keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat, 3) keterlibatan dalam kegiatan fisik dan 4) kesediaan untuk membayar, dapat dirangkum hasil analisisnya sebagaimana terdapat pada Tabel 19.
55 Tabel 18 Perhitungan tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan No. Tangga 8 7 6 5 4 3 2 1
Tingkat partisipasi Citizen Control Delegated Power Partnership Placation Consultation Informing Therapy Manipulation
342 300 258 216 174 132 90 42
Jumlah skor 384 342 300 258 216 174 132 90
Tabel 19 Rangkuman perhitungan tingkat partisipasi stakeholder No. 1 2 3 4
Variabel Tingkat kehadiran dalam pertemuan Keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat Keterlibatan dalam kegiatan fisik Kesediaan untuk membayar Jumlah
Skor 66 71 65 64 266
Dari Tabel 19, tampak bahwa tingkat partisipasi yang memiliki nilai paling besar yaitu keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat yaitu sebesar 71 poin. Berikutnya adalah tingkat kehadiran dalam pertemuan sebesar 66 poin, kemudian tingkat keterlibatan dalam kegiatan fisik sebesar 65 poin, dan yang memiliki nilai paling kecil yaitu tingkat kesediaan untuk membayar yaitu sebesar 64 poin. Keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat yang memiliki nilai paling besar menunjukkan bahwa para stakeholder menyadari bahwa pelaksanaan suatu kegiatan berawal dari hasil pertemuan guna menentukan arah dan sasaran kegiatan sehingga program yang dilaksanakan dapat bermanfaat secara keseluruhan. Tentu saja keberadaan stakeholder dalam suatu pertemuan adalah keharusan karena mereka memiliki kewenangan yang legal dalam hal pengambilan suatu keputusan. Dari hasil rangkuman penghitungan analisis tingkat partisipasi stakeholder pada Tabel 19, maka dapat ditentukan bahwa bobot keseluruhan tingkat partisipasi berjumlah 266 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership (kemitraan). Dalam hal ini diartikan bahwa terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta telah terdapat kesamaan pandangan antara stakeholder. Seperti yang diungkapkan oleh Epstein (2009) bahwa kemitraan (partnership) berperan penting dalam pengembangan pendidikan. Pemekaran wilayah sebagai implikasi penetapan sistem otonomi daerah telah memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat dan para stakeholder untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dimana lebih berperannya masyarakat dan pemerintah di daerah dalam pembangunan.
57
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH PASCA PEMEKARAN KABUPATEN BANGKA Pemekaran Wilayah, Tingkat Partisipasi dan Pendidikan Salah satu urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah daerah adalah pelayanan bidang pendidikan, yaitu pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk urusan pelayanan pendidikan tinggi masih menjadi kewenangan permerintah pusat. Penerapan sistem otonomi daerah yang merupakan perubahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah membuka ruang dan memberikan kesempatan kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk lebih berperan secara aktif dalam pengelolaan pembangunan daerah. Sebagaimana menurut Chan dan Sam (2010) yang menyatakan bahwa proses desentralisasi pendidikan meliputi dua konsep utama. Pertama, pemindahan kewenangan kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, segi yang lebih spesifik adalah pemindahan berbagai keputusan mengenai sektor pendidikan dari pemerintah kepada masyarakat. Implikasi pemekaran Kabupaten Bangka pada tahun 2003 selain berkurangnya luas wilayah, juga berkurangnya jumlah kecamatan karena sebagian besar masuk dalam wilayah kabupaten pemekaran. Awalnya jumlah kecamatan di Kabupaten Bangka yaitu dua puluh dua kecamatan, namun setelah pemekaran menjadi delapan kecamatan terdiri dari empat kecamatan lama, yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang dan Mendo Barat serta empat kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001, yaitu Bakam, Pemali, Puding Besar dan Riau Silip. Tentu saja sebagai wilayah baru, masih banyak keterbatasan sarana dan prasarana bidang pendidikan terutama bidang pendidikan menengah, dibandingkan dengan kecamatan yang sudah lama terbentuk. Adapun terhadap keterlibatan stakeholder dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan sebelum pemekaran wilayah bisa dikatakan masih minim karena pada saat itu, khususnya sekitar tahun 1960 sampai dengan 1990-an, masih berlakunya sistem sentralisasi pendidikan oleh pemerintah pusat dan kasus di Kabupaten Bangka adanya peran serta PT. Timah yang juga ikut membantu pemerintah daerah dalam upaya pengembangan pendidikan dengan membangun sarana dan prasarana pendidikan serta penyediaan tenaga pendidik terutama untuk Jenjang pendidikan dasar dan menengah, seperti SD UPTB Komplek Nangnung Sungailiat, SMP UPTB Pemali, SMA UPTB Sungaiselan dan sebagainya. Walaupun sekolah-sekolah PT. Timah itu diperuntukkan khusus untuk anak-anak pegawai dan karyawan PT. Timah namun kondisi ini sungguh sangat membantu pemerintah daerah karena biaya operasional, pengadaan perlengkapan, penyediaan peralatan penunjang pendidikan dan pembayaran gaji tenaga pendidik yang berstatus pegawai ataupun tenaga honor ditanggung seluruhnya oleh PT. Timah. Berhubung semua biaya menjadi tanggungan PT. Timah maka semua kebijakan internal menjadi kewenangan manajemen PT. Timah melalui pihak sekolah sehingga baik pemerintah daerah maupun masyarakat serta orangtua peserta didik tidak diperkenankan mengintervensi dalam setiap pengambilan keputusan dalam hal apapun. Bisa dibayangkan pada masa itu, orangtua peserta didik di sekolah-
58 sekolah PT. Timah tidak memiliki peran apapun dalam upaya pengembangan pendidikan di sekolah. Kalaupun ada pengambilan keputusan yang harus melibatkan orangtua peserta didik maka dapat dipastikan hal tersebut hanya bersifat formalitas yang merujuk pada tangga partisipasi Arstein berada pada tingkatan non participation atau tingkat 1 dan 2 yaitu manipulation dan therapy. Tingkat manipulation merupakan tingkatan paling rendah yang menempatkan masyarakat hanya sebagai pihak yang memberikan persetujuan. Kondisi sebenarnya bahwa tidak ada peran serta masyarakat. Tingkat therapy merupakan tingkatan paling rendah kedua dimana keterlibatan masyarakat hanya memberikan bahan masukan demi kepentingan pengambil kebijakan. Pada awal tahun 1990-an, perlahan PT. Timah menyerahkan hak kepemilikan sarana dan prasarana pendidikan beserta tenaga pendidiknya kepada pemerintah daerah. Kemudian tahun 1998, berdirinya SMA Negeri 2 Sungailiat, yang sekarang berubah nama menjadi SMA Negeri 1 Pemali, PT. Timah Tbk masih memberikan konstribusi positif terhadap upaya perluasan akses jenjang pendidikan menengah, bersinergi dengan pemerintah daerah memberikan beasiswa khusus siswa berprestasi melalui kelas unggulan. Hal yang menjadi pembeda dengan tahun sebelumnya, peserta didik kelas unggulan tidak terbatas hanya untuk anak pegawai ataupun karyawan PT. Timah Tbk namun terbuka bagi siapa saja yang lulus persyaratan administrasi dan akademik. Selain dibebaskan dari biaya sekolah, peserta didik kelas unggulan juga mendapatkan akomodasi penginapan di asrama dan perlengkapan sekolah. Kemudian, manajemen PT. Timah Tbk tidak mengintervensi kebijakan pemerintah daerah dan sekolah dalam hal pengambilan keputusan di sekolah, sehingga peran masyarakat melalui komite sekolah memiliki porsi yang lebih besar. Saat ini PT. Timah masih memegang penuh hak kepemilikan dan pengelolaan terhadap satu perguruan tinggi di Sungailiat yaitu Politeknik Manufaktur Timah Bangka Belitung (POLMAN Babel). Seiring dengan dinamika pelaksanaan otonomi daerah dan sistem desentralisasi salah satu fenomenanya pemekaran/pembentukan daerah baru semenjak tahun 2000, pemerintah daerah baru wajib memberikan jaminan akses pendidikan bagi masyarakat. Kaitannya dengan pemekaran wilayah, Pemerintah Kabupaten Bangka dapat lebih mudah untuk merencanakan dan melaksanakan program kegiatan pembangunan sarana dan prasarana karena ruang lingkup wilayah yang tidak terlalu luas lagi. Sebagai ilustrasi, sebelum dimekarkan jarak tempuh ibukota kecamatan terjauh dengan ibukota kabupaten, yaitu Kecamatan Lepar Pongok dengan Sungailiat adalah sekitar 12 jam dan harus menggunakan alat penyebarangan laut karena Kecamatan Lepar Pongok terletak di pulau kecil terpisah dari Pulau Bangka. Sedangkan setelah dimekarkan, jarak tempuh ibukota kecamatan terjauh dengan ibukota kabupaten, yaitu Kecamatan Belinyu dengan Sungailiat adalah sekitar 45 menit saja, yang berjarak 54 km. Jarak tempuh antar kecamatan yang semakin pendek waktu tempuhnya akan memudahkan pelaksanaan pengelolaan pembangunan khususnya dalam hal koordinasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kegiatan. Selain itu juga, pendeknya rentang kendali urusan birokrasi dan administrasi penyelenggaraan pendidikan telah memberikan ruang yang cukup besar dalam peningkatan peran dan partisipasi masyarakat baik melalui stakeholder pemerintah maupun non pemerintah. Salah satu manfaat yang terasa langsung bagi masyarakat dalam bidang pendidikan setelah pemekaran Kabupaten Bangka adalah kemudahan peserta didik
59 untuk mendapatkan layanan pendidikan tanpa harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, terlebih pada jenjang pendidikan menengah, peserta didik di wilayah yang belum memiliki sarana dan prasarana apabila ingin melanjutkan pendidikannya seperti: SMA, SMK, dan MA, terutama sekolah yang berstatus negeri, terpaksa harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit tiap bulan untuk transportasi dan akomodasi karena harus bersekolah ke luar dari wilayah tempat tinggalnya. Tentu saja hal ini akan memberatkan bagi orangtua yang berpenghasilan rendah sehingga hanya orangtua yang berpenghasilan tinggi atau mampu saja dapat membiayai anaknya untuk bersekolah di jenjang pendidikan menengah. Namun setelah Kabupaten Bangka dimekarkan, kondisi saat ini semua kecamatan telah memiliki sarana dan prasarana pendidikan menengah atas sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua peserta didik untuk menyekolahkan anaknya dapat diminimalisir. Berdasarkan analisis deskriptif yang mengintegasikan hasil kuesioner dengan metode Objektif, Reflektif, Interpretatif and Decisional atau ORID, partisipasi stakeholder dalam pengembangan pendidikan khususnya pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran wilayah menempati tingkatan partnership (kemitraan). Keterlibatan stakeholder yang bermitra dengan masyarakat dalam pengembangan pendidikan setelah pemekaran wilayah sangat penting karena masyarakat lebih memahami dan mengetahui kebutuhan di daerahnya. Saat ini, Pemerintah Kabupaten Bangka telah menerapkan sistem pembangunan partisipatif. Usulan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerahnya dapat diajukan kepada pemerintah daerah melalui forum musyawarah pembangunan tingkat desa dan kecamatan.
Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah Berdasarkan hasil AHP dari level alternatif sebagaimana terdapat pada Gambar 24, diperoleh bahwa alternatif tenaga pendidik memberikan pengaruh paling tinggi. Tingkat Inconsistency-nya = 0.02, menunjukkan bahwa hasil ini berada di dalam batas toleransi kekonsistenan sehingga datanya dapat digunakan. Hal ini berarti persepsi stakeholder dalam pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka berdasarkan pada tiga faktor yang berpengaruh menyatakan bahwa faktor tenaga pendidik dan faktor sarana prasarana menjadi prioritas pertama karena memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu 0.425 atau 42.50 persen dan 0.415 atau 41.50 persen.
Inconsistency : 0.02
Gambar 24 Hasil AHP dari level alternatif Walaupun dari segi jumlah pendidik sudah cukup memadai, namun kompetensinya tetap harus ditingkatkan karena tuntutan perubahan zaman yang
60 dinamis serta terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Diharapkan dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik dapat lebih meningkatkan perkembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Kualitas tenaga pendidik memang memegang peranan penting dalam upaya pengembangan pendidikan, seperti yang diungkapkan oleh Sahertian (2008) bahwa dalam usaha meningkatkan kualitas sumberdaya pendidikan, guru merupakan komponen sumberdaya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus menerus. Sarana dan prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka untuk saat ini bisa disimpulkan belum tersebar secara merata karena masih ada kecamatan yang belum memiliki SMK yaitu Kecamatan Merawang, Puding Besar, Riau Silip, Pemali dan Bakam. Peserta didik yang berminat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah kejuruan bisa dipastikan akan melanjutkan pendidikannya ke kecamatan lain, baik ke Sungailiat maupun ke Kota Pangkalpinang. Tentu saja hal ini akan memerlukan dana tambahan yang tidak sedikit untuk transportasi dan akomodasi mereka. Berdasarkan hasil AHP dari level kriteria/faktor sebagaimana terdapat pada Gambar 25, diperoleh bahwa faktor ketersediaan dana memberikan pengaruh paling tinggi atau sebesar 68,1 persen. Tingkat Inconsistency-nya = 0.00, menunjukkan bahwa hasil ini masih berada di dalam batas toleransi kekonsistenan sehingga dapat digunakan.
Gambar 25 Hasil AHP dari level kriteria Ketersediaan dana yang cukup akan memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana yang memadai karena sarana dan prasarana merupakan alat bantu yang menjadi penunjang kelancaran terlaksananya kegiatan belajar mengajar. Ketersediaan sarana dan prasarana menjadi penting karena dengan sarana dan prasarana yang memadai, peserta didik dan pendidik dapat berinteraksi ilmiah dengan baik. Kondisi saat ini, prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka terdiri dari: SMA negeri 8 unit dan SMA swasta 5 unit, SMK negeri 4 unit dan SMK swasta 5 unit, MA negeri 1 unit dan MA swasta 6 unit dengan jumlah keseluruhan ruang kelas 329 ruang kelas. Faktor partisipasi stakeholder Berdasarkan faktor partisipasi stakeholder sebagaimana terdapat pada Gambar 26, ketersediaan sarana dan prasarana menjadi prioritas pertama dengan nilai 0.378. Peningkatan akses dan kemudahan peserta didik melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah membuat minat bersekolah meningkat sehingga hal ini harus disikapi dengan penyediaan prasarana pendidikan menengah yang tersebar merata di semua kecamatan. Oleh karena itu, stakeholder memegang peranan penting dalam pembangunan prasarana tersebut dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.
61
Gambar 26 Hasil AHP dari faktor partisipasi stakeholder Faktor partisipasi masyarakat Berdasarkan faktor partisipasi masyarakat sebagaimana terdapat pada Gambar 27, keberadaan tenaga pendidik menjadi prioritas pertama dengan nilai 0.566.
Gambar 27 Hasil AHP dari faktor partisipasi masyarakat Hasil studi evaluasi pemekaran daerah tahun 2001-2007 yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2008) bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) menyatakan bahwa jumlah siswa untuk pendidikan setingkat SLTP dan SLTA sepanjang 2001-2005 di Daerah Otonomi Baru (DOB) mengalami perkembangan yang positif dengan pertumbuhan jumlah guru yang positif pula. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan ketersediaan tenaga pendidik yang disertai dengan peningkatan partisipasi masyarakat usia sekolah. Masyarakat memiliki peran penting dalam memotivasi peserta didik untuk melanjutkan pendidikannya. Dalam hal ini, masyarakat cenderung memilih tenaga pendidik sebagai prioritas pertama karena ketersediaan prasarana pendidikan yang lengkap identik dengan biaya sekolah yang tinggi. Hal ini yang tidak jarang membuat banyak orangtua keberatan menyekolahkan anak-anaknya. Mengenai peningkatan kualitas guru, seperti yang disebutkan dalam Chan dan Sam (2010) bahwa memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki skill kemampuan yang tinggi karena guru (tenaga pendidik) merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia pendidikan. Faktor ketersediaan dana Berdasarkan faktor ketersediaan dana sebagaimana terdapat pada Gambar 28, sarana dan prasarana menempati prioritas tertinggi dengan nilai 0.446. Tentu saja dari sisi ketersediaan dana, maka sarana dan prasarana menempati prioritas pertama. Ketersediaan dana yang cukup membuat pemerintah leluasa melakukan peningkatan mutu dengan membangun sarana dan prasarana yang dapat menunjang proses pembelajaran. Peningkatan mutu sarana dan prasarana pendidikan memang telah dibiayai oleh pemerintah daerah dan pusat melalui dana APBD ataupun
62 APBN. Namun kondisi faktualnya, jumlah dana yang terbatas dan jumlah kabupaten yang banyak membuat pemerintah daerah melalui dana APBD ataupun pemerintah pusat melalui dana APBN tidak mampu mengakomodir berbagai keluhan dalam waktu yang singkat.
Gambar 28 Hasil AHP dari faktor ketersediaan dana Menurut Sarana (2009) bahwa ketersediaan sarana prasarana pendidikan guna menjamin akses masyarakat akan pendidikan dasar, menengah dan atas bahkan lanjutan perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Bidang pendidikan sebagai bagian dari kewenangan (desentralisasi) menjadi salah satu urusan wajib pemerintah daerah (Kabupaten/Kota). Seiring dengan dinamika pelaksanaan otonomi dan desentralisasi salah satunya fenomena pemekaran/ pembentukan daerah baru semenjak tahun 2000, pemerintah daerah baru pun wajib memberikan jaminan akses pendidikan bagi masyarakat. Dalam kaitan dengan pemekaran daerah, pemerintah makin pendek rentang kendalinya maka peningkatan pelayanan publik, khususnya pendidikan menjadi sangat penting. Hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) secara keseluruhan terdapat pada Gambar 29.
Pengembangan pendidikan Menengah di Kabupaten Bangka Level 1
Partisipasi stakeholder (0,168)
Partisipasi Masyarakat (0,150)
Ketersediaan Dana (0,681) Level 2
Sarana dan Prasarana (0,415)
Sumberdaya Aparatur (0,161)
Tenaga Pendidik (0,425) Level 3
Gambar 29 Hasil Analisis Proses Hirarki (AHP)
63 Hasil AHP, sebagaimana terdapat pada Gambar 29, dari hirarki ketiga atau level alternatif bahwa peningkatan kualitas tenaga pendidik memberikan pengaruh paling tinggi atau sebesar 42.50 persen, tidak jauh berbeda dengan alternatif pengadaan sarana dan prasarana atau sebesar 41.50 persen. Hal ini berarti persepsi stakeholder dalam pengembangan pendidikan di Kabupaten Bangka menyatakan bahwa faktor tenaga pendidik dan faktor sarana dan prasarana menjadi prioritas pertama. Surya (2000) dalam Wiharna (2007) menyatakan bahwa tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru. Artinya ketersediaan guru di sekolah merupakan kunci utama dalam berlangsungnya proses belajar mengajar. Kemudian Idi (2011) menyatakan bahwa produk final dari interaksi edukatif disekolah (formal) dan di luar sekolah (informal) adalah menginginkan keberhasilan anak didiknya. Sukses tidaknya anak didik lebih ditentukan oleh kualitas seorang pendidik. Peningkatan mutu pendidikan merupakan sebuah keharusan, walaupun dalam perjalanannya membutuhkan banyak perbaikan pada sektor yang mendukung dunia pendidikan itu sendiri. Persyaratannya adalah terdapat sarana dan prasarana yang tentu saja memadai, di antaranya seperti gedung sekolah yang representatif, terdapat perpustakaan yang lengkap, sistem pendidikan, anggaran yang cukup, dan guru sebagai tenaga pendidik. Pada tahun 2003, kondisi sebelum pemekaran wilayah, rasio pendidik dengan peserta didik adalah sebesar 1:24. Pada tahun 2011, kondisi setelah pemekaran wilayah, rasio pendidik dengan peserta didik menjadi 1:13. Kondisi ini menunjukkan setelah pemekaran wilayah terjadi peningkatan jumlah tenaga pendidik sedangkan kondisi prasarana pendidikan menengah saat ini bahwa semua kecamatan telah memiliki SMA berstatus negeri namun untuk SMK dan MA belum merata di semua kecamatan sehingga kondisi ini harus mendapat perhatian dari pemerintah agar dapat memperluas akses pendidikan menengah di kecamatan yang belum memilikinya. Hasil dari hirarki kedua atau level kriteria, bahwa ketersediaan dana memberikan pengaruh paling tinggi yaitu 0.681 atau sebesar 68.10 persen. Ketersediaan dana yang cukup akan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan berbagai program kegiatan yang berkaitan dengan upaya pengembangan pendidikan menengah, baik bersifat fisik yaitu pembangunan ataupun perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, penambahan tenaga pendidik, maupun non fisik yaitu peningkatan kualitas tenaga pendidik.
65
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemekaran Kabupaten Bangka berdampak positif terhadap peningkatan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Adapun faktor-faktor yang memberikan pengaruh meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah adalah sebagai berikut: 1) rasio jumlah ruang kelas jenjang pendidikan menengah terhadap jumlah total penduduk, 2) luas wilayah kecamatan, dan 3) kepadatan penduduk memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Kemitraan antar stakeholder dalam upaya mengembangkan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka telah terjalin dengan baik karena sudah terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggungjawab dalam perencanaan dan penentuan keputusan. Persepsi stakeholder dalam pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pada level kedua atau kriteria menyatakan bahwa faktor ketersediaan dana merupakan faktor yang paling penting dibandingkan faktor partisipasi stakeholder dan partisipasi masyarakat. Ketersediaan dana yang cukup akan memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk melaksanakan berbagai program kegiatan peningkatan mutu pendidikan menengah dengan membangun sarana dan prasarana yang dapat menunjang proses pembelajaran. Kemudian pada level ketiga atau alternatif menyatakan bahwa faktor tenaga pendidik serta pengadaan sarana dan prasarana merupakan faktor paling penting dibandingkan faktor sumberdaya aparatur. Keberadaan tenaga pendidik serta ketersediaan sarana dan prasarana berkaitan erat dalam upaya memajukan bidang pendidikan karena proses belajar mengajar akan memperoleh hasil yang maksimal apabila didukung dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Saran 1
2
3
4
Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan menengah harus dilakukan dengan mengedepankan azas pemerataan terutama di kecamatan yang memiliki nilai angka partisipasi kasar (APK) masih di bawah 80 persen, yaitu Kecamatan Merawang (74.64 persen) dan Kecamatan Bakam (54.12 persen), Pemerintah daerah harus memperbanyak ketersediaan ruang kelas pendidikan menengah untuk meningkatkan daya serap dan daya tampung peserta didik khususnya pada daerah yang jumlah penduduk usia pendidikan menengahnya tinggi, Meningkatkan peran dan keterlibatan stakeholder untuk menyerap aspirasi masyarakat sebagai bahan penyusunan rencana strategis pembangunan partisipatif, Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga pendidik secara berjenjang dan bertahap berdasarkan kebutuhan wilayah, khususnya pada kecamatan dengan nilai angka partisipasi kasar (APK) terendah, yaitu Kecamatan Bakam (54.12 persen).
67
DAFTAR PUSTAKA Agusniar A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Amirin T.M. 2011. Pengertian sarana dan prasarana pendidikan. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007 kerjasama Bappenas dan United Nations Development Programme (UNDP). Jakarta (ID): BRIDGE (Building and Reinventing Decentralised Governance). Bafadal I. 2004. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Manajemen Perlengkapan Sekolah, Teori dan Aplikasi, Jakarta (ID): Bumi Aksara. [BPS Bangka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka. 2011. Kabupaten Bangka Dalam Angka 2011. Sungailiat (ID): Badan Pusat Statistik. Chan S.M, Sam T.T. 2010. Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Chusnah U. 2008. Evaluasi Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Peningkatan Kualitas Sarana Prasarana Pendidikan di SMA Negeri 1 Surakarta [Tesis]. Semarang (ID): Univ Diponegoro. Conyers D. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar. Yogyakarta (ID): Univ Gadjah Mada. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Depdagri. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Depdagri. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta (ID): Depdiknas. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. [DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 1999. Profil Pendidikan Kabupaten Bangka Tahun 1999. Sungailiat (ID). [DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2000. Profil Pendidikan Kabupaten Bangka Tahun 2000. Sungailiat (ID). [DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2003. Profil Pendidikan Kabupaten Bangka Tahun 2003. Sungailiat (ID). [DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2009. Profil Pendidikan Kabupaten Bangka Tahun 2009. Sungailiat (ID). [DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2010. Profil Pendidikan Kabupaten Bangka Tahun 2010. Sungailiat (ID). [DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2011. Profil Pendidikan Kabupaten Bangka Tahun 2011. Sungailiat (ID). Effendy A.R. 2008. Input Paper Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota. Yogyakarta (ID): Univ Gadjah Mada. Epstein J.L & Associates. 2009. School, Family, and Community Patrnerships, Your Handbook For Action. US: Corwin Pr.
68 Falatehan A.F. 2009. Teknik Pengambilan Keputusan Menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Expert Choice 2000. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pr. Freeman R.E. 1984. Strategic Management: A stakeholder Approach. Boston (US), MA: Pitman. Gujarati D.N. 2004. Basic Econometrics, 4th edition. New York (US): McGrawHill Companies. Hermani A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Idi A. 2011. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta (ID): Rajawali Pr. Iwahashi R. 2004. A Theoretical Assessment of Regional Development Effects on The Demand for General Education Faculty of Law and Letters. Okinawa (JP): Ryukyus Univ. Juanda B. 2007. Pemekaran Daerah serta Implikasinya Terhadap APBN. Jurnal Ekonomi. 25: 157-171. [Kemdiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2009. Pusat Statistik Pendidikan. Jakarta (ID): Kemdiknas. Khadiyanto P. 2007. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Unit Sekolah Baru. Semarang (ID): Univ Diponegoro. Marimba A.D. 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung (ID): Al Ma’arif. Mikkelsen B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Terjemahan Matheos Nalle. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Nasution S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Ozdemir M.S, Saaty T.L. 2006. The unknown in decision making: What to do about it. European Journal of Operational Research. 174:349-359. Pemerintah Kabupaten Bangka. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pembentukan 9 (Sembilan) kecamatan. Riyadi, Bratakusumah D.S. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Rosyada D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelengaraan Pendidikan. Jakarta (ID): Kencana. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Saaty T.L. 1980. The Analytical Hierarchy Process: Planning, Priority Setting, Resource Allocation. New York (US): McGraw-Hill. Saaty T.L. 2008. Making decisions in hierarchic and network systems. Int. J. Applied Decision Sciences. 1 (1): 24-79. Saaty T.L, Niemira M.P. 2006. A Framework for Making a Better Decision: How to Make More Effective Site Selection, Store Closing and Other Real Estate Decisions. Research Review. 13: 1-4. Sahertian P.A. 2008. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Sarana J. 2009. Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Implikasi Pemekaran Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Joko Suryanto [penyunting]. Jakarta (ID): LIPI.
69 Sastropoetro S. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Bandung (ID): Alumni. Schubeler P. 1996. Participation and Partnership in Urban Infrastructure Management. Washington DC (US): World Bank. Shochrul R, Ajija. 2011. Cara cerdas menguasai Eviews. Jakarta (ID): Salemba Empat. Soetrisno L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta (ID): Kanisius. Todaro M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. [terjemahan]. Jakarta (ID): Erlangga. Walpole R.E. 1992. Pengantar Statistika, Bambang S. [penerjemah]. Jakarta (ID): Gramedia. Wiharna O. 2007. Perencanaan Kebutuhan Guru Sekolah Dasar Berdasarkan Pendekatan Kewilayahan. Jakarta (ID): Univ Pendidikan Indonesia.
70
Lampiran 1 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Pemali No.
Nama
Pekerjaan
1
2
3
1
Moh. Nursi, S.IP
2
Daryanus Gultom
3
Zuri Aprizal
4
H. Sutarman
5
Ahmad Zarkoni
6
Syaiful Anwar
Bentuk partisipasi
Tingkat partisipasi
Nomor
Nomor
PNS / Camat PNS/Ka. UPTD Pendidikan PNS/Ka. PGRI Kecamatan Wiraswasta/ Kepala Desa Swasta/Ketua Komite Swasta
7
8
1 d
2 a
1 e
2 h
3 d
4 e
5 a
6 c
7 b
8 b
9 a
10 b
e
a
c
f
b
d
b
b
b
a
a
b
e
a
e
f
f
e
a
a
a
a
a
a
d
a
g
f
h
f
a
a
a
a
a
a
d
a
h
f
h
f
a
a
a
a
a
a
d
a
c
d
c
d
c
a
c
b
a
a
Lampiran 2 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Mendo Barat No.
Nama
Pekerjaan
1
2
3
1
H. Zulfakar
2
Hadi Sukamta
3
Buyung Topan
4 5
Rudi Karmidi Gumanto Iswandi
PNS / Camat PNS/Ka. UPTD Pendidikan PNS/Ka. PGRI Kecamatan Wiraswasta/ Kepala Desa Petaling Swasta/Ketua BPD
6
Kurniawan Saputra
Swasta
Bentuk partisipasi
Tingkat partisipasi
Nomor 7 1 2 d a
4 g
Nomor 8 5 6 7 a a a
1 g
2 g
3 g
8 a
9 a
10 b
d
a
g
g
f
f
a
a
a
a
a
a
d
a
e
e
e
e
b
b
b
a
a
b
d
a
e
e
e
g
a
a
c
a
a
a
e
f
f
f
f
f
a
c
c
b
a
a
d
a
e
e
e
c
a
a
a
b
a
a
Lampiran 3 Rekapitulasi jawaban wawancara mendalam kepada stakeholder sektor pendidikan tingkat Kabupaten Bangka No.
1
Nama responden Drs. Yunan Helmi, M.Si
Instansi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Bangka Swasta Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bangka
2
Drs. H. Usnen, M.Si
3
Arizal, A.Md
4
Rusli H.S., S.H
5
Fadillah Sabri, M.Eng
Tokoh masyarakat
Iwan Kusumah, S.Pd
Ketua MKKS Kabupaten Bangka
6
Perenc
Rekapitulasi nilai Pelaks Evaluasi
Manfaat
Nilai total
Ratarata
7
7
6
8
20
0,78
5 5
6 4
8 3
9 6
19 12
0,78 0,50
9
9
9
9
27
1,00
2
2
2
4
6
0,28
7
7
6
8
20
0,78
72 Lampiran 4 Hasil regresi data panel menggunakan software eviews 6.0 Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 11/20/12 Time: 08:12 Sample: 2001 2006 Periods included: 6 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 24 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable X2 X3 X4 X5 DUMMY C
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) R-squared Sum squared resid
Coefficient -1.99 2.03 0.039 0.504 -49.537 103.698
Std. Error 294.1739 2636.726 0.009126 0.047431 11.80534 19.07382
t-Statistic -6.782704 7.716496 4.300408 10.63199 -4.196152 5.436673
Weighted Statistics 0.9431 Mean dependent var 0.9274 S.D. dependent var 8.4805 Sum squared resid 59.7544 Durbin-Watson stat 0.000000 Unweighted Statistics 0.924517 Mean dependent var 1697.031 Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.0000 0.0004 0.0000 0.0005 0.0000
69.59489 42.29938 1294.551 1.649909
58.69321 1.744681
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 3 Juli 1976 dari Ayah bernama Sopiyan (alm) dan Ibu bernama Holiyah. Penulis merupakan putera kesatu dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sungailiat namun baru pada Tahun 1999 berkesempatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tepatnya di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Bangka program studi agronomi, dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis diangkat menjadi CPNS dan bertugas di Dinas Pertanian Kabupaten Bangka. Kemudian pada tahun 2008 hingga sekarang, penulis ditugaskan di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan tugas belajar melalui beasiswa Pusbindiklatren, Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), pada Program Magister Sains (S2) Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (PWL IPB). Sebagai persyaratan dalam penyelesaian studi di sekolah pascasarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul: Strategi Pengembangan Pendidikan dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah.