SAMPLE NASKAH Musik relaksasi mengalun lembut di sebuah kamar bercat putih dengan detail merah. Kamar itu dihiasi pernakpernik warna merah di setiap sudutnya. Dari bingkai foto, bingkai cermin, tempat sepatu, karpet, tempat sampah, hingga bingkai jendela. Dia suka warna merah sejak belum mengenal baca tulis, hingga sekarang. Seorang wanita, rambut ikal panjang, duduk bersila di atas karpet sambil memejamkan mata, menyambut pagi dengan musik relaksasi yang memenuhi kamar. Tiba-tiba ponsel di sampingnya bergetar, ada panggilan masuk. Dan tidak butuh waktu lama untuknya segera menjawab telepon itu. Senyumnya mengembang melihat siapa yang menelepon. “Halo.” Orang di seberang telepon menjawab dan segera menjelaskan tujuannya menelepon tanpa membiarkan lawan bicaranya menyela sama sekali. Dalam sekejap, senyum di wajah wanita itu musnah. “Apa?” suaranya memecah musik yang mengalun. Hanya kata itu, selanjutnya ia tak lagi bersuara. Lawan bicaranya di telepon terus bercerita panjang lebar dan berakhir dikata ‘halo’ terus-menerus karena tidak ada respon, padahal telepon masih terhubung.
“Oke. Jangan hubungi aku atau muncul di hadapanku lagi.” Klik, telepon ditutup. Ponsel yang juga berwarna merah itu dilempar di atas kasur, off. “Ini masih pagi, Dino. Kamu merusak mood-ku!” teriaknya dalam hati. Tok tok tok! Seseorang mengetuk pintu kamar. “Kak Nuna, sarapan!” teriak adiknya dari balik pintu. Nuna tidak merespon, ia tetap dalam posisi sebelumnya. Entah sedang menikmati musik, atau memikirkan hubungannya bersama Dino yang berakhir beberapa saat yang lalu. Hanya karena masalah umur dan orangtua Dino tidak setuju, sekali tidak tetap tidak. Prinsip Nuna dalam menjalani sebuah hubungan adalah tidak mempermasalahkan usia, selama orang itu bisa berpikir dewasa, tidak kekanakan sepertinya. Tapi dari beberapa kasus, dia menyimpulkan kalau dia memang tidak cocok dengan pria yang lebih muda darinya. Tapi Dino berhasil meyakinkannya bahwa itu tidak akan jadi masalah. “Apanya yang tidak akan jadi masalah?” kali ini Nuna bicara sendiri. Nuna membuka mata, bangkit dan mengumpulkan semua barang yang berhubungan dengan Dino. Foto, kado,
kartu ucapan, dan lainnya berkumpul di tempat sampah dalam sekejap. “Semua laki-laki sama saja!” Nuna menenteng tempat sampah keluar kamar, melintasi meja makan dimana ayah, ibu, dan adiknya sedang sarapan. Dia tidak peduli dengan rambutnya yang mekar berantakan, satu hal yang harus ia lakukan sekarang adalah menyingkirkan barang-barang Dino secepat mungkin. Di halaman belakang, semua barang itu dibakar tanpa perasaan. “Kakakmu putus lagi?” tanya ibu pada adiknya. “Haha, sepertinya begitu.” Saat seperti inilah kakaknya terlihat paling lucu, diputuskan! Meskipun wajahnya tampak galak, ia tahu kalau kakaknya ini memiliki hati yang sangat lembut, ia sangat perasa. Nuna selesai dengan ‘pembakaran’nya. Ia melangkah kembali ke dalam rumah, cuci muka, dan menuju meja makan. “El, sana!” “Ini kan tempatku.”
Keduanya saling melotot, namun akhirnya El mengalah setelah ibu berkedip padanya. Suasana hati kakaknya sedang buruk, tidak asyik mengerjainya sekarang. “Masih pagi, Na. Kamu itu suka sekali marah-marah,” kata ayah dengan suara khasnya. “Dino tuh!” “Jangan salahkan orang lain. Kontrol emosi, kamu bukan anak kecil lagi.” “Sudah…sudah. Dino kenapa?” tanya ibu penasaran. “Kami putus. Laki-laki memang tidak bisa dipercaya,” jawab Nuna sambil menyantap nasi gorengnya. “Aku juga laki-laki dan aku bisa dipercaya apalagi diandalkan!” cetus El tidak setuju dengan perkataan Nuna. Meja makan hening. Memang benar yang dikatakan El. Meskipun usianya baru 26 tahun, ia sudah bekerja. Beruntung atau memang karena dia pintar, dia diterima setelah menjalani tes diantara jutaan orang se-Indonesia, PNS. Ia salah satu staf Badan POM provinsi. Dan nilai lebihnya lagi, El tidak pernah pacaran dan ber-galau-ria seperti yang kakaknya lakukan. Ini hal yang sering menjadi perdebatan mereka. “Ya, kecuali kamu sama ayah,” Nuna mengajukan pengecualian. El dan ayah tersenyum.
“Masalah apa lagi sih, sampai kamu kesal begitu? Dia tidak selingkuh kan?” Nuna menggeleng, “ Lebih parah dari itu.” “Apa?” ayah, ibu, dan El terkejut mendengar pernyataan Nuna. “Jangan lebay begitu ah, masalahnya sama kok dengan yang sebelumnya. Umur.” “Ahh…kamu ini,” ibu mengurut dada. Ayah berdehem dan meminum kopinya. Sementara El melanjutkan melahap nasi goreng dengan tertawa kecil. “Kakak ketua-an sih, jadi semuanya mundur.” Nuna melirik tajam pada adiknya tapi tidak berkata apaapa. Mulutnya masih mengunyah. “Nak, kamu itu sudah 32 tahun. Jangan main-main lagi,” ayah menasehati. “Atau perlu ibu carikan laki-laki yang cocok untuk kamu?” wajah ibu terlihat berseri-seri. “Tidak ah!” Nuna menolak.
Jelas ia menolak, apa kata teman-temannya nanti kalau dia dijodohkan? Seolah dia ‘tidak laku’ saja. Membayangkannya saja Nuna merasa stres, apalagi jika itu jadi kenyataan. “Coba saja kak, daripada nggak nikah-nikah? Aku kapan?” El ikut bicara. “Tuh, adik kamu sudah 26 tahun. Sudah masuk waktunya juga jika ia ingin menikah,” kata ayah sebelum menandaskan isi cangkirnya. “Duluan saja. Memangnya ‘uang hidup’ kamu sudah terkumpul?” “Sedikit,” El tersenyum kecut. “Kalau sudah cukup, duluan saja. Jangan sampai karena aku kamu tidak menikah, dan aku yang disalahkan.” “Tapi pacarku belum ada. Hehe…” El terkekeh. El tahu kakaknya akan mengatakan itu. Meskipun selalu galak dan menakutkan, tapi Nuna menyayangi El, adik satusatunya. El juga tidak berbohong, ia tidak akan punya pacar sebelum kakaknya menikah. Itu memang janji masa kecil, mungkin Nuna sudah lupa tapi El tidak. Ia sangat menyayangi kakaknya dibanding seorang perempuan di luar sana yang ia kagumi.
“Sudah tua tapi belum punya pacar, wuek!” “Daripada punya pacar tapi putus terus?” El membalas. “Aduh, kalian ini. Siap-siap nak, berangkat kerja,” kata ibu mulai membereskan meja makan. Nuna dan El bubar setelah saling menarik rambut. Keduanya sudah dewasa, tapi kelakuan tetap seperti anak kecil. Hubungan kakak-adik yang menggemaskan. Mereka ke kamar masing-masing, bergegas mandi dan bersiap. Tempat kerja mereka searah, jadi Nuna selalu ‘nebeng’ dengan adiknya jika akan berangkat kerja. Nuna seorang guru SMA, ia mengajar pelajaran bahasa Indonesia. Tiba di sekolah, ia disambut oleh beberapa guru dan siswa yang menyapanya dengan riang. Hal yang membuatnya sangat mencintai pekerjaannya, senyum dan sapa dari orang-orang yang mengenal maupun yang tidak mengenalnya. Pikiran tentang Dino sudah meninggalkan kepalanya sejak semua barangbarang itu selesai dibakar. Ada hal yang lebih penting selain perasaannya saat ini, tanggung jawab. Ia harus mengajar.
****
“Selamat pagi, Bu!” sapa murid-murid ketika Nuna masuk kelas.
“Selamat pagi kelas, kumpulkan tugas kalian!” ucapnya sesaat setelah buku dan absen mendarat di meja. Terdengar suara keluhan dimana-mana. Mereka yakin kalau tugas yang mereka kerjakan tidak sampai bahkan mendekati ekspektasi gurunya. Nuna memukul meja dengan telapak tangan, “Jangan mengeluh.” Meskipun terlihat seperti anak kecil di rumah, tapi di sekolah Nuna adalah sosok yang berbeda. Penampilannya selalu rapi, rambut panjangnya ia ikat agar tidak mengganggu. Dengan kacamata, sorot matanya yang tajam membuat siapapun tunduk. Ia sempurna menjadi seorang guru teladan – karena pintar dan tegas. Tugas yang terkumpul sudah menumpuk di atas meja. Nuna duduk dan memeriksanya. Sambil membuka lembaranlembaran tugas, ia bertanya, “Siapa yang tidak kumpul?” Kelas mendadak hening, suara napas pun tidak terdengar. Semua siswa saling menoleh tanpa suara. Tidak ada yang mengaku. “Bagus, kalau semuanya mengerjakan tugas,” katanya sambil terus memeriksa. Hembusan napas lega terdengar dimana-mana. Mereka beruntung, tidak membuat Nuna marah. Nuna adalah guru yang dikenal jarang sekali memarahi siswa, tapi jika marah ia akan sangat menakutkan. Berarti kesalahan yang dilakukan
benar-benar fatal. Seperti seorang siswa yang lulus tahun lalu. Dia bisa saja pintar, tapi tatakrama-nya bernilai minus dimata Nuna. Siswa itu dimarahi di ruang Bimbingan Konseling (BK), karena berkata kasar pada wali kelasnya, dan didengar oleh Nuna. Entah kenapa berita Nuna yang memarahi siswa bisa tersebar di sekolah. Padahal ia sengaja melakukan itu di ruang BK agar tidak ada yang tahu. Karena baginya, memarahi siswa di depan umum bukanlah tindakan yang tepat bagi seorang guru. Setelah memberikan sedikit arahan, siswa diberi tugas membuat resume dari buku yang mereka bawa. “Siapa yang tidak bawa buku?” tatapan matanya menyapu seluruh ruang kelas. Dengan takut, seorang siswa laki-laki mengangkat tangannya. “Saya Bu.” “Kenapa kamu tidak bawa, Figo?” “Maaf Bu, lupa,” jawab Figo dengan nada menyesal. Nuna mengembuskan napas, “Kamu ini. Ambil di meja ibu, di sana ada beberapa buku. Pilih satu yang ingin kamu rangkum.”
Mendengar itu, wajah Figo langsung cerah. “Baik Bu!” katanya lalu berlari keluar menuju ruang guru tanpa perlu disuruh dua kali. Seperti Figo, seisi kelas juga nampak lega. Bukan hanya Figo yang pernah selamat karena hal seperti itu. Beberapa lainnya juga pernah, ada yang tidak membawa tugasnya, lupa mengerjakan PR, lupa memakai dasi, tapi Nuna tidak memarahi mereka. Nuna hanya menegur, menghukum ringan, dan memberi sedikit kalimat ‘wejangan’. Baginya, memarahi siswa bukan cara terbaik untuk mendidik. Dia adalah seorang guru, status itu membuatnya sangat bangga dan merasa berhak mendidik anak-anak dengan cara yang menurutnya baik. Figo kembali membawa buku yang ia pilih. Ia memperlihatkannya pada Nuna. “Ganti, ambil yang paling tebal.” “Tapi kenapa, Bu?” “Hukuman karena lupa membawa buku.” Beberapa temannya tertawa. Ini adalah sisi Nuna yang lain. Meskipun Figo diberi kesempatan untuk menggunakan buku Nuna, tapi tugasnya akan lebih berat dari temantemannya yang membawa buku. Menurutnya dengan begini, siswa yang lain akan merasa diperlakukan adil. Tidak akan ada yang merasa cemburu atau merasa di-spesialkan.
Sembilan puluh menit berlalu. Pelajaran bahasa Indonesia berjalan lancar tanpa gangguan. Semua siswa sibuk dengan buku masing-masing, mencatat poin-poin penting, dan berusaha memahami isinya. “Oke, pelajaran hari ini selesai. Figo, bagikan ini ke teman-teman kamu.” Figo yang ternyata adalah ketua kelas maju untuk mengambil tumpukan di meja. Sementara Figo membagikan milik teman-temannya, Nuna berdiri sejenak di dekat meja guru. “Kalian cek kembali tulisan kalian. Isinya sudah bagus. Tapi banyak diantara kalian yang membuat ibu pusing. Kalian anak Indonesia, bukan?” “Iya Bu,” jawab mereka serempak. “Tapi kenapa belum bisa membedakan kata baku dan tidak baku? Dan lagi, setiap awal kalimat dan awal paragraf dimulai dengan huruf kapital. Bahkan di komputer sudah otomatis, kenapa masih banyak yang salah? Kalian sudah kelas XII!” Siswa yang sudah mendapatkan lembaran tugasnya mengecek, dan mengangguk-angguk tanda mengerti. “Satu lagi, jangan biasakan menulis dalam bentuk SMS. Ini artikel, orang-orang akan pusing membacanya. Mengerti?”
“Mengerti, Bu!” “Jangan biarkan teknologi membodohi karena dia sudah memudahkan setiap urusan.” Quote sederhana Nuna sebelum meninggalkan kelas. Di dalam kelas, semua siswa menatap lembaran tugas mereka yang dihiasi coretan warna merah disetiap kata dan huruf yang salah. Guru mereka benar-benar teliti tentang hal satu ini. Beberapa menggeleng, sisanya mengacak rambut karena Nuna ‘menggambar’ di lembaran tugas mereka.
****