Edisi No. 4 | April 2014
24 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
Tugas Prioritas Rezim Baru Menghentikan Ekspansi Perkebunan Sawit! Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 25
LaporanUtama
Editorial
I
ndonesia negeri kaya. Sejak kecil kita tumbuh dengan memuja keberlimpahan alam pertiwi seperti dalam syair lagu Rayuan Pulau Kelapa. Lagu yang menutup siaran resmi layar TVRI saban malam. Nyiur melambai, mengiringi gunung, lembah, lautan, dan daratan di segala penjuru. Emas, tembaga, nikel, minyak, sawit, karet, semua ada. Indonesia negeri sarat paradoks. Negeri kaya ini seolah berjalan tanpa rencana yang jauh menjangkau ke masa depan. Tak ada kesadaran bahwa keberlimpahan itu pasti akan menipis dan berakhir. Alih-alih memiliki sense of urgency dan keberpihakan pada rakyat luas, sumber daya alam cenderung diobral dan dikelola sembrono. Walhasil, sumber daya alam yang melimpah itu, ironisnya, kerap menorehkan luka dan disharmoni sosial. Berkah dan kutukan alam yang kaya, celakanya, sering hanya berjarak tipis. Paradoks pekat melingkupi sawit. Komoditas yang satu ini memiliki pamor yang begitu cemerlang. Dia membawa janji sebagai sumber energi zaman baru, biofuel. Elaeis guinensis, nama ilmiahnya, juga menjanjikan “tiket” menuju kedaulatan ekonomi. Tiket yang bukannya mustahil dikejar. Syaratnya, sawit dikelola dengan benar: proses perizinan yang transparan dan akuntabel, memajukan petani sebagai ujung tombak, menghormati hak ulayat, ramah lingkungan, dan memperlakukan buruh dengan baik. Teramat sayang jika pengembangan sawit sebagai komoditas yang menjanjikan, dengan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia, harus diwarnai dengan kepahitan yang ditanggung petani dan masyarakat. Kami yakin, dunia juga berkepentingan terhadap sustainabilitas dan perbaikan perkebunan sawit di Indonesia. Sebab, bersama Malaysia, Indonesia adalah pemasok utama komoditas yang amat strategis dan dibutuhkan dunia ini. Menulis tentang sawit itu seperti tersesat di antara labirin informasi dunia persawitan. Setiap soal membutuhkan perhatian tersendiri. Karakter kebun sawit yang masih muda berbeda dengan kebun yang sudah melewati usia 20-30 tahun. Di kebun yang masih muda, sawit belum bertandan dan petani belum bisa menuai hasil. Di kebun yang sudah tua, petani butuh dana peremajaan yang tidak sedikit. Labirin yang paling membikin pusing kepala tentunya adalah sengketa kepemilikan lahan, izin hak guna usaha yang berpindahpindah tangan, dan juga relasi antara petani plasma dan perusahaan yang timpang. Setiap persoalan terkait dengan persoalan lain, kadang dalam jalinan yang susah diurai. Itulah pekerjaan rumah raksasa yang harus dikerjakan penguasa baru negeri galau ini.
Salam Redaksi
Pemimpin Redaksi Jopi Peranginangin Dewan Redaksi Bondan Andriyanu, Jefri Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono, Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald Siahaan, Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban Raja, Sukardi, Monang Sirait, Maryo Saputra Tata Letak Jopi Peranginangin Alamat Redaksi Perkumpulan Sawit Watch Perumahan Bogor Baru Blok C1 No 10 kota Bogor, Jawa Barat. 17629 | Telp 0251-8352171 | Faks 0251-8352047 | Website: www.sawitwatch.or.id | Twitter: @SawitWatch Tandan Sawit ini diterbitkan atas dukungan Yayasan TIFA
Tugas Mendesak Legislator Dan Presiden Baru.... Halaman 03 Buruh Perkebunan Sawit Harus Sejahtera..... Halaman 07 Pemerintahan Baru Harus Memperkuat Moratorium Penebangan Hutan..... Halaman 08 Kebijakan Pangan Hanya Angan-Angan.... Halaman 10 Nestapa Buruh Dibawah Tandan Sawit..... Halaman 12 Bencana Asap Tak Kunjung Berakhir Di Riau ..... Halaman 15 Buruh Sawit Susah Makan..... Halaman 16 Surat Terbuka SPKS Dan Sawit Watch...... Halaman 18 Konspirasi Pemerintah Dan Investor Terhadap Hak Adat........ Halaman 20 Reportase Konsultasi Publik Intepretasi Nasional Prinsip Dan Kriteria RSPO........ Halaman 22
Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.
2 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
Stop Perluasan Kebun Sawit, Selamatkan Hutan Tersisa
Penanggung Jawab Jefri Gideon Saragih
Daftar Isi
Tugas Mendesak Legislator Dan Presiden Baru:
Tandan Sawit Edisi No. 4
Penggundulan Hutan Untuk Perluasan Perkebunan Sawit Makin Marak
P
emilu legislatif baru saja usai. Pesta “demokrasi” ini menjadi momentum tepat menciptakan pemerintahan pro rakyat dan lingkungan. Seharusnya, pemilu legislatif ini menjadi titik balik untuk menyelamatkan kawasan hutan tersisa dari jarahan pemilik modal besar. Masa depan rakyat dan hutan sedang dipertaruhkan. Selama lima tahun terakhir, pemerintah dan DPR dapat dikatakan gagal dalam melestarikan kawasan hutan. Luas kawasan hutan berkurang drastis karena keluarnya izin-izin konversi kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Reforma agraria yang dikampanyekan Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye Pilpres tak dijalankan. Reforma Agraria malah diartikan sebagai bagi-bagi tanah kepada para pemodal, bukan buat rakyat. Faktanya bisa dilihat dari trend kepemilikan tanah dimana terjadi kosentrasi kepemilikan tanah secara massif ke segelintir pemilik modal. Salah satu sektor yang berkontribusi besar atas penghancuran hutan dan lingkungan adalah sektor perkebunan sawit. Perjalanan sektor perkebunan sawit ini penting untuk diperbincangkan seiring terjadinya berbagai letupan kasus lingkungan dan konflik agraria dalam 5 tahun ter-
akhir. Ada beragam topik yang lazim muncul dalam perdebatan mengenai sawit, antara lain problem lingkungan dan konflik lahan. Problem lingkungan biasanya terkait karakter sawit yang monokultur dan menuntut lahan massif. Kebun sawit tidak seperti hutan tropis alami yang memberi ruang atas keragaman makhluk untuk hidup di ekosistem yang sama. Demi hasil panen yang maksimum, makhluk hidup lain tak boleh ada di areal kebun sawit. Beberapa perusahaan bahkan melakukan jurus ekstrem untuk memurnikan kebun sawit yakni dengan memburu serta membantai monyet, gajah, ular dan orang utan. Satwa-satwa ini dianggap hama sehingga harus dimusnahkan untuk memaksimalkan hasil panen. Bahkan pihak perusahaan sawit dengan keji melibatkan masyarakat untuk memburu satwasatwa yang dilindungi tersebut. Pihak perusahaan akan membayar penduduk yang berhasil menangkap satwa. Padahal satwa tersebut adalah penghuni kawasan hutan yang digusur untuk kepentingan perkebunan sawit. Selain itu, konflik lahan juga sangat marak terjadi dalam 5 tahun terakhir. Inilah persoalan kronis, yang menumpuk dan menumpuk selama puluhan tahun, yang siap meledak di ratusan titik di wilayah Indonesia.
Data olahan Sawit Watch menunjukkan bahwa kurang lebih sekitar 396 komunitas berkonflik dengan perusahaan perkebunan di 8 provinsi. Konflik terjadi umumnya karena tumpang tindih kepemilikan lahan antara izin konsesi perusahaan dengan wilayah kelola rakyat. Sementara itu data KPA memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria cenderung mengalami peningkatan. Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar. Sektor kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen. Selama lima tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan konflik sebanyak 314% atau tiga kali lipat jika dibandingkan 2009. Areal konflik meningkat drastis mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%. Pada masa orde baru, kegelisahan petani dalam sengketa lahan nyaris tak pernah naik ke permukaan. Hal ini disebabkan pendekatan represif rezim Soeharto dalam meredam perlawanan rakyat. Mobilisasi pasukan tentara disertai dengan ancaman terror dan intimidasi cukup efektif dalam membungkam suara-suara kritis di akar rumput. Penjara dengan tuduhan subversif atau makar adalah senjata ampuh rezin orde baru untuk meredam perlawanan rakyat. Orde baru runtuh, rakyat Indonesia menyongsong orde reformasi. Cara represif mulai ditinggalkan,
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 3
LaporanUtama
rakyat mulai mengorgansir diri menjajal daya tawar ke pemerintah, dan menuntut hak. Dan bagaikan bara api dalam sekam, sengketa kepemilikan lahan ini siap menjadi bahan bakar utama yang memaksa rakyat berhadapan dengan perusahaan dan aparat keamanan. Konflik lahan kian menjadi karena pemerintah dan DPR tak melirik UUPA 1960 sebagai solusi penyelesaian konflik lahan. UUPA adalah satusatunya perundangan yang mengatur pertanahan. Setengah abad berlalu sejak UUPA disahkan, pemerintah dan para politisi di gedung DPR tidak juga menempatkan persoalan agraria sebagai agenda legislasi dengan urgensi tinggi. Sebuah paradoks getir di negeri yang katanya negeri agraris. Rezim SBY hanya menggunakan isu reforma agraria sebagai komoditi politik untuk menggalang dukungan terkait pencapresan dirinya. Tak ada tindakan konkrit dan nyata untuk melakukan reforma agraria. Letupan demi letupan terkait dengan konflik
4 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
LaporanUtama
lahan antara masyarakat dengan perkebunan sawit berlangsung. Contohnya adalah kasus Mesuji dan Suku Anak Dalam di Jambi. Nah, sejauh UUPA belum tergantikan, ada baiknya para legislator yang baru terpilih pada pileg 2014 merujuk kembali spirit utama dalam produk legislasi tersebut. UUPA jelas menyebutkan batasan kepemilikan lahan, ketentuan Hak Guna Usaha, hak pakai, hak ulayat dan hak memungut hasil hutan. Semangat reformasi dan perlindungan pada rakyat jelas terasa dalam UUPA. Adalah tugas parlemen dan pemerintah untuk secara serius membuat revisi perundangan dan turunannya secara jelas mengatur teknis kepemilikan tanah, air dan udara seperti dimaksud UUPA. Memperpanjang Moratorium Hutan dan Gambut Dari berbagai kompleksitas pengelolaan hutan, ternyata masih ada warisan pemerintahan SBY yang patut
di apresiasi terkait dengan pengelolaan hutan, yakni kebijakan Moratorium Hutan. Setelah dihantam banyak pihak terkait persoalan sosial, lingkungan dan pemanasan global yang muncul akibat penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan, rezim SBY pun merespons tuntutan tadi dengan melakukan perbaikan terkait pengelolaan hutan. Khusus di sektor sawit, tekanan banyak pihak terhadap pengelolaan kebun yang amburadul bahkan sampai mendapatkan sanksi berupa pemutusan kontrak oleh pembelinya. Menghadapi semua tekanan itu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhono (SBY), pada tahun 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat, mengumumkan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26%. Bila mendapat dukungan dari negara-negara lain, angka penurunan tadi masih bisa ditingkatkan hingga 41%. Demi mewujudkan tekad itu, pemerintahan SBY membuat serangkaian kebijakan dan program pengurangan emisi. Setidaknya ada satu hal yang dilakukan yakni penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) No.10 Tahun 2011 tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, pada bulan Mei 2011. Kemudian Inpres ini diperpanjang hingga tahun 2015. Dalam instruksi itu disebutkan soal moratorium izin baru konsesi hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun, kecuali di sektor minyak dan gas, geothermal, padi dan tebu. Juga disebutkan, terbitnya satu peta indikatif hutan Indonesia. Dengan penghentian sementara perizinan selama itu, banyak ahli memperkirakan Indonesia setidaknya menyelamatkan 64 juta ha sisa hutannya. Selain itu banyak pihak juga optimis bahwa dalam kurun waktu 2 tahun, pemerintah akan memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan. Secara implisit Instruksi Presiden itu jelas mensyaratkan penghentian ekspansi perkebunan kelapa sawit selama dua tahun. Merasa dirugikan, Inpres tersebut langsung diprotes Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Bagi penulis, moratorium ini merupakan awal
positif dan harus dijadikan moment bagi perbaikan mekanisme dan manajemen perkebunan sawit. Juga merupakan waktu yang tepat bagi penegakan hukum terkait penyelanggaraan perkebunan sawit. Ini warisan kebijakan yang harus dipertahankan oleh pemimpin Indonesia baru yang terpilih dalam Pilpres 2014. Program Prioritas Menata Ruang Selain melanjutkan inpres tersebut di atas, anggota parlemen dan pemerintahan baru terpilih harus turut menyelesaikan persoalan penataan ruang. Di dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang penataan ruang itu disebutkan beberapa hal pokok soal perencanaan dan pengaturan wilayah demi penentuan arah pembangunan Indonesia yang memperhatikan pertambahan penduduk dan daya dukung alam. Salah satu bagian penting yang tertulis dalam UU tersebut adalah penyediaan ruang konservasi (lindung) di setiap wilayah yang besarannya mencapai 30% dari luas suatu kawasan itu. Artinya harus segera dibuat rencana tata ruang wilayah secara nasional sebagai rencana induk (master plan). UU inilah yang seharusnya menjadi UU payung bagi penyelesaian semua konflik keruangan dan juga dasar dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Persoalan tata ruang ini harus menjadi prioritas penguasa baru Indonesia. Jika tidak, maka benturan pasti akan terjadi yang berujung pada konflik. Penyelesaian penataan ruang ini untuk mengantisipasi benturan sebagai berikut: Pertumbuhan penduduk vs Ketersediaan Pangan. Tingkat kelahiran yang masih tergolong tinggi dan faktor migrasi penduduk dari wilayah lain ke suatu wilayah tertentu dipastikan akan menyebabkanketidakseimbangan ketersediaan pangan dan kebutuhan orang yang mengonsumsinya. Pengangguran vs lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran yang semakin meningkat sepanjang tahun 2008 akibat krisis global membuat banyak tenaga kerja kembali ke kampung asal mengadu nasib dengan bertani/ kebun sekedarnya. Kepulangan para pekerja ini diyakini memunculkan
benturan, baik dengan perusahaan atau dengan pengelola kawasan konservasi, karena kelompok buruh ini juga membutuhkan lahan garapan setelah terkenan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Pemenuhan kebutuhan dasar vs krisis air dan energy. Penyempitan areal pertanian akibat konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar menyebabkan sumber Air untuk kebutuhan hidup rumah tangga dan energy mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Kebutuhan lahan antara masyarakat vs dunia usaha. Kebijakan pemerintah yang terus memacu pertumbuhan ekonomi makro dengan memberikan kemudahan-kemudahan bagi dunia bisnis untuk berinvestasi menyebabkan sebagian besar lahan-lahan produktif dikuasai dunia bisnis (Perkebunan, HTI, Migas). Perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi atau lindung Dampak langsung penyempitan lahan kelola masyarakat menyebabkan kawasan-kawasan konservasi atau lindung menjadi terancam karena menjadi sasaran ekspansi pertanian/ perkebunan masyarakat juga dunia industry. Selain konflik antar manusia, konflik dengan satwa juga semakin tinggi dan rentan terhadap bencana alam. Menurut Sawit Watch, untuk
mengantisipasi potensi konflik besar di atas, setidaknya ada beberapa kementerian yang mesti duduk bersama membangun sinegisitas dalam pembuatan tata ruang wilayah nasional tersebut. Tentu saja dibutuhkan niat, kerja keras dan yang kuat antar dan inter kementerian tadi dalam pembuatan tata ruang nasional. Khusus di sektor perkebunan sawit, penulis sangat berkeyakinan bahwa pembuatan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang dimulai dari tingkat wilayah dan pemerintahan terendah sampai tertinggi, terutama bupati, akan membuat aparat pemerintah (khususnya yang berkordinasi dibawah kementerian dalam negeri) akan lebih berhati-hati dalam memberikan ijin lokasi kepada dunia usaha di wilayah kekuasaannya. Apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap tata ruang tersebut, maka dia bisa dikenakan sanksi pidana dan perdata. Selama ini ketiadaan peta tata ruang Kabupaten, Provinsi dan Nasional menyebabkan mutu, cara pemanfaatan dan pengendalian ruang yang tersambung dengan daya dukung keruangan itu sendiri membuat pola pembangunan dan pengelolaan negeri ini karut-marut. Selain itu, benturan kepentingan sektoral di internal pemerintah menyebabkan kaburnya substansi pengendalian pembangunan. Juga tak terselesaikannya berbagai masalah- masalah yang di seputar keruangan. Setelah menyelesaikan pembua-
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 5
LaporanUtama
tan perencanaan tata ruang wilayah nasional di atas, tugas lanjutan bagi parlemen dan pemerintahan baru adalah segera membuat peraturan teknis terkait pelaksanaan dan pengawasan jalannya UU tersebut, sebagaimana yang telah diamanatkannya. Hal ini sangat penting dan mendesak demi menghindari multitafsir dan kebingungan di masyarakat soal hak dan kewajibaan berkenaan dengan penataan ruang. Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Setelah membuat dan melakukan sinergisitas terkait Penataan Ruang, hal strategis yang harus segera dilakukan parlemen dan pemerintahan baru terpilih adalah menerapkan pelaksanaan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU baru dinilai banyak pihak sudah cukup lengkap dengan segala prasyarat lingkungan terhadap model pembangunan dan pengembangan atas satu kawasan berikut sanksi hukumnya. Di pengantar UU No. 32 Tahun 2009 ini disebutkan bahwa hal yang dipertimbangkan sehingga peraturan hukum ini mesti segera diimplementasikan adalah:
6 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
LaporanUtama
1. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia 2. Pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 3. Semangat otonomi daerah telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 4. kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan; 5. Pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 6. Agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem. Demi pencapaian banyak hal di atas, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas-jelas mensyaratkan dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sangat mendukung dan bertalian erat dengan UU No.27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun UU ini harus diperkuat dengan aturan tegas yang membatasi jumlah perusahaan yang beroperasi. Karena sejak UU ini diberlakukan, tidak ada aturan dalam KLHS yang membatasi berapa banyak perusahaan skala besar yang berbasis lahan boleh ada dalam satu kabupaten. Hal ini, harus diatur dengan jelas agar pembukaan lahan bagi perusahaan besar bisa ditekan. Jika merujuk pada persoalan di atas, sudah saatnya parlemen dan pemerintah baru mengubah paradigm tentang hutan. Tantangan wakil rakyat yang terpilih adalah mengubah paradigma tidak menjadikan hutan sebagai sumberdaya yang dikeruk habis-habisan. Juga pembenahan managemen hutan yang saat ini tidak efektif. Pemimpin terpilih harus mengubah manajemen pengelolaan hutan agar lebih baik dari yang dijalankan Kemenhut saat ini. Selama ini, hutan dianggap sebagai penggerak mesin uang kalangan politisi. Mereka membentuk rantai korupsi dan kolusi dengan pengusaha industri ekstraktif yang merusak dan mengeruk kekayaan alam tanpa mempedulikan kelestarian. Kerusakan alam karena salah kelola imbas dari kebijakan politik tak pro lingkungan. Persoalan hutan harus masuk ke dalam ranah politik. Hal itu penting, karena masalah hutan sangat serius. Pada 1960-an, eksploitasi hutan sebagai sumber penggerak ekonomi. Ketika masuk era reformasi, sudah tidak lagi mengikuti rezim itu. Namun masih belum juga membuat pengelolaan hutan yang baik menjadi agenda utama pemerintah. Hutan Indonesia, yang tersisa tinggal sedikit. Sebagian besar, sudah diberikan izin pengelolaannya kepada swasta maupun asing. Hutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang dan lain-lain. Selamat bekerja.***
Buruh Perkebunan Sawit Harus Sejahtera!
Siaran Pers Sawit Watch Dalam Perayaan Hari Buruh Sedunia, 1 Mei 2014
S
aat ini, Indonesia menjadi salah satu negara terbesar pengeksport minyak kelapa sawit di dunia, dan sekaligus menjadi negara terluas perkebunan kelapa sawitnya. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 13,194,813 Ha (Sawit Watch, 2013) dan memasok 43 % CPO kebutuhan dunia (MP3EI, 2011). Sekitar 4,9 juta warga Indonesia bekerja di perkebunan kelapa sawit, ini merupakan pekerja lapangan di industri sawit, angka tersebut belum termasuk jumlah pekerja dilevel manajemen. Indonesia pun menjadikan perkebunan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia, karena dianggap mampu berkontribusi besar kepada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan kesejahteraan. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, produksi kelapa sawit meraup keuntungan Rp 205 Trilyun pada 2012, meningkat 160 trilyun dari 2011. Perusahaan perkebunan sawit meraup untung besar dari booming minyak sawit. Keuntungan yang diraih dari bisnis minyak sawit ini telah menempatkan beberapa pengusaha sawit masuk dalam daftar orangorang terkaya di Indonesia. Namun pada sisi lain, keuntungan yang diraup perusahaan perkebunan tersebut belum dinikmati buruh di perkebunan. Buruh perkebunan yang tersebar diberbagai wilayah di Indonesia bertahan hidup dengan upah jauh di bawah standard kehidupan layak. Menurut Jefrie Gideon Saragih, hasil riset Sawit Watch tahun 2013 menunjukkan data bahwa besaran upah maksimal yang diterima buruh SKU (Buruh Tetap) setiap bulannya sekitar 1,2 juta – 1,4 juta rupiah, atau sekitar Rp 65 ribu setiap hari. Sementara pengeluaran buruh sedikitnya 1,2 juta - 1,5 juta rupiah per bulan hanya untuk biaya makan saja, belum dihitung biaya anak sekolah, biaya transport buruh ke tempat kerja, sandang, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Buruh di salah satu perkebunan swasta asing di Kalimantan Tengah mengaku rata-rata buruh di perkebunan itu memiliki hutang 1 hingga 2 bulan gaji.
“Untuk mensiasati kekurangan ini, buruh terpaksa memperpanjang jam kerjanya agar memperoleh uang tambahan berupa premi. Sementara harga premi biasanya kecil, dan biasanya ditentukan sepihak oleh perusahaan. Agar premi yang di peroleh lebih banyak, buruh melibatkan istri dan anaknya bekerja. Cara lain buruh mensiasati upah yang kurang ini adalah dengan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari. Keuntungan berlimpah yang diraih perusahaan perkebunan sawit seakan menguap dan malah meninggalkan jejak kemiskinan pada hidup buruh perkebunan. Kelapa sawit yang dinilai telah menyerap banyak tenaga kerja ternyata belum mampu mensejahterakan buruh, petani dan masyarakat adat,” kata Direktur Sawit Watch tersebut. Selain itu, pembangunan industri kelapa sawit telah mengubah dinamika perekonomian lokal, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan. Keterbatasan pilihan pekerjaan dan tidak adanya perlindungan negara mengakibatkan buruh perkebunan terpaksa bekerja dengan bayaran minimal, standar kesehatan dan keselamatan kerja yang buruk dan hubungan kerja yang berbasis eksploitatif. Selain menghisap buruh, pembangunan industri kelapa sawit juga berdampak pada lingkungan dan mengancam kedaulatan pangan. Besarnya kekuasaan perusahaan perkebunan akibat dari lemahnya pengawasan Negara menempatkan buruh pada posisi tak berdaya. Upah murah, buruh kontrak (outsourcing), minim fasilitas, rentan atas kecelakaan kerja adalah wajah dari industri perkebunan di Indonesia. Berdasarkan beberapa riset yang dilakukan oleh Sawit Watch, terlihat bahwa situasi yang dihadapi buruh-buruh di perkebunan adalah bentuk lain dari perbudakan modern. Eksploitasi terjadi secara sistematis dan sudah terjadi sejak dari rekrutmen, sistem kerja, hubungan kerja, struktur perusahaan, hingga minimnya penyediaan fasilitan kerja, fasilitas hidup dan kebutuhan pokok lainnya. Buruh bekerja tanpa kontrak, tidak ada dokumen apa pun dalam
hubungan kerja antara buruh dan pengusaha perkebunan. Jikapun ada, kontrak itu dipegang oleh ‘agen’ mereka, sehingga mereka tidak pernah melihat kontrak dan tidak tau isinya. Oleh karena itu tidak ada jaminan keberlangsungan kerja bagi buruh. Tidak ada dokumen yang menandakan mereka adalah Buruh di perkebunan. Menurut Bondan Andriyanu, eksploitasi juga dilakukan melalui, sistem kerja. Perusahaan memberlakukan sistem tujuh jam kerja dengan target. Dengan sistem kerja ini, buruh harus terus bekerja untuk mencapai target walau sudah bekerja selama 7 jam. Tidak ada uang lembur. “Eksploitasi terhadap buruh perkebunan semakin terbuka lebar karena posisi kuat pengusaha dalam perkebunan. Kekuasaannya mencakup pembuatan peraturan, penetapan sangsi atas peraturan tersebut, hingga mengatur kehidupan pribadi buruh. Sementara itu, posisi buruh perkebunan sangat lemah karena menggantungkan hidup sepenuhnya kepada perkebunan,” lanjut kepala departemen kampanye Sawit Watch tersebut. Dari praktek perburuhan di perkebunan sawit tersebut dan bertepatan dengan momentum perayaan hari buruh sedunia pada 1 Mei 2014, Sawit Watch mengharapkan kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada buruh perkebunan sawit. Kebijakan tersebut harus menjamin hak-hak buruh serta berdampak pada kesejahteraan buruh perkebunan. Ini akan menjadi sebuah catatan manis yang diwariskan Presiden SBY di akhir kekuasaannya. “Sawit Watch meminta kepada Presiden SBY untuk menindak tegas perusahaan yang memperlakukan buruh secara semena mena. Serta mendesak pemerintah untuk mengawasi praktek-praktek perburuhan yang ada di perkebunan sawit, dari mulai perekrutan hingga sistem penggajian. Dan juga memberikan kebebasan atas buruh untuk berserikat dan berkumpul untuk menentukan masa depan yang lebih baik, pungkas Jefrie Saragih.
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 7
LaporanUtama
LaporanUtama
Pemerintahan Baru Harus Memperkuat Moratorium Penebangan Hutan
D
Pembukaan lahan gambut dan hutan alam untuk perkebunan sawit
8 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
engan produksi 23,5 juta ton minyak kelapa sawit mentah pada tahun lalu, Indonesia sebetulnya sudah sulit disaingi siapa pun. Namun, angka ini tampaknya masih ingin digenjot lebih dahsyat lagi. Untuk 2020, misalnya, target yang dipatok adalah 40 juta ton. Target itu di satu sisi sah-sah saja. Persoalannya, untuk meningkatkan produksi pengusaha Indonesia lebih condong kepada ekspansi ketimbang intensifikasi lahan. Bila pola ini dipertahankan, laju ekspansi lahan kelapa sawit bisa mencapai 450 ribu hektare per tahunnya. Ini bukan kabar yang menggembirakan, utamanya pada keberlangsungan hutan kita. Laju ekspansi ini sebetulnya sudah coba direm dengan moratorium penebangan hutan selama tiga tahun terakhir. Langkah ini dilakukan bukan untuk gagah-gagahan, melainkan dengan jualan oksigen melalui skema REDD (reduced emissions from deforestation and forest degradation) Indonesia mendapatkan dana dari Norwegia sampai US$ 1 miliar selama kurun 7-8 tahun sejak perjanjian diteken. Dana ini adalah bentuk dukungan negara Skandinavia ini atas tekad Indonesia mengurangi emisi atau buangan zat asam arang (CO) sampai 26 persen pada 2020. Terkait dengan Moratorium tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghimbau kepada presiden baru nanti untuk meneruskan moratorium konsesi hutan. Presiden menyampaikan himbauan itu ketika memberikan pidato kunci sekaligus membuka Forests Asia Summit 2014 atau Pertemuan Puncak Hutan Asia, di Shangri – la Hotel, Jakarta, Senin (5/5). Presiden SBY mengklaim bahwa kebijakan moratorium penebangan hutan tersebut telah menurunkan tingkat penggundulan hutan dari 1,2 juta hektar menjadi 450 hingga 600 ribu hektar per tahun selama periode
Peta Indikatif Moratorium Yang dibuat CSO
moratorium, terhitung sejak inpres Moratorium dirilis pada 2011. Keberhasilan menurunkan angka dorestasi tersebut telah mengurangi pelepsan 211 juta ton CO2. Guna memperkuat upaya moratorium konsensi hutan itu, Presiden SBY telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2013 yang sifatnya sebagai penguatan dan koreksi atas moratorium sebelumnya, misalnya penyelesaian tumpang tindih perizinan. Inpres Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut merupakan perpanjangan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 atau yang lebih dikenal dengan Inpres Moratorium Hutan yang seharusnya berakhir pada 20 Mei 2013. Namun di lapangan, pemerintah daerah dan berbagai intansi terkait, menerjemahkan moratorium secara berbeda lain lagi dengan kehendak resmi pemerintah pusat. Sebelum tanggal moratorium jatuh, pengusaha sekuat tenaga, bahkan mungkin kalap, membebaskan lahan. Bila dengan moratorium saja pelanggaran
di lapangan masih terjadi, skenario yang kurang menggembirakan untuk lingkungan dan ekonomi rakyat bakal menanti setelah moratorium diangkat. Sawit memang komoditas yang penting bagi perekonomian Indonesia. Namun, yang menikmati harum dan gurihnya hanya kalangan terbatas. Sebagian besar petani rakyat dan warga sekitar perkebunan besar yang seharusnya bisa sejahtera karena komoditas unggulan ini justru menjadi pihak yang paling sering dirugikan dengan pertumbuhan kebun yang kian menggila. Selama puluhan tahun, maraknya kebun sawit sejalan dengan tumbuhnya konflik di sanasini. Sumatera dan Kalimantan sudah merasakan imbas pahit dari agresivitas ekspansi sawit. Kini sawit merambah tapal batas baru: Papua. Pada tahun 2007, sekitar 10 juta hektar hutan di Tanah Papua telah dialokasikan untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan sekitar 1,6 juta hektar dialokasikan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Sementara khusus untuk perluasan (ekspansi) perkebunan kelapa sawit mencapai 7 juta hektar yakni 5
juta hektar di provinsi Papua dan 2 juta hektar di provinsi Papua Barat. Rencana ekspansi perkebunan sawit ini menjadi ancaman besar bagi masyarakat adat Papua juga karena hutan adatnya akan diklaim atas izin pemerintah oleh perusahaan. Hutan alam juga akan habis ditebang untuk industri minyak sawit, sementara sekitar 80% penduduk asli Papua masih hidup bergantung pada hasil hutannya sebagai peramu dan petani subsisten. Banyak konflik yang terjadi di Papua karena masalah tanah. Bagaimana pun, rencana pemerintah untuk membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran di Tanah Papua berpotensi menjadi sumber konflik baru. Karena itu sudah saatnya, para legislator dan Presiden baru hasil pemilihan legislative dan pemilihan presiden baru mendorong perpanjangan moratorium penebangan dan sekaligus memperkuat moratorium itu sendiri. Seperti dijelaskan diatas, dengan moratorium saja tidak cukup untuk menurunkan trend deforestasi, tapi harus diperkuat dengan instrument-instrumen hukum untuk memperkuat moratorium.***
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 9
LaporanUtama
LaporanUtama
Kebijakan Pangan Hanya Angan-Angan Refleksi Atas Kebijakan Pangan Pemerintahan SBY
Kedaulatan Pangan Terancam Perluasan Perkebunan Sawit di Merauke
R
ezim Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah berjalan selama sepuluh tahun ini hampir berakhir. Banyak yang menilai rezim ini berhasil, banyak pula yang menilainya gagal total. Khususnya dalam soal kebijakan pangan. Kebijakan pangan rezim SBY memang paling layak disorot, karena pasca Orde Baru, di era SBY inilah sebenarnya janji memperkuat ketahanan pangan dan melakukan revitalisasi pertanian kembali diwacanakan. Pada awal pemerintahannya di tahun 2004 lalu, SBY sebenarnya sudah menyusun sebuah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) selama 20 tahun ke depan. Dalam rencana pembangunan yang merupakan pengganti GBHN Orde Baru itu, SBY sebenarnya sudah dengan jitu memetakan berbagai masalah yang akan dihadapi Indonesia ke depan. Dalam rancangan itu sudah disebutkan, Indonesia akan menghadapi masalah seperti krisis air, krisis energi dan krisis pangan. Pemerintahan SBY sendiri dalam RPJP sudah menyebutkan berbagai ancaman krisis itu harus diantisipasi sejak dini. Khusus soal pangan, dalam rancangan itu juga disebutkan
10 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh sektor pertanian. Satu tulang punggung lagi adalah sektor pertambangan. Sayangnya, meski SBY sejak awal sudah menyadari akan adanya krisis pangan dan sudah mencanangkan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia adalah pertanian, dalam kebijakannya kemudian, idealisme itu bak jauh panggang dari api. Kesalahan pertama dimulai ketika SBY menyusun 11 program prioritas pembangunan nasional. Dalam daftar ini yang menjadi prioritas utama adalah reformasi birokrasi dan tata kelola disusul pendidikan dan penanggulangan kemiskinan. Sementara ketahanan pangan dan masalah pertanian ditaruh pada posisi nomor lima. Akibatnya perhatian pemerintah terhadap pertanian sangat kecil. Karena bukan merupakan prioritas pertama, maka eksekutif dan legislatif hanya bisa memberikan budget sekitar 6-7% dari total APBN. Ini sangat jauh dari saran lembaga pangan dunia FAO yang menyatakan negara hendaknya menyisihkan 20 persen anggaran untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya di tengah situasi pangan yang bergejolak. Prioritas
yang rendah ini juga mengakibatkan lemahnya implementasi kebijakan pangan di lapangan. Salah satunya adalah lemahnya perlindungan terhadap produsen pangan skala kecil meliputi lahan, sarana dan prasarana serta tata niaganya. Demikian pula dari sisi konsumen tidak dibangun upaya yang sistematis dan serius sehingga mereka menjadi pelindung pertanian. Alih-alih membangun kedaulatan pangan, kebijakan pemerintahan SBY malah mengandalkan pangan impor dengan membebaskan keran impor sebesarbesarnya. Padahal semua harusnya berbasis pada lokalitas dan produsen pangan skala kecil. Hal ini, menunjukkan adanya paradoks dimana pada satu sisi SBY sangat sadar akan adanya ancaman krisis pangan, tetapi di sisi lain tidak memprioritaskan pembangunan pertanian. Akibatnya bisa dilihat dari buramnya potret implementasi kebijakan pangan, khususnya pertanian di Indonesia pada masa pemerintahan SBY selama 10 tahun ini. Sampai jelang akhir periode kedua pemerintahan SBY, kondisi pangan Indonesia tidak membaik. Bahkan Indonesia terperosok kedalam jurang darurat
pangan. Potret buram gagalnya kebijakan pangan pemerintahan SBY ini, bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertama, dari sisi jumlah rumah tangga pertanian. Selama sepuluh tahun belakangan ini dari tahun 2003-2013, jumlah rumah tangga petani menghilang sebesar 5 juta rumah tangga. Mereka mayoritas adalah petani dengan lahan kurang dari 1000 m2. Jika di tahun 2003 masih ada sekitar 31,17 juta rumah tangga, maka di tahun 2013 hanya tersisa 26,13 juta rumah tangga. Selain itu, lahan pertanian juga menyusut rata-rata seluas 110.000 hektare setiap tahunnya. Padahal di satu sisi untuk hal ini pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 14/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hanya saja implementasinya sangat lemah karena diserahkan kepada provinsi dan kabupaten tanpa ada koordinasi dan rencana yang berkesinambungan. Berkurangnya rumah tangga pertanian ini diakibatkan karena semakin menurunnya kesejahteraan petani yang tercermin dari nilai tukar petani (NTP) yang dimiliki petani. NTP digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan dengan membandingkan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani. Kajian Indef (Institute for Development of Economics and Finance) yang dipublikasikan pada April 2014 menunjukkan terjadinya penurunan NTP dari 117 poin pada tahun 2004 menjadi 107 poin pada tahun 2013. Kesejahteraan yang rendah menyebabkan petani terus bergelut dengan kemiskinan sepanjang waktu. Bahwa benar terjadi perubahan dalam jumlah penduduk miskin, namun pada kenyataannya masih banyak petani yang miskin. Pemerintah menargetkan kemiskinan turun hingga 8 persen pada kenyataannya angka kemiskinan masih relatif tinggi terutama di pedesaan dimana sebagain besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada tahun 2013 angka kemiskinan mencapai 11,4 persen atau 28,1 juta orang. Pertanian kini tidak lagi menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi dimana sumbangannya sejak 2007-2013 hanya sebesar rata-rata
Lahan-Lahan Sawah Terancam Ekspansi Sawit di Parimo
3-4 persen. Bandingkan dengan sektor jasa dan properti yang menyumbang pertumbuhan hingga 8-9 persen. Semakin tersisihnya sektor pertanian ini bukan saja berdampak pada berkurangnya jumlah petani dan lahan tetapi juga menjadi faktor terjadinya kemandegan produksi pangan. Padahal di satu sisi jumlah penduduk terus meningkat. Alhasil untuk menutupi gap tersebut, pemerintah pun menggenjot impor pangan. Hal itu bisa dilihat dari jumlah impor yang terus meningkat setiap tahun. Berdasarkan data di atas, terlihat impor pangan Indonesia sejak tahun 2009-2012 cenderung meningkat. Angka tertinggi dicapai pada tahun 2011 dengan volume mencapai 22,9 juta ton dan nilai impor mencapai US$20,58 miliar. Hal ini jelas menunjukkan pemerintah tidak berpihak pada produsen pangan skala kecil sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional. Dalam konteks lahan, pertanian pangan di Indonesia juga menghadapi problema besar dengan semakin massifnya perkembangan perkebunan sawit. Achmad Surambo mengatakan, ada kontestasi yang tidak seimbang antara pertanian pangan dan sawit dalam penguasaan lahan. Pemerintah cenderung memberikan konsesi besar-besaran terhadap perkebunan kelapa sawit tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung. “Hal ini menyebabkan alih fungsi lahan pangan,” ujarnya kepada. Dengan begini target rezim SBY untuk perluasan lahan pangan seluas 2 juta hektare dipastikan tidak berhasil. Bahkan izin bagi alih
fungsi pangan terus diberikan. Lahan yang tidak dikonversi untuk perkebunan sawit tetap terkena dampak pembangunan kanal dan jalan untuk mendukung industri sawit. Rambo mencontohkan di wilayah pantai timur Sumatera dimana seluruh lahan pertanian sudah terkonversi menjadi lahan sawit. Karena itu ke depan Indonesia memang membutuhkan pemimpin yang menghormati, melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat yang merupakan hak asasi manusia. Pangan harus menjadi prioritas utama pemerintahan mendatang. Mengalokasikan sumber daya termasuk anggaran untuk menciptakan kedaulatan pangan bukan mencari jalan mudah dengan melakukan impor pangan. Ini merupakan pilihan politik dan strategi pemerintah yang seharusnya dan segera dilaksanakan. Untuk itu Sawit Watch sendiri memberikan solusi berupa tujuh langkah strategis yang harus dilakukan pemerintahan baru mendatang. Pertama adalah memulihkan kemampuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber-sumber agraria. Kedua meningkatkan investasi publik untuk pangan. Ketiga melindungi pasar pangan lokal dari liberalisasi. Keempat, menghentikan pemberian lahan kepada perusahaan besar dan konversi lahan pangan. Kelima memperbaiki tata kelola pangan nasional. Keenam melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi lokal. Ketujuh, pemanfaatan inovasi dan teknologi yang bisa dikuasai penghasil pangan skala kecil.***
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 11
KabarWilayah
KabarWilayah
Nestapa Buruh di Bawah Tandan Sawit Bekerja Keras dan Berserikat untuk Hidup Layak
Saya baru saja menyusuri jalur selatan dari Palangkaraya menuju Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Tujuan utamanya melihat dari dekat kehidupan buruh perkebunan sawit di wilayah itu. Saya ditemani Jopi Peranginangin, pegiat Sawit Watch, lembaga nirlaba yang memusatkan perhatiannya pada advokasi lingkungan dan buruh pada perkebunan sawit skala besar. Banyak cerita yang bisa dicatat. Berikut beberapa di antaranya. Laporan: Jafar G Bua, Kalimantan Tengah
P
erjalanan kami mulai dari Palangkaraya, Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Kota ini berpenduduk hanya 220.962 jiwa. Padahal luasnya 2.400 kilometer persegi. Itu setara 3,6 kali luasnya dari Jakarta yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Singgah sebentar di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, organisasi nirlaba yang memusatkan perhatian pada advokasi masyarakat dan lingkungan hidup. Mengumpulkan banyak remah informasi dari tempat itu lalu menempuh perjalanan lebih dari 70 kilometer menuju Paranggean, salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten
12 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
Kotawaringin Timur. Paranggean bolehlah disebut kecamatan sawit. Bayangkan total luas lahan perkebunan besar sawit di wilayah ini mencapai 130 hektare. Itu setara dengan 60 persen luas wilayahnya. Tidak kurang dari 13 perusahaan perkebunan besar sudah menyulap lahan dan hutan di sana menjadi hamparan kebun sawit. Itu barulah di Kecamatan Paranggean. Di seluruh Kabupaten Kota Waringin Timur tercatat tidak kurang 77 perusahaan perkebunan besar sawit dengan luasan lahan mencapai 646.017 hektare. Dengan rata-rata lebih dari 1.000
buruh yang bekerja pada perusahaan perkebunan itu, pikirkan saja berapa banyak warganya yang menggantungkan nasib di tandan sawit. Bahkan ada yang rela meninggalkan kebun-kebun palawija mereka dan pekerjaan lainnya, lalu memburuh di perkebunan besar. Maklumlah, imingiming gaji tinggi memantik minat. Padahal, harapan tidaklah selalu sama dengan kenyataan. Di Parenggean setelah didera lelah semalaman melewati jalanan berlumpur, licin dan curam, kami menumpang istirahat di rumah panggung milik Hendrikus, Ketua Serikat Pekerja Anak Sawit Indonesia. Spasi adalah salah satu organisasi buruh yang berbasis di wilayah itu. Ratarata anggotanya bekerja di PT. SPMN (Sapta Prima Multi Niaga). Barulah keesokan pagi, mengalirlah kisah-kisah nestapa para buruh perkebunan besar kelapa sawit di wilayah itu dalam sebuah pertemuan tak resmi serikat pekerja ini. Denti Bakti, (43), anggota Spasi membuka pembicaraan, “saya ini dulu mandor kebun. Tapi kemudian dipindahkan ke pekerjaan lain. Tidak menentu. Lantaran saya bergabung dengan serikat pekerja. Meski cuma anggota biasa.” Pada titik ini, Affandi, pegiat Walhi Kalteng menyebutkan bahwa perusahaan sejatinya telah melanggar hak-hak pekerja untuk berserikat. Kata dia, “tentu itu melanggar undang-undang. Melanggar kebebasan warga Negara untuk berserikat dan berkumpul.” Karena itu, menurut Denti, wajar bila hanya 96 orang dan 1000 buruh di perkebunan mereka berani menjadi anggota serikat. “Padahal dengan berserikat, mereka akan menjadi lebih kuat. Mereka akan lebih mudah menuntut hak-haknya karena punya wadah yang bisa menyatukan suara mereka,” pandang Jopi Peranginangin, pegiat Sawit Watch yang menemani saya. Para buruh tahu, kata Denti, “banyak masalah yang mereka hadapi
Buruh Perkebunan Sawit Sedang Istirahat
dan tidak tahu harus bagaimana. Kalau saya rinci satu demi satu masalahnya, itu banyak. Salah satunya yang penting adalah masalah kesehatan. Asuransi memang ada, tapi pengurusannya sangat berbelit. Bahkan bila manajemen mengatakan salah prosedur, klaim kita tidak dibayarkan. Nah, yang begitu kalo kita berserikat bisa diselesaikan bersama-sama. Menjadi masalah bersama.” “Coba kita lihat bila ada gangguan kesehatan atau ada kecelakaan kerja atau berhubungan dengan itu, kita mesti melewati prosedur panjang. Sementara biasanya ini kondisi darurat atau kejadiannya terjadi di malam hari,” sambung Hendrikus, ketua Spasi. Prosedur panjang yang dimaksud Hendrikus itu, adalah bila mereka sakit atau mengalami kecelakaan kerja, yang pertama mereka harus mendapat surat pengantar dari tenaga medis perusahaan, apakah akan diarahkan ke klinik perusahaan atau tempat lain. Lalu dari situ kemudian klinik mengeluarkan surat rujukan ke rumah sakit setempat. Terkadang, masih bisa ditenggang, tapi bila dalam keadaan darurat, berbelitnya pengurusan pelayanan kesehatan menyulitkan mereka.
“Sementara kalo kita berobat sendiri, susah klaimnya. Karena perusahaan menggangap kita lalai tidak mengikuti prosedur yang ada. Padahal siapapun tahu, siapa yang paling bekerja keras di perkebunan itu kalau bukan para buruh. Sementara untuk menuntut haknya saja, buruh susahnya bukan main,” tukas Denti kemudian. “Sebenarnya, kita tidak berharap yang muluk-muluk. Kita hanya bermohon hak kita dipenuhi saja, sesuai dengan beban kerja kita. Kita sudah bekerja keras, tentu kita bisa hidup dengan layak sesuai hasil kerja,” sambung Hendrikus lagi. Ada lagi yang menjadi kerisauan para buruh di sini, angsuran asuransi kesehatan mereka ke jamsostek— yang sekarang kita lebih kenal sebagai Badan Penyelenggara Jasa Sosial – Kesejatan (BPJS Kesehatan)—kerap baru dibayarkan perusahaan setelah 3 – 4 bulan. Padahal mestinya setiap tanggal 15 bulan berjalan. Itu pun dipotong dari upah mereka sebesar Rp38 ribu tiap bulannya. “Kami takut nanti ada apa-apa, asuransi tidak mau melayani kami, karena selalu lambat membayar angsuran,” sebut Denti. ***
Sawit Watch melansir data bahwa saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara terbesar pengeksport minyak kelapa sawit di dunia. Indonesia juga menjadi negara terluas perkebunan kelapa sawitnya. Luasannya lebih dari 13 juta Hektare. Dan, kita menjadi pemasok 43 persen dari kebuthan minyak sawit dunia. Lalu, ada sekitar 4,9 juta jiwa yang menjadi buruh di perkebunan-perkebunan sawit dari Sumatera, Kalimantan sampai Sulawesi. Itu belum termasuk pekerja di tingkat manajemen. Di pasaran dunia 1 barrel minyak sawit bisa mencapai US $803. Nilai 1 barrel sekitar 158 liter. Coba kita lihat hitungan sederhana produksi minyat sawit; dari sekitar 1 hektare kelapa sawit bisa dipanen paling kurang 1,5 ton tandan buah sawit segar. Itu bisa menghasilkan sekitar 300 liter minyak sawit. Maka hitunglah dengan harga per barrel tadi. Lupakan dulu berapa biaya produksi dan sarana produksi yang dikeluarkan semasa tanam, perawatan hingga panen, tapi coba pikirkan berapa besar keuntungan perusahaan sawit skala besar itu? Apalagi mereka mempekerjakan buruh dengan harga murah. Tentu itu penghematan luar biasa bagi perusahaan, namun penghisapan peluh para
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 13
KabarWilayah
KabarWilayah
Bencana Asap Yang Tak Kunjung Berakhir Di Riau
G Buruh Perkebunan di Kalteng Sedang Berdiskusi Untuk Membentuk Serikat Buruh Tingkat Pabrik
buruh. Di Paranggean, per Januari upah minimum yang berlaku sebesar Rp1.090.825 juta per bulan. Itu mengikuti upah minimum provinsi. Paranggean, berada di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Bagaimana cara perusahaan mendapatkan buruh murah? “Perusahaan memperkerjakan buruh harian lepas yang tidak terikat kontrak. Mereka diupah tidak layak. Upah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka dan biaya-biaya lain. Per hari mereka mendapatkan 45 ribu sampai 60 ribu rupiah. Belum lagi mereka dituntut oleh perusahaan untuk bisa memenuhi target 1 ton per hektare per panennya. Bila tidak mencapai target, tentu upah yang mereka dapat makin berkurang,” papar Arie Rompas, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah. Soal target itu menimbulkan masalah baru. Untuk mencapainya, seperti riset Walhi Kalteng, para buruh mempekerjakan istri dan anak-anaknya. Akibatnya, “banyak anak-anak buruh yang terpaksa tidak sekolah hanya untuk mendapatkan tambahan penghasilan bagi keluarganya,” sambung lelaki penyuka motor trail ini. “Sementara perusahaan ter-
14 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
kadang abai memenuhi hak-hak normatif para buruh. Pelayanan kesehatan dan perlindungan keselamatan kerja kerap tidak dipenuhi,” sambung lelaki berdarah Manado-Dayak ini. Adapun menurut Jefrie Gideon Saragih, Direktur Sawit Watch, pada 2013 upah buruh tetap di perkebunan sawit setiap bulannya sekitar Rp1,2 juta – Rp1,4 juta. Sementara pengeluaran buruh sedikitnya Rp1,2 juta – Rp1,5 juta, hanya untuk biaya makan. “Belum lagi bila ditambah biaya anak sekolah, biaya transport buruh ke tempat kerja, sandang, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Buruh di salah satu perkebunan swasta asing di Kalimantan Tengah mengaku ratarata buruh di perkebunan itu memiliki hutang 1 hingga 2 bulan gaji,” sebut Jefrie dalam sebuah siaran berita lembaga nirlaba itu. Denti Bakti, anggota Serikat Pekerja Sawit Indonesia yang bekerja di PT. SPMN (Sarana Prima Multi Niaga) memperjelas soal target panen para buruh itu. Per 1 ton yang dipanen oleh buruh harian lepas, mereka dihargai Rp45 ribu oleh perusahaan. Bila sawitnya dari kebun mereka sendiri untuk bantuan tukang timbang mereka harus merogoh kocek lagi sebesar Rp30 ribu tiap tonnya. Jadi pikirkanlah sendiri.
Meski gaji sudah disesuaikan upah minimum provinsi itu, Denti tetaplah mengeluh, “itu kan pokoknya, mas. Itu tentu tidak cukup. Kita mau makan pakai apa? Mau bayar listrik pakai apa? Belum lagi kalo anak sekolah. Makanya kita mengambil kerja lemburan, yang biasanya juga tidak dibayarkan sesuai lemburannya.” Hendrikus, Ketua Spasi menegaskan lagi soal hak-hak normatif tadi. “Buruh punya hak atas tunjangan kesehatan atau tunjangan-tunjangan lain sesuai kebutuhan buruh. Perusahaan kan untung besar bila harga minyak sawit naik, tentu kami yang sudah bekerja keras mesti kecipratan juga,” sebut Hendrikus yang sempat menjamu saya dan Jopi di rumah panggung sangat sederhana di Paranggean. Memang, kata Hendrikus, pertemuan dengan pihak Dinas Tenaga Kerja, Perusahaan dan perwakilan buruh sudah dilakukan. Perusahaan sudah menjanjikan kesejahteraan buruh diperhatikan. Tapi yang ada, kata dia, “sampai sekarang tiada realisasi. Ada pula pemangkasan hak kami. Tidak jelas alasannya kenapa dipangkas. Memang upah pokok kami naik, tapi anehnya hak-hak lemburan dipangkas. Padahal beban pekerjaan tidak berbeda.”
eger asap yang terjadi pertengahan tahun lalu ternyata masih berlanjut. Belakangan ini propinsi Riau dan sekitarnya kembali dihantui kabut asap akibat operasi perkebunan sawit skala besar. Kali ini serangan kabut asap bukan hanya dihasilkan dari kebakaran hutan skala besar. Berdasarkan pengamatan dan hasil riset Sawit Watch dan beberapa aktivis di Riau, titik api kali ini banyak berada di lahan gambut. Sebagian besar dari lahan gambut tersebut adalah konsesi milik empat perusahaan sawit: PT. Bukit Nusa Reksa, PT. Jatim Jaya Perkasa milik (Ganda Group) di Kabupaten Bengkalis, PT. Adei (KLK Group) di Kabupaten Bengkalis, PT. LIH (Ganda Group) di Kabupaten Palalawan. Menurut Koordinator Sawit Watch, Jefrie Gideon Saragih bahwa gambut adalah kumpulan unsur hara yang terkumpul sejak ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Lahan gambut dikelola secara besar-besaran dan mengalami proses pengeringan akan menyebabkan lahan tersebut mudah terbakar. “Hasil dari temuan lapangan kamidi Riau menunjukanbahwa akar permasalahan adalah kebakaran hasil dari pembukaan dan pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan skala besar, kata Jefrie. “Pemerintah daerah seakaan “mengobral” izin-izin perluasan perkebunan sawit skala besar di Riau, celakanya izin-izin tersebut diberikan ditas lahan gambut. Sampai saat ini telah ada ratusan ijin yang diberikan kepada perusahaan sawit untuk membuka lahan gambut,” lanjut Jefrie. Peristiwa terbakarnya lahan gambut yang mengakibatkan kabut asap masif di Riau seharusnya mampu menjadi peringatan besar bagi pemerintah. Terutama jika dikaitkan dengan Instruksi Presiden tentang Moratorium Pemberian ijin di Kawasan Hutan Primer dan Lahan Gambut, memang sudah saatnya
pemerintah berhenti memberikan ijin pembukaan lahan di dua area tersebut. Namun Inpres yang mendapatkan dukungan dari berbagai pihak ini dipatahkan oleh Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP Gambut) yang akan ditandatangani oleh Presiden dalam waktu dekat. Selain itu terdapat juga Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Selain berhasil menemukan beberapa titik api, Sawit Watch bersama aktivis lingkungan di Riau juga menemukan pola baru yang digunakan oleh pemodal. Sering kali para pemodal ini membakar lahan baik lahan baru maupun hutan yang sudah ada tanam tumbuh milik masyarakat setempat, sehingga dengan terjadinya kebakaran di lahan masyarakat, maka perusahaan akan mememinta ke masyarakat supaya di jual saja dengan harga sesuai dengan yang di inginkan oleh pihak perusahaan. Serta ada dugaan membayar oknum “militer”. Setelah lahan selesai dibakar oleh oknum-oknum tersebut, maka lahan yang sudah tidak dikelola lagi akan dijual ke perkebunan sawit. Ini menjadi bukti bahwa Inpres Moratorium tidak berhasil bahkan fungsi kontrol dan pengawasannya tidak berjalan dengan baik. Sawit Watch juga menemukan banyak titik api di area moratorium. Peristiwa kebakaran ini sepatutnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk menghentikan pemberian ijin pembukaan lahan di lahan gambut, sekaligus meninjau kembali ijin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan. Kebakaran ini merupakan bukti bahwa pemberi ijin telah menyalahi prosedur pemberian ijin dan pelepasan kawasan gambut. Selain itu, peristiwa ini juga menjadi bahan pertimbangan untuk mengesahkan RPP Gambut. Disahkannya RPP Gambut akan memperbesar
peluangan kebakaran hutan akibat pembukaan lahan gambut. Pemerintah masih perlu meninjau ulang draft RPP Gambut dalam rangka mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Terkait dengan tindak kejahatan pembakaran lahan yang sudah dan tengah berlangsung, kepala departemen kampanye sawit Watch, Bondan Adriyanu menjelaskan bahwa perlu segera dilakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan hingga menuntut perusahaan-perusahaan “nakal” yang terbukti melakukan pembakaran lahan. “Kami mendesak kementrian Lingkungan Hidup untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan-perusahaan yang didalam konsesinya terdapat titik api sebagai penyebab terjadi asap yang merusak lingkungan. Dan segera dilakukan audit lingkungan terhadap perusahaan-perusahaan yang terdapat titik api didalam konsesinya, dan selanjutnya memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, seperti pencabutan izin dan pembayaran denda serta ganti kerugian,” pungkas Bondan.***
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 15
KabarWilayah
KabarWilayah
Buruh Sawit Susah Makan Malam
T
ak berapa lama setelah tiba di Jakarta awal bulan ini, tiba-tiba telepon genggam berdering. Ponidi, rekan dari organisasi Menapak di Berau, Kalimantan Timur, dengan tergesa mengabarkan kondisi darurat. Seorang buruh di perkebunan sawit kecelakaan patah tangan. Pasalnya remeh saja. Rantai motor karatan milik buruh tersebut tiba-tiba putus, saat dipaksa menanjak bukit, menuju pabrik pengolahan sawit tempat ia bekerja. Sulaiman, nama pekerja tersebut, hingga Senin (7/4), terbujur kesakitan di rumah sakit daerah Berau. Malam sebelumnya, ia harus berjuang bisa keluar dari perkebunan untuk mendapatkan fasilitas pengobatan. “Perusahaan baru bayar biaya pen untuk patah tulang sebesar Rp 8 juta. Namun, obat untuk operasi belum dibayar. Sekarang pekerja itu ditinggalkan di rumah sakit tanpa pesan apa pun dan tak ada pihak perusahaan yang menemani,” kata Ponidi. Untungnya dengan berbagai desakan, akhirnya pihak rumah sakit mau memberikan obat tersebut. Operasi kemudian dilakukan dengan kebimbangan mengenai biaya kesehatan yang akan dikenakan. Teringat beberapa waktu sebelumnya, saat berhasil menyinggahi salah satu daerah pedalaman di Kalimantan Timur (Kaltim), di pertemuan Sungai Malinau dengan Segah tepatnya. Di sana rumah-rumah suku Dayak Kenyah dan Punan berjejer. Bing, Kepala Adat Desa Malinau dengan ramah menyambut. Dari beberapa penduduk sekitar disebutkan, perkebunan sawit telah mengepung desa mereka. Bahkan, ada yang mencapai pinggir-pinggir sungai, melabrak peraturan tentang bantaran sungai yang seharusnya dibiarkan alami. Tak Makan Malam Satu hal yang paling mengenaskan adalah kondisi buruh harian lepas
16 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
Willy Anselmus, buruh semprot yang bekerja di perusahaan kebun sawit di Berau
Perumahan Buruh Perkebunan di Sebuah Kebun Sawit di Berau
perkebunan sawit. Salah satunya berada dalam konsesi PT Natura Pacific Nusantara (NPN). Dalam kunjungan yang dilakukan SH, terungkap berbagai kehidupan miris harus dihadapi para buruh sawit, terutama yang berstatus buruh harian lepas. “Banyak buruh yang kabur karena tak kuat dengan kondisi di perkebunan sawit,” kata Sammy Tamunuk, buruh yang telah bekerja dua tahun di sana. Sammy lahir di Rote, Nusa Tenggara Timur. Ia memutuskan menyeberang ke Kalimantan dengan harapan pekerjaan yang lebih baik. Namun, ia akhirnya terdampar di pedalaman perkebunan sawit tersebut. Menurut Sammy, banyak hal yang menyebabkan buruh bisa kabur. Kondisi kamp buruh yang tidak memadai, sanitasi yang buruk, lokasi kerja yang berat dan jauh, ketidakpastian jaminan kesehatan, serta upah yang dianggap tidak memadai. Gara-gara upah kecil itu juga, Dorci Fanggidae, seorang buruh perempuan harus berpuasa bila malam hari. “Saya tidak makan malam karena tidak ada lauk. Mau beli lauk uangnya kurang. Nanti tak ada yang dikirimkan ke anak saya di Kupang sana,” ucap Dorci, saat dite-
basmi hama yang menyengat, sesaat bisa membuat pusing kepala. Apabila terus-menerus diisap dalam jangka panjang, orang bisa keracunan dan berujung kematian. Persoalan para buruh itu menjadi contoh nyata betapa buruknya manajemen perkebunan sawit dalam menangani berbagai kasus kesejahteraan buruh. Kasus itu sepertinya hanya satu cermin bisu, dari pantulan berbagai masalah lain para buruh sawit di Kaltim. “Buruh-buruh BHL (buruh harian lepas) yang mengerjakan pemupukan, pemanenan, pembersihan piringan, dan lain-lain adalah buruh yang paling marginal posisinya. Kita bisa temukan posisi mereka sama di semua wilayah di perkebunan,” kata Achmad Surambo, dari Sawit Watch menanggapi masalah ini melalui surat elektronik. Menurutnya, memang terjadi ketidakadilan dalam perlakuan buruh sawit di lapangan. “Kondisi yang berbeda bila mereka disebut dengan karyawan, biasanya mereka yang di kantor atau emplasemen,” tuturnya.
mui di kamp beratap terpal miliknya. Kebanyakan buruh harian lepas sawit di daerah itu berasal dari daerah timur Nusa Tenggara. Sebagian besar datang dengan iming-iming pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Namun kenyataannya, tidur beratap terpal dengan lantai tanah, dan mengais kayu-kayu bangunan untuk menutupi dinding kamp mereka. Saat pagi hari, mereka harus berbondong-bondong berjalan mendaki dan menuruni bukit, menuju lokasi kerja. Perjalanan itu bisa memakan waktu berjam-jam lamanya. Tanpa dukungan fasilitas transportasi dari perusahaan, mereka membopong tangki-tangki penyemprot hama dan peralatan kerja. Sampai di lokasi kerja, bukan selesai begitu saja. Khusus untuk penyemprot, mereka harus mencari air untuk dicampur dengan cairan antihama. Padahal, tidak mudah mencari air di perkebunan sawit yang gersang. Setelah air penuh, harus berjalan lagi mencari pohon yang akan disemprot. “Sarung tangan, kacamata, dan sepatu karet ini harus kami modali sendiri. Tak ada yang diberikan perusahaan,” ujar Willy Anselmus, salah seorang buruh penyemprot yang sempat ditemui. Ia biasa menyemprot tanpa penutup pernapasan. Bau pem-
Setengah-setengah Bila ditilik secara kondisi riil, sepertinya masalah buruh dan lingkungan perkebunan sawit, berpotensi besar
terjadi pada perusahaan menengah dan kecil. Dalam perbincangan dengan para pakar industri kelapa sawit, ditemukan adanya indikasi perusahaan menengah dan kecil paling berpotensi membakar hutan untuk minimalkan biaya produksi, membayar buruh dengan murah, serta tak menutupi berbagai jaminan karyawan. “Untuk menjalankan perkebunan sawit memang tidak bisa setengahsetengah. Banyak biaya yang harus dikeluarkan. Sebaiknya perusahaan sawit kecil dan menengah bergabung menjadi satu agar banyak masalah tidak berkembang dan merugikan perusahaan,” ujar Basuki Sumawinata, pakar ilmu tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Basuki, yang ditemui saat lokakarya “Pengelolaan Bisnis dan Dampak Lingkungan pada Perkebunan Sawit” di Denpasar, Bali (28/3), juga menjelaskan perhitungan biaya mahal perkebunan sawit bisa terlihat dari pengelolaan tanah perkebunan. Perkebunan di lahan gambut, misalnya saja, memerlukan biaya besar karena gambut tak bisa didiamkan begitu saja tanpa dirangsang untuk melakukan dekomposisi. “Gambut itu miskin, bakteri dan jamur sedikit, hanya hidup di permukaan. Dekompo-
sisi sulit terjadi,” katanya. Minimnya dekomposisi akan memengaruhi kesuburan lahan. Bila hal tersebut terus didiamkan, produksi perusahaan akan terkena dampak karena pohon sawit tidak berbuah biji sesuai yang diharapkan. Namun, Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), membantah kondisi hidup miris yang dialami buruh petani sawit. Menurutnya, kini ada peraturan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia (ISPO). Dalam peraturan tersebut, termaktub parameter-parameter bagi perusahaan untuk memenuhi kewajiban kepada seluruh karyawan. “Setahu saya tak ada anggota Gapki yang masih menggaji karyawan di bawah standar gaji UMR daerah,” ucap Joko. Ia mengatakan, jika ada perusahaan kelapa sawit yang masih menggaji buruh di bawah UMR, Gapki bisa memberikan peringatan. Bahkan, perusahaan tersebut juga bisa dikeluarkan dari keanggotaan Gapki. Sementara itu, seperti yang tertera pada keterangan daftar anggota di situs daring Gapki, PT NPN tidak masuk sebagai anggota Gapki.****
Penulis: Sulung Prasetyo
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 17
Darurat
Darurat
Surat Terbuka Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Sawit Watch (SW)
Kesenjangan Antara Teori, Strategi Global Dan Praktek Minyak Sawit Berkelanjutan Kepada Pemerintah Indonesia dan Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan saudara kami warga Eropa, Organisasi global Non Pemerintah, khususnya mereka yang peduli dalam masalah Palm Oil, Masyarakat global dan lokal yang bersangkutan dan terkena dampak oleh Pengelola Palm Oil, serta para pemerhati masalah Palm Oil. Semoga surat terbuka ini menjumpai kita dalam keadaan baik.
S
PKS dan Sawit Watch membaca bahwa neraca perdagangan Indonesia Februari 2014 masih mencatat kinerja ekspor yang luar biasa dari minyak sawit mentah (CPO) dengan Uni Eropa sebagai tujuan ekspor utama. Demikian juga, perdagangan bilateral antara kedua negara tetap mekar. Hubungan perdagangan bilateral Indonesia dan Uni Eropa diperkuat dengan upaya pengurangan hambatan perdagangan, menciptakan iklim investasi yang semakin ramah berikut agenda pembangunan yang lebih kuat dari sebelumnya. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2013 tercatat sebesar USD18.1 miliar, atau meningkat 0,6% dibandingkan tahun 2012, dengan produk minyak sawit sebagai komoditas utama ekspor. 28 negara di Uni Eropa merupakan pasar tujuan kedua terbesar minyak sawit Indonesia, dengan volume ekspor minyak sawit 3.730.000 metrik ton dan nilai ekspor sebesar USD2.85 miliar. Impor Indonesia dari Uni Eropa sepanjang tahun 2013 mendokumentasikan nilai USD13,7 miliar, atau menurun 2,8% dari kinerja impor tahun 2012. Impor Indonesia dari Uni Eropa terutama mesin, peralatan komunikasi dan teknologi informasi. Singkatnya, selama lima tahun terakhir (2009-2013) hubungan perdagangan bilateral Indonesia dan Uni Eropa meningkat 8,5% per tahun . SPKS dan SW mengamati bahwa selama kuartal pertama 2014, pemerintah Indonesia khususnya delegasi
18 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
dagang yang dipimpin oleh Wakil Menteri Perdagangan, telah kembali intensif mendekati Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Organisasi Swadaya berbasis di Eropa untuk membahas hambatan ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa. Para pejabat dari kedua pemerintah mengadakan seminar dengan tema “Sustainable Palm Oil: Menciptakan Keseimbangan antara Kebutuhan Konsumen dan Lingkungan” di Parlemen Eropa pada tanggal 18 Maret 2014. Agenda diplomasi minyak sawit Indonesia segera ditindaklanjuti dengan pertemuan bilateral ke-6 Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi antara delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan dengan delegasi perdagangan dari Komisi Eropa. Sekali lagi, ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa adalah isu kunci dalam negosiasi politik perdagangan ini. SPKS dan SW memahami betapa minyak sawit menjadi isu utama dalam pertemuan perdagangan dan negosiasi bilateral, termasuk antar pebisnis Indonesia dan Uni Eropa. Di atas semua itu, adalah kepentingan kita semua untuk memastikan bahwa
minyak sawit dapat dipasarkan ke mana saja di dunia ini, dan bahwa tidak ada satu negara pun yang melarang perdagangan minyak sawit. Untuk itu mari kita membuat pemahaman bersama tentang mengapa SPKS dan SW harus membunyikan lonceng terutama kepada Uni Eropa dan pemerintah Indonesia mengenai kesenjangan akut antara teori, strategi global, dan praktek minyak sawit berkelanjutan di balik semua konsultasi, dialog, debat, dan konferensi perdagangan: 1. Sustainable Palm Oil adalah slogan yang akrab dikenal seluruh pemangku kepentingan kelapa sawit termasuk pemerintah, pelaku usaha, produsen dan pasar minyak sawit. Terlepas dari pertempuran masing-masing kelompok lobi perdagangan minyak sawit berkelanjutan, semua akhirnya hanya menjadi pembicaraan kosong jika tidak ada komitmen yang mengikat untuk memperbaiki keadaan di sektor hulu. 2. Kesaksian dari pekerja di dalam perkebunan besar kelapa sawit serta masyarakat sipil atas konflik sosial yang semakin intens, masalah kepemilikan lahan yang terutama dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
besar, penderitaan buruh perkebunan, pengrusakan lingkungan dan ekologi yang kebanyakan dipraktekkan oleh perusahaan kelapa sawit, selama ini sepi dan jauh dari pembicaraan perdagangan antara delegasi perdagangan Indonesia dan Komisi Eropa. Semua masalah ini dinyatakan sebagai bullshits dan kampanye hitam oleh pemerintah Indonesia. Karenanya, negosiasi antara delegasi perdagangan Indonesia dan Komisi Eropa mengenai minyak sawit hanyalah pertemuan diplomatik yang mahal dan tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang menghambat minyak sawit menjadi berkelanjutan. 3. Tidak hanya pemerintah Indonesia, sebelum melakukan negosiasi mengenai hambatan perdagangan minyak sawit, jelas sekali pemerintah Uni Eropa telah kehilangan integritas, kedaulatan, dan kemanusiaan dalam menimbang segenap permasalahan tersebut yang terjadi dalam industri minyak sawit Indonesia. Penderitaan abadi kelompok marjinal di sektor ini semakin jauh disembunyikan karena kedua pemerintah dengan bangga memuji beberapa perusahaan kelapa sawit besar yang meluncurkan apa yang disebut “Komitmen keberlanjutan”. Tidak tampak ada niat baik dari pemerintah Indonesia dan Uni Eropa untuk bertindak wajar, tanpa bias, dan jernih akal terhadap produksi minyak sawi. Tidak ada keinginan kedua pemerintah untuk mempertanyakan kebijakan keberlanjutan korporasi ini dengan membuktikan fakta-fakta pengrusakan lingkungan, sosial dan ekonomi yang masih terus dialami oleh kaum minoritas dalam industri minyak sawit. Diplomasi perdagangan minyak sawit antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa sampai saat ini tidak menjadikan pemerintah Uni Eropa –khususnya- berani memprotes kejahatan terhadap kemanusiaan dan lingkungan di balik perilaku diskriminatif bisnis minyak sawit pada tataran domestik dan global. 4. Pertemuan di bawah Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi antara Indonesia dan Uni Eropa tidak lain hanyalah kepura-puraan berharga mahal untuk dan dari para pejabat kedua negara, karena anggaran nasional untuk menerbangkan delegasi ke sana dan ke sini akan jauh lebih bermanfaat, lebih efektif, dan lebih berharga jika disumbangkan kepada petani melalui bimbingan Good Agricultural Practices dan Input Pertanian gratis. 5. Kontra - kampanye yang terus bersahutan antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa mengenai kebutuhan pasar akan Sustainable Palm Oil telah menafikan keberadaan para petani kelapa sawit, masyarakat adat, ekosistem dan lingkungan Indonesia. Jelas bahwa pemerintah Indonesia dan Uni Eropa tidak sungguh-sungguh bermaksud membeli hanya Sustainable Palm Oil yang diproduksi secara berkelanjutan dan berbasis pada masyarakat dan petani kecil. 6. Karena belum ada ruang yang signifikan bagi para petani, buruh, masyarakat adat, dan ekosistem untuk mengambil bagian dalam kegiatan formal nan mewah dari pemerintah Indonesia dan Uni Eropa demi menyelamatkan hidup mereka akibat ulah pelaku usaha kelapa sawit berskala besar, masa depan Sustainable Palm Oil Indonesia tampak gelap gulita di antara tayangan komedi tingkat tinggi dari delegasi perdagangan Indonesia dan Uni Eropa. 7. Selain itu, ketahanan pangan semakin terhambat akibat ekspansi berulang dari perusahaan perkebunan besar.
Jaminan negara akan kehidupan yang sehat, ramah sosial dengan konsep hijau pun musnah, terutama melalui brutalisme pemberian ijin usaha perkebunan dari pemerintah Indonesia, alih kepemilikan lahan yang makin merajalela, serta buruknya praktek perburuhan di perkebunan kelapa sawit. Seharusnya ini menjadi posisi tawar kunci bagi pemerintah Uni Eropa untuk mengedepankan agenda ketahanan pangan Uni Eropa dan Indonesia serta menyuarakan kebutuhan akan minyak sawit berkelanjutan termasuk minyak nabati alternatif lainnya. 8. Sebagai importir besar minyak sawit Indonesia, pemerintah Uni Eropa seharusnya dapat menjadikan kebijakannya memaksa pemerintah Indonesia mengoptimalkan produksi Sustainable Palm Oil berbasis petani dan bukan perusahaan perkebunan besar yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Mengingat bahwa misi dagang diplomatik yang dipimpin oleh Wakil Menteri Perdagangan Indonesia melibatkan beberapa petani kelapa sawit, itu sama sekali tidak membuktikan bahwa misi dagang Indonesia mempromosikan minyak sawit berkelanjutan. Kenyataannya, ada sejumlah besar petani kecil kelapa sawit yang diabaikan dan dibiarkan oleh pemerintah Indonesia. Mereka menghargai dan mengharapkan pemerintah Uni Eropa untuk bertindak non-diskriminatif, rasional, dan berkeadilan dalam menangkap strategi politik pemerintah Indonesia tersebut. Sampai saat ini belum ada road map minyak sawit berkelanjutan yang benar-benar berbicara atas nama seluruh pemangku kepentingan kelapa sawit, khususnya petani kecil dan buruh, kecuali kalangan industri. Pemerintah Uni Eropa harusnya mengenakan sanksi dagang atas segala bentuk promosi ekspor yang memasarkan produk yang mengusung kejahatan lingkungan, sosial, dan ekonomi sebagaimana dijalankan oleh perusahaan besar perkebunan kelapa sawit yang disajikan dalam diplomasi perdagangan Indonesia. SPKS dan SW menganalisis dengan seksama bahwa pertemuan bilateral antar pemerintah dan pebisnis mengenai Palm Oil sama sekali bukan mengenai masa depan Sustainable Palm Oil Indonesia, karena tidak ada posisi perdagangan masing-masing pihak yang menyoroti pentingnya pengaturan praktek-praktek berkelanjutan yang nyata dalam produksi minyak sawit di Indonesia. Semua itu hanyalah KTT politik dan reuni bisnis dari para badut birokrasi yang memainkan lakon drama mengenai industri kelapa sawit di Indonesia. SPKS dan SW menggarisbawahi bahwa Minyak Sawit Berkelanjutan harus memperkuat kapasitas dan integritas pekerja kelapa sawit, petani kecil dan masyarakat adat, serta memberikan akses menuju Good Agriculture Practices dan Ketahanan Pangan untuk kepentingan lingkungan dan ekosistem. SPKS dan SW mengajak semua pihak untuk memantau, mempertanyakan, mengkritik, menantang, dan mengambil pandangan tegas mengenai negosiasi perdagangan Indonesia dan Uni Eropa terkait Minyak Sawit, karena sesungguhnya tidak ada seorang pun dalam misi bilateral kedua negara yang berkomitmen, setia, dan sepenuh hati memperjuangkan Sustainable Palm Oil yang dihasilkan melalui cara-cara yang berkelanjutan tanpa latar belakang konflik sosial, masalah hukum, kerusakan ekologi dan lingkungan.***
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 19
MedanJuang
MedanJuang Pembahasan AMDAL PT. Sariwana Adhi Perksana
Konspirasi Pemerintah dan Investor Terhadap Hak Adat John NR Gobai
(Sekretaris I Dewan Adat Papua/ Ketua Dewan Adat Paniyai)
Kondisi di Lokasi Perkebunan PT. Nabire Baru
N
abire dan Paniai adalah daerah yang lahir dari sebuah kandungan yang sama, daerah yang mempunyai satu mata rumah, Nabire tanpa Paniai bukan Nabire dan Paniai tanpa Nabire adalah bukan Paniai, tulisan ini tulisan saya anak NAPAN (Nabire Paniai) bukan orang dari daerah lain, saya juga punya tanggung jawab untuk bicara untuk masalah ini, tanpa niat apapua tetapi lebih karena melihat penderitaan, tangisan saudara saya; dan juga sebagai salahsatu Pimpinan Dewan Adat Papua, hal ini penting saya katakana diawal untuk menangkis sebuah pandangan yang akan menilai bahwa saya tidak berhak bicara atas persoalan ini. Menurut Tabloit Jubi, Edisi II, Sekitar tahun 2007, PT JDI yang telah mengantongi izin hingga 2017 tadi, menggandeng PT.Harvest Raya dari Korea untuk membuka kebun Kelapa Sawit di wilayah ini. Saat itu PT.Harvest Raya ditolak masyarakat karena dianggap akan mengancam hutan dan masa depan anak cucu mereka. Tetapi penolakan menyisakan polemik ada marga yang menolak tetapi ada keluarganya yang menerima. Penolakan itu didasarkan oleh karena pengalaman perkebunan kelapa sawit di Arso dan Lereh yang juga belum mensejahterahkan masyarakat Dalam situasi ini PT. Nabire Baru dengan menggunakan pendekatan lain kepada masyarakat setempat dan Tokoh-tokoh Masyarakat lain yang mengatasnamakan masyarakat pemilik tanah, puncak dari pendekatan ini dilakukan Doa Bersama untuk membuka lahan lahan
20 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
perkebunan kelapa sawit, dalam Doa Adat itu disepakati uang gantirugi lahan sebesar Rp.6 Milyar, yang sebelumnya adalah wilayah HPH milik PT.Jati Darma Indah (JDI) yang memperoleh ijin yang berakhir pada tahun 2017 Diduga juga akibat dari pendekatan yang gencar dimainkan oleh beberapa Tokoh Masyarakat Papua di Nabire (bukan pemilik hak ulayat) terhadap pemilik tanah Banyak cara dilakukan untuk mendapatkan lahan kelapa sawit ini, antara lain dengan memberikan harapanharapan akan hidup yang lebih baik, mengadudomba antara masyarakat, juga dengan terror-teror mental, intimidasi dari oknum aparat yang ditempatkan sebagai security didalam perusahaan sehingga pemilik hak ulayat merasa takut dan tidak akan melawan perusahaan dan melakukan pendekatan jalan mengajak minum minuman keras dan pesta pora, akhirnya lahan HPH Jati Dharma Indah telah berubah menjadi lahan kelapa sawit dari PT Nabire Baru seluas 17.000 Hektar dan PT. Sariwana Adhi Perkasa serta pengambilan kayu dari PT.Sariwana Unggul Mandiri. Perkebunan Tanpa Amdal Selama satu tahun belakangan ini, tentang persoalan Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam, atas exploitasi, pembalakan liar dan proses pembiaran yang dilakukan oleh dua perusahan kelapa sawit PT. Nabire Baru dan PT.Sariwana Adhi Perkasa bersama PT. Sariwana Unggul Mandiri di atas lahan Adat Masyarakat Pribumi Suku Besar
Yerisiam sudah sangat memprihatinkan, kayu, rotan dan mahluk hidup yang ada di atas areal tersebut digusur dan mati tanpa ada pertanggungjawaban. Padahal aktivitas perkebunan tersebut sarat dengan persoalan, mulai sengketa pemilik ulayat antara pihak pro dan kontra perkebunan kelapa sawit, klaim HPH yang belum usai, dan persoalan ijin Amdal dari BABEDALDA Privinsi Papua. Namun kegiatan aktivitas perusahaan terus dilakukan. Penebangan sudah masuk hingga areal-arel keramat, dusun-dusun sagu dan pinggiran pantai. Ribuan pohon kayu putih dan rotan yang memiliki nilai komersial diterlantakan dan dikuburkan begitu saja. Sedangkan kayu merbau/kayu besi terus menjadi buruan dan incaran kedua perusahan tersebut. Amdal sebagai payung/pagar untuk menentukan kelayakan aktivitas sebuah areal kerja investasi. Tidak diterbitkan, dengan alasan kedua perusahan telah melakukan aktivitas pembukaan lahan sebelum adanya sosialisasi dan investigasi amdal di areal oleh bapedalda, sehingga kami tegaskan bahwa PT.Nabire Baru dan PT, Sariwana Adhi Perkasa telah melakukan Usaha Perkebunan sebelum adanya Sidang AMDAL dan dokumen AMDAL. Dalam banyak hal masyarakat biasanya meminta agar dibuat MoU dulu barulah ditandatan-
gani AMDAL. Pembahasan AMDAL yang melecehkan Dalam Harian Cendrawasih Pos, Edisi Sabtu, 12 April 2014, Hal 10 termuat pengumuman BAPESDALH Papua yang isinya meminta saran dan masukan bagi rencana usaha PT.Sariwana Adhi Perkasa,d/a. Menara Global Lt.16. Jln. Jend.Gatot Subroto, Kav.27. Jakarta, 12950. Tlp.02152892260,52892259 e.mail edis@ goodhope-id.com hal ini merupakan sebuah langkah maju tetapi juga sebuah langkah yang gegabah. Masih segar dalam ingatan kita pada tanggal 3 maret 2014, seorang pemuda dituduh kurir TPN/OPM Korban, Titus Money (22 Th) dan Herman Money sehingga mengalami sebuah kekerasan fisik dari Oknum Anggota Brimob yang melakukan pengamanan di lahan kelapa sawit ini, hal ini sangat penting menjadi pegangan untuk mengambil langkah strategis, mereka masyarakat asli tidak mungkin mereka akan pergi ke tempat lain, daerah orang lain, dikhwatirkan stigma ini akan selalu diberikan kepada oknum-okunum masyarakat suku yerisiam, stigma ini juga dikhawatirkan dijadikan sebagai alasan untuk menjustifikasi kehadiran Brimob dilahan kelapa sawit, yang secara implicit untuk mempercepat proses pengrusakan lingkungan
PT. Nabire Baru Membuka Areal Hutan Untuk Perkebunan Sawit
melalui perkebunan kelapa sawit; Pemerintah Papua dan Nabire tidak mungkin dapat melarang aparat disana sehingga hal ini harus menjadi perhatian, AMDAL penting tetapi keselamatan jiwa pemilik hak ulayat jauh lebih penting, PAD penting namun kompensasi hak masyarakat adat yang kehilangan lahan berburu, tempat keramat, kebun buah-buahan, burung-burung dan perlindungan tempat keramat jauh lebih penting, pejabat pemerintah punya gaji serta tunjangan lainnya tetapi masyarakat yerisiam hanya akan hidup dari tanah, hutan dan laut yang telah dan akan diambil oleh PT. Sariwana Adhi Perkasa, OTSUS Papua yang digembargemborkan pemerintah provinsi papua termasuk BAPESDLH adalah untuk menghormati Hak Masyarakat Adat bukan hanya melayani kepentingan Investor (PT.Sariwana Adhi Perkasa). Menanggapi pembahasan amdal, dalam sebuah wawancara 12/4, Kepala Suku Besar Yerisiam mengatakan pekerjaan Bapesdalh provinsi papua, sangat semrawut. Diperlukan adanya sebuah itikat baik semua pihak untuk menghargai pemilik hak ulayat masyarakat adat suku yerisiam. Agar tidak terjadi kesalahpahaman antara masyarakat Yerisiam dan Pemda Papua, Pemda Nabire, dan PT.Sariwana Adhi Perkasa serta sesama masyarakat adat maka kami merekomendasikan agar: 1. Dalam semangat OTSUS Papua, PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Adhi Perkasa harus mau membuka perundingan dengan pemilik hak ulayat dalam hal ini Suku Yerisiam dan Suku Mee, untuk membicarakan kompensasi strategis; 2. Gubernur Papua, PANGDAM, KAPOLDA Papua, Bupati Nabire, KAPOLRES Nabire agar segera menangguhkan pembahasan dan penandatanganan dokumen AMDAL serta memfasilitasi adanya pertemuan antara perusahaan dengan masyarakat agar dapat dibicarakan tentang kompensasi jangka panjang dan kontinyu yang dapat di tuangkan dalam MoU yang legal.****
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 21
Politika
Politika
Meningkatkan Peran Masyarakat Sipil Dalam Sistem Sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Reportase Konsultasi Publik Interpretasi Nasional Prinsip dan Kriteria RSPO di Lima Wilayah
P
eningkatan jumlah dan populasi penduduk dunia secara signifikan, dimana dalam sebuah laporan hasil studi yang dilakukan oleh PBB pada tahun 2011, jumlah penduduk dunia telah berjumlah lebih dari 7 miliar orang, dan di tahun 2025 populasi ini akan meningkat 2 kali lipatnya. Situasi ini berakibat pada tingginya permintaan dunia terhadap pemenuhan bahan pangan yang salah satunya adalah minyak nabati. Berdasarkan berbagai hasil studi dan penelitian yang telah dilakukan, salah satu bahan baku minyak nabati yang paling diminati berasal dari kelapa sawit dengan melihat bahwa biaya produksi minyak sawit yang jauh lebih murah dari biaya produksi bahan baku minyak nabati lainnya. Selain itu, kelapa sawit melalui produk turunannya diyakini sebagai salah satu pengganti bahan bakar yang berasal dari bahan bakar fosil. Kondisi ini tentunya berdampak pada semakin meluasnya ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia terutama di Afrika, Latin Amerika. serta benua Asia termasuk India dan Asia Tenggara. Indonesia merupakan salah satu Negara terbesar yang memproduksi dan memiliki luasan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia. Berdasarkan data Sawit Watch 2014, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 13 juta ha dengan produksi CPO sebesar 27,1 juta ton/ tahun (GAPKI,2013). Dari total hasil produksi ini, sebesar 80 % di ekspor dan sisanya sebesar 20 % dialokasikan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Angka ini tentunya sangat menggembirakan di satu sisi dan disisi lain terdapat banyak persoalan serta konflik yang masih belum terselesaikan sampai saat ini. RSPO adalah salah satu organisasi yang dibangun atas dasar perhatian yang serius terhadap isu lingkungan
22 | Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014
dalam rantai pasok kelapa sawit. Dan dalam perkembangannya, isu social juga menjadi isu lain yang menjadi prioritas dalam segala rantai pasoknya. Kepastian untuk menghasilkan produk kelapa sawit yang ramah lingkungan dan ramah social merupakan tujuan dari RSPO. Selain itu, kepastian untuk menhasilkan produk dari kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan menjadi domain utama dalam organisasi ini. Proses kerja dalam memastikan produknya lestari dan berkelanjutan adalah melalui Prinsip dan Kriteria. Prinsip dan Kriteria adalah pedoman bagi setiap perusahaan maupun petani kelapa sawit dalam menjalankan usaha perkebunan kelapa sawit. PRinsip dan Kriteria ini menjadi dasar bagi RSPO dalam menjamin bahwa produk yang dihasilkan oleh anggotanya (produsen kelapa sawit) adalah lestari dan berkelanjutan atau ramah social dan ramah lingkungan. Refleksi Terhadap Implementasi Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi dari prinsip dan kriteria yang telah berjalan selama lima tahun, pada tahun 2012-2013 RSPO melakukan review terhadap Prinsip dan Kriteria yang sudah berlaku. Dalam prosesnya, pada tahun 2013, RSPO kemudian menyusun hasil perbaikan yang kemudian disahkan sebagai Prinsip dan Kriteria baru pada tanggal 25 April 2013.Empat kriteria baru dalam prinsip dan kriteria ini adalah: 1. kriteria baru tentang mengharuskan growers (perusahaan) meminimalisir emisi gas rumah kaca dari perkebunan yang baru, 2. kriteria baru terkait praktik bisnis yang etis, dimana mengharuskan perusahaan-perusahaan memiliki dan menjalankan kebijakan yang menentang korupsi. 3. kriteria baru yang mengharuskan kebijakan hak asasi manusia diber-
lakukan dan dikomunikasikan ke seluruh struktur perusahaan. 4. mengenai kriteria yang menentang kerja paksa (Force labour). Harapannya, dari proses revisi dan perbaikan pada prinsip dan kriteria RSPO yang baru ini akan mampu menjawab tantangan dan kebutuhan serta desakan pasar yang lebih luas dalam rangka memastikan produksi minyak sawit yang dihasilkan oleh anggota RSPO benar-benar memenuhi prinsip dan nilai-nilai keberlanjutan. Dalam proses dan implementasinya, Prinsip dan Kriteria yang telah disusun oleh RPSO ini memerlukan adanya terjemahan dalam secara terperinci dalam skala nasional untuk memastikan prinsip dan kriteria ini mampu di aplikasikan secara optimal di tingkat Nasional. Dalam penerapannya di Indonesia, prinsip dan criteria ini perlu dilakukan penyesuaian dengan peraturan nasional yang berlaku di Indonesia, untuk menjamin tidak adanya tumpang tindih secara aturan dalam proses penerapannya. Proses pembahasan di Indonesia menjadi tanggung jawab National Interpretation Task Force (NI-TF) dan dalam kerangka teknisnya dilakukan oleh Forum Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORMISBI). Keanggotaan dalam FORMISBI ini terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, dimana salah satunya adalah Sawit Watch. Proses pembahasan dalam internal FORMISBI telah menghasilkan draft akhir yang kemudian dilakukan proses konsultasi publik pada tanggal 5 Maret 2014 yang lalu di Bogor, dimana forum konsultasi publik ini didominasi oleh kelompok perusahaan dan sektor privat lainnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masukan yang lebih luas dari masyarakat terkait dengan hasil interpretasi yang telah di buat. Dalam proses pembahasan interpretasi dalam FORMISBI serta
pertemuan pembahasan draft akhir ini, keterlibatan komunitas masyarakat sipil secara luas masih sangat minim, terutama dari masyarakat adat, petani kelapa sawit, buruh dan lain sebagainya. Disisi lain, kelompok masyarakat inilah yang pada akhirnya akan menerima dan merasakan dampak langsung di tingkat implementasi dari P&K ketika diterapkan. Untuk itu, keterlibatan langsung dari masyarakat sipil untuk memberikan masukan dan usulan konkrit terhadap draft akhirnya dari P&K ini. Berangkat dari persoalan tersebut, Sawit Watch mempunyai inisiatif untuk melakukan konsultasi publik di beberapa daerah untuk mendapatkan masukan langsung terkait dengan interpretasi yang sudah ada. Hal ini karena diyakini bahwa, hasil interpretasi yang sudah selesai dilakukan masih memiliki banyak kekurangan dan belum secara utuh menampung usulan dari masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari perkebunan kelapa sawit. Kosultasi Publik Lima Wilayah Konsultasi publik Ina NI Prinsip dan Kriteria RSPO merupakan satu inisiatif dari Sawit Watch dalam meningkatkan peran masyarakat sipil untuk mengetahui secara dini segala hal yang berkaitan dengan prinsip dan criteria ini. Hal ini juga didasari oleh terbatasnya keterlibatan masyarakat sipil pada proses pembahasan interpretasi nasional prinsip dan criteria ini. Sedangakn disisi lain, pihak yang akan terkena dampak langsung dalam implementasinya adalah masyarakat yang memiliki perkebunan kelapa sawit, masyarakat adat, atau masyarakat sipil lainnya yang terkena dampak langsung dari industri perkebunan kelapa sawit ini. Pada konsuiltasi public yang dilakukan di lima wilayah ini, fokus Sawit Watch adalah terkait prisnip dan criteria yang mencantumkan masalah social. Beberapa prinsip tersebut adalah prinsip 1,2,4, dan 6. Prinsip 6 tentang tanggung jawab kepada pekerja, individu-individu dan komunitas dari kebun dan pabrik kelapa sawit. Dalam prisnip ini banyak membahas persoalan masyarakat, buruh, pekerja, dan kesejahteraan.
Persoalan ini adalah sumber konflik yang sering terjadi di perkebunan kelapa sawit karena persoalan ini kurang mendapatkan perhatian serius dari perusahaan. Akan menjadi perhatian serius oleh perusahaan ketika apa yang dilakukan masyarakat dalam menuntut haknya sudah menggangu jalannya bisnis kelapa sawitnya. Persoalan komitmen terhadap transparansi (prinsip 1) dan ketaatan terhadap hokum yang berlaku (prinsip 2) juga menjadi isu penting lainnya yang menjadi pokok pembahasan dalam konsultasi publik yang dilakukan. Hal ini berangkat dari fakta lapangan yang terjadi dimana persoalan transparansi dan ketaatan pada hukum dan peraturan yang berlaku seringkali diabaikan oleh hamper semua perusahaan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Sehingga dalam konsultasi public yang dilakuka kritikan dan masukan terhadap dua prinsip ini mendapatkan sorotan tajam dari peserta yang hadir dalam konsultasi public di lima wilayah. Sedangkan dalam prinsip 4 yang membahas tentang penggunaan praktik terbaik oleh perusahaan dan pabrik. Hal ini menjadi menarik dibahas karena dalam prinsip ini, beberapa indicator menyebutkan tentang kewajiban perusahaan untuk memberikan pelatihan kepada setiap pekerja yang ada di perkebunan dan penyediaan alat kerja yang baik. Namun dalam fakta di lapangan yang terjadi adalah, pelatihan kerja hanya diberikan kepada beberapa pekerja saja. Sedangkan pekerja lain sangat jarang mendapatkan pelatihan dan mengandalkan pengalaman atau sekedar melihat orang lain yang sudah lebih berpengalaman.. Hal ini seperti pelatihan mengambil buah (dodos) yang baik agar tidak mencelakakan diri sendiri atau pelatihan tata cara pemupukan yang benar jika menggunakan pestisida. Selain kesemuanya itu, isu lingkungan juga dibahas dalam konsultasi public terutama yang terkait dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Social Impact Assesment, High Conservation Value, dan penggunaan pestisida di perkebunan kelapa sawit. Konsultasi yang telah dilakukan Sawit Watch dilakukan sejak tanggal
27 Maret – 14 April 2014 dan meliputi lima wilayah yaitu : Sumatera Utara dengan melibatkan masyarakat dari Riau, Sumatera Barat, Aceh dan Medan Konsultasi public yang dilakukan di Medan, fokus pada prinsip dan criteria yang berkaitan dengan isu buruh. Hal ini terdapat dalam prinsip 4 yang membahas tentang proses pelatihan yang mewajibkan perusahaan memberikan pelatihan kepada setiap pekerjanya. Sedangkan dalam prinsip 6 membahas tentang persoalan social yang ada di perkebunan kelapa sawit terutama pada indicator yang terkait dengan buruh. Jambi dengan melibatkan NGO nassional, petani kelapa sawit Jambi, Kalimantan Barat dan beberapa NGO local di Jambi Konsultasi public di Jambi fokus pada isu social dan lingkungan. Hampir semua prinsip dan criteria di bahas dalam konsultasi ini. Poin penting dalam konsultasi public ini adalah pada prinsip 6 dan 7 yang membahas isu social dan lingkungan. Sumatera Selatan, dengan melibatkan masyarakat dari Palembang Jambi, Lampung, Bengkulu dan Bangka Belitung dan pemerintah local. Dalam konsultasi ini, pokok pembahasan yang paling menonjol adalah pada prinsip 6 yang terkait dengan isu social dan persoalan penyelesaian konflik di perkebunan kelapa sawit. Selain itu, fokus lain adalah pada prinsip 4 yang membahas tentang Sosial Impact Assesment, AMDAL dan persoalan penggunaan pestisida. Kalimantan Barat Dalam konsultasi ini, pembahasannya difokuskan pada prinsip 6 yang membahas tentang persoalan sosil terutama yang berhubungan langsung dengan isu petani kelapa sawit. Sekain itu juga membahas prinsip 7 tentang lingkungan terutama yang terkait dengan isu High Consevation Value. Kalimantan Tengah Dalam konsultasi yang dilakukan di Kalimantan Tengah, fokus pembahasan adalah pada prinsip 6 dan 7 sama dengan yang dilakukan di Jambi.***
Tandan Sawit, Edisi No. 4 | Mei 2014 | 23