Catatan Tentang RABET Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski KARYA SASTRA BAGI PENCERAHAN KEBUDAYAAN DUNIA Maria Matildis Banda Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unud
Abstract : RABET The collapse of East Germany is a novel by Martin Jankowski. This novel presents a tragic irony for the unification of both German. This novel approach is discussed with receptive (me as a reader) and the concept of simple appreciative through sympathy, empathy, and self-reflection to build a theoretical relationship between literature, history, and culture in view of the cause. RABET is a historical novel that presents to the world another side of the people who participated in the struggle but marginalized. Crushed fragments of hope that political reality, economic, and power. This novel reveals that the feeling is one of the most understanding of history. Literary work is one of the bridges of the world spirituality. There is the same part of the nations (whatever their background) in this universe: self-esteem and dignity that must be respected by other nations. There is the same part of every human being (where did he come from): passion of love and longing, a desire to enjoy the quiet, deserted, abandoned, and the desire to embrace a bright future for history and culture better for children successor generation ... Keywoods: Rabet, novel, sociology literature
I.
Pendahuluan
Jerman negara buku. Dengan lebih dari 95.000 judul buku baru dan cetakan ulang per tahun, Jerman termasuk negara penghasil buku terkemuka di dunia. Setiap tahun dijual hampir 9.000 lisensi untuk penerbitan edisi terjemahan buku Jerman di luar negeri. Setiap bulan Oktober dunia penerbitan berkumpul di Jerman
Disampaikan dalam acara Peluncuran Novel RABET Runtuhnya Jerman Timur Karya Martin Jankowski di Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, Jumat 10 Desember 2010.
Martin Jankowski. Penulis novel. Kurator Festival Sastra Internasional Berlin dan penanggung jawab Program “Seni dan Budaya di Penjara” pada Proyek Uni Eropah, Direktur Jakarta Berlin Arts Festival 2011.
83
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
untuk menghadiri pertemuan terbesar di sektor perbukuan, Pekan Raya Buku Internasional Frankfurt. Pekan raya buku lebih kecil yang dilaksanakan pada musim semi di Leipzig menjadi acara tetap yang cukup berhasil. Negara besar dan terkemuka dalam dunia buku menunjukkan besar dan terkemuka juga dalam hal baca. Mengingatkan kenangan dunia pada Jerman dan Anne Frank yang terkenal dengan catatan hariannya. Gadis kecil yang menulis dalam usia 12 – 14 tahun tentang sejarah kekuasaan Nazi yang kejam, tentang kebudayaan dunia yang diguncang permusuhan ras, tentang kerinduan akan kebebasan yang dipasung sampai habis oleh nafsu membunuh dan berkuasa Hitler pada masa perang dunia II. Jerman juga terkenal dengan Winnetou I, II, III, dan IV ditulis karya Karl May. Winnetou yang membuat pembaca terkagum-kagum pada detail setting, alur, dan karakter tokoh-tokohnya. Novel yang sangat etnografis. Sifat etnografisnya tampak pada deskripsi terperinci dan analisis kebudayaan didasarkan pada kerja lapangan yang intensif (Bakker, Kris, 2009: 29). Meskipun nyatanya Karl May sendiri tidak pernah (?) melakukan perjalanan etnografis ke dalam topografi, geografi, dan kebudayaan suku-suku Indian (pusat konsentrasi Winnetou 1 sampai IV). Karl May sanggup membangkitkan imajinasi yang luar biasa, melahirkan gagasan-gagasan besar, mendunia, turun-temurun, dan menetap melalui kekuatan membaca. Sebuah “deskripsi mendalam dari multiplisitas struktur konseptual yang kompleks termasuk berbagai asumsi yang dituturkan dan diterima apa adanya tentang kehidupan kultural” (Geerts, 1973 melalui Bakker, Chris, 2009: 29) sukusuku Indian yang dinarasikan melalui novelnya karena kekuatannya membaca sejarah dan kebudayaan. Kehidupan kultural Jerman Barat dan Jerman Timur jauh setelah Winnetou dalam masa hidup Karl May dan setelah bencana dunia dalam Catatan Harian Anne Frank (otobiografi yang sangat sastrais dan historis), tentu berbeda dari sisi waktu dengan RABET, Runtuhnya Jerman Timur (selanjutnya ditulis RABET) karya Martin Jankowski. Namun, memiliki benang merah tak terputus dari sisi alur sejarah dan kebudayaan. Ada semacam kesetiaan sejarah (historical faithfulness) yang dijelaskan Margana (2003) saat membahas . “Sastra Hindia Belanda dan Rekonstruksi Sejarah: Studi Terhadap De Stille Kracht karya Louis Couperus” bahwa “ada beberapa keharusan sejarah yang ditampilkan, yang berupa sikap dan tindakan-tindakan tokoh yang didasarkan pada basis sosial tertentu yang cukup konsisten dalam novel” (Margana, 2003: 161) termasuk dalam RABET Ketika dihadapkan dengan RABET ada harapan untuk bertemu lagi dengan deskripsi dan kepiawaian imajinasi Karl May bernarasi dan kekuatan membaca
84
Sastra http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/kebudayaan/main-content-09/sastra.html Winnetou I, II, III, dan IV karya Karl May. Jakarta: Pustaka Primatama.
Catatan Tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra Bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia Maria Matildis Banda
dan memformulasikan pengalaman bersembunyi selama lebih dari dua tahun dalam tekanan perang dan ancaman kematian pada Anne Frank. Yang pasti, RABET karya Martin Jankowski ini menggoreskan catatan serius tentang sejarah, kebudayaan, dan sastra universal yang sanggup melokalkan keuniversalan. Kesempatan untuk memberi tempat kepada karya sastra yang belum banyak dikenal, memberi kesempatan berpikir multi interpretasi dalam lintas disiplin terhadap karya-karya sastra dengan kekuatan imajinatifnya masing-masing, untuk menemukan bagaimana karya itu menjadi bagian dari pencerahan sejarah dan kebudayaan dunia. Mantan Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl, mantan Presiden AS George Bush senior dan mantan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet Gorbachev, adalah ketiga tokoh yang berjasa besar atas unifikasi Jerman. Ketiganya telah menerima penghargaan Persatuan Jerman yang dinamakan “Checkpoint Alpha Ausschuss” oleh Komite Persatuan Jerman. Ketiga sesepuh ini sependapat bahwa persatuan Jerman adalah detik-detik membahagiakan di dalam sejarah umat manusia (Ruang Hati, 07 November 2009). Benarkah bersatunya Republik Demokrasi Jerman (Jerman Timur) dan Republik Federasi Jerman (Jerman Barat) adalah kebahagiaan dalam sejarah umat manusia? Pertanyaan ini tidak berarti apa-apa dan mungkin juga tidak penting bagi Jerman Bersatu. Setelah sekitar 40 tahun dibatasi hording besi pemisah, kawat berduri, pos penjagaan, ladang beranjau, dan area langsung tembak di tempat yang memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat (Juta Kunza, 2010). Untuk apa bertanya? Apalagi 20 tahun sudah berlalu sejak 1989, pertanyaan tersebut menjadi lebih tidak berarti lagi. Pertanyaan ini berarti untuk mengerti apa kata RABET Runtuhnya Jerman Timur, sebuah novel karya Martin Jankowski. Novel terjemahan Dr. Sufriati Tanjung dari judul asli RABET oder Das Verschtung Roman (1999). Dengan catatan pengantar novel yang enak dibaca oleh penterjemahnya - dosen Struktur dan Penerjemahan Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman FBS Universitas Negeri Yogya novel ini membuka pikiran tentang pentingnya karya sastra bagi pencerahan dunia sebagaimana dijelaskan di atas. Membaca Rabet sama halnya dengan membaca sejarah dalam sastra atau membaca sastra dalam sejarah, dengan menggarisbawahi sejarah Jerman Timur dan Jerman Barat, perang dingin, tembok Berlin, dan runtuhnya tembok Berlin sebagai realitas sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. RABET menjelaskan “Sejarah sebagai sebuah realitas hanya ada pada masa lalu. Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pencerahan intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain” (Purwanto Bambang, 2003: 131). RABET hadir sebagai sebuah karya sastra sejarah karena 85
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
Rabet (karya sastra) “berhasil menampilkan citra dirinya sejajar sebagai sejarah” (Idem) runtuhnya Tembok Berlin. RABET “mampu menghadirkan situasi faktual dari masa lalu”(Idem) Jerman Barat dan Jerman Timur “sebagai sebuah naratif melalui imajinasi kebahasaannya. Dalam hal ini kebenaran sejarah dan kebenaran sastra adalah kebenaran relatif “(Idem). Hal ini ditemukan dalam Winnetou (novel), Catatan Harian Anne Frank (otobiografi), dan Rabet Runtuhnya Jerman Timur. RABET akan dijelaskan lebih lanjut. Novel ini dibahas dengan pendekatan reseptif (saya sebagai pembaca) dan konsep apresiatif sederhana melalui simpati, empati, dan refleksi diri untuk membangun relasi teoretis antara sastra, sejarah, dan kebudayaan. Studi resepsi menyatakan bahwa pemahaman selalu berasal dari posisi dan sudut pandang orang yang paham, yang tidak hanya melibatkan reproduksi makna tekstual namun juga produksi makna oleh pembacanya (Gadamer, 1976; Iser, 1978 melalui Bakker Chris, 2009: 35). Resepsi sinkronis pada umumnya meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sejaman, memberi perhatian kepada aspek estetika bagaimana karya sastra ditanggapi, dengan horison harapan yang diadopsi melalui pemahaman kebudayaan masa lalu (Kutha Ratna, 2006: 163-169). Simpati membaca karya ini sampai selesai dengan membuat catatan-catatan penting tentang alur cerita, karakter tokoh-tokoh, dan latar cerita. Empati, terlibat dengan teks, mengambil jarak dengan teks, dan membuat catatan-catatan kritis dalam perspektif sejarah tentang tokoh, latar, melalui alur cerita. Refleksi diri yaitu mengambil makna cerita dan berusaha menemukan makna dominan dari sastra, sejarah, dan kebudayaan yang membidani lahirnya sebuah karya sastra. Dengan pendekatan reseptif, seluruh proses simpati, empati, dan refleksi diri dalam hubungannya dengan sejarah dan kebudayaan, selanjutnya ditulis dalam: Sebuah Ironi Tentang Unifikasi Jerman terdiri dari Tak Pernah Ada Kesempatan Ketiga, Jerman Timur Sudah Berlalu, dan Persatuan Telah Memisahkan; dan Estetika Rabet Runtuhnya Jerman Timur terbagi dalam Surat Dari dan Untuk Sophie, Ayah Ibu dan Anak, Seseorang yang Paling Mengerti Tentang Sejarah. 2. Sebuah Ironi Tentang Unifikasi Jerman 2.1 Tak Pernah Ada Kesempatan Ketiga Membaca RABET Runtuhnya Jerman Timur (selanjutnya ditulis RABET) novel karya Martin Jankowski menyuguhkan sebuah ironi yang mengenaskan bagi bersatunya kedua Jerman. Penyatuan Jerman yang dirayakan setiap tanggal 03 Oktober itu bukankah tujuan perjuangan Benyamin Grasmann salah satu anggota 86
Catatan Tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra Bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia Maria Matildis Banda
Kelompok Reformasi Leipzig dan para pendemo damai dalam RABET. Masa-masa menegangkan dalam pergerakan Benyamin bersama Gesa, Mario dan Dorothee, Adrian, dkk terbagi beberapa bagian: 1) Ke sana Tempat Terjadi Keresahan; 2) Mari Kita Coba; 3) Tempat Untuk Berbicara; 4) Lebih Hebat daripada Yang Diduga; 5) Tersaruk-Saruk dalam Kaldu (Kalbu?); 6) Itu Menjadi Serius, Serius; 7) Benar-Benar Berakhir; 8) Pintu Terbuka; 9) Fakta. RABET menjadi sangat manis sebagai sebuah karya sastra, novel, karena adanya pembuka kisah dengan balasan surat dari Grasmann untuk gadis kecil 10 tahun usianya, Sophie namanya tertanggal 30 dan 31 Desember dari Yerusalem, Prolog 1985, dan Epilog untuk Sophie. September 1987 Benyamin Grasmann tokoh utama RABET menyelesaikan wajib militer dan menetap di rumah orangtuanya di Eblingen dengan perasaan hampa: putus cinta dengan Tabea dan dipecat di depan tangsi saat menjalani Wajib Militer. Ben lari ke Leipzig “dengan pertimbangan matang aku memilih kota ini sebagai tempat pelarianku” (R. 17) dan tinggal di sebuah rumah sepi di Jalan Rabet. Perkenalannya dengan Hartmut Odin yang bekerja sebagai “moderator swasta” mengantar Ben masuk ke dalam perjuangan membebaskan Jerman Timur dari cengkraman negara sosialis yang ditaktor. Selanjutnya perkenalannya dengan Gesa pemain saxofon (perempuan yang berpengaruh besar dalam alur cerita dan kisah hidup Ben selanjutnya) membuat Ben “belajar menjadi manusia yang utuh, tanpa batin yang tergantung pada seorang perempuan. Semacam kebebasan” (R.35) dari masa lalunya bersama Tabea dan rekamannya tentang wajib militer. Melalui Gesa dan Odin, relasi Ben meluas. Dia berkenalan dengan Mario (mahasiswa kedokteran yang dipecat dari kampusnya) pemain saxofon, Dorothee kekasih Mario. Selanjutnya, dengan mencipta lagu, bermain musik, berjuangan mereka penuh warna. Kebaktian damai setiap Senin di Gereja Nikolai adalah forum yang paling menentukan lajunya perjuangan. Demikian juga pidato di cafe mahasiswa, pusat kebudayaan, dan upaya mereka menyebarkan selebaran-selebaran pembebasan. Ben sebagai pencipta lagu, pemain musik, dan juga pembicara berusaha membakar energi pendengar melalui pidato dan lagu-lagu puitisnya. Mereka menuntut perubahan politik negara sosialis menjadi sebuah negara demokratis. Ben bermain musik dan bernyanyi di Moritzbastei, klub mahasiswa terbesar di Leipzig dan Gereja Nikolai. Dia menyanyikan lagu yang menghipnotis pendengar, membuat pendengar terdiam, namun meresahkan menurut Gesa, karena menyiratkan kesuraman dan kritik terhadap kekuasaan yang membelenggu. Namun, aktivitas Ben dan kawan-kawan ternyata membangkitkan semangat untuk kebebasan. Perhatikan salah satu lyrik ciptaan Ben berikut:
87
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
Di atas meja terletak sebuah rekening Kita robek-robek kertas itu dan hidup sekehendak kita Kita tak peduli diktator mayoritas Harapan sebagai prinsip sudah hilang Berapa lama lagi kita harus menunggu yang dijanjikan Hidup di surga yang kapan-kapan Yang mungkin tiba pada saat tenang Dan waktu terbaik tak berguna pada saat itu (R. 63, 64). Bersama dua tokoh perempuan yang sangat aktif Gesa dan Dorothee disertai penangkapan dan intimidasi pihak kekuasaan, perjuangan mereka berkobar. Ternyata perjuangan di Leipzig berhasil menggoncang-gancing pemerintahan Jerman Timur. Novel ini menjadi sebuah ironi bagi para pejuang pembebasan dari pemerintahan Jerman Timur yang diktator. Ironi ini sanggup disuarakan Ben, Gesa, dan Sophie dalam kesepian hidup akibat dari penghakiman sejarah. Di sinilah empati, simpati, dan refleksi pembaca lebih memiliki ruang-ruang metaforis untuk mengalami penyembuhan. Bahwa selayaknyalah memiliki pemahaman bahwa sejarah sebuah negara dan bangsa bukan milik individu, meskipun ada individu tertentu yang berjuang keras untuk mewujudkannya – tetapi milik rakyat, komunitas pemilik sejarah bangsa. Cita-cita untuk membangun negara demokrasi yang tetap “Jerman Timur” tidak tercapai oleh individu-individu, selanjutnya tidak ada pemerintahan baru yang demokratis untuk kesempatan ketiga, selain kapitalis dan sosialis. Bagi orang yang berharap Jerman Timur tetap berdiri mengalami kekecewaan, baik secara pribadi maupun sejarah setelah menyatunya Jerman Timur ke Jerman Barat pada tanggal 03 Oktober 1990, hari perayaan nasional Negara Jerman. Sebagaimana dirasakan pula oleh Ben Grasmann (Kunze, 2010). 2.2 Jerman Timur Sudah Berlalu Pantas benar novel ini berjudul RABET Runtuhnya Jerman Timur, bukan runtuhnya Tembok Berlin sebuah simbol “perang dingin” blok barat dan blok timur yang menyakitkan. Realitasnya, Jerman Timur lenyap menyatukan diri ke Jerman Barat dan menjadi Jerman. Hal ini melukai Ben Grasmann yang sungguh mencintai negaranya (Jerman Timur) dan begitu kuatir dengan upaya penyatuan Jerman. Seperti yang dikatakannya. “...aku khawatir gabungan ekonomi kedua 88
Catatan Tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra Bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia Maria Matildis Banda
pemerintah Jerman tidak bisa dihindari lagi... yang terpenting kemandirian politik bisa dijaga selama mungkin, agar dengan begitu masyarakat bisa memiliki struktur perekonomian yang lebih baik. Baru setelah itu diputuskan masa depan secara serius” (R. 254). Perubahan tidak sama dengan pembubaran. Namun kenyataannya perjuangan di kota budaya dan kotanya mahasiswa, Leipzig, melebur menyeberangi tembok, bubar, dan lenyaplah Jerman Timur. Bagi sebagian warga Jerman Timur, pejuang demokrasi, pendemo, dan pemegang sejarah tanah air, bersatunya Republik Demokrasi Jerman (Jerman Timur) dan Republik Federasi Jerman (Jerman Barat) bukanlah kebahagiaan dalam sejarah umat manusia tetapi kehilangan. Tokoh Ben dalam novel ini merasakan betul betapa pahitnya kehilangan, satu hal yang sangat bertolak belakang dengan Gesa (yang ketika itu tengah hamil anaknya). Gesa yang cerdas dan pada saat-saat terakhir lenyapnya Jerman Timur justru membangkitkan semangat warga untuk berteriak lantang “Jerman satu tanah air! Jerman satu tanah air!” (R. 254, 255) sementara Ben berpikir tentang “...kita akhirnya harus mandiri. Kerja sama dengan Barat dalam bidang ekonomi, pada aspek informal, kemandirian, yang berkaitan dengan struktur politik dan sosial” (R.255). Kehidupan berubah total. Dengan latar belakang Timur yang sosialis dan Barat yang kapitalis, dalam sekejab tawaran kebebasan pasar, pasar murah, dan lajunya jual beli dan obral serba terjangkau masuk ke Timur. Ben dan Gesa bepergian sebagai Utusan dari Timur ke Hamburg, Frankfurt, Koln, Munich dan lainnya. Jumpa pers, penerimaan di Dewan Kota makan malam bisnis di restorn Cina, percakapan panjang di perpustakaan, publikasi di TV Jerman dan lainnya, “Terlalu asing, terlalu mudah, terlalu beraneka warna. Begitulah keadaan kami, seolah-olah kami diketapel, meluncur ke abad yang lain. Hari-hari di Barat seperti keberadaan kami di pasar malam. Kami selalu terheran-heran (R. 269). 3. Persatuan Telah Memisahkan Berbagai perubahan di Barat dan kondisi kamarnya yang dingin, sempit, dan sederhana di Rabet (Timur), sangat mempengaruhi pikiran Gesa. Gesa menganggap Ben –pencipta lagu, pemain musik – “Cuma memetik gitar” (R. 272) menurut Gesa, tidak dapat menjanjikan masa depan gemilang yang diimpikannya bersama anaknya kelak. “Banyak yang terjadi pada diriku. Tetapi, tak ada yang terjadi padamu, itulah masalahnya Ben” (R.271). Hubungan Ben dan Gesa menjadi renggang karenanya. Pada saat itu diketahui di antara teman seperjuangan ada yang bertindak sebagai mata-mata. “Dr. Bergmann perwira dengan tugas khusus, Magnus (pendeta Gereja Nikolai) ternyata petugas informal, Odin staf bagian kemasyarakatan 89
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
keamanan...kelompok bawah tanah Krake. Jadi, kita dinamai Krake” (R.273, 274). Keresahan Ben ditambah lagi dengan disaksikannya di layar televisi Dr. Bregmann menjelaskan tujuan partainya, Mario diapit dua orang petinggi pemerintah dari Barat dan Timur bicara tentang tujuan revolusi damai. Magnus pergi menerima hadiah perdamaian ke Frankfurt. Tuduhan Odin pada Mario yang dianggap sebagai “...yang menggadaikan negara kita ke Barat. Yang merusak segalanya” (R.262), penangkapan Odin atas perintah Mario, Adrian bunuh diri, dan membekunya sikap Gesa karena menganggap Ben bukan siapa-siapa. Hubungan keduanya berakhir tepat pada hari Sophie dilahirkan. Persatuan Jerman Timur dan Jerman Barat telah memisahkan Gesa, Ben, dan sophie anaknya. Tujuan perjuangan selalu tidak sama bagi setiap orang dan setiap kelompok yang memiliki kepentingan masing-masing. Itulah yang terlukis dalam RABET. Perjalanan panjang menuju demokrasi dan perubahan masa depan berakhir secara ironi. Jarak antara kepentingan politik dan perjuangan dan cita-cita pribadi begitu jauh. Ketiga tokoh dunia Mantan Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl, mantan Presiden AS George Bush senior dan mantan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet Gorbachev, mereka bertiga menyandang predikat cantik sebagai pemersatu Jerman. Mereka dianggap paling berpengaruh bagi runtuhnya Tembok Berlin dan unifikasi Jerman secara damai. Ketiganya menerima penghargaan Persatuan Jerman yang dinamakan “Checkpoint Alpha Ausschuss” oleh Komite Persatuan Jerman. Namun, pada salah satu sudut yang lain di Rabet, Leipzig ada yang ditinggalkan sendirian dalam sebuah dunia yang telah runtuh. Ini sebuah novel sejarah yang menghadirkan kepada dunia sisi lain dari orang-orang yang turut dalam perjuangan tetapi tersisihkan. Penggal-penggal harapan yang digilas kenyataan politik, ekonomi, dan kekuasaan. Jerman Timur bukan Timor-Timur. Namun ada bagian yang sama dalam sejarah penentuan nasib negaranya. Tahun 1975 ketiga Portugal memberi kebebasan politik bagi warga Propinsi Seberang Lautan itu, muncullah kelompok-kelompok partai atau sejenisnya dengan tujuan politik yang berbeda: bergabung dengan Indonesia, tetap bersama Portugal, atau berdiri sendiri sebagai sebuah negara. Kenyataan politik ketika itu membawa Propinsi Seberang Lautan itu menjadi bagian dari Republik Indonesia. Yang terjadi selanjutnya adalah benturan kepentingan yang mencabik-cabik relasi yang paling hakiki dari hidup: keluarga, sanak saudara, dan para sahabat, terpisah dan terpecah belah karena pilihannya masing-masing yang
90
Novel Surat-Surat dari Dili, 2005. karya Maria Matildis Banda. Melalui tokoh-tokoh dalam novel ini dijelaskan bahwa yang paling menyakitkan dari sejarah lahirnya sebuah wilayah teritorial, sebuah negara, adalah hancurnya rasa cinta dan rasa sepenanggungan dalam keluarga. Bahwa politik dengan tujuan yang paling mulia sekalipun adalah sebuah “senjata” yang sanggup membangun juga meruntuhkan keutuhan keluarga dan persahabatan
Catatan Tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra Bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia Maria Matildis Banda
membekaskan rasa sakit dalam kalbu. Ben pergi ke Yerusalem, Gesa dan Sophie anaknya tidak ditemukannya lagi dalam RABET Isabella bagai layang-layang putus kehilangan jejak cinta dan masa lalu keluarga di Dili, sementara Fernando bergegas kembali ke Portugal, dalam Surat-surat dari Dili (Maria Matildis Banda). Apakah artinya makna sejarah, martabat, dan harga diri individu dan bangsa? Jika mau mengambil makna cerita dari Jerman yang sangat luar biasa dari Karl May, Winnetou I, II, III, dan IV sebenarnya tidak begitu sulit melukiskan apa yang disebut harga diri dan martabat bangsa. Old Shatterhand sudah mengajarkannya bersama Winnetou ketua suku Apache. Bahwa “...perdamaian dunia diperoleh dengan persahabatan...kebudayaan lokal harus dihidupkan –suatu seruan sayupsayup untuk telinga modern sekarang tentang pluralisme dan multikulturalisme. Karenanya Jerman Timur tidak seharusnya melebur ke Jerman Barat, sebagaimana harapan Ben Grasmann. 3. Estetika Rabet Runtuhnya Jerman Timur 3.1 Surat dari dan Untuk Sophie Bagian yang paling mengesankan dari RABET Runtuhnya Jerman Timur adalah surat dari Sophie yang tertuang dalam surat untuk Sophie, 30 dan 31 Desember 1999, Prolog 1985, dan Epilog Untuk Sophie. Inilah pertemuan alur cerita, perwatakan tokoh-tokoh, dan setting cerita yang sesungguhnya. Pertemuan yang cukup membekas dan mengenaskan bagi estetika RABET sebagai sebuah novel yang mencoba menyampaikan pesan melalui sejarah runtuhnya Jerman Timur. Aku telah benar-benar meruntuhkan jembatan masa laluku. Dan tidak terpikirkan olehku mengapa aku melakukannya. Aku benar-benar telah lupa bahwa hal itu berhubungan denganmu. Aku ingin sekali melupakan semua. Tak satu pun yang bisa melumpuhkanku, juga rasa sakit yang tidak bisa dihindarkan itu. Aku tak mau bingung menatap kembali masa lalu, ke duniaku yang runtuh, yang dulu aku huni. Suatu dunia yang ingin kuubah, tetapi sekaligus tidak ingin kutinggalkan (R.2). Ekspresi kekecewaan Ben Grasmann yang kehilangan Gesa dan Sophie adalah bagian dari kehilangan Jerman Timur yang telah lenyap, tetapi tetap menjadi bagian dari masa lalu. Mengingatkan juga pada Fernando dan Isabella yang tidak pernah benar-benar ikhlas membiarkan sejarah tanah leluhurnya di Propinsi Seberang Lautan
Daniel Dhakidae, 2007. “Winnetou, Old Shatterhand, dan Humanisme Karl May” dalam Winnetou IV. Jakarta: Pustaka Primatama
91
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
lenyap ditelan “pertikaian damai” bagi nasib sebuah bangsa. Siapakah sebenarnya yang berhak menentukan nasib sebuah bangsa, masa depan sebuah negara kalau bukan warga pemiliknya sendiri? Catatan yang paling menyakitkan terguris dalam Winnetou, bagaimana nasib sebuah bangsa digunting perlahan-lahan sampai habis oleh bangsa lain yang konon lebih memiliki martabat. Realitas sejarah barangkali tidak sampai mengambil tempat untuk merasakan hal ini, dan justru inilah ruang bagi karya sastra sejarah untuk dengan pasti mengambil tempat. Sejak munculnya Perang Dingin (Cold War), Berlin pecah dalam blok Barat dan blok Timur. Pada tahun 1948 Uni Soviet melakukan blokade dengan upaya memecahkan Barat dan Timur. Pertikaian meningkat tajam, negara Jerman pun dibagi menjadi dua wilayah, Deutschland Demokratische Republik (DDR) dengan ibu kota Berlin Timur di bawah kuasa Uni Soviet dan Bundes Republik Deutschland (BRD) dengan ibu kota Berlin Barat di bawah kuasa Amerika Serikat. Pertikaian itu dipertegas dengan berbagai kekhawatiran pengungsian dari Berlin Timur ke Berlin Barat, sehingga pada 13 Agustus 1961 tembok perbatasan Berlin Barat dan Berlin Timur dibangun oleh 40.000 tentara dan polisi Berlin Timur sepanjang 155 kilometer dengan kawat berduri di sepanjang perbatasan. Tercatat, ada 254 orang yang meninggal karena berupaya menyeberang melalui Tembok Berlin (SM. Nasution, 2009). Terasa benar bahwa nasib sebuah bangsa ditentukan oleh kekuatan bangsabangsa lain. Sejujurnya, yang paling pribadi dari perjalanan individu warga bangsa pun dikerangkeng oleh kepentingan kekuasaan politik yang lebih besar. Fernando dan Isabella pun tidak pernah sanggup menentukan nasib dirinya, keluarganya, apalagi bangsanya sendiri dalam Surat-Surat dari Dili, oleh Winnetou kepala suku Apache dalam Winnetou. Rasa sakit yang juga disadari benar oleh Grasmann dalam RABET
Tahukah kamu, bulan sabit di langit malam hari di Yerusalem tampak seperti sebuah perahu yang berlayar di laut gelap? Di Jerman, bulan sabit itu tampak seperti kuku raksasa melewati awan (R. 2).
Apakah perahu di lautan gelap ataukah kuku raksasa, sama-sama bermakna kesunyian, kesepian, sekaligus ketakutan bagi Sophie juga bagi ayahnya? Apakah sebenarnya perasaan terdalam dari setiap orang yang terlibat dalam sejarah kelam bangsanya? “Rasa sakit yang tidak bisa dihindarkan...Sebuah dunia yang ingin kuubah tetapi sekaligus tidak ingin kutinggalkan (R. 2) itulah jawabannya.
92
Surat-Surat dari Dili, 2005.
Catatan Tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra Bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia Maria Matildis Banda
3.2 Ayah, Ibu, dan Anaknya RABET adalah cerita seorang ayah (Benyamin Grasmann) kepada anaknya (Sophie) tentang penggal-penggal perjalanan hidup kedua orangtuanya di tengah pergolakan seputar runtuhnya Tembok Berlin dan menyatunya Jerman Timur ke Jerman Barat. Persatuan kedua Jerman ditandai oleh berpisahnya ayah (Benyamin Grasmann) dan ibu (Gesa) bersama anaknya (Sophie), karena pilihan kuat secara personal bagi masa depan masing-masing. Ayah –yang kecewa dengan runtuhnya Jerman Timur- memilih “melarikan diri” ke Yerusalem. Ibu –yang kecewa dengan ketidakpastian hidup bersama Ben- bersama Sophie, berada di New York AS dengan suami baru. Apakah sepanjang waktu pertemuan antara Ben dan Gesa yang padat dengan berbagai aktivitas di Leipzig dan sebuah rumah di Rabat adalah “cerita dari dunia yang hilang, dari dunia lain?” Mengapa? Apakah karena keterlibatan Gesa dan Ben dan kawan-kawan telah menjadi bagian dari lenyapnya pemerintahan Republik Demokrasi Jerman atau Jerman Timur? RABET menyajikan cerita dengan alur berjalan maju diapit “Prolog Surat untuk Sophie” dan “Epilog Surat untuk Sophie” menjadikan cerita ini lebih bernilai seni sastra dan hakikatnya yang terangkai melalui unsur-unsur estetik alur, perwatakan, dan latar. Inilah fiksi, narasi karya sastra sejarah dan kebudayaan yang sangat nyata, (perjalanan Ben dan Gesa dkk pada masa rezim sosialis menguasai Jerman Timur. Masa-masa yang menegangkan menuju puncak keruntuhan Jerman Timur, masa yang meyakitkan ketika Sophie lahir, Gesa memutuskan pergi jauh dari kehidupan Ben betapapun upaya Ben untuk mendapatkannya kembali) sebuah fiksi terasa lebih dahsyat dari fakta sejarah yang sebenarnya ada dalam perjalanan kebudayaan umat manusia. Sejarah hanya bicara soal peristiwa, tokoh, waktu, tempat, kesepakatan, perjanjian, dan keputusan-keputusan. Sejarah tidak pernah peduli dengan perasaan Benyamin Grasmann, Gesa, atau siapapun. Siapa yang mau mengerti perasaanmu? Ketika perasaan untuk mendeskripsikan sejarah diri sendiri pun sulit dimengerti.
“Tidur malamku tidak tenang lagi sejak pelayan kamar menyampaikan suratmu empat hari lalu...Aneh rasanya, ketika membaca sebuah sampul yang di atasnya bertaburan tanda-tanda... Kata yang dapat menolong tidak dapat diucapkan oleh diri sendiri. Dalam suratmu tertulis kata “dad”, “ayah” yang ditujukan kepadaku. Tidak pernah terpikir olehku bahwa seseorang akan memanggilku begitu...Kata itu mengejutkan diriku, tepat mengena diriku dan menyakitiku: segala yang kuhindari dan mau tak mau ingin kulupakan, termasuk alasan 93
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
bahwa kau ada di dunia ini...” (R. 3, 4). 3.3 “ Seorang” yang Paling Mengerti Tentang Sejarah Ben yang yakin bahwa “aku tak mau bingung menatap kembali masa lalu, ke duniaku yang runtuh, yang dulu aku huni...” tidak dapat berpaling dari sejarah dan kebudayaan Jerman Timur yang telah membentuknya menjadi seorang Ben, memiliki istri bernama Gesa dan anak perempuan bernama Sophie. Perasaan sejarahnya justru dihidupkan kembali oleh Sophie. Dari RABET Runtuhnya Jerman Timur dapat bersua dengan suara-suara reflektif bahwa perasaan adalah “seorang” yang paling mengerti tentang sejarah. Sejarah tidak diam, sejarah memiliki jemari yang merayap menemukan janji. Lihat saja bagaimana Ben berusaha menguasai perasaannya ketika Gesa pergi membawa Sophie tanpa sepengetahuan Ben. Sejak itu tidak pernah ada khabar dari Gesa. Betapa ingin Ben bersama Gesa. Betapa patah hati Ben ketika tahu Sophie bayinya hanya dilihat sekali saja beberapa jam setelah dilahirkan. “Dengan Gesa tidak pernah lagi aku bertukar kata-kata... Kuketuk pintunya sampai tanganku luka. Suaraku menjadi serak karena selalu memanggilnya. Telegram tidak pernah diterima. Semua surat dikembalikan utuh tak dibuka. Sia-sia usahaku untuk bertemu Gesa dan dirimu...Bab kelabu sudah berakhir... Kulempar gitarku melalui jendela. Yang segera hancur lebur di atas plester batu jalanan di depan rumah...Aku ingin lupakan semuanya, karena aku tak mampu mengubahnya...” (R. 277). Mengenaskan! Perasaan Ben kehilangan Gesa, Sophie, dan juga negara tercintanya Jerman Timur. Jerman Timur sudah terampas, sama halnya Sophie sudah terampas dari Ben. Hal ini dilukiskannya ketika Dorothee (sahabat seperjuangan) bercerita tentang pertemuannya dengan Gesa dan suami Amerikanya di Fifth Avenue New York bersama Sophie berbelanja untuk natal. Ben sampai meletakan gagang telpon sebelum Dorothee selesai bercerita. Walaupun tidak dikisahkan Ben meneteskan air mata, namun terbaca jelas sesungguhnya Ben menangis pilu. Memang, tak selamanya menangis mesti mengeluarkan air mata. Kehilangan sesuatu yang paling bernilai dalam hidup tak akan pernah sekalipun membuat air
94
Dalam situasi yang berbeda perasaan-perasaan seperti ini juga ada pada Sri Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam), Lasi dalam Bekisar Merah (Ahmad Tohari), Siti Nurbaya dalam Siti Nurbaya (Marah Rusli), Hanafi dan Corrie dalam Salah Asuhan (Abdul Muis), Nyai Ontorosoh dalam Bumi Manusia (Pramudia Ananta Toer), Fernando, Satya, dan Isabella dalam Surat-Surat dari Dili (Maria Matildis Banda), Kayo dalam Liontin Sakura Patah (Maria Matildis Banda) dan berbagai karya sastra Indonesia lainnya
Catatan Tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra Bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia Maria Matildis Banda
mata berhenti menetes. Perasaan adalah air mengalir sampai jauh dari semua jauh10 merembes kemana-mana menagih janji. Rupanya Gesa memahami benar realitas ini. Gesa dengan keputusannya yang kontroversial. Tinggalkan Ben dan membawa bayi miliknya berdua tanpa Ben. Setelah sekian tahun berlalu, ternyata Gesa tidak dapat bersembunyi dari sejarah. Gesa juga Ben adalah dua sosok manusia yang –dalam pikiran dan keputusannya masing-masing – sadar bahwa sejarah tidak dapat dilipat11 dan digunting sesuka sejarah. Hal ini tersurat jelas melalui kesadaran Gesa mempertemukan Sophie dengan Ben ayahnya. Sejarah memang tidak pernah berhenti di satu tempat. Sejarah adalah pejalan yang sampai di persimpangan dan siap menentukan ke mana arah tujuan. Benyamin Grasmann dan Gesa menunjukkan hal itu dalam sosok Sophie, generasi masa depan. 3. Simpulan Ada banyak hal yang perlu dicermati lebih jauh tentang bagaimana karya sastra (novel) dapat menceritakan bagian-bagian hilang dari sejarah. Ada banyak hal yang dengan mudah dicatat sejarah, tetapi lebih banyak dan lebih dalam lagi hal-hal yang sejarah tidak sanggup mencatatnya. Sejarawan dan sastrawan memiliki tanggung jawab kemanusiaan bersama dalam dua alur yang berbeda, namun disatukan oleh jembatan telepati tempat, ruang, dan waktu untuk membawa perubahan nasib manusia dalam peradapan bangsa-bangsa. Karya sastra adalah salah satu jembatan spiritualitas dunia. “Kesenian mengebor masuk ke dalam inti-inti materi dunia, untuk mencungkil keluar isinya yang terdalam dan dengan itu menjelaskan yang luar.”12 Kehadirannya mencerahkan pikiran dan hati untuk saling memberi tempat, membangun pengertian-pengertian tentang hakekat kemanusiaan dalam kebudayaan universal. Melalui si-kecil Sophie, Gesa dan Ben (orang tuanya) menyadari tanggung jawab ini. Sepanjang dunia berputar para orang tua (leluhur) meletakkan jejak-jejaknya. Kearifan kebudayaan apapun yang diwariskan akan menjadi landas pijak dan langkah selanjutnya bagi “anak-anak masa depan” dalam dunia yang terus mengecil dan menjadi tua. Ciri universal karya sastra terbaca dalam novel ini. Bukan siapa penulisnya 10 11 12
“Air mengalir sampai jauh...” Penggalan syair lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang. “Sampai jauh dari semua jauh...” penggalan kalimat yang ada dalam Cerber “Doben” Maria Matildis Banda pemenang pertama Lomba Cerber Femina Jakarta, 1999. Sejarah tidak dapat dilipat. Kata “dilipat” terinspirasi dari judul buku Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme Oleh Yasraf Amir Piliang Daniel Dhakidae, 2007. “Winnetou, Old Shatterhand, dan Humanisme Karl May” dalam Winnetou IV. Jakarta: Pustaka Primatama
95
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
atau darimana dia berasal, tetapi makna apa yang ingin disampaikan dan bagaimana makna itu sampai dan menetap dalam kalbu. Ada bagian yang sama dari bangsabangsa (apapun latar belakangnya) di jagat raya ini: harga diri dan martabat yang mesti dijunjung tinggi bangsa lain. Ada bagian yang sama dari setiap manusia (darimana pun dia berasal): hasrat tentang cinta dan rindu, hasrat menikmati sunyi, sepi, ditinggalkan, dan hasrat untuk berpeluk dan memeluk masa depan cerah bagi sejarah dan kebudayaan yang lebih baik bagi anak-anak penerus generasi. []
Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, Shri Heddy. 2003. “Dari Antropologi Budaya ke Sastra dan Sebaliknya” dalam Sastra Interdisipliner Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Arif Rochman dkk (Ed). Yogyakarta: Sanding dan Kalam. Arif, Rochman Muh. 2003. “Dari Monodisipliner Menuju Interdisiplines” dalam dalam Sastra Interdisipliner Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Arif Rochman dkk (Ed). Yogyakarta: Sanding dan Kalam. Bakker, Chris. 2009. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana Banda, Maria Matildis.2000. Doben. Cerber Femina. Jakara: Femina. ---------------. 2005. Surat-surat dari Dili. Ende: Nusa Indah. Budiman, Kris. 2003. “Bila (-kah) Antropologi dan Sastra Bertemu” dalam Sastra Interdisipliner Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Arif Rochman dkk (Ed). Yogyakarta: Sanding dan Kalam. Dhakidae, Daniel. 2007. “Winnetou, Old Shatterhand, dan Humanisme Karl May” dalam Winnetou IV. Jakarta: Pustaka Primatama. Jankovsky, Martin. Rabet Runtuhnya Jerman Timur. Kutha Ratna, I Nyoman. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perpektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Margana, S. 2003. “Sastra Hindia Belanda dan Rekonstruksi Sejarah: Studi Terhadap De Stille Kracht karya Louis Couperus” dalam Sastra Interdisipliner Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Arif Rochman dkk (Ed). Yogyakarta: Sanding dan Kalam. Piliang Amir, Yasraf. 2000. Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme. Bandung: Penerbit Mizan. 96
Catatan Tentang Rabet Runtuhnya Jerman Timur Novel Karya Martin Jankowski Karya Sastra Bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia Maria Matildis Banda
Purwanto, Bambang. 2003. “Historisme Baru dan Penulisan Sejarah” dalam dalam Sastra Interdisipliner Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Arif Rochman dkk (Ed). Yogyakarta: Sanding dan Kalam. Sastra http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/kebudayaan/main-content09/sastra.html
97