SILVARANI
STORIES FROM THE PAST (Lonceng Eksekusi – Sebeloem Monas DibangoenTjinta Seperempat Abad)
Penerbit Nida Dwi Karya Publishing
***********************************
Prologe… Sebuah Sudut di Kota Tua Jakarta, Juni 2012. Sampai kapan billboard iklan cream pemutih wajah itu terpampang di seberang halte kawasan Kota? Senyum manis model cantiknya sungguh mengusik benak. Aku tak bisa menghapus sejarah. Wanita itu memang pernah menjadi bagian terpenting di hari–hariku. Hari–hariku yang telah lewat. Yang diawali dengan dentangan lonceng. Dan diakhiri pula dengan dentangan menghantam itu…. “Teng…. Teng…. Teng….” Dentangan lonceng gereja di kawasan Kota Tua memilukan hati seketika. Mengapa di saat mataku mengagumi senyum itu, bunyi lonceng di tengah kota harus menguak di udara? Seolah-olah ia mengolok, “Wahai Reno yang dingin! Masih traumakah kau mendengar dentanganku? Ya Tuhan! Sampai kapan patah hati merongrong hari–harimu? Lupakan dia! Hari yang lewat tak usah diingat–ingat! Tapi tak bisa juga dihapus! Biarlah ia menjadi sejarah, sejarah hidupmu.” Aku menggaruk–garuk rambut gondrong sebahuku. Sudah setahun lamanya, sejak aku putus, aku tak pernah 2
potong rambut. Dan selama itu juga, billboard di seberang halte tak pernah diganti dengan iklan atau model cantik yang lain. Setiap pulang kuliah dan berada dalam perjalanan menuju ruko galeri lukisanku di kawasan Senen, senyuman itu selalu menegur.
Memoriku kembali terbuka. Dulu, aku menikmati senyumannya secara langsung. Bahkan biasanya, gara–gara aku, senyumannya bisa lebih sumringah. Sekarang? Aku hanya bisa melihatnya di billboard. “Teng… Teng… Teng…” malam ini, imajinasiku melayang tak lama setelah lonceng gereja tengah kota kembali berdentang. Berbicara soal lonceng, sudah pasti tak lepas dari sosok wanita itu. Aku dibuat bahagia dan terpuruk olehnya. Semuanya diiringi dentangan lonceng. “Teng… Teng… Teng...” “Oke deh! Mulai sekarang kita jadian.” Aku tak bisa lupa. Aku masih berseragam putih abu–abu waktu itu. Di penghujung waktu istirahat, kucoba mengutarakan
perasaanku
padanya.
Sebenarnya,
aku
3
memberinya waktu. Namun, ia pikir aku butuh jawaban secepatnya. Akhirnya, saat lonceng masuk kelas berbunyi, ia buru–buru masuk kelas sambil mengangguk. Sekolah
kami
adalah
sekolah
tua.
Untuk
menandakan waktu pelajaran dimulai, berakhir atau waktu istirahat tiba, pihak sekolah belum menggunakan bel listrik. Mungkin itu sebabnya, dentangan lonceng begitu akrab di telinga. Sejak saat itu, aku senang dengan bunyi lonceng. Di sekolah, di stasiun kereta, halte seberang gereja kota dan di tempat–tempat lain yang biasa mendetangkan lonceng, semangatku membumbung. Walau tak bertemu setiap saat, bunyi lonceng itu seperti mewakilkan kehadirannya di sisiku. Namun, pada akhirnya itu usai…. “Teng…. Teng…. Teng….” “Reno, aku udah nggak bisa ngejalanin. Kegiatanku sekarang padat. Besok ada pemotretan. Dan aku takut nggak ada waktu lagi buat kamu.” ‘Dan aku takut nggak ada waktu lagi buat kamu’. Kalimat terakhir itulah yang ia jadikan alasan untuk memutuskan hubungan….
4
Sebeloem Monas Dibangoen Prologue: “Liyat monas nyang di sono noh!” tunjuk engkong antusias. Siang ini, di panti werda Flamboyan, Gambir, ia kelewat gembira karena kedatangan dua orang tamu. Dua tamu itu melongok memperhatikan telunjuk engkong. Dua–duanya anak muda. Anak muda yang laki-laki adalah seorang mahasiswa jurnalistik, sedangkan yang perempuan
adalah
mahasiswi
sastra
yang
sedang
mengobservasi budaya betawi untuk naskah lenong di teater fakultasnya. Mereka berdua bukan cucu engkong. Mereka berdua bukan kenalan engkong. Mereka hanya anak muda yang baru kenal engkong pagi tadi. Tepatnya, di hari sabtu tanggal 17 April 2010. “Heh! Nape lu bedua nganga gitu? Kemasukan lalet baru nyaho lu!” “Kagak kong.” Sang jurnalis muda mengeluarkan kepalanya keluar jendela “Cuma mana Monasnya? Saya nggak liat!”
5
“Ngapain lu ngelongok-longok ke luar?!” engkong menarik lengan pemuda itu “Monasnya itu noh! Nyang di samping Tanjidor!” tunjuknya ke arah dinding ruang tamu. Melihat engkong yang bukan menunjuk keluar, sang pemuda bingung. “Tanjidor?! Yah engkong! Itu kan foto. Foto gambar monas!” komennya bernada kecewa. “Ya emang poto. Lu kira monas beneran di mari?! Emasnye aje kagak muat masuk pintu rumah. ” Cerocos kakek berusia 75 tahun itu. “Elu kudu bangga sama entu bangunan! Bangunan itu ude dibangun sejak taon enem satu!” lanjutnya berapi-rapi. Menanggapi lawakan engkong yang garing, kedua anak muda itu hanya memamerkan ekspresi masam. Walaupun suhu Jakarta panas minta ampun, si engkong masih aje bercanda. Namun, tiba-tiba, engkong drastis melankolis. “Ta,
tapi....,
dibandingin
ame
pembangunan
monas,....” mata rentanya menatap foto monas versi hitam putih itu “...kisah cinte engkong tetep nyang duluan.” Ungkapnya datar. Tampaknya, memori uzurnya telat terhisap ke dalam zona masa lalunya…. ***
6
Bab I Jakarta, 2013 "Dokter Hanafi Hamsyah bukan anak kandung Dokter Priambodo?" Ucap Reno agak berpikir. Malam ini, di kontrakannya yang terletak di bilangan Cikini, wartawan muda agak arogan itu kedatangan seorang wanita yang tengah mencari informasi mengenai asal usul seorang dokter dari masa Batavia. Nama wanita itu adalah Sheera. Sebenarnya, Reno sudah kenal lama dengannya. Calon dokter wanita itu adalah rekannya semasa SMA. "Ya." Angguk Sheera bersemangat "Dokter Hanafi itu kakeknya calon suami gue. Kalau gue sampai nggak tahu siapa orang tua kandungnya, bonyok gue nggak akan izinin gue menikah. Lo tau sendiri kan? Bokap gue ketat banget sama asal usul calon pasangan anaknya." "Ya ampun! Bokap lo gitu banget sih!" Protes Reno “Asal usul kakek calon menantunya aja diurusin.” *** Suatu pagi di pertengahan tahun 1941, langit Batavia tampak elok memanjakan pandangan. Gumpalan–gumpalan 7
awannya selembut kapas. Kicauan burung dari pepohonan membangkitkan keceriaan. Dalam hati, Hanafi bersyukur. Untung Tuhan memberikannya kehidupan, sehingga ia bisa menikmati keindahan ini. Hanafi Priambodo Hamsyah adalah nama lengkap dokter muda ini. Ayah angkatnya, Dr. Priambodo Hamsyah adalah seorang dokter umum pemerintahan Hindia Belanda. Hampir semua orang tahu bahwa mereka tak memiliki hubungan darah. Mana mungkin pasangan pribumi tulen seperti Dokter Priambodo dan Bu Utari bisa memiliki anak berwajah blasteran seperti Hanafi?! Secara sifat, Dokter Hanafi juga tak memiliki kesamaan dengan Dokter Priambodo dan istri. Pasangan suami istri itu terkenal dengan sifat pasif, pasrah dan mudah mengalah. Ketika kawan–kawan seangkatannya aktif di organisasi Budi Oetomo selama bersekolah di STOVIA, Dokter Priambodo muda lebih memilih membaca buku di asrama. Begitu juga dengan Bu Utari. Ketika orang tuanya melarang untuk bersekolah tinggi, ia menurut saja.
8
Sungguh berbanding terbalik dengan Hanafi semasa bersekolah di GHS1. Bersama kawan–kawannya, ia aktif menulis artikel soal kesehatan di selebaran yang dibagikan secara cuma–cuma kepada masyarakat. Gerakan ini pernah ditentang beberapa dosen Belanda karena isinya sering menyelipkan berbagai kritik pedas untuk pemerintah. Saat itulah, Dokter Priambodo yang mudah ketakutan cepat– cepat melarang Hanafi untuk aktif. Alasannya, ia takut dosen–dosen Belanda di GHS bisa mempersulit proses pendidikan atau kelulusan anak angkatnya itu. Karena belum satu tahun lulus dari GHS, Hanafi masih menunggu pemerintah menugaskannya ke daerah. Dalam masa penantiannya ini, ia menjadi dokter umum di rumah sakit CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis) Batavia. Pasca kemerdekaan, rumah sakit bergaya arsitektur kolonial ini
berubah
nama
menjadi
Rumah
Sakit
Cipto
Mangunkusumo. Letaknya di jalan Oranje Boulevard Jakarta Pusat. Di masa depan, orang mengenal jalan sejuk penuh pepohonan rindang ini sebagai jalan Diponegoro. ***
Geneeskundige Hooge School. Pendidikan tinggi kedokteran yang didirikan mulai tahun 1927. Sekolah ini merupakan cikal bakal Fakultas Kedokteran UI. 1
9
“HARTELIJK
GEFELICITEERD
DOKTER
HANAFI!” “SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 25!” Di pandangannya kini, ayahnya–Dr. Priambodo Hamsyah-menyodorkan sekotak kue bolu. Ibunya–Nyonya Utari Hamsyah- pun turut bertepuk tangan. Di belakang mereka berdua, beberapa perawat Belanda dan pribumi meneriakkan ucapan selamat ulang tahun. “Waah…… Waaah….” Tak ada kata yang dapat terlontar dari mulut Hanafi. Ia tak habis pikir akan ada kejutan yang ia dapat pagi–pagi begini. “Si….apa yang merencanakan
ini?” sekalinya
melontarkan kata, kalimat tanya yang keluar. Wajah blasterannya merah padam. “Lebih baik sekarang kau tiup dulu lilinnya.” Rangkul Dr. Priambodo dan Nyonya Utari. Walaupun Hanafi tahu mereka berdua bukan orang tua kandungnya, ia sangat menyayangi mereka.
10