RESPONS TERHADAP MODERNISASI Karakteristik Adopter Karakteristik responden penelitian ini meliputi umur, pengalaman usaha, pendapatan, lama pendidikan, dan status sosial. Secara ringkas responden tersebut dibagi lagi ke dalam tiga katagori adopter yang dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Karakteristik Responden Penelitian Pada Saat Adopsi Teknologi
Karakteristik 1. Umur 2. Pengalaman Usaha (th) 3. Pendapatan (liter beras) 3. Lama Pendidikan 4. Status Sosial
Pengadopsi Cepat (PC) 47 25 1.300 8.3 Bangsawan
Katagori Adopter Pengadopsi Pengadopsi Sedang lambat (PS) (PL) 44 51 24 22 1.283 1.281 8.1 6.0 Bangsawan Bangsawan & bukan
Ket: Setiap karakteristik berdasarkan rata-rata dari jumlah adopter
Dari karakteristik tersebut ternyata responden dengan umur yang lebih muda lebih cepat mengadopsi dibanding yang lebih tua. Sebaliknya pengalaman usaha yang lebih lama lebih cepat mengadopsi teknologi. Sedangkan responden dengan pendapatan lebih besar ternyata lebih cepat mengadopsi, begitu pula dengan lama pendidikan. Nampak ada kecenderungan bahwa nelayan yang berumur lebih muda, pengalaman lebih lama, serta lebih lama mengenyam pendidikan lebih cepat mengadopsi teknologi yang ada. Modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (kapal mini pursein 5-10 GT dan pukat cincin) atau dalam bahasa lokal gae diperkenalkan di desa Lagasa tahun 1976-1977 oleh beberapa nelayan yang pernah bekerja pada armada gae di tempat lain. Pada tahun 1981 nelayan dalam hal ini ponggawa mulai mengadopsi teknologi tersebut. Pengadopsi Cepat (PC) terdiri dari 15 (33.3%) responden, Pengadopsi Sedang (PS) terdapat 14 responden (31.1%) dan Pengadopsi Lambat (PL) sebanyak 16 responden (35.6%). Dari keseluruhan jumlah tersebut terlihat
bahwa
adanya
kecenderungan
adopter
semakin
banyak
untuk
Pengadopsi Lambat (PL) dibanding jumlah katagori adopter sebelumnya. Jumlah tersebut adalah responden ponggawa dengan katagori adopter seperti dijelaskan
pada karakteristik responden sebelumnya sebagai otoritas yang memutuskan adopsi yang terdiri 45 orang ponggawa dengan perbandingan dapat dilihat pada diagram berikut 16.5 Jumlah Adopter
16 15.5
EA
15
MA
14.5
LA
14 13.5 13 1 Katagori Adopter
Ket: Pengadopsi Cepat (PC) 15 (33.3%) Pengadopsi Sedang (PS) (31.1%) Pengadopsi Lambat (PL) (35.6%) Gambar 6. Diagram Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Adopter
Makna Laut dan Makna Pekerjaan Nelayan Makna laut dan makna pekerjaan nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa dibedakan menjadi beberapa aspek yakni makna ekonomis, makna sosiologis, makna teologis, makna psikologis serta makna budaya. Makna Laut Adapun jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek makna laut adalah sebagai berikut: Tabel 7. Sebaran Responden Ponggawa Setiap Katagori Makna Laut Makna Laut
PC (n=15) Positif Negatif Jml % Jml %
PS (n=14) Positif Negatif Jml % Jml %
PL (n= 16) Positif Negatif Jml % Jml %
Ekonomis
14
93
1
7
12
86
2
14
13
81
3
19
Sosiologis
9
60
6
40
8
57
6
43
8
50
8
50
Teologis
10
67
5
33
9
64
5
36
11
69
5
31
Psikologis
11
73
4
27
11
79
3
21
11
69
5
31
Budaya
13
87
2
13
12
86
2
14
14
88
2
13
Pada Tabel 7 memperlihatkan makna ekonomis, makna psikologis dan makna budaya cenderung lebih banyak untuk penilaian positif pada setiap katagori adopter. Sedangkan persentase responden makna sosiologis dan makna teologis lebih kecil. Untuk makna ekonomis, pada PC penilaian positif paling banyak dibanding makna lainnya. Akan tetapi kecenderungan yang terjadi adalah penilaian positif makna ekonomis semakin menurun jumlahnya pada tingkatan adopter lebih lambat. Walaupun demikian, penilaian positif makna ekonomis untuk setiap katagori adopter cukup tinggi. Hal tersebut dapat dimengerti, mengingat sumber utama pencahaian responden adalah sebagai nelayan yang tidak dapat dipisahkan dengan nilai ekonomi laut itu sendiri. Penilaian positif tersebut juga didasarkan oleh letak geografis desa yang didominasi oleh laut, sehingga interaksi untuk menunjang kegiatan ekonomis telah dilakukan secara turun temurun. Selanjutnya walaupun berbeda persentase, kecenderungan mayoritas responden pada penilaian positif tinggi terdapat pada makna budaya. Pada PC, penilaian positif makna budaya masih lebih rendah dibanding makna ekonomis. Akan tetapi pada PS terdapat persentase responden yang sama antara penilaian positif makna budaya dengan makna ekonomis. Bahkan pada PL responden lebih banyak untuk makna budaya. Persentase responden yang menilai positif makna budaya cukup tinggi. Terlihat pada setiap katagori adopter, jumlah responden mencapai lebih dari 80%. Hal ini berkaitan dengan masih kuatnya nilai-nilai budaya Bajo yang melekat dalam diri responden. Banyaknya responden yang menilai positif makna budaya menunjukan bahwa nilai-nilai budaya masih kuat dipegang teguh oleh ponggawa sebagai otoritas pemberi keputusan adopsi teknologi. Bagi mereka (Suku Bajo), laut dimaknai lebih dari sekedar aspek pemenuhan kebutuhan hidup dalam hal ini tempat mencari nafkah. Di mata orang Bajo, laut adalah segalanya.26 Hal tersebut sesuai pula dengan hasil kajian Siregar (2001) yang melihat kecenderungan Suku Bajo menyatu dengan laut menjadi salah satu kendala pemerintah dalam program relokasi Suku Bajo selain di wilayah pantai dan pesisir. Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan.
26
Orang Bajo sangat sulit dipisahkan dengan laut. Pada awal relokasi, penduduk desa bertahan tidak pindah karena lokasi baru tidak full laut.
Sejak ratusan tahun lampau, orang Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak27. Sedangkan penilaian positif makna psikologis menunjukan dekatnya hubungan emosional antara nelayan dengan laut. Pernyataan sebagai konsepsi makna psikologis ditanggapi dengan sikap setuju oleh beberapa responden. Makna psikologis juga dinilai positif dalam persentase responden yang cukup signifikan. Hal tersebut diakibatkan secara psikologis, kecenderungan nelayan Bajo untuk bertempat tinggal dan menyatu dengan laut sehingga sukar untuk menetap jauh dari laut. Oleh karena itu hampir tidak ditemukan Suku Bajo menetap di desa tetangga maupun di ibukota kabupaten yang jaraknya cukup dekat dengan desa penelitian. Walaupun di ibukota kabupaten tersedia sarana dan prasarana yang cukup lengkap, ataupun terdapat lapangan pekerjaan yang memadai, jarang ditemui Suku Bajo yang bekerja di sektor-sektor lain misalnya perdagangan, pertanian bahkan pegawai negeri. Pada makna teologis, bagi PC walaupun lebih kecil terdapat persentase responden yang menilai positif sebanyak 67%. Kepercayaan terhadap ajaran agama Islam yang mewajibkan memanfaatkan sumber alam, serta dampak merugikan orang lain jika merusak laut mendasari penilaian positif makna teologis tersebut. Makna teologis laut dinilai negatif oleh karena beberapa responden belum memahami secara langsung perintah agama untuk mengelola laut (pernyataan 2). Mereka paham bahwa agama memerintahkan untuk memanfaatkan sumber alam, tetapi tidak menyebutkan obyek. Untuk penilaian negatif, responden mayoritas terdapat pada makna sosiologis dan teologis bagi semua katagori adopter, bahkan pada PL responden pada makna sosiologis mencapai 50%. Beberapa pernyataan sebagai konsepsi makna sosiologis ditanggapi dengan sikap tidak setuju. Menurut responden, selain laut, bahasa Bajo dapat pula menjadi pemersatu mereka. Disamping itu, banyak generasi muda Bajo cenderung meninggalkan pekerjaan nelayan sehingga pendapat bahwa laut sebagai simbol Suku Bajo tidak sepenuhnya disetujui. Kecenderungan persentase responden pada penilaian negatif untuk makna teologis semakin meningkat pada adopter lambat. Terlihat bahwa pada PC terdapat 33 % responden, PS 36% dan PL sebanyak 31%. Meningkatnya ferkuensi kegiatan keagamaan serta peran juru dakwah serta penyuluh agama masih kurang dibanding tahun-tahun berikutnya. Hal tersebut mendorong penduduk untuk lebih paham dan 27
www.liputan 6.com
mengerti secara detil perintah-perintah agama, termasuk penjelasan bahwa perintah memanfaatkan laut adalah salah satu perintah memanfaatkan sumber alam. Pada awal penerapan teknologi, perintah agama belum dipahami secara utuh atau hanya berdasarkan ajaran dilakukan secara turun temurun. Makna Laut dan Tingkat Adopsi Untuk setiap tingkatan adopter, persentase responden penilaian positif makna ekonomis cenderung lebih sedikit pada adopter lambat sedangkan penilaian negatif cenderung lebih banyak. Penilaian positif makna sosiologis,teologis dan psikologi lebih kecil, sedangkan penilaian negatif cenderung lebih banyak. Persentase responden untuk setiap tingkatan adopter lebih banyak untuk adopter lambat terdapat pada penilaian positif makna budaya dan lebih sedikit untuk penilaian negatif. Pada katagori PC, beberapa responden memiliki pengalaman yang cukup lama sebagai nelayan (29 - 41 tahun). Pengalaman tersebut menambah pengetahuan tentang cara penangkapan, wilayah tangkapan juga dimiliki oleh responden tersebut. Oleh karena itu kecenderungan untuk menilai positif makna ekonomis laut tinggi. Hal tersebut mendukung pula bahwa ada kecenderungan pemaknaan laut dan pekerjaan nelayan berubah sejalan dengan adanya intervensi dalam hal ini modernisasi perikanan. Banyaknya responden dengan penilaian positif makna ekonomis untuk adopter lebih awal menunjukan bahwa adopsi inovasi modernisasi perikanan berhubungan dengan pemaknaan akan kepentingan ekonomi laut tersebut. Nelayan yang menilai positif makna ekonomis laut cenderung lebih cepat menerima inovasi terbaru yang berhubungan dengan pemanfaatan hasil laut tersebut. Sedangkan nelayan yang menilai negatif makna ekonomis akan cenderung menolak atau menerima dalam jangka waktu yang lambat. Menurut responden, terdapatnya sumberdaya hayati dan non hayati yang benilai ekonomi tinggi (ikan, rumput laut, kerang, pasir) menjadi dasar penilaian positif makna ekonomis tersebut. Penilaian negatif terhadap makna ekonomis menjadi salah satu faktor penghambat nelayan untuk mengadopsi inovasi tersebut sehingga menciptakan adopsi yang terlambat di kalangan nelayan. Pada tabel 5 terlihat kecenderungan persentase responden lebih banyak pada penilaian negatif makna ekonomis untuk tingkatan adopter lebih lambat. Menurut Rogers dan Shoemaker, salah satu ciri sosial ekonomi adopter yang lebih inovatif dibanding adopter lambat
adalah lebih berorientasi pada ekonomi komersil. Artinya adopter lebih lambat orientasi ekonomi yang dimiliki masih lebih kecil dibandingkan orientasi lainnya. Dalam kasus nelayan responden, orientasi budaya masih lebih tinggi untuk katagori adopter lambat. Persentase responden tinggi yang memberi penilaian positif makna budaya pada adopter lebih lambat, menunjukan bahwa bahwa nelayan masih menempatkan laut untuk kepentingan budaya yang lebih kuat dibanding aspek lain utamanya aspek ekonomi. Kecenderungan tersebut menyebabkan nelayan belum terdorong untuk mengadopsi (adopsi terlambat) terhadap teknologi penangkapan tersebut. Menurut Rogers dan Shoemaker dibanding adopter yang lebih lambat, adopter lebih awal memiliki ciri pribadi antara lain kurang dogmatis. Dengan teknologi yang tergolong sederhana, sebenarnya, kemampuan mereka untuk mendapatkan ikan hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Kaitan dengan hal tersebut, Sudjatmoko et.al (2005) mengungkapkan bahwa selama berabad-abad, teknologi menangkap ikan yang dimiliki orang Bajo sama sekali tak mengalami perubahan. Hubungan emosional tersebut menimbulkan keinginan nelayan untuk menerima hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan laut serta hasilnya. Pada konsepsi pemaknan psikologis tidak merasa nyaman tinggal jauh dari laut serta pindah tempat tinggal menjadi pilihan terakhir ditanggapi sikap setuju menjadikan suatu keharusan bagi nelayan untuk selalu memanfaatkan hasil laut. Makna Pekerjaan Nelayan Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek makna laut adalah: Tabel 8. Sebaran Responden Ponggawa Setiap Katagori Makna Nelayan Makna Laut
PC (n=15) Positif Negatif Jml % Jml %
PS (n=14) Positif Negatif Jml % Jml %
PL (n=16) Positif Negatif Jml % Jml %
Ekonomis
15
100
0
0
14
100
0
0
14
88
2
13
Sosiologis
12
80
3
20
10
71
4
29
12
75
4
25
Teologis
12
80
3
20
11
79
3
21
12
75
4
25
Psikologis
11
73
4
27
10
71
4
29
11
69
5
31
Budaya
13
87
2
13
12
86
2
14
14
88
2
13
Pada Tabel 8 tersebut terlihat bahwa pada setiap katagori adopter, penilaian positif untuk makna ekonomis paling banyak dibanding aspek makna
lainnya, bahkan untuk PC dan PS mencapai seluruh responden (100%). Pekerjaan nelayan yang telah digeluti bertahun-tahun dan mampu menghidupi keluarga, mampu membiayai anak untuk sekolah, menguntungkan serta pengalaman maupun anggapan mampu menunaikan ibadah haji menjadi dasar penilaian positif makna ekonomis tersebut. Sedangkan kurangnya persentase responden yang menilai positif makna ekonomis pada PL karena beberapa responden beranggapan pekerjaan nelayan kurang menguntungkan, kurang memungkinkan ke Tanah Suci maupun memiliki pekerjaan lain.28 Dari 45 responden, 5 orang (11.1%) memiliki kios sembako, 2 orang (4.4%) menjual BBM serta 6 orang (13.3) sebagai pedagang ikan (pappalele) dalam hal ini dijalankan isteri ponggawa. Penilaian positif yang sangat menonjol juga terdapat pada makna budaya. Seperti halnya pemaknaan laut, pekerjaan nelayan juga masih dinilai bermakna secara budaya oleh Suku Bajo. Berbagai literatur serta kajian menunjukan bahwa kebudayaan bahari (laut dan nelayan) sangat kuat melekat dalam diri mereka (Hafid et.al, 1996; Peribadi, 2000 dan Sudjatmoko et.al, 2005). Kecenderungan tersebut ditunjukan pula oleh berbagai budaya Bajo yang selalu dihubungkan dengan aktivitas nelayan, misalnya prosesi kelahiran (bantang). Seorang ibu bersama bayi utamanya bayi laki-laki dilakukan upacara dimandikan air laut bagi ibu dan diberi sentuhan air laut bagi bayi. Proses memandikan ibu dan bayi tersebut menurut responden (ponggawa Gs, Pn, Dd) karena keberadaan bayi sebagai bagian dari Suku Bajo kelak bekerja sebagai nelayan yang mengharuskan untuk selalu dekat dengan laut. Pada makna sosiologis juga terdapat responden yang menilai positif dalam persentase yang tinggi. Pengalaman bekerjasama antara berbagai pihak, misalnya ponggawa-sawi, kerjasama pemasaran dengan pappalele serta pengelola TPI menjadi alasan penilaian positif tersebut. Disamping itu anggapan nelayan sebagai simbol Suku Bajo serta pemenuhan kebutuhan ikan untuk orang lain oleh nelayan juga menjadi alasan penilaian positif tersebut. Makna sosiologis dihubungkan pula dengan pendapat serta anggapan nelayan dapat menciptakan hubungan kerjasama dan keharmonisan sesama warga desa. Dalam kegiatannya, nelayan juga diharuskan untuk menjalin kerjasama baik antar anggota kelompok penangkapan, maupun pihak-pihak lain seperti
28
Pekerjaan lain dilakukan baik nelayan itu sendiri maupun anggota keluarga lain misalnya isteri nelayan.
pedagang ikan (pappalele). Kerjasama dan keharmonisan dilakukan melalui pembagian maupun giliran kerja pada armada penangkapan sehingga memperkokoh persaudaraan dan persatuan warga desa. Proses sosial tersebut menurut Soekanto (1990) telah menuju bentuk yang konkrit, suatu hubungan terpola sesuai dengan nilai sosial dan budaya masyarakat. Proses tersebut mulai dari perekrutan sawi, sistem bagi hasil yang telah disepakati menjadi suatu pranata sosial komunitas nelayan, serta mode of production yang ada. Hasil penelitian Peribadi (2000) bahwa orang Bajo menyadari sepenuhnya seseorang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Sedangkan Informan mantan Kepala Desa mengemukakan bahwa: “ Dalam budaya Bajo, setiap aspek kehidupan terdapat 2 hal yang tidak bisa dipisahkan yakni laki-laki-perempuan, langit-bumi dan lainnya. Dua hal itu ada untuk dipersatukan agar saling melindungi dan saling melengkapi ”. Salah seorang informan mantan ponggawa mengatakan bahwa pada setiap musim terang masing-masing anggota kelompok armada penangkapan bekerja memperbaiki pukat atau melakukan pengecatan kapal. Akan tetapi tidak jarang anggota kelompok lain membantu pada kelompok armada yang lain. Dalam kehidupan sosial sehari - hari menurut Kepala Desa Lagasa setiap warga dengan spontanitas tanpa diundang membantu warga lainnya yang mengadakan hajatan ataupun ditimpa musibah. Menurut responden, membantu orang lain sama dengan membantu diri sendiri. Indikasi keeratan hubungan kekeluargaan ditemukan pula oleh Peribadi (2000) pada komunitas Bajo di Kendari dalam menyelengarakan serta melangsungkan kehidupan sosialnya. Disamping itu penilaian positif dengan pesentase tinggi juga terlihat pada makna psikologis dan teologis. Beberapa pernyataan negatif pada konsepsi makna psikologis ditanggapi dengan sikap sebaliknya oleh mayoritas responden. Sedangkan pernyataan positif cenderung disetujui oleh mayoritas responden pula. Pernyataan bahwa pekerjaan nelayan membosankan dan hidup nelayan serba sulit ditanggapi tidak setuju artinya pekerjaan nelayan tidak membosankan serta hidup sebagai nelayan tidak mengalami kesulitan. Sementara itu, pentingya pemaknaan teologis bagi ponggawa terlihat pula pada ritual-ritual yang dilakukan sebelum melaut pada awal musim gelap berupa ritual tolak balaa. Upacara dilakukan dengan meminum serta memercikkan air yang telah diberi “doa” oleh modin (modji atau imang). Air dipercikkan pada badan perahu/kapal, mesin, pukat serta baju yang dikenakan nelayan. Hal tersebut menurut responden HL (60) dimaksudkan agar selama musim gelap
mereka mendapatkan keberkahan serta keselamatan jiwa dalam lindungan Allah SWT selama melaut. Menghidupi keluarga bagi Suku Bajo adalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kepala keluarga (Hafid et.al, 1996). Menurut responden salah satu cara memenuhi kebutuhan keluarga adalah dengan bekerja sebagai nelayan, sehingga pekerjaan nelayan dapat dianggap sebagai ibadah. Kehidupan beragama Suku Bajo cukup menonjol di desa penelitian. Pengamatan selama penelitian pada waktu shalat Jumat hampir tidak ada aktivitas oleh kaum laki-laki. Kepercayaan terhadap ajaran agama bagi Suku Bajo masih dipengaruhi oleh kepercayaan leluhur yakni adanya roh-roh yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka. Hasil wawancara dengan responden HL, HA dan Lm menjelaskan bilamana Suku Bajo tidak menjalankan salah satu prosesi berbagai upacara apalagi lalai untuk tidak melaksanakan sesuai dengan aturan, maka akan membawa malapetaka bagi penduduk desa. Dalam konteks nelayan secara umum, Satria (2002) menjelaskan bahwa secara teologis, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semkin terjamin. Makna Pekerjaan Nelayan dan Tingkat Adopsi Pada tingkatan adopter yang lebih lambat, penilaian positif makna ekonomis persentase responden lebih sedikit, sedangkan penilaian negatif cenderung lebih banyak pada adopeter yang lebih lambat. Demikian pula makna sosiologis, teologis dan psikologis. Sebaliknya penilaian positif makna budaya cenderung lebih banyan dan penilaian negatif cenderung lebih kecil. Kecenderungan tersebut utamanya pada makna ekonomis menunjukan bahwa pandangan maupun penilaian terhadap kepentingan ekonomis pekerjaan nelayan menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan kecepatan adopsi modernisasi perikanan. Modernisasi perikanan yang diadopsi nelayan dianggap mendukung kepentingan ekonomi pekerjaan nelayan tersebut. Oleh karena itu respons mereka terhadap modernisasi tersebut relatif cepat dibanding penilaian negatif terhadap makna ekonomis tersebut. Sebaliknya nelayan yang menilai makna negatif ekonomis tersebut akan cenderung terlambat mengadopsi atau tidak mengadopsi (menolak).
Sedangkan banyaknya responden dengan penilaian positif makna budaya pad adopter lebih lambat menunjukan bahwa salah satu faktor keterlambatan tersebut karena tingginya budaya yang masih dimiliki responden walaupun makna ekonomis yang dimiliki cenderung tinggi. Pekerjaan nelayan masih banyak dimaknai sebagai bagian dari budaya Suku Bajo, dan bukan sekedar pemenuhan kebutuhan hidup. Pekerjaan nelayan juga hanya dimaknai sebagai pekerjaan warisan, sehingga adopsi terhadap teknologi penangkapan bagi adopter lambat belum terlalu penting. Sikap tersebut menunjukan pula bahwa motivasi meningkatkan taraf hidup bagi adopter yang lambat melalui adopsi teknologi masih lebih kecil dibanding motivasi penerapan nilai budaya. Sebaliknya, menurut Rogers dan Shoemakrers (1971) adopter yang lebih cepat memiliki motivasi tinggi dalam meningkatkan taraf hidup, lebih berkenan terhadap perubahan serta memiliki sifat rasionalitas lebih besar. Penilaian positif juga cenderung tinggi pada makna sosiologis dan makna teologis pada setiap tingkatan adopter. Hal tersebut menunjukan pula bahwa terdapat hubungan antara kepentingan sosiologis maupun teologis pekerjaan nelayan dengan kecepatan adopsi inovasi sarana tangkap tersebut. Responden yang menilai pekerjaan nelayan secara positif makna sosiologis cenderung lebih cepat mengadopsi dibanding penilaian negatif. Fungsi sosial dari pekerjaan nelayan sebagai penguat ikatan kekerabatan dirasakan oleh sebagian besar responden, yaitu 80% nelayan. Bahkan beberapa responden menyatakan bahwa salah satu dorongan untuk memiliki kapal serta alat tangkap gae sendiri adalah agar dapat membantu nelayan lain yang dapat bekerja pada sarana tangkap yang dimilikinya. Gejala lain menunjukkan adanya hubungan sosial yang lebih daripada hubungan ponggawa-sawi yang dihasilkan secara bersama antara lain kegiatan saling mengunjungi atau saling membantu apabila salah satu pihak menghadapi kesulitan. Ikatan kekerabatan yang masih cukup terlihat di desa penelitian dicirikan oleh adanya kegiatan bersama dan adanya kenyataan bahwa antara sesama warga di desa tersebut saling mengenal. Selain itu, menurut pengakuan beberapa responden, hampir seluruh warga masyarakat di desa penelitian memiliki ikatan keluarga, walaupun hanya merupakan saudara jauh. Responden yang menilai pekerjaan nelayan mendukung kepentingan sosiologis menjadi salah satu faktor pendorong adopsi. Kepentingan tersebut adalah kerjasama dengan berbagai pihak, memperstukan Suku Bajo melalui simbol nelayan,
serta membantu pemenuhan gizi melalui produksi ikan. Sedangkan penilaian terhadap kepentingan teologis terhadap pekerjaan nelayan juga menjadi salah satu faktor pendorong adopsi teknologi. Pandangan bahwa pekerjan nelayan sebagai bagian dari ibadah karena mencakup pelaksanaan tanggung jawab menafkahi keluarga menjadi bahan pertimbangan adopsi tersebut. Sehingga nelayan dengan penilaian positif lebih banyak terdapat pada katagori adopter lebih cepat. Demikian pula penilaian positif pada makna teologis lebih cepat mengadopsi dibanding penilaian negatif. Pernyataan pekerjaan nelayan yang lebih jelas daripada mengelola laut (pada pemaknaan laut) menurut responden, membuat mereka lebih mengerti bahwa pekerjaan nelayan adalah bagian dari ibadah serta perintah agama. Keinginan untuk menjalankan perintah agama menyebabkan nelayan termotivasi untuk mengadopsi teknologi penangkapan tersebut. Kecenderungan tersebut terlihat bahwa responden yang menilai positif makna teologis lebih banyak pada adopter awal dimana katagori PC terdapat 80% nelayan, PS sebanyak 78% dan PL sebnyak 75% nelayan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semakin tinggi penilaian positif makna teologis semakin cepat adopsi teknologi (modernisasi) bagi nelayan.
Ikhtisar Modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap masuk di desa Lagasa tahun 1976-1977. Berdasarkan jumlah adopter, sebaran responden pada tahun 1981 nelayan mulai mengadopsi teknologi. Pengadopsi Cepat (PC) terdiri dari 15 (33.3%) responden, Pengadopsi Sedang (PS)terdapat 14 (31.1%) dan Pengadopsi Lambat (PL) sebanyak 16 (35.6%). Dari jumlah tersebut terlihat bahwa kecenderungan adopter semakin banyak untuk Pengadopsi Lambat (PL) dibanding jumlah adopter sebelumnya. Dari berbagai karakteristik ternyata responden dengan umur yang lebih muda lebih cepat mengadopsi dibanding yang lebih tua. Sebaliknya pengalaman usaha yang lebih lama lebih cepat mengadopsi teknologi. Sedangkan responden dengan pendapatan lebih besar ternyata lebih cepat mengadopsi, begitu pula dengan lama pendidikan. Penilaian positif pada makna laut untuk nelayan dengan status ponggawa lebih banyak pada makna ekonomis dan makna budaya. Tingginya persentase penilaian positif makna budaya menunjukan bahwa nelayan masih menempatkan
laut dalam kerangka kepentingan nilai-nilai budaya yang sama pentingnya dengan kepentingan ekonomis. Kecenderungan terjadi bahwa Pengadopsi Cepat (PC) memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan adopter yang lebih lambat. PC memiliki umur lebih muda, pengalaman lebih banyak pendapatan lebih tinggi serta pendidikan lebih lama dibanding katagori adopter lainnya. Pada pemaknaan laut, kebanyakan responden memberi makna ekonomi, psikologi dan budaya yang positif. Sedangkan pada makna pekerjaan nelayan kebanyakan responden memberi makna ekonomi, sosiologis, teologis dan budaya yang cenderung positif. Sementara untuk makna psikologis, sosiologis dan budaya memperlihatkan tidak ada perbedaan antara ketiga adopter dengan perkataan lain baik pengadopsi cepat, pengadopsi sedang maupun pengadopsi lambat memaknai laut dan pekerjaan nelayan positif baik aspek sosiologis, psikologis dan budaya. Selain itu nampaknya terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Hubungan tersebut adalah semakin positif makna ekonomis maka adopsi inovasi semakin cepat. Sebaliknya semakin positif makna budaya kecenderungan adopsi cenderung semakin lambat.