TINJAUAN HASIL PENELITIAN PUSTAKA
Ejakulasi Dini Dito Anurogo Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya / RS PKU Muhammadiyah Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
SINONIM Premature ejaculation (PE), ejakulasi praecox, zaoxie (bahasa Cina), early release, premature ejaculation (PE), early ejaculation (EE), rapid ejaculation (RE). Di dalam artikel ini, digunakan istilah ejakulasi dini (ED). DEFINISI Ejakulasi merupakan proses keluarnya cairan ejakulat (berupa semen/mani) yang ditandai dengan keluarnya komponen-komponen ejakulat, ejakulasi antegrad, penutupan sfingter uretra interna, dan pembukaan sfinkter uretra eksterna. Ejakulasi terjadi sekitar 2-10 menit dari dimulainya hubungan seksual; sekitar 75% pria berejakulasi 2 menit setelah penis memasuki vagina. Berikut beberapa definisi ejakulasi dini: Menurut ICD X, kriteria ED ditujukan untuk mereka yang memenuhi kriteria umum disfungsi seksual, yaitu ketidakmampuan pasangan seksual dalam mengendalikan ejakulasi secara cukup untuk menikmati hubungan seksual. Bermanifestasi sebagai terjadinya ejakulasi sebelum/segera setelah aktivitas seks dimulai (sekitar 15 detik); tidak cukup ereksi untuk memungkinkan terjadinya hubungan seks. Hal ini bukan akibat dari lama tidak berhubungan seks. Seorang pria didiagnosis ED bila berejakulasi dalam waktu 15 detik setelah penetrasi. 1. Ejakulasi dengan rangsang/stimulasi minimal yang terjadi mendahului hasrat, keinginan, birahi, sebelum atau segera setelah penetrasi (masuknya penis ke vagina), yang menyebabkan ketidaknyamanan (bother) atau penderitaan (distress), sedangkan penderitanya sedikit atau tidak memiliki pengendalian (Second International Consultation on Sexual and Erectile Dysfunction). 2. Ejakulasi yang menetap atau berulang dengan sedikit stimulasi/rangsangan sebelum, saat, atau segera setelah penetrasi dan sebelum penderita menghendakinya Alamat korespondensi
(sedikit atau tidak memiliki pengendalian); sehingga menyebabkan penderita dan/ atau pasangannya khawatir, menderita, atau tertekan. (International Consultation on Urological Disease). 3. Disfungsi seksual pria yang ditandai dengan ejakulasi yang selalu atau hampir selalu terjadi sekitar satu menit sebelum atau di dalam vagina saat melakukan penetrasi dan ketidakmampuan untuk menunda ejakulasi di (hampir) semua penetrasi; juga akibat-akibat negatif seperti: penderitaan, kekhawatiran, kecemasan, frustrasi dan/atau menghindari hubungan seksual (International Society for Sexual Medicine). 4. Ejakulasi tak terkendali dengan ciri khas berupa orgasme berulang atau menetap dengan sedikit rangsangan seksual sebelum, saat, atau setelah penetrasi (masuknya penis ke vagina) dan sebelum seseorang menginginkannya. 5. Keadaan seorang pria sudah mengalami orgasme dan berejakulasi sebelum ia sengaja menghendakinya. Semua definisi di atas memahami ED dari aspek saat berejakulasi (short time interval between penetration and ejaculation), ketidakmampuan mengendalikan atau menunda ejakulasi (lack of control over ejaculation), dan konsekuensi/ akibat negatif dari ED (distress by one or both partners). EPIDEMIOLOGI WHO (World Health Organization) menyebutkan hak untuk sehat secara seksual (sexual health) merupakan hak asasi manusia. Jadi, memang sebaiknya ada kebebasan dari gangguan organik, penyakit, dan kekurangan yang mengganggu kebebasan seksual dan reproduksi. Bentuk disfungsi (gangguan) seksual yang umum dialami pria adalah ejaculatory dysfunction, ejakulasi dini,disfungsi ereksi, dan penurunan libido.
Ejakulasi dini (ED) merupakan gangguan/ disfungsi seksual pria yang paling sering dijumpai. ED memengaruhi sekitar 14-30% pria berusia lebih dari 18 tahun, 30%-40% pria yang aktif secara seksual, dan 75% pria di saat tertentu di dalam kehidupannya. Di seluruh dunia, ada sekitar 22-38% penderita ED. Menurut Carson C dan Gunn K (2006), sekitar 25%-40% dari semua pria menderita ED. Beberapa sumber bahkan menyebutkan 30-75% dari semua pria di dunia menderita ED. Ejakulasi dini merupakan problem seksual terutama pada penderita diabetes melitus, di samping impotensi dan hilangnya libido. PENYEBAB Penyebabnya kompleks dan multifaktor, meliputi interaksi antara faktor psikologis dan biologis. Faktor psikologis meliputi: efek pengalaman dan pengkondisian seksual pertama kali (termasuk pengalaman seks di usia dini, hubungan seks pertama kali, dsb), terburu-buru ingin mencapai klimaks atau orgasme, teknik seksual, frekuensi aktivitas seksual, rasa bersalah, cemas, penampilan seksual, problematika hubungan, dan penjelasan psikodinamika. Faktor biologis meliputi: ketidaknormalan kadar hormon seks dan kadar neurotransmiter, ketidaknormalan aktivitas refleks sistem ejakulasi, permasalahan tiroid tertentu, peradangan dan infeksi prostat atau saluran kemih, ciri (traits) yang diwariskan, teori evolutionary, sensitivitas penis, reseptor dan kadar neurotransmiter pusat, degree of arousability, kecepatan refleks ejakulasi. Riset terbaru menduga hipersensitivitas penis merupakan salah satu penyebab yang mendasari ED. Faktor lainnya yang dapat juga berperan, seperti: impotensi (disfungsi ereksi), kerusakan sistem saraf akibat pembedahan atau trauma (luka), ketergantungan narkotika dan obat (trifluoperazin) yang digunakan untuk
email:
[email protected]
CDK-199/ vol. 39 no. 11, th. 2012
823
TINJAUAN PUSTAKA mengobati cemas dan gangguan mental lainnya. Ejakulasi dini yang dimulai setelah beberapa tahun dapat disebabkan oleh infeksi saluran kemih, konflik antarpasangan, atau gangguan neurologis. SIKLUS RESPONS SEKSUAL Bolte mengemukakan model linear untuk menjelaskan siklus respons seksual. Ia mengemukakan lima fase, yaitu:
PROSES EJAKULASI Proses ejakulasi terdiri dari fase emission (pemancaran) dan expulsion (pengeluaran) dua refleks persarafan sequential yang jelas berbeda namun dikoordinasi dan distimulasi oleh input saraf sensoris. Serabut saraf sensorik n. pudendus di glans penis mengirim informasi menuju sacral cord dan bagian otak korteks serebral sensoris.
Semen menyebabkan tekanan pada dinding ampullae urethra yang memuncak menuju afferent impulses, yang mencapai tulang belakang (S2–4) melalui saraf pudendal dan pelvik. Pengeluaran diperantarai oleh motor neurons di nucleus Onuf yang melewati pudendal nerve; mempersiapkan kontraksi harmonis otot bulbo-cavernosus dan ischiocavernosus di dasar panggul.
Refleks ejakulasi dimodulasi oleh otak dan medula spinalis; seseorang dapat berejakulasi dengan stimulasi getaran penis.
Penderita ejakulasi dini primer idiopatik memiliki penile sensory thresholds yang lebih rendah dan/atau cortical penile thresholds yang lebih besar daripada rekannya yang normal. Riset pada hewan dan manusia menghubungkan serotonergic genesis dan penyebab genetik.
1. Fase kehendak/libido seksual (sexual desire/libido) Fase ini terdiri dari berbagai fantasi, imajinasi, khayalan tentang aktivitas seksual dan kehendak/ dorongan yang berhubungan dengannya. 2. Fase perangsangan seksual (sexual excitement, arousal) Fase ini terdiri dari perasaan subjektif tentang rangsang seksual, kenikmatan, dan perubahan fisiologis yang menyertai. Perubahan utama pada pria adalah penis mulai berdiri dan menegang. Sedangkan pada wanita, ditandai dengan menyempitnya pembuluh darah di panggul, pelumasan (lubrikasi) dan “pengembangan” vagina, “pembengkakan” organ kelamin luar. 3. Fase plateau Fase menuju orgasme. Testis pria tertarik ke skrotum. Vagina terus “mengembang” karena aliran darah meningkat, klitoris menjadi sangat sensitif. Pernapasan, detak jantung, dan tekanan darah meningkat secara bertahap. Spasme otot mulai terjadi di wajah, tangan, kaki seiring dengan meningkatnya tegangan otot-otot. 4. Fase orgasme Fase ini merupakan puncak (climax) kenikmatan seksual yang diiringi kontraksi ritmis dan pelepasan tegangan seksual yang kuat dan mendadak. Pada pria, terjadi kontraksi ritmis otot-otot dasar penis, diikuti dengan ejakulasi. Pada wanita, vagina berkontraksi. 5. Fase resolution (reflection, satisfaction) Fase terakhir, final, istirahat, ditandai dengan keintiman/kemesraan yang meningkat, suasana nyaman, relaksasi otot, kelelahan. Kepuasan pasangan merupakan hal penting pada fase ini.
824
Gambar 1 Neurophysiology of ejaculation. Sumber: Wyllie MG, Hellstrom WJG. (2010) (Keterangan:
OT, oxytocin; 5-HT, 5-hydroxytryptamine
(serotonin); NA, noradrenaline, ACh, acetylcholine; NO, nitric oxide; BC, bulbocavernosus muscle.)
Neurotransmiter 5-hidroksitriptamin (5-HT, serotonin) terlibat pada pengendalian ejakulasi. Efek “perlambatan” (retarding effect) 5-HT pada ejakulasi dikarenakan aktivasi sentral (yaitu: spinal dan supraspinal) reseptor 5-HT1B dan 5-HT2C, sedangkan rangsangan reseptor 5-HT1A menimbulkan ejakulasi. Pendekatan Patofisiologis Respon ejakulasi dipicu oleh stimulasi (rangsangan) genital dan kortikal. Glans penis memiliki reseptor taktil yang dihubungkan melalui penis bagian dorsal dan n. pudendus menuju medula spinalis segmen sakral. Saraf simpatis yang terlibat dalam emisi semen berasal dari intermediolateral columns medula spinailis (T10–L2), melintasi rangkaian simpatis dan n. hipogastrikus menuju pelvic plexus dan melalui cavernous nerve menuju vas deferentia. Aktivitas simpatis memproduksi kontraksi otot polos epididymis dan vas deferens yang memindahkan sperma menuju urethra posterior. Vesikula seminalis dan kelenjar prostat berkontraksi mengeluarkan cairan yang bercampur dengan sperma; kemudian bercampur dengan cairan yang berasal dari kelenjar bulbourethral membentuk semen (mani).
Pendekatan Neurobiogenesis Stimulasi di reseptor sensoris mukosa glans penis (Krause finger corpuscles) diteruskan oleh serabut aferen n. pudendus menuju S4, juga menuju pleksus hipogastrik di ganglia simpatetik T10–L2. Informasi sensoris diteruskan ke otak, dimana tiga pusat ejakulasi terletak; dua di hipotalamus (medial preoptic area dan paraventricular nucleus) dan satu di midbrain (periaqueductal grey). Pusat-pusat ini memadukan emisi semen, ejakulasi, dan orgasme. Hasil yang berupa efferent dopamine oleh pusat-pusat ini diatur oleh nucleus paragigantocellularis; memiliki pengaruh menghambat (inhibitory) dari neuron serotonergik yang terpusat dan menuju lumbar–sacral motor nuclei, yang secara kuat (tonically) menghambat ejakulasi. Neurotransmiter yang terlibat di pusat-pusat ini termasuk noradrenalin, gamma-aminobutyric acid, oksitosin, nitric oxide, serotonin dan estrogen. Ejakulasi dipicu oleh serabut eferen dopamin yang beraksi di pusat reseptor D2 dan serabut eferen spinal, yang meneruskan informasi menuju ganglia simpatetik di T10–L2 dan serabut sakral. Hal ini menstimulasi n. pudendus di daerah S2–S4, menghasilkan beberapa tahapan berikut: 1. Tahap Pertama Terjadi kontraksi otot polos prostat, seminal vesicles, vas deferens and epididymis. Kejadian ini meningkatkan volume semen yang didorong menuju uretra posterior dengan kontrol sistem saraf simpatetik, memproduksi emisi (pengeluaran/pancaran semen).
CDK-199/ vol. 39 no. 11, th. 2012
TINJAUAN PUSTAKA a. Generalized: terjadi pada semua situasi seksual (kondisi yang mendukung ke arah aktivitas seks) dan dengan semua pasangan. b. Situational: terjadi hanya pada situasi tertentu atau dengan pasangan tertentu.
Neurobiogenesis of ejaculation
Periaqueductal grey Midbrain
Medial preoptic area Paraventricular nucleus
}
Increased dopamine Hyopthalamus
SSRIs act to stop serotonin inhibition, thereby raising serotonin level
D2 receptors
Lumbar spinal cord Serotonergic neurones in nPGi
Spinal cord T10L2 sympathetic ganglia Hypogastric plexus Mucosal sensory (Krause finger Afferent fibres receptors corpuscles)
Efferent fibres
Pudendal nerve
Sensory neurones Ejaculation then Orgasm
Motor fibres
Seminal vesicle Prostate Bulbourethral gland
Vas deferens Epididymis
Smooth muscle contractions Stage I (emission)
Increase in volume and fluid content of semen
Sympathetic spinal cord reflex
Stage II (ejaculation)
Sperm to posterior urethra
Efferent spinal cord impulse
Rhythmic contractions of the bulboand ischio-cavernous muscles and pelvic floor muscles
Stage III (orgasm)
nPGi – nucleus paragigantocellularis. Diagram 1 Neurobiogenesis of ejaculation (Sumber: Palmer NR, Stuckey BGA 2008:663)
2. Tahap Kedua Kontraksi ritmis dasar panggul dan otot bulbo-ischiocavernosus dikendalikan oleh saraf parasimpatis yang mengesampingkan (override) saraf simpatis. Hal ini mendorong cairan semen keluar melalui uretra, menghasilkan ejakulasi. 3. Tahap Ketiga Tahap ini berupa orgasme.
CDK-199/ vol. 39 no. 11, th. 2012
Ejakulasi dini primer karena hiposensitivitas 5-hydroxytryptamine 2c (5-HT2c) serotonin receptors atau hipersensitivitas reseptor serotonin 5-HT1, menyebabkan penurunan ambang ejakulasi dan pemendekan waktu IELT (intravaginal ejaculation latency time). GAMBARAN KLINIS Secara umum, disfungsi seksual dibagi menjadi:
ED dapat teridentifikasi saat pria atau pasangannya mengalami kesulitan hubungan. Seringkali pula teridentifikasi saat pasangan wanita mengeluhkan problem atau kesulitan seksual. Saat mengunjungi dokter, beberapa penderita mengeluhkan hal-hal yang terkadang tidak relevan, seperti: ukuran penis yang kecil, penyakit prostat, infertilitas, masalah di punggung atau tulang belakang. ED dapat menyebabkan pria merasa cemas, malu, dan tidak puas, begitu pula pasangannya. Pertanyaan terbuka yang dapat membantu : ”Bagaimana keadaan rumah tangga?” Dahulu ED dianggap sebagai ekspresi konflik psikologis yang tidak disadari. Juga pernah dihubungkan dengan gangguan urologis, dengan berbagai terapi. Baru pada tahun 1943, seorang ahli endokrinologi dari Jerman, Bernhard Schapiro, memperkenalkan dua tipe ED (A dan B) berdasarkan penyebab dan terapi. Dua tipe ini sekarang dikenal sebagai ED primer (lifelong) dan ED sekunder (acquired). 1. Primer (lifelong, selamanya) ED primer merupakan suatu gangguan ejakulasi neurobiologis dan juga berhubungan dengan gangguan neurotransmisi serotonergik (5-hidroksitriptamin [5-HT]) sistem saraf pusat. Dimulai sejak pengalaman seks pertama kali dan menjadi masalah di sepanjang kehidupan. Secara umum ditandai dengan ketidakmampuan untuk menunda ejakulasi di semua atau di hampir semua aktivitas penetrasi penis ke vagina, sehingga berakibat negatif, seperti sedih, tertekan, menderita, menghindari ketertarikan seksual. Ciri khasnya: ejakulasi terlalu cepat, baik sebelum penetrasi (memasuki vagina) atau <1–2 menit setelahnya, dengan intravaginal ejaculation latency time (IELT) sekitar 0–2 menit. Untuk kegunaan praktis, ejakulasi primer adalah jika terjadi dalam waktu satu menit setelah penetrasi ke vagina.
825
TINJAUAN PUSTAKA 2. Sekunder (acquired, didapat) Ejakulasi dini yang onsetnya bertahap atau mendadak, berkembang setelah sebelumnya memiliki hubungan seksual memuaskan tanpa masalah ejakulasi. Hal ini juga menyebabkan penderitaan pribadi dan masalah keharmonisan hubungan. Dapat juga dikatakan sebagai ED setelah suatu periode fungsi seksual yang adekuat. Menurut American Psychiatric Association, ejakulasi dini sekunder ditandai oleh ejakulasi yang menetap atau berulang dengan rangsangan yang minimal sebelum, pada saat, atau sejenak setelah penetrasi dan sebelum ejakulasi yang sesungguhnya diharapkan terjadi. Ciri khasnya: waktu untuk ejakulasi pendek namun biasanya tidak secepat ejakulasi primer. 3. Premature-like Ejaculatory Dysfunction Pria yang mengeluh ED meskipun kenyataannya memiliki waktu ejakulasi normal, yaitu: 3-6 menit atau lebih lama. Jadi ada persepsi subjektif penderita bahwa ia cepat mengalami ejakulasi baik menetap maupun tidak menetap selama berhubungan seks. Tipe ini tidak bisa dianggap sebagai gejala atau penyakit medis yang sebenarnya. 4. Natural variable premature ejaculation ED yang ditandai dengan ejakulasi dini yang tidak teratur dan tidak tetap, mewakili variasi normal dalam penampilan seksual. Tipe ini diusulkan oleh Waldinger MD, Schweitzer DH. (2006) untuk klasifikasi terbaru DSM-V dan ICD-11. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan/tes laboratorium atau fisiologis harus berdasarkan pada penemuan spesifik dari riwayat (penyakit, dan lain-lain) penderita atau pemeriksaan fisik dan tidak direkomendasikan secara rutin. Beberapa pilihan alat diagnostik berupa kuesioner (daftar pertanyaan terstruktur) dapat membantu penilaian (assessment) ED, antara lain: 1. Intravaginal ejaculation latency time (IELT) 2. Kombinasi IELT dengan patient-reported outcome (PRO) 3. Premature Ejaculation Diagnostic Tool (PEDT)
826
4. Premature Ejaculation Profile (PEP) 5. Index of Premature Ejaculation (IPE) 6. Male Sexual Health Questionnaire Ejaculatory Dysfunction (MSHQ-EjD) 7. Chinese Index of Premature Ejaculation (CIPE) 8. Arabic Index of Premature Ejaculation (AIPE) Penggunaan kuesioner merupakan pilihan dokter, sesuai indikasi dan ketersediaan kuesioner. Parameter patient reported outcomes (PROs) dapat diketahui dari kuesioner PEP yang dapat diisi sendiri. Sedangkan IELT merupakan pengukuran koitus yang objektif dan prospektif, menggunakan stopwatch yang dipegang pasangan seks penderita ED. Penggunaan IELT yang dinilai oleh dokter di dalam praktek cukup akurat, dalam uji klinis diperlukan IELT yang dipadukan dengan stopwatch. Pertanyaan sederhana sebagai deteksi dini: 1. “Do you feel you ejaculate (come) too quickly?” untuk dugaan ejakulasi dini dan 2. “Do you ever have difficulty reaching orgasm or ejaculating? untuk dugaan delayed (retrograde) ejaculation. PENANGANAN Disfungsi ereksi (impotensi), disfungsi seksual lainnya, atau infeksi saluran kemih dan reproduksi seperti: prostatitis sebaiknya pertama kalinya diterapi sebagai ED. Penanganan ED terutama pendekatan kombinasi, menggunakan terapi behavioural dan perpaduan medikasi (obat) seperti: golongan anestesi topikal, SSRI (selective serotonin re-uptake inhibitors), dan phosphodiesterase-5 inhibitors. Strategi behavioural dan psikologis Strategi behavioural terutama program ”stopstart” yang dikembangkan oleh Semans beserta modifikasinya, teknik pencet (squeeze) yang dianjurkan oleh Masters dan Johnson serta modifikasinya. Masturbasi sebelum berhubungan seks merupakan teknik yang digunakan banyak pria berusia lebih muda. Angka kesuksesan dalam jangka pendek mencapai 50-60%. Teknik “stop-start” ala Semans dikenal lebih dari 50 tahun yang lalu, bermanfaat memperpanjang refleks neuromuskular yang bertanggung jawab atas terjadinya ejakulasi. Pria penderita ED memberitahu pasangannya untuk menghentikan rangsangan genital sampai sensasi subjektif high arousal
menghilang. Rangsangan diberikan lagi dan siklus diulangi bila perlu. Kelemahan studi Semans adalah kurang kelompok kontrol. Studi behavioural lebih lanjut oleh Wolpe dan Lazarus, juga “squeeze technique” yang diperkenalkan oleh Masters dan Johnson tidak dapat membuktikan bahwa teknik behavioural ini mengobati ED dengan pasti. Teknik psikoseksual-behavioural dapat dikombinasi dengan terapi obat untuk mengoptimalkan efek terapi. Konseling Psikologis Konseling bermanfaat dengan disertai terapi lain, untuk meningkatkan rasa percaya diri. Namun tidak efektif untuk ED primer. Anestetik topikal Krim lidocaine-prilocaine (5%) digunakan 20-30 menit sebelum berhubungan seks. Formulasi aerosol lidocaine 7,5 mg plus prilocaine 2,5 mg (Topical Eutectic Mixture for Premature Ejaculation, TEMPE) dipakai 20–30 menit sebelum bersenggama dan dibersihkan sebelum bersentuhan dengan pasangan. Uji di Inggris dan Belanda menunjukkan dengan terapi ini, skor IELT naik secara signifikan. Krim lignocaine–prilocaine (eutectic mixture of local anaesthetic agents [EMLA]) dioleskan tipis di penis (bagian glans dan distal shaft) lalu ditutupi dengan kondom selama 10–20 menit. Jika akan bersenggama, kondom dilepas, sisa krim dicuci perlahan. Skor IELT terbukti naik secara signifikan. Krim ini terbukti efektif bila dikombinasikan dengan sildenafil 50 mg sebelum coitus dan secara signifikan lebih efektif daripada sildenafil saja. Severance Secret (SS) cream mengandung: Panax ginseng, Angelica root, Cistanches deserticola, Zanthoxyl species, torlidis seed, bunga cengkeh (clove flower), asiasari root, kulit kayu manis (cinnamon bark), dan toad venom. Dioleskan di ujung penis 1 jam sebelum dan dicuci segera sebelum berhubungan seks. Krim SS sebanyak 0,2 gram meningkatkan IELT dari 1,37 menit menjadi 10,92 menit. Efek samping krim SS adalah iritasi, sensasi terbakar, dan ejakulasi yang tertunda. Semprotan (spray) lignocaine dipakai di di glans penis (3–6 semprotan), 5–15 menit sebelum bersenggama. Meskipun telah ada selama 25 tahun, namun kemanjurannya belum teruji.
CDK-199/ vol. 39 no. 11, th. 2012
TINJAUAN PUSTAKA Efek samping agen anestetik yang nyata adalah penis menjadi mati rasa (penile numbness), yang pada gilirannya memicu hilangnya kemampuan untuk ereksi. Terapi Obat (Farmakoterapi) Farmakoterapi merupakan dasar terapi ED primer. Terapi obat (klomipramin, sertralin, paroksetin, dan sildenafil) menghasilkan skor IELT yang lebih baik daripada terapi behavioural. SSRIs (Selective serotonin reuptake inhibitors) Dosis paroksetin adalah 10–40 mg setiap hari atau 20 mg 3–4 jam sebelum bersenggama, sertralin 25-200 mg setiap hari atau 50 mg 4-8 jam sebelum bersenggama, dan fluoksetin 10-60 mg. Efek samping SSRI berupa: lelah, letih, menguap, mengantuk, mual, muntah, mulut kering, diare, berkeringat; biasanya ringan dan berangsur-angsur membaik setelah 2-3 minggu. Efek samping lainnya: libido berkurang, anorgasmia (tidak bisa orgasme), anejaculation (tidak bisa berejakulasi), dan disfungsi ereksi (impotensi). Dapoksetin merupakan SSRI berpotensi kuat. Biasa dipakai 1-3 jam sebelum bersenggama, dengan dosis 30 dan 60 mg. Efek sampingnya: mual, mencret, sakit kepala, dan sensasi berputar. Antidepresan trisiklik Klomipramin dengan dosis 25–50 mg setiap hari atau 25 mg 4–24 jam sebelum bersenggama. Penggunaan klomipramin 3-5 jam sebelum bersenggama juga efektif. Kepuasan seksual kedua pasangan meningkat, terutama dengan dosis yang lebih tinggi. Pemberian klomipramin harian terbukti meningkatkan skor IELT lebih tinggi daripada penggunaan harian SSRI (fluoksetin atau sertralin), namun profil efek sampingnya juga meningkat. Efek samping meliputi: bibir kering, sulit buang air besar, merasa “berbeda”, mual, gangguan tidur, lelah/letih, sensasi berputar dan sensasi panas (hot flashes). Obat antidepresan, seperti nefazodon, sitalopram, dan fluvoksamin, tak bermanfaat untuk mengobati ED.
CDK-199/ vol. 39 no. 11, th. 2012
Phosphodiesterase type 5 inhibitors (Penghambat PDE5) Sildenafil (50 mg sebelum bersenggama) meningkatkan rasa percaya diri, persepsi tentang pengendalian ejakulasi, kepuasan seksual menyeluruh, menurunkan ambang kecemasan, mengurangi waktu refractory untuk mencapai ereksi kedua setelah ejakulasi. Inhibitor PDE5 (seperti sildenafil) meningkatkan kadar nitric oxide sentral (mengurangi dorongan simpatis) dan perifer (memicu dilatasi/pelebaran otot polos vas deferen dan vesikula seminalis, “menghambat” vasokonstriksi simpatis), sehingga memperpanjang IELT pada pria penderita ED. Diukur dari garis dasar IELT pada 1 menit, IELT meningkat hingga 15 menit dengan sildenafil, 4 menit dengan clomipramine, 3 menit dengan sertraline, 4 menit dengan paroxetine, dan 3 menit dengan teknik ‘pause-squeeze’. Obat Baru Blokade adrenergik ED bertujuan menurunkan tonus simpatis saluran sperma sehingga menunda atau memperlambat terjadinya ejakulasi. Tramadol merupakan golongan analgesik, bekerja sentral, yang memadukan penggiatan (activation) reseptor opioid dan penghambatan re-uptake serotonin dan noradrenalin. Riset membuktikan obat golongan alpha-1 adrenergic antagonists, yaitu terazosin, alfuzosin, dan juga tramadol efektif mengatasi ED. Namun masih diperlukan riset lanjutan. Hingga kini obat-obat ini belum direkomendasikan. Herbal Terdapat herbal Cina yang berpotensi menghentikan ejakulasi dini. Herbal ini harus digunakan dengan “pasangannya”, yaitu LongGu-MuLi, JinYingZi-QianShi. Beberapa herbal lainnya amat berpeluang diteliti lebih lanjut karena berpotensi mengatasi ED, misalnya: 1. Abutilon indicum L. (Sinonim: Kanghi) 2. Acacia decurrens 3. Achyranthes aspera Linn. (Sinonim: Latjeera, Apamarg) 4. Agrimonia pilosa (Sinonim: Agrimonia spp., Agrimony)
5. Angelica archangelica (Sinonim: Angelicas fractus, Angelicae herba) 6. Avena sativa (Sinonim: green oats, wild oats, oatstraw) 7. Azadirachta indica A. Juss. (Sinonim: Neem) 8. Chamaesyce hirta (L.) Millsp. (Sinonim: Euphorbia hirta, Euphorbia pilulifera, Euphorbia capitata) 9. Chlorophytum borivilianum (Sinonim: safed musli) 10. Cornus officinalis (Sinonim: Shan Zhu Yu) 11. Cuscuta chinensis 12. Elettaria Cardamomu (Sinonim: Cardamom, Chhoti elaichi) 13. Epimedium sagittatum (Sinonim: horny goat weed) 14. Ficus racemosa L. (Sinonim: Gular) 15. Gynostemma Pentaphyllum (Sinonim: Jiaogulan) 16. Hibiscus rosa-sinensis L. (Sinonim: Jobaphool) 17. Hygrophila auriculata (Sinonim: Talmakhana) 18. Hypericum perforatum 19. Linum usitatissimum L. (Sinonim: Alsi) 20. Morinda officinalis (Sinonim: Morindae sp, Ba Ji Tian) 21. Myristica fragrans (Sinonim: buah pala, nutmeg, Jaiphal, Jatiphala, Madashauda) 22. Nelumbo nucifera (Sinonim: Lotus) 23. Rhizoma curculiginis (Sinonim: curculigo rhizome) 24. Rhodiola rosea L. (sinonim: Sedum roseum, golden root, roseroot) 25. Schizandra chinensis (Sinonim: Schizandra sphenanthe, Schizandra berry) 26. Sida cordifolia (Sinonim: Sida acuta, Bala) 27. Sphaeranthus indicus L. (Sinonim: Mundi) 28. Terminalia catappa L. (Sinonim: Indian almond, ebelebo) 29. Tribulus terrestris L. (Sinonim: Yellow Vine, 30. Puncture Vine, Chhoti Gokhru, Goathead dan Caltrop) 31. Trigonella foenum-graecum (Sinonim: Fenugreek) 32. Turnera diffusa (Sinonim: Damiana) Withania somnifera Dunal (Sinonim: Ashwagandha, Indian Ginseng) Ramuan herbal Muira puama dan Ginkgo biloba telah diteliti pada 202 wanita dengan keluhan hasrat seks yang rendah (low sex drive), 65% menunjukkan respons yang secara signifikan lebih tinggi setelah memakai ramuan ini.30
827
TINJAUAN PUSTAKA REFERENSI: 1.
Bolte S. The Impact of Cancer and Its Treatment on the Sexual Self of Young Adult Cancer Survivors and as Compared to Their Healthy Peers. Dissertation. The Catholic University of America. Washington, DC. 2010.
2.
Brotto LA, Mehak L, Kit C. Yoga and Sexual Functioning: A Review. J. Sex & Marital Therapy 2009;35:378–90,
3.
Carson C, Gunn K. Premature ejaculation: definition and prevalence. Int J Impot Res. 2006;18 (Suppl 1): S5–13.
4.
Dass V. Ayurvedic Herbs for Male Reproductive Problems. Light on Ayurveda. J Health. Summer 2007.
5.
Wespes E, Amar E, Eardley I, Giuliano F, Hatzichristou D, Hatzimouratidis K, et.al. Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile dysfunction and premature ejaculation. European Association of Urology 2009.
6. 7.
Ebadi M. Pharmacodynamic Basis of Herbal Medicine. Taylor & Francis Group, LLC. CRC Press. USA. 2007; 552. Falahatkar S, Asgari SA, Hosseini SH, Joafshani MA, Emadi SA, Khaledi F. Efficacy and Safety of Herbal Drug, Hypericum Perforatum in the Treatment of Premature Ejaculation. Journal of Guilan University of Medical Sciences. 69: 53-8.
8.
Gregory A. Broderick. Oral Pharmacotherapy for Male Sexual Dysfunction: A Guide to Clinical Management. 2005; 17;379-401.
9.
Harahap R. Disfungsi Seksual pada Penderita Diabetes Mellitus Pria. Maj Kedokt Nusantara 2006;39(3): 176-9.
10. Hatzimouratidis K, Amar E, Eardley I, Giuliano F, Hatzichristou D, Montorsi F, et.al. Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile Dysfunction and Premature Ejaculation. Eur Urol 2010;57:804–14. 11. Jing-Nuan Wu. An Illustrated Chinese Materia Medica. Oxford University Press. New York. 2005:228. 12. Khan VA, Khan AA. Herbal folklores for male sexual disorders and debilities in western Uttar Pradesh. Indian J Traditional Knowledge.2005;4(3): 317-24. 13. Mayo Clinic. Premature ejaculation. Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER). March 24, 2009. Cited from: http://www.mayoclinic.com/health/premature-ejaculation/DS00578 14. McCarty EJ, Dinsmore WW. Premature ejaculation: treatment update. Int J STD AIDS 2010;21:77-81. 15. McMahon CG, Abdo C, Incrocci L, et al. Disorders of orgasm and ejaculation in men. J Sex Med. 2004;1(1):58-65. 16. Mills E, Dugoua JJ, Perri D, Koren G. Herbal Medicines in Pregnancy & Lactation: An Evidence-Based Approach. Taylor & Francis Group. UK. 2006. 17. Ministry of Health & Population (MOHP). Monograph for Herbal Medicinal Products. Central Administration of Pharmaceutical Affairs (CAPA) in collaboration with World Health Organization (WHO). 2007: 16-8. 18. Palmer NR. Stuckey BGA. Premature ejaculation: a clinical update. MJA 2008; 188 (11): 662–6. 19. Park J, et al. Complementary and alternative medicine in men’s health. Journal of Men’s Health. 2008;5:305. 20. Patrick DL, Althof SE, Pryor JL, Rosen R, Rowland DL et al. Premature ejaculation: an observational study of men and their partners. J Sex Med 2005; 2:358-67. 21. Rahmatullah M, Mollik AH, Ali Azam ATM, Islam R, Chowdhury AM, Jahan R, et.al. Ethnobotanical Survey of the Santal Tribe Residing in Thakurgaon District, Bangladesh. Am-Eurasian J. Sustain. Agric., 3(4): 889-98, 2009. 22. Ratnasooriya WD, Dharmasiri MG, Rajapakse RAS, De Silva MS, Jayawardena SPM, Fernando PUD, De Silva WN, Nawala AJMDNB, Warusawithana RPYT, Jayakody JRC, Digana PMCB. Tender leaf extract of Terminalia catappa has antinociceptive activity in rats. Pharmaceutical Biol. 2002;40:60-6. 23. Sadock BJ. Abnormal sexuality and sexual dysfunctions. In: Sadock BJ, Sadock V,eds. Synopsis of Psychiatry, Philadelphia : Lippincott Williams & wilkins; 2003. 24. Saratikov AS, Krasnov EA. Chapter III: Stimulative properties of Rhodiola rosea. In: Saratikov AS, Krasnov EA, eds. Rhodiola rosea is a valuable medicinal plant (Golden Root). Tomsk, Russia: Tomsk State University; 1987. p. 69-90. 25. Saratikov AS, Krasnov EA. Chapter VIII: Clinical studies of Rhodiola. In: Saratikov AS, Krasnov EA, eds. Rhodiola rosea is a valuable medicinal plant (Golden Root). Tomsk, Russia: Tomsk State University Press; 1987. p. 216-27. 26. Siu-king MAK. Medical Treatment of Premature Ejaculation. Hong Kong Medical Diary, Medical Council of Hong Kong (MCHK). Medical Bull. 2009;14 (10). 27. Unny R, Chauhan AK, Joshi YC, Dobhal MP, Gupta RS. A review on potentiality of medicinal plants as the source of new contraceptive Principles. Phytomedicine 2003;10:233–60. 28. Waldinger MD. Advances in Treatment for Premature Ejaculation. Eur Urol Rev. 2008: 102-5. 29. Waldinger MD, Schweitzer DH. Changing paradigms from a historical DSM-III and DSM-IV view toward an evidence-based definition of premature ejaculation. Part II—Proposals for DSM-V and ICD-11. J Sex Med. 2006;3:693–705. 30. Waynberg J, Brewer S. Effects of Herbal vX on libido and sexual activity in premenopausal and postmenopausal women. Adv Ther 2000; 17: 255-62. 31. WHO.The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders: Diagnostic Criteria for Research, 1993. 32. WHO. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems: Tenth Revision. Vol 1. Geneva: World Health Organization; 1992:355-6. 33. Wyllie MG, Hellstrom WJG. The link between penile hypersensitivity and premature ejaculation. BJU Int 2010:1-6.
828
CDK-199/ vol. 39 no. 11, th. 2012