SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011 KARAKTERISTIK KOMUNITAS KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA (Microchiroptera) DI WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN Immanuel Kristianto1, Agus Setiawan2, Nuning Nurcahyani3 1
Mahasiswa Jurusan Kehutanan FP, 2Dosen Jurusan Kehutanan FP, 3Dosen Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 35148 Email:
[email protected] ABSTRAK
Kelelawar pemakan serangga merupakan mamalia terbang yang memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, karena kelelawar pemakan serangga memiliki keterkaitan dan interaksi ekologi dengan spesies lain di dalam hutan, terutama sebagai pengendali populasi serangga agar tidak menjadi hama di dalam ekosistem hutan. Penelitian mengenai karakteristik komunitas kelelawar pemakan serangga penting dilakukan untuk menaksir status dan strategi konservasi yang perlu dilakukan agar kelelawar pemakan serangga tidak terancam punah, sehingga ekosistem di dalam hutan tetap terjaga.Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Pengumpulan data dilakukan di dalam plot permanen seluas 1 km² dengan menggunakan perangkap harpa sebanyak 440 titik yang tersebar di seluruh plot.Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur komunitas kelelawar pemakan serangga terdiri dari 25 spesies yang termasuk ke dalam lima famili. Ukuran komunitas sebesar 5552 individu dan dinominasi oleh jenis Hipposideros larvatus dengan nilai 59,6%. Rasio jantan betina keseluruhan rata-rata adalah 1:1,5. Pendugaan home range kelelawar pemakan serangga dengan radius terpanjang adalah home range dari jenis Hipposideros diadema, yaitu 1.029,56 m. Kata kunci: Karakteristik komunitas, Struktur, Hipposideros larvatus, Home range, Hipposideros diadema
PENDAHULUAN Kelelawar merupakan mamalia terbang yang memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis. Kelelawar berperan sebagi penyebar biji dan membantu penyerbukan tanaman, dan pada kelelawar pemakan serangga, fungsinya adalah sebagai pengendali populasi serangga yang mungkin berbahaya bagi stabilitas ekosistem hutan, karena menjadi konsumen utama serangga nocturnal (Hutson, 2001).
ISBN 978-979-8510-34-2 Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV ............................. Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29-30 November 2011 “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
BAGIAN II
Meski peranan kelelawar pemakan serangga cukup besar, namun sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini banyak jenis kelelawar yang populasinya merosot, dan bahkan ada jenis-jenis tertentu yang terancam punah. Ancaman terbesar terhadap kelelawar adalah kehilangan habitat (Francis, 2001 dalam Suyanto, 2001). Menurut Kingston (Pers. Comm.) kelelawar pemakan serangga lebih rentan terhadap gangguan dan memiliki wilayah jelajah yang lebih sempit dibandingkan dengan kelelawar pemakan buah. Sulit bagi kelelawar pemakan serangga untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sudah rusak dan pindah ke daerah lain, seperti halnya pada kelelawar pemakan buah jika mengalami gangguan habitat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas dan home range kelelawar pemakan serangga sub ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Seksi Konservasi Wilayah Sukaraja, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Objek dalam penelitian ini adalah kelelawar pemakan serangga sub ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Peralatan yang dibutuhkan dalam penangkapan kelelawar antara lain: harp trap/perangkap harpa, kantong spesimen, pita label, spidol, dan senter, Buku Panduan Lapangan; The Mammals of Borneo, Francis (1987) dan Bats of Krau Wildlife Reserve, Kingston (2003), jangka sorong/kaliper, neraca pegas/timbangan gantung ukuran 30gr, 50gr, dan 100gr, stocking, wing band, necklace band, wing punch, kompas, klinometer, global positioning system (GPS), dan rollmeter. Metode Pengumpulan Data Metode Harp-Trapping Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode harp-trapping (perangkap harpa). Perangkap harpa sangat efektif untuk menangkap kelelawar 26
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
BAGIAN II
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
pemakan serangga, meskipun kelelawar dapat keluar dari kantung perangkap, namun modifikasi pada kantung perangkap dapat membantu mengatasi hal tersebut (Barlow, 1999). Titik Penempatan dan Pemasangan Perangkap Harpa Sebelum melakukan pemasangan perangkap, posisi perangkap telah ditentukan terlebih dahulu, lalu ditandai dengan pipa PVC (Polyvinyl chloride) yang telah diberi nomor.
Total posisi perangkap pada penelitian ini adalah 440 titik
perangkap di dalam areal penelitian seluas 1 km². Setelah menentukan titik penempatan perangkap yang ditandai dengan pipa PVC yang telah diberi nomor, langkah selanjutnya adalah pemasangan perangkap. Perangkap yang dipasang dalam sehari berkisar antara 4-5 perangkap. Pemasangan perangkap dilakukan secara secara urut, berdasarkan nomor perangkap yang telah ditentukan sebelumnya. Waktu dan Prosedur Penangkapan Kelelawar Perangkap dipasang sebelum senja dan dibiarkan terbuka sepanjang malam. Pengecekan perangkap dilakukan dua kali, pada malam hari pukul 19:00 WIB dan pukul 07:00 WIB keesokan paginya. terhitung selama 12 jam.
Waktu pemasangan perangkap harpa
Jika terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan
perangkap harpa harus ditutup sebelum 12 jam (pengecekan pada pagi hari), maka pemasangan perangkap harpa dianggap terhitung selama 6 jam (setengah malam). Kantung kelelawar diberi nomor sesuai dengan nomor posisi perangkap. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan pelepasan kelelawar pada lokasi dimana mereka tertangkap.
Karena beberapa spesies kelelawar pemakan serangga
memiliki daerah jelajah yang sempit dan mungkin akan tersesat jika dilepaskan di area yang baru atau jauh dari lokasi penangkapan (Kingston, 2007; Prastianingrum, 2008). Prosedur Identifikasi Kelelawar Setelah kelelawar berhasil ditangkap, lalu dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Agar mudah melakukan pengidentifikasian, maka kelelawar harus
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
27
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
BAGIAN II
dipegang. Caranya adalah dengan mengapit kedua lengan kelelawar ke belakang menggunakan ibu jari dan jari tengah. Kelelawar diidentifikasi berdasarkan ciriciri morfologis mengikuti Francis et al. (1985), dan Kingston et al. (2006). Selain melihat ciri-ciri morfologis, kelelawar juga diukur bagian tubuhnya. Bagian yang dilihat, diukur, dan dicatat antara lain: panjang lengan bawah, berat badan, panjang paha/tibia, ekor, telinga, jenis kelamin, kondisi reproduksi. Setelah diidentifikasi, kelelawar diberi penanda berupa nomor seri agar individu dapat dikenali kembali saat tertangkap.
Hal ini dapat bermanfaat untuk menduga
kemelimpahan individu dan jarak penangkapan kembali (recapture distance) dapat dijadikan informasi mengenai daya jelajah (home range) kelelawar. Analisis Data Ukuran dan komposisi komunitas Ukuran dan komposisi komunitas ditentukan dari jumlah individu yang tertangkap selama pengamatan. Dilakukan pengelompokan berdasarkan jenis, jenis kelamin, rasio jenis kelamin, tingkatan umur (dewasa, remaja, bayi), dan status reproduksi betina (NR, P, L, RPL, PL). Indeks dominansi Indeks dominansi dapat dihitung dengan rumus:
Di Pi 100%
;
Pi
ni N
Dominansi jenis dalam komunitas dikelompokkan menurut kriteria Jorgenssen menjadi tiga kelas dominansi, yaitu dominan (Di > 5%), subdominan (Di = 2% – 5%), nondominan (Di < 2%) (Abdullah, 2009). Home Range Home range atau daerah jelajah kelelawar pemakan serangga dapat diketahui dengan melakukan pengukuran jarak antar trap dan areal penelitian terlebih dahulu. Untuk menghindari bias data dalam pengukuran, maka penggunaan GPS dilakukan seminimal mungkin. GPS hanya digunakan pada lokasi yang benarbenar terbebas dari tutupan tajuk.
Pengukuran jarak antar trap dan areal
penelitian lebih banyak menggunakan cara manual, yaitu dengan kompas, 28
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
BAGIAN II
klinometer, dan roll meter. Setelah mendapatkan koordinat dalam bentuk UTM, selanjutnya data dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.2. Kemudian areal penelitian dan posisi perangkap dipetakan. Untuk mengetahui home range kelelawar, menggunakan bantuan fasilitas Auto filter dan Pivot table pada perangkat lunak Microsoft Excel 2003.
Setelah informasi diekstrak,
kemudian kembali dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.2 (Kingston, Pers. Comm., 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Komunitas Ukuran dan Komposisi Komunitas Ukuran komunitas dikalkulasikan dari keseluruhan individu yang tertangkap selama pengamatan.
Penelitian ini dilakukan dengan usaha pemasangan
perangkap harpa (harp trap) sebanyak 440 perangkap secara bertahap selama ± 6 bulan pengamatan.
Jumlah total kelelawar pemakan serangga yang berhasil
ditangkap di areal penelitian adalah sebanyak 7413 individu, 1861 individu diantaranya merupakan kelelawar yang berhasil tertangkap kembali (recaptured). Sehingga ukuran komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk yang berhasil ditangkap adalah sebesar 5552 individu yang terdiri dari 25 jenis, dan masuk ke dalam 5 famili, yaitu Hipposideridae, Nycteridae, Emmbalonuridae, Rhinolophidae, dan Vespertilionidae. Berdasarkan kriteria Jorgenssen dalam pengelompokan dominansi jenis, terdapat tiga spesies yang mendominasi komunitas kelelawar pemakan serangga di areal penelitian Way Canguk, namun yang paling mendominasi adalah dari jenis Hipposideros larvatus, dengan indeks dominansi sebesar 59.6%, disusul oleh Rhinolophus affinis dengan indeks dominansi sebesar 21.4%, dan yang terakhir Hipposideros cervinus dengan indeks dominansi sebesar 6.1% (Tabel 1). Dalam penelitian ini Hipposideros larvatus begitu melimpah jika dibandingkan dengan spesies lainnya. Nowak (1994) menyatakan, Hipposideros larvatus biasa tinggal bersama dalam koloni pada sebuah ruangan besar di bagian dalam gua yang Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
29
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
menyerupai kubah (chamber).
BAGIAN II
Selama periode pengamatan, Hipposideros
larvatus sering tertangkap dalam satu kelompok besar di setiap perangkap yang dipasang. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Hipposideros larvatus juga mencari makan dalam suatu kelompok besar. Tabel 1. Kelimpahan Jenis dan Indeks Dominansi Kelelawar Jenis Emballonoura monticulla Harpiocephalus harpia Hipposideros bicolor Hipposideros cervinus Hipposideros cineraceus Hipposideros diadema Hipposideros larvatus Kerivoula hardwickii Kerivoula intermedia Kerivoula minuta Kerivoula papillosa Kerivoula pellucida Kerivoula sp Miniopterus pusillus Murina cyclotis Murina rozendaali Murina suilla Nycteris tragata Phoniscus atrox Rhinolophus acuminatus Rhinolophus affinis Rhinolophus borneensis Rhinolophus lepidus Rhinolophus macrotis Rhinolophus trifoliatus Total
Jumlah
Indeks Dominansi (%)
1 1 57 341 47 19 3316 23 28 1 41 22 1 6 29 3 17 9 1 7 1192 133 234 1 22 5552
0.018 0.018 1.025 6.135 0.845 0.342 59.67 0.414 0.504 0.018 0.738 0.395 0.018 0.108 0.522 0.054 0.306 0.162 0.018 0.126 21.45 2.393 2.393 0.018 0.396 100
Rhinolophus affinis dan Hipposideros cervinus yang juga merupakan spesies dominan dalam komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, seringkali ditemukan bertengger bersama-sama dengan Hipposideros larvatus dan Hipposideros lepidus pada sebuah kubah besar (chamber) di goa-goa yang terdapat di Way Canguk. Goa diketahui sebagai tempat tinggal sebagian besar spesies yang berasal dari famili Hipposideridae dan Rhinolophidae, dua famili yang mendominasi di Way Canguk. Keberadaan beberapa goa yang terletak dekat 30
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
BAGIAN II
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
plot penelitian sebagai tempat tinggal beberapa spesies sangat mempengaruhi struktur komposisi komunitas di areal penelitian ini. Berdasarkan Tabel 1, jenis kelelawar yang paling jarang tertangkap oleh perangkap harpa adalah jenis Emballonoura monticulla, Harpiocephalus harpia, Kerivoula sp, Kerivoula minuta, Phoniscus atrox, dan Rhinolophus macrotis, yaitu masing-masing 1 individu yang tertangkap atau hanya 0,018% dari jumlah keseluruhan kelelawar yang tertangkap. Sebagian besar spesies yang jarang dan sangat jarang ditemui berasal dari famili Vespertilionidae. Famili Vespertilionidae merupakan famili yang memiliki banyak anggota spesies. Terdiri dari 42 genus dengan 355 spesies yang penyebarannya luas di seluruh dunia mulai dari daerah temperate hingga tropis. Beberapa spesies dari famili Vespertilionidae merupakan spesies yang soliter atau dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 2-7 individu dalam satu kelompok. Banyak faktor yang menyebabkan adanya variasi spesies yang tergolong dominan hingga sangat jarang pada studi ini. Medellin et al. (2000) menyatakan bahwa jumlah dan kehadiran spesies jarang adalah efek dari sebuah metode pengambilan sampling. Definisi jarang bisa disebabkan oleh konsekuensi dari bias yang terjadi pada sebuah metode perangkap atau disain pengambilan sampel atau bisa juga karena memang minimnya kemelimpahan spesies tersebut pada daerah studi (Kingston, 2003). Terlepas dari berbagai faktor baik internal maupun metode pengambilan sampel, faktor eksternal lainnya seperti habitat, juga merupakan faktor yang paling mempengaruhi hasil tangkapan.
Melimpahnya individu
dominan dimungkinkan karena adanya dukungan sumber daya, baik biotik dan abiotik yang melimpah.
Pada distribusi spasial spesies dominan hanya
dipengaruhi oleh sedikit faktor, sedangkan spesies yang jarang ditemui memiliki spesifikasi habitat yang sangat terbatas sebagai faktor pendukung, sehingga kombinasi beberapa faktor yang harus terpenuhi menyebabkan spesies tertentu sangat jarang ditemukan di alam (Estrada et al., 1993).
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
31
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
BAGIAN II
Rasio Jenis Kelamin, Tingkatan Umur, dan Status Reproduksi Betina Menurut Hill and Smith (1984), secara teori rasio jenis kelamin pada fetus, bayi yang lahir dan anakan yang sedang menyusu adalah 1:1, dan perbedaaan yang terjadi pada populasi paska pemeliharaan muncul karena perbedaan daya tahan hidup dari masing – masing jenis kelamin. Berdasarkan hal tersebut, jika jumlah dari salah satu jenis kelamin lebih besar, bisa diasumsikan bahwa daya hidup dari individu berjenis kelamin tersebut lebih besar dibandingkan dengan individu dari jenis kelamin lainnya. Tabel 2. Rasio Jenis Kelamin dan Tingkatan Umur Jenis E. monticulla H. harpia H. bicolor H. cervinus H. cineraceus H. diadema H. larvatus K. hardwickii K. intermedia K. minuta K. papillosa K. pellucida K. sp M. pusillus M. cyclotis M. rozendaali M. suilla N. tragata P. atrox R. acuminatus R. affinis R. borneensis R. lepidus R. macrotis R. trifoliatus Total
Jenis Kelamin Sex Ratio Tingkatan Umur Jantan Betina Remaja Dewasa 1 -:1 1 1 -:1 1 17 40 1:2,3 57 205 136 1,5:1 5 336 19 28 1:1,5 1 46 7 12 1:1,7 19 1173 2143 1:1,8 17 3299 4 19 1:4,75 23 16 12 1,3:1 28 1 1:1 23 18 1,2:1 41 5 17 1:3,4 22 1 1:1 3 3 1:1 6 14 15 1:1 29 2 1 2:1 3 8 9 1:1 17 4 5 1:1 9 1 -:1 1 2 5 1:2,5 7 590 602 1:1 1 1191 30 103 1:3,4 133 121 113 1:1 234 1 1:1 13 9 1,4:1 22 2260 3292 1:1,5 24 5528
Individu kelelawar yang sedang menyusui (lactating) ditandai dengan kelenjar mamae yang membesar dan berwarna putih. menekan puting susu perlahan. 32
Air susu dapat dilihat dengan
Individu kelelawar yang baru saja selesai
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
BAGIAN II
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
menyusui (recently post lactating), ditandai dengan puting susu yang kendur, tidak terdapat lagi air susu, dan kelenjar mamae tidak lagi berwarna keputihan. Kemudian jika puting susu ramping memanjang dan kendur, serta rambut-rambut di sekitar puting susu tidak ada, maka masuk dalam kategori post lactating. Dari pengamatan yang telah dilakukan di areal penelitian, diketahui ada 5 famili kelelawar pemakan serangga yang menghuni kawasan penelitian Way Canguk. Famili Vespertilionidae memiliki jumlah anggota yang paling beragam. Selama pengamatan tertangkap 12 jenis dari famili ini, atau hampir 50% dari jumlah keseluruhan jenis yang tertangkap. Meskipun jenis dari famili ini paling beragam, namun kelimpahannya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan anggota famili Hipposideridae dan Rhinolophidae.
Harpiocephalus harpia selama
pengamatan hanya tertangkap 1 kali, berjenis kelamin betina dan status reproduksinya Post Lactating atau telah menyusui. Anggota famili Vespertolionidae lainnya yang tertangkap hanya satu individu di antaranya yaitu Kerivoula minuta, Kerivoula sp, dan Phoniscus atrox. Dari ketiga jenis tersebut, semuanya berjenis kelamin jantan. Menyusul kemudian Murina rozendaali yang tertangkap sebanyak 3 individu, terdiri dari 2 jantan dan 1 betina. Status reproduksi betinanya telah menyusui.
Miniopterus pusillus juga
merupakan anggota dari famili Vespertilionidae, tertangkap sebanyak 6 individu dengan rasio jenis kelamin 1:1. Saat tertangkap pada bulan Desember, ketiga individu betina berstatus reproduksi pregnant. Meskipun hanya 3 individu betina yang berhasil tertangkap, namun dapat diasumsikan bahwa masa kehamilan spesies ini terjadi pada bulan Desember. Murina suilla tertangkap sebanyak 17 individu, memiliki rasio jenis kelamin mendekati 1:1, sehingga dari data tersebut, jenis ini ternyata memiliki ketahanan hidup yang hampir sama antara individu jantan dan betina. Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan Murina suilla, Kerivoula pellucida berhasil tertangkap sebanyak 22 individu, namun memiliki rasio jenis kelamin yang cukup berbeda, yaitu 1:3. Kondisi reproduksi betinanya sudah siap kawin, hanya 2 individu yang berstatus non reproductive. Kerivoula hardwickii berhasil tertangkap sebanyak 23 individu Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
33
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
BAGIAN II
dengan rasio jenis kelamin mendekati 1:4. Kerivoula intermedia dan Murina cyclotis berhasil tertangkap sebanyak 28 dan 29 individu, masing-masing rasio jenis kelaminnya mendekati 1:1, dan anggota famili Vespertilionidae yang paling banyak tertangkap adalah dari jenis Kerivoula pappilosa, dengan jumlah individu yang tertangkap sebanyak 41 individu, dan memiliki rasio jenis kelamin yang hampir mendekati 1:1. Tabel 3. Status Reproduksi Betina Jenis
NR
E. monticulla H. harpia H. bicolor H. cervinus H. cineraceus H. diadema H. larvatus K. hardwickii K. intermedia K. minuta K. papillosa K. pellucida K. sp M. pusillus M. cyclotis M. rozendaali M. suilla N. tragata P. atrox R. acuminatus R. affinis R. borneensis R. lepidus R. macrotis R. trifoliatus Total Keterangan:
NR P L RPL PL
15 74 7 2 911 10 3 3 2 8 2 5 3 260 34 72 2 1413
Status Reproduksi P L RPL 1 11 1 7 51 5 15 138 1 221 1 1 4 1 2 1 1 2 3 1 1 2 2 43 1 31 6 3 5 4 2 1 224 7 338
PL 1 13 4 1 10 872 3 8 13 11 6 1 2 2 267 60 32 4 1310
: Non Reproductive (belum bereproduksi) : Pregnant (bunting) : Lactating (menyusui) : Recently Post Lactating (baru selesai menyusui) : Post Lactating (telah menyusui)
Dari famili Emballonuridae, hanya ditemukan satu jenis yaitu Emballonura monticola, dengan jumlah tangkapan hanya satu individu berjenis kelamin betina 34
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
BAGIAN II
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
dan berstatus reproduksi pregnant. Famili Nycteridae juga hanya ditemukan satu jenis, yaitu Nycteris tragata, dengan jumlah tangkapan sebanyak 9 individu, terdiri dari 4 jantan dan 5 betina. Status reproduksi dari kelima individu betina berstatus non reproductive. Famili Hipposideridae didominasi oleh jenis Hipposideros larvatus, dengan jumlah individu yang tertangkap sebanyak 3316 individu atau 59,6% dari total keseluruhan individu yang tertangkap selama penelitian.
Menurut kriteria
Jorgenssen, jenis ini merupakan jenis yang mendominasi komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk (Di>5%). Jenis ini juga memiliki frekuensi relatif yang paling tinggi, yaitu 29,15% sehingga jenis ini merupakan jenis yang penyebarannya hampir merata di areal penelitian. Rasio jenis kelamin dari H. larvatus mendekati 1:2, dengan jumlah individu jantan sebanyak 1173 individu dan 2143 individu betina. Hipposideros cervinus menurut kriteria Jorgenssen merupakan jenis yang juga mendominasi komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, dengan total individu yang tertangkap sebanyak 341 individu atau 6,13%, terdiri dari 205 individu jantan dan 136 individu betina dengan rasio jantan betina sebesar 1,5:1. Anggota famili Hipposideridae yang berhasil ditangkap berikutnya adalah jenis H. bicolor, dengan total individu sebanyak 57 individu, terdiri dari 17 jantan dan 40 betina, sehingga perbandingan jenis kelamin jantan dan betina hampir mendekati 1:2. H. cineraceus tertangkap sebanyak 47 individu yang terdiri dari 19 jantan dan 28 betina, dengan sex ratio mendekati 1:1,5. Jenis ini merupakan jenis yang memiliki ukuran tubuh terkecil dari famili Hipposideridae, dengan panjang lengan bawah rata-rata hanya 38,5 mm dan berat rata-rata 5gr. Jenis yang memiliki ukuran tubuh terbesar dalam anggota famili Hipposideridae dan juga merupakan jenis yang terbesar dalam komunitas kelelawar pemakan serangga adalah H. diadema, dengan panjang lengan bawah mencapai 95mm dan berat mencapai 61 gr. Jenis ini berhasil ditangkap sebanyak 19 individu, terdiri dari 7 individu jantan dan 12 individu betina, dengan sex ratio 1:1,7. Status
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
35
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
BAGIAN II
reproduksi individu betina pada umumnya berstatus post lactating, yaitu 10 individu, dan 2 individu lainnya berstatus non reproductive. Famili Rhinolophidae merupakan famili yang juga mendominasi komposisi komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk. Jenis yang memberikan kontribusi terbesar dari famili ini adalah jenis R. affinis, yaitu dengan jumlah tangkapan sebanyak 1192 individu atau 21,45% dari total keseluruhan individu yang tertangkap selama pengamatan, terdiri dari 590 individu jantan dan 602 individu betina, dengan sex ratio mendekati 1:1. Anggota Famili Rhinolophidae yang menempati urutan kedua terbanyak adalah jenis R. lepidus, dengan jumlah total individu yang tertangkap sebanyak 234 individu, yang terdiri dari 121 individu jantan dan 113 individu betina, sehingga perbandingan jantan dan betina hampir
mencapai 1:1.
Anggota Famili Rhinolophidae
berikutnya yang berhasil tertangkap adalah
Rhinolophus borneensis. Jenis kelelawar ini pada umumnya tersebar di Indonesia Tengah, namun ternyata kelelawar ini merupakan kelelawar yang cukup sering tertangkap di areal penelitian Way Canguk, dengan total individu yang tertangkap sebanyak 133 individu yang terdiri dari 30 individu jantan dan 103 individu betina, sehingga perbandingan jantan dan betina adalah 1:3,4. Rhinolophus trifoliatus berhasil ditangkap sebanyak 22 individu, yang terdiri dari 13 individu jantan dan 9 individu betina, dengan rasio jantan dan betina sebesar 1,4:1. Dari 9 individu betina yang berhasil tertangkap, hanya 1 individu yang berstatus reproduksi non reproductive. Jenis yang paling jarang ditemui dalam Famili Rhinolophidae ini adalah jenis R. macrotis, yaitu hanya tertangkap 1 individu jantan. Pendugaan Daerah Jelajah (Home Range) Kelelawar Pendugaan home range kelelawar dalam penelitian ini didasarkan pada data individu kelelawar yang tertangkap kembali (recapture). Kelelawar yang telah ditandai dan kemudian tertangkap kembali dikelompokkan, kemudian dianalisis menggunakan program ArcView 3.2. Dari hasil analisis data, didapat home range terjauh dari jenis Hipposideros diadema, yaitu dengan radius 1029.56 m, dan 36
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
BAGIAN II
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
home range terdekat yaitu 89.67 m yang didapat dari jenis kelelawar Rhinolophus trifoliatus.
Perbedaan antara kedua jenis ini secara morfologis dapat dilihat
dengan mudah. H. diadema memiliki ukuran tubuh yang besar, dengan panjang lengan bawah berkisar antara 85,3 – 92 mm, sedangkan pada R. trifoliatus, panjang lengan bawah hanya berkisar antara 48,5 – 54,2 mm. Semakin panjang ukuran lengan bawah, maka bentangan sayap akan semakin lebar, sehingga berpengaruh terhadap kemampuan terbang dan daya jelajah kelelawar. Kendala yang dihadapi dalam pengumpulan data recapture adalah kelelawar pemakan serangga memiliki kecenderungan yang unik, yaitu bahwa kelelawar sangat jarang tertangkap kembali lebih dari 2 kali. Kecenderungan ini juga yang mungkin mengakibatkan jumlah kelelawar yang tertangkap pada penelitian ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Karakteristik Habitat Kelelawar pemakan serangga cenderung mencari makan pada bagian bawah hutan, serasah, semai, dan bukaan tumbuhan bawah. Serasah berasal dari dedaunan tua pada pohon yang berguguran di lantai hutan, yang merupakan habitat penting bagi beberapa serangga mangsa kelelawar. Semai merupakan tumbuhan perintis dengan ketinggian kurang dari 1 meter yang banyak tersebar di lantai hutan. Sebagai tumbuhan perintis, semai memiliki daun muda yang tepat untuk peletakan telur, sumber pakan, serta tempat tinggal berbagai jenis serangga. Serangga yang sering dijumpai
pada lantai hutan diantaranya meliputi ordo
Lepidoptera (ngengat), Isoptera (rayap), Orthoptera (belalang, cenggeret), Homoptera (wereng), Hymenoptera (lebah, tawon, semut), Coleoptera (kumbang) dan Diptera (nyamuk). Menurut Jones and Rydell (2003) serangga-serangga tersebut merupakan sumber pakan bagi kelelawar pemakan serangga. Spesifikasi tipe sarang dan bertengger pada kelelawar umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti morfologi, kemampuan ekolokasi dan terbang, ketersediaan sumber daya (makanan, air, tempat hibernasi), faktor iklim, dan ketersediaan tempat sarang dan bertengger (Wunder and Carey 1996, Kunz and Lumsden 2003).
Kelelawar menggunakan berbagai tipe tempat bersarang/bertengger.
Sebagian besar spesies biasanya memanfaatkan pohon (lubang/celah, pada Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
37
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
BAGIAN II
batang/ranting), dedaunan (di balik daun/di dalam dedaunan), gua atau pada celah bebatuan (Kunz and Lumsden, 2003). Pada penelitian ini sarang dan tempat bertengger dikelompokkan menjadi 3 tipe berdasarkan ketersediaannya di lokasi penelitian.
Tipe dedaunan, gua dan lubang-lubang.
Lubang-lubang di sini
termasuk di dalamnya adalah lubang pada tegakan pohon mati, pohon mati yang telah roboh, celah pohon, atau celah bebatuan. Pembagian ini berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya (WCS-IP, data tidak terpublikasi) maupun pengamatan selama penelitian. Wunder and Carey (1996) menyatakan sebagian spesies kelelawar
di
daerah
tropis
memanfaatkan
dedaunan
sebagai
tempat
sarang/bertengger. Penggunaan dedaunan sebagai tempat sarang/bertengger lebih potensial ditemukan dibandingkan lubang-lubang dan gua. Namun, tempat yang lebih terbuka membuat spesies yang memanfaatkannya beresiko dimangsa oleh satwa lain. Satwa yang pernah terlihat sedang memangsa kelelawar adalah elang kelelawar (Macheiramphus alcinus).
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pengamatan selama penelitian dan pengolahan data, maka dapat disimpulkan bahwa ukuran komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang berhasil ditangkap adalah 5552 individu, dengan komposisi terdiri dari 25 jenis yang termasuk ke dalam lima famili. Menurut kriteria Jorgenssen, Hipposideros larvatus, Rhinolophus affinis, dan Hipposideros cervinus merupakan jenis yang mendominasi komunitas kelelawar, dengan nilai masing-masing sebesar 59.6%, 21.4%, dan 6.13%. Rasio jenis kelamin antara jantan dan betina secara keseluruhan adalah 1:1,5, hal ini menunjukkan bahwa jumlah betina dalam komunitas kelelawar pemakan serangga di lokasi penelitian lebih banyak dibandingkan jumlah jantan. Tingkatan umur pada komunitas ini didominasi oleh dewasa, yaitu mencapai 99.6%, dan status reproduksi pada betina didominasi oleh status reproduksi non reproductive dengan persentase sebesar 43%. Pendugaan home range kelelawar pemakan serangga diperoleh radius terjauh dari jenis Hipposideros diadema, yaitu sejauh 1.029,56 m. 38
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
BAGIAN II
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai faktor penyebab terjadinya penurunan kelimpahan kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, serta menentukan metode yang lebih efektif, guna menduga home range kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. 2009. Proposal Manajemen Konservasi Monitoring Biodiversitas pada Hutan di Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT Sampoerna Agro Sumatera Selatan. Program Pascasarjana Biologi, Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Depok. Tidak Dipublikasikan. Barlow, K. 1999. Expedition Field Techniques Bats. Kensington Gore, London. Tidak dipublikasikan. Estrada, A., Coates-Estrada, R. and Meritt, D.Jr. 1993. Bat Species Richness and Abundance in Tropical Rain Forest Fragments and In Agricultural Habitats at Los Tuxtlas, Mexico. Ecography 16: 309-318. Hutson, A., Mickleburgh, S.P. and Racey, P.A. 2001. Microchiropteran Bats: Global Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN/SSC Chiroptera Specialist Group. Jones, G. and Rydell, J. 2003. Attack and Defense: Interaction between Echolocating Bats and Their Insect Prey. Pp 301 – 306. In: Bat Ecology. Kunz, T. H and Fenton M. B (ed). The University of Chicago Press. Chicago and London. Kingston, T. 2006. Analysis of Species Diversity of Bat Assemblages. In : Kunz, T.H & Parsons, S (ed.). Behavioral and Ecological Methods for Study of Bats. Smithsonian Institution Press. Washington. In press. Kingston, T., Francis, C.M., Akbar, Z. and Kunz, T.H. 2003. Species Richness in an Insectivorous Bat Assemblage from Malaysia. Journal of Tropical Biology, 19, pp 67-79. Kingston, T., Liat, L.B. and Akbar, Z. 2006. Bats of Krau Wildlife Reserve. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi. Kunz, T.H. and Lumsden, L.F. 2003. Ecology of Cavity and Foliage Roosting Bats. pp. 3-89 in Kunz, T.H & Fenton, M.B (ed.). Bat Ecology. The University of Chicago Press. United States of America. Medellin, R.A., Equihua, M. and Almin, M.A. 2000. Bat Diversity and Abundance as Indicators of Disturbance in Neotropical Rainforest. Conservation Biology 14, 6, pp 1666-1675.
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011
39
Prosiding : Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV “Peran Strategis Sains & Teknologi dalam Membangun Karakter Bangsa“
BAGIAN II
Payne, J. and Francis, C.M. 1985. A Field Guide to the Mamals of Borneo, Sabah and Serawak. World Wildlife Fund. Prastianingrum, H. 2008. Keanekaragaman Kelelawar Pemakan Serangga Pada Jalur Baru dan Jalur Lama di Hutan Primer Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung, Sumatra. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan. Suyanto, A. 2001. Seri Panduan Lapangan:Kelelawar Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi –LIPI. Bogor. Wildlife Conservation Society-Indonesia Program. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Dalam Ruang dan Waktu. Laporan Hasil Penelitian Juli 2000 - Juni 2001. PKHA/WCS-IP. Bogor. Tidak dipublikasikan. Wunder, L. and Carey, A.B. 1996. Use of the Forest Canopy by Bats. Northwest Science Vol.70.
40
Seminar Nasional Sains & Teknologi – IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, 29 – 30 November 2011