Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
REVIEW RABIES IDA LESTARI SOEDIJAR dan DEWA MADE NGURAH DHARMA Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH)
ABSTRAK Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat menakutkan dan selalu berakhir dengan kematian. Sejak pencangan pertama pembebasan rabies yang dilaksanakan di Cirebon pada tahun 1989, pemerintah Indonesia terus mengupayakan penekanan kasus rabies hingga titik nol. Saat ini masih tertular 19 propinsi dari 32 propinsi di Indonesia yaitu Pulau Kalimantan, Sumatera (kecuali pulau-pulau kecil sekitar Sumatera), Sulawesi, Flores dan Lembata (NTT), Ambon dan Seram (Maluku). Untuk mencapai status rabies, 2 (dua) dua tahun sebelumnya suatu daerah harus sudah menunjukkan nol kasus bagi manusia maupun hewan. Pemerintah Indonesia terus melakukan upaya pemberantasan rabies melalui vaksinasi massal, eliminasi serta pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR). Tetapi sayang sekali hasil penekanan kasus belum maksimal, bahkan tahun 2004 kasus rabies pada manusia maupun pada anjing di Indonesia cenderung meningkat. Meskipun cakupan baksinasi rabies terus diupayakan untuk ditingkatkan, namun tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) belum mencapai angka yang memuaskan. Kesalahan penanganan vaksin dilapngan/penanganan rantai dingin diduga merupakan penyebab rusaknya vaksin sehingga tidak mampu merangsang terbentuknya kekebalan. Mutu vaksin, program vaksinasi dan kesalahan penanganan vaksin juga kelemahan pengawasan lalu lintas HPR dan kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya rabies merupakan kendala utama dari upaya pemberantasan rabies di Indonesia. Dukungan Pemda setempat dalam kegiatan penyuluhan melalui media massa/elektronik secara berkesinambungan tentang bahaya rabies disamping peningkatan fungsi rabies center sangat diperlukan. Penggunaan vaksin rabies oral juga perlu dipertimbangkan. Metoda baku pengujian zat tebal rabies menurut WHO adalah uji serum netralisasi (SNT), uji rapid fluorescent focus inhibition (RIFFT) dan ELISA. BBPMSOH – UI – BATAN telah melakukan pengujian zat kebal rebies dengan cara mengukur limfosit T sitotoksik (Tc) sebagan pemeran imunitas seluler yang telah disensitisasi dengan antigen dalam suatu sel target yang dilabel dengan radioaktif (Chromium51). Kata kunci: Rabies, uji mutu vaksin
PENDAHULUAN Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, merupakan suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Kejadian rabies pertama kali di Indonesia, ditemukan oleh Schoorl tahun 1884 pada seekor kuda, disusul oleh Esser tahun 1889 pada seekor kerbau di Bekasi, dan tahun 1890 oleh Penning pada anjing di Jakarta. Kemudian tahun 1909 Lier menemukan 2 kasus rabies pada kucing di daerah Bondowoso dan Jember, tetapi pada manusia pada tahun 1907 dilaporkan pertama kali. Kasus rabies pada manusia di Indonesia 95% ditularkan oleh anjing dan sisanya (5%) oleh kucing, kera dan sebagainya (5,19). Sejak itu beberapa negara Asia mendirikan pusat produksi vaksin rabies antara lain India (Kasauli, Coonor), Vietnam (Saigon, Hanoi),
Iran (Teheran) dan Indonesia (Bandung). Vaksin anti rabies (VAR) di Indonesia pertama kali dibuat oleh PN. Bio Farma Bandung dari otak kera (Macacus Gynomolgus) sejak tahun 1916 dan merupakan vaksin tunggal yang beredar di Indonesia sampai pertengahan tahun 1978. Pemberian pengobatan VAR di Indonesia jarang sekali disertai pemberian serum anti rabies (SAR) (5). Vaksin rabies yang dibuat dari jaringan syaraf binatang dapat menimbulkan komplikasi neurologik yaitu ensefalopathi Post VAR (EPVAR). Insiden EPVAR berkisar antara 1/33 sampai 1/20.000 diantara mereka yang divaksin dan lebih sering timbul pada orang dewasa serta jarang pada anak-anak. Case fatility rate (CFR) dari EPVAR berkisar antara 10% sampai 57%. Angka-angka ini tergantung dari banyaknya bahan jaringan syaraf kering yang mengandung mielin di dalam vaksin serta bentuk klinik dari komplikasi pada susunan
119
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
syaraf pusat tipe “cerebal” atau dorsolumbar (5). Mengingat anjing merupakan hewan penular utama, maka pemerintah Hindia belanda waktu itu membuat Undang-Undang (Honsdolheids Ordonatie) dimana penanggulangan rabies yang menyangkut hewan merupakan tanggung jawab Departemen pertanian (Dinas Peternakan), sedangkan yang menyangkut manusia yang digigit/yang menderita menjadi tugas dan tanggung jawab Departemen Kesehatan (5). RABIES PADA HEWAN Kejadian rabies Negara di dunia yang bebas rabies sampai saat ini adalah Amerika, New Zealand, New Guinea, jepang, Taiwan, sebagian daerah Barat India, Inggris, Irlandia, Norwegia, Swis, Finlandia, Portugal, Yunani, Occeania, Swedia dan Islandia. Di Indonesia kasus rabies pada hewan dilaporkan terjadi di 22 propinsi, sedangkan yang dinyatakan bebas rabies adalah: DIY, Jateng, Jatim, Bali, NTB, Maluku Utara, Papua dan Bangka Belitung. Jumlah kabupaten tertular rabies dari tahun 1997 sampai dengan 2001 cenderung menurun tetapi meningkat kembali pada tahun 2002. (5,19, 23). Hewan penular rabies Family canidae khususnya anjing merupakan hewan penular rabies (HPR) utama di Indonesia, mnyusul kucing dan kera dengan prosentasi rendah. Kelinci, tupai, tikus dan golongan rodensia lainnya jarang terinfeksi (5). Cara penularannya Virus rabies sebagai penyebab penyakit ditularkan kedalam tubuh manusia melalui gigitan hewan positif rabies melalui salivannya. Virus yang ada di air liur hewan positif rabies diteruskan keujung syaraf terluka melalui luka gigitan atau jilatan pada kulit yang luka, dan melalui akson, virus melanjutkan perjalanannya ke susunan syaraf
120
pusat (SSP) sehingga menimbulkan ensefalomielitis akut (5,15). Peradangan terjadi diseluruh otak dan sumsum belakang dan gangguan terberat terdapat pada ganglion yugulare, ganglion gasseri, gangglion spinalis dan nukleus dentarus, medulta oblongata dan locus seroleus mengalami perubahan-perubahan hebat. Badan-badan negeri terdapat terutama di hipokampus dan serebelum (5). Virus tidak saja terdapat di SSP, tetapi juga dikelenjar liur, kelenjar air mata, glandula suprarenalis dan pankreas. Virus tidak diketemukan didalam darah, limpa, hati, kelenjar limfe, sumsum tulang atau kelenjar genitalia. Dalam penularan penyakit rabies, hanya kelenjar ludah memegang peranan yang sangat penting (50) Di Indonesia, ada laporan mengenai 2 orang pemotong kayu di Sangir Talaud (Sulawesi Utara) tahun 1975, yang meninggal karena rabies dalam waktu 2 hari tetapi tidak diketahui cara terpaparnya (5). Sedangkan di Amerika, pernah dilaporkan 2 orang positif rabies yang terpapar melalui udara dalam suatu gua kelelawar, dan dua lainnya akibat terpapar secara aerosol yang mengandung virus di laboratorium (5, 15). Isolasi virus telah dilakukan pada beberapa kasus manusia dari ludahnya, tetapi tidak pernah ada laporan kasus penularan dari manusia ke manusia. Walaupun resiko terlihat kecil, tetapi baik gigitan maupun bukan gigitan dari orang yang terkena rabies, secara teoritis dapat menularkan rabies dimana mereka yang terpapar seharusnya menerima perlakuan Pasteur (Pasteur Treatment). Kejadian eksiden di Indonesia (Jakarta) dan USA juga pernah dilaporkan pada transplantasi kornea mata dimana resepien terlihat mengalami paralysis dan dengan pemeriksaan serologis diduga rabies. Selanjutnya pemeriksaan donor yang telah meninggal karena polineuropati LandryGuillain-Barre Syndrom terdiagnosa terkena rabies (5). Etiologi Virus rabies termasuk ke dalam genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae, bersifat neurotrop, dengan ukuran 100 - 150 mikron. Inti virus rabies ini terdiri dari asam nukleat RNA saja yang bersifat genetik. Inti tersebut
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut kapsid. Kombinasi inti dan kapsid disebut nukleokapsid. Diluar nukleokapsid ada kapsomer yang terdiri dari satuan molekul protein dan diluarnya terdapat “envelope” yang pada permukaannya terdapat spikules (spikes). Envelope virus ini antara lain mengandung lipida yang mudah dilarutkan dengan pelarut lemak (sabun, ether, chloroform, aseton), etanol 45-70%, preparat iodin dan ammonium quartener. Virus ini resisten terhadap pengeringan dan freezing-thawing yang berulang, cukup stabil pada pH 5-10, peka terhadap suhu prasteurisasi dan sinar ultra violet. Diketahui bahwa “envelope” virus ini penting sekali bagi “invectivity”nya, sedangkan RNA dan nukleokasidnya sendiri tidak “infectious”. Secara garis besar partikel virus rabies mengandung 2 (dua) tipe antigen utama (15): a. Glycoprotein yang berperan dalam hal bertautnya (atachment) virus kepermukaan sel yang “susceptible”, juga mengandung antigen yang membentuk “serum neutralizing Antibody” yang memberikan proteksi terhadap virus rabies b. Antigen ribonukleoprotein: membentuk komplemen “fixing antibody” dan “Immunofluorescence antibody”. Sehubungan dengan tipe antigen ini, virus rabies dibagi menjadi 4 serotipe: o Serotipe 1: prototipe strain CVS, terdiri dari mayoritas strain liar dan strail laboratorium di beberapa region didunia o Serotipe 2: prototipe strain Lagon (Nigeria) bat o Serotipe 3: prototipe strain Mikola yang dapat diisolasi dari Krosidura (Shrews) dan manusia o Serotipe 4: prototipe yang belum diklasifikasikan dan diisolasi dari Kuda Nigeria dan dari Nyamuk mansonia Uniformis. Perbedaan serotipe ini dapat ditunjukkan dengan melakukan “neutralization test” dan “cross protection test” karena adanya glikoprotein yang berbeda (15, 21). Vaksin rabies untuk hewan kesayangan yang beredar di Indonesia. (Prevarat vaksin tunggal maupun kombinasi).
Subcutaneous atau intra muscular route 1. Biocan (strain VNUKOVO 32) – Bioveta, Chekoslovakia 2. Eurican DHPPI 2 LR (strain Pasteur PV Wistar) – Merieux, France 3. Hexadog (strain Pasteur – Wistar G52) – Merieux, France 4. Neo Rabivac TC (starin Nishigahara) – Vaksindo Indonesia 5. Nobivac LR (strain Pasteur) – Intervet, The Netherlands 6. Nobivac Rabies (strain pasteur/RIV) – Intervet, The Netherlands 7. Pentadog (strain Pasteur – Wistar G52) – Merieux, France 8. Rabdomun (strain LEP) – Pitman Moore/Schering Plough, Germany 9. Rabguard TC (strain HCP – SAD) – Smith Kline Beechman, USA 10. Rabiffa (strain Pasteur – GS7) – Rhone Merieux, France 11. Rabigen Mono (strain Pasteur VP 12) – Virbac, France 12. Rabisin (strain Pasteur – GS57) – Merieux, France 13. Rabivet (strain Pasteur) – Pusvetma, Indonesia 14. Rabivet Supra 92 (strain Pasteur) – Pusvetma, Indonesia 15. Rabvac 3 (strain High Cell Passage Street Alabama Dufferin/HCP SAD) – olvay Animal Helath, USA Oral route (tidak beredar di Indonesia) o Sanafox SAD vaccine (15, 24) Uji mutu vaksin rabies di BBPMSOH (4, 7,11) Uji umum Uji fisik Sediaan vaksin yang diuji harus mempunyai volume, warna, pH yang sama, tidak berbau asing serta tidak mengandung partikel asing dan harus homogen.
121
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Uji kemurnian
Inokulasi pada marmut
Dengan pewarnaan Giemsa (1:2) selama 10 menit, sediaan vaksin yang diuji harus hanya menunjukkan adanya jasad renik yang sama dengan jasad renik yang dipakai produksi.
Digunakan 2 ekor marmot sebagai kelompok vaksinasi dan dua lainnya tanpa perlakuan sebagai kelompok kontrol. Inokulasikan setengah dosis vaksin melalui intra peritoneal. Pengamatan selama 2 minggu, hewan percobaan yang diuji harus bebas dari gejala rabies dan penyakit susunan syaraf pusat.
Uji sterilitas Sampel vaksin diinokulasikan dalam 4 tabung media Thio Glycolate Broth (TGC) dan disimpan dalam ruang 22oC (dua tabung) serta ruang 37oC (dua tabung). Di setiap ruang disertakan 2 tabung lain tanpa diinokulasi sebagai kontrol. Tabung-tabung tersebut disimpan selama 14 hari untuk diamati adanya pertumbuhan bakteri maupun jamur.
Uji potensi (habel) (7,9,11,15)
Uji toksisitas abnormal
Disiapkan 50 mice untuk kelompok vaksinasi dan 40 mice sebagai kontrol uji tantang. Kedua kelompok dipisahkan masingmasing terdiri dari 10 mice dengan jenis kelamin yang sama. Pada kelompok vaksinasi 50 mice dibagi atas 5 kelompok, masingmasing terdiri dari 10 mice. Setiap ekor iinokulasi secara intra peritonial dengan 0.025 ml vaksin yang telah diencerkan 10 kali. Penyuntikan dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval 2 hari selama 2 minggu. Kelompok vaksinasi ditantang dengan 0.03 ml secara intra cerebral dari pengenceran CVS 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5, yang diberikan 2 hari terakhir setelah vaksinasi. Kelompok kontrol diinokulasikan dengan 0.03 ml pengenceran CVS 10-8, 10-7. 10-6 dan 10-5. Selama uji tantang, mice tersebut diamaati selama 14 hari terhadap timbulnya gejala rabies. Titer proteksi dinyatakan sebagai log 10 dari 50% lethal dose (LD50) dari hasil pengurangan dan poin kelompok kontrol dikurangi kelompok vaksinasi. Titer > 10-3 merupakan persyaratan minimal LD50 kelulusan uji potensi ini.
Inokulasi pada mice
Pencegahan rabies
Digunakan 10 ekor mice sebagai kelompok vaksinasi dan lima ekor lain tanpa perlakuan sebagai kelompok kontrol. Inokulasikan setengah dosis vaksin melalui intra peritoneal. Pengamatan selama 2 minggu, hewan percobaan yang diuji harus bebas dari gejala rabies dan penyakit susunan syaraf pusat.
Pada kebanyakan negara berkembang dimana rabies bersifat endemik, pencegahan berarti hanya membatasi penyebaran penyakit. Tetapi di Amerika Latin, vaksinasi massal pada anjing sangat berhasil mengurangi rabies urban, Indonesia melakukan eliminasi anjing liar dengan memakai preparat Strychnin, akan tetapi saat kin preparat ini agak sukar didapat.
Uju khusus Uji inaktifvasi Digunakan 10 suckling mice berasal dari dua induk. Delapan suckling mice dari 1 induk ditambah 2 suckling mice yang diberi tanda dari induk kedua. Hewan tersebut ditempatkan secara terpisah dengan masing-masing induknya. Sebanyak 0.01 ml vaksin disuntikkan secara intra cerebral pada 10 suckling mice tersebut. Mice yang tidak divaksin digunakan sebagai kontrol. Mice dipelihara selama 2 minggu. Hewan percobaan yang diuji harus bebas ari gejala rabies dan penyakit susunan syaraf pusat.
122
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Alternatif lain yaitu dengan menggunakan preparat timex dan potas, mengingat eliminasi dengan cara euthanasi atau sterilisasi hewan sangat memakan biaya (17). Pengontrolan rabies pada hewan liar merupakan kendala tersendiri. Misalnya dengan tingkat populasi tinggi racoon di USA. Di Eropa pembunuhan rubah (foxes) dengan racun serta pemburuannya tidak berhasil mengeliminasi kasus rabies. Vaksinasi oral untuk maksud hal tersebut telah dikembangkan di Swiss dan USA tahun 1977 (15). RABIES PADA MANUSIA Kepekaan dan ketahanan manusia terhadap rabies Kebanyakan hewan berdarah panas (termasuk homo sapiens) peka terhadap rabies. Walaupun kekebalan alami pada manusia tidak diketahui, pernah dilaporkan kejadian di Amerika: kasus 6% positif antibodi rabies pada dokter hewan yang tidak pernah diimunisasi sebelumnya. Mortalitas rabies mengikuti eksposure (keterpaparanan) tanpa mendapatkan perlakuan/treatment pasteur bervariasi dari 0.1% berasal dari kontaminasi luka kecil hingga 40 - 60% berasal dari gigitan hebat pada muka dan kepala, gigitan kaki 3-10%, gigitan tangan dan lengan 15-40% (45). Survey menyeluruh yang pernah dilakukan oleh Mc Kendrick (WHO) menyinpulkan bahwa manusia memiliki tingkat ketahanan tinggi terhadap infeksi virus rabies (5). Masa inkubasi rabies pada manusia Dilaporkan bahwa masa inkubasi bervariasi antara 9 hari sampai 19 tahun, tetapi periode kurang dari 15 hari atau lebih dari 19 tahun merupakan hal yang jarang. Rata-rata masa inkubasi adalah 2 minggu sampai 2 bulan tergantung dari tempat gigitan, kepala (34-48 hari), alat gerak termasuk tangan (47-78 hari) dan lebih singkat pada anak-anak dibanding orang dewasa. Juga dilaporkan lebih singkat pada rabies paska paparan yang diobati secara individual (rata-rata 21 hari) dibanding tanpa pengobatan (35 hari) dimana dinyatakan pengobatan/treatment pasteur lebih efektif dalam pencegahan penyakit dengan masa
inkubasi yang panjang dibanding masa inkubasi singkat. Masa inkubasi terpanjang yang pernah dilaporkan adalah 14 - 32 bulan. Masa inkubasi yang pernah diamati dari 27 orang yang terkena rabies di daerah Sulawesi Utara adalah 9 sampai 228 hari dengan ratarata 68 hari. Ada yang berpendapat bahwa makin dekat tempat gigitan dengan kepala, makin cepat masa tunas, dan ada pula yang mengatakan bahwa lamanya masa tunas sama sekali tidak tergantung kepada tempat gigitan (5). Macam gejala klinis rabies pada manusia Gejala awal rabies meliputi demam, malese umum, mual, rasa nyeri di tenggorokan beberapa hari, rasa nyeri dan panas disertai kesemutan pada tempat luka. Lalu disusul gejala angsietas dan reaksi berlebihan terhadap rangsang sensorik atau yang dinamakan “stimulus sensitive myclonus”. Tonus otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala-gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan dilatasi pupil. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncak yang sangat khas dengan adanya berbagai fobi: hirofobi. Gejala-gejala stadium eksitasi dapat terus tampak sampai penderita meninggal, tetapi yang lebih sering terjadi sebelum kematian: otot-otot justru melemas, hingga terjadi parises flaksid otot-otot. Sebagian besar penderita meninggal dalam stadium eksitasi (5, 8, 19). Hyperaktif rabies dengan mudah dikenali jika sejarah keterpaparan ada dan seluruh tanda klinis muncul (hipersalivasi, hidrophobi dan agitasi). Banyak dokter familiar dengan bentuk gejala klinis rabies seperti agitasi intermiten (selang seling), berontak, berteriak-teriak, menggigit (biting), reaksi fisik saat melihat air akrena ada spasmus pharyngeal, hyperventilasi, hypersalivasi, convulsi lokal atau general bertahan hingga 5 menit. Tahun 1969 terjadi kasus seperti ini pada 85 orang di Sulawesi Utara (5). Rabies paralytik merupakan hal dominan dari bentuk klinis rabies lain yang disebut rabies “dumb”/bisu atau rabies bentuk tenang (rabies tranquile) yang diamati pada 5-20% kasus rabies pada manusia. Dimana khususnya timbul lebih sering pada manusia yang
123
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
mendapat pengobatan pasteur. Rabies paralytik dapat hadir dengan gejala yang benar-benar sama dengan gejala paralitik viral encephalatidis dan meningkatkan paralisis Landry Guillain-Barre dimana karakteristik ini sering timbul pada diagnosa. Hal ini menyimpulkan bahwa penularan buatan secara eksiden dari virus rabies dan kesulitan dalam diagnosa dumb rabies saat keterpaparan virus tidak tercari, bahkan mungkinmerupakan alasan mengapa rabies dumb tidak pernah dilaporkan di Indonesia (5). Masa kesakitan yang singkat, dan tidak adanya gambaran klinis atau pengujian serologis yang tidak lengkap mengingatkan kita bahwa 14 diantara post vaksinasi encephalopathy diduga kasus dumb rabies di daerah Sulawesi Utara (5). Gejala klinis EPVAR (Enselopathy Post vaksin Anti rabies) antara lain: suhu tubuh kurang dari 38oC, dimana anamese pernah emndapat VAR, hasil uji laboratorium menunjukkan liquor spinalis jernih, kadar glukosa normal serta kadar protein dan hitung sel yang normal atau meningkat. Setiap diagnosa EPVAR harus didukung oleh pendapat ahli-ahli penyakit dalam, syaraf dan jiwa (5). Dengan vaksinasi Suckling Mouse Brain komplikasi insiden: 1/20.000 )Amerika latin) dengan angka kematian 22%. Dengan vaksin Human Diploid Cell, tidak ada komplikasi neurologik atau sistemik yang berat, kecuali reaksi lokal dan sistemik yang ringan (5, 15).
dengan tehnik komplement fiksasi dan tehnik presipitasi, tapi tidak mempunyai aktifitas menetralkan (5, 15). Virus rabies yang hidup maupun yang telah diinaktifkan dalam vaksin, mampu menindusir sel-sel tubuh dan untuk membentuk interferon (suatu protein dengan berat molekul rendah). Setelah dikeluarkan dari sel, interferon dapat diambil oleh sel lain yang karenanya menjadi resisten terhadap infeksi virus sebagai kemungkinan dihasilkannya suatu “translation inhibiting protein”. Hal yang menarik adalah interferon bertindak sebagai substansi terapeutik yang potensial sebagai obat anti virus yang universal. Interferon hanya aktif pada hasil spesies yang membuatnya, sehingga interferon untuk konsumsi manusia hanya dapat dibuat dalam sel-sel manusia saja, umpamanya dari buffy coat cells donor atau sel-sel manusia dalam culture (biakan jaringan). Beberapa macam zat yang dapat dipakai untuk pengindusir interferon pada manusia adalah berupa polymer-polymer besar, asam nukleat, polynukleotida ataupun molekulmolekul kecil dengan syarat (5): o Tidak adanya toksisitas zat tersebut untuk jaringan tubuh tuan rumah o Mengurangnya pelepasan interferon pada pengulangan pemberian zat-zat pengindusir o Kemampuan induksinya yang bermacam-macam pada spesies Vaksin anti rabies (VAR) bagi manusia (pemberian secara ID, IM atau SC) (5, 15, 23)
Mekanisme proteksi rabies pada manusia
Nerve tissue vaccine (NTV)
Pada penderita, mekanisme proteksi diri ini diusahakan melalui reaksi antigen antibody dan efek inhibisi dari interferon Partikel virus rabies mempunyai 2 antigen struktural yamh utama: 1. Antigen glycoprotein yang berasal dari membran virus 2. Antigen nukleoprotein (internal nucleoprotein) Glycoprotein adalah satu-satunya antigen yang mampu mengindusir pembentukan antibodi penetralan virus, dan melindungi tuan rumah terhadap tantangan virus kemudian. Antigen nucleoprotein dapat ula mengindusir pembentukan antibodi seperti diperlihatkan
124
1. Berasal dari otak hewan dewasa misalnya: kelinci, kambing, domba dan monyet 2. Berasal dari otak bayi (suckling) hewan misalnya: tikus putih (mice), tikus besar (rat), kelinci Non nerve tissue vaccine (non NTV) 1. Berupa avian vaksin atau duck embryo vaccine (DEV) 2. Tissue culture vaccine: primary explants: 3. Primary chick embryo: Rabipur 4. Primary hamster kidney cells/PHKC
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Primary bovine cells Primary porcine cells 1. Tissue culture vaccine: 2. Monkey kidney derived cells (VERO) 3. Verorab (Wistar strain on vero cells) 4. Imovac (Pasteur strain on vero cells) 5. Human diploid cell strain (HDCS) Zat kimia yang sering dipakai untuk inaktivasi adalah: formalin 0,5%; fenol 0.5 1.0%; merthiolate 0.01%; B propiolactone: 1/3500 - 1/5000 dan tri-n-butil fosfat
mencit harus tetap hidup sampai masa akhir observasi. Uji sterilitas Sampel vaksin diinokulasikan dalam media sesuai SOP pabrik. Seluruh sampel harus bebas dari bakteri aerob/anaerob serta jamur. Uji penetapan pH Uji penetapan pH dilakukan dengan menggunakan pH meter yang dilengkapi elektrode calomel. Vaksin memenuhi syarat jika pH berkisar antara 7.0 sampai 7.2.
Gejala sampingan dari pemberian VAR Uji keamanan Reaksi lokal Terbatas pada tempat suntikan berupa kemerahan, gatal disertai pembengkakan. Penderita dapat diberikan kompres hangat dan antihistamin. Reaksi berat Kemungkinan dapat berupa meningoencephalitis. Gejala-gejalanya adalah: sakit kepala yang berat dan terus menerus, kaku kuduk, panas badan dan rasa lemah pada kedua kaki atau seluruh badan. Reaksi biasanya timbul antara hari ke 7-35 paska VAR dimulai. Juga nisa antara 2-3 bulan paska VAR pertama. Accident paralytic ini dibagi dalam golongan: type landry, dorso lumbal neuritis dan encephalomyelitis (5, 15). Uji mutu vaksin anti rabies/VAR (15) Uji potensi (metoda NIH/National Institute Helath) Vaksin diberikan sedikitnya 14 hari suntikan dan booster. Umumnya dihasilkan potensi sedikitnya 1.0 IU dengan uji ini. Uji inokulasi Delapan ekor mencit berat 17-20 gram disuntikkan 0.5 ml vaksin secara intra peritoneal dan diamati selama 7 hari. Seluruh
Sepuluh mencit diinokulasikan 0.03 ml vaksin secara intracerebral dan 10 mencit yang sedang menyusui diinokulasikan 0.01 ml rute yang sama. Semua hewan harus tidak boleh menunjukkan adanya gejala rabies dan gejala penyakit SSP lainnya selama kurun waktu 14 hari. Pengobatan rabies paska paparan pada manusia Tindakan pertama untuk mengurangi penyakit rabies yang masuk pada luka gigitan adalah segera mencuci dengan air sabun atau detergent, kemudian luka diobati dengan alkohol 70% atau larutan yang mengandung quartenary amonium, antibiotik dan anti tetanus serum. Di Indonesia, “post exposure treatment” terhadap rabies dimulai sejak 1895 di Instituut pasteur bandung yaitu setelah VICTOR GALTIER tahun 1881 menggunakan virus rabies dan kemudian LOUIS PASTUER tahun 1885 mengintrodusir: “Pasteur treatment” dengan vaksin rabies berasal dari sumsum tulang belakang kelinci. Vaksin dikembangkan dengan memakai otak kelinci menurut cara HOGYES tahun (1906-1915), dan sejak 19161932 menggunakan virus hidup dengan memakai otak kera masih cara HOGYES. Baru sejak 1932 oleh MARIA VAN STOCKUM diganti dengan formol vaksin inaktif yang dibuat dari otak kera. Ternyata keberhasilan cara terakhir ini lebih baik dari cara sebelumya. Vaksin terus dikembangkan dengan cara
125
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
inaktivasi dengan “carbol merthiolate”. Sehingga desentralisasi penanggulangan rabies dapat dilakukan sejak 1950. Aplikasi serum anti rabies (SAR) atau globulin equine sebagai kekebalan aktif dalam vaksinasi paska papar diterima hanya dalam waktu 20 tahun terakhir, dimana tahun 1950 tenaga ahli WHO menyarankan penggunaan SAR pada pengobatan paska papar. Penelitian tersebut mengingatkan bahwa serum kebal memainkan peranan utama sebagai suatu faktro keamanan kehidupan pada orang yang terkena rabies ganas dan menunjukkan bahwa dengan vaksin saja, antibodi dapat dideteksi paling cepat 7-10 hari paska suntikan pertama, tetapi dengan SAR dapat dideteksi paling cepat dalam waktu 1 hari. Penerapan SAR memberikan antibodi SNT yang tetap terpelihara diseluruh masa pengobatan. Tercatat bahwa penundaan terpanjang pada perlakuan kombinasi serum vaksin yaitu 25-37 hari dari 3 korban yang digigit oleh rubah dan hewan lain. Risiko serum sickness dengan SAR equine origin adalah 16.3% dimana peningkatan pada umur 0-5 (12.3%) dan umur 15 tahun atau lebih adalah 46.3%. Tenaga ahli WHO menyarankan penggunaan SAR pada prophylaxis rabies untuk paparan hebat tanpa memandang waktu yang keliru/salah sebelum perlakuan ini dilakukan (5).
Isolasi virus penyebab Seperti diketahui waktu yang singkat atau kesakitan biasanya berakhir dengan kematian dalam waktu 10 hari. Virus rabies pernah diisolasi dari saliva, cairan cerebro spinal dan sedimen urin manusia seebelum kematiannya. Isolasi mungkin akan gagal dari jaringan otak dan material diatas 10-14 hari setelah sakit (paska kematian) dimana ada korelasinya dengan timbulnya antibodi neutralising. Pewarnaan sellers: merupakan uji yang relatif cepat dan murah tetapi kurang spesifik yaitu dengan melakukan pewarnaan histo patologi dalam pemeriksaan negri bodi virus rabies yang berkurang 24 – 27ц, terletak intrasitoplasmik dan bersifat asidofilik pada sel syaraf atau ganglion dari tanduk Ammon, serebrum da serebelum Fluorescent antibodies test (FAT) dapat digunakan yang memperlihatkan virus rabies pada jaringan otak, cairan cerebro spinal, urin, kulit dan usapan cornea, tetapi FAT mungkin negatif setelah antibodi timbul (5, 15) Tehnik polymerasi chain reaction (PCR) merupakan tehnik sophisticated dalam typing/penggolongan kelompok virus rabies dalam hal pemetaan RNA selain berguna dalam studi epidemiologi (1, 12, 15). Identifikasi antigen juga dapat dilakukan dengan menggunakan antibodi monoklonal (15).
Uji laboratorium Gambaran PA otak Gambaran PA otak post mortum menunjukkan pembengkakan merata. Terdapat kongesti pembuluh (vascular congestion) yang menyeluruh dan pendarahan petekial di dalam meningen dan fleksus koriodeus, ventrikelventrikel kecil dan symetris. Substantia alba menunjukkan kongesti vaskular yang pinpoint, tapi tak terdapat nekrose focal. Pada medula dan pons terlihal encephalitis berupa fokusfokus proliferasi dari mikroganglia dengan sebukan-sebukan lymphocyt perivasculer (5, 15).
126
Pengukuran antibodi Pengukuran antibodi humoral Pengukuran antibodi dengan tehnik haemogglutinasi inhibition (HI) dapat merupakan pilihan bagi laboratorium serologi yang memiliki peralatan terbatas, walaupun masih perlunya standarisasi penetapan nilai protektif (18). Pada saat tertentu selama dan sesudah suatu vaksinasi anti rabies penuh memberikan titer tertinggi 1/3125 dengan metode IFAT (Indirect Fluorescent Antibody Test). Teknik ini memerlukan pengalaman dalam penentuan positif antibodi, untuk menghindari false positif.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Antibodi dengan tehnik ELISA: relatif lebih cepat dan cukup murah bila dilakukan pemeriksaan bagi banyak sampel sekaligus. Sensitifitasnya tinggi tetapi spesifisitas tidak sebaik SNT (15). Titer antibodi dengan ELISA bagi manusia dan hewan dinyatakan protektif bila sedikitnya diperoleh 0.5 International Unit (IU) bagi serum individual atau 0.1 International Unit dinyatakan bagi serum kelompok (GMT) (15, 16). Pada “Meeting 7th WHO Expert Committee on Rabies” disarankan melakukan mouse neutralization test (MNT) dan plaque reduction test (PRT) untuk pengukuran antibodfi rabies. Akan tetapi setelah itu para peneliti lebih memilih rapid fluorescent focus inhibition test (RFFIT) walau MNT masih digunakan juga. Fluorescent inhibition microtest (FIMT) adalah suatu modifikasi RFFIT diaplikasikan dengan memakai mikroplat, dimana semuanya memerlukan biakan jaringan. Uji serum netralisasi (SNT): merupakan uji yang paling spesifik bagi deteksi antibodi rabies. Memerlukan skiil yang baik untuk melakukan uji ini dengan menggunakan sel yang sensitif bagi pertumbuhan viris rabies serta memperlihatkan kerusakan sitopatik (CPE) pada sel MNA (
dengan cara pengukuran pelepasan zat radio aktif yang dihitung dengan gamma counter (3, 10, 13, 23, 24, 25). Prognosis Prognosa dari rabies klinis adalah kuburan (kematian), akan tetapi pernah dilaporkan 10 kasus yang sembuh sejak 1875 yaitu antara lain 2 kasus di USA tahun 1970 dan 2 kasus di Argentina tahun 1972. perlawanan kekebalan akan terlambat bila dalam waktu 10 hari, sehingga disarankan untuk kombinasi SAR dan VAR (5). Diagnosa diferensial (5) a. Dengue b. Japanese B. encephalitis (JE) KESIMPULAN Kematian yang merupakan prognosa dari rabies seharunya memaksa para dokter untuk memperlakukan korban gigitan lebih intensif karena pernah ada laporan korban yang sembuh akibat gigitan hewan penular rabies. Dokter syaraf harus memperhitungkan dumb rabies sebagai differential diagnosa dan mencari kemungkinan paparam virus rabies pada pasiennya. Pencegahan rabies pada manusia di Indonesia dengan pemberian vaksin yang berasal dari jaringan syaraf binatang pada umumnya dan kera pada khususnya hanya diberikan jika ada inmdikasi, karena kemungkinan timbulnya komplikasi yang dapat mengakibat cacat seumur hidup dan mempunyai angka kematianm tinggi. Sudah seyogyanya pemakaian SAR dianjurkan pada post exposure treatment sesuai dengan rekomendasi WHO Expert Committer on Rabies di Rabies Centrees. Program diagnostik rabies adalah penting dan diperlukan dalam rangka penanggulangan rabies. Pengujian vaksin rabies bagi hewan harus dilakukan khususnya uji inaktivasi untuk menjamin keamanan pangan (inaktivasi) vaksin rabies. Penanganan vaksinasi hewan harus dilakukan dengan benar untuk menjamin keberhasilan vaksinasi.
127
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Untuk mencapai hasil optimal dalam pelaksanaan program pemberantasan rabies diperlukan kerjasama di segala bidang baik sektor kesehatan maupun di luar kesehatan.
LARSON, J.K., W.H. WUNNER and HILDEGUND C.J. 1992. Immune Response to the Nominal Phosphoprotein in Rabies Virus. Virus Research, 23. p. 73-88.
DAFAR PUSTAKA
LONTAI, I. 1996. Current Situation of Rabies Prevention in Southeast and Central Europe. Proceedings of a Symposium Held at Bad Waltersdorf, Australia.
BAER, G.M. 2000. The Natural History of Rabies. Second Edition, CRS. Press, Poca Raton, Ann. Arbor, USHA. BALAI BESAR PENGUJIAN MUTU dan SERTIFIKASI OBAT HEWAN. 2005. Instruksi Kerja Pengujian Virologi. Vaksin Rabies Ianaktif. BULLETIN VETERINER. 2000. Evaluasi laboratorium penyakit rebies. Propinsi Sumatera Utara. 1996-2000. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah I. CELIS, E., D. OU., B. DIETZSCHOLD and H. KOPROWSKI. 1998. Recognition of rabies related viruse by T. cells Derived form human vaccine recipients. J. Virology. 62. p.31283134. CODE of FEDERAL REGULATION (CFR) 9, animal and animal product, US Government Printing Office. Washington. 1993. DALDIYONO dan Ancaman semakin lengkap Indonesia.
C. KUS HARYONO. 1981. Rabies. Kesehatan masyarakat yang meningkat. Kumpulan naskah Simposium Rabies, Jakarta,
DIBIA, I.N. 2003. Evaluasi pemberantasan rabies di Pulau Lembata Nusa Tenggara Timur, BPPV VI. Makalah pada Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan. FARMAKOPE OBAT HEWAN INDONESIA/FOHI (Biologik). Jilid I. Edisi 2. 2004. HABEL, K. IN REED, L.J. and MUENCH, H. 1938. Habel Test for Potency Amer. J. Hyg., 27. 493. HICKLING, J.K. 1998. Measuring Human TLymhocyte Function. Expert Reviews in Molecular Medicine. Cantab Pharmaceuticals research Ltd. Cambridge. United Kingdom. JACKSON, A.C. and W.H. WUNNER. 2002. Rabies. Academic Press. An Elsevier Science Imprint, USA.
128
MESLIN, F.X., M.M. KAPLAN and H. KOPROWSKI. 1996. Laboratory Technique in Rabies. Fourth Edition. WHO Geneva. SODIRUN W.W. dan SOSIAWAN, H.B. 2001. Menitoring serologis rabies dengan metoda HA-HI test di Kabupaten Pasaman (Sumbar, Kabupaten Kampar (Riau) dan Kabupaten Muaro Gungo (Jambi). Bulletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 3 No. 63, 2001. SOEJOEDONO, R. 2004. Rabies. Disampaikan pada Workshop on Zoonosis, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan tanggal 20 Desember di Jakarta. TARIQ, W.U.Z. and I.A. MALIK. 1995. Rabies. Myths and Facts. First Edition. Armed Forces Institute of Pathology. Rawalpindi, Pakistan. THE MERCK VETERINARY MANUAL. 1991. Seventh Edition, Merck and Co. Inc. N.J., U.S.A. TRI SATYA NASPOSPOS H. 2004. Monitoring keberhasilan program vaksinasi dalam pengendalian rabies secara Nasional. Makalah pada Apresiasi SIKNAS rabies secara ELISA, di Surabaya. WINDIYANINGSIH, C. 2005. Respon imun vaksinasi anti rabies intra dermal dibandingkan intra muskular kasus gigitan hewan penular rabies di Indonesia. Thesis program Doktor Ilmu Epidemiologi FKH – UI. WIKTOR, T.J, P.C., DOVETY, P.C. and H. KOPROWSKI. 1977. Suppression of CellMediated Immunity by Street rabies Virus. J. of Exp. Medicine. 145 p 1617-1622. WIKTOR, T.J., P.C., DOVETY, P.C. and H. KOPROWSKI. 1977. In vitro evidence of cellmediated immunity after exposure of mice to both live and inactivated rabies virus. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. P. 334-338.