Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
Kalau ndak keliru, Gusti Kanjeng Sultan terdahulu yang membikin prakarsa membelah alun-alun kota ini dengan sebuah jalan corcoran. Membentang dari arah utara, lurus melewati tembok beringin, kemudian mentok pas di depan Pagelaran. Kalau ndak keliru juga, dulu di tengah-tengahnya tumbuh pohon beringin berjanggut, besar dan kuat.
Konon, menurut cerita, pohon beringin itu bisa bikin kualat. Saking gagah dan lebatnya, hingga anak-anak seusiaku ketika itu sering punya pikiran bagus: alangkah beruntung jika lebih banyak lagi prajurit takut kualat. Para abdi dalem takut kualat, orang-orang tua sejenis (bertopi blangkon) serta perempuan-perempuan berkemben takut kualat. Makin banyak orang yang harus berjalan khidmat ketika melewatinya, takut dicekik lalu kualat lalu mampus, itu makin bagus. Sumpah!
“Pohon ini pasti dihuni tuyul, demit, kuntilanak, atau sebangsa wewe. Makin banyak demit makin makmur kita! Bukankah makanan demit adalah makanan kita juga, hoh-hoh.... Makanan siapa lagi, heh?” Dan tentu, semua jenis makanan persembahan para priyayi selalu enak dan baik. Kubilang juga pada mereka: “Demit pohon beringin memang tidak baik bagi mereka, tapi pasti baik buat kita.”
Meskipun tentu saja, pikiran baik ini selalu membuat persaingan seru pada setiap malam jumat. Kadang hingga berkelahi. Betapa tidak? Butir-butir kelapa muda itu, berbatang-batang cerutu, jajanan manis dan asin (kadang juga tujuh atau sepuluh butir telur) serta seribu bahkan hingga lima ribu perak uang logam bercampur kembang; bagaimanapun semuanya memang enak untuk dimakan. Lagi pula, toh kami semua beranggapan bahwa bangsa-bangsa demit hanyalah musuh bagi mereka.
Tapi kemakmuran itu tidak berlangsung lama. Angin puting beliung dahsyat tiba-tiba datang mengiringi kematian Gusti Sultan yang memang sudah tua itu. Jelas, bagi jenis gembel model aku, dan beberapa kerabat , kehadiran hujan angin puting beliung yang melanda kota ini seberapa saat sebelum Gusti Sultan yang terdahulu mati, betul sungguh tidak ramah sama sekali. Sebab beringin yang begitu keramat itu bisa terbelah dan tumbang. Betul-betul tumbang! Jelas kami kehilangan saudara wewe dan kuntilanak. Padahal semua
1 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
kerabat tahu, bahwa saudara wewe dan seketurunan kuntilanak dan demit-demit asu itu butuh sesaji. Dan di manapun sesaji diletakkan, bukankah mereka butuh kami untuk menghabiskannya?
Gusti Sultan yang lain, setelah naik tahta, menggantikan beringin besar perkasa itu dengan beringin cilik, —kecil segede jempol bayi. Sungguh lucu dibanding benteng temboknya yang besar dan tinggi. Hampir saja ketika itu Paerah dan Marijo mencabutnya karena mangkel. Kalau saja Paerah tidak segera diseret, entah bagaimana nasib beringin c ilik itu. ” Ojo dicabut Paerah! Jangan dicabut!”, kami meneriakinya keras-keras waktu itu. Tapi Paerah sempat mengencinginya satu kali. Sedangkan Marijo nekat meludahi dan memberakinya tanpa ampun. “Beringin asu !” katanya.
Dari sinilah kisah yang sesungguhnya dimulai.
***
Hidung amat pesek, rambut tumbuh jarang dan lurus, bibir memang tebal dan lebar dari Tuhan; tapi kulit berbitil-bintil bekas kena cacar hingga ke muka adalah murni sebenar-benarnya salahku. Kulitku tak putih, tapi cuman hitam amat gelap, bersisik belang gara-gara buduk yang tak kunjung sembuh. Kawan-kawan sekerabat menyebut aku onta, atau tak jarang menyindir babi. Sungguh sengsara memasuki usia lima belas. Cerita-cerita dari mulut Inoh, Tinah, Marsinem, dan lain yang segerombol bisa
2 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
mendebarkan sekaligus membuat sakit. “Lelaki itu enak, “ katanya. Lalu mereka memandangku. Lalu mereka bilang, hingga kiamat tak bakal ada lelaki yang sudi menyentuh kulit hitam berbintil-bintil dan bermuka babi sepertiku. “Bukan babi, tapi gabungan babi dan Onta!” begitu kira-kira ejekan mereka.
“Aku akan buktikan itu!” entah mengapa, tiba-tiba aku merasa sakit hati. Berbulan-bulan aku meradang, dan merasa terhina. Tapi begitulah nasib buruk, meski kutiru habis-habisan gaya mereka (Inoh, Tinah, Saliyem, dan sekerabat pelacur seumurku yang diam-diam selalu kuperhatikan), dengan gincu dan bedak seribu perak di mukanya. Kutiru gambar-gambar dalam adegan tivi saat aku harus menggoyang-goyangkan pantatku di depan lelaki sekerabat -ku, kutiru dengan penuh luka dan malu, tapi tampaknya seluruh lelaki sial itu hanya punya satu kata: “Pergilah! Kamu bau! Bikin mual!”
Hingga satu hari, dengan berani dibelikanlah Paimin sebotol KTI. Di saat Paimin mabuk itulah aku serahkan diriku sungguh-sungguh. Kuterkam mulut bau Paimin segera, meskipun rasanya bacin dan asam karena Paimin (seperti juga kami semua) tak pernah tahu apa gunanya gosok gigi. Tapi memang begitulah yang kulihat, atau mungkin yang aku harus lakukan segera, seperti apa yang musti dilakukan orang-orang pada awalnya. Seperti yang kulihat di dalam gambar-gambar. Memakan bibir laki-laki, dan laki-laki memakan bibir perempuan! Sungguh-sungguh, Paimin mabuk meneracau, mendengus, menyeretku tanpa ampun. Menindih dan membanting-banting. Dan aku, dalam kesadaran yang disengaja, berteriak-teriak agar seluruh orang kerabat-kerabat itu mendengar bahwa aku juga perempuan yang punya harga diri. “Makan aku, Paimin. Samber bledek, mumpung aku masih perawan....”
Ah, kasihan Paimin sesungguhnya. Karena kenekatankulah Paimin harus menanggung malu. Ia pergi ke kota lain. Ia sering disindir oleh para kerabat dengan sebutan matamu picak. Maka demikianlah pada awalnya Paimin selalu menjawab: “ Djiancuk , kadal buduk, monyet jelek, kowe ngerti kan kalau aku mabuk? Aku tidak tahu kalau yang kutidurin itu itu onta berkulit babi! Bangsat kowe semua...”
Dan mereka semua tertawa. Mereka semua senang jika Paimin menanggung malu.
3 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
***
Tapi sekarang bukan lagi waktunya buat memaki. Bukan lagi waktunya. Bukalah mata kalian bulat-bulat. Silahkan kalian ngomong sekehendakmu, aku tak peduli. Karena dari sinilah, sekali lagi, kisah yang sesungguhnya akan aku ceritakan dengan terang-terangan.
Dulu aku sakit gara-gara Paimin, lantaran Inoh kemudian mencakar muka dan memaki-maki hebat dengan kata-kata buruk yang tak berkesudahan. Inoh cemburu! (sebetulnya aku bangga bisa membikin Inoh cemburu). Lalu Paimin bergegas pergi padahal setelah malam kejadian itu aku jadi kangen. Aku kangen pada kekasaran Paimin, pada mulut Paimin yang asam, dan terutama pada keanehan tubuh laki-laki yang nyatanya bisa membuat napasku bergetar. Dengan dada berdebam-debam. Bau bacin keringat Paimin, bau bangkai mulut Paimin, menjadi kenangan tak pernah kulupa. Sumpah.
Tapi lihat sekarang aku. Seribu kali Paimin dan serombongan lelaki lain mungkin harus berpikir hanya untuk percaya saja. Entah aku waras ataukah hanya setengah sinting. Tapi begitulah cerita ini memang betul-betul nyata. Ketika suatu malam, seorang Pangeran datang meminangku. Seorang lelaki dengan kulit seperti jin! Seperti demit, seperti kera putih dalam wayang kulit yang sering kutonton di pagelaran setiap bulan maulud. Ia, lelaki jin itu, mengajakku berkenalan dengan tiba-tiba, dan menggondolku dengan tiba-tiba.
“Saya menyukaimu,” begitu katanya.
Betapa aku begitu mulia. Sungguh. Samber bledek. Ketika kali itu aku ketemu, dan ketika kali itu dengan tiba-tiba ia mengajak ngomong, aku sungguh-sungguh hanya ingin percaya. Dan nyatanya ia memang terus ngomong dan
4 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
mengajakku jalan. Dan nyatanya ia senang dan dibelikan aku kalung imitasi. Dan ia takjub lalu membeli baju. Seumur hidup, pada usia tujuh belas itulah aku tahu, betapa sukanya orang kalau disayang. Aku senang. Aku bahagia. Pada usia tujuh belas ada laki-laki memandang wajahku seperti betul-betul wajah asli milikku. Dia bilang, “Kamu cantik. Kamu tak ada duanya kalau kubawa ke negri saya. Tentu kamu mau jadi teman saya, Lisa!”
Sumpah. Aku tidak berbohong. Dia memanggilku “Lisa”, bukan “babi”, “onta”, atau “buduk”. Dan dia mengatakan: aku cantik.
Mungkinkah ia memang laki-laki demit yang begitu mulia? Ataukah hanya orang gila, atau sinting, atau setengah sinting. Ah, sudahlah, aku tak biasa berpikir-pikir. Ndak waras pun tak apa, demit pun jika ia memang sungguh demit, juga tak apa.
“Apakah kamu masih perawan, Lisa?”
Perawan? Pertanyaan itu bikin kaget. Tapi pertanyaan itu juga bikin aku bangga. Kubilang, “Banyak lelaki yang telah meniduriku!”
Lisa? Samber bledek, namaku memang Lisamah. Dan laki-laki berkulit jin itu lantas memanggil Lisa? Lisa... Duh Gusti. Berapa tahunkah namaku tak pernah disebut orang, meskipun aku selalu ngotot bahwa namaku Lisamah, bukan babi, onta, apalagi buduk. Barulah aku tahu, bahwa malam setelah itu adalah malam-malam yang begitu baik. Bahwa aku punya nama yang baik. Makanya rumput-rumput jadi sejuk, jalan-jalan jadi sejuk, orang-orang jadi sejuk, juga Mang Oding tukang kacang, Lek Mijo sego angkring, semua memandang heran dan sejuk. Mereka melotot. Lihatlah matanya! Ajaib, “Onta!” katanya. “Apakah betul itu Onta?” Semua kerabat pada ngiri. Aku cuman tersenyum. “Aku bukan onta. Aku sekarang Lisa.... Sekarang panggilah namaku dengan benar: Lisa”.
Uh. Pada mulanya aku memang bingung mau jawab apa saat lelaki jin itu bertanya tentang perawan. Tapi pikiran baik selalu tiba-tiba datang. Bahwa aku harus dengan tegas menjawab: sungguh aku sebetulnya tidak perawan. Malahan aku ingin sekali bisa cerita dengan panjang (dan penuh kebanggaan) bahwa aku betul-betul tidak perawan pada usia lima belas! Bahwa
5 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
banyak lelaki yang mau (atau perlukah dibilang tergila-gila? Ah, ndak usah saja). Aku membayangkan diri seperti menjadi perempuan yang pernah menjadi rebutan.
Tapi akhirnya aku hanya cerita tentang Paimin saja. Aku ingin jujur saja. Dan ia malah tertawa. Lelaki jin itu memegang tanganku dan bilang: “Saya senang kamu begitu. Ha-ha-ha!” Ternyata betul. Dia lebih senang aku telah berkata jujur.
“Di tempat saya, gadis seumur kamu memang sudah saatnya menentukan pilihan. Saya suka, Lisa. Saya suka.”
“Nama saya Frederick,” katanya menjelaskan. Pe-re-dik? Aneh. Tapi sungguh itu tidak apa-apa, tidak tahu namanya pun pun tidak apa-apa. Lelaki jin itu saja sudah cukup. Tapi dia cerita panjang lebar, tentang asal dia dari negeri yang jauh. Tentang tempat tinggalnya yang katanya harus menyeberangi lautan. Tapi yang paling penting, bahwa lelaki jin itu memegang tanganku! Samber bledek aku gemetar.
“Maukah kamu pergi menemani saya, Lisa?”
Lisamah. Sekali lagi namaku Lisamah. Sekarang aku menjadi Lisa.
“Untuk sementara, kamu boleh mandi dan tiduran di sini.” Lagi-lagi aku merasa gemetar. Memandang sprei bersih, bantal bagus, seumur hidup tak pernah.
“Jadi Predik menginap di hotel sini?” Predik mengangguk lalu tertawa. Ada kamar mandi. Aku, Lisamah, disuruhnya mandi. Biar wangi, katanya. “Pakai handuk itu, caranya mengeluarkan air begini, yang ini air panas, yang ini dingin, dan ini shampo, dan itu sabun... Gosoklah gigimu supaya bersih!”
“Jadi Predik mandi dan tidur di sini?”
6 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
Ia kembali tertawa. Lelaki jin itu sungguh pandai membuatku tidak malu.
“Kamu lucu, Lisa. Tapi kapan-kapan saya ingin menginap di tempatmu.”
Tentu aku kaget: “Di tempatku?”
“Betul. Di tempat kamu menginap.”
“Di alun-alun?”
“Ya. Kapan-kapan. Tapi sekarang tidurlah kamu di sini.”
***
Sumpah Prediklah yang mula-mula bercerita tentang Gusti Sultan. Amit-amit, sebetulnya aku tak berani ikut ngomong tentang Gusti Sultan karena itu akan membuat kualat. Katanya, Gusti Sultan membuat jalan corcoran di tengah alun-alun itu pada awalnya baik. Bagus buat nuntun kuda, dan baik buat abdi-abdi dalem serta emban-emban setelah gilir sore-sore jalan kaki. Bagus lantaran kalau malam banyak rakyat duduk-duduk mengintip bulan. Boleh pacaran. Boleh bawa anak atau bawa siapa saja. Jalan Agung di tengah kota terlalu sumpek, katanya. Kadang-kadang juga pesing, bacin, dan bau kencing. Sedang sudut alun-alun (yang dulu buat rakyat ngintip bulan) sebelah timur,
7 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
kini sudah semrawut. Banyak bakul-bakul , penjual jagung bakar yang senangnya menggeret-geret, memaksa-maksa. Berkomplot dengan pengamen yang seringnya bikin ribut. Juga makin banyak sepeda motor dan mobil berkeruyukan nyari parkir. Belum lagi banci-banci yang memang liar. Pokoknya makin ndak tenang jika buat jalan klangenan .
Tentu saja aku bingung, tak tahu apa yang diomongkan Predik. Aku hanya berkali-kali bilang bahwa Gusti Sultan itu selalu baik. Tak pernah tidak baik. Baik untukku, juga baik buat semua kerabat yang tinggal di sini. Terus terang, aku bilang baik karena memang tidak mungkin melupakan kebaikan jalan ini, yang telah mempertemukan aku dengan Predik! Jika ingat itu berkali-kali aku ingin nangis. Aku katakan itu pada Predik. Cor-coran yang anget, lampunya terang, tidak bau got, tidak terganggu sekaligus mendatangkan banyak rezeki.
“Maksudku, Gusti Sultan yang dulu. Pemilik beringin keramat,” tegasku kemudian. “Tapi juga Gusti Sultan yang sekarang.”
“Ah, kamu tidak mengerti Lisa. Bagi saya kedua-duanya sama. Tidak baik.”
“Tidak baik kenapa, Predik? Kenapa tidak baik?”
“Karena kedua-duanya sama-sama jahat, ha-ha-ha...”
Sekali lagi, aku tak paham maksud Predik. Aku hanya tahu, bahwa sejak dulu pendapat keraba t semu a, tempat macam ini cocok buat tidur dan nyambi . Itu saja. Dan tempat ini, tentu saja semuanya milik Gusti Sultan. Tentang tempat ini, aku bilang sekali lagi: itu sepantasnya, dan memang begitu dari dulu. Para
8 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
emban , abdi-abdi dalem , atau nyonyah-nyonyah dan tuan; memang semuanya sering datang ke sini. “Mereka dulu paling takut pada beringin di tengah itu,” aku menunjuk dengan tegas ke arah tengah alun-alun. “Maka kalau mereka pergi malam-malam ke sini, mereka tidak pernah berani mendekati beringin milik Gusti Sultan. Mereka takut kualat.”
“Tapi sekarang sudah tidak lagi,” kataku kemudian. Aku lalu cerita tentang Tinah dan Marsinem (sekerabatku) yang gara-gara itu ia pernah menyilet banci: ”Tempatmu di sana bedes elek! Banci-banci jelek! Di pojok alun-alun! Bukan di tembok beringin sini!”. Tentu saja tak ada yang berani pada ancaman mereka. Tinah dan Marsinem memang berbadan kingkong.
“Kenapa Tinah dan Marsinem mengusir banci-banci itu dari tembok?” tanya Predik kemudian.
“Tentu saja, karena tembok beringin itu sekarang selalu ramai, terutama jika malam hari. Para priyayi itu sudah tidak takut lagi. Banyak priyayi baru, tidak hanya yang suka pake blangkon saja, tetapi juga orang-orang umum yang pake topi, kaos dan celana jin. Tak ada lagi demit yang keramat. Maka dari itulah Tinah dan Marsinem memakainya untuk bekerja. Mereka tak ingin tempatnya diganggu!”
Akhirnya aku dan Predik tertawa ngakak. Sumpah samber bledek untuk ini aku merasa bangga bisa banyak cerita. Dan aku tidak bisa bohong. Entah, aku juga bingung. Predik, membuatku seperti wanita betulan. Sedikit-sedikit ingin bisa melucu. Sedikit-sedikit ingin juga bisa mikir.
“Ceritakan lagi, apa saja, Lisa. Aku senang kamu bisa lancar bicara.”
“Anu, Predik...”
“Fre-de-ri-ck. Frederick!”
9 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
“Ya, Pe-re-dik, Predik,” aku jadi tersenyum. Nyatanya Predik betul gembira. Itulah Predik, membuat aku bangga dan seperti bener-bener pinter: “Kalau dulu beringin keramat ini hanya menyediakan makanan dari para priyayi tua berblangkon dan perempuan ndoro berkemben setiap malam jumat, tapi sekarang kami bisa mendapat makanan setiap malam! Maksudku, dia sekarang bukan hanya milik priyagung lagi, orang-orang priyayi saja.... Maksudku, em, membuat jalan corcoran itu, benteng tembok beringin itu, memang bukan buat mereka. Tapi buat kami. Em, bagaimana ya, aku bingung ngomongnya Predik.“
“Good!” Predik mengacungkan jempol.
“Betul, gud. Tukang mi ayam, abang becak, sego angkring, kerabat-kerabat, juga semua akhirnya ikut seneng. Kanjeng Gusti Sultan telah berhasil membikin jinak beringin keramat. Hanya Kanjeng Gusti Sultan yang akhirnya bisa mengusir saudara wewe dan kuntilanak hingga kami bisa bebas main di dalam tembok. Hingga tembok ini ramai sampai pagi. Itu sebuah berkah Gusti Sultan, maksudku. Itu semua....”
“Main? What... apa itu main? Apa sultanmu juga ikut main?” Predik kembali ngakak.
Aku geli. Predik tak juga mengerti. Maka aku terangkan seperti guru. Aku praktekan dengan gerakan apa yang sering dilakukan Paerah, Salijo, Mursalim, bahkan Inoh dan Ipah saat bekerja di dalam tembok beringin. Kadang bisa sampai dapat lima lelaki, kadang hanya dapat tiga, tapi bisa juga dapat sepuluh. Predik lalu bertanya, apakah Salijo dan Mursalim itu wanita. Aku jawab laki-laki. Mereka bisa sewa pakaian wanita.
“Jadi kamu yang menyewakan pakaian?”
“Ya, semalam dua ribu.”
10 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
“Juga main?”
“Aku pernah mencoba, tapi ndak laku,” menunduk. Betul aku malu. Tapi senang akhirnya Predik mengerti.
“Betul-betul negerimu mengagumkan!”
***
“Aku ingin dipoto Predik, potolah, ayo!!” Jangankan Partinah, Marsinem, Suparti, Mursalim, bahkan Wak Kontet yang dihormati gerombolan pemulung dari daerah utara juga bangga. Senang dan suka. Memuji-muji Predik yang amat baik. Tentu, aku, Lisamah, berbunga-bunga. Betapa nikmat dipandang orang berharga; “Ayo, mana nyonyahnya? Lisa... sini dong! Senyum, naaah begitu dong!”
Setiap Predik datang, selalu membawa alat potret. Entah kenapa Predik amat suka memotret. Predik juga seringkali membawa makanan: membawa sate, membawa apel, membawa anggur. Semua gembira. Bahkan Paimin, yang dulu pergi dan membuat kangen, kini sudah kembali nongol. Dengan bersemangat dan tak malu ia bercerita, bahwa dialah yang pertama kali meniduri Lisa. Tak ada onta. Tak ada babi. “Lisa itu hebat,” katanya.
“Jadi kau pernah tidur di losmen Garuda itu Lisa? Wah...”
“Tempat tidurnya wangi!”
11 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
“Mas Predik, sekali-sekali dong ajak Inge.”
“Husy! Jangan ngaco kamu, Inge!”
“Nyaaaaaaak.”
“Heran ya, padahal kan lebih cantik Inge...”
“Sssst, bisa kualat kamu. Mang Oding bilang, Lisa itu ketibanan awu ratu.”
Aku hanya ingin menangis atas anugrah itu. Barangkali benar kata semua orang, bahwa Gusti Sultan berkenan maringi pangestu, memberi berkah. Karena aku sudah lama tinggal di sini. Di alun-alun ini. Tidak seperti kebanyakan. Aku merasa terhormat. Betapa tempat ini selalu penuh pemandangan yang bagus. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Malam selalu baik, dan Predik semakin betah. Aku pikir, Predik semakin cinta. Aku pun jadi betul-betul amat cinta. Aku jadi ingin selalu bersama Predik. Ingin selalu dipegang Predik. Di dalam rumput. Di dalam tembok beringin. Di atas becak. Di atas jalan corcoran anget.
Predik jadi sering menginap. Ah, kalau saja di sini hanya ada aku berdua sama Predik. Tak ada semua orang yang bisa ganggu. Tapi tak apa. Aku percaya sama Inoh, Sulinem, atau ker abat kerabat semua. Tak mungkin mereka bisa merebut Predik.
“Semua kawan-kawanmu baik,” kata Predik. “Aku ingin akrab dengan semua,” katanya lagi.
“Tapi Predik...”
12 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
Ah. Bukankah aku hanyalah Lisamah?
***
Kalau saja Inoh tidak saling cakar dengan Marsinem gara-gara rebutan sudut tembok, barangkali tak ada pikiranku untuk melibatkan becak-becak. Maklum warga semakin bertambah. Ditambah persoalan banci-banci yang diusir dari jalan Kapas. Memang banci-banci itu sekarang tak berani lagi beroperasi di dalam tembok beringin. Kami mengusirnya dengan ancaman yang keras. “Mereka banci asli, punya rumah, dan kaya. Mereka tidak berhak di sini,” begitulah kesepakatan yang terjadi.
“Kalau Mursalim misalnya, siang dinas tetapnya ngemis dan malam jadi banci, itu namanya halal. Cari lemburan.”
Yang jadi pokok masalah sebetulnya, adalah rombongan pemulung pimpinan Wak Kontet. Dulunya memang mereka hanya numpang kumpulan: pagi-pagi dikumpulkan Wak Kontet untuk nerima uang seribu buat sarapan, dan sorenya kembali kumpul bayar Wak Kontet seribu empat ratus. Tapi kini, hitung punya hitung mereka jadi tertarik cari lemburan. Menjadi banci jika malam hari, menjadi pemulung jika siang hari. Akhirnya, banyak juga mereka yang pada tidur. Kemudian menganggap tembok beringin adalah wilayahnya. Sungguh repot.
Bayangkan, dari sepuluh warga yang sah (maksudnya yang asli golongan kami, sejak kecil memang tinggal di sini) kini jadi tiga puluh. Sedang luas tembok hanya tujuh meter kali tujuh meter. Kalau bermain dengan jarak rapet-rapet, apa mungkin tamu mau. Kecuali mungkin yang kepepet, atau tak tahu malu, atau lagi sekarat lantaran mabuk. Tapi tamu model begitu, bukankah hanya satu dua?
13 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
“Mending kalau semua tamu bisa model Mursalim, cukup dengan berdiri. Lha, Inoh dan Ipah contohnya? Mereka kan perempuan asli, harus telentang. Ndak mungkin main sambil berdiri kan?”
“Usaha kita bisa bangkrut!”
Semua lantas menuding Wak Kontet. Wak Kontet balas menuding: “Harap sampeyan jangan salahkan aku lho . Aku hanya buka kridit nolong yang susah di sini. Malah gara-gara banyak anggota yang betah, banyak tertarik cari lemburan, aku jadi susah. Langganan kridit semakin kurang,” Wak Kontet langsung ngotot.
“Bukan begitu Wak Kontet. Sesama kerabat dilarang saling melarang. Kumpulan ini, maksudnya cari jalan keluar. Bagaimana kalau kita gunakan becak? Kita sewa becak-becak buat main. Daripada banyak nongkrong malam-malam, kasian. Aku sudah nembung Mas Jalil. Mas Jalil setuju satu kali main dua ribu. Paling banter juga setengah jam rampung, kan? Lagian, semua becak punya tedeng hujan. Nah, tedeng hujan itu bisa pake tutup. Biar gak ketahuan. Dari pada gelar di rumput terbuka? Pegalaman kita-kita semua, begitu tamu diajak gelar di rumput, banyak enggak mau.”
***
Sungguh Gusti Sultan milik kami. Puluhan becak yang kami anggap sekerabat karena banyak diantaranya yang juga tak punya rumah, kini menjadi warga baru. Warga yang baik, karena
14 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
kami semua memang baik. Begitulah jika malam mereka bergerombol di warung sego angkring Pakde Sukir, itu artinya becak mereka sedang main. Pada awalnya amat lucu melihat puluhan becak-becak yang keliatan kosong (tentu saja dengan tedeng tertutup), akan tetapi bergerak-gerak. Tapi lama-lama jadi terbiasa. Pernah suatu ketika, becak kosong yang bergerak itu tiba-tiba nyelonong. Tentu saja dua pemain di dalamnya panik, berteriak mencoba keluar dengan tubuh telanjang. Orang-orang kaget, lantaran becak itu akhirnya jempalit, jungkir. Lha, ya pasti saja jungkir, soalnya tak ada keseimbangan kalo orang yang ada di dalamnya keluar tiba-tiba. Pakde Sukir bilang, becak itu pasti didorong kuntilanak. Tapi aku tidak setuju. Aku bilang, sudah lama kuntilanak tidak lagi betah tinggal di sekitar tembok beringin. Kuntilanak sudah diusir Gusti Sultan. “Tapi kenapa becak itu nyelonong tiba-tiba?” katanya. Aku jawab: “Mungkin kita harus mengganjal becak-becak itu dengan batu. Sebelum becak dipake main.” Lalu semua setuju. Bahkan Mas Jalil mengikat roda belakangnya pada sebuah patok. Sejak itu, tak lagi ada kejadian aneh yang menimpa para pemain. Semua aman.
Kecuali Predik. Ya, hatiku semakin tidak aman semenjak predik menjadi akrab pada semua ker abat . Ketika pikiran tentang becak diketahui Predik, lelaki jin itu masih amat mesra menepuk-nepuk pundakku sambil bilang, “Kamu memang pintar, Lisa. Aku suka kamu pintar.” Dan Predik pun makin akrab dengan tukang-tukang becak. Makin sering kelayapan. Makin jarang mengajak jalan.
***
Tiga puluh entah kerabat untuk seorang laki-laki, apakah mungkin? Mulanya aku senang. Suka. Gembira. Predik seperti priyagung kekaguman, tidak jijikan dan nyinyir. Semalam dua malam. Sebulan dua bulan. Dua tahun? Aku tunjukkan dengan bangga semuanya tentang kita-kita, kerabat-kerabat, semua: kebiasaan, cara omong-omong,
15 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
harga, juga tentu para langganan. Sedang aku sudah merasa betul jadi wanita. Cor-coran masih anget, lampu jalan yang meredup dalam tebaran becak-becak sewaan, berpencar-pencar semakin subuh semakin gelap.
Pada mulanya aku juga paling suka melihat bayangan Predik melintas-lintas. Tertawa-tawa. Kadang berdiri di tembok. Kadang lenyap di balik tedeng. Aku senang dan percaya. Lama. Tapi lama-lama, ah lama sekali, aku gelisah.Cerita Mak Jamilah tukang pijat, yang juga kerabat kami, membuat aku takut. Mak Jamilah bilang: “Suamimu kini jadi rebutan. Tadi malam aku lihat, suamimu mencoba main di dalam becak. Bersama Mursalim.”
Suami? Duh.
“Kamu pucat, Lisa.”
Aku diam. Aku melihat Mak Jamilah curiga. “Apakah kamu sakit, Lisa?”
Dua tahun tak terasa, dan kini usiaku sudah sembilan belas. Semestinya aku menganggap hal itu adalah biasa. Semenjak kecil, aku, Lisamah, tak pernah memiliki apa pun. Bahkan tak pernah memiliki kemarahan, kecuali saat usia lima belas saat keperawanan milik paling sial dihina. Tapi kini, kenapa mendadak merasa marah? Mendadak ingin menangis. Mendadak ingin pergi.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Hingga suatu malam aku memberanikan diri bertanya: “Apakah engkau cinta Inoh dan Nursalim, Predik?”
Predik mengangguk. “Saya mencintai mereka semua. Semua yang tinggal di sini.”
Predik lantas tertawa. Menggenggam tangan dan berjalan. Menunjuk lampu, jalan, gedung-gedung, dan rumah: ”Lihat keraton itu Lisa. Begitu besar dan megah. Semua yang tinggal di sana, pasti bahagia Tapi di sini orang-orang juga bahagia. Kau tahu arti nrimo? Itulah
16 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
yang dikatakan Sultan supaya kalian bahagia. Itulah yang lantas dikatakan Inoh. Itulah yang juga dikatakan Nursalim. Mungkin itu pulalah yang kemudian dikatakan semua. Saya ngeri. Saya tidak seperti kamu, tapi saya tak pernah bisa tertawa seperti ini. Di negeri yang jauh, saya punya rumah, punya pekerjaan, punya kehidupan; tapi tidak seperti di sini. Di negeri saya yang jauh, orang-orang semacam kamu pasti sudah bunuh diri! Pasti....” Predik terus nyerocos. Samber bledek aku tak paham. Kenapa Predik bilang seperti itu? Kenapa Predik bilang mencintai semua? Apakah mungkin Predik juga bermain dengan mereka semua, tiga puluh entah lelaki dan perempuan? Ingat bayangan itu, aku tiba-tiba menjadi pusing. Tapi siapakah aku? Aku hanyalah Lisamah.
“Kenapa Lisa? Kamu terlihat pucat.”
Aku diam. Aku sebetulnya ingin bilang bahwa aku sakit. Tapi aku takut.
“Katakan Lisa. Apa kamu mau ngomong sama saya?”
“Tidak,” aku menggeleng.
Akhir-akhir aku memang sakit. Takut. Aku benci mereka: Marsinah, Inoh, Painah, Sulijo, —semuanya. Makanya aku pilih tinggal di jalan. Menunggu Predik pergi. Dan seperti wanita-wanita yang pernah kulihat, aku pun mencoba menangis. Mengeluarkan air mata. Pada usia sembilan belas itulah aku sungguh-sungguh bisa menangis. Aku nyaris tak percaya. Hingga suatu pagi yang tak baik Predik menderita gila dan mengajakku pergi ke penginapan. Kemudian di sanalah ia bilang dengan mulut paling buruk: “Lisa, saya mau bilang terima kasih. Seluruh ceritamu, serta pengalaman bersama orang-orang di tempatmu sungguh amat berharga. Kini sudah saatnya saya pulang. Saya akan tulis sebuah laporan yang amat penting. Bagi saya, dan terutama bagi negeri saya. Saya harus segera pergi.”
Samber bledek! Demit gundul! "Pergi lapor? Jadi kamu mau pergi lapor, melaporkan aku? Pada siapa? Heh?! Jadi kamu sebetulnya temen pulisi?" Aku kaget dan putus asa. Pucat. Tak dinyana. Lalu lelaki jin itu malah menggeleng tertawa.
17 / 18
Rumah Cinta Ujung Langit - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Joni Ariadinata Jumat, 06 Mei 2011 16:04 -
"Ah, kamu tidak mengerti, Lisa, kamu tidak...."
"Kamu sudah pake aku, pake Inoh, pake Mursalim, pake semua. Semua! Semua, uh-uh.... Jadi kamu sebetulnya siapa? Kamu musti ngaku! Kamu...."
"Dengar Lisa!" Demit bau! Apakah yang aku ngerti? Mulut Predik nyerocos. Terus nyerocos. Busuk dan gila. Aku bisa meradang. Aku hanyalah Lisamah, bukan Lisa, bukan wanita. Aku benci: “Pergilah, bangsat! Lelaki busuk! Ke neraka!!” aku sakit. Aku sungguh-sungguh sakit. Aku makin tak suka mereka semua: Marsinah, Inoh, Painah, Sulijo, —semuanya. Aku ingin ngamuk. Ingin membunuh. Dan ingin mati. J oomla SEO by AceSEF
18 / 18