RESPONS AL JAM’IYATUL WASHLIYAH TERHADAP TERORISME Ja‘far Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Jl. IAIN No. 1, Sutomo Ujung, Medan, 20235, Sumatera Utara E-mail:
[email protected]
Received: 14/03/2017
Revised: 27/04/2017
Approved: 22/06/2017
Abstrak Al Washliyah merupakan satu di antara banyak organisasi Islam yang menolak paham dan gerakan terorisme di Indonesia. Artikel ini mengkaji respons Al Washliyah terhadap terorisme. Kajian ini menarik dilakukan, sebab organisasi ini memiliki pengikut yang fanatik dan mengelola amal usaha yang banyak, tetapi masih relatif jarang diteliti oleh para peneliti. Kajian ini merupakan studi lapangan (library research) dimana sumber datanya diperoleh dari kegiatan wawancara dan studi dokumen. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis data menurut Miles dan Huberman: reduksi data, pemaparan data, dan penarikan kesimpulan. Didasari dengan teori Matusitz, Pranawati, dan Golose tentang doktrin terorisme dimana gerakan ini ingin mendirikan negara Islam, memaknai jihad sebagai perang, anti terhadap non-Muslim, dan melegalkan bom bunuh diri, kajian ini akan menelaah respons Al Washliyah terhadap empat persoalan tersebut. Kajian ini mengajukan temuan bahwa Al Washliyah menolak paham dan gerakan terorisme yang muncul dan
2
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
berkembang di Indonesia, dan para ulamanya menilai bahwa kaum teroris telah salah dalam memahami ajaran Islam. Temuan kajian ini dapat berkontribusi bagi pemerintah dalam upaya menanggulangi gerakan terorisme di Indonesia. Kata Kunci: Al Washliyah, terorisme, dan bom bunuh diri. Abstract Al Washliyah is one of Islamic organizations that rejects the concept of terrorism in Indonesia. This article examines Al Washliyah's responses to terrorism. This study is interesting because this organization has fanatic followers and manages many business charities, but rarely investigated by researchers. This research is field studies where the data sources obtained from the interviews activities and document studies. Data were analyzed by using data analysis method according to Miles and Huberman: data reduction, data display, and conclusion. Based on the theory of Matusitz, Pranawati, and Golose about terrorism doctrine in which the program wants to establish an Islamic state, interpret jihad as war, anti to non-Muslims, and legalize suicide bombings, this study will examine the Al Washliyah's responses to those four issues. This study proposes that Al Washliyah rejects the concept of terrorism which appears and develops in Indonesia, and ulama consider that terrorists have misunderstood on Islamic concept. The findings of this study may contribute to the government in combating terrorism movement in Indonesia. Keywords: Al Washliyah, terrorism, and suicide bombing. A. Pendahuluan Isu terorisme telah menjadi istilah populer sepanjang awal milenium ketiga. Masyarakat Barat memberikan perhatian terhadap dunia Islam, sebab kaum teroris tidak
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
3
bisa dimungkiri memang banyak berasal dari elemen masyarakat Muslim tertentu. Meskipun terorisme tidak identik dengan Islam, tetapi pihak-pihak yang anti-Islam menilai secara berbeda bahkan menilai bahwa ajaran Islam memuat benih-benih terorisme. Babak baru terorisme di era kontemporer dimulai dari tragedi pemboman World Trade Center pada tanggal 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat.1 Pihak Taliban pun dinilai sebagai dalang peristiwa tersebut. Belum selesai masalah Taliban pasca ditaklukkannya Afghanistan, Irak dan Libya oleh Amerika Serikat dan sekutunya, dunia dikejutkan dengan peristiwa pendirian dan gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang berhasil menguasai sebagian Irak dan Suriah. Akhir tahun 2015, ISIS melebarkan gerakannya ke luar basis mereka, dan belakangan sudah memasuki Eropa.2 Di Indonesia, serangkaian bom diledakkan oleh teroris, dan kasus terakhir dilakukan oleh kelompok ISIS.3 Dalam rangka penanggulangan terorisme di 4 Indonesia, pihak pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, apalagi diketahui bahwa kelompok-kelompok teroris tidak saja berasal dari luar negeri, tetapi juga berasal dari dalam negeri. Beberapa pesantren di Indonesia dinilai 1 Stephen E. Atkins, The 9/11 Encyclopedia (California: ABCCLIO, 2011), 6–8. 2 Malcolm Nance, Defeating ISIS: Who They Are, How They Fight, What They Believe (New York: Skyhorse Publishing, 2016), 139–40. 3 Kumar Ramakrishna, Islamist Terrorism and Militancy in Indonesia: The Power of the Manichean Mindset (New York: Springer, 2014), 1–7. 4 Zainal, ―Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru,‖ MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman XXXVIII, no. 2 (Juli 2014): 448–51; Masdar Hilmy, ―Radikalisme Agama dan Politik Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru,‖ MIQOT: Jurnal Ilmuilmu Keislaman XXXIX, no. 2 (n.d.): 407–25.
4
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
sebagai penyemai terorisme. Pihak asing dan pemerintah mencurigai sejumlah pesantren karena dinilai memiliki kaitan dengan jaringan terorisme.5 Akan tetapi, para Kiai pesantren menolak klaim bahwa pesantren sebagai penyemai terorisme dan radikalisme.6 Ronald Lukens-Bull menemukan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang kerap dituduh sebagai sumber terorisme ternyata mengajarkan sikap akomodatif, pluralisme dan anti-radikalisme.7 Kajian-kajian selama ini menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara Islam dengan terorisme, ataupun tidak ada hubungan antara terorisme dengan pesantren. Tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, berbagai organisasi keagamaan juga memainkan kiprahnya sebagai penangkal arus terorisme di Indonesia. Di antara organisasi keagamaan tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Al Jam‘iyatul Washliyah (Al Washliyah). Berbeda dari peran MUI, NU dan Muhammadiyah yang sangat mudah diketahui publik dalam upayanya menghadang laju terorisme, respons Al Washliyah memang kurang banyak mendapatkan perhatian para peneliti, yang barangkali lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa organisasi Islam asal 5 Mohammad Kosim, ―Pesantren dan Wacana Radikalisme,‖ Karsa IX, no. 1 (April 2006): 43–53. 6 Abu Rokhmad, ―Pandangan Kiai tentang Deradikalisasi Paham Islam Radikal di Kota Semarang,‖ Analisa 21, no. 1 (n.d.): 27–37; Saifullah, ―Dakwah Multikultural Pesantren Ngalah dalam Meredam Radikalisme Agama,‖ Islamica: Jurnal Studi Keislaman 8, no. 2 (Maret 2014): 421–46; Mukhibat, ―Deradikalisasi dan Integrasi Nilai-nilai Pluralitas dalam Kurikulum Pesantren Salafi Haraki di Indonesia,‖ Tahrir 14, no. 1 (n.d.): Mei 2014. 7 Ronald Lukens-Bull, ―The Traditions of Pluralism, Accomodation, and Anti-Radicalism in the Pesantren Community,‖ Journal of Indonesian Islam 2, no. 1 (Juni 2008): 14.
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
5
Sumatera Timur tersebut tidak digolongkan sebagai organisasi Islam papan atas. Padahal, dari aspek potensi amal usaha dan konstituennya mulai menjadi sangat signifikan. Masih ada penilaian bahwa Al Washliyah hanya ada di Sumatera Utara, padahal sejak tahun 1986, organisasi ini sudah menjadi organisasi Islam level nasional dimana kedudukan pengurus besarnya berada di Jakarta. Sebab itu, akan menjadi menarik melihat respons Al Washliyah dan para pengurusnya terhadap isu dan tema terorisme di Indonesia. Terorisme berasal dari bahasa Inggris, terror, yang bermakna membuat gemetar. Dalam bahasa Indonesia, kata terorisme berarti ―usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.‖ Terorisme merupakan aksi dan tindakan teror sebagai realisasi paham radikalisme ekstrim. Dalam bahasa Arab, seperti disebut Salenda, bahwa term-term terorisme seperti al-irhâb (irhâbiyyah), al-hirâbah (perampokan), al-baghy (pemberontakan), qâthi‘ al-tharîq atau quththâ‘ al-tharîq (pembegal), dan al-‘unf (lawan dari kelemahlembutan), meskipun untuk istilah al-hirâbah (perampokan), al-baghy (pemberontakan), qâthi‘ al-tharîq atau quththâ‘ al-tharîq (pembegal) dikatagorikan sebagai terorisme manakala telah memenuhi kriteria atau unsur terorisme.8 Berkenaan dengan ciri terorisme, Jonathan Matusitz menyebutkan enam karakteristik terorisme modern, yaitu (1) hakimiyya (kedaulatan Allah atas bangsa-negara atau hukum sipil), (2) masyarakat Islam dan menegakkan hisbah (memuji kebaikan dan melarang kejahatan) dengan mengikuti syariah, (3) kebutuhan untuk jihad, (4) pendudukan tanah Muslim, (5) kemartiran yang dikaitkan dengan jihad, dan (6) takfir yang menilai bahwa pemerintah non-Muslim 8 Kasjim Salenda, ―Terorisme dalam Perspektif Hukum Islam,‖ Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman XIII, no. 1 (Juni 2009): 83.
6
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
dipandang sebagai kafir yang tidak mau tunduk kepada hukum Islam sehingga menjadi obyek jihad.9 Pranawati menyebutkan empat tema yang berkaitan dengan terorisme: daulah Islamiyah (keyakinan tentang keharusan mendirikan negara Islam), al-wala’ wa al-bara’ (pertemanan dengan Muslim dan permusuhan dengan non-Muslim), takfir (keyakinan terhadap kekafiran non-Muslim dan menghalalkan darah mereka), dan jihad (perjuangan dengan segala cara termasuk bom bunuh diri). Dari berbagai poin tersebut, jihad menjadi kata kunci bagi gerakan teroris di dunia, sehingga ada klaim bahwa jihad dan terorisme adalah identik. Kesimpulan Pranawati dan Golose menunjukkan bahwa ada empat tema utama dalam kajian tentang terorisme, yakni negara Islam, jihad, non-Muslim, dan bom bunuh diri.10 Keempat poin inilah yang akan menjadi fokus utama dalam kajian ini. Artikel ini mengkaji respons Al Washliyah terhadap terorisme. Secara khusus, akan dilihat respons Pengurus Besar (PB) Al Washliyah dan Dewan Fatwa Al Washliyah11 di level pusat terkait persoalan terorisme, serta respons para ulamanya yang menjadi pengurus organisasi di tingkat pusat. Respons para pengurus Al Washliyah yang ada pada level provinsi, kabupaten dan kota tidak menjadi fokus utama dalam kajian ini, karena diketahui kurang Jonathan Matusitz, Terrorism and Communication: A Critical Introduction (Sage Publications, 2012), 13. 10 Chaider S. Bamualim dan Ahmad Gaus AF, ―Mekanisme Pencegahan Terorisme di Daerah,‖ in Modul Pencegahan Terorisme di Daerah (Jakarta: BNPT, 2013), 153–54; Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput (Jakarta: YPKIK [Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian], 2010), 47–52. 11 Ja‘far, ―Respons Dewan Fatwa Al Jam‘iyatul Washliyah terhadap Isu Akidah dan Syariah di Era Global,‖ al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 10, no. 1 (Juni 2016): 97–118. 9
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
7
memberikan respons terhadap persoalan terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, akan ditelaah respons organisasi dan ulama Al Washliyah tersebut terkait isu terorisme secara umum, dan responsnya terhadap isu negara Islam, jihad, non-Muslim, dan bom bunuh diri secara khusus. Kajian ini merupakan studi lapangan (library research). Sumber data kajian ini berasal dari kegiatan wawancara dan studi dokumen. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis data Miles dan Huberman: reduksi data, pemaparan data, dan penarikan kesimpulan. B.
Sejarah dan Paham Keagamaan Al Jam’iyatul Washliyah Al Jam‘iyatul Washliyah–yang disingkat Al Washliyah–merupakan organisasi sosial keagamaan yang muncul sebagai respons pelajar-pelajar Mandailing terhadap kondisi sosial, pendidikan, dan keagamaan masyarakat Muslim Sumatera Timur. Diresmikan pada tanggal 30 November 1930, Al Washliyah yang telah menginjak usia 85 tahun didirikan oleh pemuda-pemuda Mandailing Muslim yang pernah mengenyam pendidikan agama di Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) dan Madrasah Hasaniyah.12 Para pendiri Al Washliyah tersebut, antara lain, Ustaz Abdurrahman Syihab, Ustaz Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Ustaz Ismail Banda, dan Ustaz Muhammad Yusuf Ahmad Lubis. Di MIT, mereka berguru kepada Syaikh Muhammad Yunus, ulama Sunni yang menimba ilmu di Makkah dan berguru kepada Syaikh
12 Abdurrahman Syihab, ―Memperingati Al Djamijatul Washlijah 21 Tahun 30 November 1930-30 November 1951,‖ in 21 Tahun Al Dj. Washlijah, ed. oleh M. Husein Abd. Karim (Medan: Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1951), 2–3.
8
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
Abdul Qadir al-Mandili di Masjidilharam.13 Di Madrasah Hasaniyah, mereka belajar kepada Syaikh Hasan Maksum yang menjabat sebagai Mufti Kerajaan Deli di Sumatera Timur dimana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib alMinangkabawi di Masjidilharam, Makkah.14 Syaikh Muhammad Yunus dan Syaikh Hasan Maksum merupakan ulama Sunni yang kepakaran mereka dalam bidang fikih Syafi‗iyah15 dan akidah Asy‗ariyah diakui, sehingga banyak pelajar dari Sumatera Timur yang mendatangi mereka untuk mendalami ilmu-ilmu agama terutama fikih, tauhid dan tasawuf. Itulah sebabnya Al Washliyah kerap disebut sebagai organisasi yang berasal dari ulama, dan melahirkan banyak ulama kompeten dan terkemuka di Sumatera Timur.16 Organisasi ini juga telah memberikan 13 Muaz Tanjung, Maktab Islamiyah Tapanuli 1918-1942: Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam Awal Abad ke-20 di Medan (Medan: IAIN Press, 2012), 193–98; MUI Sumatera Utara, Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara (Medan: MUI Sumatera Utara, 1983), 175–79. 14 Matu Mona, Riwajat Penghidoepan Alfadil Toean Sjech Hasan Ma’soem (Medan: Sjarikat Tapanoeli, 1355); IAIN Al Jami‘ah Sumatera Utara, Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara (Medan: IAIN Al Jami‘ah Sumatera Utara, 1975), 7–20; Ja‘far, ―Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Shaykh Hasan Maksum,‖ Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5, no. 2 (2015): 269–94. 15 Ja‘far, ―Revitalisasi Tradisi Syafi‗iyah dalam Organisasi Al Jam‘iyatul Washliyah di Era Kontemporer,‖ Justicia Islamica 13, no. 1 (2016): 1–29. 16 Diskusi tentang ulama-ulama dan hubungan guru-murid mereka dalam organisasi Al Washliyah dapat dirujuk dalam Ja‘far, Tradisi Intelektual Al Washliyah: Biografi Ulama Kharismatik dan Tradisi Keulamaan (Medan: Perdana Publishing-CAS, 2015); Ja‘far, Biografi Ketua Umum Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah 1930-2015 (Medan: Perdana Publishing-CAS, 2015) Kedua karya tersebut menemukan bahwa ulama-ulama Al Washliyah
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
9
sumbangsihnya bagi Indonesia, terutama dalam upaya meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.17 Istilah ―Al Jam‘iyatul Washliyah‖ merupakan pemberian dari ulama terkenal di Sumatera Timur yang bernama Syaikh Muhammad Yunus. Al Jam‘iyatul Washliyah bermakna ―organisasi yang menghubungkan.‖ Filosofi dari nama tersebut adalah bahwa Al Washliyah diharapkan akan dan terus menjadi organisasi yang menghubungkan antara anggota dengan anggotanya; menghubungkan antara pimpinan ranting dengan pimpinan cabang dan pimpinan daerahnya; menghubungkan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain; menghubungkan antara umat Islam dengan agamanya; dan menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya. Artinya, Al Washliyah berusaha menghubungkan segala sesuatu yang harus dihubungkan sepanjang sesuai dengan perintah Allah.18 berhaluan Sunni yang sanad keilmuan mereka menyambung sampai kepada para pendiri mazhab Sunni. . 17 Aliman Saragih, ―Kontribusi Al Jam‘iyatul Washliyah Terhadap Kemerdekaan Indonesia (1930-1950),‖ MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman XL, no. 1 (Juni 2016), http://jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/index.php/jurnalmiqot/article /view/237; Terkait kiprah politik Al Washliyah, dapat dibaca dalam Ahmad Hamim Azizy, Al Jam’iyatul Washliyah dalam Kancah Politik Indonesia (Banda Aceh: PeNA, 2016) meskipun isi buku tersebut tidak mengkaji gerakan politik Al Washliyah secara mendalam. Buku tersebut hanya membahas harapan-harapan penulisnya (yang merupakan pengurus teras Al Washliyah di level pusat) terhadap kiprah politik Al Washliyah di masa mendatang. Lihat gerakan politik Al Washliyah secara mendalam dalam Ja‘far, Al Jam’iyatul Washliyah: Cita-cita Keislaman dan Keindonesiaan (Banda Aceh: PeNA, 2017), 139–80. 18 Nukman Sulaiman, Peringatan Al Djamijatul Washlijah ¼ Abad (Medan: Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956), 349.
10
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
Al Washliyah mendedikasikan diri kepada umat melalui berbagai amal usaha, yakni pendidikan, dakwah, amal sosial, dan pemberdayaan ekonomi umat. Dalam AD/ART Al Washliyah hasil muktamar XXI tahun 2015, disebutkan sembilan poin usaha-usaha organisasi Al Washliyah. Pertama, melaksanakan amar makruf nahi munkar dengan memperbanyak tabligh, tazkir dan taklim. Kedua, membangun lembaga-lembaga pendidikan dalam semua jenis dan jenjang pendidikan serta mengatur kesempurnaan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Ketiga, menyantuni dan memelihara serta mendidik anak keluarga miskin, yatim dan anak-anak terlantar. Keempat, meningkatkan kesejahteraan umat melalui pembinaan dan pengembangan ekonomi. Kelima, mengadakan, memperbaiki dan memperkuat hubungan persaudaraan umat Islam dalam dan luar negeri. Keenam, melakukan berbagai upaya untuk menegakkan keadilan dan perlindungan terhadap HAM. Ketujuh, melaksanakan berbagai riset, pertemuan-pertemuan ilmiah, pelatihan, dan kaderisasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya insan Al Washliyah. Kedelapan, turut serta membina stabilitas nasional yang mantap dan dinamis di NKRI guna mewujudkan kesuksesan pembangunan nasional. Kesembilan, melakukan usaha-usaha lain yang dipandang perlu sepanjang tidak bertentangan dengan AD/ART. Secara prinsip, tidak ada perbedaan antara usaha-usaha seperti disebutkan di atas dengan usaha-usaha Al Washliyah seperti disebut dalam AD/ART Al Washliyah periode-periode sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa implementasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat sebagai tujuan pendirian Al Washliyah dinilai hanya akan dicapai melalui pendidikan, dakwah, amal sosial dan pemberdayaan ekonomi umat.
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
11
C. Moderatisme Al Washliyah Harus diakui bahwa Al Washliyah belum mengembangkan kurikulum anti terorisme. Akan tetapi, sejak lama organisasi ini menanamkan nilai-nilai moderatisme melalui lembaga pendidikan formalnya (sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi), dan kegiatan pengkaderan yang dilaksanakan oleh organisasi bagiannya dengan mengenalkan dan menginternalisasikan nilai-nilai moderatisme melalui konsep wijhah, dan shibghah Al Washliyah. Data lapangan menunjukkan bahwa lembagalembaga pendidikan Al Washliyah memberikan matapelajaran Kealwashliyahan yang selain mengajarkan tentang sejarah organisasi, juga menanamkan paham moderatisme yang diusung Al Washliyah. Menyikapi keberadaan paham terorisme, Al Washliyah menggerakkan seluruh potensi yang terangkum dalam amal usahanya untuk turut serta memberantas terorisme. Sejak lama, Al Washliyah menanamkan paham moderat dalam beragama, dan hal itu juga sesuai dengan filosofi nama Al Jam‘iyatul Washliyah yang bermakna menghubungkan. Di lembaga-lembaga pendidikannya, Al Washliyah menyemaikan nilai-nilai perdamaian dan kerukunan, serta menanamkan pemahaman yang anti tindakan radikal dan teror, dan hal itu dapat dilihat dalam pembelajaran keAlwashliyahan. Setiap pelajar dan mahasiswa wajib mengikuti matapelajaran tersebut. Dalam matapelajaran tersebut, diajarkan wijhah Al Washliyah yang merupakan pedoman, haluan dan arah organisasi. Dalam wijhah Al Washliyah, pelajar dan mahasiswa dikenalkan doktrin bahwa ―antara bangsa di dunia harus mendasari hubungannya dengan ta’aruf (saling mengenal atas dasar persaudaraan).‖ Selain itu juga, ditanamkan gagasan tentang kawan dan lawan Al Washliyah. Kawan dekat Al Washliyah adalah pihak yang sehaluan, sejalan dan seideologi, sedangkan lawan nyata Al Washliyah adalah
12
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
pihak yang tidak sejalan, tidak sehaluan, dan tidak seideologi (misalnya ateisme dan komunisme),19 meskipun tidak dipungkiri bahwa Al Washliyah tetap dapat membina hubungan baik atas dasar ta’aruf dengan pihak lawan tersebut. Dalam matapelajaran tersebut, diajarkan juga konsep shibghah Al Washliyah, yakni ciri-ciri kepribadian Al Washliyah, antara lain cinta kedamaian, suka menghubungkan silaturahmi, berpola pikir Islami, gemar dan rajin melakukan ibadah, berusaha dan berjuang karena Allah (ikhlas), suka menolong orang yang susah, aktif dalam membangun masyarakat dan bangsa, melaksanakan amar makruf nahi mungkar, memiliki pengetahuan agama yang memadai, selalu tampil di tengah umat sebagai teladan, senang bertabligh dan menjadi corong umat, dan memiliki kepribadian yang fleksibel dan tidak ekstrim.20 Cinta perdamaian dan silaturahmi menjadi kata kunci yang menegaskan bahwa Al Washliyah menolak kekerasan dan perselisihan. KH. Muhammad Ridwan Ibrahim Lubis yang pernah menjadi Ketua Umum PB Al Washliyah (1986-1997) dan Ketua Dewan Fatwa PB Al Washliyah (2010-2015) mengajukan gagasan tentang ciri khas anggota dan pemimpin Al Washliyah. Paling tidak, ada enam ciri warga Al Washliyah seperti suka berjamaah dan silaturahmi, berkata manis berbuat lemah lembut, penampilan yang rapi serta tidak berlebih-lebihan, cermat dalam meneliti suatu persoalan serta tidak tergesa-gesa, tekun dalam ibadah, dan Bahari Emde, ―Wijhah Al Washliyah,‖ in Al Jam’iyatul Washliyah: Potret Histori, Edukasi dan Filosofi, ed. oleh Ja‘far (Medan: Perdana Publishing-CAS, 2012), 225–28. 20 Syahrul AR. Elhadidhy, Mata Pelajaran Pendidikan Ke Al Washliyahan 3 (Medan: MPK Al Jam‘iyatul Washliyah Sumatera Utara, 2005), 55–56. 19
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
13
ikhlas dalam melaksanakan tugas-tugas.21 Dapat dipahami bahwa warga Al Washliyah harus menampilkan perilaku lembut dengan menolak sikap kekasaran dan kekerasan, dan suka menyambung silaturahmi kepada manusia, sehingga secara otomatis Al Washliyah menolak terorisme. Melalui pembelajaran Kealwashliyahan, Al Washliyah juga mengajarkan paham jihad tetapi bukan dalam makna terorisme. Setiap pelajar dan mahasiswa dipahamkan bahwa dasar perjuangan Al Washliyah adalah jihad atau berjuang di jalan Allah Swt. untuk mendapatkan kemenangan. Jihad dibagi menjadi tiga, yakni jihad terhadap diri sendiri (melawan hawa nafsu), jihad melawan setan, dan jihad terhadap musuh yang nyata dalam arti jihad terhadap perbuatan yang dapat merusak dan merugikan masyarakat seperti kemaksiatan dan kejahatan serta jihad terhadap kaum kafir yang dapat menghancurkan agama Islam.22 Jihad terhadap musuh yang nyata dimaknai sebagai jihad terhadap kaum musyrik dan kaum kafir, tetapi jihad dilaksanakan dengan jalan yang diridai Allah Swt. Al Washliyah menghendaki jihad dilakukan secara bertingkat, dimulai dari jihad melawan hawa nafsu dengan menjauhi kemaksiatan dan mengutamakan akhlak mulia, lalu diikuti dengan jihad melawan setan dengan melaksanakan amal saleh, dan akhirnya jihad melawan musuh nyata seperti kaum musyrik dan kafir yang menyerang umat Islam, meskipun peperangan dengan kaum musyrik dan kafir yang ingin menghancurkan umat Islam harus dilakukan dengan
M. Ridwan Ibrahim Lubis, Kepribadian Anggota dan Pengurus Al Washliyah (Jakarta: PP Himmah, 1994), 2–5. 22 Syahrul AR. Elhadidhy, Mata Pelajaran Pendidikan Ke Al Washliyahan 2 (Medan: MPK Al Jam‘iyatul Washliyah Sumatera Utara, 2005), 94–95. 21
14
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
mengutamakan akhlak mulia.23 Dengan demikian, Al Washliyah hendak menanamkan urgensi perbaikan diri dengan mengutamakan akhlak mulia, dan melindungi agama dari kejahatan kaum kafir. D. Respons Ulama Al Washliyah Sebagaimana sikap resmi dari organisasi, para ulama Al Washliyah juga menunjukkan penolakannya terhadap paham terorisme. Respons ulama yang dikaji adalah para ulama yang menjadi pengurus Dewan Fatwa Al Washliyah. Secara umum, ulama-ulama Al Washliyah menolak terorisme. Tiga pendapat para ulama berikut ini mewakili pandangan para ulama Al Washliyah. Pertama, Ustaz Ramli Abdul Wahid [Simangunsong] yang merupakan ulama senior Al Washliyah dan dipercaya sebagai Ketua Dewan Fatwa PB Al Washliyah periode 2015-2020, turut merespons persoalan terorisme. Ustaz Ramli menegaskan bahwa terorisme tidak sama dengan jihad. Terorisme bersifat merusak dan anarkis, dan tujuannya adalah menciptakan rasa takut dan dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Jihad bersifat melakukan perbaikan, sekalipun dengan cara peperangan, dan tujuannya adalah menegakkan agama Allah dan membela hak-hak orang yang terzalimi, dan dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas.24 Ustaz Ramli bahkan menawarkan paham wasathiyah dalam pergaulan internasional. Menurutnya, Al Washliyah mengembangkan paham wasathiyah (moderat), mampu menyatukan dua kubu persoalan secara seimbang Syahrul AR. Elhadidhy, Mata Pelajaran Pendidikan Ke Al Washliyahan 1 (Medan: MPK Al Jam‘iyatul Washliyah Sumatera Utara, 2005), 74–75. 24 Ramli Abdul Wahid, ―Kekerasan dalam Pandangan Islam,‖ (Makalah seminar MUI Sumatera Utara, Oktober 2014). 23
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
15
dan harmonis dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai kebenaran. Paham moderat tidak mendukung paham kaum ekstrim kanan seperti kaum radikal dan teroris, dan tidak memihak kepada kaum ekstrim kiri seperti kaum liberal.25 Kedua, Ustaz Muhammad Nasir yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan Fatwa PB Al Washliyah (2015-2020) menegaskan bahwa terorisme tidak dikenal dan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Menurutnya, terorisme menggunakan kekerasan, kekejaman serta kebengisan untuk menimbulkan rasa takut pada manusia untuk mencapai tujuan tanpa aturan, sedangkan jihad adalah tugas yang mulia untuk membela agama. Terorisme dan jihad adalah dua hal yang berbeda. Terorisme biasanya digunakan untuk tujuan politik dan kekuasaan, sedangkan jihad bertujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup dengan dilandasi rasa kasih sayang dan hanya mengharap rida Allah Swt. Jadi, terorisme dalam pandangan agama Islam tidak dibenarkan, dan jauh dari tuntunan Islam, sedangkan jihad adalah upaya menjaga keutuhan agama.26 Ketiga, Ustaz Achyar Zein yang bukan dari jajaran Dewan Fatwa Al Washliyah juga menolak tindakan terorisme dan radikalisme. Menurutnya, setiap tindakan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan manusia seperti tindakan radikalisme adalah tindakan yang bertentangan dengan ayat-ayat Alquran, karena ayat-ayat Alquran senantiasa mengacu kepada kemaslahatan manusia secara menyeluruh.27 Berkenaan dengan terorisme, ia juga menegaskan ada kesamaan antara teroris dan koruptor. Menurutnya, menilai dampak signifikan dari 25 Ramli Abdul Wahid, Peranan Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi Sekuler (Medan: Manhaji, 2015), 41–50. 26 Ustaz Muhammad Nasir, Wawancara, 8 Maret 2016. 27 Ustaz Achyar Zein, Wawancara, 7 Maret 2016.
16
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
perbuatan teror dan korupsi, maka pelaku dari kedua perbuatan tersebut harus diperlakukan sama di depan hukum. Negara harus memberikan hukuman berat kepada teroris dan koruptor, bahkan hukuman mati. Ia memaparkan bahwa koruptor menggunakan kekerasan melalui jabatan dan wewenangnya sehingga kebanyakan orang takut untuk memeriksanya, sedangkan teroris menggunakan kekuatan senjata sehingga siapa saja yang ingin menghadang maka mereka tidak segan-segan membunuhnya. Dampak perbuatan kaum teroris adalah kehancuran prasarana dan kemusnahan manusia secara langsung, sedangkan dampak dari perbuatan kaum koruptor adalah kehancuran dan kemusnahan secara berangsur-angsur. Menurutnya, kekuatan negara harus melawan teroris dan koruptor, sedangkan para pembela mereka dapat juga dikategorikan sebagai musuh negara.28 Secara khusus, ulama-ulama Al Washliyah yang tergabung dalam Dewan Fatwa Al Washliyah juga telah memberikan responsnya terhadap indikator-indikator yang mengarah kepada terorisme, antara lain urgensi mendirikan negara Islam, jihad sebagai perang, sikap terhadap nonMuslim, dan tindakan bom bunuh diri. Berdasarkan hasil wawancara terhadap mereka, disimpulkan sebagai berikut. Pertama, berkenaan dengan urgensi mendirikan negara Islam, ulama-ulama Al Washliyah yang dikaji tidak memiliki kesamaan pendapat. Mayoritas menolak ide pendirian negara Islam. Mereka menilai bahwa usaha memberlakukan syariat Islam lebih penting ketimbang mendirikan negara Islam. Sekadar contoh, Ustaz Ramli Abdul Wahid menyatakan bahwa pendirian negara Islam di Indonesia secara revolusi adalah tidak konstitusional. Di Indonesia, syariat Islam belum maksimal diperjuangkan. Hal ini bukan berarti bahwa Pancasila harus diubah, tetapi 28
Ibid.
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
17
umat Islam harus mengisi Pancasila dan peraturanperaturan dengan ajaran Islam.‖29 Sebagian dari yang dikaji masih memandang penting upaya mendirikan negara Islam secara legal, tetapi bukan dengan kekerasan. Ustaz Irwansyah, salah seorang anggota Dewan Fatwa Al Washliyah, misalnya menyatakan bahwa ―ide pendirian negara Islam perlu didukung sepanjang dilakukan dengan legal. Itu adalah cita-cita setiap Muslim. Hukum dan aturan kehidupan yang terbaik bagi kemaslahatan manusia adalah ajaran Islam. Islam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia mulai dari ibadah, muamalah, dan politik. Demokrasi sebenarnya bukan berasal dari Islam.‖30 Meskipun sebagian ulama Al Washliyah menilai bahwa ide mendirikan negara Islam masih penting, tetapi mereka menolak jalan kekerasan dan inkonstitusional dalam penegakannya. Kedua, semua ulama Al Washliyah yang dikaji sepakat bahwa jihad berbeda dari terorisme, dan jihad tidak selamanya bermakna perang. Sekadar contoh, Ustaz Ramli menyatakan bahwa ada kesalahan penafsiran kaum teroris terhadap ayat-ayat jihad. Perang dan pembunuhan itu tidak mutlak dibolehkan dalam Islam. Peperangan terhadap orang lain atau bangsa lain dibolehkan karena membela diri dan membela agama, dan dalam kondisi perang pun, Islam mengatur akhlak yang mulia.31 Ustaz Ardiansyah, salah seorang anggota Dewan Fatwa Al Washliyah, dimana dinyatakannya bahwa penggunaan kata jihad dalam Islam umumnya bermakna qital, (perang) tetapi bukan berarti tidak memiliki makna lain. Tidak salah jika jihad diartikan sebagai perang, tetapi bukan berarti ayat-ayat dan hadishadis jihad dan ayat-ayat perang dapat digunakan dan Ustaz Ramli Abdul Wahid, Wawancara, Oktober 2016. Ustaz Irwansyah, Wawancara, Agustus 2016. 31 Ustaz Ramli Abdul Wahid, Wawancara. 29 30
18
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
berlaku dalam berbagai situasi dan kondisi. Ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut harus dipahami secara benar sesuai dengan tafsir para ulama. Indonesia, misalnya, dinyatakan oleh kelompok teroris sebagai dar al-harb, sehingga perlu dilakukan jihad, tetapi para ulama menyatakan bahwa Indonesia merupakan dar al-salam, sehingga tidak boleh dilakukan peperangan dan pembunuhan terhadap orangorang yang tidak berdosa. Selain bermakna perang, yang termasuk dalam kategori jihad adalah menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, beribadah, dan memberikan nafkah kepada anak dan istri.32 Ustaz Amar Adly, salah seorang anggota Dewan Fatwa Al Washliyah, menambahkan bahwa jihad dalam arti perang dibolehkan sepanjang unsur-unsur kebolehan jihad dipenuhi, misalnya adanya negara Islam, dibolehkan oleh Imam, umat Islam diperangi orang-orang kafir, dan dalam perang dilarang membuat kerusakan, menghancurkan rumah ibadah, membunuh anak-anak, wanita, orang lemah; menebang pohon, dan membunuh hewan tanpa hak.33 Dapat disimpulkan bahwa ulamaulama Al Washliyah menilai bahwa makna jihad sangat luas, tidak saja bermakna perang. Tetapi, jihad dapat saja bermakna perang, dan kaum Muslim boleh berjihad (berperang) sepanjang unsur-unsur jihad sudah terpenuhi. Ketiga, ulama-ulama Al Washliyah yang dikaji menyatakan bahwa kaum Muslim harus membina hubungan baik dengan non-Muslim, kecuali ketika nonMuslim tersebut memusuhi dan memerangi kaum Muslim. Ustaz Ramli Abdul Wahid, misalnya, menyatakan bahwa Islam mengakui keberadaan agama lain serta pemeluknya, dan menginginkan agar kaum Muslim hidup damai berdampingan dengan umat lain, bukan hanya umat lain di dalam negeri sendiri, tetapi juga dengan umat dari bangsa32 33
Ustaz Ardiansyah, Wawancara, 8 Agustus 2016. Ustaz Amar Adly, Wawancara, 9 Agustus 2016.
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
19
bangsa lain. Ustaz Ammar Adly menyatakan bahwa sekarang ini tidak ada negara Islam (daulah islamiyah), jadi tidak ada yang disebut kafir harbi (kafir yang harus diperangi). Sebaiknya, non Muslim dan negara-negara kafir tidak harus diperangi, tetapi lebih baik didakwahi. Secara sosial, boleh bekerjasama dengan pihak non-Muslim, baik pada level individu maupun level negara, asalkan tidak menimbulkan mudarat bagi umat Islam.34 Ustaz Ardiansyah menambahkan bahwa umat Islam dibolehkan mengadakan kerjasama dalam bidang muamalah sepanjang orang-orang non-Muslim tidak mengkhianati perjanjian dengan kaum Muslim. Tetapi, tidak bermakna bahwa umat Islam toleran tanpa batas dalam bidang akidah dan syariah, misalnya beribadah bersama dan memakan makanan nonMuslim, sebab hal itu dilarang dalam Islam.35 KH. Ovied menambahkan bahwa Alquran dan Hadis menerangkan sikap mukmin terhadap orang-orang yang berbeda agama dimana mereka harus menghormati non-Muslim secara baik dan bersikap dengan adil. Berkenaan negara Amerika Serikat, umat Islam sebagai komunitas yang besar di Indonesia harus tegas karena negara ini adalah salah satu negara pendukung Israel yang tidak memberikan hak-hak rakyat Palestina. Akibat ketidakberdayaan umat Islam, senjata utama perlawanan umat Islam adalah memboikot produk-produk negara mereka. Kaum Muslim harus memboikot produk Israel dan sekutunya, tetapi Indonesia sebagai sebuah negara harus menjalankan politik diplomasi agar hak-hak rakyat Palestina dikembalikan.36 Dengan demikian, mereka menegaskan bahwa kaum Muslim boleh membina kerjasama dalam bidang muamalah, tetapi tidak dalam bidang akidah dan syariah, dan pemboikotan Ustaz Amar Adly, Wawancara. Ustaz Ardiansyah, Wawancara. 36 KH. Ovied, Wawancara, 25 Juli 2016. 34 35
20
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
terhadap produk-produk Amerika dan Israel dibolehkan dalam rangka perjuangan rakyat Palestina. Keempat, ulama-ulama Al Washliyah yang dikaji menilai bahwa bom bunuh diri adalah haram. Sebagaimana disebutkan KH. Ovied, bahwa ―tindakan bom bunuh diri yang ditujukan kepada negara dan simbol Barat sangat keliru dan kebodohan.‖37 Ulama-ulama Al Washliyah yang dikaji menjelaskan bahwa jika unsur-unsur jihad telah dipenuhi, meskipun unsur-unsur tersebut sulit dipenuhi di era modern, maka bom bunuh diri boleh dilakukan. Ustaz Ramli Abdul Wahid, misalnya, menyatakan bahwa bunuh diri untuk kepentingan pribadi adalah haram. Hal itu merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan dan mencelakakan diri sendiri, baik dilakukan di daerah damai maupun di daerah perang. Tetapi jika dalam kondisi umat Islam betul-betul diserang oleh musuh dan dalam kondisi perang, sehingga hukum jihad menjadi terpenuhi, maka tindakan mencari kesyahidan dalam bentuk bom bunuh diri dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad yang dilakukan di daerah perang tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugiaan yang lebih besar di pihak musuh Islam. Hanya saja, harus dipertimbangkan secara matang tentang pemilihan sarana bom bunuh diri, baik maslahat, mudarat, efektivitas, maupun kontribusinya bagi perjuangan umat Islam di suatu peperangan, dan dampaknya bagi umat Islam secara global. Ustaz Ramli menegaskan bahwa pelaku bom bunuh diri di Indonesia tidak dihukumi sebagai mati syahid karena mereka telah salah dalam memahami makna jihad dan syahid.38 Dapat dipahami bahwa di luar konteks jihad sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih, ulama Al Washliyah sepakat bahwa hukum bom bunuh diri adalah haram. 37 38
Ibid. KH. Ovied, Wawancara, 25 Oktober 2016.
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
21
Tetapi jika unsur-unsur jihad terpenuhi, maka bom bunuh diri sebagai jalan terakhir dalam menghancurkan musuhmusuh Islam boleh pilih sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan etika perang dalam Islam sebagaimana telah dijelaskan dalam berbagai buku fikih dalam mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Sebagai strategi untuk menolak dan melawan gerakan terorisme dan radikalisme, ulama-ulama Al Washliyah yang dikaji menolak penggunaan jalan kekerasan dalam meredam arus terorisme dan radikalisme di Indonesia. KH. Ovied Rangkuti mengajukan tujuh solusi alternatif untuk tidak terjebak dalam perangkap terorisme dan radikalisme ekstrim. Pertama, mengikuti para ulama yang mengikuti pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljamaah (mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi‗i, dan mazhab Hanbali). Kedua, mendahulukan memahami ilmu-ilmu fikih yang jelas mazhabnya seperti mazhab fikih Imam Syafi‗i terdahulu atau mengikuti para ulama yang memiliki kemampuan dalam perbandingan mazhab, dan ulama tersebut tidak memiliki sifat fanatik buta terhadap mazhab fikih tertentu. Ketiga, mewaspadai dan berhati-hati terhadap pemikiran para ulama yang lebih cenderung mengarahkan umatnya kepada pemikiran yang suka memakai istilah pemurnian akidah dan salafi. Keempat, mewaspadai dan berhati-hati terhadap para ulama yang memakai fikih mazhab Ahmad bin Hanbal yang kiblat dan tokohnya hanya bermuara kepada kitabkitab Ibn Taimiyah. Kelima, mewaspadai majelis taklim yang para tokohnya mengarahkan untuk mengikuti hanya kepada pemahaman Nashr al-Din Albani, ‗Abd al-‗Aziz bin Baz, dan para ulama-ulama yang sependapat kepada mereka. Ulama-ulama dimaksud dijadikan sebagai rujukan oleh aliran-aliran yang mengatasnamakan gerakan Salafi. Keenam, mewaspadai dan berhati-hati dengan kalimat dan ucapan kelompok tertentu yang mengatasnamakan salafi
22
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
dengan menggunakan kaidah yang mereka buat sendiri lau kâna khairan mâsabaqûnâ ilaih. Dengan kaedah tersebut, mereka menegaskan bahwa jika perkara bidah seperti tahlilan dan bacaan ayat-ayat Alquran kepada mayit dibenarkan dan baik, tentu para sahabat Nabi sudah terlebih dahulu melakukan hal tersebut. Ketujuh, mewaspadai dan berhati-hati terhadap para ulama yang mengeluarkan istinbat hukum Islam dengan aspek lahiriah suatu teks, yaitu mereka yang mengeluarkan kesimpulan hukum dari Alquran dan hadis hanya memahami kalimat tekstual nash saja, dan tidak menggunakan takwil, tafsir dan pemahaman para sahabat, ulama salaf, dan ulama khalaf yang muktabar. Pelaku terorisme dan radikalisme akan dilaknat Allah Swt. di dunia dan akhirat, dan siksaan mereka di akhirat akan dilipatgandakan. Tindakan terorisme juga dapat dikategorikan sebagai makar, dan ulama Sunni sepakat bahwa pelaku makar boleh ditangkap, diperangi, bahkan dihukum mati.39 Paparan di atas menunjukkan bahwa ulama-ulama Al Washliyah menolak paham dan gerakan terorisme yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Mayoritas ulama Al Washliyah menilai bahwa tidak penting ide mendirikan negara Islam, sebab yang terpenting adalah penegakan syariat Islam yang menjelma dalam peraturan perundangundangan yang diperjuangkan secara legal di Indonesia. E.
Simpulan Berdasarkan kajian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa Al Washliyah sebagai organisasi berhaluan Sunni telah memberikan respons terhadap persoalan terorisme di Indonesia. Secara khusus, kajian ini menemukan tiga hal berikut. Pertama, sejak lama Al Washliyah telah 39
KH. Ovied, Wawancara, 7 Maret 2016.
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
23
mengedepankan paham moderatisme yang dilihat dari filosofi makna Al Jam‘iyatul Washliyah, serta wijhah dan shibghah Al Washliyah. Kedua, ketika terorisme menjadi isu dunia internasional dan nasional, Al Washliyah bersama organisasi lain juga memberikan respons, dimana organisasi ini menolak terorisme dan pengaitannya dengan jihad. Berbagai kegiatan PB Al Washliyah menunjukkan bahwa Al Washliyah aktif bersama organisasi Islam lain untuk menghadang arus terorisme berupa penolakan terhadap paham dan gerakan terorisme di Indonesia. Dewan Fatwa Al Washliyah yang hanya ada pada level pusat saja juga telah mengeluarkan fatwa bahwa terorisme tidak sama dengan jihad, sembari menegaskan bahwa terorisme adalah haram. Kedua, ulama-ulama Al Washliyah yang dikaji juga telah memberikan respons terhadap persoalan terorisme, dimana seluruhnya menolak secara tegas paham dan gerakan terorisme yang ada di dunia, khususnya di Indonesia. Sampai saat ini Al Washliyah belum memiliki dan mengembangkan kurikulum anti terorisme, meskipun lembaga fatwa organisasi ini telah mengeluarkan fatwa perihal keharaman terorisme, dan perbedaannya dengan jihad. Sebab itu, dinilai penting organisasi ini memiliki dan mengembangkan kurikulum anti-terorisme sebagai kerja nyata organisasi ini dalam menolak terorisme di Indonesia[.] REFERENSI Atkins, Stephen E. The 9/11 Encyclopedia. California: ABCCLIO, 2011. Azizy, Ahmad Hamim. Al Jam’iyatul Washliyah dalam Kancah Politik Indonesia. Banda Aceh: PeNA, 2016. Bamualim, Chaider S., dan Ahmad Gaus AF. ―Mekanisme Pencegahan Terorisme di Daerah.‖ In Modul Pencegahan Terorisme di Daerah. Jakarta: BNPT, 2013.
24
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
Elhadidhy, Syahrul AR. Mata Pelajaran Pendidikan Ke Al Washliyahan 1. Medan: MPK Al Jam‘iyatul Washliyah Sumatera Utara, 2005. ———. Mata Pelajaran Pendidikan Ke Al Washliyahan 2. Medan: MPK Al Jam‘iyatul Washliyah Sumatera Utara, 2005. ———. Mata Pelajaran Pendidikan Ke Al Washliyahan 3. Medan: MPK Al Jam‘iyatul Washliyah Sumatera Utara, 2005. Emde, Bahari. ―Wijhah Al Washliyah.‖ In Al Jam’iyatul Washliyah: Potret Histori, Edukasi dan Filosofi, diedit oleh Ja‘far. Medan: Perdana Publishing-CAS, 2012. Golose, Petrus Reinhard. Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK [Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian], 2010. Hilmy, Masdar. ―Radikalisme Agama dan Politik Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru.‖ MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman XXXIX, no. 2 (n.d.). IAIN Al Jami‘ah Sumatera Utara. Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara. Medan: IAIN Al Jami‘ah Sumatera Utara, 1975. Ja‘far. Al Jam’iyatul Washliyah: Cita-cita Keislaman dan Keindonesiaan. Banda Aceh: PeNA, 2017. ———. Biografi Ketua Umum Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah 1930-2015. Medan: Perdana Publishing-CAS, 2015. ———. ―Respons Dewan Fatwa Al Jam‘iyatul Washliyah terhadap Isu Akidah dan Syariah di Era Global.‖ alManahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 10, no. 1 (Juni 2016). ———. ―Revitalisasi Tradisi Syafi‗iyah dalam Organisasi Al Jam‘iyatul Washliyah di Era Kontemporer.‖ Justicia Islamica 13, no. 1 (2016).
Respons Al Jam‘iyatul Washliyah …
25
———. ―Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Shaykh Hasan Maksum.‖ Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5, no. 2 (2015). ———. Tradisi Intelektual Al Washliyah: Biografi Ulama Kharismatik dan Tradisi Keulamaan. Medan: Perdana Publishing-CAS, 2015. KH. Ovied. Wawancara, 7 Maret 2016. ———. Wawancara, 25 Juli 2016. ———. Wawancara, 25 Oktober 2016. Kosim, Mohammad. ―Pesantren dan Wacana Radikalisme.‖ Karsa IX, no. 1 (April 2006). Lubis, M. Ridwan Ibrahim. Kepribadian Anggota dan Pengurus Al Washliyah. Jakarta: PP Himmah, 1994. Lukens-Bull, Ronald. ―The Traditions of Pluralism, Accomodation, and Anti-Radicalism in the Pesantren Community.‖ Journal of Indonesian Islam 2, no. 1 (Juni 2008). Matusitz, Jonathan. Terrorism and Communication: A Critical Introduction. Sage Publications, 2012. Mona, Matu. Riwajat Penghidoepan Alfadil Toean Sjech Hasan Ma’soem. Medan: Sjarikat Tapanoeli, 1355. MUI Sumatera Utara. Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara. Medan: MUI Sumatera Utara, 1983. Mukhibat. ―Deradikalisasi dan Integrasi Nilai-nilai Pluralitas dalam Kurikulum Pesantren Salafi Haraki di Indonesia.‖ Tahrir 14, no. 1 (n.d.): Mei 2014. Nance, Malcolm. Defeating ISIS: Who They Are, How They Fight, What They Believe. New York: Skyhorse Publishing, 2016. Ramakrishna, Kumar. Islamist Terrorism and Militancy in Indonesia: The Power of the Manichean Mindset. New York: Springer, 2014. Ramli Abdul Wahid. ―Kekerasan dalam Pandangan Islam.‖ Makalah seminar MUI Sumatera Utara, Oktober 2014.
26
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017
Rokhmad, Abu. ―Pandangan Kiai tentang Deradikalisasi Paham Islam Radikal di Kota Semarang.‖ Analisa 21, no. 1 (n.d.): Juni 2014. Saifullah. ―Dakwah Multikultural Pesantren Ngalah dalam Meredam Radikalisme Agama.‖ Islamica: Jurnal Studi Keislaman 8, no. 2 (Maret 2014). Salenda, Kasjim. ―Terorisme dalam Perspektif Hukum Islam.‖ Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman XIII, no. 1 (Juni 2009). Saragih, Aliman. ―Kontribusi Al Jam‘iyatul Washliyah Terhadap Kemerdekaan Indonesia (1930-1950).‖ MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman XL, no. 1 (Juni 2016). http://jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/index.php/jurnalmi qot/article/view/237. Sulaiman, Nukman. Peringatan Al Djamijatul Washlijah ¼ Abad. Medan: Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956. Tanjung, Muaz. Maktab Islamiyah Tapanuli 1918-1942: Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam Awal Abad ke-20 di Medan. Medan: IAIN Press, 2012. Ustaz Achyar Zein. Wawancara, 7 Maret 2016. Ustaz Amar Adly. Wawancara, 9 Agustus 2016. Ustaz Ardiansyah. Wawancara, 8 Agustus 2016. Ustaz Irwansyah. Wawancara, Agustus 2016. Ustaz Muhammad Nasir. Wawancara, 8 Maret 2016. Ustaz Ramli Abdul Wahid. Wawancara, Oktober 2016. Wahid, Ramli Abdul. Peranan Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi Sekuler. Medan: Manhaji, 2015. Zainal. ―Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru.‖ MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman XXXVIII, no. 2 (Juli 2014).