SASTRA IMIGRAN JERMAN KARYA PENGARANG-PENGARANG MUDA KETURUNAN TURKI Avianti Agoesman, M.A. Program Studi Jerman Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Abstrak Dalam tulisan ini digambarkan perjalanan sejarah kedatangan kaum imigran Turki di Jerman dan karya sastra kaum imigran tersebut mulai fase 1960-an hingga fase 2000-an. Sastra imigran karya pengarang-pengarang keturunan Turki ini telah mewarnai khasanah kesusastraan Jerman kontemporer. Dalam sebuah masyarakat yang multikultural seperti yang terjadi di Jerman dewasa ini, sastra migran merupakan genre yang penting untuk dibaca secara luas. Dari sana terlihat apakah integrasi antara warga Jerman “asli” dan warga pendatang telah berjalan dengan baik. Selain itu sastra migran dapat menjadi cermin bagi masyarakat Jerman untuk mengenali kulturnya, bangsanya maupun bahasanya sendiri. Kata kunci: sastra Jerman, Imigran Turki, multikultural
A. Latar Belakang Sastra Imigran di Jerman Setelah Jerman menyerah pada Sekutu pada tanggal 8 Mei 1945 dan Perang Dunia II pun usai pada tahun tersebut, Jerman berada dalam keadaan yang hancur lebur. Banyak kota beserta infrastrukturnya yang habis dibom Sekutu dan Jerman pun kehilangan berjuta-juta warganya, terutama kaum pria yang menjadi tentara dalam pasukan Jerman. Sebagian besar mati di medan perang, sebagian lagi masih ditawan pihak Sekutu di berbagai wilayah Eropa Timur. Ketika itu kaum perempuan dan anak-anaklah yang masih tersisa. Mereka bertahan hidup dan mulai menyusun kembali kehidupan mereka, dimulai dengan membersihkan puing-puing reruntuhan. Karena itulah para perempuan tersebut mendapat julukan Trümmerfrauen (atau perempuan pembersih puing-puing). Dengan bantuan Amerika Serikat, terutama dengan program Marshall-Plan,
Jerman kembali bangkit. Republik Federal Jerman (atau dikenal dengan Jerman Barat) berdiri pada tahun 1949. Etos kerja masyarakat Jerman yang sangat tinggi berhasil membawa Jerman bangun dari keterpurukannya. Tidak sampai sepuluh tahun kemudian, Jerman di bawah pemerintahan Kanselir Friedrich Ebert sudah dapat meraih keajaiban perekonomian, yang dikenal dalam bahasa Jerman dengan istilah Wirtschaftswunder. Industri Jerman yang terutama bertumpu pada industri logam dan industri mesin berat serta industri otomotif bergairah kembali. Pada masa inilah mulai dirasakan kurangnya tenaga pria untuk mengisi posisi-posisi buruh di industri pertambangan dan pabrik-pabrik. Berdasarkan situasi di atas itulah pada tahun 1955 pemerintah Jerman membuat perjanjian dengan pemerintah Italia untuk mendatangkan pekerja-pekerja Italia ke Jerman. Pada tahun 1960 perjanjian yang serupa dilakukan antara pemerintah Jerman dengan pemerintah Yunani dan Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|654
Spanyol. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1961 perjanjian tentang tenaga kerja asing ditandatangani oleh pemerintah Jerman dan pemerintah Turki. Para pekerja asing yang bekerja di Jerman itu pada awalnya hanya dikontrak selama dua tahun, setelah itu mereka harus pulang. Mereka akan dirotasi atau digantikan secara bergiliran oleh pekerja asing lainnya, yang juga akan dikontrak selama dua tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka pekerja asing tersebut dinamai Gastarbeiter atau pekerja tamu. Layaknya tamu, mereka diharapkan tidak akan menetap selamanya di Jerman. Awalnya pemerintah Jerman beranggapan, bahwa setelah bekerja selama dua tahun, para pekerja asing itu sudah cukup mapan secara finansial, lalu dengan penghasilan yang mereka peroleh tersebut mereka akan memulai hidup yang lebih baik di negaranya sendiri. Ternyata realitanya tidak seperti yang diharapkan. Para pekerja tamu tersebut tinggal lebih lama daripada kontrak yang seharusnya hanya dua tahun. Karena adanya politik “penutupan perbatasan”, sebagian besar pekerja tamu itu tidak mau pulang ke tanah airnya. Mereka juga tidak ingin terkena “prinsip rotasi”1, karena kalau sudah kembali ke negara asalnya, mereka khawatir tidak akan dapat kembali lagi ke Jerman. Alih-alih pulang, mereka malahan mengajak saudara-saudara dan kerabat-kerabatnya untuk datang ke Jerman. Akibatnya, pada tahun 1973 jumlah warga Turki di Jerman sudah mencapai satu juta jiwa. Untuk mencegah makin banyaknya jumlah warga Turki, pada akhir tahun 1973 pemerintah Jerman memberlakukan Anwerbestopp. Maksudnya adalah, pemerintah Jerman tidak lagi mengijinkan orang Turki datang sebagai
pekerja tamu, melainkan hanya mengijinkan orang Turki yang datang untuk bekeluarga atau berkumpul lagi dengan keluarganya. Pada akhir tahun 1970'an orang Turki datang pula sebagai pemohon suaka, sehingga pada masa tersebut jumlah warga Turki di Jerman melonjak hingga 1,7 juta jiwa. Dengan jumlah tersebut mereka menjadi warga minoritas yang terbanyak. Sebenarnya kebutuhan Jerman akan tenaga kerja asing masih tinggi, sehingga jumlah pekerja tamu dari Turki yang makin banyak jumlahnya itu tidak menjadi masalah besar bagi pemerintah Jerman dan masyarakat Jerman. Barulah setelah terjadi kelesuan ekonomi dan makin tingginya angka pengangguran di Jerman, pekerja tamu tersebut dan warga asing umumnya menjadi masalah besar, yang dikenal dengan istilah Ausländerproblem. Warga Turki yang terutama menjadi “korbannya”. Untuk mereka diberlakukan kewajiban memiliki visa. Sedangkan anggota keluarga yang datang dibatasi maksimal berusia 16 tahun dan para pemohon suaka tidak lagi diberikan ijin kerja. Untuk merangsang agar pekerja asing ini kembali ke negara asalnya, Bundestag atau parlemen Jerman pada tanggal 28 November 1983 mensahkan Undang-undang yang bertujuan mendukung kesiapan warga asing untuk kembali ke negara asalnya.2 Berkat Undang-undang tersebut banyak warga asing keturunan Turki yang pulang ke tanah airnya. Pada tahun 1983 itulah untuk pertama kalinya jumlah warga keturunan Turki menurun tajam. Saat ini jumlah warga keturunan Turki di Jerman sekitar 25% dari warga asing di Jerman atau sekitar 1,7 juta jiwa, termasuk kira-kira 700.000 warga keturunan
1 Prinsiprotasitersebutdihapuspadatahun1962 dantidakberlakulagisecararesmipadatahun 1964akibatdesakandariparapekerjaasingyang sudahbekerjadiJerman.
2 Sen,Faruk:TürkischeMinderheitinDeutschland. Dalam:BundeszentralefürpolitischeBildung. InformationenzurpolitischenBildung.Heft277. Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|655
Turki yang telah memiliki kewarganegaraan Jerman. B. Munculnya Sastra Imigran Karya Pengarang Keturunan Turki Pada masa awal migrasi warga Turki ke Jerman, para pekerja asing ini ditempatkan di semacam asrama. Biasanya pada malam hari saat istirahat, mereka berkumpul dan memainkan “Saz” (alat musik petik khas Turki) sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional maupun lagu-lagu modern Turki. Lirik lagu-lagu tersebut kebanyakan berisi kerinduan terhadap keluarga dan tanah air, harapanharapan dan juga tentang lingkungan baru yang masih terasa asing. Mereka pun mulai menulis puisi dan pengalaman mereka selama bekerja di Jeman dan karya-karya tersebut dimuat di surat-surat kabar berbahasa Turki. Tak lama kemudian dimulailah era baru bagi para pekerja asing Turki ini, ketika mereka mengungkapkan pengalaman dan pengamatan mereka dalam bentuk puisi, cerita panjang, roman dan drama. Penulis Yüksel Pazarkaya menyebutnya sebagai kelahiran sastra Jerman “bernafaskan” Turki.3 Pazarkaya, yang datang ke Jerman bukan sebagai pekerja melainkan sebagai mahasiswa, tidak hanya melibatkan diri dalam bidang kesusastraan, namun terlibat juga dalam kehidupan sosial dan politik para pekerja asing dari Turki. Ia menulis serangkaian puisi tentang pekerja Turki di Jerman, yang menurutnya merupakan “puisi-puisi pertama dalam bahasa Turki yang membahas fenomena migrasi pekerja asing.”4 Puisi-puisi tersebut diterbitkan di surat kabar IG-Metall (Industriegewerkschaft Metall atau Serikat 3 Pazarkaya,Yüksel:StimmendesZornsundder EinsamkeitinBitterland.1985,hal.17. 4 Pazarkaya:RoseninFrost.1989,hal251252.
Pekerja Logam Berat) di Stuttgart pada tahun 1965/66. Baru pada akhir tahun 1970an muncullah beberapa forum dan institusi, seperti “Südwind-Gastarbeiterdeutsch” dan PoLi-Kunst-Verein”. Forum-forum tersebut memungkinkan penulis asing untuk mengorganisasikan dirinya dan menerbitkan karya-karya mereka. “SüdwindGastarbeiterdeutsch” adalah rangkaian terbitan yang pada tahun 1980 diprakarsai oleh Con Verlag di Bremen. Tujuan penerbitan ini bersifat politis, yang merupakan ciri khas dari kesusastraan kaum buruh. Sedangkan “PoLi-Kunst-Verein” (Polynationaler Literatur-und Kunstverein) bertujuan menghubungkan elemen-elemen kelompok imigran yang berbeda dan sekaligus menjadi corong bicara mereka. Selain itu, perkumpulan ini ingin membangkitkan kesadaran bagi masyarakat Jerman akan pentingnya kaum minoritas tersebut. Ararat-Verlag (atau penerbit Ararat) yang berdiri pada tahun 1977 merupakan forum yang penting bagi pengarangpengarang keturunan Turki di Jerman. Banyak sekali karya dari pengarangpengarang penting sastra migran keturunan Turki yang diterbitkan oleh Ararat-Verlag. Dengan demikian Ararat-Verlag merupakan pelopor dalam penyebarluasan sastra Turki di Jerman, tidak hanya bagi karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jerman oleh pengarang-pengarang keturunan Turki, melainkan juga bagi karya-karya penting kesusastraan Turki yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. C. Fase Pertama tahun 1960-1970an Generasi pertama pengarang keturunan Turki pada tahun 1960 – 1970an selain Yüksel Pazarkaya di antaranya adalah Aras Ören, Kemal Kurt dan Fakir Baykurt. Para pengarang pada fase tersebut masih memiliki akar di tanah airnya, beberapa Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|656
bahkan sudah menerbitkan karya-karyanya di Turki sebelum mereka muncul dengan karya-karyanya di Jerman. Tema-tema karya mereka pada umumnya berisi tentang pengalaman mereka sebagai tenaga kerja yang tidak diharapkan kehadirannya, tentang perpisahan dengan keluarganya yang terpaksa ditinggal di tanah air, situasi perumahan yang tidak memadai, situasi yang tidak memuaskan sebagai pekerja pabrik, tentang kesulitan bergaul dengan rekan-rekan kerja Jerman, masalah dengan adat istiadat Jerman dan birokrasi Jerman. Masalah tersebut masih ditambah dengan kekecewaan yang dialami para pekerja, ketika dengan penuh harapan mereka berlibur ke tanah airnya atau kembali untuk selamanya ke tanah airnya, namun menerima sikap penolakan dari saudarasaudara sebangsanya. “Heimat” (tanah air) dan “Fremde” (tempat asing) dengan demikian menjadi tema utama dalam fase pertama ini. “Heimat” biasanya berkonotasi positif, ditandai dengan istilah-istilah seperti matahari dan kehangatan, sedangkan “Fremde”, dalam hal ini Jerman, dikatakan dingin dan tidak ramah. “Heimat” dikaitkan dengan perlindungan, rasa aman, keberlangsungan dan keamanan, sedangkan “Fremde” yakni Jerman dikaitkan dengan pengusiran “tamunya” (maksudnya pekerja asing), kesepian dan keterasingan. Bahkan Pazarkaya menamai Jerman (Deutschland) sebagai “Bitterland” (negara yang pahit).5 Generasi pertama warga keturunan Turki di Jerman kebanyakan memiliki impian untuk suatu waktu kembali ke negara asalnya. Mereka menganggap Jerman hanya 5 Pazarkaya,Yüksel:TürkiyeMutterland–Almanya Bitterland.DasPhänomendertürkischen MigrationalsThemaderLiteratur.Dalam: Kreuzer,HelmutdanSeibert,Peter(eds.):LiLi, ZeitschriftfürLiteraturwissenschaftund Linguistik.Gastarbeiterliteratur.Heft56.1984, hal.101123.
sebagai tempat mencari nafkah dan untuk mereka Turki tetaplah tanah airnya. Meskipun memiliki rasa cinta yang mendalam untuk tanah airnya, generasi pertama ini terpecah. Di satu pihak mereka ingin kembali ke negara asalnya, di pihak lain keberadaan anak-anak dan cucu-cucu memaksa mereka tetap tinggal di Jerman. Maka akhirnya mereka tetap tinggal di Jerman, meskipun masih ada keinginan untuk dikuburkan di Turki, jika mereka meninggal dunia. Dilihat dari latar belakangnya, kebanyakan imigran Turki di Jerman berasal dari wilayah-wilayah yang miskin, sehingga mereka di sana hanya bekerja sebagai buruh rendahan atau bahkan menganggur saja. Karena situasi itulah mereka pergi ke Jerman untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sebagian besar dari mereka berniat hanya bekerja maksimal dua tahun di Jerman, dengan harapan mereka akan mandiri secara finansial, membangun rumah di tanah airnya, lalu pulang ke negara asalnya. Namun menurut Horst Hamm, peneliti tentang sastra migran di Jerman, tema-tema kemiskinan dan kesengsaraan tidak diangkat dalam karya-karya sastra generasi pertama ini. 6 Tanah air tetap digambarkan sebagai tempat yang ideal bagi rasa aman dan kasih sayang, meskipun keadaannya sangatlah berlawanan, seperti kemiskinan dan tingginya tingkat pengangguran.7 Keinginan dari banyak imigran tersebut untuk menemukan tanah air di negara asing yang mereka tinggali menjadi beban psikologis, ketika ternyata kenyataan yang dihadapi sangat jauh dari yang diidamidamkan. Mereka tidak disambut dengan baik oleh lingkungannya, selain itu perbedaan budaya yang sangat besar antara 6 Hamm,Horst:Fremdgegangen–freigeschrieben. EineEinführungindiedeutschsprachige Gastarbeiterliteratur.1988,hal.62 7 Idem,hal.62 Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|657
kultur Jerman dan kultur Turki, membuat mereka mengalami gegar budaya. Kultur Anatolia yang sifatnya agraris sangat asing bagi kultur Jerman, ditambah lagi dengan bahasa dan agama yang berbeda. Sehingga tidak tercipta kontak di antara imigran Turki dan masyarakat Jerman pada umumnya, selain kontak sekadarnya di tempat kerja. Meskipun para pekerja keturunan Turki ini terbebas dari kemiskinan dan pengangguran di negara asalnya, mereka mengalami kekecewaan dengan Jerman, terutama dengan sistem nilai yang sangat berbeda dari negara mereka. Kekecewaan inilah yang menimbulkan kritik membabi buta, yang di dalamnya mengidealisasikan tanah airnya dan menjelek-jelekkan negara barunya. Kritik yang tidak objektif ini merupakan luapan kemarahan spontan. Kapanpun itu, ketika tempat asing yang baru dikritik, maka tanah air pun dibela matimatian.8 D. Fase tahun 1980an Fase kedua ini ditandai dengan munculnya pengarang-pengarang muda keturunan Turki yang lahir di Jerman atau tumbuh dewasa di Jerman. Selain genre puisi yang merupakan bentuk dominan, bentuk satire untuk pertama kalinya muncul dalam sastra migran Turki, beberapa pengarang satire yang penting adalah Sinasi Dikmen dan Osman Engin. 9 Bila generasi sebelumnya hanya menulis cerita-cerita pendek atau puisi-puisi yang diterbitkan bentuk antologi, generasi yang baru ini menerbitkan karyanya secara perorangan. Tema-tema utama dalam fase ini tidak lagi memaparkan kehidupan mereka di negara asing, namun lebih menonjolkan problematik konkret yang dialami generasi muda tersebut. Tema-tema penting lainnya dalam fase kedua ini adalah tentang
meningkatnya rasa benci terhadap orang asing dan rasisme di Jerman. Pengarangpengarang keturunan Turki bereaksi dengan meningkatkan produktivitas berkarya mereka. Tema “Heimat” (tanah air) pun tetap muncul dalam fase ini, meskupun dalam problematika yang berbeda. Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, generasi pertama merindukan “Heimat” sebagai tempat yang ideal, pada generasi kedua ini “Heimat” menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang pulang kembali ke negara asalnya dan bagi anak-anak mereka yang lahir dan tumbuh besar di Jerman. Mereka yang kembali ke tanah airnya itu sering dianggap sebagai orang asing oleh saudara sebangsanya, dan dengan demikian mereka pun ditolak oleh lingkungan sekitarnya. Sedangkan anakanak keturunan Turki yang lahir di Jerman tersebut sering diejek sebagai “orang Jerman”, padahal di Jerman pun mereka diejek teman-teman sebayanya sebagai “si orang Turki.” Sebuah karya dari Alev Tekinay yang berjudul Die Heimkehr oder Tante Helga und Onkel Hans10 adalah contoh yang sangat bagus untuk menggambarkan situasi pasangan suami istri keturunan Turki yang kembali ke tanah airnya. Pasangan tersebut tidak hanya mengalami rasa keterasingan selama berada di Jerman, namum mereka pun mengalami keterasingan di rumahnya sendiri, dalam hal ini di Turki. Mereka tidak lagi dianggap sebagai orang Turki asli, melainkan dianggap sebagai orang Jerman, seperti terlihat dalam nama yang diberikan kerabat dan tetangga mereka, yakni Helga dan Hans (keduanya adalah nama khas Jerman). Pasangan ini pun melakukan segala upaya untuk mempertahankan penghalang yang ada. Mereka menata rumah mereka seperti layaknya orang Jerman, agar mereka
8 Idem,hal.70 9 Sölcün:LiteraturdertürkischenMinderheit, 2000,hal.140.
10 Tekinay,Alev:DieHeimkehroderTanteHelga undOnkelHans.Dalam:DieDeutschprüfung. Erzählungen.1989,hal.144. Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|658
merasakan suasana yang sama ketika mereka tinggal di München. Mereka mengkritik segala sesuatu di Turki, yang dianggap tidak berfungsi baik seperti di Jerman, Mereka pun mengalami kesulitan menjalin kontak dengan para tetangga, karena dunia mereka bukanlah masyarakat Turki yang mereka sekarang tinggal di dalamnya. Bahkan mereka ketakutan bahwa mereka akan berubah dan akan kehilangan identitas kejermanan mereka. 11 Sedangkan dalam karya Tekinay yang lain yang berjudul Engin im Englischen Garten, dikisahkan mengenai tokoh utamanya yakni Engin, seorang anak muda keturunan Turki dan saudara kembar perempuannya, Emel, yang terpaksa pulang ke Turki mengikuti orang tuanya. Di negara asalnya itu Emel mengalami kebingungan karena segala sesuatunya berbeda sekali dengan situasi di Jerman. Dalam suratnya kepada Engin, Emel menulis, bahwa hanya satu hal yang sama, yaitu Emel tidak merasa menjadi bagian dari Jerman maupun menjadi bagian dari Turki.12 “Di Jerman aku adalah seorang “gadis Turki” dan di Turki aku adalah “orang Jerman”, demikian papar Emel kepada saudara kembarnya. Generasi kedua keturunan Turki ini terkesan lebih sensitif dan lebih terluka dalam menghadapi sikap penolakan dari masyarakat Jerman. Dibandingkan dengan generasi orang tua mereka, generasi muda ini memahami bahasa Jerman dengan baik dan mereka dalam pencarian tanah air yang baru. Tanah air orang tua mereka bukanlah tanah air mereka karena perbedaan cara hidup yang sangat mencolok. Di pihak lain, rasa keterikatan terhadap Jerman juga tidak 11 Ackermann,Irmgard:Integrationsvorstellungen undIntegrationsdarstellungeninder Ausländerliteratur.Dalam:LiLi(Zeitschriftfür LiteraturwissenschaftundLinguistik),Heft56, hal.28dst. 12 Tekinay,Alev:EnginimEnglischenGarten. Erzählung.1990,hal.8
kuat karena adanya sikap kebencian masyarakat Jerman terhadap orang asing. Generasi kedua ini dapat dikatakan tidak memiliki akar kebudayaan. Baik akar budaya Jerman, tempat mereka tumbuh dewasa maupun akar budaya Turki, tanah kelahiran orang tua mereka. Situasi ini membawa kepada hilangnya orientasi. Seperti yang digambarkan Alev Tekinay melalui sosok tokoh utama dalam ceritanya, yang tidak memiliki orientasi, ditarik kesana kemari oleh dua dunia. “Saya adalah seseorang yang memiliki dua rumah. Seperti sebuah pohon, sebuah pohon yang sangat panjang, yang akarnya tertanam di tanah Anatolia, sedangkan bungabunganya bermekaran 13 di Jerman.” E. Fase tahun 1990 – 2000an Fase ini ditandai dengan lahirnya pengarang-pengarang perempuan keturunan Turki seperti Emine Sevgi Özdamar, Renan Demirkan dan Dilek Güngör. Dalam fase ini karya-karya prosa dan roman mendominasi dan bertemakan tentang situasi kehidupan generasi ketiga keturunan Turki di Jerman. Tentu saja terjadi perubahan yang mendasar mengenai pemahaman tentang “Heimat” dan “Fremde”. Generasi ketiga ini mencoba untuk mendefinisikan, bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat Jerman dewasa ini.14 Mereka telah mengembangkan sebuah identitas baru dan menganggap tanah di selat Bosporus (maksudnya Turki) sebagai tanah yang menjadi asing bagi mereka, meskipun seperti sebelumnya masih ada hubungan pribadi yang sangat erat Sebaliknya, Jerman menjadi “Heimat” atau tanah air yang 13 Tekinya,Alev:DieDeutschprüfung.Erzählungen, 1990.Halamanjudul. 14 Chiellino,Gino:InderFremdewirddieHeimat zumParadies.DalamsuratkabarBerliner Morgenpost,3Agustus2000. Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|659
dirindukan keteika generasi muda ini berlibur ke negara asal orang tuanya, Turki. Identitas budaya yang didambakan oleh generasi ketiga ini tidak harus berpatokan pada budaya Jerman maupun budaya Turki. Zehra Cirak, juga seorang penulis perempuan, lebih menyukai perpaduan budaya yang beraneka ragam. Ia menulis: “Aku tidak mengutamakan kultur Turki maupun kultur Jerman. Aku hidup dalam dan merindukan sebuah kultur campuran.”15 Untuk menjawab pertanyaan tentang identitas budaya, Zehra Cirak menolak pemikiran masyarakat yang sudah terpola. Dengan lugasnya dia menulis sebagai berikiut: “[...] aku paling suka bangun tidur dengan gaya Jepang, dari atas tikar di dalam kamar- kamar yang memiliki pintu tembus pandang. Lalu aku ingin sekali sarapan ala Inggris, kemudian bekerja dengan gaya Cina, rajin dan tekun. Aku paling senang makan siang dengan gaya Prancis dan mandi dengan puas dalam gaya Roma, aku ingin sekali hiking seperti orang Bayern dan menari dengan gaya Afrika. [...] Aku sangat menginginkan jatuh tertidur dengan gaya India, yaitu di atas punggung seekor gajah dan bermimpi tentang selat Bosporus seperti orang Turki.” 16 “Heimat” menjadi tema yang tidak aktual lagi bagi pengarang-pengarang muda generasi ketiga ini. Salah seorang penulis muda keturunan Turki yang fenomenal, Feridun Zaimoglu, mengungkapkan dalam bukunya Koppstoff. Kanaka Sprak vom Rande der Gesellschaft, melalui tokoh Mihriban, seorang wanita penjual sayur mayur. Salah satu kutipannya adalah: “Saat ini aku tidak memerlukan 15 Cirak,Zehra:Kulturidentität.Dalam:Vogelauf demRückeneinesElefanten.Gedichte.1991,hal. 94. 16 Idem,hal.94.
tanah air. Aku sudah terbebas darinya. Apa yang dilakukan orang-orang yang memiliki tanah air? Apakah keadaan mereka lebih baik? Menurut saya, dalam hidup seorang manusia itu yang mempunyai arti adalah makna apa yang diberikannya kepada hidup. Aku tidak ingin lagi membayar sepeserpun. Cukup sudah! Aku tidak mau membuang-buang tenaga untuk bersedih atas suatu hal, yang tidak akan dapat kumiliki.” 17 Feridun Zaimoglu memakai Kanaka Sprak sebagai judul karyanya, yang bila dilihat secara etimologis berasal dari kata “Kanaken” yang arti harafiahnya “kecoak”, istilah yang sering dipakai orang Jerman untuk mengejek golongan minoritas terutama warga keturunan Turki. Sedangkan “Sprak” berasal dari kata “Sprache” yang berarti bahasa. Dengan istilah “Kanaka Sprak” ini Zaimoglu seakan ingin menamai sebuah bahasa baru, yang merupakan penemuan hasil karya dan bahasa yang hanya dimengerti warga keturunan Turki di Jerman. Lain lagi dengan Osman Engin, seorang penulis satire yang telah banyak menghasilkan kumpulan satire dan karyakarya prosa lainnya. Dalam Ich bin Papst! Engin mengisahkan dengan jenaka dan kritis tentang sikap seorang petugas kantor imigrasi untuk orang asing. Engin yang selalu memakai nama “Osman” untuk tokoh utamanya ini menceritakan proses berbelitbelit yang dialami seorang warga keturunan Turki untuk memperoleh kewarganegaraan Jerman dan bagaimana ia sangat direndahkan oleh petugas tersebut. Misalnya ia disapa dan diajak bicara dengan bahasa Jerman gaya Tarzan, bukan dengan bahasa Jerman yang baik dan benar, seakan-akan semua orang asing tidak mampu berbahasa Jerman. Bahkan ketika tokoh Osman ini 17 Zaimoglu,Feridun:Koppstoff.KanakaSprakvom RandederGesellschaft.2000,hal.43. Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|660
menjawab dengan bahasa Jerman yang sempurna, ia ditanggapi dengan kasar.18 Bahasa Jerman yang sangat rumit karena aturan tata bahasanya itu pun menjadi sasaran kritik Engin. Dalam satirenya yang berjudul Tag der Beschimpfung der deutschen Sprache Engin “menganalisis” kata sandang bahasa Jerman yang terdiri dari tiga jenis kelamin (der = maskulin, die = feminin, das = netral). Engin mempertanyakan mengapa Weib (perempuan) memiliki kata sandang das, sedangkan Tomate (tomat) memiliki kata sandang die. “Apakah tomat lebih feminin dan lebih eksotis dibandingkan seorang perempuan?”19 Engin melanjutkan kritikannya tentang bahasa Jerman ini dengan menuliskan: “Dan dengan kata sandang yang benar-benar tidak logis dan ditentukan seenaknya ini orang Jerman memaksa warga pendatang untuk melakukan ujian bahasa Jerman. Bisa- bisa seluruh turis Jerman yang berlibur ke Ballerman (di Mallorca, Spanyol, tempat liburan favorit banyak orang Jerman) tidak boleh kembali pulang ke Jerman, jika di perbatasan dilakukan test bahasa Jerman kepada mereka. Apalagi orang-orang Schwabia, Sachsen, Ostfriese dan Bayern, mereka sudah pasti tidak akan lulus test tersebut.”20 Dalam kutipan di atas Engin jelasjelas mengejek orang Jerman asli yang berbahasa ibu Jerman, namun tidak mempunyai kemampuan bahasa Jerman yang memadai. Engin dengan terangterangan mengungkapkan bahwa suku-suku bangsa Jerman tertentu, yaitu orang Schwabia (utamanya berasal dari wilayah Württemberg, Jerman Selatan), orang 18 Engin,Osman:IchbinPapst!.Dalam:West östlichesSofa.NeueGeschichtenvonDon Osman.2007,hal.79. 19 Idem,hal.22. 20 Idem,hal.23.
Sachsen (dari wilayah Sachsen, Jerman Timur), orang Ostfriese (dari wilayah Ostfriesland, Jerman Utara) dan orang Bayern (dari wilayah Bavaria, Jerman Selatan), sama sekali tidak bisa berbahasa Jerman sesuai dengan kaidah yang benar. Namun mengapa pemerintah Jerman mewajibkan warga asing yang ingin tinggal di Jerman (bukan hanya yang ingin mengajukan permintaan sebagai warga negara Jerman) dituntut untuk mengikuti ujian kemahiran berbahasa Jerman. Salah seorang penulis perempuan dalam generasi ketiga ini adalah Dilek Güngör, yang lahir dan dewasa di Jerman. Ia menulis banyak esai dengan mengamati seraya merefleksikan kehidupannya dan keluarganya yang berasal dari Turki. Meskipun ia mengecap pendidikan di sekolah Jerman dan bergaul dengan temanteman Jerman, Dilek Güngör tetap tidak bisa lepas dari budaya Turki, negara asal orang tuanya. Dalam kumpulan esainya yang berjudul Ganz schön Deutsch. Meine türkische Familie und ich Güngör menceritakan kejadian sehari-hari yang dialaminya, utamanya dalam interaksinya dengan orang tuanya, adik perempuannya serta paman dan bibinya. Meskipun orang tuanya sudah lama tinggal di Jerman, namun banyak kebiasaan dari Turki yang tetap dipertahankan, misalnya dalam hal kuliner. Juga kebiasaan bibi Hatice yang hampir setiap hari datang ke rumah keluarga Güngör dan kemudian makan bersama. Tak ketinggalan sikap bibi Hatice yang sering kali ikut mencampuri urusan kedua keponakan perempuannya itu. Hal-hal tersebut tidak menjadi masalah besar bagi Güngör dan adiknya, yang sebenarnya sudah sangat terinternalisasi dengan budaya Jerman. Güngör berhasil memandang kehidupan sehari-hari di Jerman dengan sikap yang santai dan cenderung bernada
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|661
humor. 21 Ia mampu bernegosiasi dengan kedua kultur yang membentuk kepribadiannya. Dari uraian dalam makalah ini terungkap dengan jelas, bahwa sastra migran karya pengarang-pengarang keturunan Turki ini telah mewarnai khasanah kesusastraan Jerman kontemporer. Dalam sebuah masyarakat yang multikultural seperti yang terjadi di Jerman dewasa ini, sastra migran merupakan genre yang penting untuk dibaca secara luas. Dari sana terlihat apakah integrasi antara warga Jerman “asli” dan warga pendatang telah berjalan dengan baik. Selain itu sastra migran dapat menjadi cermin bagi masyarakat Jerman untuk mengenali kulturnya, bangsanya maupun bahasanya sendiri.
21 Güngör,Dilek:GanzschönDeutsch.Meine türkischeFamilieundich.2007. Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|662
Daftar Pustaka Pustaka primer Cirak, Zehra: Vogel auf dem Rücken eines Elefanten. Gedichte. Köln 1991. Dikmen, Sinasi: Wir werden das Knoblauchkind schon schaukeln. Berlin 1983. Engin, Osman: West-östliches Sofa. Neue Geschichten von Don Osman. München 2007. Güngör, Dilek: Ganz schön Deutsch. Meine türkische Familie und ich. München 2007. Pazarkaya, Yüksel: Ich und die Rose. Hamburg 2002. Tekinay, Alev: Die Deutschprüfung. Erzählungen. Frankfurt am Main 1989. idem: Engin im Englischen Garten. Erzählung. Ulm 1990. Zaimoglu, Feridun: Koppstoff. Kanaka Sprak vom Rande der Gesellschaft. Hamburg 2000. Pustaka sekunder Ackermann, Irmgard: Fremde Augenblicke. Mehrkulturelle Literatur in Deutschland. Bonn 1996. idem. Integrationsvorstellungen und Integrationsdarstellungen in der Ausländerliteratur. Dalam: LiLi (Zeitschrift für Literaturwissenschaft und Linguistik), Heft 56. Göttingen 1984. Chiellino, Gino: In der Fremde wird die Heimat zum Paradies. Dalam surat kabar Berliner Morgenpost, 3 Agustus 2000. Hamm, Horst: Fremdgegangen – freigeschrieben. Eine Einführung in die deutschsprachige Gastarbeiterliteratur. Würzburg 1988. Pazarkaya, Yüksel: Rosen im Frost. Einblicke in die türkische Kultur. Zürich 1989. idem. Stimmen des Zorns und der Einsamkeit in Bitterland. Wie die Bundesrepublik Deutschland zum Thema der neuen türkischen Literatur wurde. Dalam majalah “Zeitschrift für Kulturaustausch”. Mei 1985. idem. Türkiye Mutterland – Almanya Bitterland. Das Phänomen der türkischen Migration als Thema der Literatur. Dalam: Kreuzer, Helmut dan Seibert, Peter (eds.): LiLi, Zeitschrift für Literaturwissenschaft und Linguistik. Gastarbeiterliteratur. Heft 56. Göttingen 1984. Sen, Faruk: Türkische Minderheit in Deutschland. Bundeszentrale für politische Bildung. Informationen zur politischen Bildung. Heft 277. Sölcün, Sargut: Literatur der türkischen Minderheit. Dalam: Chiellino, Carmine (ed.): Interkulturelle Literatur in Deutschland. Stuttgart 2000. Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|663