RAKITAN TEKNOLOGI SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN Bogor,
2006
MODEL SISTEM USAHATANI INTEGRASI BERBASIS PADITERNAK SAPI DI LAHAN SAWAH IRIGASI F. Kasijadi, Ali Yusran, Wahyunindyawati dan Suwono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur I PENDAHULUAN Kegiatan pertanian di Jawa Timur didominasi oleh usahatani padi. Walaupun kegiatan usahataninya berskala usaha sempit (72% keluarga tani memiliki lahan kurang dari 0,5 ha), tetapi secara nasional Jawa Timur pada tahun 2004 mampu memberikan kontribusi produksi padi sekitar 16,66%. Namun demikian dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2000 – 2005) produktivitas padi peningkatannya relatif mengalami penurunan. Produktivitas padi pada tahun 2000 sebesar 53,85 kw/ha menjadi 53,18 kw/ha pada tahun 2005 (Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur, 2000; 2006). Akan tetapi menurunnya produktivitas tersebut tidak diikuti dengan menurunnya biaya produksi, akibatnya daya saing hasilnya juga menurun. Hal ini berakibat harga produk pertanian di dalam negeri belum mampu bersaing dengan harga produk pertanian dari luar negeri (Suyamto dan Kasijadi, 2000). Penyebab terjadi turunnya produktivitas dan efisiensi usahatani padi dan kedelai di Jawa Timur di antaranya adalah : (a) sebagian besar petani menggunakan benih kualitas rendah dan jumlahnya berlebihan; (b) bibit yang ditanam umurnya relatif tua; (c) penanaman yang intensif diikuti penggunaan pupuk yang tidak rasional berakibat tingkat kesuburan tanah menurun karena semakin rendahnya bahan organik dalam tanah; (d) berkembangnya organisme pengganggu tanaman (OPT) dan (e) penguasan lahan semakin menyempit. Cara pegelolaan lahan yang kurang terpadu dan tidak memperhatikan kaidah kelestarian lahan serta lingkungan, serta eksploitasi secara intensif dan terus menerus mengakibatkan menurunkan kesuburan dan sifat fisik tanah. Terabaikannya penggunaan bahan organik dan intensifnya pembelian pupuk kimia pada lahan sawah telah menyebabkan kandungan organik tanah menurun baik jumlah maupun kualitasnya, sehingga mengurangi efisiensi penggunaan pupuk kimia dan menurunkan produktivitas lahan. Hal ini berakibat daya saing hasil padi, jagung, kedelei dan kentang menurun dan akhirnya pendapatan masyarakat tani menjadi rendah. Untuk meningkatkan produktivitas padi telah tersedia rakitan teknologi pengelolaan terpadu spesifik lokasi, meliputi : (a) adanya varietas unggul spesifik lokasi yang dapat diterima oleh petani dan tidak berdampak negatif terhadap kelestarian alam; (b) pemupukan rasional spesifik lokasi yang mengacu pada kandungan hara tanah dan
kebutuhan tanaman; (c) penambahan pupuk organik, karena semakin rendahnya bahan organik dalam tanah; dan (d) pengendalian hama dan penyakit (Irsal Las dkk, 2002). Berkaitan dengan dibutuhkannya peningkatan input pupuk organik/kompos di daerah sentra produksi beras tersebut, maka untuk kepentingan efisiensi usaha perlu kiranya mengintegrasikan usaha ternak sapi ke dalam sistem agribisnis usahatani padi di lahan sawah melalui penerapan usahatani terpadu tanaman padi-ternak. Komoditas ternaknya antara lain berupa sapi potong. II PERMASALAHAN Salah satu komponen teknologi dalam pengelolaan tanaman padi secara terpadu adalah pemupukan organik dengan dosis sekitar 2 t/ha/musim. Permasalahan yang ada dalam penerapan teknologi tersebut adalah terbatasnya pupuk organik yang dikuasai petani dengan menurunnya jumlah ternak sapi di daerah lahan sawah akibat beralihnya pengolahan tanah menggunakan sapi menjadi traktor dan mahalnya pakan sapi. Untuk menekan biaya usaha ternak sapi di lahan sawah, diperlukan rakitan teknologi pengelolaan ternak sapi dengan bahan pakan utama dari limbah tanaman pangan. Keberadaan ternak sapi dalam sistem usahatani terpadu ini berperan sebagai donatur bahan baku pupuk organik/pupuk kandang. Sedang kehidupan dan proses produksi sapi terutama ditopang oleh seluruh sumber daya lokal yang ada di lingkungan usahatani padi sawah tersebut. Selain itu usahaternak sapi ini harus dapat berperan pula sebagai salah satu sumber pendapatan petani dari luar usahatani padinya. Untuk mencukupi kebutuhan pupuk organik di lahan sawah dan memberikan tambahan pendapatan petani, para petani dipacu mengusahakan ternak sapi untuk memproduksi pupuk organik dengan biaya murah, diperlukan model integrasi usahatani padi ternak sapi dengan bahan pakan utama dari jerami padi. Telah tersedia rakitan teknologi pengelolaan ternak sapi dengan pakan utama dari jerami padi (Haryanto dkk, 2002). Disadari bahwa belum optimalnya produktivitas dan kurang efisiennya usahatani padi dikarenakan petani sebagai manajer mempunyai kemampuan yang berbeda dalam : (a) penyediaan sarana produksi yang tepat waktu, jenis dan dosis (b) penerapan teknologi budidaya dan (c) pemasaran hasil. Hal ini dikarenakan: (1) tingkat pendidikan sebagian besar petani hanya tamat sekolah dasar; (2) modal yang dimiliki sangat terbatas; (3) tingkat informasi teknologi terbatas; dan (4) belum berorientasi pada pasar. Salah satu model untuk mendukung program utama pembangunan pertanian ke depan dengan adanya banyak petani skala usaha kecil di lahan sawah adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian yang dikuasai petani melalui
perbaikan kelembagaan kelompok tani (Cooperative Farming). Oleh karena itu dengan penerapan Cooperative Farming diharapkan dapat meningkatkan daya saing hasil tanaman padi-sapi. Untuk menjawab tantangan yang dihadapi petani, diperlukan teknologi inovatif yang dihasilkan dari pengembangan model usahatani terpadu berbasis padi-ternak sapi dengan pendekatan model agribisnis yang didukung oleh penguatan kelembagaan tani. Melalui usaha-usaha tersebut, peluang pengembangan usaha agribisnis akan lebih terbuka sehingga memberikan kesempatan kerja yang lebih luas dan pendapatan petani meningkat. III STRATEGI MODEL USAHA Sistem integrasi berbasis padi-ternak sapi di suatu wilayah dapat berbeda dengan wilayah lain, bergantung keinginan petani, permasalahan dan potensi sumberdaya masing-masing wilayah. Penetapan model usahanya ditentukan bersama-sama petani melalui analisis kebutuhan teknologi atau pendekatan partisipasi pedesaan (PRA). Dalam penerapannya dapat mengikuti pendekatan model usahatani kooperatif (Cooperative Farming). Cooperative Farming yaitu model pemberdayaan kelompoktani melalui: (a) rekayasa sosial dengan penguatan kelembagaan, penyuluhan dan pengembangan sumberdaya manusia; (b) rekayasa ekonomi dengan pengembangan akses permodalan, sarana produksi dan pasar; (c) rekayasa teknologi melalui kesepakatan gabungan antara teknologi anjuran dan kebiasaan petani; dan (d) rekayasa nilai tambah melalui pengembangan usaha off-farm secara vertikal dan horizontal (Kasijadi, 2000). Model ini dilaksanakan melalui : (a) pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil dilakukan secara korporasi oleh satu manajemen dalam kelompok; dan (b) pelaksana usahatani oleh anggota kelompok tani mengacu pada teknologi kesepakatan bersama oleh anggota kelompok tani berdasarkan masalah yang ada, masukan dari peneliti/penyuluh (top-down) dan pengalaman petani (bottom-up) (Gambar 1). Proses penerapan model Cooperative Farming di kelompok tani disajikan pada Tabel 1. Tahapan penerapan model usahatani integrasi berbasis padi-ternak sapi sebagai berikut:
Manajemen Cooperative Farming Coorperative Farming
Korporasi Permodalan Saprodi Sarana mekanisasi
Parsial Berdasarkan Teknologi Partisipatif On – farm Of - farm
Korporasi Pengolahan hasil Pemasaran
Petani Pengelola Dukungan saprodi dan Pelayanan mekanisasi
Pengumpulan dan penjualan hasil
Gambar 1. Pengembangan Model Cooperative Farming Spesifik Lokasi a. Penguatan kelembagaan tani Pengembangan kelompok tani melalui model Cooperative Farming berasal dari kelompok tani sehamparan yang telah ada binaan penyuluh pertanian dengan luas hamparan sekitar 50-100 ha, dalam satu wilayah masyarakat yang telah ada (desa/dusun) dan letak hamparannya dalam satu jaringan irigasi (jaringan sekunder). Penentuan luas hamparan tergantung dari kemampuan kelompoktani dalam melaksanakan korporasi usahanya. Untuk penguatan kelompok tani dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar dengan model partisipatif, melakukannya sebagai suatu unit produksi dan wahana kerjasama yang diarahkan ke suatu kelompok usaha dalam skala ekonomi yang berwawasan agribisnis. Kehadiran koperasi tani (Koptan) yang berada dalam kelompok tani tersebut diharapkan dapat mempercepat terwujudnya tujuan dari model Cooperative Farming. Menurut Sudaryanto dan Basuno (2000), pemberdayaan masyarakat petani diharapkan dapat mengubah perilaku petani tersebut sehingga menjadi kuat dan mandiri melalui pendekatan partisipatif.
Tabel 1. Tahap Penerapan Model Usahatani Kooperatif Tahapan Penguatan Kelembagaan tani Penentuan strategi usaha Penentuan Paket Teknologi Spesifik Lokasi (top-down & bottom-up) Konsolidasi Manajemen Pengadaan Saprodi. Konsolidasi Manajemen Usahatani Konsolidasi Manajemen Pemasaran
Peran Ketua Kelompok Koordinasi penyusunan aturan main dan pertemuan kelompok Koordinasi penyusunan aturan main dan pertemuan kelompok Mengkoordinasi untuk memperoleh kesepakatan teknologi usaha yang akan dilaksanakan. Diadakan secara korporasi berdasarkan hasil teknologi kesepakatan. Pengaturan waktu tanam, dilakukan pengawasan dalam penerapan teknologi kesepakatan. Koordinasi membantu pemasaran hasil
Peran Petani Anggota Partisipasi aktif menentukan aturan main dan pertemuan kelompok Partisipasi aktif menentukan aturan main dan pertemuan kelompok Partisipasi aktif untuk memperoleh kesepakatan teknologi yang akan digunakan. Membayar kredit jasa alsintan, saprodi sesuai hasil kesepakatan kebutuhan teknologi. Menerapkan teknologi kesepakatan.
Peran Pemerintah/BPTP Fasilitator
Membantu pemasaran dan mengembalikn kredit
Fasilitator dalam proses pemasaran hasil
Fasilitator
Masukan teknologi (topdown) spesifik lokasi yang efisien. Membantu permodalan, memperlancar pengadaan saprodi dan alsintan. Fasilitator dan kat alisator dalam penerapan teknologi.
b. Penentuan strategi usaha Salah satu komponen teknologi dalam budi daya padi di lahan sawah yang harus dilaksanakan adalah pemupukan organik, sehingga diperlukan setiap usaha integrasi berbasis padi-ternak sapi di lahan sawah yang secara ekonomis efisien (gambar2). Efisiensi usaha tani padi meningkat
USAHATANI PADI (PTT)
PUPUK ORGANIK
SUMBANGAN
Induk RANSUM suplementasi
Ternak sapi
❖ ❖
PAKAN HIJAUAN DEDAK
Pendapatan petani meningkat
Efisiensi usaha ternak meningkat RANSUM Bahan baku lokal
penggemukkan
Gambar 2. Model Strategi Usahatani Integrasi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing
Rancang bangun dalam suatu integrasi berbasis padi-ternak sapi disusun secara partisipatif melalui PRA. Penentuannya dengan memperhatikan kondisi internal kelompoktani dan faktor eksternal berkaitan dengan yang akan diusahakan meliputi pilihan model integrasi, dengan sapi potong induk atau penggemukan, sistem perkandangan kelompok atau individu dan jumlah sapi yang diusahakan. Faktor internal diusahakan kelompok tani meliputi: sumberdaya fisik dan prasarana yang tersedia serta kemampuan sumberdaya manusia. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari jaringan tugas antar organisasi, keadaan institusi sektor pelayanan masyarakat dan pengaruh lingkungan berkaitan faktor ekonomi. Dengan memperhatikan kekuatan faktor internal dan peluang faktor eksternal, disusun rancang bangun sistem integrasi berbasis padi-ternak sapi disuatu wilayah. c. Penentuan Paket Teknologi Spesifik Lokasi. Paket teknologi introduksi bersifat spesifik lokasi meliputi pilihan varietas unggul, dosis pupuk, teknologi budidaya, dan penanganan pasca panen, didasarkan kesepakatan anggota kelompok tani antara top-down dan botom-up. Tujuannya untuk memperoleh paket teknologi spesifik lokasi yang efisien dan akan diterapkan oleh anggota kelompok tani. Ketua kelompok tani berperan mengkoordinasi dalam pengambilan keputusan, sedangkan pemerintah daerah memberi masukan teknologi spesifik lokasi yang efisien. d. Konsolidasi Manajemen Pengadaan Saprodi dan Modal Pengadaan peralatan pengolahan tanah, benih, pupuk dan pestisida serta modal usaha dilakukan secara korporasi. Pengadaan sarana produksi didasarkan dari hasil kesepakatan di dalam penentuan paket teknologi spesifik lokasi. Pemerintah diharapkan membantu menyediakan kredit berupa ternak sapi, sarana produksi dan modal kerja. e. Konsolidasi Pelakasanaan Usaha Pengelolaan usaha dilaksanakan oleh anggota kelompok tani dengan mengacu pada teknologi yang telah disepakati bersama. Ketua kelompok tani bertugas mengatur waktu tanam dan pengawasan dalam pelaksanaan kesepakatan usaha. Pengaturan air irigasi dikembangkan melalui HIPA, PHT dan usaha ternak sapi dilakukan oleh tenaga yang telah dilatih.
f. Konsolidasi Manajemen Pemasaran Pemasaran dilakukan secara korporasi. Manajer bertugas mencari kerjasama dalam bidang pemasaran hasil. Anggota kelompok tani menerima sisa hasil setelah dikurangi pinjaman baik dalam bentuk biaya pengolahan tanah, saprodi, panen dan lain sebagainya. Pemerintah diharapkan dapat sebagai fasilitator dalam pemasaran hasil. TEKNOLOGI PENDUKUNG SISTEM USAHATANI INTEGRASI 1. Pengelolaan Tanaman Padi Secara Terpadu PTT atau Pengelolaan Tanaman Terpadu adalah suatu pendekatan dalam budi daya padi yang menekankan pada pengelolaan tanaman, lahan, air dan organisme pengganggu secara terpadu. Pengelolaan yang diterapkan mempertimbangkan hubungan sinergis dan komplementer antar-komponen. Pendekatan PTT didasari oleh: (1) kajian akan kebutuhan dan aspirasi petani setempat, (2) perlunya memadukan pengelolaan tanaman, lahan, air dan organisme pengganggu sesuai dengan kemauan dan kemampuan petani, (3) kesesuaian, interaksi dan sinergi antar komponen teknologi, dan (4) sistem budi daya yang dinamis sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemampuan petani. Teknologi bersifat umum yang seyogyanya diterapkan oleh petani, yaitu (1) benih bernutu dari varietas unggul yang cocok (baik dari segi daya hasil, cita rasa, umur, maupun ketahanan terhadap hama penyakit tertentu) untuk lokasi setempat; (2) pengembalian sisa tanaman (jerami) dan pemberian pupuk kandang/organik; (3) pemupukan an-organik sesuai dengan ketersediaan hara dalam tanah dan kebutuhan tanaman (acuan rekomendasi pupuk ini telah dituangkan dalam SK Menteri Pertanian No.01/Kpts/SR.130/1/2006); (4) penggunaan bibit muda (umur 2-3 minggu) 1-3 bibit per rumpun; (5) pengairan berselang (intermitten) bila memungkinkan; dan (6) penanganan panen dan pasca panen secara tepat. Sebagai contoh analisis ekonomi penerapan Teknologi PTT padi dilaksanakan pada anggota kelompok tani Subur Makmur dan Mekarsari desa Bulu kecamatan Berbek Kabupaten Nganjuk. PTT MK-2 2005 dan SIPT secara partisipatif. Teknologi PTT disusun secara partisipatif berdasarkan pengalaman petani dan permasalahan yang ada serta teknologi anjuran PTT dari BPTP oleh petani di 2 kelompok tani meliputi : (a) varietas unggul; (b) umur bibit; (c) sistim tanam jajar legowo; (d) penggunaan pupuk organik; (e) dosis pupuk anorganik sesuai dengan kesepakatan; dan (f) pengendalian HP melalui PHT. Anjuran pemupukan P dan K dari BPTP Jawa Timur didasarkan status hara P dan K dalam tanah. Teknologi PTT yang telah disepakati disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rakitan Teknologi Partisipatif Pengelolaan Tanam Padi Secara Terpadu. Di Kabupaten Nganjuk, MK-2 2005 Komponen Teknologi
PTT Petani
PTT Partisipatif
PTT Rekomendasi
1. Varietas 2. Jumlah benih (kg/ha) 3. Umur bibit (hari) 4. Cara tanam 5. Pupuk Organik (t/ha) 6. Pupuk An-organik (kg/ha) -Phonska -Urea -ZA 7. Pengendalian hama penyakit
Ciherang 60 25 (20x20) cm -
Ciherang 50 21 Jajar legowo (20x40x10) cm 1
Ciherang 40 21 Jajar legowo (20x40x10) cm 2
200 250 100 PHT
120 300 PHT
120 300 PHT
Dari hasil penerapan PTT secara partisipatif pada MK-2 2005 di kelompok tani Subur Makmur dan Mekarsari Kabupaten Nganjuk ternyata produktivitas padi yang diperoleh petani rata-rata mencapai 75,50 kw GKP/ha, tertinggi mencapai sebesar 79,20 kw/ha dan terendah sebesar 70,25 kw/ha. Produktivitas ini lebih tinggi dibandingkan hasil yang diperoleh petani sebelum menerapkan teknologi PTT secara partisipatif pada MK-2 2005, yang hasilnya sebesar 64,20 kw/ha. Akan tetapi apabila petani bersedia menerapkan teknologi PTT sesuai anjuran, produktivitas padi yang diperoleh masih dapat ditingkatkan hingga mencapai 82,00 kw/ha (Kasijadi dkk, 2005). Ditinjau dari daya saing hasil ternyata penerapan teknologi secara partisipatif dapat meningkatkan produktivitas padi 17,60% dan keuntungan sebesar 24,54% serta keunggulan kompetitif lebih tinggi 11% dibandingkan dengan apabila petani menerapkan teknologi sebelumnya. Apabila petani bersedia menerapkan teknologi anjuran PTT, maka produktivitasnya masih dapat meningkat 8,61 % dan keuntungan 8,29 % serta keunggulan kompetitif lebih tinggi 4,98 % dibandingkan dengan teknologi PTT secara partisipatif (Tabel 3). Tabel 3 Nilai Nisbah Produktivitas dan Keuntungan serta Keunggulan Kompatitif dalam Penerapan Teknologi PTT Padi di Kabupaten Nganjuk, MK-2 2005 Lokasi/Ukuran Nilai Nisbah (%) • Produktivitas • Keuntungan Nilai Indikator Kompetitif • Produksi minimal (kg/ha) • Harga minimal (Rp/kg)
Teknologi Partisipatif vs Teknologi Petani
Teknologi Anjuran vs Teknologi Partisipatif
17,60 24,54
8,61 9,17
6.712 (88,92) 1.156
7.810 (95,52) 1.238
Keterangan : Angka dalam kurung adalah persentase terhadap produktivitas atau harga hasil dari teknologi yang dibandingkan
2. Usaha ternak sapi potong Komponen – komponen teknologi dalam budidaya sapi potong yang dirakit berkaitan dengan pewujudan sistem usahatani integrasi padi – ternak sapi di suatu kawasan lahan sawah irigasi pada dasarnya ditujukan untuk : (1) peningkatan ketersediaan bahan pakan sapi, (2). peningkatan kualitas limbah pertanian maupun agroindustri yang dihasilkan sebagai pakan, (3) peningkatan kualitas ransum berbahan dasar sumber daya lokal, dan (4) peningkatan ketersediaan kompos berbahan baku kotoran sapi/ feaces. Implementasi rakitan teknologi guna mendukung sistem usahatani integrasi padi-ternak sapi di kawasan lahan sawah irigasi tersebut diwadahi, difasilitasi dan dipadukan oleh suatu kelembagaan tani, baik internal maupun eksternal. ad 1. Peningkatan ketersediaan bahan pakan sapi a. Peningkatan produksi dedak padi dalam kawasan. Kegiatan ini berupa semaksimal mungkin agar gabah padi yang dihasilkan dalam kawasan digiling di dalam kawasan itu juga, misal mendirikan Rice Miling Unit (RMU) yang dikelola oleh Kelompok (Gabungan Kelompok Tani/GAPOKTAN). Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan dedak padi bagi pakan sapi – sapi anggota kelompok dalam kawasan usahatani integrasi padi – ternak sapi. Potensi dedak padi yang dapat dihasilkan tiap panenan per 1 Ha adalah sekitar 1½ ton dedak padi (asumsi 1 Ha menghasilkan 6 ton GKP). b. Peningkatan produksi pakan hijauan asal daun jagung muda. Upaya ini diwujudkan dengan menggalakan gerakan penanaman tanaman jagung di pematang – pematang sawah untuk pakan ternak (tidak utama untuk dipanen jagungnya). Teknik penanaman yang direkomendasikan adalah sebagai berikut : - Jarak tanam = 20 cm - Jumlah biji per lubang = 3 buah - Dipupuk kompos dan urea (mengikuti anjuran pemupukan tanaman jagung secara umum) - Dipanen pada umur 50 hari; jadi dalam 1 musim tanam padi dapat dilakukan penanaman/pemanenan 2 kali. - Hasil yang diperoleh = 3,6 kg daun jagung per panen. Jika diasumsikan 1 Ha terdapat panjang pematang sawah sekitar 1000 meter yang dapat ditanami jagung untuk pakan sapi, maka setiap 1 Ha sawah per musim tanam padi tersedia sekitar : (1000 meter x 3,6 kg/ meter x 2 kali panen) = 7.200 kg daun jagung. - Apabila diikuti dengan penerapan teknoloi silase, maka tiap harinya tersedia daun jagung segar/ silase sebanyak : (7.200 kg ÷ 100 hari)
= 72 kg/hari; yang berarti dapat menampung sapi dewasa sebanyak : (72 kg ÷ 23 kg/ekor/hari) = 3 ekor atau 3 Unit Ternak (asumsi ransum 100 % daun jagung). c. Peningkatan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan sapi. Upaya ini dapat diwujudkan dengan menerapkan teknologi alkali treatment, amoniasi, fermentasi atau teknologi sederhana dengan teknik pengawetan jerami padi dengan menggunakan garam dapur. Semua teknologi tersebut telah lama dimasyarakatkan. d. Pengadaan pakan konsentrat secara mandiri oleh Kelompok. Langkah – langkah dalam pemberdayaan pengadaan konsentrat secara mandiri oleh Kelompok Tani : 1. Pelatihan tentang penghitungan formulasi konsentrat terhadap beberapa anggota ( 2 – 4 anggota ) untuk dijadikan sebagai formulator 2. Pelatihan secara kelompok cara pencampuran bahan – bahan penyusun konsentrat. 3. Pelatihan terhadap anggota kelompok tentang pengorganisasian pengadaan bahan baku, penyimpanan, proses produksi, dan pemasaran. 4. Pelatihan terhadap beberapa anggota kelompok tentang akuntasi biaya produksi secara sederhana. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pakan konsentrat dengan bahan baku kulit kopi, dedak kasar, tetes, bungkil kelapa dan mineral mix yang diproduksi oleh kelompok ternak ”Sejahtera” Desa Cluring, kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi mempunyai kualitas baik dengan harga pokok Rp 600,-/kg yang lebih rendah dibandingkan harga konsentrat luar dengan harga diatas Rp 750,-/kg (Tabel 4) ad 2. Peningkatan kualitas limbah pertanian yang dihasilkan sebagai pakan. Peningkatan kualitas gizi jerami padi sebagai pakan dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi alkali treatment, amoniasi, fermentasi atau disiram larutan urea – tetes yang diencerkan saat disajikan kepada sapi.
Tabel 4
Analisis Ekonomi Pembuatan Pakan Konsentrat Berbasis Bahan Baku Lokal (100kg), Banyuwangi, 2005. Fisik Harga Nilai Uraian (kg/l/hok) (Rp/satuan) (Rp/) Bahan Dedak kasar 51 500 25.500 Bungkil kelapa 21 900 18.900 Kulit kopi 25 200 5.000 Tetes 2 2.000 4.000 Mineral mix 1 2.000 2.000 Wadah 2 750 1.500 Jumlah 56.900 Tenaga Kerja Mencampur Mengemas Jumlah Total Biaya
2.500 500 3.000 100
59.900
ad 3. Peningkatan kualitas ransum berbahan dasar sumber daya lokal 3.1.
Untuk sapi potong induk (produksi anak sapi/ pembibitan/ pembiakan).
Teknologi yang direkomendasikan adalah teknik suplementasi pilihan/ surge feeding 70 hari pertama pasca beranak dan diikuti dengan layanan sistem perkawinan sapi yang efektif, baik dengan program IB maupun kawin alam (penyediaan pejantan yang memadai). Tujuan utama adalah mengoptimal lama periode anestrus pasca beranak dan akhirnya dapat dicapai optimalisasi jarak beranak. Teknik surge feeding 70 hari pertama pasca beranak dapat dilakukan dengan teknik sebagai berikut : - Ransum dasar/ basal terdiri dari rumput lapangan (segar) 25 kg/ ekor/ hari + jerami padi 5 kg/ ekor/ hari. - Ransum suplemetansi terdiri dari 100 bagian dedak padi, 2 bagian urea dan 5 bagian molases/tetes. Jumlah pemberiannya adalah 4 – 5 kg/ekor/hari selama 70 hari pertama pasca beranak. Perhitungan keuntungan dengan penerapan teknik suplementasi pilihan yang diuji coba di kabupaten Nganjuk tahun 2006 adalah :
I. Dasar dan asumsi yang digunakan dalam perhitungan A. Tampilan kinerja prestasi reproduksi sapi induk Uraian Pola petani - Lama periode anestrus 6 postpartum (pasca beranak) (bulan) -Service per conception (kali) 2 - Lama periode bunting kembali 8 pasca beranak (bulan) -Jumlah beranak (bulan) 17
Pola perbaikan 2
2 4 13
B. Ransum basal per hari berdasarkan kebiasaan Ransum basal per hari berdasarkan kebiasan terdiri dari : a. 25 kg rumput lapangan @ Rp 100/kg b. 5 kg jerami padi @ Rp 50/kg Total biaya ransum basal per hari
kehidupan di kedua pola = Rp 2.500,= Rp 250,= Rp 2.750,-
C. Ransum suplementasi pilihan/surge feeding B Komposisi ransum suplementas pilihan/surge feeding Nama Bahan Komposisi (kg) Harga (Rp,-) - Dedak padi 100 1.000 - Urea 2 1.500 - Tetes/molasses 5 2.000 Total keseluruhan 107 Harga per kg D.U.T
Biaya (Rp,-) 100.000 3.000 10.000 113.000 1.060,-
Harga yang berlaku di Desa Bulu Kecamatan Berbek Kabupaten Nganjuk, bulan Juli 2006
D. Biaya pelaksanaan surge feeding selama 70 hari pasca beranak tiap 1 periode produksi 1 ekor pedet - Pemberian D.U.T per hari/ekor = 4 kg - Lama periode pemberian = 70 hari - Total biaya pelaksanaan surge feeding = (4 kg x 70 hari x Rp 1.060,-) = Rp 296.800,-
II. 1. Perhitungan perbandingan analisis ekonomi Uraian
Pola petani
a. Lama waktu untuk menghasilkan 1 ekor pedet b. Biaya ransum basal yang diberikan per hari c. Total biaya ransum basal yang diberikan selama periode menghasilkan 1 ekor pedet (axb) d. Biaya tambahan untuk penerapan surge feeding dalam 1 periode produksi 1 ekor pedet e. Biaya keseluruhan pakan dalam 1 periode untuk menghasilkan 1 ekor pedet (c+d)
17 bulan/510 hari
Pola perbaikan (surge feeding) 13 bulan/390 hari
Rp 2.750,-/hari
Rp 2.750,-/hari
Rp 1.402.500,-
Rp1.072.500,-
-
Rp296.800,-
Rp 1.402.500,-
Rp1.369.300,-
II. 2. Dalam 1 periode masa produksi (life production) dari 1 ekor induk Uraian a. Umur sapi induk saat diafkir b. Umur saat beranak pertama c. Lama periode masa produksi d. Jumlah anak/pedet yang dapat dihasilkan selama masa produksi (c: jarak beranak)
Pola petani 8 tahun 3 tahun 5 tahun 3 ekor
Pola perbaikan (surge feeding) 8 tahun 3 tahun 5 tahun 5 ekor
3.2. Untuk penggemukan sapi potong. Hal – hal yang dianjurkan dalam pelaksanaan usaha penggemukan sapi potong di kawasan lahan sawah irigasi berkaitan dengan implementasi usahatani integrasi padi – ternak sapi adalah sebagai berikut : - Dilakukan secara kooperatif dalam wadah Kelompok Tani mulai dari pengadaan sapi bakalan, bahan pakan hijauan dan pakan penguat/konsentrat sampai dengan penjualan hasil penggemukan. - Diterapkan ransum rasional dan selalu memperhatikan harga bahan pakan (spesifik lokasi) serta diutamakan memprosionalkan kandungan protein dan enersi ransum. - Diutamakan pemakaian secara maksimal bahan pakan sapi yang berasal dari kawasan usahatani integrasi yang dibangun (Low external input). - Diterapkan teknik efisiensi kecernaan dalam rumen, misal by-pass protein, defaunasi partial, dan pemakaian probiotik (teruatama probiotik sellulotik). Salah satu model ransum penggemukan sapi (lama penggemukan 4 bulan) ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi bahan pakan penyusun ransum yang diberikan selama pengemukan Berat badan awal penggemukan (kg)
Sekitar 300
Sekitar 330
Nama bahan pakan Ampas tahu Dedak padi Konsentrat Tetes Minyak ikan (per 3 hari) Tebon Jerami padi fermentasi Ampas tahu Dedak padi Konsentrat Tetes Minyak ikan (per 3 hari) Tebon Jerami padi fermentasi
Jumlah pemberian (kg/ekor/hari) Bulan Bulan Bulan ke 1 ke 2 ke 3 - 4 6 2 2 0,25 0,03 7 5 5 2 1,75 0,25 0,03 8 5
7 2 2,25 0,25 0,03 7 5 7 2 2,25 0,25 0,03 8 5
7 2 2,25 0,25 0,03 10 5 8 2 2,25 0,25 0,03 10 5
Keterangan : Pola ransum ini apabila diterapkan di kawasan lahan sawah irigasi membutuhkan pangadaan dari luar kawasan untuk bahan – bahan ampas tahu, tetes, minyak ikan
Hasil analisis ekonomi dan uji coba penerapan ransum penggemuk sapi secara rasional di kabupaten Banyuwangi tahun 2005 disajikan pada Tabel 6 Tabel 6.
Rata – rata profit hasil penggemukan 3 bulan pada kelompok sapi yang diberikan ransum sesuai pedoman dan tidak mematuhi pedoman.
Parameter - Biaya ransum per 1 kg BB (Rp,-/ 1 kg BB/ hr) - Total biaya ransum per ekor selama 3 bulan (Rp,-/ ekor/ 3 bulan ) - Pertambahan harga sapi setelah 3 bulan (Harga akhir* – harga awal) - Profit hasil 3 bulan penggemukan (Pertambahan harga – total biaya ransum)
Tanpa mengikuti pedoman ransum
Mengikuti pedoman ransum
21,- ± 2,-
17,- ± 1,-
716.100,- ± 35.100,1.350.000,- ± 90.000,-
515.610,- ± 5.550,1.490.000,- ± 145.000,-
633.900,-
975.390,-
Keterangan : Atas dasar taksiran harga sapi oleh 5 orang panelis*
ad 4. Peningkatan ketersediaan kompos berbahan baku kotoran sapi/ feaces. Produksi kompos kotoran sapi di kawasan usahatani integrasi padi – ternak sapi di lahan sawah irgasi harus menerapkan teknologi pembuatan kompos yang menggunakan decomposer probiotik yang sudah banyak dimasyarakatkan dengan bermacam – macam merk
probiotik. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik/ kompos tiap musim tanam ( 4 bulan sekali sesuai anjuran dalam PTT padi ). Target produksi kompos adalah 150 kg/ ekor/ bulan, jadi dalam 4 bulan dapat diproduksi minimal 600 kg kompos. Guna memenuhi dosis anjuran ( 2 ton/ ha ), maka perhitungan kebutuhan dasarnya adalah tiap 1 Ha lahan sawah dibutuhkan 3 – 4 ekor sapi dewasa. Petani/ kelompok tani dalam kawasan usahatani integrasi padi – sapi dalam pemilihan teknologi decomposer probiotik dalam pembuatan kompos hendaknya berdasarkan atas : (1) bahan probiotik mudah diperoleh dan relatif murah, (2) sudah terjamin kualitas kompos yang dihasilkan, (3) aplikasi teknik pembuatannya sederhana, dan (4) aman terhadap lingkungan, terutama lingkuan tanah/ lahan sawah. PENUTUP Pengelolaan tanaman secara terpadu merupakan salah satu cara meningkatkan produktivitas dan daya saing hasil padi. Salah satu komponen teknologinya adalah penggunaan pupuk organik. Strategi agar pupuk organik mudah didapat di lahan sawah oleh petani adalah melakukan integrasi usahatani padi ternak sapi. Agar usaha ternak sapi secara ekonomi efesien, bahan pakan utama diusahakan berasal dari sumberdaya lokal. Penerapan usaha ini sebaiknya pada kelompok tani sehamparan dalam satu jaringan irigasi dengan pendekatan model sahatani kooperatif. DAFTAR PUSTAKA Budianto, J. 2002. Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu Di Indonesia. Disampaikan pada Lokakarya Peningkatan Program Produktivittas Padi Terpadu 2002. Jogjakarta, 17 – 18 Desember 2002. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. 2000. Laporan Tahunan 2000. Surabaya. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur 2006. Perkembangan Padi Hibrida di Jawa Timur. Surabaya. Haryanto, B., I. Inounu; Ign Budi Arsana dan K. Dwiyanto. 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi – Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Jakarta.
Irsal Las; A. Makaraim; H.M. Toha; a. Gani; H. Pane dan S. Abdulrachman.2002. Panduan Teknis Pengelolaan Tanman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Jakarta. Kasijadi, F, Ali Yusron, Soewono, Wahyunindyawati, Kasmyati, Al Budiono, Endang PK dan Bambang Pikukuh. 2005 Pengkajian Model Agribisnis Terpadu Berbasis Padi-Ternak Sapi Di Lahan Sawah Irigasi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Kasijadi, F, Ali Yusron, Soewono, Wahyunindyawati dan S. Rosmakam. 2004. Pengkajian Optimasi Sumberdaya Pertanian Secara Terpadu Menunjang Agribisnis Padi Di Lahan Sawah. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Kasijadi, F., 2001. Model Pemberdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok tani dengan Cooperative Farming. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Kasijadi, F., Suyamto dan M. Sugiarto. 2000, Rakitan Teknologi Budidaya Padi, Jagung dan Kedelai . Spesifik Lokasi Mendukung GEMA PALAGUNG DI Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso. Sudaryanto, T, dan E. Basuno., 2000. Peranan Teknologi Pertanian Partisipatif dalam Meningkatkan Diversifikasi Produksi Pangan Spesifik Lokasi. Dalam Rista dkk (Eds) Proseding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Mendukung Ketahanan Pangan Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. P.9-15. Suyamto dan F. Kasijadi, 2000. Konsolidasi Sumberdaya dalam Sistem usaha Pertanian Menghadapi Otonomi Daerah dan Pasar Bebas. Makalah Seminar Nasional Arah Kebijakan Sektor Pertanian Dalam Menunjang Otonomi Daerah dan Memenangkan Persaingan Era Pasar Bebas. Surabaya, 12 Pebruari 2000.