PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
BERPIKIR KRITIS TERHADAP KARYA SASTRA KEAGAMAAN KHUSUSNYA KARYA SASTRA ISLAM 1) Istadiyantha 2)
[email protected]
ABSTRACT THE CRITICAL THOUGHT TO THE SPIRITUAL LITERATURE CONCERNING ON ISLAMIC LITERATURE This paper discusses about the spiritual literature. The spiritual literature can be categorized based on the kinds of religion, such as Islam, Christianity, Hinduism, Buddhism, etc. Therefore, based on the level of meaning of the poet in expressing their imaginations, we will find the religious and religiosities elements. The spiritual literature expressed superficially and customarily contains the religious elements; meanwhile, the literature containing the religiosities elements is showed by using the deep-dyed spiritual expression. This paper also describes about our critical attitude to the spiritual literature, especially Islam. There are the spiritual literature which can be responsible to the Islamic law and the other one which can be accepted to the Islamic law. Thus, we have to make categories of the Islamic literature based on the belief, moral, ritual, and interpersonal relationship (muammalah). Basically, the Islamic literature accepted by the Islamic law is one which does not personified the God (Allah) and Rasulullah, and it does not humiliate the Muslims’ value, either from the moral, ritual, or interpersonal relationship. Key words: spiritual literature; Islamic literature; religious; dan religiousity.
1. PENDAHULUAN Karya sastra sering dapat memberikan manfaat kepada masyarakat pembaca, karena pesan karya itu mampu memberikan hiburan, wawasan, dan kritik terhadap suatu situasi masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu memperoleh hiburan, penjelasan, dan pencerahan. Di lain pihak, karya sastra ada yang malah memberi madharat kepada pembacanya, karya itu tidak memberikan manfaat tetapi malah menyesatkan dan meresahkan masyarakat. Oleh sebab itu kita perlu bersikap kritis terhadap karya sastra. Sehingga kita perlu mengadakan pendekatan secara keagamaan, bahkan perlu mengadakan pendekatan terhadap karya sastra dari perspektif syariat Islam. Kita tahu bahwa setiap karya sastra memiliki bentuk dan isi, karya sastra dapat berbentuk puisi, prosa, dan drama. Sedangkan isi karya sastra dapat bermacammacam hal sesuai dengan kehendak dan background penciptanya. Karya sastra dapat berisi masalah pendidikan, perjuangan, percintaan, ilmu pengetahuan, dan masalah ---------------------1)
2)
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Sarana Membangun Keunggulan Budaya Bangsa”, PIBSI XXX, tanggal 24-26 Agustus 2008, di Universitas Tidar Magelang, Jawa Tengah. Pemakalah adalah Dosen pada Fakulltas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jawa Tengah.
1
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
keagamaan. Karya sastra keagamaan dapat dikelompokkan menjadi bermacammacam jenis agama, yang salah satunya adalah sastra Islam. Karya sastra Islam adalah karya sastra yang berisi tentang keislaman. Hal ihwal pembagian karya sastra ini dapat diuraikan lebih detil lagi sesuai dengan tema, topik, dan visi penulisnya. Sastra keagamaan dapat saja menggambarkan tentang pengalaman batin seseorang dalam bidang keagamaan, yang bertujuan untuk mengekspresikan pengalaman hidupnya itu agar bermanfaat bagi orang lain. Di Indonesia, unsur keagamaan amat besar peranannya dalam sastra tradisional, penelitian teks lama sehubungan dengan aliran, ajaran, atau praktek keagamaan, dikembangkan dalam sejumlah penelitian filologi berupa tesis dan disertasi (Achadiati Ikram, 1997:4). Dari sisi pragmatik, karya sastra dapat dilihat dari efek komunikasi, yang seringkali oleh Horatius dirumuskan bahwa “Seniman bertugas untuk docere dan delectere, yaitu ‘memberi kenikmatan dan kenikmatan’, dan biasa ditambah pula dengan movere ‘menggerakkan pembaca ke kegiatan yang bertanggungjawab’. Dikatakan pula bahwa seni harus menggabungkan sifat utile dan dulce, ialah ‘bermanfaat dan manis’ (Teeuw, 1984: 51). Mangunwijaya (1982: 11) pernah mengatakan bahwa “pada mulanya semua sastra adalah religius”. Pernyataan ini untuk memperkuat adanya suatu pandangan bahwa karya sastra kecuali indah, harus bermanfaat, dan mampu menggerakkan kepada aktivitas yang bertanggungjawab, jadi “karya sastra” dipandang sebagai sesuatu yang dapat memberikan pencerahan (enlightment), sesuai dengan misi yang dilakukan oleh agama. Perlukah kiranya kita menyebutkan bahwa sesuatu karya sastra ada yang Islam dan bukan Islam? Apakah hal ini tidak menimbulkan Sara? Jawabnya adalah bahwa, pengelompokan karya sastra sehingga menjadi bagian tertentu, dari suatu karya sastra yang lumum menjadi yang lebih spesifik akan memudahkan pengkaji dan peneliti sastra dapat memberikan penilaian terhadap suatu karya tersebut. Mangunwijaya di dalam bukunya Sastra dan Religiositas (1982: 73) pernah menyebut karya sastra Kristen sebagai salah satu genre sastra. Persoalan Sara yang sering terjadi bukan terletak pada penyebutan karya sastra itu dari sisi agama apa, tetapi terletak pada pesan karya tersebut dalam menyikapi perasaan penganut ajaran agama yang lain. 2). KARYA SASTRA RELIGIUS DAN RELIGIOSITAS Karya sastra keagamaan ada yang bersifat datar dan ada yang mendalam isinya. karya sastra keagamaan yang bersifat datar hanya berupaya mengekspresikan hal ihwal keagamaan dalam kategori awam, atau datar, yaitu tataran religius biasa. Sedangkan karya sastra keagamaan yang mendalam, adalah hasil ekspresi dari suatu situasi keagamaan yang berada dalam tingkatan khawwash (khusus, tingkatan spiritual yang menengah/mutawaasith) atau khawwaashul khawwash (lebih khusus atau lebih istimewa: tingkatan spiritual lanjut/ muntahi). Karya sastra keagamaan yang diungkapkan secara mendalam ini oleh Mangunwijaya dikatakan sebagai “karya yang diungkapkan dengan bahasa hati”, jadi bukan karya sastra yang sekedar bermuatan “religius”, tetapi sudah berada pada tataran “religiositas” (Mangunwijaya, 1982: 11).. Berikut dikemukakan contoh-contoh karya sastra (dalam hal ini puisi) yang beriosi tentang masalah keagamaan, pemujian tentang kekuasaan Tuhan. Puisi 1) “Tentang Hewan Kecil dan Hewan Berpikir” ini merupakan karya sastra keagamaan, karena cukup dominan isinya memuji tentang kebesaran kekuasaan Tuhan, tetapi masih datar. Puisi 2) berjudul “Tenteram” karya Rabiah Al-Adawiyah merupakan karya sastra yang mengandung unsur religiositas, ada penghayatan batin yang
2
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
mendalam untuk mendekat kepada Tuhan, atau ada ekspresi kedekatan antara hamba dengan Tuhan. 1)
“Tentang Hewan Kecil dan Hewan Berpikir” karya Motinggo Busye: perhatikan perhatikan perhatikan semut hitam perhatikan perhatikan mereka berhenti melangkah perhatikan mereka mematuhi perintah perhatikan perhatikan perhatikan mereka diam perhatikan perhatikan mereka menahan nafas perhatikanapa yang mereka percakapkan Perhatikan, Mereka resah perhatikan perhatikan perhatikan Mereka merasa bersalah perhatikan perhatikan Ya Tuhan ya Tuhan mereka berkata perhatikan Perhatikan, ampuni kami, ya Tuhan perhatikan perhatikan perhatikan itulah pengakuan hewan kecil perhatikan Perhatikan betapa anak buah Solaiman Memulangkan gula gula curian perhatikan perhatikan memulangkan ke tempat semula. perhatikan Perhatikan perhatikan perhatikan kesantunan Kearifan hewan hewan kecil perhatikan dan kamu hewan besar, Hewan Yang Berpikir ,tak juga sudi memperhatikan sajakku Sanu, Ini Sanu yang bicara Sanu itu aku sanu itu: “Hewan Berpikir” (Horison nomor 4 tahun XIX, April 1985 dalam Linus Suryadi A.G. (ed.): 302-303). Pada puisi di atas, sang penyair mengajak kepada pembaca untuk memperhatikan kekuasaan Tuhan, salah satunya adalah tentang kehidupan semut yang tahu kesantunan dan kearifan. Di dalam kitab suci agama Islam (khususnya) telah disebutkan bahwa Nabi Sulaiman3) pernah memahami pembicaraan semut. Penampilan sosok semut dalam puisi di atas untuk menunjukkan betapa besarnya kekuasaan dan betapa teraturnya kehidupan masyarakat semut yang bisa --------------------------------------------3)
Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari". Maka Sulaiman tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang tuaku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang saleh" (Q.S. An-Naml: 18-19).
3
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
merasa bersalah dan mengembalikan gula-gula pada tempatnya semula. Di sini sang penyair mengajak kepada pembaca untuk memperhatikan dengan seksama perihal kehidupan semut yang santun dan arif, padahal semut hanya bertindak berdasar naluri semata, tidak dengan akal. Semut tubuhnya amat kecil, bukan bertubuh besar seperti manusia. Tetapi mengapa si hewan besar dan berakal (manusia) ada yang tidak santun dan arif? Di sini kita temukan sikap kritis penyair terhadap masyarakat (Sanu, mungkin insanu=manusia), mengapa manusia enggan memperhatikan berbagai pelajaran yang digelar di alam semesta, dan mengapa manusia juga enggan untuk mempedulikan kemanfaatan dari membaca sebuah puisi? Begitulah kritik sang penyair. 2)
“Tenteram” oleh Rabiah Al-Adawiyah Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri Ketika Kekasih bersamaku Cinta-Nya kepadaku tak pernah berbagi Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku Kapan dapat kurenungi keindahannya Dia akan menjadi mihrabku Dan arah-Nya menjadi kiblatku Bila kumati karena cinta, sebelum terpuaskan Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini O penawar jiwaku, hatiku Adalah santapan yang tersaji bagi mau-Nya Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan-Mu O Sukacita dan Nyawaku, moga kekallah Jiwaku, Kaulah sumber hidupku Dan dari-Mulah jua birahiku berasal Dari semua benda fana di dunia ini Diriku telah tercerai Hasratku adalah bersatu dengan-Mu Melabuhkan rindu (Abdul Hadi W.M., 1985: 65).
Puisi Rabiah di atas mengandung unsur religiositas. Karya sastra yang mengandung unsur religiositas adalah bila terdapat (minimal) salah satu dari dua unsur ini, yaitu: 1) Mengekspresikan kedekatan manusia dengan Tuhan (Wihdatusysyuhud); dan 2) Ada unsur kesatuan dengan Tuhan (Wihdatul wujud) (Istadiyantha, 1982: 404; Istadiyantha, 1986: 14). Pada puisi Rabiah di atas terdapat dua unsur itu sekaligus. Rabiah adalah seorang budak Arab yang cantik dan salihah, Mangunwijaya pernah memujinya dengan kata-kata “Bila mistika sufi Rabiah Al-Adawiyah yang saleh (maksudnya: shalihah) berdoa dalam bahasa hati (sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sesudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris): O my God, the best of Thy gifts within my heart is the hope of Thee and the sweetest word upon my tongue is Thy praise, and the hours which I love best are those in which I meet with Thee…O my Lord, my plaint to Thee is that I am but a stranger in Thy country, and lonely among Thy worshippers, maka muslimat kencana ini sedang mengucapkan ungkapan religiositasnya”, demikian Mangunwijaya, 1981: 11). Selanjutnya dikatakan bahwa agama menunjuk kepada kelembagaan dalam peribadatan kepada Tuhan, atau kepada “dunia atas” dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan, dan hukum-
4
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
hukumnya, yang juga meliputi aspek sosialnya. Sedangkan religiositas lebih melihat kepada aspek lubuk hati yang lebih dalam. 3. JENIS KARYA SASTRA KEAGAMAAN Karya sastra keagamaan dapat dikelompokkan berdasarkan jenis agama, sehingga ada karya sastra Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya. Dan karya sastra dapat pula dikelompokkan berdasarkan kedalaman isinya atau bagaimana sang penulis karya mengungkapkan perasaannya sehingga menimbulkan kesan telah melakukan penghayatan batin untuk berdekatan dengan Tuhan. Karya-karya sastra yang mengungkapkan peristiwa keagamaan secara biasa/ datar disebut sebagai mengandung unsur religios dan yang mengandung penghayatan batin yang mendalam atas kedekatan, kerinduannya, dan kecintaannya dengan Tuhan disebut mengandung unsur religiositas. Karya sastra yang mengandung unsur religiositas ini misalnya karya sastra mistik (bersifat umum untuk semua agama), sastra sufi (khusus Islam), sastra sufistik, dan sastra profetik. Khusus untuk karya sastra profetik masih perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana isi dan ekspresi penulis dalam karya tsb. yang dalam situasi tertentu dapat digolongkan menjadi karya sastra keagamaan dan dalam hal lain (bila ada penghayatan batin yang mendalam) dapat juga digolongkan mengandung unsur religiositas. Berikut disajikan contoh karya-karya sastra yang termasuk kategori sastra keagamaan, yaitu yang tergolong sebagai karya sastra Islam, sastra Kristen, Hindu, dan Budha. 1) Karya sastra Islam: novel “Ayat-ayat Cinta” oleh Habiburrahman El Shirazy (2006). Kisah cinta yang bukan hanya sekedar kisah cinta yang biasa. Ia kisah tentang bagaimana menghadapi turun-naiknya persoalan hidup dengan cara Islam. Fahri bin Abdillah adalah pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al Ahzar. Berjibaku dengan panas-debu Mesir. Ia berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Semua target dijalani Fahri dengan penuh antusias kecuali satu: menikah. Kenapa? Karena Fahri adalah laki-laki taat yang begitu ‘lurus’. Dia tidak mengenal pacaran sebelum menikah. Dia kurang artikulatif saat berhadapan dengan makhluk bernama perempuan. Hanya ada sedikit perempuan yang dekat dengannya selama ini. Neneknya, Ibunya, dan saudara perempuannya. Betul begitu? Sepertinya pindah ke Mesir membuat hal itu berubah. Tersebutlah Maria Girgis. Tetangga satu flat yang beragama Kristen Koptik tapi mengagumi Alquran, dan sekaligus menganggumi Fahri. Seterusnya kekaguman itu berubah menjadi cinta. Sayang cinta Maria hanya tercurah dalam diary saja. Lalu ada Nurul, anak seorang Kiai terkenal yang juga mengeruk ilmu di Al-Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati pada gadis manis ini. Sayang rasa mindernya yang hanya anak keturunan petani membuatnya tidak pernah menunjukkan rasa apa pun pada Nurul. Sementara Nurul pun menjadi ragu dan selalu menebak-nebak. Setelah itu ada Noura, ia termasuk tetangga yang selalu disika Ayahnya sendiri. Fahri berempati penuh dengan Noura dan ingin menolongnya. Sayang hanya empati saja. Tidak lebih. Namun Noura yang mengharap lebih. Dan nantinya ini menjadi masalah besar ketika Noura menuduh Fahri memperkosanya. Terakhir muncullah Aisha. Si
5
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
mata indah yang menyihir Fahri. Sejak sebuah kejadian di Metro, saat Fahri membela Islam dari tuduhan kolot dan kaku, Aisha jatuh cinta pada Fahri. Dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya. Lalu bagaimana bocah desa nan lurus itu menghadapi ini semua? Siapa yang dipilihnya? Bisakah dia menjalani semua peristiwa pernikahan dalam jalur Islam yang sangat dia yakini? Novel di atas dapat disebut sebagai karya sastra Islam, karena isinya dominan membicarakan tentang seluk-beluk perilaku dan keyakinan Islam. Cara tokohtokohnya bergaul selalu dikaitkan dengan adat-istiadat dan norma-norma ajaran Islam 2) Karya sastra Kristen: “Khotbah” oleh Rendra Fantastis, Di satu Minggu siang yang panas Di gereja yang penuh orangnya Seorang padri muda berdiri di mimbar Wajahnya molek dan suci Matanya manis seperti mata kelinci Dan ia mengangkat kedua tangannya Yang bersih halus bagai leli Lalu berkata: “Sekarang kita bubaran. Hari ini khotbah tak ada” Orang-orang tidak beranjak Mereka tetap duduk rapat berdesak. Ada juga banyak yang berdiri. Mereka kaku. Tak mau bergerak. Mata mereka menatap bertanya-tanya. Mulut mereka menganga Berhenti berdoa Tapi ingin benar mendengar. Kemudian dengan serentak mereka mengesah dan berbaring dengan suara aneh dari mulut mereka tersebarlah bau keras yang perlu dicegah dengan segera Lihatlah aku masih muda Biarkan aku menjaga sukmaku Silakan bubar. Izinkan aku memuliakan kesucian. Aku akan kembali ke biara. Merenungkan keindahan Ilahi” (Linus Suryadi A.G., 1987: 185). Puisi di atas mengisahkan seorang pendeta muda yang sedang berkhotbah di gereja, dia dihadapkan pada suatu situasi yang dilematis, yaitu antara semangat pengabdian sebagai pengkhotbah di gereja dan ancaman yang akan terjadi pada gereja saat itu. Pada puisi itu disebutkan bahwa: Kemudian dengan serentak mereka mengesah / dan berbaring dengan suara aneh dari mulut mereka / tersebarlah bau keras / yang perlu dicegah dengan segera / Lihatlah aku masih muda /Biarkan aku
6
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
menjaga sukmaku / Silakan bubar. Sehingga kita dapat menafsirkan bahwa di dalam gereja sedang terjadi teror, maka acara khotbah harus dihentikan, mereka harus segera bubar, menyebar, bau menyengat yang terjadi adalah tanda-tanda ada sesuatu yang membahayakan, dan hal itu harus sesegera mungkin untuk dicegah. 3) Karya sastra Hindu: “Somya” dalam Upacara Penyucian yang dipentaskan dalam suatu pertunjukan wayang di Bali, teks “Somya” ditulis dalam bahasa Kawi dan Bali, sebagai berikut: a. “Somya” dalam bahasa Kawi: Somyaning wateking buti-buti maluyi atemahan dewata, sira Sang Hyang Gana anglukat sira sang Panca Durga maring salu Agung maring semasana Sang Hyang Gana angelaraken Yoga, ana Astranira Baruna astra matemahan Panca Durga Padem ingkang apuy, somya Bhatari, somya. (I Gustu Ngurah Bagus, 1991: 397). Terjemahan: …Suci, semua raksasa kembali menjadi dewata Sang Hyang Gana menyucikan Sang Panca Durga di salu Agung yang terletak di kuburan Sang Hyang Gana melakukan yoga, dengan senjata yang bernama Baruna Astra yang menjadi Panca Merta dapat memadamkan api, sehingga menjadi Betari kembali (I Gustu Ngurah Bagus, 1991: 397). b. Konsep “Somya” dalam bahasa Bali: “…jagi ngaruruh pamarga Ida sang hyang Ciwa, nyomya watek buta-butine mrestita ikang rat maduluran saha sanarpanaken caru, inggih ngwehin babutane mangda e…becik pidabdab jagate druwen iriki ring e Medang Agung. Sangut: Buta kalane ane suba sumia makadi Klika-kliku, jin, setan, bebal, tonyo, janim ngraksa Jagat, nyen ja ane madaya corah, nyen ja ane Mapi majalan mimpas teken Sang Hyang Darmo lo lakar dadi anu, dadi ajeng-ajengan Buta Kala. Delem: ye kaketo? Sangut: Beneh. Nawang Melem teken Sang Hyang Darma? Delem: Apa to Sang darma to Ngut? Sangut: Adah, darma ngaran solah rahayu to to. Delem: Solah rahayu to keto?
7
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
Sangut: Beneh. Suud Merem ngikinan ngaba ngelarang sadripu sapta timira, mamunyah Melem sing dadi, e…sombong Melem sing dadi begug, gelarang ane madan yama niyama brata. Delem: Apa? Yama niyama brata? Peh, aeng liunne To madan darma, kadarman to. Aeng sukehne dadi jadma ngut? (I Gustu Ngurah Bagus, 1991: 397-399). Terjemaham: “Akan mencari jejak Hyang Ciwa, menyucikan semua raksasa, menyucikan seluruh alam ini dengan jalan membuat upacara kurban, yaitu dengan maksud memberikan semua raksasa itu makan, tujuan supayaraksasa itu makan, tujuannya agar negara Medang Agung tenteram. Sangut: semua raksasa yang telah menjadi dewata berubah kembali seperti kelika-keliki, jin, setan, bebal, tonyo, menjaga dunia ini. Barangsiapa mempunyai pikiran jahat yang berjalan di luar darma, itulah yang akan menjadi mangsa (makanan) Batara Kala. Delem: Apa demikian? Sangut: Oh, begitu? Memang demikian. Tahukah Delem? Apakah arti darma itu? Delem: Apa itu darma Ngut? Sangut: darma itu adalah perilaku yang benar. Apa berperilaku yng benar? Sesungguhnyalah Delem. Berhentilah Delem menjalankan sadripu menjalankan sapta timira, bermabok-mabokan, bersombongsombongan, congkak, berbuatlah sesuai dengan Yama Niyama Brata. Delem: Apa? Yama Niyama Brata? Wah, alangkah banyaknya, itu yang dinamakan darma, kadarman. Alangkah susahnya jadi manusia Ngut? (I Gustu Ngurah Bagus, 1991: 397-399). Teks di atas merupakan teks dialog dalam “Upacara Somya: Penyucian” di Besakih Bali, konsep penyucian dilakukan dengan menampilkan kisah penyucian nafsu jahat agar menjadi nafsu yang baik dengan menggambarkan proses para raksasa termasuk Durga yang telah melakukan periilaku tercela dan suatu saat kelak ia bertobat, sehingga dari bentuk raksasa kembali menjadi wujud semula yaitu Dewata atau Bethari. Di Jawa proses penyucian ini dilakukan ketika ada pementasan wayang kulit dengan lakon “Dhalang Karurungan” atau “Dhalang Kandha Buwana”, artinya ‘Dalang Sejati’. Ia bertugas memberikan pencerahan kepada semua penonton agar tahu tentang hakikat kehidupan. Suatu ketika Bathara Guru sedang bercengkerama dengan isterinya yaitu Dewi Uma yang cantik dengan mengendarai lembu Andhini. Suatu saat setelah itu terbetiklah berita bahwa Dewi Uma melakukan hal yang tidak senonoh, lalu Bathara Guru marah dan mengutuk Uma sehingga sang Dewi ini berubah menjadi raksasa berwajah jelek, lalu oleh Guru, Uma diusir ke Nusakambangan dan disuruh menjadi isteri Bathara Kala. Kelak Bethari Durga ini dapat berubah menjadi Dewi lagi setelah dilakukan penyucian. Inilah lakon wayang yang sering dipentaskan pada acara ruwatan (menghilangkan sial/sukerta, menurut kepercayaan Jawa) (Sri Mulyono, 1983: 38-50).
8
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
4) Karya sastra Budha: “Budha dalam Stupa” oleh Husni Djamaluddin kuintip kau dalam stupa kuraba lenganmu yang luka Budha kita alangkah beda kau alangkah tentram dalam stupa alangkah mantap dalam pengap duduk bersila duduk yang khusuk aku (Linus Suryadi A.G., 1987: 148-149). Puisi karya Husni Djamaluddin di atas mengekpresikan tentang situasi yang dia amati terhadap “Budha dalam Stupa”, yang dimaksud oleh penyair bukan Budha dalam konsep lahir, tetapi Budha dalam konsep batin yang begitu tenang dan mantap. Tetspi untuk mengkaji puisi semacam ini perlu dikaji juga dengan pendekatan ekspresif, yaitu dengan melibatkan sang sebagai objek kajiannya. Karena bisa saja terjadi apa yang dimaksud oleh si penulis bertentangan seratus delapan puluh derajat dari karya tulisnya, sebagaimana Danarto pernah berpendapat demikian (Danarto, 1982).. Karena di dalam situasi yang lain, Husni Djamaluddin juga menulis puisi berjudul “Salib” Yesus turun dari tiang salibnya / di bukit Golgotha / tanpa luka di tubuhnya / tanpa darah di jubahnya / tanpa dendam di hatinya / , sehingga kita tahu bahwa dalam mengekspresikan karya sastra keagamaan, sang penyair tidak selalu konsisten dengan salah satu agama.(bandingkan: Husni Djamaluddin, dalam Linus Suryadi A.G., 1987: 151-153). 4. KARYA SASTRA DARI PERSPEKTIF AJARAN ISLAM Di dalam ajaran Islam terdapat konsep keyakinan bahwa Tuhan dan Rasulullah Muhammad Saw. tidak boleh diremehkan, tidak boleh dipersonifikasikan, dan tidak boleh digambarkan dengan sesuatu bentuk apa pun. Bahkan umatnya pun (umat Islam) pantang diremehkan. Hal ini juga pasti berlaku bagi umat yang lain. Sehingga kita bisa memahami bahwa mengapa Cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin (1968) pernah membuat heboh masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Karena cerpen yang dimuat di majalah Sastra pimpinan H.B. Yassin itu terdapat pengungkapan kisah dengan mempersonifikasikan Tuhan dan kisah Jibril dan Nabi Muhammad Saw. yang dipandang bertentangan dengan ajaran Islam. Novel The DaVinci Code-nya Dan Brown dan The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) karya Salman Rushdie pernah membuat heboh umat beragama di dunia. The DaVinci Code karena dipandang menodai keyakinan umat Kristen, ia dikenai sanksi oleh pemerintah Belada untuk dilarang dibaca walau pernah sukses difilmkan, sedangkan The Satanic Verses karya Salman Rushdie (orang berkebangsaan Iran yang tinggal di Inggris) dikenai sanksi hukuman mati oleh Khomaeni ketika masih menjadi
9
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
Penguasa di Iran. Dalam suatu situs internet tertanggal 24 April 2007 pada http://trimudila.wordpress.com:2007/04/25/salman-rushdie/; dan http://rkhblog.wordpress.com/2007/08/01/antara-davinci-code-dan-ayat-ayat-setan/ penulis kutip pernyataan Khomaeni (amat marah) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw tidak pernah berhenti di Barat. Benar, Imam Khomeini pernah mengeluarkan fatwa hukuman mati atas Salman Rushdi. Namun, penghinaan terhadap Nabi Islam, Muhammad saw tidak pernah selesai. Permusuhan Barat terhadap Islam masih tetap berlangsung. Pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw di Denmark masih satu jalur dengan Ayat-ayat Setan Salman Rushdi.Sekalipun didemo di mana-mana, masih saja di sebagian negara-negara seperti Inggris, Azerbaijan, dan terakhir Prancis yang proses pengadilannya tengah berlangsung, masih melakukan penghinaan. Dengan nama-Nya Yang Maha Tinggi Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Rajiuun. Saya beritahukan kepada kaum muslimin pemberani di seluruh dunia. Telah diterbitkan buku Ayat-ayat Setan yang menghina Islam, Nabi, dan Alquran. Penulis serta penerbit buku itu hukumannya adalah MATI! Saya mengharap kepada seluruh kaum muslimin pemberani yang menemukan mereka di mana saja untuk membunuh mereka. Sehingga tidak ada lagi orang yang berani menghina hal-hal yang disucikan oleh kaum muslimin. Siapa saja yang mati dalam usaha membunuh mereka, terhitung sebagai syahid, Insya Allah. Perlu diketahui, bila seseorang mengetahui keberadaan si penulis buku, namun ia sendiri tidak dapat membunuhnya, maka ia harus mengabarkan kepada orang lain sehingga mereka yang akan melakukan pembunuhan itu dan ia dapat merasakan akibat dari amal perbuatannya (25/11/1367 H.: 14 Februari 1989, Ruhullah Al-Musawi Al-Khomaeni). Selanjutnya dikemukakan di sini sekilas tentang film “Fitna”, yang latar belakang pembuatan film ini adalah disebabkan kebencian Wilders terhadap Islam. Ia merasa bahwa Islam telah mengurangi kebebasan di Belanda. Wilders pernah mengatakan: Pesan saya jelas, makin banyak Islamisasi akan berarti berkurangnya kebebasan kita, dan akan mengurangi hal-hal yang kita junjung tinggi di Belanda dan di sebuah negara demokrasi. (Fitna: Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesiahttp://id.wikipedia.org/wiki/Fitna). Namun sumber lain menyebutkan bahwa sesungguhnya Wilders adalah politisi yang mencoba mencari keuntungan dengan dibuatnya film tersebut. Ia adalah pendukung Yahudi. Isu Yahudi bagi seorang Wilders jelas sangat penting, karena kaum Yahudi di Belanda sebagaimana di kebanyakan negara Eropa dan Amerika Utara memiliki peran sangat kuat di bidang ekonomi dan politik. Dan Wilders membutuhkan bantuan dana dari para jutawan Yahudi setempat. Wilders merilis film tersebut pada tanggal 27 Maret 2008 di situs video Liveleak. Semenjak itu, staf Liveleak menerima ancaman, dan memutuskan untuk menghapus video itu. per 29 Maret 2008, sebuah plakat di atas situs itu menyatakan bahwa itu "hari menyedihkan bagi kebebasan berbicara di internet". Versi bahasa Belanda dari film itu dilihat 1,6 juta kali dalam 2 jam, versi bahasa Inggrisnya dilihat 1,2 juta kali dalam 5 jam. Pada mulanya, Wilders menegosiasikan kemungkinan penyiaran film itu di televisi Belanda. Isi film itu tidak diketahui saat itu. Tidak ada perusahaan penyiaran Belanda yang setuju untuk menyiarkan keseluruhan film itu
10
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
tanpa disunting. Lalu Wilders mengatakan bahwa dia lebih baik menyiarkan keseluruhan film itu di Internet daripada hanya separuh disiarkan di televisi. Kemudian, pusat pers Belanda Nieuwspoort dilaporkan bersedia menyiarkan film itu, selama Wilders bersedia membayar biaya keamanan yang bertambah selama konferensi pers dan minggu-minggu setelahnya. Wilders menolak melakukan itu. Pada tanggal 22 Maret, Asosiasi Penyiaran Muslim Belanda (NMO) menawarkan untuk menyiarkan film itu jika mereka dapat melihat film itu untuk memeriksa kemungkinan adanya materi ilegal, dan Wilders bersedia berpartisipasi dalam debat paska penyiaran dengan pihak yang mendukung dan pihak yang menentang. Wilders menolak dan berkata "Tidak!”, (Fitna: Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia:http://id.wikipedia.org/wiki/Fitna). Dalam karya sastra Jawa banyak didapati karya-karya yang bertentangan dengan syariat Islam, misal: Suluk Gatholoco, Suluk Darma Gandhul, berbagai karya yang berhubungan dengan mistik Jawa, dan lain-lain, yang pernah penulis bahas pada Workshop Internasional tentang “Pemikiran Melayu – Jawa” di FIB UGM, Juli 2008 (Istadiyantha, 2008). Kecuali itu, Mangunwijaya juga meragukan karya-karya Danarto (1982) jika dikritisi dari segi agama. Pendek kata, karya-karya yang menyimpang dari akidah/ keyakinan, misal mensyarikatkan Tuhan, mempersonifikasikan Tuhan adalah ertentangan dengan akidah tauhid. Dan karya yang dipandang sesat juga adalah yang meremehkan tatanan moral dan ibadah dalam ajaran Islam, ibadah yang khusus maupun ibadah yang bersifat umum. Seseorang penulis karya sastra keagamaan, khususnya karya yang berhubungan dengan ajaran Islam, harus memperhatikan 3 konsep dasar Islam: 1) Tidak melecehkan akidah atau keyakinan ajaran Islam 2) Tidak bertentangan dengan akhlak atau moral Islam, dan 3) Tidak meremehkan ritual/ Ibadah (ibadah umum/ muammalah/ hablum minannaas dan ibadah khusus/ hablum minallaah) 5, SIMPULAN/ PENUTUP Pemahaman terhadap suatu karya sastra keaganaan dapat membawa manfaat untuk menambah wawasan pengetahuan dan pendalaman bidang agama yang dapat memberikan pencerahan. Kalau karya sastra itu ditulis untuk memberikan hiburan dan kemanfaatan, sudah sepatutnya bagi seorang penulis memperhatikan situasi dan selera masyarakat dan pembacanya. Pembahasan terhadap karya sastra dari sudut pandang Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi bidang telaah sastra dari perspektif agama, khususnya Islam. Sehingga pemberian materi keagamaan (khususnya kajian keislaman: misal Islamologi, Pranata Islam, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab) bagi mahasiswa yang belajar ilmu sastra tidak boleh diremehkan, apalagi di suatu wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam.. Hal ini perlu penulis tekankan, karena di tahun 2008 ini ada kampus yang telah meniadakan mata kuliah Pendidikan Agama khususnya Islam. Dan demi menjaga situasi bermasyarakat Indonesia agar harmonis, serta bisa memahami keyakinan lain, maka celah-celah yang dipandang amat sensitif bagi sesuatu agama harus diperhatikan. Dengan begitu, pembekalan kepada mahasiswa sastra tentang ilmu-ilmu keagamaan, khususnya agama Islam dapat dipandang positif dan perlu mendapatkan perhatian.
11
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
DAFTAR PUSTAKA Abdul Hadi W.M.,1982, Meditasi, Jakarta: Balai Pustaka. -----------,1985, Sastra Sufi: Sebuah Antologi, Jakarta: Pustaka Firdaus. Achadiati Ikram, 1997. Filologia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya. Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawwuf, Sala: Ramadhani. Braginsky, V.I. 1993. “Universe – Man – Text: The Sufi Concept of Literature (with special reference to Malay Sufism)”. Bijdragen: Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Journal of the Royal Institute of Linguistics and Anthropology. Leiden: KITLV. Danarto, 1982, Adam Ma’rifat, Jakarta: Balai Pustaka. Darusuprapta, 1982. Serat Wulang Reh, Anggitan Dalem Sri Pakubuwana IV. Surabaya: Citra Jaya. Habiburrahman El Shirazy, 2006. Ayat-ayat Cinta: Sebuah Novel Pembangun Jiwa.. Cetakan XVII. Jakarta: Republika & Pesantren Basmala Indonesia. Hassan Shadily dkk., 1984, Ensiklopedi Indonesia, Jld. 6, Jakarta: Penerbitan Buku Ichtiar Baru – van Hoeve. Hooykaas, C., 1951, Perintis Sastra, terjemahan: Raihoel Amar, Jakarta: J.B. Wolters – Groningen. I Gustu Ngurah Bagus, 1991.“Makna Konsep Somya dalam Lakon Panca Durga pada Upacara Panca Walikrama di Besakih” dalam Ilmu-ilmu Humaniora (Persembahan bagi Prof. Dr. Siti Baroroh Baried dan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno) Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 4-5 maret 1991. Istadiyantha, 1988. “Pengantar Kajian Sastra Sufi”. Makalah PIBSI X, SukoharjoSurakarta: IKIP Veteran (Sekarang Univ. Bantara). ………….., 2002. “Perbedaan Sastra Sufi dan Sastra Mistik” dalam Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI, Editor: Sujarwanto dan Jabrohim. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. -------------, 2006. “Sastra Sufi Jawa dalam Bingkai Sastra Sufi Nusantara”. Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia. -------------, 2007. Sastra Indonesia dan Jawa Islam: Pencerahan dan Penyesatan, dalam Workshop Internasional Tiga Serangkai: Pemikiran Melayu Jawa, yang diselenggarakan atas kerja sama Universiti Kebangsaan Malaysia, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Universitas Sebelas Maret Surakarta di Fakultas Ilmu Budaya UGM 16-17 Juli 2008. Linus Suryadi A.G. (ed.). 1987. Tonggak Antologi Puisi Indonesia Modern 2, Jakarta: Gramedia. Mangunwijaya, Y.B., 1982, Sastra dan Religiositas, Jakarta: Sinar Harapan. Maududi, Abul A’la 1970. Toward Understanding Islam. Jilid VII. USA: International Islamic Federation of Student Organizations.
12
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
Moh. Hari Soewarno, 1985. Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco tentang Islam. Surabaya: Antar Surya Jaya. Navis, A.A. “Robohnya Surau Kami” dalam Horison Sastra Indonesia: Kitab Cerita Pendek 2. (editor Taufiq Ismail dkk.). Jakarta: Horison The Ford Foundation. Rasjidi, H.M. 1967. Islam dan Kebatinan. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. Shadily, Hassan 1980. Ensiklopedi Indonesia. Jilid I. Jakarta: Penerbitan Buku Ichtiar Baru–Van Hoeve. Simorangkir, J.C.T, 1967 Undang-Undang Pers --------, 1984. Ensiklopedi Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Penerbitan Buku Ichtiar Baru– Van Hoeve Sri Mulyono, 1983, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Jakarta: Gunung Agung. Taufiq Ismail, 1968. “Beberapa Pikiran tentang Pelarangan [Sastra]” dalam Harian Kami, nomor 688, 25 Oktober 1968. Teeuw, A, 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. --------, .1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra , Jakarta: Pustaka Jaya. Ummu Afifah Nashiroh, 2008. “Selamat Tinggal 1428 H Selamat Datang 1429 H”, dalam Lomba Baca Puisi di Colomadu, Karanganyar, Surakarta 27 Januari 2008 Wiratmo Sukito. 1968. “Karya Seni sebagai Iriil” dalam Sinar Harapan, Jakarta: 18 Desember 1968. Sumber dari Website: Anonim, website 5 Juli 2008. http://trimudila.wordpress.com:2007/04/25/salman-rushdie/; http://rkhblog.wordpress.com/2007/08/01/antara-davinci-code-dan-ayat-ayat-setan/ http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2004/0626/bud2.html “Rawamangun”, April 2004. Penulis adalah editor sebuah penerbitan di Jakarta: http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2004/0626/bud2.html TEMPO - H.B. Jassin dalam: apakabar @clark.net , Mar 24 1996.
13
PIBSI- XXX SASTRA KEAGAMAAN: ISTADIYANTHA UNTID MGL JATENG 2008
BIOGRAFI PENULIS: Istadiyantha lahir di Boyolali Surakarta 15 Oktober 1954, lulus S1 Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra dan Kebudayaan (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UGM tahun 1980. Dan tahun 1989 lulus Program Filologi, Bidang Sastra Indonesia dan Jawa pada Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Fakultas Pasca Sarjana UGM, Dosen bahasa Arab Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Sastra dan Seni Rupa) Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 1981, dan 5 tahun terakhir mengajar mata kuliah Bahasa Arab di Jurusan Sastra Daerah pada fakultas yang sama. Penulis diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) di UNS 1982. Pernah menjabat Sekretaris Jurusan Sastra Indonesia 2 periode (1990-1996), Ketua Jurusan pada lembaga yang sama (1996-1999), Pembantu Dekan III FSSR UNS (1999-2003), dan Pembantu Dekan II pada lembaga yang sama (2003-2007). Ketika belum lulus S1 ia pernah menjadi asisten dosen Agama Islam 1977-1980 di Fakultas Peternakan, Kedokteran Hewan, Farmasi, dan Fisip UGM.Di bidang sosial, ia pernah menjadi Ketua IMAGRA (Ikatan Muda-mudi Pogung Raya) di Sinduadi, Sleman, Yogyakarta tahun 1976-77; anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa) di desanya periode 2007-2012; dan anggota dewan pendiri Koperasi Syariat Kube Colomadu Sejahtera, sejak 2006. Di bidang pers, Reporter Harian Pelopor Yogya 1977, Pemimpin Redaksi Majalah Agastya (FSK UGM) 1975-77, Reporter Majalah Gelora Mahasiswa (Dema UGM) 1975-77. Humas Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema UGM) 1975-77. Selanjutnya ketika ia menjadi dosen, terpilih menjadi Dosen Teladan I tingkat fakultas tahun 1991 dan 1992. Dosen Teladan II tingkat universitas di UNS tahun 1992. Kecuali mengajar mata kuliah Bahasa Arab, Filologi, juga mengajar mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Sastra Mistik, Laboratorium Filologi, dan Bahasa Indonesia untuk penutur asing. Pernah menjadi pembicara di berbagai seminar di UGM, UAD Yogyakarta, IKIP PGRI Semarang, Unissula Semarang, Universitas Bantara Sukoharjo-Surakarta, USU Medan, Unpab Medan, Unair Surabaya, UM Malang, dan Untid Magelang. Buku yang sampai terbitan ke-7 berjudul Hikmah Busana Muslimat dalam Pembinaan Akhlak, diterbitkan oleh penerbit Ramadhani Solo sejak 1986-1991; Buku Analisis Fungsi Tarekat Syattariyah, diterbitkan oleh Bina Insani Press Solo, 2007; Buku Bahasa Arab Dasar diterbitkan oleh UNS Press, Solo, (proses cetak) 2008. Tahun 2008-2011 diangkat menjadi Senat UNS, tetapi karena sejak 1 Juli 2008 melanjutkan studi di S3 Prodi Agama dan Lintas Budaya minat Kajian Timur Tengah Sekolah Pasca Sarjana UGM dengan topik disertasi “Gerakan Al-Ushuuliyyah atau Fundamentalisme Islam”, maka sejak saat itu penulis mengundurkan diri dari anggota Senat UNS. Di bidang keagamaan, penulis aktif sebagai penceramah keagamaan di berbagai daerah, dan di Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya (Thariqah AnNaqsyabandiyah Al-Khalidiyah Al-Muktabarah Internasional) yang berpusat di Medan, ia aktif sebagai sekretaris Badan Kerjasama Surau se Daerah Istimewa Yogyakarta dan Eks Karesidenan Surakarta (2001-2006); Pengurus I Surau Saiful Amin II Surakarta (2006-2011), dan sejak tahun 2008 duduk sebagai Wakil Ketua Forum Silaturahim Jamaah Surau Soloraya (mengkoordinasi jamaah Thariqat AnNaqsyabandiyah Al-Khalidiyyah Al-Muktabarah) di wilayah Soloraya atau Eks Karesidenan Surakarta.
14