Sekitar G30S
(Sebuah Renungan Pribadi) Oleh : Hersri Setiawan
ADA tiga butir soal diharapkan oleh Sdr-Sdr Penyelenggara Forum Diskusi Sejarah Bangsa agar tercakup di dalam uraian saya. Pertama, pengalaman apa dari "Tragedi September 65" yang paling menyakitkan dan meninggalkan luka batin mendalam buat saya dan keluarga. Kedua, bagaimana saya mengolah kenyataan pahit dalam masa itu, dan dalam masa-masa berat sesudah peristiwa tragis itu. Ketiga, pelajaran apa yang dapat ditarik bagi generasi sekarang dari pengalaman pribadi saya tersebut. Saya akan berusaha memenuhi harapan itu. Tidak butir demi butir, tetapi dalam satu rangkaian uraian. Pertama, agar uraian ini tidak menjadi berketiakular, karena begitu banyak pengalaman menyakitkan dan luka lahir-batin yang kami sekeluarga harus dukung dan tahan. Kedua, agar dari uraian ini akan tampil satu sosok "aku ialah aku", yang dari situ akan menampak bagaimana kami menghadapi dan mengolah kenyataan pahit itu, dan pertanda-pertanda apa yang bisa ditarik sebagai jembatan dan alat untuk berefleksi. Tidak atau belum usah sebagai pelajaran. Tetapi cukup sebagai kaca benggala saja. Pada akhir tahun 1987 kami sekeluarga bertiga-istri, anak dan sayabereksodus ke negeri Belanda. Indonesia, negeri indah yang kami cintai, kami tinggalkan. Mengapa? Selaku et-Pulau Buru, yang sudah mengalami segala kecuali mati, saya tidak sedikit pun gentar menghadapi penindasan dan penghinaan rezim Suharto. Juga almarhum istri saya, sebagai perempuan Belanda, tentu sadar benar apa konsekuensi dari pilihannya: hidup di Indonesia yang di bawah sepatu militer, dan menjadi istri seorang et-Buru yang hidup ibarat di ujung tanduk. Tetapi kami mempunyai seorang anak. Dan kami tidak akan membiarkan anak itu menjadi kurban "hukum renteng", manifestasi "hukum" dari "budaya" tumpas kelor yang tak berbudaya, selama yang dikenai adalah orang-orang yang tercemari "G30S/PKI.". Hukum dan budaya yang tak berbudaya itu itu akan sangat mungkin terjadi setiap saat, jika istri saya meninggal dunia. Dengan paspor Belanda yang tetap dipertahankannya, ia bukan sekedar berperanan sebagai istri bagi suaminya dan ibu bagi anaknya. Tetapi sesungguhnya ia ibarat perisai sosial politik rumah tangga kami. Ia sesungguhnya mencintai Indonesia. Tetapi bahkan untuk Cinta pun Indonesia tidak memberi sempat dan tempat. Saya kutip dari buku Ruth Havelaar1: Keinginannya mati di Indonesia, dan dikubur di bawah makam Ibu Mertuanya ..., sayang terpaksa harus ditanggalkannya. Setahun sebelum tutup umur ia kembali ke tanah kelahirannya. Tetapi keinginannya menyelesaikan tulisan-tulisannya sebelum mati, memang telah terpenuhi ... Dua puluh hari sebelum ia meninggal, pada 2 April 1989 di Kockengen, ditulisnya kata-kata terakhir kisahnya: "Selamat tinggal Indonesia, kukirim bagimu harapanku, air mataku, dan cintaku ..." Adakah negeri lain di planet bumi ini, di suatu jaman yang disebut jaman moderen, bahkan untuk mati pun orang tidak punya kemerdekaan? Tetapi itu benar sudah terjadi di sebuah negeri bernama Indonesia, dan tidak hanya terkena pada seorang Ruth Havelaar. Ia hanyalah Jitske Mulder. Seorang wong cilik di tengah rakyat tertindas yang tak terbilang. Barangkali perlu saya ingatkan, sekali peristiwa menjelang saat terakhir hidup Bung Karno. Orang tahu pejuang terbesar Indonesia ini ingin diistirahatkan sebagai penyambung lidah rakyat, di tanah Priangan yang subur tempat ia bertemu dengan si petani
1
Marhaen2. Tetapi Pangdam Siliwangi berkata: "Bumi Siliwangi terlalu suci untuk menerima mayat Sukarno!" Bayangkanlah! Bahkan seorang besar seperti Bung Karno, tidak punya hak memilih tempat di mana ia mati! Itu sebabnya saya pernah menulis cerita pendek "Tikus". Ada seekor tikus mendekam di saluran pembuangan air dapur rumah kami di Tebet Jakarta Selatan. Istri saya, melihat tikus gemuk besar itu, tentu teringat cerita saya tentang tapol ketika di Buru. Bagi tapol Buru tikus ialah daging santapan yang gurih lezat. Maka, demi melihat tikus itu, diserunya saya agar datang membawa pemukul untuk membunuhnya. Benar. Saya sudah berancang-ancang. Tongkat saya angkat tinggi-tinggi, disaksikan istri yang berdiri di jendul pintu dapur. Tetapi yang terjadi bukan hantaman keras kayu pemukul ke kepala tikus. Tangan saya justru gemetar. Saya melihat tikus itu tidak bergerak. Juga tidak bersuara. Hanya matanya kerdap-kerdip berbicara. Mungkin karena sakit, sudah uzur, atau kedua-duanya. Tongkat pemukul terlepas dari tangan. Tikus itu saya pegang ujung ekornya. Bukan untuk saya banting di ubin. Tapi saya bawa keluar, dan saya buang di sebuah kapling kosong. Biarlah ia mati tidak karena siksaan. Biarlah ia mati tanpa terampas cintanya. Biarlah ia mati tanpa terampas hidupnya. Biarlah ia mati dalam kemerdekaan. Bagi saya hal itu - pembatasan dan perampasan atas cinta, hidup dan mati bukan sekedar menimbulkan luka batin yang amat sangat mendalam. Lebih dari itu! Itulah sejatinya wajah telanjang dari jiwa jahiliah, yang hanya patut diprihatini. Dan selanjutnya, jika mau, dilawan melalui jalan panjang proses penyedaran. Seperti jaman aufklaerung memberi proses kecerahan pada kegelapan jaman tengah. Seperti jalan Muhammad ketika menggugah Jazirah Arabia yang terkubur dalam kejahiliahan. Sampai sekarang ini saya masih sering mimpi tentang jaman penindasan di Jawa dan jaman perbudakan di Buru. Beramai-ramai telanjang mandi bersama di sekitar satu sumur, beratap langit berdinding angin; melihat teman senasib "dipermak"; dikejar-kejar untuk ditangkap; bahkan - sampai sekitar 1 à 2 tahun lalu masih - diikat berdiri di tiang eksekusi, di depan satu regu tembak. Anehnya, tiap kali saya mimpi demikian, pada detik-detik terakhir menjelang peluru maut menghambur, timbul kesadaran di tengah masih tidur. Untuk tidak mati ditembak, saya lalu berusaha jaga dan bangun. Seorang teman yang saya ceritai mimpi saya itu, dengan maksud baik membawa saya konsultasi pada seorang parapsikolog. Parapsikolog ini menasihati, agar saya biarkan mimpi itu berkembang sampai selesai. Sehingga, katanya, dengan demikian saya akan terbebas dari impian traumatis itu. Nasihat saya dengar, tetapi tidak saya lakukan. Karena saya tidak sependapat dengan "teori trauma", yang dia pakai sebagai dasar nasihatnya. Mengapa? Karena saya tidak merasa menderita trauma akibat pengalaman pahit masa lalu itu. Mengapa tidak? Karena segala pengalaman pahit masa lalu itu, bagi saya, merupakan konsekuensi logis belaka dari pendirian dan sikap politik yang saya ambil secara sadar. Bagaimana impian tentang kepahitan itu harus diterangkan? Barangkali bisa melalui teori Freud3 atau Jung4? Tetapi ini bukan bidang saya, dan juga bukan tujuan sarasehan kita sekarang. Pada tahun 1958, saya mulai terjun dan sekaligus giat membangun Lekra cabang Yogya. Justru karena saya sadar, Lekra bukan sekedar tempat seniman dan kaum suka hibur berhimpun dan berkenes-kenes. Lekra adalah organisasi dari satu gerakan kebudayaan. Gerakan. Jadi tentu saja ia punya cita-cita dan tekad. Cita-cita dan tekad apa? Menggugah rakyat agar sadar budaya. Selanjutnya menjadikan kebudayaan rakyat subjek di negeri sendiri. Dengan begitu Lekra adalah organisasi gerakan kebudayaan yang berpolitik, sekaligus
2
juga organisasi politik yang khusus bergerak di bidang kebudayaan. Jadi di situlah saya berdiri, dan dari situlah saya memandang dan menyikapi segala soal dan pengalaman. Peristiwa G30S, atau yang oleh Bung Karno disebut Gestok (Gerakan Satu Oktober), jelas peristiwa politik. Sebagai peristiwa politik hendaknya juga ditilik dari pendekatan politik, dan dinilai atau ditimbang dengan nilai atau timbangan politik. Di dalam kehidupan politik wajar saja jika terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda-beda dan bahkan bertentang-tentangan. Konsekuensi daripadanya ialah, bahwa masing-masing kepentingan menggalang kekuatan, dan dengan kekuatan itu masing-masing saling adu siasat atau adu langkah-langkah politik untuk memenangkan kepentingannya sendiri-sendiri. Kenyataan yang demikian itu - yaitu bahwa Peristiwa G30S adalah peristiwa politik, dan bahwa kehidupan politik selalu mengandung berbagai kepentingan yang berbeda - harus diterima seperti adanya. Demikian juga terhadap kenyataan politik yang bernama "Peristiwa G30S". Singkirkanlah selera suka atau tidak suka, pro atau kontra, menerima atau menolak terhadap adanya kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan itu. Masalah selera baru kita beri tempat, ketika kita berbicara tentang program masing-masing kekuatan kepentingan politik itu, dan bagaimana masing-masing kekuatan politik itu melaksanakan programnya. Dengan menyadari kedudukan, sikap dan pendirian sendiri, serta mengakui dan menerima tragedi berdarah G30S sebagai peristiwa politik seperti adanya, maka saya tidak terkejut ketika suatu hari saya ditangkap penguasa - yaitu satu, atau gabungan beberapa, kekuatan politik yang menang. Peristiwa G30S benar telah menimbulkan akibat dahsyat. Tetapi dengan kemauan menerima dan menyikapinya demikian, saya lalu mengerti dan membenarkan Bung Karno. Di tengah gelumbang amok Kesatuan Aksi, Kostrad dan RPKAD, dengan tenang Bung Karno mengatakan, peristiwa G30S hanyalah ibarat satu rimpel di tengah lautan. Satu ucapan yang secara dangkal diartikan lawan-lawan Bung Karno, di satu pihak sebagai bersimpati pada Dewan Revolusi/G30S/PKI, dan di pihak lain sebagai melecehkan matinya enam jendral dalam satu ujung malam. Dipersona-non-grata pemerintah Ceylon (sekarang Sri Langka) dalam tempo dua kali 24 jam, saya tinggalkan Sélong pulau pembuangan pemberontak Jawa itu, dan tiba kembali di Jakarta pada 24 Agustus 1965. Belum lima tahun Tanahair saya tinggalkan. Saya kembali dan pangling. Melihat kebesaran PKI, dan merasai keparlentean Lekra. Tetapi belum sepuluh hari sesudah 1 Oktober 1965, gedung SPP Lekra di Jalan Cidurian 19 Jakarta, sudah berubah menjadi tempat berbahaya. Sejak ketika itu saya sadar. Teman-teman sudah ditangkapi. Malah ada yang sudah diberitakan hilang atau dibunuh. Maka giliran saya pun tinggal soal waktu. Setiap saat saya pasti akan ditangkap penguasa. Siap ditangkap berarti juga siap menghadapi segala macam tindakan ikutannya. Karena saya juga sadar, bahwa setiap kekuasaan negara mempunyai berbagai macam alat pemaksa. Di antara alat-alat pemaksa itu antara lain berupa alat penyetrum, cambuk ekor ikan pari, kerjapaksa, penjara, pembuangan dan bahkan peluru. Dengan kesadaran demikianlah, maka semua konsekuensi akan (dan sekarang sudah) saya hadapi dengan jiwa sumèlèh. Bukan fatal atau pasrah nasib, tetapi sadar dan tenteram. Hidup dalam isolasi lalu saya hayati seperti memasuki masa tirakat atau retret. Justru itulah saat-saat yang paling leluasa buat - istilah kami para tapol - "muter film". Maksudnya, katakanlah, mawas diri. Merenungi kembali segala jejak langkah masa lalu, mana yang benar dan mana
3
yang salah. Tetapi bukan terhadap pendirian dan sikap politik. Karena masalah pendirian dan sikap politik adalah masalah keyakinan seseorang pada kebenaran ideologi dan politik yang dianutnya. Dengan penghayatan demikian hati menjadi sumeleh. Bisa mengerti dan menerima, bahwa dirinya dijebloskan di penjara atau dibuang sebagai tapol. Tetapi pemenjaraan atau pembuangan itu sama sekali terlepas dari soal moral dan etika, atau benar dan salah. Dengan kesadaran demikianlah, maka menjadi tapol atau et yang dipariakan pergaulan umum, tidak usah menjadi bebanmental dan fisik yang bisa menghancurkan diri sendiri. Peristiwa G30S adalah sebuah tragedi yang tragis. Tetapi tragedi yang lebih tragis lagi ialah rangkaian dampak kejadian-kejadian yang menyusul peristiwa itu an sich. Orde Baru, yang dibangun dan dibela dengan menghalalkan segala cara oleh Suharto dan cum suis, adalah orde jahiliah. Orde jahiliah membuahkan apa lagi jika bukan kejahiliahan. Buah apel tidak akan jatuh jauh dari batangnya, kata pepatah. Maka bagi saya kejahatan Suharto dan kliknya bukan hanya ulah KKNnya, pencolengan uang rakyat yang berjumlah milyardan, pembunuhan orangorang yang tak terbilang banyaknya - terbatas kurban epilog G30S saja, menurut Sarwo Edhi tak kurang dari tiga setengah juta (sekali lagi: tiga setengah juta), bandingkan dengan satu ekor tikus di tangan saya! Selain semua kejahatannya itu masih ada satu lagi yang lebih dari jahat.Yaitu bahwa Suharto dkk telah membikin bangsa Indonesia menjadi satu bangsa yang (meminjam ungkapan Bung Karno) berjiwa kintel. Kintel ialah jenis kodok kecil, berwarna abu-abu, jika sedikit tersentuh segera menggelembungkan diri sebagai kamuflase. Bangsa kintel ialah bangsa yang bodoh dan tak punya nyali. Pulang dari kunjungan lima minggu ke Indonesia Ken Setiawan menulis sebuah artikel5. Kecil artikel itu, tetapi mengguncang pikiran saya dengan "skala Richter" yang besar. Mulabukanya ia mendapat sehelai selebaran dari mahasiswa Muhammadiyah Jakarta. Kecil format kertas selebaran itu. Tapi rupanya juga besar guncangan skala Richter bagi rasa tanggungjawab sejarah dan rasa keadilan dalam sanubari Ken. Isinya tentang deretan dosa-dosa Suharto. Tetapi, anehnya, tidak ada kata sepatah tentang Buru. Para mahasiswa pengedar selebaran itu, jika tidak lebih tua pastilah paling sedikit berumur sama dengan Ken. Artinya, ketika peristiwa maha tragis G30S terjadi, mereka jauh belum lahir. Tetapi jawaban bahwa mereka tidak tahu atau sudah lupa tentang peristiwa itu, adalah sama jahiliahnya dengan ketidak-tahuan dan kelupaan mereka itu sendiri. Inilah contoh terang tentang gejala pengkintelan bangsa, yang berhasil dibangun Orde Baru di atas danau darah dan airmata peradaban. Ada seorang teman baik saya di satu kota di Jawa. Ia pemimpin LSM dan pengarang (dari "angkatan 80-an", kalau boleh saya katakan) yang sudah menerbitkan banyak buku karangannya. Sesudah membaca artikel saya tentang lagu "Genjer-Genjer" dan "Hidup di Bui" ia berkomentar. Bukan tentang pokok soalnya, yaitu dua lgu tersebut, tetapi tentang latar belakang sosio-historis ketika lagu-lagu itu lahir. Katanya: Aku tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi ketika itu. Yang kuingat sampai sekarang hanya cerita tentang kekejaman-kekejaman yang mengerikan ... Tidak tahu atau lupa! Kalau tidak tahu berarti ada satu proses ketika, pada satu pihak, fakta sebagai pesan digelapkan; dan, pada lain pihak, satu proses ketika fakta sebagai wacana dipalsukan. Kalau lupa berarti ada satu proses, ketika ingatan masyarakat secara terorganisasi telah dikorup. Untuk itu tentu saja harus ada satu proses, ketika situasi kehidupan lahir batin masyarakat dipersyaratkan sebegitu rupa, sehingga menjadi sama sekali bergantung pada kekuasaan, dan memungkinkan semuanya terjadi seperti dengan sendirinya. Karena Orde Baru dengan sendirinya Golkar. Karena Golkar dengan sendirinya
4
ABRI dst. Karena Pancasila dengan sendirinya anti-oposisi. Karena oposisi dengan sendirinya Komunis. Karena Komunis dengan sendirinya tumpas habis ... dst. Tetapi bukan hanya para mahasiswa Muhammadiyah yang dijumpai Ken, atau pengarang muda dan pemimpin LSM sahabat saya itu saja, yang tidak tahu. Memang tidak tahu, tidak mau tahu, pura-pura tidak tahu, atau - inilah yang tragis: takut untuk tahu. Juga banyak dari kalangan ilmuwan, tragisnya ilmuwan sejarah khususnya; dari kalangan penggiat yang gembar-gembor dengan HAM, baik di Indonesia maupun dunia. Akhir-akhir ini saja satu-dua orang di antara mereka mulai ada yang mau dan punya nyali untuk angkat bicara. Mengapa selama ini tutup mulut? Apakah karena yang dbunuh dan ditindas orang-orang "komunis"? Saya lalu teringat cerita alm. Romo YB Mangunwijaya ketika diinterogasi Kodam V Diponegoro perkara Kedungombo. Romo itu diperingatkan, bahwa di belakang para pembangkang Kedungombo itu ini-itu iniitu, pendeknya orang-orang yang tidak bersih lingkungan. Romo menjawab dengan sepatah pertanyaan oratoris, katanya: "Kalau di tengah jalan anda melihat orang tergeletak, karena ditabrak mobil, apakah sebelum tangan pertolongan anda ulurkan, anda perlu tanya lebih dulu: 'kamu bersih lingkungan tidak?'" Bersih lingkungan! Inilah salah satu bangunan atas bikinan Orde Baru berupa moral dan etika atau akhlak sosial dan politik semu, yang didirikan di atas fondasi Azas Tunggal Pancasila yang juga semu dan, notabene, Pancasila menurut tafsir tunggal ala BP-7 yang berharga mati. Peristiwa G30S adalah peristiwa politik. Ia berdampak hebat pada seluruh segi kehidupan bangsa. Tetapi yang paling tragis, lebih tragis dari peristiwanya itu sendiri, ialah dampaknya di bidang kebudayaan. Proklamasi kemerdekaan 1945 bukan sekedar seruan pemerdekaan politik. Tetapi juga seruan pemerdekaan kebudayaan. Pemerdekaan dari kebodohan. Pemerdekaan dari rasa takut. Adalah panjang dan sulit jalan reformasi politik. Tetapi lebih panjang dan sulit lagi jalan reformasi kebudayaan. Namun sejarah tidak berulang, apalagi berjalan mundur. Maka tidak perlu kita bertanya: Quo Vadis?*** _______________________________ 1. Ruth Havelaar, 1995:129. 2. Cindy Adams 1966:312 3. Misalnya melalui ajarannya psikoanalisis, yang berdasar pada penemuannya tentang pengaruh ketidaksadaran pada kesadaran. 4. Misalnya melalui teorinya tentang tiga sistem kepribadian yang saling berkaitan, yaitu kesadaran, ketidak-sadaran pribadi, dan ketidak-sadaran kolektif. 5 Ken Setiawan, Vergeten geschiedenis; versi Indonesia, Di Mana Buru? Agustus 2000.
5