SKRIPSI
MEMPELAJARI PEMBUATAN TEPUNG PISANG RAJA BULU KAYA βKAROTEN DAN KARAKTERISASI MUTUNYA
Oleh : RINA HIDAYAT F24051921
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR i
MEMPELAJARI PEMBUATAN TEPUNG PISANG RAJA BULU KAYA βKAROTEN DAN KARAKTERISASI MUTUNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : RINA HIDAYAT F24051921
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ii
Judul Skripsi
: Mempelajari Pembuatan Tepung Pisang Raja Bulu Kaya βKaroten dan Karakterisasi Mutunya
Nama
: Rina Hidayat
NIM
: F24051921
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
(Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc.) NIP 19490612 197603 1 003
(Dra. Sri Yuliani, Apt.) NIP 19570717 198603 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP 19650814 199002 1 001
Tanggal Ujian : 14 April 2010 iii
Rina Hidayat. F24051921. Mempelajari Pembuatan Tepung Pisang Raja Bulu Kaya β-Karoten dan Karakterisasi Mutunya. Di bawah bimbingan Yadi Haryadi dan Sri Yuliani. 2010. RINGKASAN Pisang Raja Bulu merupakan pisang yang kaya akan β-karoten. Pisang ini cocok untuk dijadikan bahan baku pembuatan tepung pisang. Untuk dapat menghasilkan tepung pisang yang baik dan dapat mempertahankan kandungan βkaroten maka perlu dipelajari serangkaian proses pembuatan tepung pisang dan berbagai perlakuan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan karakterisasi terhadap bahan baku pisang Raja Bulu mengkel dan trial and eror pembuatan tepung pisang. Karakterisasi pisang Raja Bulu mengkel adalah mengandung air sebesar 60.70% (bb), abu sebesar 0.93%(bb), protein sebesar 1.17% (bb), lemak sebesar 0.37 % (bb), karbohidrat sebesar 36.83% (bb) dan β-karoten sebesar 111 ppm. Proses pembuatan tepung pisang meliputi pengupasan, perajangan, pemblansiran, perendaman dalam larutan sulfit, pencucian dan penirisan, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Hasil penelitian pendahuluan digunakan untuk proses pembuatan tepung pisang pada penelitian utama. Penelitian utama dibagi menjadi dua yaitu penelitian tahap I dan penelitian tahap II. Penelitian tahap I dilakukan untuk mengetahui jenis pengering yang cocok untuk pembuatan tepung pisang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengering cabinet dryer lebih cocok digunakan sebagai pengering pada pengolahan tepung pisang daripada drum dryer karena tepung pisang hasil cabinet dryer memiliki nilai derajat putih tinggi (77.45% - 83.49%). Penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan sulfurisasi terhadap kadar βkaroten, residu sulfit, derajat putih serta warna tepung pisang. Sulfit yang digunakan adalah Na-metabisulfit dengan tingkat konsentrasi 0 ppm, 150 ppm, 300 ppm, 450 ppm, 600 ppm dan 750 ppm. Kadar betakaroten tepung pisang Raja Bulu berkisar 24.46 ppm sampai 40.06 ppm, dengan kadar betakaroten tertinggi pada tepung pisang sulfurisasi 0 ppm dan terendah pada tepung pisang sulfurisasi 750 ppm. Residu sulfit tepung pisang Raja Bulu berkisar dari 0,5 ppm sampai 448.33 ppm. Derajat putih tepung pisang Raja Bulu yaitu 76.65 sampai 77.55. Analisis warna tepung pisang menunjukkan nilai L sebesar 85.11 sampai 86.70; nilai a sebesar -1.39 sampai 1.72 dan nilai b sebesar 17.15 sampai 18.16. Hasil uji ANOVA pada taraf α = 0.05 menunjukkan bahwa perlakuan sulfurisasi Na-metabisulfit berpengaruh nyata terhadap kadar β-karoten dan residu sulfit tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap derajat putih. Uji lanjut berupa uji Duncan terhadap kadar β-karoten dan residu sulfit menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan pada taraf signifikasi 5%. Perlakuan sulfit menurunkan kandungan β-karoten pada tepung pisang. Terhadap derajat putih, perlakuan sulfit sampai konsentrasi 750 ppm mampu meningkatkan derajat putih tetapi tidak berbeda nyata secara statistik. Residu sulfit meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi sulfit yang digunakan. Intensitas warna kuning meningkat dengan semakin tingginya kadar βkaroten tetapi menurun dengan semakin tingginya sulfit. iv
Karakteristik kimia tepung pisang Raja Bulu terbaik (sulfurisasi 150 ppm) adalah kadar air 7.73%(bb), kadar abu 0.90%(bk), kadar protein 2.95%(bk), kadar lemak 0.60%(bk), kadar karbohidrat 95.55%(bk), kadar pati 74.10 %, dan kadar serat 17.37 %. Karakteristik fisik tepung pisang Raja Bulu adalah rendemen daging pisang terhadap pisang utuh sebesar 51.69%. Rendemen tepung pisang terhadap daging pisang sebesar 30.91%. Densitas kamba sebesar 0.83 g/ml, viskositas sebesar 56.6 cp, daya serap air sebesar 13.13 g/g dan kelarutan dalam air dingin sebesar 4.73% (b/b).
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Gebang, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal Jawa Tengah pada tanggal 6 April 1987. Penulis merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara dari pasangan Bapak Djambari (alm) dan Ibu Dasriah. Pada tahun 1999 penulis lulus dari SD Gebang 01, kemudian pada tahun 2002 penulis menyelesaikan studi di SLTPN 1 Gemuh. Selanjutnya penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kendal pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama di IPB, penulis menjadi anggota organisasi daerah (OMDA) FOKMA Bahurekso Kendal tahun 2005 – 2010, kemudian aktif dalam organisasi Bina Desa BEM KM IPB sebagai staf PSDM (2007), koordinator Divisi Logstran (2008) dan Wakil Direktur (2009). Penulis juga tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA), anggota Paguyuban Orang Kendal se-Jabodetabek (2006 – 2010). Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis di antaranya adalah sebagai panitia dalam “Kejuaraan Nasional Panahan ke VII” tahun 2007 dan “BAUR “ tahun 2007. Selain aktif dalam organisasi dan kepanitiaan, penulis juga aktif kerja paruh waktu sebagai pengajar les privat pada Bimbingan Belajar “Omega 9” tahun 2008, “Soedadi” tahun 2009 dan “Al Fattah” tahun 2010. Untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Mempelajari Pembuatan Tepung Pisang Raja Bulu Kaya β-Karoten dan Karakterisasi Mutunya”
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Mempelajari Pembuatan Tepung Pisang Raja Bulu Kaya β-Karoten dan Karakterisasi Mutunya” sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1.
Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi dan akademik yang
memberikan bimbingan serta arahan selama kegiatan perkuliahan,
penelitian dan penyusunan skripsi ini. Bapak, saya sangat berterima kasih atas kebaikan Bapak selama ini. Mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan penulis selama berhubungan dengan Bapak. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan sebaik – baik balasan. 2.
Dra. Sri Yuliani, Apt. selaku pembimbing penelitian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor atas saran, arahan dan bimbingannya selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih atas kesediaan Ibu yang telah menerima penulis menjadi bagian Tim Labu Terima kasih juga atas nasihat-nasihat berharga yang mampu membuka mata hati dan pikiran penulis. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan penulis, semoga Allah membalas kebaikan Ibu dengan sebaik-baik balasan.
3.
Dra. Waysima, M.Sc atas kesediaan Ibu menjadi dosen penguji. Selain itu penulis juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan Ibu selama ini, penulis sangat terbantu dengan bantuan Ibu sehingga penulis mampu menyelesaikan kuliah ini. Penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan penulis selama ini. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu dengan sebaik-baik balasan.
4.
Keluargaku tercinta, Ma’e “Mak Das”, Kang Doko, Mba Win, Mba Yani dan Dik Ning, terima kasih atas motivasi baik moral maupun spiritual kepada penulis. Terima kasih atas kasing sayang yang tulus ini, terima kasih telah
vii
setia menemani penulis dan dengan sabar menunggu penulis menyelesaikan kuliah. Semoga keluarga kita menjadi keluarga yang lebih baik. 5.
Sahabat-sahabatku “Geng Power Rangers” (Siyam, Hurry, Achid, Asep, Adit) terima kasih atas persahabatannya selama ini, aku tidak akan melupakan kalian. Khusus Hurry, terima kasih banyak Hur atas bantuannya selama ini (motor, laptop, flashdisk) penulis sangat terbantu dengan semua itu. Semoga Allah membalas kebaikanmu.
6.
Penghuni Wisma Evergreen (Kaka, Aji, Topek, Jowo, Bayu, Revan, Eka, Ijo, Bang Leo, Andi, Asep, Panji) terima kasih atas kebersamaan selama ini. Buat Kaka, terima kasih banyak atas bantuan selama ini, maaf penulis selalu ngerepotin, teman – teman Fokma Bahurekso Kendal
terima kasih atas
kebersamaan selama ini, semoga persahabatan kita akan selalu terjaga. 7.
Riska “Chika” Pahyuni, terima kasih atas kesediannya menemani penulis selama ini, terima kasih atas semangatnya.
8.
Teman-teman se-PA (Reni dan Santi), terima kasih atas semangatnya selama ini.
9.
Teman-teman seperjuangan di BB Pascapanen (Hurry, Sri, Tri, Nanto, Agung, Iren, Marcel, Epink, Vero, Binda dan Esti)
10. Tim peneliti Labu Kuning (Bu Sri, Pak Abu, Bu Ezy dan Bo Ros) terima kasih atas masukannya selama ini. Pak Heru, Pak Adom dan Pak Sis terima kasih telah setia menemani penulis begadang di bangsal pengeringan BB Pascapanen Cimanggu 11. Temanku Riska RD, Resna, Peye, Bombay, Riza, Sobur, Deni, Muji, Fuad, Juju, Arya, Ari TP, Panji, Fahmi, Gia, Mike dan Harist 12. Teman – teman ITP 42 lainnya yang tidak bisa penulis sebut semuanya, terima kasih atas kebersamaan selama ini.
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, April 2010 Penulis viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1 B. TUJUAN ........................................................................................... 3 C. MANFAAT ....................................................................................... 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA A. PISANG RAJA BULU ..................................................................... 4 B. TEPUNG PISANG ........................................................................... 6 C. β-KAROTEN .................................................................................... 9 D. SULFIT ............................................................................................. 11 E. BLANSIR.......................................................................................... 14 F. CABINET DRYER ............................................................................. 16 G. DRUM DRYER ................................................................................. 17
III.
METODOLOGI A. BAHAN ........................................................................................... 19 B. ALAT ................................................................................................ 19 C. METODE PENELITIAN ................................................................. 19 1. Penelitian Pendahuluan ........................................................... 19 2. Penelitian Utama ..................................................................... 20 D. METODE ANALISIS ...................................................................... 24 1. Kadar Air ................................................................................ 24 2. Kadar Protein .......................................................................... 24 3. Kadar Abu ............................................................................... 25 4. Kadar Lemak ........................................................................... 25 5. Kadar Karbohidrat (By Different) ........................................... 26 6. Kadar Pati ................................................................................ 26
ix
7. Kadar Serat .............................................................................. 27 8. Kadar Beta Karoten................................................................. 28 9. Total Residu Sulfit .................................................................. 28 10. Rendemen ............................................................................. 29 11. Densitas Kamba .................................................................... 29 12. Kekentalan ............................................................................ 29 13. Daya Serap Air ...................................................................... 29 14. Kelarutan dalam Air .............................................................. 30 15. Analisis Warna Hunter ......................................................... 30 16. Derajat Putih ......................................................................... 30 IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN .................................................... 31 1. Karakterisasi Bahan Baku .......................................................... 31 2. Trial and Eror Proses Pembuatan Tepung Pisang ..................... 31 B. PENELITIAN UTAMA ................................................................... 35 1. Penelitian Tahap 1...................................................................... 35 2. Penelitian Tahap II ..................................................................... 36 a. Pengaruh Sulfurisasi Terhadap β-karoten, Derajat Putih, Residu Sulfit dan Warna ................................................... 37 b. Karakterisasi Tepung Pisang Raja Bulu............................. 45
V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ................................................................................ 55 B. SARAN ............................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 56 LAMPIRAN ..................................................................................................... 60
x
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Komposisi Kimia Beberapa Jenis Pisang dalam Tiap 100 gram Daging Buah ................................................................................. 2
Tabel 2.
Komposisi Kimia Daging Pisang Raja Bulu dalam Tiap 100 gram Daging Buah (Buah Matang) ........................................................ 5
Tabel 3.
Kandungan Pati Pisang pada Berbagai Tingkat Umur ................. 6
Tabel 4.
Komposisi Kimia Pisang Raja Bulu Mengkel ............................... 32
Tabel 5.
Hasil Rajangan Berbagai Alat Perajang ........................................ 33
Tabel 6.
Trial and eror proses blansir dan sulfurisasi ................................ 34
Tabel 7.
Pengaruh Alat Pengering dan Sulfurisai terhadap Derajat Putih dan Residu Sulfit Tepung Pisang ................................................... 36
Tabel 8.
Pengaruh komponen sistem Mn2+ terhadap kerusakan β-karoten.. 39
Tabel 9.
Analisis Uji Duncan Tepung Pisang terhadap Kadar β-karoten .... 41
Tabel 10. Analisis Uji Duncan Tepung Pisang terhadap Residu Sulfit ......... 42 Tabel 11. Analisis Warna pada Tepung Pisang ............................................. 46 Tabel 12. Karakterisasi Tepung Pisang Raja Bulu ........................................ 47
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pisang Raja Bulu ........................................................................ 4 Gambar 2. Struktur Kimia β-karoten ........................................................... 10 Gambar 3. Reaksi Kesetimbangan Sulfit ...................................................... 12 Gambar 4. Mekanisme Penghambatan Sulfit................................................ 13 Gambar 5. Mekanisme Penghambatan Reaksi Maillard Oleh Sulfit ............ 13 Gambar 6. Cabinet Dryer ............................................................................. 16 Gambar 7. Drum Dryer ............................................................................... 17 Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Tepung Pisang pada Penelitian Tahap I ........................................................................................ 21 Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Tepung Pisang pada Penelitian Tahap II ....................................................................................... 23 Gambar 10. Kadar β-karoten Tepung Pisang Raja Bulu ................................ 38 Gambar 11. Mekanisme Oksidasi β-karoten Oleh Sulfit ................................ 39 Gambar 12. Residu Sulfit pada Tepung Pisang .............................................. 42 Gambar 13. Derajat Putih Tepung Pisang....................................................... 44
xii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Proses Pembuatan Tepung Pisang Raja Bulu ............. 63 Lampiran 2. Gambar Sawut Kering dan Tepung Pisang Pisang Raja Bulu dengan Berbagai Perlakuan ...................................................... 64 Lampiran 3. Data Kadar Betakaroten dan Residu Sulfit............................... 65 Lampiran 4. Pengukuran Warna Tepung Pisang Menggunakan Chromameter ............................................................................ 66 Lampiran 5. Data Derajat Putih .................................................................... 68 Lampiran 6. Karakterisasi Tepung Pisang Raja Bulu ................................... 68 Lampiran 7. Analisis Keragaman ................................................................. 69 Lampiran 8.
Contoh Kromatogram Analisis β-karoten dengan HPLC ....... 72
xiii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pisang merupakan tanaman yang masa berbuahnya tidak mengenal musim dan selalu berbuah sepanjang tahun. Pisang banyak ditanam di berbagai daerah di Indonesia, karena penanaman dan perawatannya yang mudah. Tanaman ini hidup berumpun dan hasil buahnya cukup banyak. Berdasarkan data Departemen Pertanian RI (2008), rata–rata produksi pisang per tahun di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 4 907 361 ton. Pisang merupakan buah yang mempunyai kandungan gizi yang cukup bagus terutama kandungan vitamin dan mineralnya. Vitamin yang banyak terkandung dalam pisang adalah vitamin B kompleks (1.10 mg/100 g) sedangkan mineralnya adalah Kalium (310 mg/100 g). Vitamin lain yang terkandung pada pisang adalah vitamin C sedangkan mineralnya adalah fosfor dan besi (PKBT IPB, 2005). Menurut Winarno (1990), kandungan zat besi dari pisang dapat dimanfaatkan 100 % oleh tubuh. Selain itu, jenis pisang tertentu seperti pisang Raja Bulu dan pisang Lampung banyak mengandung β-karoten yaitu masingmasing sebesar 618 SI dan 950 SI (Direktorat Gizi Departeman Kesehatan RI, 1979). Mengingat manfaat yang dapat diambil dari pisang maka perlu adanya upaya diversifikasi pengolahan terhadap pisang agar potensi pisang dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu diversifikasi tersebut adalah pengolahan pisang menjadi tepung pisang. Tepung pisang merupakan suatu alternatif pengawetan pisang karena pisang termasuk buah–buahan yang mudah rusak (perishable). Tepung pisang mempunyai beberapa keunggulan daripada pisang segar dan olahan pisang lainnya (molen, sale, kripik, kolak, pisang goreng) yaitu tepung pisang tahan lama, ekonomis, dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan (cookies, kue, roti, biskuit, mie dan makanan pendamping ASI) dan jangkauan pemasarannya cukup luas (Muchtadi et al., 1990). Dari berbagai macam jenis pisang, pisang Raja Bulu merupakan pisang yang cocok untuk dijadikan bahan baku pembuatan tepung pisang. Hal ini karena pisang Raja Bulu mempunyai komposisi kimia yang lebih baik daripada
1
komposisi kimia pisang jenis lainnya. Perbandingan komposisi kimia pisang Raja Bulu dibandingkan komposisi pisang jenis lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Beberapa Jenis Pisang dalam Tiap 100 gram Daging Buah Komponen
Jenis Pisang Ambon Angleng Lampung
Mas
Raja Bulu
Raja Sereh
Protein (g)
1.2
1.3
1.3
1.4
1.2
1.2
Lemak (g)
0.2
0.3
0.2
0.2
0.2
0.2
Karbohidrat (g)
25.8
17.2
25.6
33.6
31.8
31.1
Fosfor (mg)
28
26
19
25
22
29
Kalsium (mg)
8
10
10
10
10
7
Besi (mg)
0.5
0.6
0.9
0.8
0.8
0.3
β-karoten (SI)
146
76
618
79
950
112
Vitamin B (mg)
0.08
0.08
-
0.09
0.06
-
Vitamin C (mg)
3
6
4
2
10
4
72.0
80.3
72.1
64.2
65.8
67.0
99
68
99
127
120
118
Air (g) Kalori (Kal)
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979) Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan gizi pisang Raja Bulu lebih baik daripada kandungan gizi pisang jenis lainnya terutama kandungan β-karotennya. Tingginya kandungan β-karoten menjadikan pisang Raja Bulu mempunyai keunggulan daripada pisang jenis lainnya. Hal ini karena β-karoten sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh, diantaranya adalah sebagai provitamin A yang dapat diubah tubuh menjadi vitamin A. Vitamin A sangat berguna bagi kesehatan mata terutama untuk anak balita. Selain itu, β-karoten juga baik untuk pencegahan kanker, dapat meningkatkan daya tahan tubuh, mengurangi terjadinya stroke dan juga mencegah terbentuknya plak pada pembuluh darah (Astawan dan Andreas, 2008). Tingginya kandungan β-karoten pada pisang Raja Bulu akan menjadikan tepung pisang yang dihasilkan juga kaya β-karoten. Tepung pisang yang kaya akan β-karoten dapat digunakan sebagai bahan baku untuk makanan pendamping
2
ASI (MP-ASI) bersama dengan tepung kacang ijo dan tepung labu kuning (Yuliani et al., 2009). Dengan demikian, masalah defisiensi vitamin A pada anak balita yang selama ini melanda separuh anak balita di Indonesia, dapat dikurangi. Pada proses pengolahan tepung pisang biasanya terjadi reaksi pencoklatan. Warna coklat pada tepung pisang biasanya kurang disukai konsumen. Maka dari itu diperlukan cara agar reaksi pencoklatan pada tepung pisang dapat dicegah atau dihambat. Cara pencegahan tersebut diantaranya adalah dengan cara blansir. Blansir juga dapat menimbulkan efek cerah dan memunculkan warna kuning dari β-karoten (MacDougall, 2002). Namun pemblansiran dapat merusak kandungan β-karoten pisang. Apabila β-karoten banyak mengalami kerusakan maka berbagai manfaat yang ada pada pisang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal dan juga tepung pisang yang dihasilkan tidak mempunyai keunggulan yang berarti terhadap tepung jenis lainnya. Maka dari itu diperlukan perlakuan lain agar warna kuning dari β-karoten tetap muncul tetapi kandungan β-karoten tetap terjaga. Perlakuan tersebut adalah dengan sulfurisasi. Sulfurisasi (perlakuan dengan sulfit) dapat melindungi β-karoten dari kerusakan karena sulfit berfungsi sebagai antioksidan (Nutting et al., 1970). Selain itu, sulfit juga dapat berperan dalam pencegahan terbentuknya warna coklat pada tepung pisang. Tepung pisang yang dihasilkan perlu dilakukan karakterisasi agar didapatkan informasi yang tepat mengenai nilai gizi dan kegunaan tepung pisang tersebut.
B. TUJUAN -
Mempelajari pembuatan tepung pisang dari pisang Raja Bulu
-
Mengetahui pengaruh sulfurisasi terhadap kadar β-karoten pisang
-
Mengetahui karakteristik tepung pisang yang dihasilkan
C. MANFAAT -
Mendorong pemanfaatan pisang menjadi tepung pisang
-
Berkembangnya produk pangan yang berbasis tepung pisang
-
Menghasilkan tepung pisang yang kaya β-karoten
-
Sebagai bahan baku produk makanan pendamping ASI (MP-ASI)
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PISANG RAJA BULU Buah pisang merupakan buah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, yang dapat dikonsumsi kapan saja dan pada segala tingkatan usia. Pisang dapat digunakan sebagai alternatif pangan pokok karena mengandung karbohidrat yang tinggi, sehingga dapat menggantikan konsumsi beras dan terigu. Untuk keperluan tersebut digunakan pisang mentah yang kemudian diolah menjadi tepung. Karbohidrat buah pisang merupakan karbohidrat kompleks tingkat sedang dan tersedia secara bertahap sehingga dapat menyediakan energi dalam waktu tidak terlalu cepat. Dibandingkan dengan gula pasir dan sirup, karbohidrat pisang menyediakan energi sedikit lebih lambat, tetapi lebih cepat dari nasi, biskuit dan sejenis roti (Prabawati et al., 2009).
(a)
(b)
Gambar 1. Pisang Raja Bulu (a) Mentah (b) Matang
Berdasarkan penggunaannya, buah pisang dibagi atas dua kelompok yaitu pisang buah (banana) dan pisang kue (plantain). Banana adalah pisang yang dimakan segar, berkadar pati rendah, berkadar gula tinggi dan memiliki aroma yang tajam. Aroma khas ini disebabkan oleh senyawa amil asetat, amil butirat, asetaldehid etanol dan metanol. Pisang yang termasuk kelompok ini adalah pisang ambon, pisang emas, pisang raja, pisang susu dan pisang badak. Plantain adalah pisang yang dimakan setelah direbus atau digoreng. Pisang ini berkadar pati tinggi, namun gulanya rendah serta aromanya kurang tajam. Jenis pisang ini antara lain pisang tanduk, pisang kapas, pisang kapok, pisang usuk dan pisang manggala (Rismunandar, 2001).
4
Dari berbagai jenis buah pisang, pisang Raja Bulu merupakan salah satu jenis pisang yang sangat digemari masyarakat. Pisang Raja dapat digunakan sebagai buah meja dan bahan baku produk olahan atau campuran dalam pembuatan kue. Daging buah rasanya manis dan aromanya kuat, namun kulit agak tebal sehingga bagian yang dapat dimakan hanya 75%. Pada waktu matang, warna kulit buahnya kuning berbintik coklat atau kuning merata, dengan warna daging buah kuning kemerahan. Setiap tandan memiliki berat sekitar 4-22 kg dengan jumlah sisir 6-7 sisir dan jumlah buah 10-16 buah/sisir (Prabawati et al., 2009). Ciri-ciri morfologi pisang raja bulu di antaranya adalah tinggi pohon sekitar 5 m, batangnya berwarna hijau dan daunnya berukuran sekitar 2.50 m x 0.35 m. Bentuk buahnya melengkung dengan pangkal buah agak bulat. Kulitnya tebal, berwarna kuning berbintik coklat. Daging buahnya sangat manis, berwarna kuning kemerahan dan bertekstur lunak. Panjang buah antara 12-18 cm dengan bobot rata-rata 110-120 g. Setiap pohon biasanya dapat menghasilkan buah ratarata sekitar 90 buah (Zen, 1978). Pisang Raja Bulu mempunyai kandungan gizi yang cukup bagus terutama kandungan β-karotennya. Komposisi kimia pisang Raja Bulu dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Daging Pisang Raja Bulu dalam Tiap 100 gram Daging Buah (Buah Matang) Komponen Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Fosfor (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) β-karoten(SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Kalori (Kal)
Raja Bulu 1.2 0.2 31.8 22 10 0.8 950 0.06 10 65.8 120
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
5
B. TEPUNG PISANG Tepung pisang merupakan salah satu hasil olahan pisang. Bahan baku yang baik untuk pembuatan tepung pisang adalah buah pisang yang dipanen pada saat mencapai ketuaan ¾ penuh atau kira – kira berumur 80 hari setelah berbunga. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut pembentukkan pati telah mencapai maksimum, dan sebagian besar tannin telah terurai menjadi senyawa ester aromatik dan fenol sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang. Jika pisang yang digunakan terlalu matang maka rendemen tepung yang dihasilkan sedikit dan juga selama pengeringan akan terbentuk cairan. Hal ini karena pati telah terhidrolisis menjadi gula-gula sederhana sehingga kandungan patinya menurun. Jika pisang yang digunakan terlalu muda akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa sedikit pahit dan sepat karena kandungan tannin yang cukup tinggi (Crowther, 1979). Kandungan pati pisang pada berbagai tingkat umur dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Pati Pisang Ambon pada Berbagai Tingkat Umur Umur Pisang dari Saat Berbunga
Kandungan Pati
70 hari (Hampir ¾ penuh)
42.65 %
80 hari (¾ penuh)
55.39 %
100 hari (penuh)
47.39%
Nurjanah (1991)
Proses pembuatan tepung pisang secara umum terdiri atas dua cara, yaitu proses basah dan proses kering. Pada pembuatan tepung pisang secara basah, pisang dibentuk bubur atau pasta dengan cara dihancurkan dan ditambah sedikit air. Pisang yang telah berbentuk bubur ini kemudian dikeringkan dengan alat pengering seperti drum dryer atau spray dryer. Menurut Wilson (1975), pengeringan pisang dengan menggunakan spray dryer akan menghasilkan rendemen tepung pisang sebesar 8 – 11 % dari buah pisang segar, sedangkan pengeringan pisang dengan menggunakan drum dryer menghasilkan rendemen tepung pisang sebesar 13 % dari buah segar. Tepung pisang yang dihasilkan biasanya digunakan sebagai bahan baku atau bahan campuran makanan bayi
6
seperti bubur. Hal ini karena proses basah ini menghasilkan tepung pisang yang telah mengalamai gelatinisasi sehingga akan menurunkan sifat kamba (bulky). Sifat kamba (bulky) pada bahan baku untuk produk makanan bayi tidak diperbolehkan karena akan cepat memberi rasa kenyang pada bayi (Astawan, 2000). Pembuatan tepung pisang secara kering, pisang dikupas kemudian diiris tipis – tipis. Hasil irisan tersebut dikeringkan dengan menggunakan alat pengering atau dijemur dibawah sinar matahari. Setelah pisang kering kemudian dihancurkan atau digiling sampai halus sehingga akan dihasilkan tepung pisang (Hardiman, 1982). Tepung pisang yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku atau bahan campuran pembuatan berbagai macam produk makanan seperti biskuit, cookies, dan puding. Pengeringan pisang dengan menggunakan sinar matahari membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar dua sampai tiga hari. Hal itu tergantung dari cuaca, kalau cuaca sedang cerah maka waktu pengeringan bisa lebih cepat namun bila cuaca tidak cerah maka waktu yang diperlukan akan semakin lama, bahkan bisa mencapai seminggu. Pengeringan dengan sinar matahari sulit terkontrol sehingga akan menghasilkan tepung pisang yang kurang seragam dan biasanya terkontamisai oleh mikroba dan debu. Namun, pengeringan dengan sinar matahari merupakan pengeringan yang sangat ekonomis dan menghasilkan tepung pisang dengan derajat putih lebih tinggi daripada tepung pisang hasil pengeringan alat pengering. Hal ini karena pada pisang yang dikeringkan dengan sinar matahari mengalami bleaching (pemucatan) akibat adanya sinar UV dari sinar matahari (Lestari, 1989). Proses pengeringan pisang dengan alat pengering membutuhkan waktu yang lebih singkat, yaitu sekitar 7-10 jam, tergantung kapasitas alat dan banyaknya pisang yang dikeringkan. Pengeringan seperti ini lebih terkontrol karena irisan pisang diletakkan di ruang tertutup sehingga kontaminasi mikroba dan debu dapat dikurangi. Selain itu suhu pengeringan juga dapat diatur sesuai keinginan. Tepung pisang yang dihasilkan dari pengeringan seperti ini mempunyai derajat putih yang lebih rendah daripada tepung pisang hasil
7
pengeringan sinar matahari. Hal ini karena pengeringan pisang dengan alat pengering tidak mengalami bleaching (Waspodo dan Muhajir, 1990). Masalah utama yang sering timbul saat pembuatan tepung pisang menurut Hermawan (1982) adalah timbulnya warna coklat pada tepung pisang yang dihasilkan. Timbulnya warna coklat ini menurut Winarno (2002) merupakan hal yang biasa pada pengolahan buah dan sayur. Terbentuknya warna coklat (browning) pada buah dan sayur menurut Winarno (2002) disebabkan oleh dua hal yaitu karena pencoklatan akibat adanya aktifitas enzim (enzymatic browning) dan pencoklatan yang disebabkan bukan oleh aktifitas enzim (nonenzymatic browning). Enzymatic browning disebabkan oleh adanya aktifitas enzim fenolase atau polifenolase yang mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa fenol dan polifenol menjadi keton. Reaksi lanjutan dari reaksi tersebut akan menghasilkan senyawa yang dapat membentuk berwarna coklat (Whistler dan Daniel, 1985). Nonenzymatic browning dibedakan atas tiga macam reaksi yaitu karamelisasi, reaksi Maillard dan pencoklatan akibat vitamin C. Karamelisasi terjadi apabila bahan pangan berkadar gula cukup tinggi dipanaskan pada suhu tinggi melebihi titik lebur gula. Hal ini mengakibatkan dehidarsi gula dan terbentuklah aldehid aktif yang dapat menyebabkan warna coklat. Reaksi Maillard terjadi apabila gugus gula pereduksi bereaksi dengan gugus amino pada protein. Reaksi ini membentuk basa Schiff melalui reaksi Amadori dan menghasilkan senyawa yang dapat membentuk warna coklat. Pencoklatan akibat vitamin C terjadi akibat adanya dekomposisi vitamin C (asam askorbat) menjadi fulfural dan kemudian berpolimerasi sehingga membentuk warna coklat (Winarno, 2002). Pencoklatan pada tepung pisang merupakan sesuatu yang harus dihindari karena akan berpengaruh pada penampakan dan kesukaan konsumen. Hal ini sesuai pendapat Kandov (1993) yang menyatakan bahwa ciri-ciri tepung pisang yang bermutu baik adalah warnanya putih, memiliki rasa dan aroma yang khas, tahan disimpan selama 9 – 12 bulan, tidak ditumbuhi jamur dan bersih dari hewan serangga serta kadar air konstan sekitar 9-10%. Maka dari itu, diperlukan perlakuan yang dapat mengurangi atau mencegah terjadinya pencoklatan tersebut. Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pencoklatan di antaranya adalah
8
dengan blansir dan sulfurisasi. Blansir adalah proses perebusan bahan pangan dengan air panas atau uap panas. Blansir dapat mencegah pencoklatan dengan mekanisme menonaktifkan enzim penyebab pencoklatan yaitu enzim polifenolase. Enzim polifenolase ini merupakan suatu protein sehingga ketika diblansir akan mengalami denaturasi dan aktifitasnya sebagai enzim sudah tidak berfungsi lagi. Maka dari itu enzim ini sudah tidak bisa mengkatalisis reaksi oksidasi antara senyawa polifenol dengan oksigen (Sunarjono et al., 1989). Sulfurisasi adalah perlakuan bahan pangan dengan menggunakan sulfur atau sulfit. Sulfur yang digunakan dapat berupa sulfur dioksida ataupun dalam bentuk sulfit (sulfit, bisulfit dan metabisulfit). Perlakuan ini dapat berupa perendaman dalam larutan sulfit atau dengan penyemprotan uap sulfur dioksida. Sulfit dapat mencegah pencoklatan dengan mekanisme berikatan dengan jembatan sulfida pada enzim penyebab pencoklatan sehingga enzim tidak mampu lagi berfungsi sebagai enzim dan pencoklatan pun dapat dicegah (Winarno, 2002). Selain itu sulfit juga dapat bereaksi dengan gugus gula pereduksi sehingga reaksi Maillard dapat dicegah dan pencoklatan pun dapat dihindari (Zhao dan Chang, 1995). Pengolahan pisang menjadi tepung pisang mempunyai beberapa keuntungan antara lain tepungnya dapat disimpan lama, memudahkan dalam penambahan zat gizi seperti fortifikasi vitamin dan mineral, dapat dipasarkan dengan jangkauan lebih luas dan dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan lainnya seperti makanan bayi dan berbagai macam jenis roti dan kue (Widowati, 2002).
C. β-KAROTEN Karotenoid adalah poliisoprenoid yang dibentuk dengan penggabungan isoprene yang larut dalam lipid. Karotenoid dibagi atas dua kelompok yaitu karoten yang larut di dalam petroleum eter dan hexan, xanthofil yang larut dalam pelarut polar seperti alkohol. Karoten adalah salah satu dari kelompok pigmen karotenoid yang berwarna merah atau kuning yang larut dalam lemak. Senyawa ini terdapat dalam kloroplas bersama dengan klorofil terutama pada permukaan atas daun. β-karoten merupakan salah satu jenis pigmen karotenoid. β-karoten terdapat dalam tanaman yang berwarna merah sampai kuning dan terdapat
9
bersama – sama dengan klorofil. β-karoten banyak terdapat pada wortel, labu, lada dan pisang (Muchtadi, 2001). Secara kimia, β-karoten mempunyai struktur berupa rantai alifatik simetris yang terdiri dari 18 atom karbon dan memiliki ikatan rangkap secara kontinyu. Pada rantai alifatik terdapat empat gugus metil dan pada kedua sisi alifatik terdapat cincin yaitu berupa cincin beta-ionon (delta5-1, 1,5 trimetil-siklo-heksan) (Andarwulan dan Koswara, 1989). Struktur kimia β-karoten dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia β-karoten
β-karoten dapat dikristalkan dalam bentuk kristal berbentuk prisma dan berwarna merah dengan titik lebur 1840C. β-karoten juga dapat menyerap spektrum cahaya, di mana panjang gelombang maksimumnya sangat bergantung pelarutnya. Hal ini diduga karena adanya perubahan dalam keseimbangan isomer cis-trans. Misalnya dalam pelarut karbon disulfida (CS2) panjang gelombang maksimumnya adalah 520 nm, 484 nm dan 452 nm sedangkan dalam benzena panjang gelombang maksimumnya adalah 485 nm, 452 nm dan 424 nm (Andarwulan dan Koswara, 1989). Dari segi kesehatan, β-karoten merupakan prekursor vitamin A (provitamin A) yaitu senyawa yang dapat diubah menjadi vitamin A. β-karoten merupakan provitamin A yang sangat potensial karena tiap molekul β-karoten dapat diubah menjadi 2 vitamin A. Maka dari itu β-karoten juga dapat berperan dalam penglihatan/mata, permukaan epitel serta dapat membantu proses pertumbuhan. Bila asupan β-karoten dalam tubuh kurang maka ketersediaan vitamin A juga dapat berkurang sehingga dapat menyebabkan gejala- gejala penyakit kekurangan vitamin A seperti rabun senja, xeroftalmia, noda bitot dan keratomalasia (Winarno, 2002).
10
Selain sebagai provitamin A, β-karoten juga dapat berperan sebagai antioksidan hal ini karena adanya ikatan rangkap yang berselang seling pada rantai alifatiknya sehingga senyawa ini mampu beresonansi terhadap adanya radikal bebas (Fellows, 2000). Sesuai fungsinya sebagai antioksidan, maka βkaroten dapat mencegah terjadinya kanker akibat adanya radikal bebas, mencegah penyakit jantung, darah tinggi dan diabetes (Astawan dan Andreas, 2008). Kekuatan antioksidan β-karoten sangat besar pada tekanan O2 rendah, pada tekanan O2 tinggi senyawa ini dapat bersifat prooksidan. Menurut Gordon (1990), β-karoten berfungsi menurunkan senyawa radikal tubuh pada tekanan parsial oksigen rendah, sehingga senyawa ini dapat melengkapi sifat
antioksidan
tokoferol yang efektif pada konsentrasi tinggi. β-karoten stabil terhadap panas, asam dan alkali. Akan tetapi mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik. Pada kondisi tanpa oksigen, bila dipanaskan β-karoten akan berubah terjadi perubahan bentuk dari isomerisasi cis-trans menjadi neo β-karoten. Pada suhu yang lebih tinggi βkaroten akan terpecah menjadi beberapa bentuk hidrokarbon aromatik terutama ionen. Pada kondisi ada oksigen, kerusakan β-karoten terjadi karena dipicu oleh adanya cahaya, enzim dan ko-oksidasi dengan hidroperoksida lemak. Oksidasi kimiawi β-karoten akan menghasilkan 5,6 epoksida yang kemudian berubah menjadi isomernya yaitu 5,8 epoksida yang merupakan mutakrom (Andarwulan dan Koswara, 1989). Namun demikian, kerusakan β-karoten dalam bahan pangan dapat diminimalkan dengan cara pengurangan kontak dengan udara dan suhu tinggi. Penambahan antioksidan atau dengan cara meng-coating bahan pangan tersebut dapat meminimalkan kontak dengan oksigen di udara, sehingga dapat mengurangi kerusakannya (Goodwin, 1980).
D. SULFIT Sulfit merupakan salah satu zat pengawet makanan dan dapat digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na, atau K-sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak terdisosiasi dan terutama
11
terbentuk pada pH dibawah 3. Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba, bereaksi dengan asetaldehida membentuk senyawa yang tak dapat difermentasi oleh enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfida enzim dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksisulfonat yang dapat menghambat pernafasan (Winarno, 2002). Ada beberapa macam spesies sulfit, yaitu sulfur dioksida (SO2), sulfit (SO32-), bisulfit (HSO3-) dan metabisulfit (S2O52-). masing-masing
spesies
tersebut
berada
dalam
Di dalam larutan berair, kesetimbangan.
Reaksi
kesetimbangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
SO2 + H2
[H2SO3]
[H2SO3]
HSO3- + H+
HSO3-
SO32- + H+
2 HSO3-
S2O52- + H2O
Gambar 3. Reaksi Kesetimbangan Sulfit
Di dalam pengolahan pangan, sulfit selain sebagai pengawet dapat juga digunakan untuk menghambat pembentukan warna coklat (reaksi browning) baik enzimatis maupun non enzimatis pada proses pengolahan buah dan sayur. Penghambatan reaksi browning enzimatis menurut Wong (1989), melalui dua mekanisme yaitu mereduksi ikatan disulfida pada enzim dan mereduksi senyawa intermediet (o-quinon) hasil oksidasi enzim polifenolase. Dengan diikatnya jembatan sulfida pada enzim, menyebabkan enzim menjadi tidak aktif sehingga tidak dapat mengkatalisis reaksi pencoklatan. Dan dengan direduksinya senyawa intermediet (o-quinon) maka senyawa tersebut tidak dapat berpolimerisasi membentuk senyawa berwarna coklat (Wong, 1989). Mekanisme ini dapat dilihat pada Gambar 4.
12
(a)
O
O
O
H
O-
O
H+
HSO
H+
R (b)
R
R1 – S – S – R2
SO3
R
SO3
+ HSO3- R1SH + R2 – S – SO3-
Gambar 4. (a). Mekanisme penghambatan sulfit terhadap senyawa intermediet hasil oksidasi enzim polifenolase (o-quinon). (b). Mekanisme penghambatan sulfit terhadap jembatan sulfida enzim polifenolase.
Mekanisme penghambatan reaksi browning nonezimatis adalah dengan cara berikatan dengan gugus gula pereduksi
(Zhao dan Chang, 1995) dan
senyawa intermediet berupa 3-deoxysulose dan 3,4-dideoxysulos-3-ene (Wong, 1989). Gugus gula pereduksi yang telah berikatan dengan sulfit tidak dapat berikatan dengan gugus amin dari protein. Sehingga reaksi Maillard dapat dicegah. Sedangkan kedua senyawa intermediet tersebut merupakan senyawa intremediet dalam reaksi Maillard sehingga dengan dihambatnya kedua senyawa ini maka pencoklatan dapat dicegah. Mekanisme penghambatan ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Mekanisme Penghambatan Reaksi Maillard Oleh Sulfit
Menurut Zhao dan Chang (1995), sulfit dapat menghambat pemecahan βkaroten, mencegah oksidasi lemak dan mengurangi perubahan warna. Mekanisme
13
ini melalui penghambatan terhadap enzim hidroperoksidase atau enzim katalase yang mampu mengoksidasi β-karoten dan juga melalui reduksi terhadap oksigen. Aplikasi penambahan sulfit dalam pangan sangat ketat, meskipun menurut FDA sulfit termasuk bahan tambahan pangan yang dikategorikan sebagai GRAS (Generally Recognized As Safe), tetapi pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen tertentu, terutama mereka yang menderita asma (Zhao dan Chang, 1995). Batas maksimun sulfit dalam bahan pangan sangat bervariasi tergantung kebijakan masing-masing negara. Menurut FDA batas maksimun penggunaan sulfit pada bahan pangan sebesar 2000 – 3000 ppm, sedangkan menurut Furia (1972), batas penggunaan sulfit maksimal 500 ppm.
E. BLANSIR Blansir merupakan salah satu proses pemanasan dalam pengolahan bahan pangan. Proses ini bermanfaat untuk menonaktifkan enzim, mengurangi jumlah mikroba awal, melembutkan tekstur dan membuat warna semakin cerah. Blansir sering diterapkan pada bahan pangan sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Tujuan proses blansir tergantung pada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan. Sebagai contoh blansir sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk menonaktifkan enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, citarasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan (Buckle et al., 1985). Walaupun tujuan proses blansir tergantung pada perlakuan berikutnya, ukuran yang sering digunakan untuk menilai kecukupan proses blansir, tanpa melihat proses berikutnya, adalah ketidakaktifan enzim (Harris dan Karnas, 1989). Pada sebagian besar pengolahan buah dan sayur, enzim target dari proses blansir adalah enzim polifenolase. Hal ini karena enzim ini merupakan enzim penyebab warna coklat. Enzim polifenolase ini apabila terekspos oksigen dapat mengkatalisis terjadinya reaksi antara senyawa polifenol dengan oksigen yang dapat membentuk senyawa quinon yang berwarna coklat. Enzim ini tidak tahan panas sehingga dengan adanya blansir maka enzim ini menjadi nonaktif. Namun, biasanya kecukupan blansir ditentukan oleh nonaktifnya enzim katalase, hal ini karena enzim katalase merupakan enzim yang paling tahan panas. Sehingga bila
14
enzim ini sudah nonaktif maka enzim – enzim lainnya dapat dipastikan sudah nonaktif (Fellows, 2000) Keefektifan proses blansir tergantung pada beberapa faktor yaitu tipe bahan pangan, ukuran bahan pangan, suhu blansir dan metode pemblansiran. Faktor – faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Tipe bahan pangan yang keras, proses blansir yang efektif adalah dengan cara dilakukan pengecilan ukuran sampai batas tertentu, suhu blansir yang digunakan cukup tinggi dan menggunakan metode blansir air panas (Fellows, 2000) Pencegahan terjadinya warna coklat pada bahan pangan merupakan hal yang sangat penting karena warna coklat pada bahan pangan dapat menjadikan penampakan bahan pangan kurang menarik dan kurang disukai konsumen. Maka dari itu proses blansir sangat penting untuk dilakukan. Proses blansir selain dapat mencegah terjadinya warna coklat pada bahan pangan, juga dapat menyebabkan bahan menjadi lebih cerah karena terjadi penghilangan udara dan debu pada permukaan yang akan menyebabkan perubahan panjang gelombang cahaya yang dipantulkan (Fellows, 2000). Namun, proses blansir juga dapat menyebabkan kehilangan zat gizi seperti vitamin, karbohidrat, protein dan mineral. Hal ini karena selama proses blansir, zat gizi tersebut larut dalam air yang digunakan untuk blansir. Proses blansir dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan air panas dan uap panas. Kedua cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Blansir dengan air panas, biasanya pada suhu 90 0C – 100 0C selama 5 menit, mempunyai kelebihan berupa distribusi/transfer panas yang lebih merata sehingga bahan pangan dapat mencapai kecukupan blansir secara seragam. Sedangkan kekurangannya adalah larutnya komponen gizi larut air dalam air blansir sehingga akan menurunkan kandungan gizi bahan pangan. Blansir dengan uap panas mempunyai kelebihan berupa minimalnya kehilangan komponen gizi larut air, sehingga kandungan gizi bahan pangan tersebut tidak banyak berubah (Fellows, 2000).
15
F. CABINET DRYER Pengering kabinet merupakan salah satu jenis pengering yang berbentuk kotak. Pengering ini mengeringkan bahan dengan cara meniupkan udara panas ke dalam pengering. Udara panas ini dihasilkan oleh elemen pemanas yang ditiup oleh blower menuju bahan yang akan dikeringkan. Blower berfungsi untuk meratakan transfer panas dari elemen pemanas ke semua penjuru bagian pengering kabinet. Blower dan elemen pemanas biasanya terletak dibagian salah satu ujung pengering kabinet. Bahan yang dikeringkan diletakkan di atas rak-rak yang berlubang kecil-kecil (tray). Bahan yang akan dikeringkan harus diiris tipis agar mempercepat proses pengeringan (Fellows, 2000).
Gambar 6. Cabinet Dryer
Pengering ini digunakan untuk skala produksi kecil atau untuk skala pilot plan. Pengering ini tergolong cukup murah dan fleksibel untuk mengeringkan berbagai macam bahan. Bahan yang dikeringkan biasanya berupa buah, sayur dan umbi. Tetapi pengering ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah rendahnya kontrol dan kurang seragamnya produk kering yang dihasilkan. Hal ini karena meskipun sudah memakai blower untuk meratakan transfer panas, tetap saja bahan yang terdekat dengan elemen pemanas akan menerima panas lebih tinggi sehingga akan lebih cepat kering. Apabila tidak dikontrol dengan baik maka produk yang dihasilkan kurang seragam keringnya dan bahkan bisa terjadi kegosongan. Maka dari itu diperlukan adanya penukaran posisi yang berulang ulang dari masing-masing rak (Fellows, 2000).
16
G. DRUM DRYER Pengering drum digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk pasta atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap panas atau medium panas lainnya (Brennan, 1974). Pengering drum bekerja berdasarkan prinsip pengeringan produk pasta yang dikenakan pada permukaan silinder dengan kecepatan putarannya dapat diatur. Produk pasta menempel pada permukaan silinder perlahan-lahan akan mengering. Setelah mencapai tiga perempat putaran, produk kering tersebut dikikis oleh pisau pengikis sehingga terpisah dalam bentuk lapisan film (Arsdel dan Copley, 1964).
Gambar 7. Drum Dryer
Secara umum ada dua tipe pengering drum yang digunakan dalam industri pangan, yaitu drum tunggal dan drum ganda. Pada drum tunggal pengeringan dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan yang akan dikeringkan. Sedangkan pada drum ganda, produk yang akan dikeringkan dimasukkan di bagian atas antara dua bagian drum yang puncaknya paralel. Ketebalan film yang dihasilkan diatur dengan mengatur jarak antar kedua drum. Bahan yang akan dikeringkan harus dalam bentuk pekat (Heldman dan Singh, 1981). Pengeringan drum sangat fleksibel dalam operasi dan mewakili satu tipe peralatan proses dimana semua variabel dapat diolah secara mandiri. Ada empat variabel yang terlibat dalam operasi pengering drum yaitu tekanan uap dan suhu medium pemanas untuk mengatur suhu permukaan drum, kecepatan putaran untuk menentukan waktu kontak antara film dengan permukaan drum panas, jarak antar
17
drum yang akan menentukan ketebalan film yang terbentuk dan kondisi bahan pangan misalnya konsentrasi, karakteristik fisik dan suhu larutan (Moore, 1995). Keuntungan penggunaan pengering drum adalah kecepatan pengeringan tinggi, penggunaan panas yang ekonomis, dapat memperbaiki daya cerna, mempengaruhi sanitasi dan cocok untuk mengeringkan larutan yang terlalu besar partikelnya untuk dikeringkan dengan spray dryer (Brennan, 1974). Pengering drum ini biasanya digunakan untuk memproduksi flakes kentang, sereal pratanak, molases, soup kering, puree buah dan whey (Fellows, 2000).
18
III. METODOLOGI
A. BAHAN Bahan yang digunakan berupa pisang Raja Bulu yang didapatkan dari kebung pisang di Sukabumi. Pisang Raja Bulu yang digunakan adalah pisang Raja Bulu dengan tingkat ketuaan tiga perempat penuh (mengkel) yaitu kira – kira buah pisang yang berumur 80 hari dari saat mulai berbunga. Bahan lainnya berupa air, Na-metabisulfit dan bahan-bahan untuk analisis.
B. ALAT Pisau, timbangan, panci, kompor, nampan, blender, baskom, pengayak, drum dryer dan cabinet dryer, disc mill, HPLC, timbangan, cawan porselin, cawan aluminium, serta alat–alat gelas.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. 1. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis proksimat pada pisang Raja Bulu segar dengan tingkat ketuaan tiga perempat penuh (umur 80 hari dari saat mulai berbunga) meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat, dan analisis kadar βkaroten. Penelitian pendahuluan ini digunakan untuk mengetahui karakteristik pisang Raja Bulu yang digunakan dan akan digunakan sebagai data awal untuk mengetahui pengaruh proses pembuatan tepung pisang terhadap komposisi kimia pisang. Selain itu, juga dilakukan trial and eror mengenai proses pembuatan tepung pisang agar dihasilkan proses pembuatan
tepung
pisang yang baik. Trial and eror ini meliputi cara pengupasan, penentuan alat perajang, pengaruh blansir dan sulfurisasi. Hasil dari trial dan eror ini akan digunakan sebagai acuan proses pembuatan tepung pisang pada penelitian utama.
19
2. Penelitian Utama Penelitian utama yang akan dilakukan dibagi dalam dua tahap yaitu penelitian tahap I dan penelitian tahap II. a. Penelitian Tahap I Penelitian tahap I dilakukan untuk memilih alat pengering yang tepat sebagai pengering pada pembuatan tepung pisang Raja Bulu. Alat pengering yang digunakan berupa pengering drum dryer dan pengering kabinet (cabinet dryer). Tepung pisang yang dihasilkan dianalisis derajat putih. Alat pengering yang mampu menghasilkan tepung pisang Raja Bulu dengan derajat putih yang tinggi akan dipilih dan digunakan pada penelitian tahap II. Pembuatan tepung pisang pada penelitian tahap I adalah sebagai berikut : Proses
pembuatan
tepung
pisang
diawali
dengan
pencucian untuk menghilangkan kotoran. Kemudian pisang dikupas sehingga dihasilkan daging pisang. Daging pisang kemudian dipotong – potong melintang menggunakan alat perajang dengan ketebalan potongan sekitar 2 mm. Potongan pisang ini kemudian diblansir dengan air panas pada suhu 80 0C selama 5 menit. Lalu direndam ke dalam larutan Na-metabisulfit dengan konsentrasi 0 ppm dan 2000 ppm selama 5 menit. Kemudian dicuci dan ditiriskan. Setelah itu, dibedakan perlakuan untuk jenis pengering yang digunakan. Perlakuan dengan pengering kabinet, potongan pisang yang sudah ditiriskan langsung ditata ke atas tray kemudian dikeringkan dengan kabinet pada suhu 55 0C selama 16 jam. Sedangkan untuk drum dryer, setelah potongan pisang ditiriskan, dilanjutkan dengan penghancuran pisang dengan blender menjadi bentuk puree. Hal ini karena karakteristik pengering drum yang mengharuskan bahan yang akan dikeringkan harus dalam bentuk pasta (Heldman dan Singh, 1981). Kemudian puree dikeringkan dengan drum dryer pada suhu 80 0C dengan kecepatan putar
20
drum 6 rpm dan tekanan 3 bar. Pisang kering (sawut) hasil kabinet dan serpihan pisang hasil drum dryer kemudian dihancurkan untuk dibuat menjadi tepung. Tepung kemudian diayak dengan pengayak 80 mesh, sehingga didapatkan tepung pisang halus.
Dipotong melintang tebal 2 mm
b. Penelitian Tahap II
Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Tepung Pisang pada Penelitian Tahap I 21
b. Penelitian Tahap II Pada penelitian tahap II, dilakukan pembuatan tepung pisang Raja Bulu dengan perlakuan sulfurisasi dan dikeringkan dengan alat pengering yang dipilih berdasarkan hasil penelitian tahap I. Proses pembuatan tepung pisang pada penelitian tahap II, hampir sama dengan pembuatan tepung pisang pada penelitiaan tahap I. Akan tetapi pada penelitian tahap II, ada perlakuan tambahan yaitu berupa sulfurisasi dengan berbagai variasi konsentarsi Na-metabisulfit. Konsentrasi larutan Na-metabisulfit yang digunakan adalah 150 ppm, 300 ppm, 450 ppm, 600 ppm dan 750 ppm. Perendaman dilakukan selama 5 menit. Dan sebagai kontrol digunakan perlakuan tanpa perendaman dalam larutan Na-metabisulfit. Pisang kemudian dicuci dan ditiriskan untuk mengurangi residu sulfit. Menurut Furia (1972) batas maksimum sulfur (sulfit) yang ada pada bahan yang dikeringkan adalah 500 ppm tetapi menurut SNI 01-3841-1995 maksimal sulfur (sebagai sulfit) pada tepung pisang adalah 10 ppm. Setelah pisang disulfurisasi, pisang diberi perlakuan pendahuluan sesuai dengan alat pengering terpilih berdasarkan hasil penelitian tahap I. Kemudian dikeringkan dengan alat pengering terpilih. Hasil pengeringan ini kemudian dihancurkan dengan disc mill lalu diayak dengan ayakan 80 mesh. Sehingga diperoleh tepung pisang halus. Tepung pisang yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar β-karoten, derajat putih dan residu sulfit. Kemudian tepung pisang terbaik dikarakterisasi yang meliputi analisis proksimat, rendemen, kadar serat, kadar pati, viskositas, densitas kamba, kelarutan dalam air dingin, dan daya serap air. Karakterisasi ini sangat penting karena dapat memberikan informai tentang tepung pisang
yang
dihasilkan.
Sehingga
memudahkan
dalam
pemanfaatannya sebagai bahan baku dari produk pangan tertentu
22
dan memberikan gambaran tentang produk pangan yang cocok dibuat dari tepung pisang ini serta memberikan gambaran dalam penanganan selama distribusi dan penyimpanan.
Dipotong melintang tebal 2 mm
Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Tepung Pisang pada Penelitian Tahap II 23
D. METODE ANALISIS
1. Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995) Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 3-4 gram contoh dimasukan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105oC selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir.
Kadar air =
(berat awal contoh − berat akhir contoh) X 100% berat awal contoh
2. Kadar Protein, Metode Mikro Kjehldal (AOAC, 1995) Sebanyak 0.1-0.25 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 mg HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4. Kemudian contoh dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan jernih. Sampel didinginkan, lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjehldahl dicuci dengan air 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cuciannnya dimasukan kedalam alat destilasi dan ditambahkan 8 – 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Di bawah kondensor diletakan Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 3 % dan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2 % dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3 kemudian isi erlenmeyer diencerkan sampai 50 ml. Lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi. Titrasi dihentikan sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal yang sama dilakukan pula terhadap blanko. Kadar protein dihitung dengan persamaan berikut ini :
24
%N =
(ml HClcontoh− ml HCLblanko) X N HCl X 14.007 X100% mg Contoh
% Protein = % N x faktor koreksi 3. Kadar Abu, Metode Pengabuan Kering (AOAC,1995) Pengukuran kadar abu ditentukan dengan metode tanur. Cawan porselin dipanaskan terlebih dahulu dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang kemudian dibakar di dalam cawan porselin sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai berwarna putih dan berat konstan. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar abu =
berat abu X 100% berat contoh
4. Kadar Lemak, Metode Sokhlet (AOAC, 1995) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi sokhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dibungkus dengan kertas saring, kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut di masukan ke dalam alat ekstraksi sokhlet. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100-105oC hingga mencapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak ditimbang. Berat lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut : % Lemak = berat lemak (g) x 100% berat contoh (g)
25
5. Kadar Karbohidrat (By Different) Perhitrungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by different dengan persamaan : Kadar karbohidrat=100%-(% air+%abu+%protein+% lemak) 6. Kadar Pati , Metode Lane – Eynon a. Persiapan Contoh Masukkan sebanyak 2-5 gram contoh ke dalam gelas piala 250 ml. Tambahkan alkohol 80% sebanyak 50 ml dan diaduk selama 1 jam. Saring suspensi yang terbentuk dengan kertas saring dan cuci dengan air sampai volume filtrat 250 ml. Kemudian cuci residu yang ada dengan menggunakan 10 ml eter. Saring setiap pencucian dengan kertas saring. Cuci lagi residu yang ada dengan 150 ml alkohol 10%. Kemudian pindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam gelas piala dengan cara pencucian dengan 200 ml air. Tambahkan HCl 25% sebanyak 20 ml. Tutup suspensi residu di dalam gelas piala dengan pendingin balik (kondensor). Panaskan di atas penangas air sampai mendidih selama 2,5 jam. Dinginkan kemudian netralkan dengan larutan NaOH 45% dan masukkan ke dalam labu takar 500 ml secara kuantitatif. Tepatkan larutan sampai tanda tera dengan air destilata. Dan saring kembali larutan dengan menggunakan kertas saring. b. Penetapan Contoh Pipet sebanyak 10 ml larutan dari hasil persiapan contoh ke dalam erlenmeyer. Tambahkan ke dalam erlenmeyer tersebut 10 ml campuran Fehling A dan B dan 2-4 tetes metilen blue 0.2%. Panaskan campuran tersebut di atas hot plate magneric stirrer. Setelah larutan mendidih, segera titrasi dengan larutan gula standar sampai warna biru hilang. Kadar Pati ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
26
Kadar Pati (%) = 0.9 x (Vo – Vs) x [G] x Ts x F x 100 TxW Keterangan : Vo = Volume larutan glukosa standar untuk titrasi larutan Fehling (ml) Vs = Volume larutan glukosa standar untuk titrasi contoh (ml) [G] = Konsentrasi larutan glukosa standar (g/ml) Ts = Volume contoh total dari persiapan contoh (ml) T = Volume contoh yang diperlukan untuk titrasi (ml) W = Berat contoh (g) F = Faktor pengenceran
7. Kadar Serat Timbang 2-4 gram contoh kemudian ekstrak lemaknya dengan menggunakan soxhlet dengan pelarut petroleum eter. Pindahkan contoh yang sudah bebas lemak secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml. Tambahkan 0.5 gram asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes zat anti buih. Tambahkan ke dalam erlenmeyer 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Letakkan erlenmeyer di dalam pendingin balik. Didihkan contoh di dalam erlenmeyer selama 30 menit dengan sesekali digoyang – goyangkan. Setelah selesai saring suspensi dengan kertas saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih. Pencucian dilakukan hingga air cucian tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Pindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer kembali. Cuci kembali sisa residu di kertas saring dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali contoh selama 30 menit dengan pendingin balik sambil sesekali digoyang-goyangkan. Saring kembali contoh dengan kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%.
Cuci residu di
kertas saring dengan air mendidih kemudian dicuci dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring dalam kabinet 1100C sampai beratnya konstan. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar serat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar serat (%) = Berat serat x 100% Berat contoh 27
8. Kadar Beta Karoten Metode HPLC Sampel kering yang telah dihomogenkan ditimbang 2-5 gram lalu ditambahkan pelarut minyak. Minyak diekstrak dengan pelarut aseton selama semalam. Setelah minyak terekstrak, aseton diuapkan dengan vaccum evaporator. Kondisi selama pengekstrakan diusahakan agar terlindung dari cahaya. Lemak yang terekstrak dilarutkan dalam pelarut THF : Acetonitril (60 : 40). Kemudian disaring dengan milliphone 0.5 mikron. Kemudian diinjek ke HPLC. Detektor yang digunakan adalag UV Detector pada panjang gelombang 554 nm. Kolom yang digunakan jenis C8 dengan laju alir 1 ml/menit. Perhitungan kadar β-karoten adalah sebagai berikut : Kadar β-karoten = Luas area contoh x konsentrasi standar x FP Luas area standar FP = Faktor Pengenceran
9. Total Residu Sulfit (SII 1422-85/SNI 06-2138-1990) Sejumlah 50 ml larutan Iod 0,1 N, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup basah, dilarutkan ± 0,2 gram contoh yang ditimbang teliti ke dalamnya, kemudian didiamkan selama 5 menit. Sejumlah 2 ml HCl ditambahkan ke dalam Erlenmeyer. Kelebihan Iod dititrasi menggunakan larutan natrium thiosulfat 0,1 N. Titrasi dihentikan ketika tebentuk warna kuning pucat. Selanjutnya ditambahkan amilum (0,5%) kemudian titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Kadar Na2S2O5 dalam contoh dapat dihitung dengan perhitungan sebagai berikut : Persentase Na2S2O5 = Kadar Na2S2O5 (ppm) = persentase Na2S2O5 x S Keterangan : 0.004753 = berat setara Na-thiosulfat dalam 1 ml larutan Iod 0,1 N (g) V1
= volume larutan Iod 0.1 N (ml)
28
10. Rendemen a. Rendemen daging pisang = Daging Pisang Pisang Utuh b. Rendemen tepung pisang = Tepung Pisang Pisang Utuh
x 100%
x 100%
11. Densitas Kamba (Prasanappa, et al. 1972) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur 100 ml. Sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur sampai volume 100 ml kemudian ditimbang. Bobot gelas ukur dan sampel dikurangi bobot gelas ukur merupakan bobot sampel. Densitas Kamba (g/ml) = Bobot Sampel (g) 100 ml 12. Kekentalan (AOAC, 1995) Pengukuran kekentalan dilakukan dengan menggunakan Brookfield viscometer. Sampel ditimbang sebanyak 20 gram kemudian ditambahkan air 200 ml. Diaduk hingga homogen sambil dipanaskan menggunakan plat pemanas pada suhu 100 0C. Lalu diukur kekentalannya menggunakan spindle no. 5 dengan kecepatan 100 rpm. Nilai viskositas akan terbaca pada alat dengan satuan cp (centipoise).
13. Daya Serap Air (Sathe dan Salunkhe, 1981) Sebanyak 1 gram sampel dicampur dengan 10 ml air destilata dan diaduk selama 30 detik. Campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Selanjutnya campuran tersebut disentrifuse dengan kecepatan 2000 ppm selama 30 menit. Volume supernatan diukur. Daya serap air dinyatakan dalam g/g dan dihitung dengan rumus sebagai berikut : Daya Serap Air = Air yang terserap (g) Berat contoh (g)
29
14. Kelarutan dalam Air (Sathe dan Salunkhe, 1981) Sebanyak 0,75 g sampel ditambahkan 150 ml air destilata. Kemudian disaring dengan corong Buchner.
Kertas saring yang
0
digunakan dikeringkan dulu pada suhu 100 C selama 30 menit kemudian ditimbang. Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan pada kabinet suhu 100 0C selama 3 jam kemudian ditimbang.
Kelarutan dinyatakan dalam % dan dihitung dengan rumus : Kelarutan (%) = Sampel yang terserap (g) x 100 % Berat kering sampel (g) 15. Analisis Warna Hunter dengan Chromameter Kalibrasi alat dengan cara menekan tombol ‘CALIBRATE’. Masukkan nilai L = 0, a = 0 dan b = 0. Letakkan measuring head pada plat kalibrasi berwarna putih lalu tekan tombol pada measuring head atau tekan tombol ‘MEASURE’. Tunggu sampai tiga kali pengukuran dan measuring head jangan digeser sampai pengukuran selesai. Pengukuran sampel dilakukan dengan cara meletakkan measuring head pada sampel kemudian tekan tombol pada measuring head. Tunggu sampai tiga kali pengukuran. Kemudian lakukan hal yang sama untuk tiga titik berbeda.
16. Derajat Putih Hasil pengukuran warna dengan Chromameter dikonversi ke derajat putih dengan rumus : Derajat Putih (%) = 100 – [(100 – L)2 + a2 + b2] 0,5
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakteristik Bahan Baku Pada penelitian pendahuluan, pisang Raja Bulu segar dilakukan berbagai macam analisis seperti analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat dan kadar β-karoten. Analisis ini sangat diperlukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku pisang Raja Bulu yang digunakan serta dapat digunakan sebagai data awal untuk mengetahui pengaruh perlakuan penelitian terhadap komposisi kimia pisang Raja Bulu. Hasil analisis kimia dari pisang Raja Bulu mengkel dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Pisang Raja Bulu Mengkel Kandungan Kimia Persentase (% b/b) Protein 1.17 Lemak 0.37 Karbohidrat 36.83 Air 60.7 Abu 0.93 β-karoten 111 ppm 2. Trial and Eror Proses Pembuatan Tepung Pisang Pada penelitian pendahuluan juga dilakukan berbagai macam trial and eror proses pelaksanaan produksi tepung pisang, agar didapatkan proses pembuatan tepung pisang yang baik, cocok, cepat, tepat dan efisien. Trial and eror ini diawali dengan studi literatur dan mencari informasi dari berbagai sumber. Kemudian dilakukan uji coba di bangsal pengolahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Trial and eror ini meliputi proses pengupasan kulit pisang, seleksi alat perajang, proses blansir dan proses sulfurisasi. Hasil dari trial and eror ini akan digunakan sebagai acuan proses pembuatan tepung pisang pada penelitian utama. Menurut Prabawati et al. (2009), untuk memudahkan pengupasan kulit pisang pada pembuatan tepung pisang dari pisang yang mengkel dapat dilakukan
31
dengan cara merebus/mengukus terlebih dahulu pisang utuh. Setelah dingin kemudian pisang dikupas. Perebusan/pengukusan ini bertujuan
untuk
mengurangi getah dan memudahkan dalam pemgupasan. Cara pengupasan seperti ini ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus direbus/dikukus dulu sehingga untuk mengupas harus menunggu dingin terlebih dulu. Selain itu kapasitas perebusan/pengukusan cukup kecil dan terbatas. Perebusan juga dapat menyebabkan tekstur daging pisang jadi lembek sehingga sulit dan hancur saat dirajang. Maka dari itu, metode pengupasan tersebut tidak digunakan. Cara pengupasan yang digunakan yaitu dengan mengupas langsung kulit pisang tanpa melalui perebusan/pengukusan terlebih dahulu. Cara pengupasan tersebut adalah dengan menyayat kulit pisang secara membujur dari pangkal ke ujung pisang. Kulit pisang disayat sampai menembus daging pisang, kemudian belahan tersebut dibuka dengan tangan dan dikupas sampai lepas dari daging pisang. Cara ini lebih cepat dan tidak menimbulkan adanya getah yang menempel pada daging pisang. Setelah pisang dikupas, dilanjutkan proses perajangan menjadi bentuk chips. Perajangan ini bertujuan untuk memperluas permukaaan daging pisang yang akan dikeringkan sehingga dapat mempercepat proses pengeringan. Semakin tipis chips daging pisang maka akan semakin luas permukaan daging pisang yang akan kontak dengan alat pengering sehingga akan kering lebih cepat. Ketebalan chips hasil rajangan harus seragam agar kecepatan proses pengeringan dapat seragam maka dari itu dibutuhkan alat perajang yang dapat menghasilkan ketebalan yang seragam. Hasil rajangan dari berbagai alat perajang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Rajangan Berbagai Alat Perajang Alat Perajang
Keseragaman
Warna
Pisau
Tidak seragam
Putih kekuningan
Slicer
Seragam
Kehitaman
Perajang wortel
Seragam
Putih kekuningan
32
Dari berbagai alat perajang yang digunakan dalam penelitian ini (pisau, slicer dan perajang wortel), ternyata perajang wortel dapat menghasilkan ketebalan chips yang seragam dan chips yang dihasilkan berwarna bagus (tidak hitam karena getah). Alat pisau menghasilkan ketebalan yang tidak seragam tetapi warna chipsnya cukup bagus. Sedangkan slicer, menghasilkan ketebalan yang seragam tetapi warna chips menjadi kehitam-hitaman karena terkena getah. Berdasarkan hasil tersebut maka perajang wortel dipilih sebagai alat perajang pada pembuatan tepung pisang. Trial and eror selanjutnya adalah proses blansir dan sulfurisasi. Hasil trial and eror proses blansir dan sulfurisasi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Trial and eror proses blansir dan sulfurisasi Jenis Teknik Pengolahan A B C D
Sebelum dikeringkan Daging Luar Biji Putih Agak Hitam Kekuningan Kuning Hitam Putih Putih Kekuningan Kekuningan Putih Putih
E
Kuning, agak hitam
Hitam
F
Kuning
Hitam
Setelah dikeringkan Daging Luar Biji Hitam Hitam Hitam Hitam
Hitam Hitam
Putih berbintikbintik hitam Kuning Kehitaman
Hitam
Kuning, ada spot-spot hitam
Hitam
Hitam
Keterangan : A = Pisang kupas potong-potong tanpa blansir keringkan (550C, 6 jam) B = Pisang kupas potong-potong blansir (rebus, 800C, 5 menit) keringkan (550C, 6 jam) C = Pisang kupas potong-potong rendam air keringkan (550C, 6 jam) D = Pisang kupas potong-potong rendam Na-metabisulfit (1000 ppm, 5 menit) keringkan (550C, 6 jam) E = Pisang kupas potong-potong rendam Na-metabisulfit (1000 ppm, 5 menit) blansir (rebus, 800C, 5 menit) keringkan (550C, 6 jam) F = Pisang kupas potong-potong blansir (rebus, 800C, 5 menit) rendam Na-metabisulfit (1000 ppm, 5 menit) keringkan (550C, 6 jam)
Tabel 6 menunjukkan bahwa teknik pengolahan pisang dengan metode A, B, C dan D memberikan hasil yang kurang bagus karena irisan pisang kering (sawut) sebagian besar berwarna hitam. Hal ini akan membuat tepung pisang 33
yang dihasilkan akan berwarna hitam. Teknik pengolahan E dan F memberikan hasil yang cukup bagus, namun teknik F yaitu proses blansir kemudian sulfurisasi merupakan teknik pengolahan pisang terbaik. Hasil ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya perlakuan blansir dan sulfurisasi pada pengolahan tepung pisang, karena kedua proses tersebut dapat mencegah terbentuknya warna hitam akibat reaksi pencoklatan yang terlalu besar. Kalau dicermati lebih seksama, proses blansir berperan dalam pemunculan warna kuning pada daging pisang, hal ini dapat dilihat pada daging pisang yang mengalami blansir mempunyai warna kuning, sedangkan pada pisang tanpa perlakuan blansir dan pisang dengan sulfurisasi warna kuning tidak muncul. Warna kuning ini disebabkan oleh keluarnya β-karoten dari kloroplas (MacDougall, 2001). Proses sulfurisasi berperan dalam pencegahan terbentuknya warna hitam, hal ini terlihat pada pisang yang diberi perlakuan sulfurisasi ternyata menghasilkan warna putih. Sulfurisasi memberikan efek bleaching (pemucatan) pada pisang (Winarno, 2002). Kedua kombinasi perlakuan blansir dan sulfurisasi (teknik E dan F) menghasilkan warna sawut pisang yang cukup bagus yaitu kuning ada spot hitam. Namun pisang dengan perlakuan blansir kemudian sulfurisasi menghasilkan sawut pisang dengan warna yang lebih bagus daripada pisang dengan perlakuan sulfurisasi kemudian blansir. Tabel 6 juga menunjukkan bahwa semua teknik pengolahan pisang tidak bisa mencegah terbentuknya warna hitam dari biji pisang. Sebagian besar warna hitam yang terdapat pada sawut pisang merupakan warna hitam dari biji. Pada proses pengolahan, biji dapat dihilangkan sehingga dapat menghasilkan sawut pisang dengan warna yang cukup bagus. Namun hal tersebut tidak dilakukan karena akan mengurangi rendemen dan juga tidak efisien. Diharapkan dengan adanya perlakuan blansir dan sulfurisasi dapat mengurangi efek warna hitam yang ditimbulkan oleh biji.
34
B. PENELITIAN UTAMA 1. Penelitian Tahap 1 Penelitian tahap I ini dilakukan untuk menentukan alat pengering yang cocok untuk proses pembuatan tepung pisang. Alat pengering yang digunakan adalah pengering kabinet (cabinet dryer) dan pengering drum (drum dryer). Pengering kabinet yang digunakan adalah pengering yang ada di bangsal pengolahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Pengering drum yang digunakan adalah pengering drum yang berada di pilot plan PAU, IPB. Pada pengeringan dengan pengering kabinet, suhu yang digunakan adalah 55 0C dan dikeringkan selama 16 jam sampai chips pisang menjadi kering, dengan kadar air ± 10 %. Pengeringan dengan pengering drum, suhu yang digunakan adalah 80 0C dengan kecepatan putar drum sebesar 6 rpm. Selain perlakuan alat pengering, pada penelitian tahap I juga dilakukan perlakuan sulfurisasi dengan perendaman dalam larutan Na-metabisulfit selama 5 menit. Sulfurisasi dilakukan dengan konsentrasi Nametabisulfit sebesar 0 ppm dan 2000 ppm. Adapun proses pembuatan tepung pisang berdasarkan hasil pada penelitian pendahuluan.
Tabel 7. Pengaruh Alat Pengering dan Sulfurisai terhadap Derajat Putih dan Residu Sulfit Tepung Pisang Cabinet Dryer
Drum Dryer
0 ppm
2000 ppm
0 ppm
2000 ppm
Derajat Putih (%)
77,45
83,49
61.22
67.62
Residu Sulfit (ppm)
0,00
896
0,00
746
Tabel 7 menunjukkan bahwa derajat putih tepung pisang hasil pengering kabinet lebih tinggi daripada tepung pisang hasil pengering drum pada semua konsentrasi Na-metabisulfit (0 ppm dan 2000 ppm). Perbedaan derajat putih tepung pisang yang dihasilkan pada kedua alat pengering tersebut dipengaruhi oleh suhu pengeringan yang digunakan. Pada pengering kabinet, suhu pengeringan tidak terlalu tinggi (550C) sehingga karamelisasi lebih kecil. Pada pengering drum panas yang digunakan cukup tinggi (800C) sehingga lebih banyak
35
terjadi karamelisasi dan reaksi Maillard. Karamelisasi dan reaksi Maillard menyebabkan terjadinya warna coklat pada tepung pisang. Semakin banyak terjadi karamelisasi dan reaksi Maillard pada proses pengeringan maka semakin coklat warna tepung pisang. Selain pengaruh suhu, bentuk bahan yang dikeringkan juga mempengaruhi derajat putih tepung pisang. Bentuk bahan pada pengering kabinet berupa chips (irisan melintang dengan ketebalan 5 mm) sedangkan pada pengering drum, bentuk bahan berupa pasta. Bentuk chips mempunyai luas permukaan yang lebih kecil daripada luas permukaan bentuk pasta. Sehingga pada pengering kabinet, luas permukaan bahan yang kontak dengan permukaan pengering lebih kecil daripada luas permukaan bahan pada pengering drum. Sehingga karamelisasi dan reaksi Maillard lebih kecil dan warna tepung pisang yang dihasilkan mempunyai derajat putih besar. Berdasarkan hasil di atas maka alat pengering terpilih untuk digunakan sebagai alat pengering pada penelitian selanjutnya adalah pengering kabinet. Proses sulfurisasi mempengaruhi derajat putih. Tepung pisang dengan sulfurisasi 2000 ppm mempunyai derajat putih yang lebih tinggi daripada derajat putih pada tepung pisang tanpa sulfurisasi (0 ppm). Sulfurisasi dapat merusak enzim polifenolase sehingga pembentukan warna coklat dapat dicegah. Selain itu, sulfurisasi juga dapat mengurangi efek warna coklat/hitam yang disebabkan oleh biji pisang.
2. Penelitian Tahap II Penelitian tahap II dilakukan untuk untuk mengetahui pengaruh proses sulfurisasi terhadap kandungan β-karoten, derajat putih, residu sulfit dan warna. Kemudian dilakukan karakterisasi pada tepung pisang yang dihasilkan. Karakterisasi tersebut berupa analisis komposisi kimia dan analsisis fisik. Sulfurisasi ini dilakukan dengan cara perendaman dalam larutan Na-metabisulfit selama 5 menit. Konsentrasi yang digunakan adalah 0 ppm, 150 ppm, 300 ppm, 450 ppm, 600 ppm dan 750 ppm. Pemilihan konsentrasi ini didasarkan pada hasil penelitian tahap I yang menunjukkan residu sulfit pada perendaman Nametabisulfit 2000 ppm masih menyisakan residu sulfit sebesar 746 ppm -896 ppm.
36
Residu sulfit setinggi itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Maka dari itu penggunaan sulfit diturunkan.
a. Pengaruh Sulfurisasi Terhadap β-karoten, Derajat Putih, Residu Sulfit dan Warna.
1) β-karoten Kadar β-karoten pada tepung pisang Raja Bulu dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa tepung pisang dengan sulfurisasi 0 ppm (tanpa sulfurisasi) mempunyai kadar β-karoten yang paling tinggi yaitu sebesar 40,06 ppm. Sedangkan tepung pisang dengan kadar β-karoten terendah adalah tepung pisang dengan sulfurisasi 750 ppm yaitu sebesar 24.46 ppm.
Gambar 10. Kadar β-karoten Tepung Pisang Raja Bulu
Hasil ini menunjukkan bahwa kadar β-karoten tepung pisang tanpa perlakuan ( sulfurisasi 0 ppm) lebih tinggi dari semua kadar β-karoten tepung pisang dengan perlakuan sulfurisasi. Semakin tinggi konsentrasi sulfit semakin kecil kandungan β-karoten. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan sulfit mengakibatkan kerusakan β-karoten. Padahal menurut hasil penelitian Nutting et al. (1970) dan Zhao dan Chang (1995) disebutkan bahwa penambahan sulfit dalam proses pengeringan wortel dapat mempertahankan kandungan β-karoten. Sulfit berperan sebagai
37
antioksidan yang melindungi β-karoten dari oksidasi. Akan tetapi Wong (1989) menyatakan bahwa sulfit pada kondisi tertentu dapat mengkatalisis terjadinya kerusakan β-karoten. Kondisi tersebut apabila sulfit terdapat bersama-sama dengan ion Mn2+, O2 dan glycin. Mn2+ + O2 Mn3+
+ O2-
Mn3+ + SO32- Mn2+ + SO3β-karoten + O2- + H+ β-karoten β-karoten + SO3- β-karoten + O2
+ H2O2
β-karoten + H+ + SO32-
β-karoten –OO
β-karoten – OO produk hasil oksidasi Gambar 11. Mekanisme oksidasi β-karoten oleh sulfit
Hasil penelitian Wong (1989) menunjukkan bahwa reaksi kerusakan tersebut berlangsung cepat dan lebih dari 90% β-karoten rusak dalam satu menit. Berdasarkan penelitian Yang dan Peiser (1979), kerusakan β-karoten yang cepat dan cukup besar tersebut apabila semua komponen tersebut (sulfit, Mn2+, O2 dan glycin) tersedia. Namun apabila ada salah satu faktor yang tidak tersedia maka kerusakan β-karoten lebih kecil. Kerusakan β-karoten akibat kekurangan salah satu faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh komponen sistem Mn2+ dan glycin terhadap kerusakan betakaroten Komponen
% kerusakan betakaroten
Lengkap Tanpa Sulfit Tanpa Mn2+
94 0.1 2.2
Tanpa O2
2.7
Tanpa glycin
1
Ket: kondisi tersebut apabila Mn2+ > 50 ppm dan glycin > 20 mM 38
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini cenderung mengarah kepada hasil penelitian Yang dan Peiser (1979) yaitu sulfit mengkatalisis kerusakan β-karoten. Hal tersebut dapat terjadi meskipun dalam penelitian tidak ada penambahan ion Mn2+ dan glysin. Ion Mn2+ yang ada dimungkinkan berasal dari daging pisang karena menurut McCance dan Widdowson’s (2007), daging pisang mengandung ion Mn2+ sebesar 4 ppm. Ion Mn2+ dimungkinkan juga berasal dari bubuk Na-metabisulfit yang terkotori oleh ion Mn2+. Analisis pada serbuk Na-metabisulfit yang digunakan, menunjukkan bahwa serbuk Na-metabisulfit mengandung ion Mn2+ sebesar 4.02 ppm. Glycin dimungkinkan berasal dari protein daging pisang, menurut Souci et al. (2008), pada daging pisang mengandung glycin sebesar 42 ppm. Analisis pada air sisa perendaman Na-metabisulfit menunjukkan bahwa terdapat glycin sebesar 0.9 ppm. Hal ini berarti telah terjadi hidrolisis protein daging pisang selama proses pengolahan. Meskipun semua faktor tersedia, kerusakan β-karoten pada penelitian ini tidak mencapai 90%, tidak sebesar pada hasil penelitian Yang dan Pesier (1979). Hal ini karena konsentrasi ion Mn2+ dan glycin yang tersedia cukup kecil tetapi cukup untuk dapat menyebabkan kerusakan β-karoten. Menurut Wong (1989), apabila konsentrasi ion Mn2+ < 50 ppm dan glycin < 20 mM maka kerusakan βkaroten lebih lambat dan dibawah 90 %. Kadar β-karoten pada tepung pisang lebih rendah daripada kandungan β-karoten pada pisang segar. Kerusakan β-karoten pada tepung pisang ini diakibatkan oleh dua faktor yaitu pengaruh proses pengolahan (blansir dan pengeringan) dan pengaruh sulfurisasi. Pada tepung pisang tanpa sulfurisasi kerusakan β-karoten terjadi akibat adanya oksidasi dan degradasi termal selama proses blansir dan pengeringan. Sedangkan pada tepung pisang dengan sulfurisasi, kerusakan β-karoten terjadi selain karena adanya proses blansir dan pengeringan juga disebabkan oleh sulfurisasi. Presentase kerusakan β-karoten pada tepung pisang tanpa sulfurisasi sebesar
63.91 %. Sedangkan pada tepung pisang dengan sulfurisasi
berkisar antara 70.13 % sampai 77.96 %.
39
Analisis keragaman (ANOVA) pada taraf signifikasi 5 % menunjukkan bahwa perlakuan sulfurisasi menggunakan Na-metabisulfit mempengaruhi secara nyata kadar β-karoten pada tepung pisang. Uji lanjut berupa uji Duncan pada taraf signifikasi 5 % menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antar perlakuan.
Tabel 9. Analisis Uji Duncan Tepung Pisang terhadap Kadar β-karoten Β-karoten (ppm) Konsentrasi Na – Metabisulfit 0 ppm 40.06c 150 ppm 31.28b 300 ppm 31.95b 450 ppm 33.15b 600 ppm 27.97ab 750 ppm 24.46a Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada taraf signifikasi 5 %. 2) Residu Sulfit Sulfit dalam bahan pangan dapat berperan sebagai pengawet maupun pemutih. Sebagai pengawet sulfit akan merusak dinding sel mikroba sehingga mikroba kehilangan permeabilitas selnya dan akhirnya mati. Sebagai pemutih, sulfit dapat membuat bahan pangan menjadi lebih putih dengan cara menonaktifkan enzim polifenolase yaitu enzim penyebab reaksi pencoklatan. Namun residu sulfit dalam bahan pangan dapat berbahaya bagi kesehatan manusia, terutama bagi mereka yang sensitif. Misalnya penderita asma, bila mengkonsumsi pangan mengandung sulfit dapat menyebabkan terjadinya alergi. Residu sulfit dalam bahan pangan harus diminimalkan salah satunya dengan
pencucian. Pencucian dapat
melarutkan sulfit. Menurut Furia (1976) residu sulfit pada bahan pangan dalam bentuk Sulfur Dioksida maksimal 500 ppm. Sedangkan menurut SNI 01-3841-1995 tentang tepung pisang, maksimal kandungan sulfit sebesar 10 ppm.
40
Residu sulfit tepung pisang Raja Bulu dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi sulfit yang digunakan, semakin tinggi residu sulfit. Residu sulfit terendah adalah tepung pisang tanpa sulfurisasi yaitu sebesar 0.0 ppm dan residu sulfit tertinggi pada tepung pisang sulfurisasi 750 ppm yaitu sebesar 448.33 ppm. Analisis keragaman (ANOVA) pada taraf signifikasi 5% menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata perlakuan sulfurisasi Na-metabisulfit terhadap residu sulfit. Uji lanjut berupa uji Duncan pada taraf signifikasi 5 % menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antar perlakuan. Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 10.
Gambar 12. Residu Sulfit pada Tepung Pisang
Tabel 10. Analisis Uji Duncan Tepung Pisang terhadap Residu Sulfit Konsentrasi Na – Metabisulfit 0 ppm 150 ppm 300 ppm 450 ppm 600 ppm 750 ppm
Residu Sulfit (ppm) 0.00a 51.33b 118.67c 220.67d 390.00e 448.33f
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada taraf signifikasi 5 %.
41
Sulfit yang masih tertinggal dalam bahan pangan merupakan sulfit yang telah bereaksi dengan enzim, senyawa intremediet hasil oksidasi enzim polifenolase, senyawa intermediet reaksi Maillard dan juga sulfit yang terperangkap di dalam matriks pangan. Semakin tinggi residu sulfit menunjukkan bahwa semakin banyak sulfit yang bereaksi dengan komponen bahan pangan terutama enzim polifenolase. Dan bereaksinya enzim polifenolase dengan sulfit menyebabkan enzim tersebut tidak aktif mengkatalisis reaksi pencoklatan. Sehingga dapat meningkatkan derajat putih tepung pisang yang dihasilkan. Semakin tinggi residu sulfit maka semakin tinggi derajat putih tepung pisang yang dihasilkan. Meskipun sulfit dikenal GRAS oleh FDA, residu sulfit yang tinggi pada bahan pangan dapat membahayakan kesehatan. Penderita asma dan alergi sangat sensitif terhadap sulfit (Taylor et al., 1986). FDA mensyaratkan batas maksimal sulfit dalam bahan pangan sebesar 2000 ppm sedangkan Furia (1972) mengatakan bahwa batas maksimal penggunaan sulfit sebesar 500 ppm. Menurut SNI 01-3841-1995 tentang tepung pisang, batas maksimal residu sulfit dalam tepung pisang sebesar 10 ppm. Menurut Zhao dan Chang (1995), sulfit termasuk senyawa yang tidak stabil, sehingga selama penyimpanan akan terjadi penurunan residu sulfit. Penurunan ini terjadi karena sulfit bereaksi sangat kompleks dengan komponen bahan pangan seperti protein, enzim, gugus gula pereduksi dan pirimidin. Berdasarkan penelitian Zhao dan Chang (1995), residu sulfit pada wortel kering berkurang sebesar 68% selama masa 4 bulan penyimpanan.
3) Derajat Putih Sulfurisasi diharapkan dapat mencegah reaksi pencoklatan pada pembuatan tepung pisang. Sehingga dapat meningkatkan derajat putih tepung pisang yang dihasilkan. Semakin tinggi derajat putih suatu tepung maka biasanya makin disukai konsumen karena penampakannya yang lebih bersih dan menarik.
42
Pengaruh sulfurisasi terhadap derajat putih tepung yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 13. Dari gambar terlihat bahwa tepung pisang dengan derajat putih tertinggi adalah tepung pisang dengan perlakuan sulfurisasi sebesar 750 ppm, yaitu 77.55 %. Sedangkan tepung pisang dengan derajat putih terendah adalah tepung pisang dengan perlakuan sulfurisasi 0 ppm atau tanpa sulfurisasi yaitu sebesar 76.65 %. Gambar 13 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi Na-metabisulfit maka akan semakin tinggi nilai derajat putih tepung pisang yang dihasilkan. Hal ini karena Na-metabisulfit mampu bereaksi dengan enzim penyebab reaksi pencoklatan (enzim polifenol oksidase) dan juga dapat bereaksi dengan gula pereduksi dan senyawa intermediet hasil oksidasi enzim polifenol
oksidase
sehingga
reaksi
pencoklatan
enzimatis
dan
nonenzimatis dapat dikurangi atau dicegah.
Gambar 13. Derajat Putih Tepung Pisang
Analisis keragaman (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan sulfurisasi Na-metabisulfit tidak mempengaruhi secara nyata derajat putih tepung pisang pada taraf signifikasi 5 %. Tidak adanya pengaruh tersebut maka tidak dilakukan uji lanjut berupa uji Duncan. Hasil analisis keragaman (ANOVA) tersebut menunjukkan bahwa Nametabisulfit sampai batas konsentarsi 750 ppm belum mampu bekerja
43
secara optimal dalam menghambat reaksi pencoklatan pada tepung pisang.
Hal ini dapat disebabkan oleh terlalu tingginya konsentrasi
enzim polifenol oksidase pada pisang sehingga dengan konsentrasi Nametabisulfit yang relatif rendah belum mampu menonaktifkan semua enzim polifenolase tersebut. Selain itu dapat juga disebabkan oleh waktu perendaman yang terlalu singkat, sehingga kurang dapat memberikan kesempatan Na-metabisulfit untuk meresap ke dalam jaringan chips pisang dan bereaksi dengan enzim polifenol oksidase.
4) Warna Warna merupakan salah satu atribut mutu yang sangat penting pada bahan dan produk pangan. Peranan warna sangat nyata karena umumnya konsumen akan mendapat kesan pertama baik suka ataupun tidak suka terhadap suatu produk pangan dari warnanya. Warna bahan pangan berasal dari pigmen warna yang ada pada bahan pangan tersebut misalnya β-karoten menghasilkan warna kuning-oranye. Semakin besar kandungan β-karoten pada bahan tersebut maka warnanya akan semakin kuning dan oranye. Tepung pisang yang dihasilkan dianalisis warnanya untuk mengetahui hubungan kandungan β-karoten terhadap warna tepung pisang. Analisis warna dilakukan menggunakan metode Hunter melalui alat chromameter. Metode Hunter mengukur warna bahan pangan dengan menggunakan tiga notasi yaitu L, a dan b. L menunjukkan kecerahan dengan nilai berkisar dari 0 sampai 100. Nilai 0 berarti hitam dan 100 berarti putih. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah dan hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai –80 untuk warna hijau. Sedangkan notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru dan kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b dari 0 sampai –70 untuk warna biru (Kusnandar dan Andarwulan, 2008).
44
Tabel 11. Analisis Warna pada Tepung Pisang
Konsentrasi Na metabisulfit 0 ppm 150 ppm 300 ppm 450 ppm 600 ppm 750 ppm
L 85.11 85.36 85.61 85.18 86.70 85.82
a -1.39 -1.58 -1.56 -1.45 -1.72 -1.55
b 17.90 17.83 17.68 17.15 18.16 17.30
Berdasarkan Tabel 11 tersebut terlihat bahwa nilai kecerahan (L) tertinggi adalah tepung pisang dengan sulfurisasi 600 ppm yaitu sebesar 86,70 dan nilai kecerahan terendah adalah tepung pisang dengan sulfurisasi 0 ppm. Tepung pisang yang dihasilkan mempunyai nilai a negatif, menunjukkan bahwa tepung pisang tersebut berwarna hijau. Namun karena nilai a negatif cukup kecil yaitu berkisar antara -1,39 sampai -1,74 warna hijau tersebut tidak kelihatan secara visual oleh pengamatan mata. Nilai a negatif tertinggi pada tepung pisang sulfurisasi 600 ppm dan terendah pada tepung pisang sulfurisasi 0 ppm. Sedangkan untuk nilai b, tepung pisang mempunyai nilai b positif. Hal ini menunjukkan bahwa tepung pisang berwarna kuning. Warna kuning ini secara visual kelihatan oleh pengamatan mata. Nilai b berkisar antara 17,43 sampai 18,24. Nilai b tertinggi adalah tepung pisang dengan sulfurisai 600 ppm dan terendah pada tepung pisang dengan sulfurisasi 450 ppm. Warna kuning pada tepung pisang disebabkan oleh adanya βkaroten. Pengamatan secara visual oleh mata, tepung pisang mempunyai warna kuning kecoklatan.
b. Karakterisasi Tepung Pisang Raja Bulu Karakterisasi terhadap tepung pisang Raja Bulu sangat penting dilakukan untuk mengetahui informasi nilai gizi dan mengenai penggunaan tepung pisang Raja Bulu. Karakterisasi yang dilakukan terhadap tepung pisang Raja Bulu berupa karakterisasi sifat kimia dan 45
fisik. Karakterisasi sifat kimia meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar pati dan kadar serat. Sedangkan karakterisasi sifat fisik meliputi rendemen, densitas kamba, viskositas, daya serap air dan kelarutan. Tepung pisang yang dipilih untuk dikarakterisasi adalah tepung pisang Raja Bulu dengan perlakuan sulfurisasi 150 ppm. Hal ini didasarkan bahwa tepung pisang tersebut dianggap sebagai tepung pisang terbaik karena mempunyai kadar β-karoten cukup tinggi, residu sulfit rendah dan nilai derajat putih cukup tinggi dibandingkan tepung pisang lainnya. Hasil karakterisasi tepung Pisang Raja Bulu sulfurisasi 150 ppm dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Karakterisasi Tepung Pisang Raja Bulu Karakterisitik Kadar air (% bb) Kadar abu (% bk) Kadar protein (% bk) Kadar lemak (% bk) Kadar karbohidrat (% bk) Kadar pati (% bk) Kadar serat (% bk) Rendemen Daging (%) Rendemen Tepung (%) Densitas kamba (g/ml) Viskositas (cp) Daya serap air (b/b) Kelarutan dalam air dingin (% b/b)
Kandungan 7.73 0.90 2.95 0.60 95.55 74.10 17.37 51.69 30.91 0.83 56.6 13.13 4.73
1) Kadar Air Kadar air suatu bahan pangan merupakan sesuatu yang sangat penting. Kadar air suatu bahan mempengaruhi umur simpan bahan pangan tersebut. Semakin rendah kadar air suatu bahan maka akan semakin awet bahan pangan tersebut. Hal ini karena semakin rendah nilai kadar air maka semakin rendah nilai aktifitas airnya. Nilai aktifitas air ini berkaitan dengan mikroba. Aktifitas air dapat didefinisikan
46
sebagai jumlah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk mendukung pertumbuhannya (Winarno, 2002). Bahan pangan dengan aktifitas air rendah maka air yang terdapat pada bahan tersebut tidak dapat digunakan mikroba untuk melakukan pertumbuhan sehingga bahan pangan akan lebih awet. Salah satu cara menurunkan kadar air suatu bahan pangan adalah dengan cara pengeringan. Dengan pengeringan, kadar air suatu bahan dapat diturunkan sampai 5 – 10 %. Kadar air tersebut sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Tepung pisang Raja Bulu yang dihasilkan memiliki nilai kadar air 7.73%. Kadar air tersebut cukup rendah sehingga pertumbuhan mikroba dapat dihambat. Maka dari itu tepung pisang dapat mempunyai umur simpan yang cukup lama.
2) Kadar Abu Abu merupakan zat anorganik sisa pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Komponen anorganik yang tertinggal setelah semua karbon organik dibakar habis (Sudarmadji et al., 2007). Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap tertingggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Kadar abu tepung pisang Raja Bulu 0.90% (bk). Kadar abu tersebut menunjukkan kandungan mineral yang terkandung dalam tepung pisang. Kandungan mineral tertinggi pada tepung pisang adalah mineral Kalium (PKBT IPB, 2005). Kalium merupakan mineral yang sangat penting untuk transport aktif sel sehingga dengan adanya mineral Kalium maka metabolisme tubuh menjadi lebih lancar. Kadar abu tepung pisang yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kadar abu pisang segar, maka kadar abu tepung pisang lebih rendah. Atau dengan kata lainnya telah terjadi penurunan kadar abu selama proses pembuatan tepung pisang. Penurunan kadar abu ini
47
disebabkan oleh tercucinya atau larutnya mineral – mineral larut air ke dalam air perendaman.
3) Kadar Protein Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini selain sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Pada sebagian besar jaringan hidup, protein merupakan komponen terbesar setelah air. Protein dalam tubuh manusia terutama dalam sel jaringan bertindak sebagai bahan membran sel, membentuk jaringan baru dan membentuk protein inert. Sedangkan pada sayuran dan buah, protein biasanya berupa enzim – enzim seperti enzim polifenolase, katalase, papain dan bromeolin (Winarno, 2002). Protein akan mengalami kerusakan dan kehilangan selama proses pengolahan pangan. Kerusakan dan kehilangan ini bervariasi tergantung proses pengolahan yang dilakukan. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kerusakan dan kehilangan protein adalah suhu dan air. Suhu menyebabkab protein terdenaturasi sedangkan air menyebabkan protein terlarut dan hilang bersama air. Hal ini jugalah yang terjadi pada pembuatan tepung pisang. Pada proses pembuatan tepung pisang, banyak dilakukan berbagai proses pengolahan pangan yang meliputi perajangan, pemblansiran, perendaman, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Semua proses pengolahan pangan tersebut berpotensi menurunkan kadar protein pada tepung pisang yang dihasilkan. Kadar protein tepung pisang Raja Bulu 2.95% (bk). Kadar protein tersebut cukup rendah sehingga tepung pisang tidak cocok dijadikan sebagai sumber protein. Apabila dibandingkan dengan kadar protein pisang Raja Bulu segar maka kadar protein tepung pisang Raja Bulu lebih rendah. Hal ini karena selama proses pembuatan tepung pisang terjadi pencucian protein yang larut air ke dalam air perendaman.
48
4) Kadar Lemak Lemak merupakan komponen penting dalam bahan pangan. Lemak berperan melarutkan vitamin – vitamin A, D, E dan K. Selama pengolahan pangan akan terjadi kerusakan minyak baik melalui hidrolisis maupun oksidasi. Rusaknya lemak akan menimbulkan kerusakan pada vitamin – vitamin larut lemak. Kadar lemak pada tepung pisang Raja Bulu 0.60% (bk). Kadar lemak tersebut cukup rendah sehingga apabila terjadi kerusakan lemak pada tepung pisang tidak terlalu menyebabkan terjadinya bau tengik. Kadar lemak tepung pisang lebih rendah dari pada kadar lemak pisang segar hal ini karena terjadi kerusakan lemak selama proses pengolahan. Kerusakan tersebut disebabkan oleh adanya pemanasan (pada blansir dan pengeringan) dan adanya sulfit (pada sulfurisasi). Mekanismenya melalui reaksi oksidasi lemak. Menurut Wong (1989), sufit dapat menginduksi oksidasi lemak. Dan menurut Russell dan Gould (1991) menyatakan bahwa mekanisme sulfit mengoksidasi lemak adalah dengan merusak ikatan rangkap pada rantai asam lemak tak jenuh.
5) Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan salah satu komponen gizi yang sangat penting karena berperan sebagai sumber energi. Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan pangan nabati, baik berupa gula sederhana maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati, pektin, selulosa dan lignin. Selama pengolahan pangan, akan terjadi perubahan kandungan karbohidrat baik karena adanya pencucian sehingga terlarut dalam air dan terhidrolisis. Pada penelitian ini, kadar karbohidrat tepung pisang ditentukan dengan cara by difference maksudnya kandungan karbohidrat diperolah dari hasil pengurangan angka 100 dengan persentase komponen lain (air, abu, protein dan lemak). Kadar karbohidrat tepung pisang sebesar 95.55 % (bk). Kadar karbohidrat tepung pisang sangat tinggi sehingga
49
tepung pisang sangat cocok sebagai salah satu bahan pangan sumber karbohidrat. Menurut Wills et al., (1981) dan Loesecke (1949), karbohidrat pisang terdiri dari pati, gula – gula sederhana (glukosa, fruktosa dan sukrosa), pektin, lignin, selulosa dan hemiselulosa.
6) Kadar Pati Karbohidrat pada tepung pisang sebagian besar berupa pati. Kandungan pati pada tepung pisang cukup tinggi yaitu 74.10%. Kandungan pati tepung pisang cukup tinggi hal ini karena bahan baku pisang yang digunakan merupakan pisang mengkel. Pada pisang mengkel, pati yang terbentuk selama proses fotosintesis belum diubah menjadi gula-gula sederhana. Kandungan pati yang cukup besar ini menjadikan tepung pisang sebagai salah satu bahan pangan sumber energi. Hal ini karena pati merupakan senyawa yang mudah dicerna oleh tubuh dan diubah menjadi energi.
7) Kadar Serat Selain pati, karbohidrat tepung pisang berupa serat. Serat pada tepung pisang berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin (Loesecke, 1949). Kandungan serat pada tepung pisang 17.37%. Kandungan serat pada tepung pisang yang cukup tinggi menjadikan tepung pisang sulit dicerna. Dan juga mengganggu pencernaan dan penyerapan zat gizi lainnya seperti protein, mineral dan vitamin. Tingginya kandungan serat pada tepung pisang dimungkinkan karena adanya pati resisten. Pati resisten ini merupakan pati yang tidak dapat dicerna oleh tubuh dan dalam
analisis
akan
terhitung
sebagai
serat.
Sehingga
akan
meningkatkan kadar serat suatu bahan pangan. Hal ini sesuai pernyataan Zhang et al (2005) yang menyatakan bahwa pati pisang mempunyai pati resisten cukup tinggi.
50
8) Rendemen a) Rendemen Daging Pisang terhadap Pisah Utuh (%) Pisang raja bulu termasuk pisang yang mempunyai kulit cukup tebal, sehingga bobot daging pisangnya tidak terlalu besar. Rendemen daging pisang terhadap pisang utuh sebesar 51.69%. Rendemen ini dipengaruhi oleh variasi ukuran pisang. Pisang dalam suatu bobot tertentu, semakin banyak ukuran pisang yang kecil – kecil maka akan semakin rendah rendemen daging pisang yang dihasilkan. Begitu juga sebaliknya, semakin sedikit jumlah pisang ukuran kecil maka rendemen akan semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan luas permukaan kulit pisang. Pisang dalam suatu bobot tertentu, apabila banyak terdapat pisang dengan ukuran kecil maka luas permukaan kulit pisangnya makin besar sehingga bobot kulit pisangnya makin besar. Dan begitu juga sebaliknya, apabila sedikit terdapat pisang ukuran kecil maka luas permukaannya makin kecil sehingga bobot kulit pisangnya makin kecil.
b) Rendemen Tepung Pisang terhadap Daging Pisang (%) Rendemen tepung pisang yang dihasilkan terhadap daging pisang sebesar 30.91%. Rendemen tepung pisang dipengaruhi oleh proses
pembuatan
tepung
pisang
seperti
blansir,
sulfurisasi,
pengeringan, penepungan dan pengayakan. Proses – proses tersebut dapat mengurangi rendemen tepung pisang yang dihasilkan. Hal ini karena selama rangkaian proses tersebut, banyak komponen pisang yang hilang. Pada blansir, karbohidrat, protein dan komponen lain yang larut dalam air ada yang larut dalam air blansir sedangkan lemak mengalami oksidasi. Demikian juga pada proses perendaman pada Na metabisulfit, ada komponen karbohidrat dan protein yang larut dalam air perendaman. Sedangkan pada proses pengeringan adanya bagian pisang kering (sawut) yang tercecer dilantai dan berukuran sangat kecil sehingga tidak bisa diambil. Dan pada proses penepungan dan pengayakan, ada sebagian tepung yang beterbangan. Hal itu semua
51
dapat mengurangi rendemen pisang yang dihasilkan. Namun demikian, hal itu merupakan sesuatu yang lazim dan tidak dapat dihindari, karena setiap proses pengolahan pangan pasti akan mengalami kehilangan. Baik karena tercecer atau karena akumulasi di alat.
9) Densitas Kamba Salah satu analisis fisik bahan pangan yang cukup penting adalah densitas kamba. Densitas kamba dapat didefinisikan sebagai tingkat kepadatan bahan pangan dalam suatu ruang yang ditempati oleh bahan tersebut. Menurut Khalil (1999) yang diacu dalam Erawati (2006), densitas kamba menunjukkan porositas dari bahan yaitu banyaknya rongga yang terdapat antara partikel – partikel bahan. Informasi tentang densitas kamba sangat dibutuhkan terutama dalam pengemasan dan produk makanan pendamping ASI (MP-ASI). Manfaat dalam pengemasan yaitu memberi informasi tentang ukuran bahan pengemas yang harus digunakan. Semakin besar nilai densitas kamba maka akan semakin kecil ukuran bahan pengemas yang harus digunakan. Sedangkan manfaat dalam MP-ASI yaitu member informasi tentang kelayakan bahan pangan tersebut untuk dijadikan MP-ASI. MPASI mengharuskan bahan pangan berdensitas kamba tinggi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas perut bayi yang masih terbatas. Bahan pangan berdensitas kamba tinggi membuat bayi tidak cepat merasa kenyang dan kandungan gizi yang diterima bayi lebih besar daripada bahan pangan berdensitas kamba rendah. Nilai densitas kamba tepung Pisang Raja Bulu 0.83g/ml. Nilai densitas kamba tepung pisang dipengaruhi oleh komposisi kimia tepung pisang terutama kadar air. Kadar air tepung pisang paling mudah berubah karena terekpos uap air dari udara. Perubahan kadar air tidak siginifikan menambah volume tetapi cukup signifikan menambah bobot. Sehingga tepung pisang dengan kadar air tinggi mempunyai nilai densitas kamba tinggi.
52
Menurut Khalil (1999) yang diacu dalam Erawati (2006), selain kadar air, ukuran partikel juga mempengaruhi densitas kamba suatu bahan. Semakin halus ukuran partikel bahan maka densitas kamba semakin kecil. Ukuran partikel mempengaruhi jumlah rongga yang ada dalam bahan tersebut. Semakin halus ukuran bahan pangan maka semakin besar rongga terbentuk sehingga densitas kamba semakin menurun.
10) Viskositas Viskositas (kekentalan) merupakan bentuk daya tahan aliran yang diberikan oleh suatu cairan, dimana daya tahan tersebut merupakan hasil pergerakan molekul di dalam cairan akibat gerak Brown dan gaya kohesi antar molekul (Sumartha, 1992). Viskositas ditetapkan sebagai salah satu kriteria penting untuk menentukan mutu produk pangan. Viskositas tepung pisang pada suhu ruang sebesar 56.6 cp. Viskositas pada suhu ruang ini cukup tinggi karena pada tepung pisang banyak terkadung pati yang dapat menyerap air dan membentuk gel. Viskositas ini akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu karena pati akan tergelatinisasi sehingga penyerapan air menjadi maksimal.
11) Daya Serap Air Daya serap air merupakan salah satu sifat fungsional bahan. Nilai daya serap air suatu bahan biasanya dipengaruhi oleh komponen protein dan karbohidrat. Komponen protein berkaitan dengan kemampuan grup polarnya seperti gugus karboksil, hidroksil dan amina dalam menyerap molekul air. Sedangkan karbohidrat berkaitan dengan komponen amilosa, amilopektin dan gula – gula sederhana. Menurut Winarno (2002) menyatakan bahwa kemampuan menyerap air komponen karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan protein. Daya serap air tepung pisang Raja Bulu sebesar 13.13 g/g.
53
12) Kelarutan di dalam Air Dingin Kelarutan dalam air suatu bahan dipengaruhi oleh komponen komponen yang tidak larut air. Semakin tinggi komponen yang tidak larut air maka semakin rendah kelarutan bahan tersebut. Komponen – komponen tidak larut air tersebut biasanya berupa lemak, serat, pati dan juga protein. Kelarutan tepung pisang 4.73% (b/b). Kelarutan tepung pisang cukup kecil hal ini karena tepung pisang banyak mengandung pati dan serat yang tidak larut dalam air dingin. Pati dan serat ini tidak larut dalam air tetapi menyerap air sehingga terbentuklah gel.
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Karakteristik bahan baku pisang Raja Bulu mengkel segar adalah kadar air 60,70% (bb), kadar abu 0,93%(bb), kadar protein 1,17% (bb), kadar lemak 0,37% (bb), kadar karbohidrat 36,83% (bb), dan kadar βkaroten 111 ppm. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa alat pengering yang cocok untuk proses pembuatan tepung pisang adalah cabinet dryer. Perlakuan sulfurisasi mempengaruhi kadar β-karoten dan residu sulfit pada tepung pisang. Semakin besar konsentrasi sulfit maka semakin rendah kadar βkaroten dan semakin besar residu sulfit tepung pisang. Sulfurisasi tidak mempengaruhi derajat putih tepung pisang hal ini menunjukkan bahwa perlakuan sulfurisasi sampai konsentrasi 750 ppm belum efektif menghambat reaksi pencoklatan pada tepung pisang. Tepung pisang Raja Bulu terbaik diperoleh dari perlakuan sulfurisasi 150 ppm. Karakteristik tepung pisang terbaik adalah kadar air 7.73%(bb), kadar abu 0.90%(bk), kadar protein 2.95%(bk), kadar lemak 0.60%(bk), kadar karbohidrat 95.55%(bk), kadar pati 74.10 %, dan kadar serat 17.37 %. Rendemen daging 51.69%, rendemen tepung 30.91%. Densitas kamba sebesar 0.83g/ml, viskositas sebesar 56.6 cp, daya serap air berkisar 13.13g/g, dan kelarutan dalam air dingin sebesar 4.73% (b/b).
B. SARAN Agar didapatkan tepung pisang Raja Bulu dengan kandungan βkaroten yang tinggi, sebaiknya digunakan Na-metabisulfit murni. Penggunaan Na-metabisulfit pada pengolahan tepung pisang, setelah perendaman harus dilakukan pencucian, agar residu sulfit berkurang. Biji pada daging pisang sebaiknya dibuang agar dihasilkan tepung pisang dengan warna yang lebih cerah. Selain itu dapat juga dicari alternatif lain pengganti sulfit sebagai bahan pencegah reaksi pencoklatan yang lebih efektif.
55
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan, N dan Koswara, S. 1989. Kimia Vitamin.Rajawali Pers. Jakarta AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Ed ke-16. AOAC Internasional, Gaithersburg, Maryland Arsdel, W.B dan Copley, M.J. 1964. Food Dehydration. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut Astawan, M dan Andreas, L.K. 2008. Khasiat Warna – Warni Makanan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Astawan, M. 2000. Persyaratan Gizi MPASI, Modul Studi Operasional Pengadaan MPASI Lokal Melalui Pemberdayaan Agroindustri Kecil dalam Rangka Peningkatan Status Gizi Baduta secara Terpadu, Fateta-IPB. Bogor Brennan, J.G., Buthers, J.R., Cowel, N.D dan Lily, A.V.E. 1974. Food Engineering Operations. Applied Science Publisher Ltd. London Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H dan Wooton, M. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah : Purnomo H. dan Adiono. Penerbit UI Press. Jakarta Crowther, P.C. 1979. The Processing of Banana Products for Food Use. Tropical Product Institute. England Departemen Pertanian RI. 2008. Produksi Buah – Buahan Tropika Tahun 2008. Dapartemen Pertanian RI. Jakarta. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara. Jakarta Erawati, C.M. 2006. Kendali Stabilitas Betakaroten Selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). [Tesis]. Program Pascasarjana. IPB. Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice Second Edition. Woodhead Publishing Limited. Cambridge. England Furia, T.E. 1972. Handbook of Food Additives. The Chemical Rubber Co. USA. Goodwin, T.W. 1980. The Biochemistry of Carotenoids, Volume 1, 2nd edition. Chapman and Hall. London. Gordon, D.T. 1989. Functional Properties Vs Phsyological Action of Total Dietary Fiber. Cereal Food World. 34 (7):517 Hardiman. 1982. Tepung Pisang. Gajah Mada University Press. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 56
Harris, R.S dan Karnas, E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Pangan. ITBPress, Bandung Heldman, D.R dan Singh, R.P. 1981. Food Process Engineering. The AVI Pub. Co. Inc. New York. Hermawan. 1982. Skripsi. Mempelajari Pengaruh Bleaching Sulfurisasi dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Tepung Pisang Tanduk. Fateta, IPB. Bogor. Kandov, J.E.A. 1993. Perendaman Daging Pisang dalam Larutan Asam Askorbat terhadap mutu Tepung Pisang Selama Penyimpanan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel terhadap Sifat Fisik Pakan Lokal : Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan, Tumpukan dan Berat Jenis. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor Kusnandar, F dan Andarwulan, N. 2007. Analisis Warna Bahan Pangan. Fateta, IPB. Bogor Lestari. 1989. Skripsi. Studi Rendemen dan Karakterisasi Tepung Pisang Nangka, Siam dan Oli dengan Penundaan Kematangan Oleh KMnO4. Fateta, IPB. Bogor. Loesecke, H.W.V. 1949. Bananas. Interscience Pub. Ltd. Co., London MacDougall, D.B. 2002. Colour in Food Improving Quality.Woodhead Publishing Limited.Cambridge,England. McCance dan Widdowson’s. 2007. The Compotition of Foods. RSC Publishing, Cambridge, England Moore, J.G. 1995. Drum Dryer, Handbook of Industrial Drying. Marcel Dekker, Inc. New York Muchtadi, D. 2001. Kajian Terhadap Serat Makanan dan Antioksidan dalam Berbagai Jenis Sayuran untuk Pencegahan Penyakit Degeneratif. [Laporan Penelitian]. Fateta-IPB. Bogor Muchtadi, D., Koswara, S dan Dahrul, S. 1990. Pengaruh Jenis Pisang dan Penambahan Antipencoklatan pada Pembuatan Tepung Pisang. Tidak dipublikasikan. Nurjanah, S. 1991. Ekstraksi dan Karakterisasi Pati Pisang Ambon. [Skripsi]. Fateta-IPB. Bogor Nutting, M.D., Neuman, H.G dan Wagnen, J.R. 1970. Effect of Processing Variable on Th Stability of Betacarotenes and xanthopylls of dehydrated Parsley. Journal Science Food Agri. 21 (4) :197 – 202 57
PKBT IPB. 2005. Laporan Akhir Rusnas Pengembangan Buah–Buahan Unggulan Indonesia. IPB, Bogor. Prabawati, S. Suyanti. Setyabudi, D.A. 2009. Teknologi Pascapanen dan Pengolahan Buah Pisang.Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Prasanappa, G., Chandrasekhana, H.N., Uyas, K., Srinivasan, K.S., Gawri, V., Murthy, A.S dan Chandrasekhana, M.R. 1972. Precooked Bal Ahar India Multipurpose Food. Journal Food Science Technology. 9 (12) : 174 Rismunandar. 2001. Bertanam Pisang. Sinar Baru Algensindo. Bandung Russell, N.J dan Gould, G.W. 1991. Food Preservatives. AVI Book, Van Nostrand Reinhold. New York Sathe, S.K dan Salunkhe, D.K. 1981. Functional Properties of The Great Nothern Bean (Phaseolus Vulgaris L) protein’s, emulsion, foamity, viscosity and gelatin properties. Journal Food Science. 46 : 81 Souci, S.W., Fachmann, W dan Kraut, H. 2008. Food Composition and Nutrition Tables. Taylor and Francis, a CRC Press Book. Germany Sudarmadji, S., Haryono, B dan Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Press, Yogyakarta Sumartha, I.G. 1992. Formulasi dan Evaluasi Mutu Makanan Anak Balita dari Bahan Dasar Tepung Singkong dan Pisang. [Thesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Sunarjono, H., Ismiyata, Kusumo, B dan Wardah. 1989. Produksi Pisang di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Jakarta. Taylor, S.L., Higley, N.A dan Bush, R.K. 1986. Sulfites in Food: Uses, Analitycal Methodes, Residues, Fate, Exposure Assesment, Metabolism, Toxicity and Hypersensitivity. Adv. Food. Res. 30 : 1 – 76 Waspodo, M dan Muhajir, I. 1990. Pengaruh cara Pengeringan terhadap Mutu Tepung Beberapa Varietas Pisang. Balai Penelitian Hortikultura, Jakarta. Whistler, R.L dan Daniel, J.R. 1989. Carbohydrates. Marcel, Dekker. Inc. New York Widowati, S. 2002. Petunjuk Teknis Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Jakarta
58
Wills, R.H., Lee, T.H., Graham, McGlasson, W.B., Hale, E.G. 1981. Postharvest An Introduction to The Physiology and Handling of Fruits and Vegetables. The AVI Publishing Co. Inc., Westport, Conn. Wilson, R.J. 1975. The Processing of Banana Product for Food Use. Tropical Products Institute, London. Winarno, F.G. 1990. Hasil Olahan Pisang dan Masa Depannya. Makalah Seminar Prospek Industri Pisang di Indonesia. Agri–Bussines Club, 12 – 13 September 1990. Jakarta. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Wong, D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. AVI Book, Van Nostrand Reinhold. New York Yang, S.F dan Peiser, G.D. 1979. Sulfite Mediated Destruction of β-carotene. J. Agric. Food. Chem. 27, 446-449 Yuliani, S., Usmiati, S., Abubakar, Sunarlim, R dan Febriyezi. 2009. Formulasi Tepung Komposit Berbasis Labu Kuning untuk Makanan Bayi Kaya βkaroten (Minimal 75 ppm) dengan Daya Cerna Lebih dari 50%. [Laporan Penelitian]. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu. Bogor Zen, Y.M. 1978. Eksplorasi Plasma Nutfah Pisang (Musa acumina Colla x Musa balbisiana Colla) di Bogor dan sekitarnya. Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang Zhang, P., Whistler, R.L., BeMiller, J.N., Hamaker, B.R. 2005. Banana Starch : Production, Physicocemical Properties, and Digestibility – a Review. Carbohydrate Polymers 59: 443-458. Zhao, Y.P dan Chang, K.C. 1995. Sulfite and Starch Affect Color and Carotenoid of Dehydrated Carrots (Daucus carota) during Storage. Journal of Food Science. Volume 60, No. 2, 324 – 326
59
LAMPIRAN
60
Lampiran 1. Gambar Proses Pembuatan Tepung Pisang Raja Bulu
Pisang Raja Bulu
Penataan di tray
Pengeringan
Pengupasan
Penirisan
Penepungan
Pengirisan
Pemblansiran
Perendaman dalam larutan Na-metabisulfit
Pengayakan
Tepung Pisang
61
Lampiran 2. Gambar Sawut Kering dan Tepung Pisang Pisang Raja Bulu dengan Berbagai Perlakuan
Na-metabisulfit 0 ppm
Na-metabisulfit 450 ppm
Na-metabisulfit 0 ppm
Na-metabisulfit 450 ppm
Na-metabisulfit 150 ppm
Na-metabisulfit 600 ppm
Na-metabisulfit 150 ppm
Na-metabisulfit 600 ppm
Kabinet Na-metabisulfit 0 ppm dan 2000 ppm
Na-metabisulfit 300 ppm
Na-metabisulfit 750 ppm
Na-metabisulfit 300 ppm
Na-metabisulfit 750 ppm
Drum Dryer Na-metabisulfit 0 ppm dan 2000 ppm
62
Lampiran 3. Data Kadar Betakaroten dan Residu Sulfit
Data Kadar Betakaroten Ulangan 1 (ppm) Konsentrasi Na-metabisulfit 0 ppm 150 ppm 300 ppm 450 ppm 600 ppm 750 ppm
I
II 24 38 30 27 27 21
Ulangan 2 (ppm) I II
Rata2 46 27 32 36 32 27
35 32 31 31 30 24
33 26 25 23 19 16
49 29 36 39 29 27
Ulangan 3 (ppm) I
II 37 38 37 35 32 27
Rata2 51 30 32 39 29 28
44 34 34 37 30 28
Kadar Betakaroten Konsentrasi Na-metabisulfit
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Rata -rata
SD
%Sd
0 ppm 150 ppm 300 ppm 450 ppm 600 ppm
35 32 31 31 30
41 28 30 31 24
44 34 34 37 30
40.06 31.28 31.95 33.15 27.97
4.68 3.26 2.11 3.52 3.60
11.68 10.43 6.61 10.62 12.89
750 ppm
24
22
28
24.46
3.07
12.56
Residu Sulfit Konsentrasi Na-metabisulfit
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Rata -rata
SD
%SD
0 ppm 150 ppm 300 ppm 450 ppm 600 ppm
0.00 49.00 111.00 225.00 380.00
0.00 50.00 120.00 215.00 400.00
0.00 55.00 125.00 222.00 390.00
0.00 51.33 118.67 220.67 390.00
0.00 3.21 7.09 5.13 10.00
6.26 5.98 2.33 2.56
750 ppm
435.00
460.00
450.00
448.33
12.58
2.81
63
Lampiran 4. Pengukuran Warna Tepung Pisang Menggunakan Chromameter Konsentrasi Na-metabisulfit 0 ppm
Notasi L a b
Ulangan1 I II rata-rata 86.31 86.49 86.40 -1.78 -1.85 -1.82 18.58 18.68 18.63
Ulangan 2 I II rata-rata 84.72 84.08 84.40 -1.39 -1.28 -1.34 18.07 17.95 18.01
Ulangan 3 I II rata-rata 85.59 83.47 84.53 -1.04 -1.02 -1.03 16.46 17.64 17.05
150 ppm
L a b
85.40 -1.63 17.41
85.27 -1.72 17.74
85.34 -1.68 17.58
85.30 -1.68 18.71
86.97 -1.74 17.82
86.14 -1.71 18.27
84.13 -1.17 17.07
85.08 -1.56 18.21
84.61 -1.37 17.64
300 ppm
L a b
87.23 -1.83 17.45
85.80 -1.85 19.48
86.52 -1.84 18.47
86.05 -1.42 16.33
85.40 -1.50 17.69
85.73 -1.46 17.01
84.75 -1.35 17.47
84.43 -1.43 17.63
84.59 -1.39 17.55
450 ppm
L a b
86.07 -1.73 17.07
86.19 -1.76 17.16
86.13 -1.75 17.12
85.65 -1.44 17.14
84.59 -1.44 17.50
85.12 -1.44 17.32
83.84 -1.06 17.05
84.76 -1.24 16.99
84.30 -1.15 17.02
600 ppm
L a b
86.19 -1.51 18.00
86.15 -1.62 17.74
86.17 -1.57 17.87
87.64 -1.92 18.22
87.23 -1.98 18.96
87.44 -1.95 18.59
86.32 -1.64 18.17
86.64 -1.66 17.89
86.48 -1.65 18.03
750 ppm
L a b
86.74 -1.69 16.79
87.25 -1.67 16.38
87.00 -1.68 16.59
85.97 -1.71 19.13
85.44 -1.69 18.82
85.71 -1.70 18.98
84.34 -1.22 16.54
85.15 -1.30 16.16
84.75 -1.26 16.35
64
Konsentrasi Nametabisulfit 0 ppm
Notasi L a b
Ulangan1 Ulangan2 Ulangan3 86.4 84.4 84.53 -1.815 -1.335 -1.03 18.63 18.01 17.05
Ratarata 85.11 -1.39 17.90
SD 1.12 0.40 0.80
%SD 1.31 -28.40 4.45
150 ppm
L a b
85.335 -1.675 17.575
86.135 -1.71 18.265
84.605 -1.365 17.64
85.36 -1.58 17.83
0.77 0.19 0.38
0.90 -11.99 2.14
300 ppm
L a b
86.515 -1.84 18.465
85.725 -1.46 17.01
84.59 -1.39 17.55
85.61 -1.56 17.68
0.97 0.24 0.74
1.13 -15.49 4.16
450 ppm
L a b
86.13 -1.745 17.115
85.12 -1.44 17.32
84.3 -1.15 17.02
85.18 -1.45 17.15
0.92 0.30 0.15
1.08 -20.59 0.89
600 ppm
L a b
86.17 -1.565 17.87
87.435 -1.95 18.59
86.48 -1.65 18.03
86.70 -1.72 18.16
0.66 0.20 0.38
0.76 -11.75 2.08
750 ppm
L a b
86.995 -1.68 16.585
85.705 -1.7 18.975
84.745 85.82 1.13 -1.26 -1.55 0.25 16.35 17.30333 1.452466
1.32 -16.06 8.39
65
Lampiran 5. Data Derajat Putih Konsentrasi Nametabisulfit 0 ppm 150 ppm 300 ppm 450 ppm 600 ppm 750 ppm
Ulangan Ulangan Ulangan Rata 1 2 3 rata SD %SD 76.86 76.14 76.95 76.65 0.45 0.59 77.05 77.00 76.55 76.87 0.28 0.36 77.06 77.75 76.60 77.14 0.57 0.75 77.90 77.12 76.82 77.28 0.56 0.72 77.35 77.48 77.40 77.41 0.06 0.08 78.86 76.18 77.60 77.55 1.34 1.73
Lampiran 6. Karakterisasi Tepung Pisang Raja Bulu
Karakteristik Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Karbohidrat
Karakteristik Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Karbohidrat
Karakterisasi Kadar Pati (%bk) Kadar Serat (%bk) Rendemen Daging Pisang (%) Rendemen Tepung Pisang (%) Densitas Kamba (g/ml) Viskositas (cp) Daya serap air (b/b) Kelarutan (b/b)
Basis Basah Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata -rata SD %SD 7.50 7.81 7.87 7.73 0.20 2.55 0.88 0.77 0.85 0.83 0.05 6.43 2.65 2.43 3.09 2.72 0.33 12.26 0.56 0.56 0.54 0.55 0.01 2.09 88.41 88.42 87.66 88.16 0.44 0.50
Ulangan 1
Ulangan 2
Basis Kering Ulangan 3 Rata -rata
0.95 2.87 0.61 95.58
0.84 2.64 0.61 95.91
Ulangan 1 74.20 17.20 52.0 30.1 0.83 54.8 12.40 4.60
Ulangan 2 74.90 17.90 51.2 30.9 0.85 58.8 13.10 4.90
0.92 3.35 0.59 95.14
Ulangan 3 73.20 17.00 51.9 31.8 0.80 56.2 13.90 4.70
0.90 2.95 0.60 95.54
Rata rata 74.10 17.37 51.70 30.93 0.83 56.6 13.13 4.73
SD
%SD
0.06 0.36 0.01 0.39
6.29 12.34 1.96 0.41
SD 0.85 0.47 0.44 0.85 0.02 2.03 0.75 0.15
66
%SD 0.42 0.84 2.75 2.99 1.15 3.23 2.72 5.71
Lampiran 7. Analisis Keragaman (ANOVA)
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Konsentrasi_Na_metabisulfit
0 ppm 150 ppm
3
300 ppm
3
450 ppm
3
600 ppm
3 3
3
750 ppm
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar_Betakaroten Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 400.444(a)
5
Mean Square 80.089
17797.556
1
17797.556
1570.373
.000
400.444
5
80.089
7.067
.003
Error
136.000
12
11.333
Total
18334.000
18
536.444
17
Intercept Konsentrasi_Na_metabisulf it
Corrected Total
df
F 7.067
Sig. .003
a R Squared = .746 (Adjusted R Squared = .641)
Post Hoc Tests Konsentrasi_Na_metabisulfit Homogeneous Subsets Kadar_Betakaroten Duncan Konsentrasi_Na_metabisulf it 750 ppm
Subset N
1
2
3
3
24.6667
600 ppm
3
28.0000
150 ppm
3
31.3333
300 ppm
3
31.6667
450 ppm
3
33.0000
0 ppm
3
Sig.
28.0000
40.0000 .249
.117
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 11.333. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
67
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Konsentrasi_Na_metabisulfit
0 ppm
3
150 ppm 300 ppm
3 3
450 ppm 600 ppm
3 3
750 ppm
3
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Residu_Sulfit Type III Sum of Squares 499705.958(a ) 755835.125
Source Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
5
99941.192
1736.430
.000
1
755835.125
13132.271
.000
499705.958
5
99941.192
1736.430
.000
Error
690.667
12
57.556
Total
1256231.750
18
500396.625
17
Intercept Konsentrasi_Na_metabisulf it
Corrected Total
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
Post Hoc Tests Konsentrasi_Na_metabisulfit Homogeneous Subsets Residu_Sulfit Duncan Konsentrasi_Na_metabisulf it 0 ppm
Subset N
1 3
150 ppm
3
300 ppm
3
450 ppm
3
600 ppm
3
750 ppm
3
Sig.
2
3
4
5
6
.5000 51.3333 118.6667 220.6667 390.0000 448.3333 1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 57.556. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
68
1.000
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Konsentrasi_Na_metabisulfit
0 ppm
3
150 ppm
3
300 ppm
3
450 ppm
3
600 ppm
3
750 ppm
3
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Derajat_Putih Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 1.717(a)
df 5
Mean Square .343
107133.576
1
107133.576
Konsentrasi_Na_metabisulf it
1.717
5
.343
Error
5.442
12
.453
Total
107140.735
18
Corrected Total
7.158 a R Squared = .240 (Adjusted R Squared = -.077)
F .757 236254.57 8 .757
Sig. .597 .000 .597
17
69
Lampiran 8. Hasil analisis β-karoten metode HPLC
70