Edisi No. 5 | Juli 2014
Selamat Datang Selamat Bekerja
Presiden Baru 20 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 21
LaporanUtama
Editorial
Tandan Sawit Edisi No. 5
S
olo, 1912. Zaman bergerak. Sarekat Islam tumbuh dan berkembang. Berawal dari Rekso Roemekso yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. Rekso Roemekso awalnya adalah perkumpulan tolong-menolong dari para pengusaha batik dan pegawai rendahan untuk menghadapi para kecu (berandalan: perampok) yang kerap mengancam keamanan daerah Lawean. Dari organisasi ronda dan serikat tolong-menolong, perkumpulan ini bergerak menjadi organisasi yang memiliki pengaruh luas dalam pergerakan kebangsaan Indonesia. Jakarta, 2014. Zaman terus bergerak. Setelah 102 tahun berselang, seorang pengusaha asal Solo mendapat mandat dari rakyat republik ini menjadi Presiden ketujuh. Pengusaha yang berhasil memimpin kota Solo ini menegaskan kehadirannya untuk Indonesia. 22 Juli 2014. Sunda Kelapa. Di atas kapal Phinisi. Mengenakan batik, didampingi oleh Muhammad Jusuf Kalla, putra saudagar Bugis-Makasar yang mendapat amanat sebagai wakil presiden untuk lima tahun ke depan, Joko Widodo menyampaikan taklimat. “Inilah saatnya bergerak bersama. Petani kembali ke sawah, nelayan kembali ke laut, pedagang kembali ke pasar, buruh ke pabrik, karyawan ke kantor. Lupakan nomor 1 dan nomor 2. Mari kita bersatu untuk Indonesia Raya. Salam tiga jari, Persatuan Indonesia.” Presiden terpilih Joko Widodo ingin mengusir rasa cemas. Bahwa, kita tak perlu khawatir yang terlalu. Hidup akan kembali berjalan wajar. Kita adalah bangsa yang pernah besar, dan harusnya kembali besar. Bangsa yang menghormati tiap-tiap pilihan di satu pihak, dan di saat yang sama berkhidmat bahwa menjadi Indonesia adalah tekad yang mengikat kita. Bangsa ini kerap terantuk prasangka, tapi selalu punya cara melewatinya. Hasutan mungkin sesekali menjadi riak gelombang atau kadang terasa macam badai dalam perjalanan bersama ini. Tapi ia tak pernah mampu mematahkan tiang layar utama kebangsaan kita. Kebangsaan ini penuh warna dan corak. Ia tiap saat digenapkan oleh guratan canting yang digerakkan oleh jutaan tangan yang mencintainya. Dalam gelora dan hasrat inilah Kebangsaan Indonesia dilukis dan ditulis. Kelamnya dusta juga syahwat kuasa mungkin sesekali menjadi bercak yang dalam satu bagian dapat mencemari kebangsaan ini, tapi ia bukan kutukan. Hari ini, bangsa ini telah memiliki presiden baru. Presiden yang datang dari kalangan rakyat kebanyakan. Ia bukan bagian dari bercak kelam sejarah Orde Baru. Tak hanya kita yang bersuka-cita atas pilihan ini, dunia menunjukkan sikap dan mengamininya. Alhasil, kita telah memilih jalan demokrasi. Meminjam ucapan selamat dari Rocky Gerung yang tersampir dalam cuitannya, “Jokowi unggul, selamat. Ada protes Prabowo, hormati haknya. Demokrasi adalah cara hidup bersama. Sulit, tapi hanya itu.” Demikianlah. Zaman bergerak ke depan. Selamat bekerja.
Penanggung Jawab Jefri Gideon Saragih
Dewan Redaksi Bondan Andriyanu, Jefri Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono, Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald Siahaan, Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban Raja, Sukardi, Maryo Saputra Tata Letak Jopi Peranginangin Alamat Redaksi Perkumpulan Sawit Watch Perumahan Bogor Baru Blok C1 No 10 kota Bogor, Jawa Barat. 17629 | Telp 0251-8352171 | Faks 0251-8352047 | Website: www.sawitwatch.or.id | Twitter: @SawitWatch
Daftar Isi Membandingkan Visi dan Misi Capres Terkait Reforma Agraria Dan Penyelesaian Konflik.... Halaman 03 Sawit Watch Dan SPKS Menyambut Baik Kemenangan Jokowi – Jusuf Kalla..... Halaman 06 Menyoroti Program Capres Dalam Penyelamatan Hutan Dan Lingkungan..... Halaman 08 Visi Misi Capres dan Cawapres untuk Kedaulatan Pangan.... Halaman 10 Sengketa Lahan Di Eks HGU PTPN XIV: Komunitas Adat Keera menuntut Tanah..... Halaman 11 Ketika Negara “Hadir” Dalam Konflik Masyarakat vs Perkebunan Sawit..... Halaman 12 Kemana Arah Kawasan Kelola Rakyat? Posisi Sumberdaya Alam di Indonesia Terkini..... Halaman 14 Pelanggaran Hak-Hak Buruh Perkebunan...... Halaman 16 Menulis Itu Tidak Sulit........ Halaman 18 Pengusaha Sawit Main Pilpres, Harga Sawit Terus Melorot........ Halaman 19
Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.
2 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
Terkait Reforma Agraria Dan Penyelesaian Konflik Tenurial
Pemimpin Redaksi Jopi Peranginangin
Salam Redaksi
Membandingkan Visi dan Misi Capres
D
alam Sembilan program prioritas atau Nawa Cita yang dirumuskan pasangan Jokowi – JK, ada beberapa hal yang terkait dengan agraria, yakni point no 5 tentang peningkatan kualitas hidup rakyat melalui program Indonesia kerja dan Indonesia sejahtera dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar. Kemudian Point nomor 7 tentang mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kemuddian mewujudkan kedaulatan pangan melalui kebijakan perbaikan irigasi dan jaringan irigasi di 3 juta hektar, 1 juta hektar sawah baru diluar jawa. Pengehentian konversi lahan produktif untuk usaha lain seperti industri, perumahan, perkebunan dan pertambangan. Dalam program berdaulat secara politik, terutama terkait dengan desa. Program jokowi – JK yang menarik adalah menyiapkan dan menjalankan kebijakan regulasi baru tentang share holding antara pemerintah, investor dan desa dalam pengelolaan sumber daya alam. Pasangan Jokowi – JK akan menyiapkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan dan regulasi baru tentang akses dan
hak desa untuk mengelola sumber daya alam skala lokal untuk kemakmuran rakyat. Kemudian pada point no 9 tentang melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat. Dalam kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ini, bagi saya adalah program yang selangkah lebih maju dari program pasangan Prabowo - Hatta. Program pasangan Jokowi - JK dalam pengelolaan sumber daya alam ini cukup maju namun bisa menjadi boomerang bagi pasangan Jokowi – JK jika tidak diimplementasikan. Sebaliknya, program-program yang ditawarkan pasangan Prabowo – Hatta mengedepankan program-program yang merujuk pada pertumbuhan ekonomi. Dalam program terkait pengelolaan sumber daya alam dan di ranah agraria, pasangan Prabowo – Hatta menjadikan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai basis perumusan program mereka. Program MP3EI ini diluncurkan sejak 2011, dan program ini menuai kritik keras dari aktifis lingkungan dan sosial. Lantas apa saja program-program yang ditawarkan pasangan Prabowo – Hatta yang bersinggungan den-
gan persoalan agraria? Dalam visi dan misi yang dimasukkan ke KPU, pasangan Prabowo – Hatta akan membangun industri pengolahan untuk menguasai nilai tambah bagi perekonomian nasional dengan salah satunya melaksanakan Reformasi Pengelolaan Sumber daya Alam dan Industri dengan tujuan meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam, mulai dari mineral, batu bara, minyak, gas, kehutanan hingga kelautan, bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian terdapat program mempercepat reforma agraria untuk menjamin kepemilikan tanah rakyat, meningkatkan akses dan penguasaan lahan yang lebih adil dan berkerakyatan, serta menyediakan rumah murah bagi rakyat. Untuk program kedaulatan pangan, Prabowo – Hatta akan mencetak 2 juta hektar lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan antara lain beras, jagung, sagu, kedele dan tebu yang dapat mempekerjakan lebih dari 12 juta juta orang; dan mempercepat pengembangan inovasi dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas pertanian rakyat, terutama tanaman pangan (termasuk hortikultura), peternakan dan perikanan, melalui penambahan dana riset sebesar Rp
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 3
LaporanUtama
LaporanUtama
Konflik Agraria antara Rakyat dengan Perkebunan Sawit harus segera dituntaskan
10 triliun dari APBN selama 20152019, termasuk membangun Demplot Peningkatan Produktifitas Pertanian Rakyat di setiap Kabupaten mulai tahun 2015, disesuaikan dengan pengembangan koridor ekonomi MP3EI. Dan masih ada lagi programprogram terakait dengan kelestarian alam dan lingkungan hidup. Dan salah satu point yang cukup menjadi perhatian saya adalah program reboisasi 77 juta hektar hutan yang sudah rusak dengan sistem tumpang-sari penanaman bambu, jabon, sengon, sagu, bakau dan tanaman lainnya serta konservasi aneka ragam hayati, hutan lindung, taman nasional dan suaka alam. Termasuk juga program mendorong usaha batubara, nikel, tembaga, bauksit dan bijih besi menjadi pertambangan yang ramah lingkungan dan sosial. Sejauh pemahaman saya, Prabowo dan kelompok pendukungnya seperti Aburizal Bakrie adalah kelompok pemodal yang mempunyai konsesi lahan berjuta-juta hektar luasnya. Apakah lahan-lahan yang dimiliki oleh Prabowo dan ARB akan masuk dalam kawasan-kawasan yang diakan reboisasi seperti yang tercantum dalam program mereka? Entahlah…. Hanya Tuhan yang tahu. Kemudian pertambangan ramah lingkungan, seperti apa program ini? Sejauh ini saya belum menemukan praktek-praktek pertambangan yang ramah lingkun-
4 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
gan. Entahlah jika pasangan Prabowo – Hatta nanti berkuasa, mungkin mereka akan menemukan tekhnologi tepat guna yang ramah lingkungan. Merujuk pada program-program yang ditawarkan kedua capres di atas, ada perbedaan yang cukup kontras terkait dengan penghormatan terhadap hak-hak rakyat. Pasangan Jokowi – JK menempatkan manusia sebagai subjek dari programnya dengan menghormati hak-hak manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem dan alam. Berbeda dengan pasangan Prabowo – Hatta yang tak secuil pun memasukan penghormatan dan perlindungan kelompok-kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam, seperti penghormatan terhadap masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan indikator pembenahan konflik tenurial untuk menilai program-program para capres yang berhubungan dengan agraria. Konflik tenurial dalam pengelolaan sumber daya alam, tak bisa diingkari, adalah episentrum konflik dan silang sengkarut persoalan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk sektor perkebunan dan pertambangan. Tumpang tindih kepemilikan tanah, surat izin bertabrakan, bukan kisah baru di jagat industri ekstraktif
seperti pertambangan dan perkebunan. Sertifikat resmi pun tak jarang tak berpengaruh apa pun, penyerobot (perusahaan atau individu) bisa beraksi leluasa, terutama jika didukung kolusi dengan pemerintah dan aparat hukum. Konflik tenurial pun mewujud dalam spektrum -- jenis sengketa maupun wilayah sebaran konflik— yang luas. Konflik tenurial sangat marak terjadi dalam 5 tahun terakhir. Inilah persoalan kronis, yang menumpuk dan menumpuk selama puluhan tahun, yang siap meledak di ratusan titik di wilayah Indonesia. Data olahan Sawit Watch menunjukkan bahwa kurang lebih sekitar 396 komunitas berkonflik dengan perusahaan perkebunan di 8 provinsi. Konflik terjadi umumnya karena tumpang tindih kepemilikan lahan antara izin konsesi perusahaan dengan wilayah kelola rakyat. Sementara itu data KPA memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria cenderung mengalami peningkatan. Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar. Sektor kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen. Selama lima tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan konflik sebanyak 314% atau tiga kali lipat jika dibandingkan 2009. Areal konflik meningkat drastis mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%. Untuk pembenahan ini, pasangan Jokowi – JK menawarkan program
reforma agraria, salah satunya adalah melaksanakan land reform. Land reform ini dapat dimaknai bahwa pasangan Jokowi – JK akan mendistribusikan lahan ke rakyat, terutama ke petani gurem tak bertanah. Dari visi dan misi-nya, pasangan Jokowi – JK akan mendistribukan lahan seluas 9 juta hektar dan akan mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar. Bagaimana dengan pasangan Prabowo – Hatta? Pasangan ini akan melakukan reforma agraria dan mencetak sawah baru seluas 2 juta hektar. Jika ditelisik lebih jauh, program mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar milik Jokowi – JK sedikit lebih maju dari program mencetak sawah baru seluas 2 juta hektar milik Prabowo – Hatta. Kenapa? Karena program 1 juta hektar sawah baru milik Jokowi – JK peruntukannya buat petani, sementara program 2 juta hektar sawah baru milik Prabowo – Hatta tidak jelas peruntukannya. Apakah buat petani atau buat pengembangan agribisnis seperti MIFEE. Jika pruntukannya hanya untuk agribisnis, maka akan mengancam kehidupan dan produksi petani gurem tak bertanah. Jumlah petani akan jauh menyusut dan kemungkinan besar punah. Terkait dengan penyelesaian konflik tenurial ini, pasangan Jokowi – JK menawarkan salah satu solusi yang keren yakni penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Dalam program Jokowi – JK, ada 6 program perioritas terkait dengan hak-hak masyarakat adat (point 9). Bahkan salah satunya, Jokowi - JK berkomitmen akan membentuk komisi independen yang akan melakukan kajian dan penilaian atas berbagai kebijakan yang terkait dengan masyarakat adat dan pengelolaan sumber daya alam. Komisi ini yang akan menjadi kunci penting untuk membenahi berbagai konflik tenurial yang meledak diberbagai wilayah, yang melibatkan masyarakat adat, Negara dan pemodal. Salah satu program Jokowi – JK yang terdapat dalam visi – misinya adalah penyempuranaan UndangUndang Pokok Agraia. Mungkin tim penyusun visi dan misi Jokowi – JK melakukan riset terkait dengan meletupnya konflik-konflik tenurial.
Konflik lahan kian menjadi karena pemerintah SBY dan DPR tak melirik UUPA 1960 sebagai solusi penyelesaian konflik lahan. UUPA adalah satusatunya perundangan yang mengatur pertanahan. Setengah abad berlalu sejak UUPA disahkan, pemerintah dan para politisi di gedung DPR tidak juga menempatkan persoalan agraria sebagai agenda legislasi dengan urgensi tinggi. Sebuah paradoks getir di negeri yang katanya negeri agraris. Nah, sejauh UUPA belum tergantikan, pasangan Jokowi - JK merujuk kembali spirit utama dalam produk legislasi tersebut. UUPA jelas menyebutkan batasan kepemilikan lahan, ketentuan Hak Guna Usaha, hak pakai, hak ulayat dan hak memungut hasil hutan. Semangat reformasi dan perlindungan pada rakyat jelas terasa dalam UUPA. Adalah tugas parlemen dan pemerintah untuk secara serius membuat revisi perundangan dan turunannya secara jelas mengatur teknis kepemilikan tanah, air dan udara seperti dimaksud UUPA. Sebaliknya, tidak tampak program pembenahan konflik tenurial dalam program Prabowo – Hatta. Jika terpilih menjadi Presiden, entah instrument dan mekanisme apa yang akan digunakan pasangan Prabowo – Hatta dalam membenahi konflik tenurial ini. Pasangan Prabowo – Hatta mendasarkan program pengelolaan sumber daya alam pada MP3EI, menempatkan sumber-sumber agraria seperti kelapa sawit sebagai salah satu sektor penting yang akan digenjot habis-habisan. Rencana MP3EI adalah menggemukkan pundi-pundi pendapatan negara dari sumber daya alam. Caranya, dengan ekstensifikasi meluaskan kebun di berbagai area, membangun pelabuhan, jalan-jalan penghubung, rel kereta api, menumbuhkan industri hilir, serta meremajakan kebun dengan bibit bagus, dan mempromosikan penggunaan pupuk berkualitas. Namun, skenario gemilang pasangan Prabowo - Hatta tampak melupakan persoalan utama yang menjadi sumber kanker pengelolaan sumber daya alam Indonesia, yakni penghormatan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta perubahan kebijakan
yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Program pasangan Prabowo - Hatta tidak sedikit pun menyiratkan strategi membasmi kanker itu secara tuntas. Visi dan misi pasangan Prabowo - Hatta nyata betul hanya menimbang pertumbuhan fisik, yang diwakili dengan rel kereta, pabrik CPO, bangun smelter, dan pelabuhan ekspor. Persoalan yang lebih subtil dilupakan, mungkin lantaran membutuhkan kerja keras dan komitmen nyata pada rakyat dan petani kecil. Padahal, perkara kualitatif, bukan sekadar statistik, itulah yang menentukan kualitas pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Pada akhirnya, apabila pembenahan konflik tenurial tersebut dilakukan dengan serius, kita bisa berharap pada kembalinya marwah sumber daya alam yang akan mensejahterakan rakyat. Dalam pandangan saya, rakyat bisa berharap pada programprogram pasangan Jokowi – JK yang menempatkan manusia sebagai subjek dalam pengelolaan sumber daya alam dan agraria. Dan programprogram Jokowi – JK tersebut harus ditindaklanjuti dengan pembenahan sengkarut kepemilikan tanah dan perizinan. Ini semua memang melibatkan pembenahan sungguh-sungguh dalam tata kelola pemerintahan (terkait pemberian izin, sertifikasi lahan, dan supervisi pengelolaan sumber daya alam, menyehatkan iklim bisnis (investor yang tak main suap sanasini), dan civil society yang kuat. Yang terakhir ini termasuk petani dan buruh yang kritis memperjuangkan haknya, riset komprehensif dari para akademisi tentang pengelolaan sumber daya alam, serta NGO dan media yang kompeten memantau apa yang terjadi di lapangan. Konflik tenurial memang sebuah kisah epik di negeri ini. Perjalanannya menyisakan pekerjaan rumah menggunung, yang sangat layak kita perjuangkan. Manusia, bumi dan isinya layak diperlakukan dengan respek. Hanya dengan begitu, alam akan membalas dengan sepadan dan bahkan jauh lebih baik. Tulisan naik cetak sebelum Pilpres dilakukan.
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 5
LaporanUtama
LaporanUtama
Sawit Watch Dan SPKS Menyambut Baik Kemenangan Jokowi – Jusuf Kalla
Suasana deklarasi dukungan SPKS terhadap pasangan capres Jokowi - Jusuf Kalla
K
emenangan pasangan JokowiJK dalam rekapitulasi nasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat sambutan positif dari beberapa kalangan masyarakat, salah satunya datang dari Perkumpulan Sawit Watch. Koordinator Perkumpulan Sawit Watch Jefrie Gideon Saragih juga menyambut positif atas terpilihnya pasangan Jokowi – JK hasil perhitungan suara nasional KPU. Dalam video ucapan selamat terhadap pasangan Jokowi – JK yang diunggah ke situs youtube, Jefrie menyampaikan beberapa persoalan di sektor sawit yang harus segera dibenahi oleh pasangan Jokowi – JK. “Ada beberapa persoalan yang harus menjadi prioritas pasangan Jokowi – JK terkait dengan sektor sawit. Beberapa diantaranya adalah persoalan hak-hak buruh perkebunan sawit, dualisme lembaga sertifikasi RSPO dan ISPO, pembangunan industri hilir perkebunan sawit, persoalan kerusakan hutan, ekologi dan lainlain,” kata Jefrie. Secara khusus Jefrie menyoroti persoalan buruh perkebunan sawit. Dari riset yang dilakukan perkumpulan Sawit Watch, masih ditemukan beberapa fakta adanya buruh anak, fasilitas kerja buruh yang tidak memadai, upah tidak layak dan tidak adanya jaminan kesehatan bagi buruh. “Menurut data Sawit Watch, hingga 2013 luas perkebunan kelapa
6 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
sawit di Indonesia mencapai 13,5 juta hektar. Alasan Pemerintah membuka usaha perkebunan adalah untuk kesejahteraan rakyat dan untuk lapangan kerja. Namun kenyataan saat ini buruh perkebunan dieksploitasi. Diperkirakan sekitar 70% buruh di perkebunan adalah Buruh Harian Lepas. Hubungan kerja ini mengakibatkan buruh rentan dengan kesewenang-wenangan, dan tidak adanya kepastian kerja,” kata Jefrie. Dari beberapa penelitian yang dilakukan perkumpulan Sawit Watch terungkap adanya indikasi kerja paksa buruh di perkebunan kelapa sawit. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah rendah, target kerja yang tinggi, pemberlakukan hukuman dan denda yang tidak adil, tidak diberikannya alat kerja dan alat keselamatan kerja yang memadai, minimnya fasilitas air bersih, kesehatan, sarana dan prasarana sekolah. Di perkebunan kelapa sawit juga masih banyak ditemukan pekerja anak. Akibat penerapan beban kerja dan target kerja yang tinggi, serta penerapan denda bagi buruh, buruh terpaksa melibatkan Anak dan Istri maupun keluarganya untuk membantu bekerja. “Kondisi buruh perkebunan kelapa sawit ini kian suram dengan minimnya kebebasan berserikat di perkebunan kelapa sawit. Buruh yang mencoba mendirikan serikat buruh
diintimidasi, dipindahkan ke pekerjaan lain yang tidak disukai buruh, uapah dikurangi, bahkan terancam di-PHK,” lanjut Jefrie. Salah satu akar masalah dari persoalan buruh perkebunan sawit adalah kebijakan Negara yang tidak berpihak pada buruh perkebunan sawit. Secara umum Undang-Undang perburuhan lebih berpihak kepada kepentingan perusahaan. Kebijakan yang tidak adil terhadap buruh secara langsung melemahkan fungsi pengawasan negara terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Dengan terpilihnya pasangan Jokowi – JK dalam pilpres, kami berharap adanya perubahan kebijakan pemerintah yang melindungi buruh perkebunan sawit. Peluang tersebut cukup besar mengingat apa yang tertuang dalam visi dan misi pasangan Jokowi – JK. Kami melihat, program-program pasangan Jokowi – JK yang terumuskan dalam visi dan misi mereka lebih mengedepankan pembangunan manusia, pemenuhan dan penghormatan hak-hak asasi manusia,” kata Jefrie. Persoalan urgen lainnya yang disampaikan Jefrie melalui video berdurasi 8 menit tersebut adalah persoalan dualisme badan sertifikasi sawit berkelanjutan, yakni Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Berbeda dengan RSPO
yang digagasi oleh pasar sawit, ISPO digagasi oleh pemerintah, khususnya kementerian pertanian, tetapi dengan tujuan yang diatas kertas sama: produksi sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Sertifikasi RSPO merupakan tuntutan dan keinginan konsumen negara maju sehingga korporasi secara sukarela (voluntary) mengubah cara produksi komoditinya, sementara sertifikasi ISPO adalah kewajiban (obligatory) bagi produsen sawit oleh pemerintah Indonesia. Persamaan kedua badan ini adalah sama sama bicara keberlanjutan sawit. Ini adalah poin kritis, artinya menghentikan ekspansi sawit tidak masuk dalam agenda kedua lembaga. Oleh karena itu suara ‘stop ekspansi sawit’ hanya merupakan suara pinggiran yang dianggap mengancam keberlanjutan industri ini, kata Jefrie. Kehadiran kedua badan sertifikasi ini seharusnya tidak untuk dipertentangkan. Namun seharusnya bisa disinergikan hal-hal baik dari keduanya. Terkait hal itu, Jefrie mengharapkan ada inisiatif pemerintah untuk menjembatani kepentingan kedua badan sertifikasi tersebut. Misalnya dengan membentuk sebuah lembaga yang akan bekerja khusus mengelola persoalan di industri sawit. Jadi lembaga ini nantinya akan mengelola persoalan sawit yang sangat kompleks. Dari tata kelola hingga konflik-konflik agraria yang ada di sektor sawit. Dari persoalan ekologi
hingga persoalan sosial. Ini persoalan mendesak yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah Jokowi – JK. Tak hanya Sawit Watch, dukungan atas kemenangan pasang Jokowi – JK dalam pilpres juga disambut baik oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Koordinator SPKS Mansuetus Darto mengatakan, petani kelapa sawit di beberapa provinsi di Indonesia mendukung pemerintahan transisi dibawah kepemimpinan Jokowi-JK untuk keadilan dan kesejateraan petani Indonesia. “Jokowi - JK sangat diharapkan mampu membawa perubahan di perkebunan kelapa sawit sebagaimana visi mereka dalam debat terakhir Pilpres yang diselenggarakan KPU untuk mengoptimalisasi hasil produksi kelapa sawit Indonesia untuk mengendalikan ekspansi dan perlindungan lahan pangan dari konversi,” kata Darto. Sebagaimana diketahui, konflik di dalam perkebunan kelapa sawit antara perusahaan dengan masyarakat adat, petani selalu menjadi cerita buram bagi kalangan masyarakat adat dan petani setiap tahunnya. “Ini adalah dampak langsung dari ekspansi sawit yang membabi buta tanpa melihat kepentingan Masyarakat,” kata Darto. Dia menjelaskan, jika pendekatannya menaikkan produktivitas maka ekspansi akan berkurang karena perusahaan akan fokus kepada peningkatan produktivitas tandan buah
segar (TBS) kelapa sawit dan secara langsung tentu akan mengurangi konflik sosial dari ekspansi. SPKS menyambut positif kemenangan Jokowi - JK karena menganggap pasangan itu memiliki visi pembaruan misalnya dalam janji untuk pembangunan koperasi-koperasi rakyat. Darto menegaskan agar Jokowi-JK selama masa pemerintahannya nanti dapat merevitalisasi atau memperkuat posisi dan peran koperasi milik rakyat di perkebunan. SPKS juga meminta Jokowi-JK untuk memperkuat 2000 koperasi setiap tahunnya. “Sehingga perubahan menuju ekonomi kerakyatan itu lebih terarah untuk perubahan yang lebih baik,” ujar Darto. Sebelumnya selain saat debat capres, dalam kampanye di Mamuju Sulawesi Barat, Jusuf Kalla juga sempat menyinggung masalah pembangunan ekonomi melalui perkebunan rakyat sehingga hasilnya bisa dinikmati rakyat. Selain kakao, sawit juga menjadi perhatian JK. JK mencontohkan, perkebunan sawit penting dan memiliki nilai jual, tapi di daerah lain bahkan Malaysia sawit bersaing ketat di pasaran. “Kita buka di sini cokelat agar langsung kena masyarakat. Saya datang 6 tahun lalu warga mengeluh. Semua mengeluh. Pak Gubernur sampaikan (keluhan),” ujar JK.***
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 7
LaporanUtama
LaporanUtama
Menyoroti Program Capres Dalam Penyelamatan Hutan Dan Lingkungan
S
Pembukaan lahan gambut dan hutan alam untuk perkebunan sawit
8 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
aat tulisan ini naik cetak, presiden baru sudah terpilih pada pemilihan presiden 9 Juli 2014. Namun tidak ada salahnya untuk melihat kembali visi dan misi capres terkait dengan penyelamatan hutan dan lingkungan. Visi dan misi ini adalah janji para capres untuk rakyat, dimana rakyat akan menagih janji-janji tersebut siapapun yang terpilih sebagai presiden. Presiden baru Indonesia harus memiliki komitmen yang lebih kuat untuk menyelamatkan hutan dan gambut serta menjamin hak dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Dari kedua pasangan capres yang berkompetisi, pasangan Jokowi - JK bisa dikatakan lebih memiliki komitmen kuat dalam menjamin hak-hak masyarakat adat. Pasangan capres Prabowo - Hatta juga mempunyai program penyelamatan lingkungan, tapi jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sepertinya absen dalam program mereka. Mengejar pertumbuhan sepertinya menjadi tulang punggung dalam visi dan misi pasangan Prabowo - Hatta. Visi misi Prabowo-Hatta memang memperhatikan soal isu lingkungan namun tidak dijelaskan secara detail dan masih harus ada penajaman atas hal itu. Masih mengawang-ngawang. Program penyelamatan hutan dan lingkungan Jokowi - JK tersebar dibeberapa point dalam visi dan misinya. Ada harmonisasi kebijakan dalam program penyelamatan lingkungan dan hutan yang diusung pasangan Jokowi - JK. Harmonisasi kebijakan pengelolaan hutan ini harus segera diperkuat dengan menutup celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut. Ini adalah program yang dapat mengoptimalkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut. Selain itu, ada juga program
Jokowi yang akan meninjau ulang berbagai kebijakan pembangunan yang justru mengancam lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat. Disinilah letak nilai-nilai humanis program Jokowi dalam penyelamatan hutan dan lingkungan. Manusia adalah bagian dari ekosistem dan alam, termasuk hutan. Dan Jokowi menghormati hak-hak masyarakat adat dengan mengurai 6 program prioritas yang terkait dengan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Jadi siapa pun yang akan menang dalam pilpres mendatang, baik Jokowi maupun Prabowo harus menutup berbagai celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut, juga memperketat pengawasan dan penegakan hukum. Terkait penegakan hukum dan pengawasan, kedua pasangan tampaknya memiliki kemiripan program. Yang belum tampak secara jelas dan tegas dalam visi dan misi kedua pasangan capres adalah terkait kebijakan penundaan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang lazim disebut sebagai moratorium. Belum tegas terlihat. Moratorium sendiri dianggap belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kehutanan Indonesia, padahal masa berlakunya tinggal satu tahun lagi. Pemerintah masih setengah hati menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut yang tersisa dengan memanfaatkan berbagai celah dalam kebijakan yang memang tidak memiliki sanksi ini. Akibat dari pelaksanaan moratorium yang setengah hati oleh Rezim SBY, maka kita masih menyaksikan kebakaran hebat yang seharusnya bisa diminimalkan dengan adanya kebijakan moratorium. Hingga Februari 2014 saja, telah terjadi kebakaran lahan gambut hebat di Provinsi Riau, di mana 38,02% di antaranya berada di wilayah moratorium. Situasi ini harus menjadi perhatian serius para capres. Tidak boleh lagi dilakukan setengah hati dengan penegakan hukum yang seakaan tumpul jika berhadapan dengan peru-
sahaan kebun sawit dan HTI. Aturan perundang-undangan dengan sangat jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemegang izin konsesi wajib melindungi hutan dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan gambut di areal izinnya. Selain karena kebakaran, hutan Indonesia juga terancam oleh masifnya alih fungsi dan peruntukkan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memuluskan mega proyek yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan lokal. Tidak ada pengeculian terhadap proyek-proyek skala raksasa dengan alasan apapun. Moratorium harus berlaku tanpa pandang bulu. Dalam kasus MIFEE di Kabupaten Merauke, hutan alam, hutan rawa dan savana tempat hidup orang Marind dicaplok, dirampas, dan dialihfungsikan untuk pembangunan industri pertanian dan perkebunan skala besar dengan luas mencapai 1.553.492 hektar atas nama ketahanan pangan dan energi. Presiden terpilih nantinya harus memprioritas dalam program kerjanya untuk meninjau kebijakan yang terakit dengan alokasi dan peruntukan kawasan yang mengabaikan kelestarian hutan. Sebagai contoh, pada 2013 Pemprov Papua Barat mengusulkan revisi RTRWP dengan perubahan peruntukkan (pelepasan kawasan hutan) seluas 952.683 hektar dan perubahan fungsi seluas 874.914 hektar, sebuah angka fantastis yang akan memperparah laju kerusakan hutan di Indonesia. RTRWP seperti ini harus ditinjau dan bila perlu dicabut. Contoh lainnya adalah Kepulauan Aru yang terancam padahal tergolong ke dalam kategori pulau kecil. Kep Aru ini terancam oleh pengalihan kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan tebu yang dikecualikan dalam Inpres Moratorium. Meskipun rencana tersebut dinyatakan batal oleh Menteri Kehutanan, ancaman belum hilang karena saat ini ada rencana pembukaan perkebunan sawit oleh PT. Nusa Ina. Presiden baru harus memper-
panjang Moratorium ini, namun Moratorium ini tidak boleh tunduk pada kepentingan bisnis skala besar. Pemerintah baru tidak boleh mengkompromikan kawasan-kawasan moratorium dengan pemberian izin skala besar. Moratorium seharusnya dijadikan acuan untuk penolakan izin dan penyesuaian RTRW yang tidak menghamba pada kepentingan modal. Presiden baru harus tegas menolak konversi hutan melalui mekanisme revisi RTRW yang mengandung alih fungsi dan peruntukkan kawasan untuk mengejar target MP3EI. Nah disinilah pokok permasalahan dari visi dan misi pasangan Prabowo - Hatta. Pasangan Prabowo menjadikan MP3EI sebagai basis program pembangunan mereka. Padahal MP3EI adalah pendorong utama deforestasi di Indonesia saat ini dan di masa depan. Hal ini bertentangan dengan cita-cita penyelamatan hutan dan berpotensi memperbesar jumlah konflik di Indonesia, yang belum juga terselesaikan. Dari aspek penyelesaian konflik kehutanan, pasangan Jokowi - JK tampak lebih maju dengan menyusun program penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Pengalaman pada Rezim SBY harus dijadikan ukuran disini. Pemerintah SBY cenderung lambat merespon kepentingan masyarakat adat dan lokal yang hakhaknya dilanggar. Jika ditelisik lebih jauh lagi dengan mengurai secara detail, maka visi-misi pasangan Jokowi-JK lebih detail dan lengkap dalam penyelesaian masalah soal lingkungan. Program yang cukup penting dalam visi dan misi Jokowi adalah pembentukan peradilan lingkungan. Para penjahat lingkungan harus diadili dalam peradilan lingkungan atas berbagai praktek kejahatan lingkungan yang mereka lakukan. Ini hal baru yang hanya mungkin terealisasi jika Jokowi - JK jadi presiden. Karena peradilan lingkungan terekam kuat dalam visi dan misi mereka.***
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 9
LaporanUtama
LaporanUtama
Sengketa Lahan Di Eks HGU PTPN XIV
Visi Misi Capres dan Cawapres untuk Kedaulatan Pangan
Komunitas Adat Keera menuntut Tanah
Kaya Retorika, Miskin Substansi, Lemah Strategi Dan Tidak Tepat Sasaran
V
isi Misi terkait Kedaulatan Pangan dua pasangan capre dan cawapres memiliki banyak lubang serta dipertanyakan bagaimana pencapaiannya dalam lima tahun ke depan dengan banyaknya tumpang tindih dan ketidak jelasan. Demikian kesimpulan tim Aliansi untuk Desa Sejahtera setelah menakar visi misi terkait Kedaulatan Pangan kedua caprescawapres dengan 4 pilar Kedaulatan Pangan di Jakarta (30/5/2014). “Visi dan Misi kedua pasangan masih belum utuh dan cenderung bombastis. Keduanya mengartikan Kedaulatan pangan sebatas pada wilayah produksi semata. Keduanya banyak mengungkapkan janji tanpa berpijak pada realitas yang ada.” Jelas Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional ADS. Secara umum visi misi yang ditawarkan tim Jokowi-Jusuf Kalla lebih rinci dibandingkan Tim Prabowo-Hatta, tetapi visi misi ke duanya menyisakan pertanyaan besar bagaimana strategi dan nimplementasinya ke depan. “Misalnya tim Jokowi-JK menjanjikan untuk land reform 9 juta hektar, akan dilakukan dimana. Belum lagi janji untuk menyediakan 2 ha bagi 18 juta petani gurem, pencetakan sawah baru dan lahan kering seluas masingmasing seluas 1 juta hektar menggunakan lahan siapa?” tambahnya lagi. Sementara tim Prabowo-Hatta, jelas mencanangkan program yang bukan untuk petani kecil, karena strategi yang diterapkan melalui MP3EI untuk menambah lahan pangan 2 juta untuk sawah dan 2 juta untuk biodiesel, yang ditargetkan dapat memperkerjakan 12 juta orang. Menempatkan petani sebagai pekerja dan bukan pengelola pangan. ”Dengan visi-misi seperti ini, sebenarnya makin memberi peluang kepada pemilik modal, baik pekebun besar maupun pengusaha-pengusaha pangan lainnya. Bisa dipastikan
10 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
bukan kesejahteraan petani atau pekebun kecil yang bertambah, tetapi buruh-buruh yang kian banyak. Hasilnya ketimpangan penguasaan lahan makin meninggi. Indeks gini makin tinggi.” Papar Achmad Surambo, ketua Pokja Sawit. Apalagi visi misi untuk mengembangkan biofuel seluas 2 juta hektar, sementara sudah ada rencana ekspansi sawit hampir 30 juta ha. Kemungkinan visi misi kedua capres untuk mengubah situasi pangan ke depan agar dapat mewujudkan kedaulatan pangan sangat penting layak dipertanyakan. “Bagaimana dapat mewujudkan Kedaulatan Pangan, jika tidak ada yang bicara tentang subsidi, asuransi dan juga daulat benih. Sementara impor pangan dan perjanjian internasional yang terkait dengan lemahnya sistem pangan kita masih dianggap keharusan.” Sampai Said Abdullah dari pokja beras. Apalagi melihat program Prabowo-Hatta tidak ada dukungan yang cukup bagi produsen pangan skala kecil. Sementara Jokowi-JK yang memiliki visi dan misi bangsa maritime yang maju, kuat dan mandiri berbasiskan kepentingan nasional, juga menetapkan Kawasan Konservasi Perairan menjadi 17 juta ha dan tambahan 700 ha lahan konservasi.” Kalau kawasan konservasi laut diperluas, maka kawasan perairan tersebut tidak boleh digunakan sebagai area tangkap. Bagaimana nelayan tradisional kita dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan produksi perikanan 40-50 juta ton, jika aksesnya dibatasi.” Imbuh Abdul Halim, ketua pokja Perikanan tentang program yang justru tidak memberikan perhatian terhadap sumber penghidupan nelayan tradisional, yang jumlahnya terus menurun. Visi Misi terkait Kedaulatan Pangan masing-masing Capre Cawapres yang akan dipilih pada 9 Juli nanti masih jauh panggang dari api.
Diperlukan keberpihakan yang lebih kuat bagi produsen pangan skala kecil, kemauan politik yang kuat serta keberanian untuk melihat realitas dan membenahi carut marut situasi pangan yang gagal ditangani regim SBY selama hampir 10 tahun ini. “Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memiliki visi dan misi yang memuat kata Kedaulatan Pangan, tetapi strategi yang tepat, keberanian untuk memimpin langsung dalam mewujudkan kedaulatan Pangan.” tegas Tejo lagi. Aliansi untuk Desa Sejahtera menawarkan 7 langkah strategis yang harus segera dilakukan pemimpin negeri untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan: 1. Mengembalikan kemempuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber agraria. 2. Meningkatkan investasi publik untuk pangan 3. Melindungi pasar pangan lokal dari liberalisasi pangan, 4. Menghentikan pemberian lahan kepada pengusaha besar dan tidak melakukan konversi lahanpangan 5. Memperbaiki tata kelola pangan nasional 6. Melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi local 7. Pemanfaatan teknologi yang dapat dikuasai oleh penghasil pangan skala kecil Aliansi untuk Desa Sejahtera merupakan aliansi dari 15 Ornop dan jaringan dengan fokus kerja mengupayakan penghidupan pedesaan yang lestari dengan pendekatan pada 3 komoditas yaitu beras/pangan, Sawit, Ikan. 4 pilar ADS untuk memperkuat penghidupan di pedesaan (1) akses terhadap sumber daya alam, (2) akses pasar, (3) adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan (4) keadilan gender.***
W
arga Kecamatan Keera yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB) akan melakukan aksi pendudukan di atas lahan eks HGU PTPN XIV Unit Keera seluas 1.934 hektar. Aksi pendudukan akan dilakukan pada kamis 26 Juni 2014. Aksi pendudukan ini adalah bentuk ketidakpercayaan warga terhadap Kementerian BUMN, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah dan DPRD Kabupaten Wajo, serta Aparat Kepolisian. Warga telah berjuang dengan menempuh segala upaya, termasuk menemui Menteri BUMN namun hasilnya tidak ada titik terang. Setali tiga uang dengan Kementerian BUMN, Pemerintah kabupaten Wajo juga tidak melakukan tindakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Lahan eks HGU PTPN XIV Unit Keera yang masih dikuasai oleh PTPN XIV tidak dikembalikan warga Keera. Justru yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab antara kementerian BUMN dengan Pemkab Wajo. Melihat situasi tersebut, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria berinisiatif melakukan upaya advokasi atas sengketa lahan antara warga Kec. Keera melawan PTPN XIV Unit Keera. Lahan eks PTPN XIV Unit Keera sebelumnya dikelola PT. Bina Mulia Ternak (BMT) pada 1971. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1973, PT BMT memperluas areal konsesinya. Masyarakat tidak mendapatkan ganti rugi dari ekspansi lahan PT BMT seluas 12.170 Ha tersebut. Selama 25 tahun, HGU PT. BMT mengelola lahan yang membentang dari Kec. Pitumpanua hingga Maniangpajo di Kabupaten Wajo. Lahan masyarakat yang masuk areal HGU PT. BMT adalah tanah adat warisan nenek moyang komunitas adat Keera. Bukti bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat adalah adanya bekas kampong tua, bekas
kebun-kebun masyarakat, kuburan tua dan tanaman jangka panjang yang masih ada hingga sekarang. Kemudian, proses pengalihan HGU PT. BMT ke PTPN XIV unit Keera tidak diketahui oleh masyarakat. Proses peralihan PT. BMT ke PTPN XIV diduga kuat karena terjadi pelanggaran hukum oleh PT. BMT, dimana areal HGU tersebut diperuntukkan sebagai wilayah peternakan, bukan untuk perkebunan sawit sesuai dengan izin HGU yang dikeluarkan. Persoalan tak hanya itu, bahwa sesuai kesepakatan awal antara masyarakat dengan PT. BMT, masa kontrak seharusnya sudah berakhir sejak tahun 1998. Akan tetapi menurut kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo, HGU PTPN XIV Unit Keera berakhir pada tahun 2003 dan sampai sekarang belum mendapatkan persetujuan perpanjangan izin HGU. Sehingga keberadaan PTPN XIV Unit Keera yang masih menguasai lahan eks HGU adalah illegal dan merupakan perbuatan melawan hukum karena menguasai lahan tanpa alas hak. Masyarakat yang tidak mendapatkan ganti rugi saat tanah mereka dicaplok PT BMT, bergerak menuntut kembali hak atas tanah mereka di areal lahan eks HGU PTPN XIV Unit Keera. Mereka berjuang menuntut tanah mereka seluas 1.934 Ha yang berada di eks HGU PTPN XIV di Desa Ciromanie. Konflik memanas akibat lambatnya respon pemerintah untuk segera menyelesaikan sengketa lahan tersebut. Kemudian pihak Kepolisian Daerah Sulselbar menginisiasi pertemuan pada 30 April 2013 dengan menghadirkan para pihak (perwakilan masyarakat dan PTPN XIV Unit Keera), Kanwil BPN Sulsel, Perwakilan Kodam VII Wrb., Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Kabag Hukum Pemprov Sulsel, Perwakilan PEMDA Wajo, Ka-
polres Wajo, Dandim Wajo, dan dari pendamping masyarakat. Hasil pertemuan yang di inisiasi Polda Sulselbar tersebut menghasilkan kesepakatan sebagai berikut: Satu, Pihak PTPN XIV Keera bersedia melepaskan lahan seluas Seribu Sembilan Ratus Tiga Puluh Empat Hektar (1.934 ha) yang berlokasi di Desa Ciromanie (Dusun Cenranae dan Dusun Bonto Mare’), kepada pemerintah kabupaten Wajo. Kedua, Masyarakat Kec. Keera yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB), tetap diperbolehkan mengelola tanah seluas 1.934 ha sambil menunggu pelepasan dari kementerian BUMN dengan pangaturan lebih lanjut akan dilaksanakan oleh pemerintah kab. Wajo sesuai peraturan yang berlaku, dan masyarakat akan menjamin sepenuhnya tidak akan menguasai lebih dari luas 1.934 Ha dan tidak akan mengganggu aktifitas PTPN XIV Keera di atas lahan seluas 6000 ha. Ketiga, Masyarakat kecamatan Keera yang menduduki Mess PTPN XIV Keera akan segera keluar meninggalkan lokasi tersebut setelah ditandatanganinya kesepakatan ini. Bahwa hasil rapat koordinasi di Polda Sulselbar tersebut di atas, seyogyanya dipatuhi oleh para pihak, baik itu PTPN XIV Unit Keera, masyarakat desa Ciromani, Pemda Wajo, dan aparat keamanan. Namun hingga saat ini, belum ada tindak lanjut dari pihat pemerintah dan PTPN XIV untuk segera menyelesaikan persoalan dengan melaksanakan point-point kesepakatan tersebut. Masyarakat sudah resah karena tidak ada tanda-tanda kalau tanah yang dijanjikan tersebut akan segera dikembalikan ke warga. Tak ada pilihan lain, warga akan melakukan aksi pendudukan di atas lahan yang disepakati luasannya tersebut.***
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 11
KabarWilayah
KabarWilayah
Konflik Agraria antara Rakyat dengan Perkebunan Sawit di Kalteng
Ketika Negara “Hadir” Dalam Konflik Masyarakat vs Perkebunan Sawit
P
enembakan polisi terhadap warga di desa Penyang, Kotim, Kalimantan Tengah menimbulkan beragam reaksi. Seperti biasa, negara (baca : kepolisian) selalu membela diri dan menyatakan dugaan bahwa korban adalah pelaku tindak pidana dan karena itu harus diambil tindakan tegas. Pernyataan tersebut disampaikan Kapolres Kotim AKBP Himawan Bayu Aji. “Kemungkinan yang bersangkutan masuk kelompok pencuri kelapa sawit (yang sudah tertangkap). Ataupun juga kemungkinan melakukan tindak pidana di areal kebun itu. Yang bersangkutan masih menjalani perawatan dan belum bisa dimintai keterangan,” kata Himawan. Kapolres mengatakan tindakan tegas yang mereka berikan bukanlah untuk masyarakat. “Sekali lagi kami tegaskan, tindakan tegas yang kami berikan bukan untuk masyarakat. Tetapi untuk pelaku tindak pidana”. (lihat www.borneonews.co.id 17 Juni 2014, Korban Penembakan Bisa Jadi Tersangka Pencuri Sawit).
12 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
“Kehadiran” negara dalam sengketa agraria antara masyarakat lokal versus perkebunan sawit selalu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penembakan petani, kriminalisasi, pengambilan paksa terhadap warga sampai penjagaan ketat terhadap areal perkebunan sawit merupakan bentuk-bentuk “kehadiran” negara dalam konflik masyarakat versus perkebunan sawit saat ini. Peristiwa di desa Penyang tersebut, justru terjadi dua hari sebelum kedatangan Kapolri Jendral Sutarman ke Kalimantan Tengah pada hari Kamis 12 Juni 2014, dalam rangka memberi arahan untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial, mengecek kesiapan pengamanan pilpres, dan memastikan netralitas Polri dalam pilpres 2014. Penembakan tersebut memberi pesan kuat bahwa konflik antara masyarakat dengan perkebunan sawit belum terselesaikan dan kehadiran negara yang cenderung memihak kepentingan perkebunan sawit tidak terbantahkan lagi.
Pembukaan perkebunan sawit di Indonesia berjalan sangat cepat dan ekspansif. Negara dalam hal ini mendukung pembukaan tersebut dengan kemudahan memberi ijin, mengkriminalisasi petani, menangkap petani yang mereklaim tanahnya, membiarkan perampasan tanah petani yang dilakukan perusahaan hingga memberi kucuran modal. Sejalan dengan itu, kehadiran perkebunan di Indonesia tidak pernah terlepas dari konflik yang sangat berkaitan dengan perampasan tanah di awal kehadiran perkebunan. Penjarahan tanah karena kehadiran investasi yang membutuhkan tanah skala luas memicu perubahan kontrol atas tanah. Kehadiran perkebunan ini sebagaimana dikatakan memperoleh dukungan besar dari negara. Jelas, kekuasaan yang timpang menyebabkan satu pihak (masyarakat) harus kehilangan akses terhadap sumber daya. Kelapa sawit telah menjadi salah satu komoditas global. Pemilik kapital besar memanfaatkan lahan di negara berkembang, termasuk Indonesia untuk kebutuhan ekspansi. Sawit Watch mencatat, saat ini Indonesia menjadi salah satu negara terbesar pengekspor minyak kelapa sawit di dunia, dan sekaligus menjadi negara terluas perkebunan kelapa sawitnya. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 13,194,813 Ha (Sawit Watch, 2013) dan memasok 43 % CPO kebutuhan dunia. Perusahaan perkebunan sawit meraup untung besar dari bisnis minyak sawit. Keuntungan yang diraih dari bisnis minyak sawit ini telah menempatkan beberapa pengusaha sawit masuk dalam daftar orangorang terkaya di Indonesia. Namun ironisnya, keuntungan besar tersebut telah menyebabkan puluhan petani tewas dan ratusan lainnya ditangkap. Peristiwa di desa Penyang hanya salah satu dari ratusan konflik agraria dimana negara (dalam hal ini kepolisian) berada di pihak perkebunan. Penembakan warga desa Penyang oleh aparat kepolisian dari Polres Kotim merupakan buntut dari berlarutnya kasus sengketa tanah antara
Aksi protes penyelesaian kasus penembakan petani di Kalteng
warga sekitar perkebunan dengan PT. Agro Bukit (Agro Indomas Group) sejak 2005. Kuatnya keberpihakan negara kepada investasi asing diwujudkan dengan tetap membiarkan perkebunan beroperasi walaupun persoalan dengan masyarakat belum terselesaikan. PT Agro Bukit menurut warga desa Penyang telah merampas tanah warga seluas 7.300 hektar. “Perusahaan ini hanya memiliki ijin prinsip seluas 13.900 hektar, namun yang digarap mencapai sekitar 30.000 hektar. Konflik dengan warga lokal terjadi sejak tahun 2005 dan sampai sekarang tidak ada penyelesaiannya”, ujar Kingan, salah seorang tokoh masyarakat desa Penyang. “Sudah berapa kali kami ke Jakarta mengadukan kasus ini tak selesai juga, Polres sama Kodim pernah juga memfasilitasi perundingan, tapi hasilnya gak ada. Kami menuntut agar perusahaan memberi ganti rugi lahan, terus memberi 20 % plasma dan areal diluar ijin prinsip dimitrakan dengan warhga lokal”, ujar Kingan menambahkan.
Berlarutnya penyelesaian kasus ini direspon masyarakat dengan melakukan panen massal. Warga melakukan panen massal karena mempunyai hak kepemilikan atas tanah. PT Agro Bukit merespon tindakan panen massal warga dengan mendatangkan aparat Brimob. “Mulai akhir tahun 2013, aparat Brimob rutin melakukan pengamanan di areal kebun”, ujar Er, pemuda desa Penyang. “Setelah kejadian itu, perusahaan dibantu aparat menutup jalan masuk ke kebun. Jalan masuk itu digali, dibuat lobang, jadi susah masuk kedalam. Mereka juga jaga-jaga disitu”, kata Er menambahkan. Pengerahan aparat negara untuk mengamankan areal perkebunan adalah peristiwa yang sering terjadi dalam konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. Permintaan perusahaan untuk menghadirkan aparat kepolisian dalam bentuk pengamanan disertai senjata merupakan reaksi atas perlawanan warga. Negara dalam hal ini kemudian menyebut bahwa warga adalah
pelaku tindak pidana pencurian dan karena itu mesti ditindak tegas (ditembak-red). “Kehadiran” negara dalam model seperti inilah yang memicu jatuhnya korban. Aja Siswanto, adalah salah satu korban dari sekian banyak warga yang merasakan tajamnya peluru milik aparat kepolisian yang ditempatkan untuk keamanan investasi. Penembakan warga oleh aparat kepolisian telah menambah catatan buruk kinerja Polri dalam menangani konflik sosial. Kehadiran aparat negara (polisi) dibelakang perusahaaan perkebunan sawit dalam konflik masyarakat dengan perkebunan sawit merupakan bukti bahwa negara tidak lebih bertindak sebagai anjing penjaga investasi. Dalam hal ini, negara justru tidak melakukan fungsinya untuk melindungi kepentingan rakyatnya terutama dalam penyediaan sumber daya. Negara seharusnya mengambil langkah solutif, menjamin tidak adanya perampasan yang dilakukan pemilik modal terhadap tanah rakyat.***
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 13
KabarProgram
KabarProgram
Kemana Arah Kawasan Kelola Rakyat? Posisi Sumberdaya Alam di Indonesia Terkini
Suasana Peluncuran Gudang Data Nasional
S
atu dekade masa Reformasi ini telah membawa perubahan dalam tata kelola sumberdaya alam, baik dalam sisi kebijakan dan implementasinya. Tragisnya, perubahan tersebut tidak disertai perubahan yang fundamental dalam fondasi struktur ekonomi dan politik Indonesia yang kapitalistik, state capitalism yang berkembang pada masa orde baru hanya sekedar bertranformasi menjadi private oligharcic capitalism (Hadiz dan Robison, 2004). Lalu, kawasan kelola rakyat, mau kemana? Setidaknya berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh anggota Jaringan Kerja Pemetaan partisipatif (JKPP) hingga tahun 2013, tercatat dari luasan 5.263.058,28 ha wilayah kelola rakyat, kurang lebih 4.050.253,38 atau 81,4 % tumpang tindih dengan kawasan hutan dan sekitar luasan 2.637.953,94 ha bertumpang tindih dengan perijinan (konsesi HPH, tambang, sawit dan HTI). Besarnya luasan tumpang tindih tersebut menunjukan tingginya konflik dan potensi konflik perebutan
14 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
ruang yang berimplikasi pada semakin sempitnya ruang kelola rakyat yang mengancam kedaulatan pangan. Huma menyatakan secara umum terdapat 281 konflik di 24 Provinsi meliputi 80 kasus kehutanan, konflik agraria/pertanahan mencapai 32 kasus, serta konflik pertambangan 23 kasus dan paling banyak adalah perkebunan mencapai 147 kasus dengan luas 2.706.725 Ha (Outlook Huma, 2013), luasan ini setara dengan satu Provinsi Sumatera Barat, dan hal ini hanyalah potret permukaannya saja, konflik pastinya lebih dari itu. Sawit watch hingga tahun 2014 mencatat lebih dari 720 konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit. konflik ini terus meningkat seiiring dengan semakin kurangnya lahan untuk masyarakat. Pertambahan luas perkebunan sawit setiap tahunnya sekitar 400.000 Hektar. Sawit Watch menemukan untuk Kalimantan Tengah saja tanah yang tidak ber “penghuni” tersisa sekitar 1,2 juta hektar, itu pun hanya berada di sempadan sungai. Ini membukti-
kan bahwa kepemilikan lahan antara perusahaan besar dan masyarakat semakin timpang. Dimana untuk satu provinsi saja tanah sudah dikuasai perusahaan besar perkebunan sawit, pertambangan, HPH dan HTI. Peningkatan izin pertambangan membuat krisis sosial dan ekologi makin meingkat. Kekerasan, Kerusakan lingkungan, kriminalisasi, konflik selalu terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berbicara tambang bukan semata membahas seberapa besar rupiah yang masuk ke kas negara, namun juga berkaitan erat dengan keselamatan dan ruang hidup warga. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya 10.935 izin usaha pertambangan yang memiliki luasan lebih dari 40 juta hektar wilayah daratan Indonesia (Data Jatam, 2013). Pulau Kabaena yang hanya memiliki luas 86.769 Ha, sudah dikavling 35 izin konsesi tambang dengan luas 66.166 Ha atau 76% sudah dikavling oleh tambang. Kesemerawutan tata pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan di Indonesia muncul dari difungsikan-
Tampilan website Gudang Data Nasional
nya hutan sebagai potensi ekonomi nasional, dimana dijadikan sebagai indikator nilai kontribusi pertubuhan ekonomi sektor kehutanan melalui konsesi-konsesi yang dikeluarkan untuk HPH, HTI, HPHH. Dalam perkembangannya, pemerintah mengeluarkan izin dalam pemanfaatan kehutanan sosial melalui SK Menhut nomor 31 Tahun 2002 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKM). Dalam mendukung sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan di masyarakat, keluarlah PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan penggunaan kawasan Hutan. Di dalamnya diatur mengenai sistem yang bisa dikelola oleh masyarakat. Berdasarkan SK tersebut, KPSHK mencoba melakukan identifikasi di tahun 2010 kawasan SHK yang berpotensi dalam mengembangkan skema perhutanan sosial. Dari hasil identifikasi tersebut,
diperoleh bahwa Hutan Adat Desa di wilayah SHK mencapai 2686.64 Ha; usulan untuk hutan adat desa seluas 719.04 Ha; HKM mencapai 27,674.04 Ha; Hutan Rakyat mencapai 2100 Ha; Hutan Tanaman Rakyat mencapai 72,375.69 Ha. Konflik-konflik tersebut terjadi seiring dengan proses regulasi yang memberikan porsi yang lebih besar kepada pengusahaan skala besar seperti perkebunan dan pertambangan, dan dengan sengaja menahan dan memberikan porsi yang sangat kecil terhadap pengelolaan berbasis masyarakat, bahkan saat program HKM, HD atau HTR ditargetkan. Berdasarkan alokasi pemanfaatan hutan untuk produksi pada tahun 2010, 97,5% atau sekitar 34,3 juta hektar dikelola oleh korporasi, sisanya 2% atau sekitar 678.414 hektar dikelola oleh masyarakat. Berdasarkan luasan penguasaan perkebunan besar seluruh Indonesia, pada tahun 2008
didominasi oleh perkebunan sawit yang diperkirakan mencapai 79% atau sekitar 4,5 juta ha. Sementara dari total luasan perkebunan sawit, 61% dikuasai oleh perkebunan besar, dan sisanya dikuasai oleh rumah tangga petani (39%). Beragam komentar di atas terungkap dalam peluncuran Sistem Geo-Data National (GDN) CSO (Civil Society Organization) Versi 3.0. Sistem GDN ini berupaya untuk memperkuat advokasi dalam mempertegas wilayah kelola rakyat atas sumber daya alam melalui suatu penyajian sistem data dan informasi spasial yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam melaksanakan penyelesaian konflik sumberdaya alam dan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam. Bahkan sistem GDN ini berharap menjadi cikal-bakal database bagi lembaga tinggi negara dalam penyelesaian konflik agraria dan lingkungan yang masih menjadi wacana.
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 15
BuruhKebun
BuruhKebun
Pelanggaran Hak-Hak Buruh Perkebunan
Hasil Investigasi Kondisi Buruh Perkebunan Sawit Di Indonesia
J
umlah buruh di perkebunan sawit di Indonesia mencapai lebih dari 6 juta orang. Jutaan buruh tersebut bekerja di perkebunan sawit di Sumatera dan wilayah perkebunan sawit baru di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Jumlah buruh perkebunan akan semakin meningkat mengingat pesatnya laju ekspansi sawit terutama di wilayah timur Indonesia. Perkebunan kelapa sawit memiliki kekuasaan besar untuk menentukan kelangsungan hidup buruh perkebunan. Kekuasaan besar tersebut terlihat dari pola “pemanfaatan” buruh sehari-hari. Buruh perkebunan selama ini diidentikkan dengan status SKU, BHL, buruh borongan, tetapi realitas memperlihatkan anak dan isteri buruh juga telah menjadi buruh. Di tengah berbagai keuntungan dan kesuksesan yang dinikmati oleh pihak perusahaan perkebunan, kondisi yang dialami buruh perkebunan justru sangat memprihatinkan. Berikut temuan-temuan investigasi yang menggambarkan kondisi buruh perkebunan sawit di Indonesia. Pertama, tidak adanya dokumentasi perikatan kerja antara buruh dengan perkebunan. Dalam berbagai kasus, tidak ada dokumentasi perikatan kerjadalam bentuk surat keterangan terhadap buruh berstatus Buruh Harian Lepas (BHL), buruh kontraktor atau buruh berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), termasuk didalamnya sebagian besar buruh yang berstatus Syarat Kerja Umum (SKU) atau buruh tetap. Kondisi seperti ini ditemukan di perkebunan sawit di wilayah Sumatera Utara. “Saya pernah 2 tahun buruh kontraktor, 7 bulan BHL, setelah jadi SKU baru disuruh buat lamaran sama mandor. Tidak ada dikasi surat keterangan kerja, tapi pernah disuruh baca surat yang dikeluarkan kantor besar yang isinya selama masa 3 bulan tidak boleh mangkir kerja, bila mangkir maka tidak diterima kerja”,ujar seorang buruh pemanen di perkebunan sawit
16 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
Buruh perempuan yang bekerja tanpa alat keamanan memadai di perusahaan kebun sawit
di wilayah Asahan Sumatera Utara. Kedua, massifnya jumlah perempuan berstatus buruh harian lepas (BHL) tanpa jaminan tertulis/ mekanisme formal dalam rangka peningkatan status dan karir. Di salah satu perkebunan sawit yang terletak di desa Bangkal, Kalimantan Tengah, terdapat sekitar 125 buruh perempuan yang bekerja di bagian perawatan atau pemupukan berstatus sebagai BHL, padahal sudah bekerja diatas 2 tahun. Kondisi yang sama ditemukan di salah satu perkebunan sawit di Danau Sembulu Kalimantan Tengah. Berdasarkan informasi yang dihimpun, puluhan buruh perempuan BHL tidak diangkat menjadi buruh tetap walaupun masa kerja sudah melewati 2 tahun. Situasi yang sama dapat dilihat di perkebunan sawit joint venture PTPN II dengan Kuala Lumpur Kepong Malaysia di Langkat Sumatera Utara, dimana terdapat sekitar 103 buruh perempuan yang bekerja dibagian penyemprotan sebagian besar dilakukan oleh perempuan yang berstatus sebagai BHL. Target kerja yang tinggi mengharuskan buruh, terutama pemanen membawa isteri ke ancak (tempat kerja). Istri buruh tidak memiliki status kerja namun terpaksa ikut bekerja di perkebunan demi men-
capai target kerja yang tak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang buruh. Istri/perempuan bekerja tanpa mendapat balasan upah atas hasil kerja Dalam proses pemanen ini perempuan bekerja memindahkan minimal 5 janjang buah sawit (rata-rata 25 Kg/janjangan) ke tempat penampungan hasil (TPH), mengutip brondolan dan memasukkannya ke dalam karung, merapikan pelepah daun yang telah dipotong dan meletakkannya di celah-celah diantara tanaman sawit (gawanganred). Mereka bekerja tanpa alat keselamatan dan kesehatan kerja yang memadai seperti helm, sarung tangan dan sepatu boot. Pelibatan isteri untuk ikut bekerja merupakan pemandangan umum yang dapat dilihat di perkebunan sawit di Indonesia. Di PT Salonok Ladang Mas (PT SLM) Kalimantan Tengah misalnya, target kerja buruh pemanen mencapai 180 janjang dengan catatan 100 janjang merupakan target kerja suami, sementara sisanya merupakan target kerja isteri. Buruh pemanen di perkebunan ini diwajibkan untuk membawa isteri ke ancak tanpa perikatan kerja. Penggunaan buruh tanpa perikatan kerja yang jelas memunculkan persoalan perlindungan tenaga kerja, tidak saja dalam hal perlindungan upah,
Perumahan Buruh Perkebunan di Sebuah Kebun Sawit di Berau
tetapi juga jaminan kerja, kesehatan dan hak-hak dasar lainnya. Ketiga, sistem pengupahan di perkebunan sawit berbasis target kerja. Sistem demikian memberikan peluang besar bagi terjadinya reduksi upah buruh. Di beberapa perkebunan sawit skala besar di Kalimantan tengah, upah buruh yang tidak memenuhi target kerja berkurang sekitar Rp 20.000-25.000/hari dari Rp 76.300 yang seharusnya diterima. Pengurangan upah akibat tidak tercapainya target kerja ditemukan juga di perkebunan sawit di Sumatera Utara seperti PT Bakrie Sumatera Plantation, PT London Sumatera dan PT Socfindo. Selain itu, perkebunan juga memindahkan tanggungjawab penyediaan alat kerja dan alat perlindungan kerja kepada buruh yang pada akhirnya mereduksi upah yang diterima buruh. Keempat, minimnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Potensi kecelakaan kerja di perkebunan cukup tinggi. Namun, tiadanya penyebaran informasi yang cukup bagi buruh tentang resiko dan penanggulangan kecelakaan terutama penyediaan P3K dan pondok berlindung ketika cuaca buruk serta pembiaran buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan
kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan kenyataan di perkebunan sawit. Buruh perempuan, terutama yang bekerja dibagian pemupukan dan penyemprotan sangat rentan menderita penyakit akibat kerja. Terkena tetesan dan terhirup racun pestisida, fungisida dan insektisida adalah resiko bagi pekerjaan yang berhubungan dengan penyemprotan. Sementara itu, bersentuhan langsung dengan pupuk tanpa alat pengaman yang layak merupakan rutinitas yang dialami buruh perempuan yang bekerja dibagian pemupukan. Kelima, kebebasan berserikat di perkebunan hanya menjadi catatan diatas kertas semata. Di Sumatera Utara, buruh yang berniat mendirikan serikat buruh diintimidasi, dimutasi dan diancam di-PHK. Di beberapa perkebunan sawit di Kalimantan, mobilitas buruh sangat terbatas. Buruh diawasi sangat ketat dan karena itu, buruh hampir tidak memiliki kesempatan untuk mendirikan serikat buruh. Berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak buruh memperlihatkan perusahaan perkebunan sawit masih memandang buruh sebagai objek eksploitasi dalam rangka menghasilkan keuntungan maksimal. Praktek
eksploitasi buruh yang terjadi sekarang ini di perkebunan sawit, tidak berbeda dengan praktek “per-kulian” pada jaman kolonial dulu. Perkebunan di Indonesia perlu menata ulang sistem perburuhan yang tidak menghormati kemanusiaan. Sebagian besar masalah buruh terletak pada sistem dokumentasi perikatan kerja yang memang melemahkan buruh. Informalisasi hubungan kerja melalui sistem buruh harian lepas, PKWT, buruh borongan harus dihentikan. Informalisasi hubungan kerja tersebut telah melanggengkan praktek perbudakan di perkebunan sawit. Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir penentuan upah layak bagi buruh perkebunan dengan memperhatikan aspek kondisi kerja, medan kerja, akses terhadap pendidikan dan kebutuhan pokok yang sulit. Pemerintah juga harus memastikan terdokumentasinya semua buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pemerintah harus menindak tegas perkebunan sawit yang melanggar aturan perburuhan terkait pengangkatan buruh BHL menjadi buruh tetap sesuai dengan pasal 59 ayat 2 UUK dan pasal 10 Kepmenakertrans No 100 tahun 2004.***
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 17
Opini
Darurat
Menulis Itu Tidak Sulit
Pengusaha Sawit Main Pilpres, Harga Sawit Terus Melorot
Hotler “Zidan” Parsaoran “Menulis itu tidaklah sulit. Banyak orang mengeluh tidak bisa menulis dengan alasan sulit memilih kata-kata, tidak mampu menyusun kalimat, kurang percaya diri, sulit menentukan judul dan sebagainya. Menurut saya kesulitan yang dikeluhkan itu tidak berdasar. Itu lebih kepada hambatan psikologis”, ujar Hasudungan Sirait. Hasudungan Sirait merupakan fasilitator kegiatan Pelatihan Tehnik Menulis dan Jurnalisme Warga yang diselenggarakan Sawit Watch pada 21-25 Mei 2014 lalu di Wisma PGI Jakarta. Kegiatan Pelatihan Tehnik Menulis dan Jurnalisme Warga ini diikuti oleh 21 orang peserta yang terdiri dari buruh perkebunan sawit dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, staf Sawit Watch dan petani yang berkonflik dengan perkebunan sawit. Pelatihan ini dilatarbelakangi oleh semakin berkembangnya industri media dan pertumbuhan media komunitas lokal. Ruang untuk melakukan kerja-kerja jurnalistik tanpa harus menjadi jurnalis semakin terbuka dan mudah dipraktekkan. Besarnya ruang untuk menyampaikan pesan dan informasi dalam bentuk tulisan melalui media harus dapat dimanfaatkan dalam rangka mempercepat perubahan. Menurut Jopi Perangin-angin, perkembangan di ranah informasi dan komunikasi harus diikuti dengan peningkatan kapasitas dalam menulis. “Melalui tulisan, banyak hal bisa dikabarkan. Cerita pribadi, tempat bersantai, masalah di pabrik, masalah upah, tunjangan yang tak layak, perlakuan manajemen terhadap buruh dan sebagainya dapat ditulis serta dipublikasikan. Buruh, petani dan komunitas lokal tak hanya menjadi objek berita, tapi juga sekaligus menjadi penulisnya”, kata staf departemen kampanye Sawit Watch tersebut. Menurut Hasudungan, selama
18 | Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014
pelatihan ini peserta akan difasilitasi praktek membuat tulisan dan kemudian menyampaikan hasil tulisannya tersebut sehingga diketahui oleh peserta lainnya. Untuk dapat melihat lebih jauh bagaimana jurnalisme itu dilakukan, peserta difasilitasi untuk melakukan kunjungan ke kantor redaksi Tempo dan berdiskusi dengan salah satu redaktur majalah tersebut. Dalam diskusi, pertanyaan tentang bagaimana memperoleh informasi dan apa yang disebut dengan berita berimbang menjadi pertanyaan umum peserta pelatihan. Untuk mengawali sebuah tulisan, peserta harus mengumpulkan sebanyak mungkin gagasan yang berhubungan dengan topik yang akan ditulis dan kemudian menguraikannya. Tehnik ini disebut fasilitator dengan istilah tehnik pemerian. Hal penting yang harus digarisbawahi dalam membuat tulisan adalah menentukan topik. Topik tulisan harus ditentukan terlebih dahulu sebagai panduan bagi penulis dalam mengumpulkan dan menguraikan gagasan yang berhubungan dengan topik yang dimaksud. Dalam membuat tulisan, peserta dapat melakukan observasi terkait topik atau objek yang akan ditulis. Dalam melakukan observasi, peserta harus menggunakan panca indera. Objek yang dituliskan sebagai hasil observasi harus disampaikan jelas sehingga pembaca mengerti. “Jangan tulis di wisma PGI banyak bunga, tapi tuliskan bunga apa saja yang dilihat dan bagaimana bunga itu”, demikian menurut Hasudungan. Selain dilatih untuk menulis, peserta juga dilatih bagaimana melakukan wawancara dalam rangka memperoleh jawaban yang jelas. Dalam hal ini, peserta dilatih untuk kreatif dan mampu menayakan pertanyaan yang tepat dan tidak mengambang. Judul tulisan menurut fasilitator harus memikat pembaca. Kata-kata yang dipakai dalam tulisan harus ekonomis, tidak bertele-tele. Kalimat yang dituliskan harus me-
miliki subjek dan predikat. Peserta juga diberi pemahaman bagaimana membuat berita sesuai dengan prinsip prinsip 5 W + 1 H. Agar tulisan sesuai dengan prinsip tersebut, maka peserta peserta harus melakukan riset data, wawancara dan observasi. “Tulisan sebaiknya dilengkapi dengan data dan gambar. Data dan gamabar tersebut akan semakin memperkuat nilai tulisan kita”, ujar Hasudungan lagi. Eryono, buruh PT SPMN Kalimantan Tengah yang menjadi peserta dalam kegiatan pelatihan tersebut menyatakan pelatihan tersebut memotivasi dirinya untuk menulis secara lengkap kronologis kasus perselisihan antara serikat buruh dengan manajemen perusahaan tempatnya bekerja. “Perselisihan kami dengan manajemen perusahaan sudah sampai ke tingkat pengadilan hubungan industrial, banyak dokumen yang sudah saya kumpulkan, pernyataan manajemen juga kami kumpulkan. Saya akan tuliskan itu, hasil dari pelatihan ini juga saya bagikan kepada teman-teman disana”, kata Eryono. Bondan Andriyanu mengharapkan peserta pelatihan ini dapat mempraktekkan hasil yang sudah diperoleh dari pelatihan ini. “Paling tidak, teman-teman harus sudah bisa menulis kejadian-kejadian yang dialami ditempat kerja dan kemudian membagikannya. Dengan itu, kejadian ditempat kerja tersebut dapat diketahui semua orang”, demikian menurut kepala departeman kampanye Sawit Watch tersebut.***
Petani sawit di Riau
S
erikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyatakan Pemilu Presiden 2014 memberikan pengaruh terhadap harga Tanda Buah Segar sawit di Indonesia yang mengalami perubahan-perubahan harga yang semakin turun dratis setelah 9 Juli 2014. “Sebenarnya penurunan harga TBS ini sudah diprediksi akan terjadi pada saat pemilu,” kata Sekjen SPKS Mansuetus Darto, di Bogor, Selasa. Darto menilai, penurunan ini terkait dengan para pengusaha sawit yang ikut bermain dalam Pilpres 2014. Begitu banyak aliran uang dari pengusaha sawit untuk di investasikan kepada capres tertentu. Akibatnya, petani yang harus menanggung semua permainan politik para pengusaha dengan membeli TBS dari petani yang rendah. Hal ini sama dengan pilpres sebelumnya pada tahun 2009, lanjut Darto, harga pembelian TBS ke tingkat petani sangat rendah. Kondisi ini akan berlangsung hingga penutupan tahun 2014 atau hingga ongkos politik pengusaha sawit tersebut kembali. Ia mencontohkan harga TBS di beberapa daerah seperti di Rokan Hulu, Riau sebesar Rp1.300 per kg dari bulan sebelumnya Rp1.800. Darto menjelaskan, selain di Rokan Hulu, penurunan harga TBS juga terjadi di Kabupaten Sintang Kalimatan Barat sebesar Rp1.838 per kg dari Rp1.880 per kg. Di Sanggau Kalimantan Barat harga pada bulan Juli Rp1.800 per kg dari Rp1.900 per kg bulan sebelumnya. Begitu juga di Tanjung Barat, Jambi harga TBS saat ini sebesar Rp1.791 per kg dari bulan Juni sebelumnya Rp1.844 per kg. “Harga yang turun drastis di Kabupaten Rokan Hulu adalah harga yang berlaku di petani mandiri yang beredar
di tingkat tengkulak,” ujar Darto. Lebih lanjut Darto menjelaskan, dari sejumlah data diatas, para petani sawit saat ini mengeluhkan penurunan TBS yang sangat drastis. Penurunan harga TBS berkisar sampai dengan Rp 100 . Menurutnya, penurunan harga ini membuat para petani khawatir sawit mereka akan dijual dengan harga yang murah padahal untuk mengembangkannya saja mereka sudah mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Darto mengatakan, menurut Kepala Dinas Perkebunan Riau, Zulher, penurunan di sebabkan oleh pengaruh pelemahan harga kedelai akibat potensi lonjakan signifikan pada output kedelai AS, terpantau memberi tekanan “sentiment negative” kuat terhadap pergerakan harga CPO. Darto kembali menambahkan, apapun penyebab turunya harga TBS sawit, Sekjen SPKS mengharapkan seharusnya harga TBS dapat tetap stabil dan diharapkan para pengusaha sawit tidak mempermainkan harga TBS agar tidak merugikan petani sawit. “Peraturan penetapan harga TBS harus segera di evaluasi pada pemerintahan baru sehingga harga pembelian TBS tidak dipermainkan pengusaha,” ujarnya. SPKS merilis, sawit di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan, banyak sekali perusahaan sawit yang semakin mengembangkan usaha mereka baik di lokal maupun di pasar internasional. Kelayakan mutu kelapa sawit Indonesia telah terbukti dengan terealisasinya sawit indonesia di peringkat yang cukup memuaskan di pasar internasional. Namun untuk nasib petani sawit sampai saat ini belum juga mendapatkan kelayakan harga.***
Tandan Sawit, Edisi No. 5 | Juli 2014 | 19