Strategi Mitigasi dan Adaptasi Pertanian terhadap Dampak Perubahan Iklim Global
STRATEGI MITIGASI DAN ADAPTASI PERTANIAN TERHADAP DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Mitigation Strategy and Agricultural Adaptation to Global Climate Change Impacts Haryono dan Irsal Las Kepala Badan Litbang Pertanian dan Peneliti BBSDLP
ABSTRACT One threat to the current and future agricultural development is global climate change due to increased greenhouse gas (GHG) emissions. Agriculture and climate change have complicated linkages since on one hand the agricultural sector is threatened and extremely vulnerable to climate change, such that adaptation becomes very urgent. On the other hand, agriculture also contributes and potentially reduces GHG emissions and consequently mitigation in the agricultural sector is very strategic. The most prominent impact of climate change is land resources degradation, changes in cropping patterns, decreased planting areas and lower agricultural productivity. The main strategy of the agricultural sector to deal with climate change is land resource optimization, adjustment of cropping patterns and land management, as well as agricultural diversification supported by adaptive and eco-friendly technological innovation, such as low-emission high yielding varieties which are tolerant to drought, flooding, salinity, pest resistant, and land and water management. Government of Indonesia has committed to reduce GHG emissions by 2641% by 2020, and has prepared a scheme of NAP-GHG regulation and Presidential Instruction (INPRES) on "Opening Moratorium Natural Forests and Peatlands". Adaptation of climate change must be based on the results of research and studies of the impact and levels of vulnerability and also resource potential and technological readiness. In addition to a variety of technological innovation, a carbon efficient agricultural system (ICEF) with low GHG emissions is being developed, but with optimum productivity, providing economical added value and environmental improvement. Besides various social-economic aspects, communication system capacity and climate information system also determine effectiveness of agricultural sector strategies in coping with climate change. Key words: climate change, adaptation, mitigation, technology innovation and strategy ABSTRAK Salah satu ancaman terhadap pembangunan pertanian saat ini dan di masa yang akan datang adalah perubahan iklim global akibat peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Pertanian dan perubahan iklim mempunyai keterkaitan yang erat, karena di satu sisi sektor pertanian sangat terancam dan sangat rentan terhadap perubahan iklim, sehingga upaya adaptasi menjadi sangat mendesak. Namun di sisi lain, sektor pertanian berkontribusi dan sekaligus juga sangat potensial menurunkan emisi GRK, sehingga mitigasi pada sektor pertanian juga sangat strategis. Dampak perubahan iklim yang paling menonjol adalah degradasi sumber daya lahan, kegalauan pola tanam dan penurunan luas tanam dan produktivitas pertanian. Strategi utama sektor pertanian menghadapi perubahan iklim adalah optimalisasi sumber daya lahan, penyesuaian pola tanam dan pengelolaan lahan, serta diversifikasi pertanian yang didukung oleh inovasi teknologi adaptif dan ramah lingkungan, seperti varietas unggul rendah emisi, toleran kakeringan, banjir, salinitas, tahan
1
Haryono dan Irsal Las
OPT, pengelolaan lahan dan air, dll. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26-41 persen hingga tahun 2020, dan telah menyiapkan rancangan PERPRES RAN-GRK dan INPRES tentang “Moratorium Pembukaan Hutan Alami dan Lahan Gambut”. Adaptasi perubahan iklim harus didasarkan hasil penelitian dan kajian dampak dan tingkat kerentanan serta potensi sumber daya dan kesiapan teknologi. Selain berbagai inovasi teknologi, juga sedang dikembangkan sistem pertanian efisien karbon (ICEF) yang rendah emisi GRK, tetapi dengan produktivitas optimum, memberikan nilai tambah ekonomi dan perbaikan lingkungan”. Selain berbagai aspek sosial ekonomi, sistem dan kapasitas komunikasi, serta sistem informasi iklim juga sangat menentukan efektivitas strategi sektor pertanian menghadapi perubahan iklim. Kata kunci: perubahan iklim, adaptasi, mitigasi, strategi dan inovasi teknologi
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian ke depan, terutama dalam upaya peningkatan produksi dan pencapaian swasembada pangan berkelanjutan, dihadapkan kepada empat tantangan utama secara biofisik, yaitu (a) kerusakan dan degradasi sumber daya lahan dan air dengan isu soil sickness/fatique, penurunan kesuburan/ produktivitas lahan, dan pecemaran; (b) peningkatan variabilitas dan terjadinya perubahan iklim; (c) penciutan dan alih fungsi (konversi) lahan pertanian subur, 0,5-1,5 persen per tahun, ancaman (RTRW) 41 persen; dan (d) fragmentasi lahan pertanian. Peningkatan variabilitas dan perubahan iklim merupakan ancaman yang sangat serius terhadap sektor pertanian dan dikhawatirkan akan mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pangan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah antropogenik (kegitan manusia) yang menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) seperti CO2, methana (CH4), CO2, NO2, dan CFCs (chlorofluorocarbons) yang berdampak terhadap pemanasan global sejak lebih dari 50 tahun terakhir. Pemanasan global sebagai pemicu utama perubahan iklim, selain meningkatkan suhu udara juga berdampak terhadap (a) peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim atau anomali iklim seperti El-Nino dan La-Nina; (b) penurunan atau peningkatan suhu secara ekstrim; (c) perubahan dan ketidakmenentuan (uncertanty) pola curah hujan dan musim; (d) peningkatan permukaan air laut, frekuensi, dan ketinggian robb. Pertanian dan perubahan iklim mempunyai keterkaitan yang sangat unik dan menarik. Di satu sisi, pertanian memegang peranan yang sangat strategis dalam hal ketahanan pangan, kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sumber mata pencaharian jutaan petani dengan berbagai keterbatasan. Di sisi lain, pertanian paling menderita, rentan (vurnerable), terancam, dan menjadi korban (fictim) dari perubahan iklim, tetapi berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Oleh sebab itu, pembangunan pertanian tidak hanya perlu memprioritaskan upaya adaptasi perubahan iklim, tetapi juga potensial untuk berkontribusi dalam upaya mitigasi melalui penyerapan dan sekuestrasi karbon.
2
Strategi Mitigasi dan Adaptasi Pertanian terhadap Dampak Perubahan Iklim Global
POSISI DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERTANIAN
Dalam cakrawala komunikasi dan forum internasional perubahan iklim, pertanian sering dinilai dan dicitrakan sebagai salah satu penyebab perubahan iklim melalui: (a) driver utama deforestasi dan pembukaan lahan gambut, terutama perluasan perkebunan sawit, program pengembangan lahan gambut sejuta hektar; (b) degradasi lahan akibat penelantaran dan pembiaran atau pemanfaatan lahan konsesi yang tidak optimal; (c) kebakaran lahan gambut dan pembukaan lahan; dan (d) lahan sawah dan peternakan sebagai sumber gas rumah kaca (methana, CO2, N2O, dll). Selain sebagai emitor gas rumah kaca yang secara nasional besarnya sekitar 6 persen (tidak termasuk sektor LUCF), pertanian juga berperan sebagai penyerap dan mitigator gas rumah kaca berupa sink, sequestrasi karbon, pereduksi suhu, dan multifungsi pertanian lainnya. Sebaliknya, pembangunan pertanian adalah korban (victim) yang paling rentan (vurnerable) dan terkena dampak yang luas dan serius dari perubahan iklim, terutama dalam hal ketahanan pangan. Sumber utama emisi gas rumah kaca dari pertanian adalah LUCF (perubahan penggunaan lahan pertanian dan hutan) dan areal perkebunan di lahan gambut (>65%), lahan sawah (24%), dan peternakan (9,3%).
Gambar 1. Kontribusi Berbagai Sektor terhadap Emisi Gas Rumah Kaca (Natcom, 2010)
Secara langsung, perubahan iklim berdampak terhadap, antara lain: (a) terjadinya degradasi dan penciutan sumber daya pertanian, terutama lahan dan air akibat banjir dan kekeringan, atau akibat genangan dan instrusi air laut; (b) penurunan kapasitas infrastruktur pertanian, terutama irigasi; (c) penurunan produktivitas dan produksi pangan akibat peningkatan suhu udara, banjir dan kekeringan, intensitas serangan hama penyakit tanaman, dan (d) aspek sosial, ekonomi, dan kemiskinan. Tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya paling rentan terhadap perubahan iklim.
3
Haryono dan Irsal Las
Perubahan iklim, terutama peningkatan anomali iklim (El-Nino dan LaNina), sangat mempengaruhi musim dan pola tanam, ketidakpastian waktu, musim dan pola tanam, produktivitas dan kegagalan panen. Tanpa kompensasi, mundurnya awal musim hujan selama 30 hari menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebesar 6,5 persen dan Bali 11 peren (KP3I, 2008). Beberapa kajian mengindikasikan bahwa perubahan iklim meningkatkan areal pertanian yang rawan dan terkena kekeringan, khususnya pertanaman padi sawah, dari 0,3-1,4 persen menjadi 3,1-7,8 persen; tanaman puso akibat kekeringan dari 0,04-0,4 persen menjadi 0,04-1,9 persen. Areal rawan banjir juga meningkat dari 0,8-2,7 persen menjadi 1-3 persen, dan puso akibat banjir dari 0,20,7 persen menjadi 8,7-13,8 persen. Penurunan produksi beras nasional akibat banjir, kekeringan, dan serangan OPT meningkat dari 2,5-5,0 persen menjadi lebih dari 10 persen (Las et al., 2010). Peningkatan suhu udara secara nasional menurunkan produksi pangan (padi) 10,0-19,5 persen selama 40 tahun yang akan datang. Peningkatan muka air laut dan rob hingga tahun 2050 (Boer ddk, 2009) menyebabkan penciutan dan degradasi lahan sawah produktif di daerah pesisir seluas 292-400 ribu ha atau 3,7 persen di Jawa, dan secara spesifik menurunkan produksi beras sekitar 300 ribu ton di Kabupaten Karawang dan Subang. Selain berpengaruh langsung, perubahan iklim juga berdampak tidak langsung terhadap pertanian melalui penerapan berbagai teknologi dan program serta berbagai kebijakan yang berkaitan dengan mitigasi perubahan iklim. Walaupun sangat potensal menurunkan emisi gas rumah kaca, penerapan beberapa teknologi mitigasi juga bisa menyebabkan penurunan produktivitas tanaman. Penundaan (moratorium) pembukaan hutan dan lahan gambut untuk pertanian dan penerapan REDD+ juga akan mempengaruhi strategi dan kebijakan perluasan areal pertanian (baru) di masa yang akan datang. Di lain pihak, pada kondisi tertentu dengan antisipasi yang tepat potensial meningkatkan produksi pangan (La-Nina, MK-basah, MH lebih panjang, dll.) seperti halnya fenomena iklim di sepanjang tahun 2010.
STRATEGI, KEBIJAKAN, DAN PROGRAM PERTANIAN
Strategi dan kebijakan umum penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap pertanian adalah memposisikan program aksi adaptasi pada subsektor tanaman pangan sebagai prioritas utama agar peningkatan produksi dan ketahanan pangan nasional dapat dipertahankan. Selanjutnya, program aksi mitigasi pada subsektor perkebunan, tanaman pangan, dan peternakan melalui pengembangan teknologi ramah lingkungan dan penurunan emisi gas rumah dalam mendukung komitmen nasional terhadap penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26-41persen. Namun, upaya mitigasi tetap diposisikan dalam kerangka pencapaian sasaran pembangunan, khususnya empat sukses (sasaran) pembangunan pertanian.
4
Strategi Mitigasi dan Adaptasi Pertanian terhadap Dampak Perubahan Iklim Global
Secara teknis, implementasi dari strategi tersebut antara lain dilakukan melalui (1) optimalisasi pengelolaan sumber daya lahan eksisting, sumber daya air dan irigasi; (2) penyesuaian pola tanam dan pengelolaan lahan, terutama tanaman pangan, serta diversifikasi pertanian; (3) perakitan dan penyiapan teknologi adaptif dan berbagai pedoman atau tool; dan (4) penerapan teknologi adaptif dan ramah lingkungan (mitigatif). Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan dan akan/sedang merakit berbagai varietas unggul adaptif terhadap dampak perubahan iklim, seperti toleran kekeringan, banjir, salinitas, tahan OPT, dll. Demikian juga komponen teknologi rendah emisi, terutama untuk tanaman pangan dan ternak, serta teknologi pengelolaan tanah/lahan dan air yang mampu mereduksi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Beberapa program strategis pengembangan komunikasi, diseminasi teknologi, dan sistem informasi dalam menghadapi perubahan iklim dapat dilakukan antara lain melalui pengembangan Sekolah Lapang Iklim (SLI), pengembangan PTT dan SRI, dengan dukungan SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu), di semua provinsi sentra produksi padi. Bali Action Plan (BAP) yang dimotori oleh Indonesia mengisyaratkan bahwa selain kewajiban negara maju (Negara Annex 1 pada Protokol Kyoto), negara berkembang juga sangat dianjurkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara sukarela. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya (disampaikan oleh Presiden RI dalam Sidang G-20, 2009) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26-41 persen hingga tahun 2020. Untuk itu pemerintah telah menyusun Rancangan PERPRES tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca hingga tahun 2010 (RAN-GRK) dan STRANAS REDD+. Selain itu, untuk sektor LUCF dan kehutanan, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia telah menandatangani Leter of Intent (LoI) tentang “Moratorium Pembukaan Hutan Alami dan Lahan Gambut” yang akan diimplementasikan melalui PERPRES Penundaan Pemberian Izin baru Pembukaan Hutan dan Lahan Gambut. Dalam Rancangan PERPRES RAN-GRK 2020, emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian akan diturunkan sebesar 8 juta ton CO2 eq atas kemampuan sendiri (uni lateral) atau sekitar 11 juta ton CO2 eq dengan bantuan negara donor (multilateral). Sasaran penurunan emisi gas rumah kaca adalah pada Subsektor pangan, perkebunan, peternakan, PSP, dan kegiatan pendukung (Litbang Pertanian). Pencapaian sasaran penurunan emsi gas rumah kaca dari sektor pertanian dilakukan melalui 9 program, yaitu 6 kegiatan di tanah moneral dan 3 kegiatan di lahan gambut. Merespon sorotan internasional dan LSM terhadap pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, terutama perkebunan kepala sawit, Kementerian Pertanian telah melakukan beberapa kebijakan antisipasi, antara lain: (a) menerbitan SE Mentan 321/2007: Morotorium sementara pemanfaatan lahan gambut sambil menunggu hasil kajian Badan Litbang Pertanian, (b) penyempurnaan kriteria kesesuaian dan evaluasi ulang lahan konsesi perkebunan pada lahan gambut yang dituangkan dalam Permentan No.14/2009 (c) perluasan areal pertanian harus mengutamakan lahan mineral, sedangkan pemanfaatan
5
Haryono dan Irsal Las
lahan gambut hanya ditujukan pada lahan yang sudah dibuka atau terlantar mengikuti mekanisme REDD+, (d) pengembangan model pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dengan dukungan teknologi ramah lingkungan dan rendah emisi (pengelolaan air/drainase), amelioran/pemupukan dll, (e) reevaluasi dan delineasi dampak lingkungan secara empirik (dinamika gas rumah kaca dan neraca karbon, biologi, sosial-ekonomi) dalam pengelolaan lahan gambut. Strategi adaptasi perubahan iklim harus didasarkan pada beberapa kajian, antara lain: (a) identifikasi dampak dan tingkat kerentanan sektor pertanian (sumber daya dan sistem produksi), (b) identifikasi karakteristik dan potensi sumber daya lahan dan air, (c) identifikaksi, kesiapan teknologi dan model usaha tani (SUT) adaptif. Penerapan adaptasi dilakukan melalui beberapa program: (a) Pengembangan sistem komunikasi seperti pengembangan Jaringan Informasi Iklim Pertanian (SJII), dan Pengembangan Sistem Peringatan Dini (SPD) dan Sekolah Lapang Iklim (SLI/SL-PTT). (b) Pengembangan kelembagaan petani, penyiapan tool atau pedoman (Permentan No.47/2006, Permentan No.14/2009, UU No.41/2009 (PLPPB), blue print pengelolaan kekeringan dan banjir, atlas kelender tanam, dll. (c) Perakitan dan pengembangan model “SUT” dan inovasi teknologi adaptif. (d) Penyesuaian dan pengembangan infrastruktur pertanian (JITUT, JIDES, dll), dan pemanfaatan lahan suboptimal, terutama lahan kering dan lahan rawa untuk pangan, lahan gambut yang sangat sesuai dan selektif, terutama lahan yang sudah dibuka (sudah ada izin) dan/atau lahan terlantar. (e) Perlindungan, proteksi, dan bantuan bagi petani berupa subsidi, asuransi, permodalan, PUAP, dll.
INOVASI TEKNOLOGI DAN SISTEM USAHATANI ADAPTIF
Untuk mendukung upaya adaptasi, arah pengembangan teknologi adaptif antara lain adalah: (a) pengembangan varietas unggul yang rendah emisi gas rumah kaca, toleran kekeringan dan genangan, berumur genjah (ultra genjah), dan toleran salinitas; (b) inovasi teknologi pengelolaan lahan dan air, pengolahan tanah, sistem irigasi intermitten, teknologi pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan, teknologi pengomposan, (c) teknologi “zero waste” dan pemanfaatan limbah (organik) pertanian, pupuk organik, pakan ternak, dan teknologi biogas, bioenergi, dll. Kalender tanam memuat dan menginformasikan awal musim tanam dan pola tanam dalam periode 1 tahun dalam bentuk peta (spasial) dan tabel pola tanam per kecamatan, masing-masing wilayah dalam empat skenario pola tanam menurut kondisi iklim, yaitu pada tahun basah, kering, normal, dan pola tanam eksisting. Atlas Kalender Tanam juga menginformasikan potensi luas tanam pada
6
Strategi Mitigasi dan Adaptasi Pertanian terhadap Dampak Perubahan Iklim Global
masing-masing musim dan kondisi iklim. Selain itu, untuk menghindari dan menanggulangi dampak banjir dan kekeringan, telah disusun dan dipubikasikan “Cetak Biru (blue book) Pengelolaan Banjir dan Kekeringan secara Partisipatif”. Blue Book tersebut menginformasikan wilayah-wilayah rawan kekeringan dan banjir serta wilayah prioritas penanganan berikut strategi penanggulangannya. Arah pengembangan sistem usahatani adaptif perubahan iklim ditujukan untuk (a) mengembangkan Green Economy pada sektor pertanian berupa Green Farming atau Indonesia Carbon Efficient Farming (ICEF), sistem integrasi ternaktanaman (SIPT/SITT), (b) sistem pertanian terpadu lahan kering iklim kering (SPTL-KIK), (c) pengembangan inovasi SU-tani adaptif seperti PTT, SRI, Ekofarming, IP 200-400, (d) optimalisasi sumber daya lahan dan air, peningkatan produktivitas dan perlindungan lahan pertanian eksisting (PLPPB), dan (e) perluasan areal pertanian tanpa deforestasi, pemanfaatan lahan tidur, terlantar, dan terdegradasi (>40 juta ha). Pengembangan Green Economy Pertanian melalui ICEF bertitik tolak dari tiga landasan dasar, yaitu: (a) Pembangunan pertanian yang tidak “lagi” mengandalkan ekploitasi SDA (lahan & air) dan lingkungan secara berlebihan. (b) Menerapkan win-win solution dan mengakhiri perdebatan seputar “pelestarian lingkungan” versus “pertumbuhan ekonomi” yang berorientasi pada delta produksi/biaya/karbon (gas rumah kaca) atau PDB/karbon. (c) Meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang hanya mementingkan keuntungan jangka pendek, tetapi lebih berbasis IPTEK ecological economic (saling ketergantungan ekonomi versus eksosistem, atau pertumbuhan ekonomi versus kelestarian lingkungan dan perubahan iklim. Pertanian efisien karbon (ICEF) merupakan “sistem pertanian yang memanfaatkan secara optimal (efisien) karbon yang dikandung oleh produk dan by product (bahan organik sisa tanaman dan ternak)” untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, memberikan nilai tambah dan peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas, meningkatkan kesuburan tanah, ketersediaan pakan ternak, serta diversifikasi dan efisiensi energi dan air. ICEF dapat didefinisikan sebagai “sistem pertanian yang memanfaatkan secara optimal karbon yang dikandung oleh bahan organik sisa tanaman dan limbah ternak sehingga menurunkan emisi gas rumah kaca, memberikan nilai tambah berupa peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan efisiensi energi serta perbaikan lingkungan”. Komponen utama ICEF adalah: (a) pemanfaatan hasil samping (by product) pertanian, (b) pengintegrasian beberapa subsistem untuk meningkatkan nilai tambah, dan (c) pengembangan pupuk organik, pembenah tanah dan pakan ternak serta bahan bakar terbarukan. Melalui penerapan ICEF diharapkan emisi gas rumah kaca, penggunaan pupuk buatan, penggunaan energi tidak terbarukan, dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi.
7
Haryono dan Irsal Las
Oleh sebab itu, pengembangan Sistem Dinamik ICEF yang memanfaatkan produk dan by product secara optimal dan terintegrasi yang didukung oleh (a) siklus dan neraca karbon/gas rumah kaca, (b) siklus produk dan by product, (c) siklus dan neraca energi, (d) siskus dan neraca hara tanaman, dan (e) analisis dan kelayakan ekonomi.
KENDALA TEKNIS DAN KOMUNIKASI
Perhatian terhadap perubahan iklim selama ini lebih didominasi oleh kajian dan penelitian terhadap aspek teknis sistem produksi pertanian, sumber daya dan ketahanan pangan. Belum banyak perhatian, kajian, dan analisis terhadap aspek sosial-ekonomi, seperti analisis usaha tani, ketahanan ekonomi dan kemiskinan, kelembagaan petani, dan kebijakan. Perhatian dan kajian lebih terfokus pada pengaruh dan dampak langsung perubahan iklim, belum banyak mencermati dan mengkaji pengaruh dan dampak “tidak langsung”. Misalnya, analisis dan perkiraan pengaruh dan dampak berbagai teknologi mitigasi dan kebijakan program aksi mitigasi terhadap produktivitas, laju pertumbuhan ekonomi pertanian, strategi dan kebijakan perluasan areal pertanian jangka panjang, aspek sosial, dll. Secara teknis, tantangan yang dihadapi dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim pada sektor pertanian antara lain: (a) Teknologi unggul/adaptif terhadap perubahan iklim belum tentu unggul dalam aspek lain, terutama produktivitas, ketahanan OPT, kualitas, dll. (b) Perakitan teknologi (varietas, pupuk, alsintan) sering membutuhkan waktu lama dan investasi besar. Sebagai contoh, untuk merakit varietas unggul padi dibutuhkan investasi sebesar Rp 2-4 M dalam tempo lebih dari 5 tahun. (c) Nilai dan kelayakan inovasi teknologi adaptif perubahan iklim bagi petani secara ekonomi dan/atau sosial. Selain itu, sistem dan kapasitas komunikasi dan penyuluhan juga sering menjadi kendala dalam menghadapi perubahan iklim karena: (a) keragaman pemahaman dan kepedulian pemangku kepentingan, aparat dan penyuluh terhadap fenomena dan dampak perubahan iklim, (b) efektivitas informasi iklim (prediksi dan interpretasi iklim) terkait dengan jumlah, jenis, bentuk, dan akurasi informasi iklim, (c) efektivitas sistem penyebaran informasi iklim, tool/pedoman dan teknologi yang bergantung pada media dan metode/cara penyampaian informasi, (d) sistem koordinasi dan rentang kendali dari pusat (kementerian), pemda, dan penyuluh-petani. Pengelolaan informasi iklim pada sektor pertanian dilakukan oleh ditjen/badan teknis terkait. Secara ad-hoc Badan Litbang Pertanain bersama-sama dengan ditjen/badan terkait, mengelola Kelompok Kerja Variabilitas dan Perubahan Iklim Sektor Pertanian (Pokja Iklim), dan Tim Teknis Perubahan Iklim Kementerian Pertanian (Tim Teknis). Pokja Iklim melibatkan berbagai pakar dari
8
Strategi Mitigasi dan Adaptasi Pertanian terhadap Dampak Perubahan Iklim Global
perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain, membahas dan menverifikasi prediksi iklim yang dihasilkan oleh berbagai lembaga penelitian internasional dan nasional, termasuk prakiraan iklim oleh BMKG. Selanjutnya, data diolah dan diintegrasikan dengan Atlas Kalender Tanam dan Blue Book Kekeringan dan Banjir untuk dijadikan informasi teknis yang layak disampaikan ke Pemda, Dinas, penyuluh, dan petani. Namun, karena berbagai kendala, fungsi tersebut belum terlaksana secara optimal. Pada dasarnya petani adalah pengguna utama inovasi teknologi dan sumber informasi iklim melalui pencermatan dan interpretasi lapang, baik berdasarkan kearifan lokal (local wisdom) maupun pendekatan diskriptif dengan alat sederhana. Peranan tersebut diwujudkan melalui kelompok tani dan/atau Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang fungsinya menghasilkan, mengolah, dan mengkomunikasikan informasi iklim dalam menetapkan SUT, pola tanam, dan teknologi yang paling menguntungkan dengan risiko yang paling kecil. Pendekatan SLI akan sangat tepat jika diterapkan dengan pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu (SLPTT) dan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT).
Peranan Penyuluh dan Petani Perubahan iklim berdampak luas yang menyangkut berbagai aspek, mulai dari aspek ilmiah hingga ekonomi, sosial, dan politik. Penyuluh adalah mediator yang paling strategis dalam penyampaian berbagai informasi yang berkaitan dengan variabilitas dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, para penyuluh perlu berupaya, baik melalui kegiatan institusi/kedinasan maupun mandiri, memahami dengan baik tentang perubahan iklim, terutama pengertian dan dampaknya terhadap pertanian, terutama produksi pangan. Berbagai informasi dan tool (panduan) yang berkaitan dengan perubahan iklim telah disediakan. Selain itu, berbagai informasi tentang variabilitas dan perubahan iklim juga banyak tersedia dan dapat diunduh melalui internet. Selain aktif dalam SLI/SLPP/SLPHT, sikap dan pemahaman petani terhadap perubahan iklim dan dampaknya sangat menentukan keberhasilan adaptasi perubahan iklim dalam pencapaian dan mewujudkan swasembada dan swasembada berkelanjutan. Petani perlu proaktif mendapatkan informasi tentang perubahan iklim, upaya dan teknologi adaptasi untuk mengurangi dampaknya terhadap sistem usaha tani mereka. Mereka juga dapat berperan sebagai penghasil atau sumber informasi yang bermanfaat untuk menetapkan strategi penanggulangannya, misalnya gejala alam terkait dengan awal musim, indikasi dini adanya gejala serangan OPT, dll.
PENUTUP
Perubahan iklim merupakan suatu keniscayaan yang mesti terjadi yang dipercepat oleh aktivitas manusia, tetapi juga berpeluang untuk diperlambat
9
Haryono dan Irsal Las
melalui upaya manusia. Terdapat keterkaitan yang erat antara perubahan iklim dengan pertanian, karena sektor ini paling menderita dan rentan tetapi juga berkontribusi terhadap proses perubuhan iklim tersebut. Di sisi lain, pertanian juga sangat potensial untuk berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Oleh sebab itu, stategi utama yang dapat diimplementasikan adalah melakukan upaya adaptasi yang diiringi oleh kegiatan mitigasi perubahan iklim. Berbagai kajian terkait dengan perubahan iklim masih didominasi oleh kajian teknis dampak perubahah iklim terhadap sumber daya dan produksi pertanian, masih terbatas kajian yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap berbagai aspek sosial dan ekonomi, baik mikro maupun makro, termasuk strategi pembangunan pertanian serta laju pertumbuhan ekonomi nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Pertanian., 2010. Road Map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Kementerian Pertanian., 2010. Peta Tingkat Kerentanan da Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertabnian. Jakarta. Boer. R, I. Las, E. Surmaini, B.D. Dasanto, D Erfandi, S. F. Muin, A Rakhman, Y. Sarvina, Sumaryanto, Darsana, dan Tamara. 2011. Pengembangan sistem prediksi perubahan iklim untuk ketahanan pangan: dampak kenaikan muka air laut. Konsorsium Litbang Perubahan Iklim Kemtan (in printing) Boer, R., A. Buono, A., Sumaryanto, Surmaini, E., Estiningtyas, W., Rakhman, A. Katrikasari, K, dan Fitriyani. 2008. Pengembangan Sistim Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahan Pangan. Laporan Akhir KP3I. BB Sumber daya Lahan Pertanian Konsorium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim (KP3I), Badan Litbang Pertanian., 2008, 2009. Laporan Akhir Kegiatan. Las. I. 2007. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional pad Era Revolusi Hijau Lestari. Jurnal Biotek-LIPI. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset, 6 Agustus 2004. Las, I, E. Rontuwu, H. Syahbuddin, K. Subagiyono, A. Unadi, I. Amien, K. S. Hariyanti, M. W. T. Nugroho, A, Hamdani, E. Surmaini, R. Shofiyati, F. Ramadhani, S. H. Adi, Nasrullah. A. Parmudia. 2007-2010. Atas Kalender Tanam Jawa-SumateraSulawesi, Kalimantan-Bali, Nusatengara, maluku, Papua. Badan Litbang Pertanian. Naylor, R.L., Battisti, D.S. Vimont, D.J., Falcon, W.P. and Burke, M.B. 2007. Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceeding of the National Academic of Science 114:7752-7757 UNDP Indonesia. 2009. Indonesian National Greenhouse GAS Inventory under the UNFCCC: Enabling activities for the preparation of Indonesia’s Second National Communication to the UNFCCC. Jakarta August.
10